Perlindungan HUkum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Di Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETUGAS PEMASYARAKATAN

DI DALAM UNDANG-UNDANG RI NOMOR 12 TAHUN 1995

TENTANG PEMASYARAKATAN

TESIS

Oleh

GAYATRI RACHMI RILOWATI

077005009/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

Σ Ε Κ

Ο Λ Α

Η

Π Α

Σ Χ

Α Σ Α Ρ ϑΑ

Ν


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETUGAS PEMASYARAKATAN

DI DALAM UNDANG-UNDANG RI NOMOR 12 TAHUN 1995

TENTANG PEMASYARAKATAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

GAYATRI RACHMI RILOWATI

077005009/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETUGAS

PEMASYARAKATAN DI DALAM

UNDANG-UNDANG RI NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

Nama Mahasiswa : Gayatri Rachmi Rilowati

Nomor Pokok : 077005009

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B. MSc)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 27 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH

Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS 2. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum

3. Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum 4. Syafruddin S Hasibuan, SH., MH


(5)

ABSTRAK

Instansi pemasyarakatan termasuk dalam jajaran penegak hukum yang kedudukannya dapat disejajarkan dengan instansi kepolisian, kejaksaan, serta pengadilan dalam suatu sistem penegakan hukum terpadu yang dikenal dengan istilah Integrated Criminal Justice System, yang berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mempunyai tugas di bidang pembinaan, pembimbingan dan pengamanan warga binaan. Meskipun kedudukan instansi pemasyarakatan dalam sistem penegakan hukum terpadu sesuai KUHAP dapat disejajarkan dengan instansi penegak hukum lainnya, tetapi dalam pelaksanaan tugasnya tidak satupun peraturan perundang-undangan yang berlaku (termasuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan) yang memberikan perlindungan hukum kepada instansi pemasyarakatan dalam pelaksanaan tugas penegakan hukumnya, terutama dalam tugas koordinasi bersama dengan sesama instansi penegak hukum yang berwenang menurut KUHAP. Akibatnya adalah kedudukan instansi pemasyarakatan menjadi yang terlemah dari segi perlindungan hukum dibandingkan dengan instansi penegak hukum lainnya. Lemahnya perlindungan hukum terhadap instansi pemasyarakatan dalam pelaksanaan tugas koordinasi bersama instansi penegak hukum lainnya terbukti dalam kasus dibebaskannya terpidana Adelin Lis dari Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan atas perintah resmi dari Jaksa eksekutor. Tindakan pembebasan tersebut mengakibatkan beberapa petugas pemasyarakatan yang terkait diperiksa oleh instansi kepolisian. Seharusnya petugas pemasyarakatan yang melaksanakan perintah resmi dari instansi yang berwenang dilindungi oleh hukum dan tidak dapat dipersalahkan.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisa sejauhmana perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan di bidang penahanan baik di rumah tahanan (Rutan) maupun di lembaga pemasyarakatan (LP) dalam hubungan koordinasi tugas dengan aparat penegak hukum berwenang lainnya. Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif) yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif yang berasal dari premis umum dan berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan belum sepenuhnya menjamin perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan dalam hal pelaksanaan penegakan hukum di bidang penahanan, khususnya dalam hal tugas koordinasi dengan instansi penegak hukum berwenang lainnya. Perlu dibuat suatu peraturan perundang-undangan secara khusus yang mengatur dengan tegas tentang kewenangan petugas pemasyarakatan dalam hubungan tugas koordinasi dengan


(6)

instansi penegak hukum berwenang lainnya sehingga kedudukan instansi pemasyarakatan menjadi seimbang dengan instansi penegak hukum lainnya.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Petugas Pemasyarakatan, Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.


(7)

ABSTRACT

Correctional institution is part of law enforcer which its position is equal with the police department, office of the councel for the prosecution, and also the court in Integrated Criminal Justice System, according to the Regulation Number 12 Chapter 8 year 1995 about that correctional institution has duties in character building, mentoring and security precautions of members. Although the position of correctional institution in integrated criminal justice system is equal with other institutions, but in the executions of its duties, none of the prevail regulation (include the Regulation Number 12 year 1995 about correctional institution) insure of law protection especially in coordination duty along with other law enforcers based on KUHAP. Thus the position of correctional institution becomes the weakest from the protection to the correctional institution in execute of its coordination duties together with other law enforcers was showed in released of punished named Adelin Lis from Tanjung Gusta Correctional Institution Medan based legitimate order from executor prosecutor. The releasing action result in investigation of some officers of correctional institution by the police department. Logically there was a law protection to the correctional institution officer whom executed of legitimate order from the authority institution and could not be blamed for that affair.

This research has analytical descriptive characteristic that describes/explains and also analysis the range of law protection to the correctional institution officer that is insured by the Regulation Number 12 year 1995 about penal in arrest field which is in prison or in correctional institution in associate with duties coordination with other law enforcers. The research sort that is applied by using writing method with normative juridical (normative law research) approach that the research based on law norms that is contained in prevail law and regulation as a normative place to stand on which comes from general premise and ended is specific conclusion. Library research was used to populate the data to obtain theory concept of doctrine opinion or conceptual idea and prior research that has relation with this research object, in from of law and regulation and other scientific study.

Regulation Number 12 year 1995 about penal system does not fully guarantee for law protection for correctional institution officer in execution of law enforcement in arrest field, particularly in the coordination duty with other law enforcer institutions. Specific law and regulation that arrange distinctly about correctional institution officer authority in the relation with coordination duty with other law enforcers is need to be made, thus the position on correction institution becomes equal with other law enforcers.

Keywords: Law Protection, Correctional Institution Officer, RI Regulation Number 12 Year 1995 About Penal System.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul

Perlindungan Hukum Petugas Pemasyarakatan di dalam Undang-Undang RI

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan”.

Tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini tidak akan tersusun dengan baik dan selesai pada waktunya tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P Lubis, DTM&H, Sp.A(K), Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum, Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU.

2. Komisi Pembimbing Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Komisi, Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS dan Ibu Dr, Sunarmi, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi, atas segala pengarahan, bimbingan dan dorongan yang diberikan dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

3. Dosen Pembanding yaitu Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum dan Bapak Syafruddin S Hasibuan, SH, MH, DFM, yang telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis guna kesempurnaan tesis ini.


(9)

4. Kepala BPSDM Departemen Hukum dan HAM RI, Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara khususnya Bapak Untung Sugiyono, Bc.IP, SH, MH yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada penulis untuk memperoleh beasiswa penuh dalam mengikuti pendidikan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, juga kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Medan.

5. Bapak, Ibu seluruh pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan keterangan dan informasi berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan.

6. Seluruh rekan-rekan seperjuangan kelas khusus Hukum dan HAM.

7. Seluruh keluarga penulis, khususnya untuk anakku Bastanta Sena Patria dan Egy Aginta Syahputra yang merupakan sumber semangat bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Teristimewa untuk mentariku, yang tidak pernah letih mendampingi penulis dalam menghadapi masa sulit sehingga penulis tetap tegar sampai saat ini.

Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan. Namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarkatan.

Semoga Allas SWT memberikan berkah, karunia dan kekuatan lahir dan batin kepada kita semua.

Wassalamu’alaikum wr, wb.

Hormat penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Gayatri Rachmi Rilowati, Amd, IP, SH Tempat/Tgl Lahir : Banjarnegara/23 Oktober 1975

Agama : Islam

Pangkat : Penata (III/C)

NIP : 040070366

Jabatan : Kepala Kesatuan Pengamanan

Instansi : Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Medan

Pendidikan

1. SD tahun 1987

2. SMP tahun 1990

3. SMA tahun 1993

4. Akademi Ilmu Pemasyarakatan tahun 1996

5. S1 tahun 2001


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR ... iv

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian... 13

D. Manfaat Penelitian... 14

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15

1. Kerangka Teori... 15

2. Kerangka Konsepsi ... 21

G. Metode Penelitian... 24

1. Spesifikasi Penelitian ... 24

2. Sumber Data Penelitian... 25

3. Teknik Pengumpulan Data... 26


(12)

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETUGAS PEMASYARAKATAN DI DALAM UNDANG-UNDANG RI NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG

PEMASYARAKATAN ... 28 A. Konsep Perlindungan Hukum... 28 B. Perlindungan Hukum dalam Berbagai Peraturan

Perundang-undangan ... 32 C. Perlindungan Hukum terhadap Petugas Pemasyarakatan

di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan ... 52

BAB III PELAKSANAAN KEDUDUKAN DAN FUNGSI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETUGAS

PEMASYARAKATAN ... 62 A. Kedudukan dan Fungsi Pemasyarakatan Sebagai Bagian

dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu... 62 B. Tujuan Perlindungan Hukum Bagi Petugas

Pemasyarakatan ... 76 C. Kedudukan dan Fungsi Perlindungan Hukum Bagi

Petugas Pemasyarakatan... 82 BAB IV AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN DARI

KETIDAKJELASAN JAMINAN PERLINDUNGAN

HUKUM TERHADAP PETUGAS PEMASYARAKATAN .... 88 A. Pelaksanaan Tugas Perawatan Tahanan dan Pembinaan

Narapidana ... 88 B. Kebijakan-kebijakan yang Dilakukan dalam Pelaksanaan

Tugas Pemasyarakatan ... 109 C. Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Ketidakjelasan

Jaminan Perlindungan Hukum terhadap Petugas


(13)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 125

A. Kesimpulan ... 125

B. Saran... 127


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan kehidupan manusia baik dalam segi industri, ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan pada era sekarang ini sangat berpengaruh terhadap prikehidupan manusia sebagai makhluk pribadi (person) atau orang yang hidup, baik sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat, bangsa, dan negara secara universal. Hal lain yang paling sering menjadi obyek yang mendapat perhatian besar dan serius adalah masalah yang berkaitan dengan manusia yang mempunyai hak-hak dasar yang merupakan hak mutlak yang harus dilindungi, dijaga, dan harus dipertahankan, apalagi dalam suatu negara hukum.

Sistem peradilan pidana yang merupakan terjemahan dari criminal justice system secara singkat dapat diartikan sebagai suatu sistem dalam masyarakat yang digunakan untuk menanggulangi berbagai tindak kejahatan, sehingga hal tersebut dapat tetap terjaga sesuai dengan batas-batas toleransi masyarakat. Gambaran ini hanyalah salah satu dari tujuan sistem peradilan pidana yang ada secara universal, sehingga cakupan sistem peradilan pidana itu memang dapat dikatakan luas yaitu:

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b. Menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasa puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan pelaku kejahatan telah di pidana, dan


(15)

c. Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan itu tidak mengulangi lagi.142

Sebagai suatu sistem yang saling terkait, maka diharapkan adanya suatu kerjasama yang terintegrasi di antara perangkat-perangkat yang terkait di dalamnya. Jika terdapat kelemahan pada salah satu komponen yang ada di dalamnya, maka akan sangat mempengaruhi kinerja komponen lain dalam suatu sistem yang terintegrasi itu, bahkan kadang ada suatu kecenderungan yang kuat dalam suatu sistem peradilan pidana itu untuk memperluas komponen sistemnya, dalam pengertian law enforcement officer, yaitu sampai kepada pengacara atau advokat.143

Menurut Amir Syamsudin, penegakan hukum tidak mungkin terlepas dari pembicaraan atau pembahasan mengenai aparaturnya. Upaya penegakan hukum tentu saja harus ada aktornya. Sejauh ini ditemukan dan dirasakan fakta adanya penegakan hukum yang terus-menerus dilakukan, tetapi outputnya tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.

Kenapa hal ini terjadi? Hal ini dikarenakan gagalnya proses penegakan hukum yang dilakoni selama ini. Salah satu penyebab utama adalah integritas penegak hukum yang rendah.144

Ada empat faktor yang menandai kondisi gagalnya proses penegakan hukum di Indonesia. Pertama, ketidakmandirian hukum, Kedua, integritas penegak hukum

142 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Edisi

Pertama (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, 1994), hal. 85.

143 Ibid.

144 Amir Syamsudin, Integritas Penegak Hukum Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara,


(16)

yang buruk, Ketiga, kondisi masyarakat yang rapuh dan sedang mengalami Pseudoreformatif Syndrome, dan Keempat, pertumbuhan hukum yang mandek. Secara konkretnya, kegagalan proses penegakan hukum bersumber dari substansi peraturan perundang-undangan yang tidak berkeadilan, aparat penegak hukum yang korup, dan budaya masyarakat yang buruk serta lemahnya kelembagaan hukum.145

Untuk mencapai suatu suasana kehidupan masyarakat hukum yang mampu menegakkan kepastian hukum dan sekaligus mencerminkan rasa keadilan masyarakat maka diperlukan beberapa faktor.

1. Adanya suatu perangkat hukum yang demokratis (aspiratif).

2. Adanya struktur birokrasi kelembagaan hukum yang efisien dan efektif serta transparan dan akuntabel.

3. Adanya aparat hukum dan profesi hukum yang profesional memiliki integritas moral yang tinggi.

4. Adanya budaya yang yang menghormati, taat dan menunjang tinggi nilai-nilai hukum dan HAM menegakkan supremasi hukum (rule of law)146.

Bertolak dari pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti luas seperti dikemukakan di atas, maka “kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri”

artinya harus pula terwujud dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana. Artinya keseluruhan kekuasaan kehakiman dalam arti luas yaitu kekuasaan negara untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia, maka “kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri” harus pula terwujud dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana, artinya keseluruhan kekuasaan kehakiman di bidang penegakan hukum pidana (yaitu

145 Ibid.

146 Pakar Hukum Ikatan Alumni Universitas Airlangga Fakultas Hukum, Kapita Selekta Penegakan Hukum di Indonesia, (Surabaya: Prestasi Pustaka Publiser, 2006), hal. 20.


(17)

“kekuasaan penyidikan”, kekuasaan penuntutan”, “kekuasaan mengadili”, dan

“kekuasaan eksekusi pidana”, seharusnya merdeka dan mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah/eksekutif. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri harus terwujud dalam keseluruhan proses dalam sistem peradilan pidana (SPP) harus merdeka dan mandiri. Tidaklah ada artinya apabila kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri itu hanya ada pada salah satu sub sistem (yaitu pada sub sistem “kekuasaan mengadili”).147

Kebijakan pengembangan/peningkatan kualitas aparat penegak hukum tentunya terkait dengan berbagai aspek yang mempengaruhi kualitas aparat penegak hukum itu sendiri. Berbagai aspek itu dapat mencakup kualitas individual (SDM) kualitas institusional/kelembagaan, kualitas mekanisme tata kerja/manajemen, kualitas sarana/prasarana, kualitas substansi hukum/perundang-undangan, dan kualitas lingkungan (kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya, termasuk budaya hukum masyarakat). Dengan demikian upaya peningkatan kualitas aparat penegak hukum/penegakan hukum harus mencakup keseluruhan aspek/kualitas yang mempengaruhi kualitas penegakan hukum.

Pada prinsipnya dalam paham negara hukum “rechtstaat” terkandung asas

supremasi hukum (supremacy law) asas persamaan kedudukan di depan hukum bagi setiap orang (equality before the law) dan asas perlindungan terhadap hak asasi manusia.148

Dalam KUHAP dimuat ketentuan yang menjalin instansi-instansi penegak hukum dalam suatu hubungan kerjasama yang dititik beratkan bukan hanya untuk

147

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 35.

148 Marwan Efendi, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta:


(18)

menjernihkan tugas wewenang dan efisiensi kerja, tetapi juga diarahkan untuk terbina suatu tim aparat penegak hukum yang dibebani tugas dan tanggung jawab saling mengawasi dalam “sistem checking” antara sesama mereka. Bahkan sistem ini bukan hanya meliputi antara instansi pejabat lembaga pemasyarakatan, penasehat hukum, dan keluarga tersangka/terdakwa. Dengan adanya penggarisan penguasaan yang berbentuk checking, KUHP telah menciptakan dua bentuk sistem pengawasan dalam pelaksanaan penegakan hukum di negara Indonesia:149

Pertama; built in control pengawasan ini dilaksanakan berdasarkan struktural oleh masing-masing instansi menurut jenjang pengawasan (span of control) oleh atasan kepada bawahan. Pengawasan built in control merupakan pengawasan yang dengan sendirinya ada pada struktur organisasi jawatan.

Kedua; demi tercapainya penegakan hukum yang lebih bersih dan manusiawi, penegakan hukum harus diawasi dengan baik. Semakin baik dan teratur mekanisme pengawasan dalam suatu satuan kerja, semakin tinggi prestasi kerja. Karena dengan mekanisme pengawasan yang teratur, setiap saat dapat diketahui penyimpangan yang terjadi. Jika sedini mungkin penyimpangan dapat dimonitor, masih mudah untuk mengembalikan penyimpangan tersebut ke arah tujuan dan sasaran yanga hendak dicapai/sebenarnya.

Untuk memperkecil terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan penegakan hukum, KUHAP telah mengatur suatu sistem

149 Didin Sudirman, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum


(19)

pengawasan yang berbentuk “sistem checking” di antara sesama instansi. Malah di dalamnya ikut terlibat peran tersangka/terdakwa atau penasihat hukum. Sistem

checking ini merupakan hubungan koordinasi fungsional dan instansional. Hal ini berarti, masing-masing instansi sama-sama berdiri setaraf dan sejajar antara instansi yang satu dengan yang lain, tidak ada yang berada di bawah atau di atas instansi yang lain. Yang ada adalah “koordinasi pelaksanaan fungsi” penegakan hukum antara instansi. Masing-masing melaksanakan ketentuan wewenang dan tanggung jawab demi kelancaran dan kelanjutan penyelesaian proses penegakan hukum. Keterikatan masing-masing instansi antara yang satu dengan yang lain semata-mata dalam proses penegakan hukum. Kelambatan dan kekeliruan pada satu instansi dapat mengakibatkan rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penegakan hukum.150

Penekanannya dititik beratkan pada cita “cara pelaksanaan” aparat penegak hukum terhadap setiap manusia yang berhadapan dengan mereka. Setiap manusia, apakah dia tersangka atau terdakwa harus diperlakukan:

a. Sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan harga diri. Mereka bukan benda mati atau hewan yang boleh diperlakukan sesuka hati, mereka bukan barang dagangan yang dapat diperas dan dieksploitasi untuk memperkaya dan mencari keuntungan bagi pejabat penegak hukum.

150 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 48.


(20)

b. Mereka harus diperlakukan dengan cara yang manusiawi dan beradab. Tersangka dan terdakwa bukan binatang dan bukan sampah masyarakat yang dapat diperlakukan dengan kasar, kejam dan bengis, mereka adalah manusia yang harus diakui dan dihargai:

1. Sebagai manusia yang mempunyai derajat yang sama dengan manusia lain atau equal and dignitiy”.

2. Mempunyai hak perlindungan hukum yang sama dengan manusia selebihnya atau equal protection on the law.

3. Mempunyai hak yang sama di hadapan hukum, serta perlakuan keadilan yang sama di bawah hukum (equal before the law and equal justice under the law).151

Dengan landasan filosofis kemanusiaan diharapkan suatu penegakan hukum yang luhur dan berbudi yang menempatkan kedudukan aparat penegak hukum sebagai pengendali hukum demi mempertahankan perlindungan dan ketertiban masyarakat pada suatu pihak, dan pada pihak lain menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa sebagai subjek hukum yang berhak mempertahankan derajat martabatnya di depan hukum, dan aparat penegak hukum harus melindungi hak kemanusiaannya.

Budaya hukum merupakan unsur pendukung lain yang sangat erat kaitannya dengan penegakan hak asasi manusia di era globalisasi.

151 Ibid, hal. 23.


(21)

Budaya hukum (legal culture) merupakan salah satu unsur penting yang ada dalam rangka penegakan hukum. Selain struktur dan substansi hukum, untuk mengetahui mengapa legal culture sangat penting dalam menentukan suatu sistem hukum dapat berjalan atau tidak sebagaimana diharapkan oleh para pembuat sistem

hukum tersebut, maka dapat dilihat dari apa yang dikemukakan oleh Lawrence. M. Friedman, sebagai berikut:

Working legal system can be analyzed further into three kinds of components. Some are structural the institusion themselves, the from they take, the process that they perform: These are structure. Structure includes the number and the type of courts, presence of absence of constitusion, presence of absence of federalism pluralism, devision of power between judges legislator in various institusion, and the like. Other component are substantive, this is the out put side of the legal system. These are the laws them selvesthe rules doctrines, statutes, and decress to the extent they are actually used by the rules and ruled; And in addition, all other rules and the decisions which govern, whatever their formal statutes others elementsin in the systems are cultural. These are the values and attitudes whics binds the system together and wich determine the place of the legal system in culuire of a society as a whole. What kind of training and habbits do the lawyers and judges have…? What do

people thing of law?, do groups or individual willingly go to court? For what pur posedo people turn of lawyers, for what purpose do they make of other officials and inter mediarries? Islam there respect for law, govertmen traditions? what Islam the relationship between class structure and the use of legal instutions? who prefers which kind of controls and why.”152

Suatu sistem hukum yang bekerja dapat dianalisa lebih lanjut dalam 3 (tiga) komponen yakni: Pertama, struktural (structural) yaitu struktur atau bentuk lembaga dan institusi dari sistem hukum tersebut dan proses yang mereka jalankan. Struktur dapat berupa jumlah dan pengadilan yang ada. Kedua, substansi (substantif) di mana dari hasil (output) dari suatu sistem hukum yang merupakan sistem hukum itu sendiri

152 Lawrence M. Friedman, Legal Culture and Social Development, Law and Society Review 29, No. 1 August 1969, hal. 34.


(22)

yang terdiri dari aturan-aturan, doktrin sepanjang digunakan oleh yang mengatur dan yang diatur. Ketiga, (cultural) atau kebudayaan yang merupakan nilai-nilai dan cara pandang yang menyatukan sistem tersebut dan yang menentukan di mana sistem hukum itu diletakkan dalam kebudayaan atau masyarakat secara keseluruhan, seperti pendidikan dan kebiasaan apa yang dipunyai oleh para ahli hukum dan apa pendapat masyarakat tentang hukum.153

Pemasyarakatan sebagai tujuan pidana diartikan sebagai pemulihan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan yang hakiki, yang terjadi antara individu pelanggar hukum dengan masyarakat serta lingkungan kehidupannya.154

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.155

Sistem pemasyarakatan dalam pelaksanaannya untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan kembali ketengah-tengah masyarakat dengan baik. Ada tiga peran yang saling berkaitan dan sangat penting untuk mencapai keberhasilan dalam proses pembinaan dan bimbingan tersebut yaitu, narapidana itu sendiri, masyarakat dan petugas.156

153 Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Pidato

Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tanggal 17 April 2004.

154 Farhan Hidayat, Pemasyarakatan Sebagai Upaya Perlindungan terhadap Masyarakat,

Warta Pemasyarakatan Nomor 19 Tahun VI September 2005, hal. 27.

155 Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.


(23)

Menurut teori Leo Fonseka ada tiga pilar utama di dalam pembangunan nasional yaitu pemerintahan, swasta, dan masyarakat. Maka dengan sistem pemasyarakatan Indonesia (sipasindo) juga ada tiga pilar utama di dalam

“membangun manusia mandiri”. Ketiga pilar tersebut adalah masyarakat, petugas pemasyarakatan dan narapidana, di antara ketiganya harus saling terkait dan saling menjaga keseimbangan di dalam memecahkan suatu permasalahan yang ada, khususnya membangun manusia mandiri di lingkungan permasyarakatan the more

internal balanced and independent the three are the better it is for the society”.157

Kualitas petugas termaksud di dalamnya kualitas kesejahteraan merupakan satu hal yang sangat dominan dalam mempengaruhi kinerja pemasyarakatan. Kualitas petugas yang baik akan meningkatkan kinerja organisasi, sebaliknya kualitas petugas yang rendah berdampak pada buruknya kinerja organisasi.158

Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil yang layak dalam hubungan kerja.159

The Implementation Standard Minimum Rules For The Treatment of Prisoners, menyatakan bahwa syarat yang harus dimiliki petugas pemasyarakatan adalah integritas moral, profesionalisme, rasa kemanusiaan dan kecocokan pekerjaan itu dengan hati nuraninya. Karena itu upaya yang harus ditempuh dalam manajemen pemasyarakatan adalah menciptakan kondisi kondusif bagi terbentuknya petugas

157 Adi Sujatno, Pencerahan di Balik Penjara, Warta Pemasyarakatan Nomor 25 Tahun

VIII-Juni 2007, hal. 26.

158 Adi Sujatno, Loct.cit, hal. 27

159 Lihat Pasal 28 d ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Tahun 1945,


(24)

yang memenuhi persyaratan tersebut, melalui proses rekruitmen, pendidikan, dan latihan, pembinaan karir dan lain sebagainya.160

Secara ideal, proses akomodasi harus berlangsung dengan sistem formal, di mana pada intinya tukar menukar kepentingan dilandasi aturan yang berlaku. Hak-hak penghuni yang dijamin undang-undang dijadikan modus/sarana terciptanya kondisi dan perilaku yang diinginkan (conditioning operant) dalam kondisi inilah fungsi penjara (Lembaga Pemasyarakatan) dapat diharapkan sebagai tempat untuk mengubah tingkah laku penghuninya dari yang tidak baik menjadi perilaku yang terpuji.

Secara faktual kondisi ideal proses akomodasi yang berlangsung dengan sistem formal yang pada intinya merupakan tukar menukar kepentingan dilandasi aturan yang berlaku tersebut seringkali sulit dicapai, karena berbagai alasan, antara lain masih rendahnya kualitas dan kesejahteraan petugas, dan sisi lain adanya kecenderungan status sosial ekonomi narapidana yang makin tinggi.161

Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan hukum pidana atau asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan sistem pemasyarakatan melalui pendidikan, rehabilitas, dan reintegrasi. Sejalan dengan peran lembaga pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila petugas pemasyarakatan dalam melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan terhadap warga binaan pemasyarakatan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ditetapkan sebagai pejabat fungsional penegak hukum.162

160 David J. Cooke, Pamela, Baldwin Jaqueline Howinson, Menyingkap Dunia Gelap Penjara

(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 7.

161 Ibid.

162 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung: PT Refika


(25)

Pemasyarakatan yang merupakan bagian akhir sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana adalah bagian integral dari tata peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), dengan demikian pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem kelembagaan, cara pembinaan, dan petugas pemasyarakatan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu rangkaian proses penegakan hukum.163

Mengingat tugas dan tanggung jawab petugas pemasyarakatan yang demikian berat adalah suatu hal yang wajar apabila diciptakan peraturan sebagai payung hukum bagi setiap tindakan yang dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. Tidak hanya hak-hak para tahanan dan narapidana yang harus dilindungi, tetapi hak-hak dari para petugas pelaksana terutama hak untuk mendapatkan perlindungan dan memperoleh kenyamanan dalam bekerja juga tidak bisa diabaikan.

Perlindungan hukum bagi petugas pemasyarakatan merupakan hal yang sangat esensial. Perlindungan yang dimaksud bukan berarti menyebabkan petugas tersebut menjadi kebal hukum, akan tetapi bertujuan agar si petugas tersebut mampu lebih bertanggung jawab dalam menjalankan kewajibannya dengan maksimal. Perlindungan hukum tersebut juga merupakan suatu upaya bagi suatu instansi dalam melindungi petugasnya dari kemungkinan intervensi terlalu jauh dari pihak lain.

163 Ibid, hal. 109.


(26)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana peraturan perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan di dalam pelaksanaan tugas?

2. Bagaimana pelaksanaan kedudukan dan fungsi perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan?

3. Bagaimana akibat hukum yang timbul dari ketidakjelasan jaminan perlindungan hukum petugas pemasyarakatan di dalam UU RI No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan di dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan kedudukan dan fungsi perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan.

3. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari ketidakjelasan jaminan perlindungan hukum petugas pemasyarakatan di dalam UU RI No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.


(27)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat melalui sumbangsih pemikiran di bidang penegakan hukum khususnya mengenai pemasyarakatan.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam penyusunan rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan yang baru.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai analisis Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan belum pernah dilakukan pada topik dan permasalahan yang sama.

Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara akademis.


(28)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Di tengah kehidupan masyarakat yang bebas bergerak, ada sebagian anggota masyarakat yang terkungkung hidup dalam suatu lembaga untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya karena anggota masyarakat tersebut telah melakukan tindak pidana sehingga harus ditahan di Rumah Tahanan Negara dan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan.

Kehidupan di dalam Lembaga Pemasyarakatan adalah merupakan miniatur dari kehidupan di dalam masyarakat dalam umumnya. Greenberg, di dalam bukunya correction and punishment 1977 mengatakan bahwa penjara adalah miniatur kehidupan nyata. Sementara itu menurut David J Ruthman keberadaan penjara adalah sebuah tuntutan masyarakat agar masyarakat luar bisa bebas dari kejahatan.164

Dalam suasana di mana para penghuni mempunyai sikap tingkah laku serta latar belakang kehidupan yang beraneka ragam, petugas meletakkan dirinya ditengah kehidupan tersebut, untuk menyelaraskan, mencari harmoni, sehingga dapat menerapkan suatu perlakuan (treatment) yang tidak bertentangan dengan martabat kemanusiaan di samping itu petugas harus pula menyelaraskan tindakan, perlakuan pembinaan yang sesuai dengan ketentuan hukum maupun keselarasan dengan kehendak masyarakat.

164 Susy Susilawati, Penyimpangan Beberapa Norma Kehidupan Ditinjau dari Sudut Sosiologi Hukum dalam Pelaksanaan Pengamanan/Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan,


(29)

All members of the personel shall at times so conduct themselves and perform their duties as to influence the prisoners for good by their example and to command their respect.165

Semua anggota personil harus selalu menjaga perilaku mereka dalam melaksanakan tugas sehingga dapat memberi pengaruh baik kepada narapidana melalui contoh yang baik, dan untuk membangkitkan sikap menghargai mereka. Perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana terpadu merupakan hal yang sangat esensial dalam menunjang pelaksanaan tugas pada umumnya dan penegakan hukum pada khususnya.166

Di dalam sistem peradilan pidana ini terkandung gerak sistemik dari komponen-komponen pendukungnya yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan totalitas berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi sasaran kerja sistem peradilan pidana, yaitu sasaran jangka menengah adalah pencegahan kejahatan serta tujuan jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat.167

Pendekatan dengan teori sistem peradilan pidana dianggap perlu oleh karena dalam hal penanganan tindak pidana tersebut keterkaitan dan keterpaduan dalam setiap tahapan proses pemeriksaan mulai dari proses penyelidikan (kepolisian),

165

Lihat Pasal 48, Standard Minimum Rules For The Treatment of Prisonners.

166 Didin Sudirman, Op.Cit, hal. 61.

167 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:


(30)

penuntutan (kejaksaan), pemeriksaan persidangan (pengadilan), hingga pemindahan (lembaga pemasyarakatan).168

Sistem peradilan pidana yang digariskan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan sistem terpadu (integrated criminal justice system).169 Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan prinsip diferensiasi fungsional diantara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan Undang-Undang kepada masing-masing.

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.170

Sistem pemasyarakatan juga beranggapan bahwa hakekat perbuatan melanggar hukum oleh Warga Binaan Pemasyarakatan adalah cerminan dari adanya keretakan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan antara yang bersangkutan dengan masyarakat di sekitarnya.171

Lembaga Pemasyarakatan diharapkan dapat menampilkan fungsi yang diharapkan antara lain:172

a. Merupakan komunitas yang teratur dengan baik seperti: tidak membahayakan nyawa, kesehatan dan integritas personal.

168 Ibid.

169

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 90.

170 Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 171 Adi Sujatno, Sistem Pemasyarakatan Indonesia, (Jakarta: Montas ad, 2004), hal. 14. 172 Didin Sudirman, Op.Cit, hal. 62.


(31)

b. Kondisinya tidak menambah kesulitan yang dialami narapidana akibat pemidanaan.

c. Aktivitas di dalamnya sebanyak mungkin membantu kembali ke masyarakat setelah menjalani pidananya.173

Kenyataan menunjukkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan belum sepenuhnya mampu menunjukkan fungsi yang ideal. Berbagai aspek dan kondisi dalam Lembaga Pemasyarakatan sangat potensial menimbulkan pelanggaran HAM, antara lain over kapasitas, kualitas penghuni yang berubah dari kejahatan transnasional, dan terbatasnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia.174

Petugas pemasyarakatan adalah abdi Negara dan abdi masyarakat, yang dalam pelaksanaan tugasnya wajib menghayati dan mengamalkan tugas-tugas pembinaan pemasyarakatan dengan penuh tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan pemasyarakatan yang berdaya guna, tepat guna dan berhasil guna. Petugas harus

173

Membuat Standard-standard Bekerja, Sebuah Buku Panduan Internasional Mengenai Praktek Pemenjaraan yang Baik (Penal Reform International), hal. 13.

Contoh prinsip fundamental dalam SMR termaksud sebagai berikut:

a. Penjara harus merupakan komunitas yang teratur dengan baik, sebagai contoh, haruslah merupakan tempat yang tidak membahayakan nyawa, kesehatan, dan integritas personal; b.Penjara haruslah merupakan tempat dimana tidak ditunjukkan diskriminasi dalam

penanganan tahanan;

c. Ketika pengadilan menjatuhkan bagi seorang pelanggar hukum dengan pemenjaraan, maka akan menghasilkan sebuah hukuman yang secara ekstrim menyusahkan dan tak terelakkan. Kondisi penjara tidak boleh menambah berat kesulitan ini;

d.Aktivitas penjara haruslah terfokus sebanyak mungkin dalam membantu para tahanan untuk dapat kembali ke masyarakat setelah menjalani hukumannya. Karena alasan ini, aturan dan rezim penjara tidaklah boleh membatasi kebebasan. Kontak sosial dan kemungkinan pengembangan personal para tahanan lebih dari yang dibutuhkan. Aturan dan rezim penjara haruslah kondusif untuk penyesuaian dan integrasi dalam kehidupan masyarakat normal.

174 http://www.Google, Perlindungan Hukum, Suaeb, Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia dalam Institusi Pemasyarakatan, diakses tanggal 11 September 2008.


(32)

memiliki kemampuan profesional dan moral.175 Dalam melaksanakan kewajiban mereka, para petugas penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat manusia, menjaga dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia semua orang.176

Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (Rechgerechtigheid), kepastian hukum (Rechtszekerheid), dan kemanfaatan (Rechtsutiliteit).177

Unsur-unsur sistem hukum menurut Lawrence Friedman yaitu: 1. Substance (substansi hukum).

2. Structure (struktur hukum). 3. Culture (budaya hukum).178

Substansi hukum meliputi aturan, norma dan pola perilaku manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi hukum tidak hanya menyangkut peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam kitab-kitab hukum (law in book) tetapi juga ada hukum yang hidup (living law) termaksud di dalamnya “produk” yang dihasilkan oleh orang-orang yang berada dalam sistem itu. Misalnya keputusan-keputusan yang mereka keluarkan dan aturan-aturan yang mereka susun. Struktur dari sistem hukum terdiri dari unsur-unsur jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksi tiap-tiap peradilan

175 Adi Sujatno, Op.Cit, hal. 18.

176 Lihat Pasal 2 Aturan Tingkah Laku Bagi Petugas Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials).

177

Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 85.

178 Bismar Nasution dan Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum Kelas Pararel A dan B Program Studi Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(33)

dan upaya-upaya hukum. Struktur hukum juga menyangkut penataan badan-badan penegak hukum lainnya seperti jaksa, polisi, pengacara dan badan-badan lainnya.

Suatu unsur yang sangat penting dalam struktur hukum adalah, bagaimana agency-agency/organ-organ/pejabat-pejabat yang melaksanakan fungsi struktural tersebut diawasi dengan sebuah sistem pengawasan yang memadai. Budaya hukum menyangkut sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum. Bisa meliputi persoalan-persoalan kepercayaan, nilai, pemikiran, dan harapan manusia terhadap hukum dan sistem hukum. Budaya hukum dapat diartikan sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalah gunakan.

Penegakan hukum dan ketertiban terkait erat dengan profesionalisme lembaga orang-orang yang berada pada sistem peradilan dan hukum di Indonesia.179

Cukup lama sebagian masyarakat merasakan dan mengalami kasus-kasus ketidak adilan pada sistem peradilan. Tidak sedikit pihak yang memanfaatkan kelemahan-kelemahan sistem yang saat ini berlaku. Untuk itu, pengabdian para penegak hukum yang bersih dan tulus perlu ditingkatkan agar benteng keadilan ini benar-benar mampu menjalankan peranannya sesuai dengan tuntutan rakyat. Sebaliknya perlu tindakan yang tegas dan keras bagi mereka yang sengaja melanggar dan menyelewengkan hukum.

Dalam pemikiran sociological Jurisprudence, Roscoe Pound (1870 – 1964), ditegaskan bahwa kehidupan hukum terletak pada pelaksanaannya.180


(34)

Pound melihat dan memahami hukum sebagai pengatur dan pendamai dari konflik keinginan. Hukum merupakan alat untuk mengontrol keinginan sesuai dengan prasyarat kepatuhan sosial.181

Pandangan modern tentang peranan hukum sebagai sarana pembangunan digambarkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan mengatakan, bahwa hukum itu mempunyai dua fungsi yakni sebagai sarana ketertiban masyarakat (menjamin adanya ketertiban dan kepastian) dan sarana perubahan masyarakat.182

Menurut Andi Matalatta hukum mempunyai peranan yang penting serta mempunyai arti sangat strategis dalam semua aspek kehidupan, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. “Oleh karena itu, hukum harus dibangun agar dapat menjadi sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat”.183

2. Kerangka Konsepsi

Petugas Pemasyarakatan adalah pegawai pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan.184 Pemasyarakatan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana adalah bagian integral dalam tata peradilan terpadu (Integrated Criminal Justice System).185

180 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000), hal. 298.

181 Loc.Cit.

182 Loc.Cit. hal. 199.

183 Andi Matalatta, Tingkatkan Profesionalisme Aparatur Hukum, Pidato Pada Upacara

Pemberian Remisi di LP Cipinang pada Tanggal 17 Agustus 2008.

184 Lihat Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.


(35)

Narapidana adalah terpidana yang mengalami pidana hilang kemerdekaan di LAPAS. 186

Tahanan adalah setiap orang yang dimasukkan ke dalam rumah tahanan (Rutan) karena disangka/diduga melakukan tindak pidana guna kepentingan proses hukum (penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan), namun kasusnya belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap dari pengadilan.187

Perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada petugas pemasyarakatan di bidang hukum pidana dalam melaksanakan tugas penegakan hukum.188

Pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem, kelembagaan, cara pembinaan, dan petugas pemasyarakatan, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari satu rangkaian proses penegakan hukum.

Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan “sistem terpadu” (Integrated Criminal Justice System). Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan prinsip diferensiasi fungsional diantara aparat penegak hukum

sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-masing.189

Menurut M. Yahya Harahap kegiatan “sistem peradilan” didukung empat fungsi utama yaitu:190

186 Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 187

Didin Sudirman, Reposisi dan Revitalisasi, Op.Cit, hal. 40.

188 Ibid, hal. 41.

189 M. Yahya Harahap, Op.Cit. hal. 90. 190 Ibid.


(36)

a. Fungsi pembuatan Undang-Undang (law making function). b. Fungsi penegakan hukum (law enforcement function). c. Fungsi pemeriksaan persidangan peradilan.

d. Fungsi memperbaiki terpidana.

Penegakan hukum ditinjau dari pendekatan tata tertib sosial (social order), mempunyai tujuan objektif:

1. Penegakan hukum secara aktual (the actual enforcement law) meliputi tindakan: a. Penyelidikan – Penyidikan (investigation).

b. Penangkapan (arrest) penahanan (detention). c. Persidangan pengadilan (trial) dan

d. Pemidanaan (punishment) – Pemenjaraan guna memperbaiki tingkah laku individu terpidana (correcting the behaviour of individual offender).

2. Efek preventif (preventive effect)

Fungsi penegakan hukum diharapkan mencegah orang (anggota masyarakat) melakukan tindak pidana, meliputi fungsi:

1. Fungsi pemeriksaan sidang pengadilan (function of adjudication).

Fungsi ini merupakan sub fungsi dari kerangka penegakan hukum yang dilaksanakan oleh jaksa penuntut umum dan hakim serta pejabat pengadilan terkait.

2. Fungsi memperbaiki terpidana (the function of correction). Fungsi ini meliputi aktifitas, pelayanan sosial, dan lembaga kesehatan mental. Tujuan umum semua lembaga yang berhubungan dengan penghukuman dan pemenjaraan terpidana adalah merehabilitasi pelaku pidana (to rehabilitate the offender). Agar dapat


(37)

kembali menjalani kehidupan normal dan produktif (return to a normal and productive life).

G. Metode Penelitian

Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta masalah penelitian, sangat ditentukan metode yang digunakan dalam penelitian, dapat dikutip pendapat Soerjono Soekanto mengenai penelitian hukum, sebagai berikut:

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang

mendalam terhadap fakta hukum tersebut kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.191

1. Spesifikasi Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis. Soerjono Soekanto mengemukakan, “penelitian deskriptif analitis” adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistemik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan fenomena yang diselidiki.192

Penelitian ini hanya menggambarkan situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan, dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu kualifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.

191 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hal. 36. 192 Soerjono Soekanto, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1998), hal. 3.


(38)

Pengumpulan data dengan cara deskriptif ini dilakukan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan sebagai salah satu cara mengumpulkan data didasarkan pada buku-buku literatur yang telah disediakan terlebih dahulu yang tentunya berkaitan dengan tesis ini, untuk memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah sebagai perbandingan maupun petunjuk dalam menguraikan bahasan terhadap masalah yang dihadapi. Selanjutnya penelitian mengumpulkan dan mempelajari beberapa tulisan yang berhubungan dengan topik tesis ini.

2. Sumber Data Penelitian

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi:193

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hukum petugas pemasyarakatan, yaitu Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

193 Penelitian Normatif Data Sekunder Sebagai Bahan/Sumber Informasi Dapat Merupakan

Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder dan Bahan Hukum Tertier. Bambang Waluyo,


(39)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar hukum serta bahan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian. c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau surat kabar, sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.194

3. Teknik Pengumpulan Data

Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini maka pengumpulan data akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui literatur, yakni dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan tentang pemasyarakatan dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan materi penelitian.

4. Metode Analisis Data

Metode analisis data digunakan untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul, di mana pada penelitian ini digunakan metode normatif kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai normatif hukum positif sedangkan kualitatif, dimaksudkan analisis data yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas-asas dan informasi-informasi. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat

194 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja


(40)

menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.


(41)

BAB II

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETUGAS PEMASYARAKATAN DI DALAM UNDANG-UNDANG RI NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

A. Konsep Perlindungan Hukum

Asas-asas perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan harus bersumber dari Pancasila sebagai landasan idiil (filosofis), UUD 1945 sebagai asas konstitusional (struktural), dan Undang-Undang sebagai asas operasional (teknis). Asas-asas tersebut memiliki tingkat-tingkat dilihat dari gradasi sifatnya yang abstrak.195 Dalam Pancasila konsep perlindungan hukum mempunyai landasan idiil (filosofis) hukumnya pada sila ke 5 yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Pengertian keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia di dalamnya terkandung suatu “hak” seluruh rakyat Indonesia untuk diperlakukan sama (equality) di depan hukum. Hak adalah suatu kekuatan hukum, yakni hukum dalam pengertian subyektif yang merupakan kekuatan kehendak yang diberikan oleh tatanan hukum. Oleh karena hak dilindungi oleh tatanan hukum maka pemilik hak memiliki kekuatan untuk mempertahankan haknya dari gangguan/ancaman dari pihak manapun juga.196 Apabila pihak lain melanggar hak tersebut, maka akan menimbulkan gugatan/ tuntutan hukum dari si pemilik hak, yang diajukan ke hadapan aparat penegak

195

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 14-18.

196 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, Terjemahan Raisul


(42)

hukum.197 Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali berhak memperoleh keadilan. Petugas pemasyarakatan sebagai aparatur negara yang melaksanakan pembinaan yang melaksanakan pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, juga berhak memperoleh keadilan dalam konteks perlindungan hukum tersebut. Konsep perlindungan hukum juga memperoleh landasan konstitusional (struktural) dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea ke 4 (setelah empat kali mengalami amandemen) yang menyatakan sebagai berikut:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang didasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi atau keadilan sosial……”

Dari kutipan di atas, ada dua kata yang menjadi landasan konstitusional bagi lahirnya konsep perlindungan hukum yaitu kata “segenap bangsa” dan kata

“melindungi”. Dari dua kata ini terkandung asas perlindungan (hukum) pada segenap bangsa tanpa terkecuali, baik laki-laki ataupun perempuan, orang kaya atau miskin, orang kota atau desa, orang Indonesia asli atau keturunan, anggota TNI/Polri, Jaksa, Hakim, Pengacara, Petugas pemasyarakatan termasuk seluruh lapisan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan/pekerjaan/tugas sehari-hari.198 Perlindungan hukum bagi seluruh lapisan masyarakat terdiri dari dua bagian besar yaitu:199

197

Ibid.

198 Lihat AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit

Media, 2002), hal. 31.


(43)

a. Perlindungan hukum aktif yang dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar.

b. Perlindungan hukum pasif yang dimaksudkan mengupayakan pencegahan atas upaya yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil. Usaha mewujudkan perlindungan hukum ini termasuk di dalamnya adalah: 1) Mewujudkan ketertiban dan ketentraman.

2) Mewujudkan kedamaian sejati.

3) Mewujudkan keadilan bagi seluruh warga masyarakat. 4) Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Kedamaian sejati dapat terwujud apabila warga masyarakat telah merasakan baik lahir maupun batin penerapan perlindungan hukum yang berkeadilan sosial. Begitu juga dengan ketentraman dianggap sudah ada jika warga masyarakat merasa yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak tergantung pada kekuatan fisik maupun non fisik belaka.200 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep perlindungan hukum mempunyai makna yaitu “Segala daya upaya yang menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali”.201 Kesewenang-wenangan bertindak dalam pergaulan hidup di masyarakat merupakan musuh terbesar dari hukum yang bertujuan untuk

200

Dudu Dusuna, Mahjudin, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, (Bandung: Refika Aditama, 2000), hal. 26-27.

201 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:


(44)

menciptakan perdamaian dan keamanan dalam masyarakat.202 Dengan terjadinya kesewenang-wenangan dalam pergaulan hidup di masyarakat, maka perlindungan hukum dalam praktek pelaksanaannya tidak berjalan secara efektif dan efisien. Kesewenang-wenangan mengindikasikan adanya perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain dalam interaksi sosial. Semakin tinggi frekuensi kesewenang-wenangan yang terjadi dalam masyarakat maka semakin menipis kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai suatu rangkaian peraturan yang mengatur tingkah laku dan perbuatan manusia dalam hidup bermasyarakat.

Perlindungan hukum dapat berlangsung efektif dan efisien apabila hukum diposisikan sebagai panglima dalam suatu negara. Artinya hukum sebagai panglima mengandung unsur supremasi hukum dalam praktek pelaksanaannya dan aparatur penegak hukum menjadikan supremasi hukum sebagai landasan penyelenggaraan negara termasuk memelihara dan melindungi hak-hak warga negaranya. Jhon Locke menyatakan bahwa untuk menjadikan hukum sebagai supremasi dalam melindungi hak-hak masyarakat dalam suatu negara harus berisi 3 unsur penting yaitu:203

a. Adanya hukum yang mengatur bagaimana anggota masyarakat dapat menikmati hak azasinya dengan damai.

202 Koento Wibosono Siswonihardjo, Supremasi Hukum dalam Negara-negara Demokrasi Menuju Indonesia Baru Kajian Filosofi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 67-69.


(45)

b. Adanya suatu badan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa yang timbul antara pemerintah (vertical dispute) atau sesama anggota masyarakat (horizontal dispute).

c. Masyarakat tidak lagi diperintah berdasarkan kediktatoran, tetapi diperintah berdasarkan hukum.

Inti dari gagasan Jhon Locke ini menyiratkan bahwa penghormatan terhadap supremasi hukum tercermin dari adanya hukum secara substantif (Law and paper) dan kondisi hukum oleh badan-badan peradilan (Law in action). Suatu negara dapat dikatakan negara hukum yang berhasil melaksanakan perlindungan hukum bagi seluruh lapisan masyarakatnya apabila supremasi hukum telah dijadikan landasan dalam penyelenggaraan negara, dan peraturan perundang-undangan tidak hanya sebatas hukum yang dibuat secara teori di atas kertas, tetapi bagaimana hukum tersebut telah dilaksanakan dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

B. Perlindungan Hukum dalam Berbagai Peraturan Perundang-undangan

1. Perlindungan Hukum di dalam Undang-Undang Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia

Setiap tindakan atau perbuatan aparatur negara harus berdasarkan ketentuan Undang-undang yang berlaku. Undang-undang hanya menetapkan batas-batas dan aparatur negara bebas mengambil keputusan apa saja sepanjang tidak melampaui/


(46)

melanggar batas-batas tersebut.204 Tindakan/perbuatan aparatur negara yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu

kewenangan/kekuasaan yang sah dari aparatur negara dalam melaksanakan tugasnya. Kewenangan/kekuasaan dari aparatur negara tersebut akan memperoleh

perlindungan hukum dari undang-undang yang berkaitan dengan tugas-tugas aparatur negara tersebut. Perlindungan hukum terhadap tindakan/perbuatan aparatur negara yang diberikan oleh undang-undang adalah yang berkaitan dengan tugas dan jabatan sebagai penegak hukum untuk menjamin keamanan secara pribadi maupun korps/kesatuan/instansi aparatur negara yang bersangkutan dari perlawanan/ tuntutan/ gugatan pihak manapun juga. Tindakan/perbuatan aparatur negara yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan tindakan/ perbuatan yang sah/legal dalam kaitan dengan pelaksanaan tugas dan jabatannya. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindakan atau perbuatan aparatur negara merupakan payung hukum yang melindungi aparatur negara tersebut dalam melaksanakan tugas dan jabatannya.205

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diundangkan pada tanggal 8 Januari 2002, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, merupakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ini menggantikan

204 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983),

hal. 22.


(47)

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 1997, Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3710. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 telah memuat pokok-pokok mengenai tujuan, kedudukan, peranan, dan tugas serta pembinaan profesionalisme Kepolisian, tetapi rumusan ketentuan yang tercantum di dalamnya masih mengacu kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988 Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3369. Perubahan terhadap Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia ini dimaksudkan untuk menghapuskan watak militer yang masih terasa dominan pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 diharapkan dapat memberi penegasan watak Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam tribrata dan catur prasatya sebagai sumber nilai kode etik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang diayominya.206

206 Penjelasan Umum Angka I, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.


(48)

Perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebaknya fenomena supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas, telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya menyebabkan pula tumbuhnya berbagai tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya.

Sejak ditetapkannya Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, maka secara konstitusional telah terjadi perubahan yang menegaskan rumusan tugas, fungsi, dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia serta pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing.

Undang-undang ini telah didasarkan kepada paradigma baru sehingga diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan peranan serta pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai bagian integral dari reformasi menyeluruh segenap tatanan kehidupan bangsa dan negara dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


(49)

Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Namun, dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa melalui pengembangan asas subsidiaritas dan asas partisipasi207. Asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma supremasi hukum, dalam Undang-Undang ini secara tegas dinyatakan dalam perincian kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Namun, tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri.208

207 Penjelasan Umum Angka I Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.


(50)

Oleh karena itu, Undang-Undang ini mengatur pula pembinaan profesi dan kode etik profesi agar tindakan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat dipertanggungjawabkan, baik secara hukum, moral, maupun secara teknik profesi dan terutama hak asasi manusia.

Begitu pentingnya perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia karena menyangkut harkat dan martabat manusia, Negara Republik Indonesia telah membentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib mempedomani dan menaati ketentuan Undang-Undang di atas.

Di samping memperhatikan hak asasi manusia dalam setiap melaksanakan tugas dan wewenangnya, setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib pula memperhatikan perundang-undangan yang berkaitan dengan tugas dan wewenangnya, antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, ketentuan perundang-undangan yang mengatur otonomi khusus, seperti Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua serta peraturan perundang-undangan lainnya yang menjadi dasar hukum pelaksanaan tugas dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang ini menampung pula pengaturan tentang keanggotaan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh


(51)

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890) yang meliputi pengaturan tertentu mengenai hak anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia baik hak kepegawaian, maupun hak politik, dan kewajibannya tunduk pada kekuasaan peradilan umum.

Substansi lain yang baru dalam Undang-Undang ini adalah diaturnya lembaga kepolisian nasional yang tugasnya memberikan saran kepada Presiden tentang arah kebijakan kepolisian dan pertimbangan dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sesuai amanat Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, selain terkandung pula fungsi pengawasan fungsional terhadap kinerja Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga kemandirian dan profesionalisme Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat terjamin.

Dengan landasan dan pertimbangan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dalam kebulatannya yang utuh serta menyeluruh, diadakan penggantian atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang tidak hanya memuat susunan dan kedudukan, fungsi, tugas dan wewenang serta peranan kepolisian, tetapi juga mengatur keanggotaan, pembinaan profesi, lembaga kepolisian nasional, bantuan dan hubungan serta kerja sama dengan berbagai pihak baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Meskipun demikian, penerapan Undang-Undang ini akan ditentukan oleh komitmen para pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap pelaksanaan


(52)

tugasnya dan juga komitmen masyarakat untuk secara aktif berpartisipasi dalam mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mandiri, profesional, dan memenuhi harapan masyarakat.

Kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 merupakan kekuasaan berdasarkan hukum yang diberikan kepada aparatur negara (Kepolisian) dalam melaksanakan tugas-tugasnya untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta melindungi/mengayomi, dan melayani masyarakat.209

Dalam Pasal 15 ayat (1) butir a sampai dengan m ditegaskan kewenangan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut:

a. menerima laporan dan/atau pengaduan;

b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;

f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. mencari keterangan dan barang bukti;

j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

209 Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.


(1)

3. Agar kedudukan instansi pemasyarakatan lebih powerful, sudah saatnya dilakukan amandemen Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 agar posisinya tidak hanya semata-mata sebagai bagian akhir dari sistem peradilan pidana terpadu dalam arti sempit, akan tetapi merupakan bagian integral (tidak terpisahkan) dari sistem peradilan pidana terpadu dalam arti luas, yang bergerak dari mulai proses pra ajudikasi, ajudikasi sampai ke post ajudikasi.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abdussalam, HR., Prospek Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Restu Agung, 2006. Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Badrulzaman, Mariam Darus, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung:

Alumni, 1986.

Bachsan, Mustafa, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003.

Bahroedin, Surjobroto, Pemasyarakatan, Masalah dan Analisa, Majalah Risma Edisi Nomor 5, Jakarta: LP3ES, 1984.

Borker, Joel Arthur, Paradigma, Upaya Menemukan Masa Depan, Terjemahan Moh. Anwar, Batam: Interaksara, 1999.

Cooke, David J Baldwin Pamela, Howison Jaqueline, Menyingkap Dunia Gelap

Penjara, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Dusuna, Dudu, Mahjudin, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, Refika Aditama, Bandung: 2000.

Efendi, Marwan, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Friedman, M. Mawrence, Legal Culture and Social Development, Law and Society

Review 29, 1969.

Hamid, S. Atamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia, Suatu Sisi Ilmu

Pengetahuan Perundang-undangan Indonesia yang Menjelaskan dan Mencerminkan, (Pidato Pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada

Fak. Hukum Universitas Indonesia), Jakarta: 1992.

Hamidjojo, Budiono Kusumo, Ketertiban yang Adil, Problematik Filsafat Hukum, Jakarta: Grasindo, 1999.


(3)

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan

dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Hulsman, LHC, Selamat Tinggal Hukum Pidana Menyusun Regulasi, Diterjemahkan oleh Wonosutanto, Semarang: Universitas Sebelas Maret, Press, 1995.

Kartono, Sumarjati, Apakah The Rule of Law itu, Bandung: Alumni, 1969.

Kelsen, Hans, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, Terjemahan Raisul Muttaqien, Bandung: Nusa Media, dan Muansa, 2006.

Kusumaatmadja, Mochtar, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum, Bandung: Bina Cipta, 1996.

Locke, Jhon, Second Treatise of Governement, 1690.

Manan, Abdul, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Jakarta: Preneda Media, 2006.

Meliala, Adrianus, Diktat Kebijaksanaan Kriminal, Jakarta: Universitas Indonesia, Program PascasarjanaBidang Ilmu Sosial, 1998.

Membuat Standard-standard Bekerja, Sebuah Buku Panduan Internasional Mengenai

Praktek Pemenjaraan yang Baik (Penal Reform International).

Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie center, 2002.

Muladi & Nawawi Barda A., Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Amrico, 1984.

Naning, Ramdlon, Cita dan Citra Hak-hak Azasi Manusia di Indonesia, Jakarta: Lembaga Kriminologi UI, 1983.

Nasution, AZ., Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta : Diadit Media, 2002.

Nawawi, Arief Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 1996.

________, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam


(4)

Notohamidjoyo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, Jakarta: BPK Gunung Mukam, 1975.

Pakar Hukum Ikatan Alumni Universitas Airlangga Fakultas Hukum, Kapita Selekta

Penegaan Hukum di Indonesia. Surabaya: Prestasi Pustaka Publisher, 2006.

Panjaitan, Petrus Irwan & Simorangkir Pandapotan, Lembaga Pemasyarakatan dalam

Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Yogyakarta: Liberty, 1987.

Prakoso, Djoko, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1987.

Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006.

Rahardjo, Satjipto, Aneka Persoalan Hukum, Bandung: Alumni, 1977. ________, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Rasyidi, Lili, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990. Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Edisi

Pertama, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, 1994.

Siswomihardjo, Koento Wibisono, Supremasi Hukum dalam Negara-negara

Demokrasi Menuju Indonesia Baru (Kajian Filosofi), Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2000.

Soekanto Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1984.

________, dan Mamudji Sri, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1985.

________, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1998.

________, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta: 2007.

Sudirman, Didin, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan

Pidana di Indonesia, Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2007.

Sujatno, Adi, Sistem Pemasyarakatan Indonesia, Jakarta: Montas ad, 2004.

Syamsudin, Amir, Integritas Penegak Hukum Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara, Jakarta: Kompas, 2008.


(5)

B. Majalah/Makalah Ilmiah

Hidayat, Farhan, Pemasyarakatan Sebagai Upaya Perlindungan terhadap

Masyarakat, Warta Pemasyarakatan Nomor 19 Tahun VI September 2005.

Nasution, Bismar, Mengkaji Ulang Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Pidato Penghukuman Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tanggal 17 April 2004.

Paulus, E Lotolung, Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum, Makalah, Disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII. Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar: 14-18 Juli 2003.

Saleh, Ruslan, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1983.

________, Dari Lembar Kepustakaan Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 1988. Santoso, Muhari Agus, Paradigma Baru Hukum Pidana, Malang: Averroes Press &

Pustaka Pelajar, 2004.

Siswomihardjo, Koento Wibisono, Supremasi Hukum dalam Undang-Undang

Demokrasi Menuju Indonesia Baru (Kajian Filosofis), Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2000.

Sisworo, Soedjono Dirdjo, Anatomi Kejahatan di Indonesia, Bandung: Granessia, 1996.

Sujatno, Adi, Pencerahan di Balik Penjara. Warta Pemasyarakatan Nomor 25 Tahun VIII – Juni 2007.

Sunny, Ismail, Mencari Keadilan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

Susilawati, Susy, Penyimpangan Beberapa Norma Kehidupan di Tinjau dari Sudut

Sosiologi Hukum dalam Pelaksanaan Pengamanan/Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan, Warta Pemasyarakatan Nomor. II – TH III – November 2002.


(6)

C. Internet

Suaeb, Penyiksaan, dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak

Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia dalam Institusi Pemasyarakatan, http://www.google, Perlindungan Hukum, Diakses Tanggal

11 September 2008.

http://www.bappencis.go.id/index.php.diakses tanggal 23 Mei 2008.

D. Data/Sumber yang Tidak Diterbitkan

Nasution, Bismar dan Siregar Mahmul, Bahan Kuliah Teori Hukum, Kelas Paralel A dan B Program Studi Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Aturan Tingkah Laku Bagi Petugas Penegak Hukum (Code of Conduct for Law

Enforcement Officials).

Standard Minimum Rules for The Treatment of Prisonners.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Amandemennya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota

Kepolisian Negara RI.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai

Negeri Sipil.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan


Dokumen yang terkait

Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Narapidana Sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi di LAPAS Labuhan Ruku)

1 87 162

Akuntabilitas Tim Pengamat Pemasyarakatan (Tpp) Pada Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Dalam Prespektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

2 75 143

Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995

1 64 118

Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai)

1 41 122

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PEMBINAAN TERHADAP NARAPIDANA LANJUT USIA DIHUBUNGKAN DENGAN TUJUAN SISTEM PEMASYARAKATAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN.

0 0 1

ANALISIS YURIDIS TERHADAP BENTUK PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN (Studi Kasus Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Sidoarjo).

0 0 91

SISTEM PEMIDANAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB KABUPATEN TUBAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN.

0 1 90

PENGHAPUSAN REMISI BAGI KORUPTOR DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

0 0 22

ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM NARAPIDANA PENDERITA HIVAIDS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA PANGKALPINANG SKRIPSI

0 0 15

SISTEM PEMIDANAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB KABUPATEN TUBAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN SKRIPSI

0 0 40