Peran Hukum Adat Dalam penyelengaraan si

1. Pendahuluan

1.1 Latar belakang
Pada awalnya istilah masyarakat hukum adat diperkenalkan oleh van
Vollenhoven untuk menunjukkan warga pribumi (native) atau suku asli
Indonesia. Hal ini berkaitan dengan keluarnya kebijakan politik Pemerintah
Belanda didasarkan pada Pasal 131 IS (Indische Staatregeling) 1939, maka
warga negara Indonesia ketika itu dibedakan ke dalam warga pribumi
(Irlander), Eropa dan Timur Asing. Pengakuan atas perbedaan warga negara
tersebut

membawa

konsekuensi

timbulnya

keanekaragaman

hukum


(Pluralstic legal systems). Hukum Adat adalah “ hukum yang tidak bersumber
pada peraturan-peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda
dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan
sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu” 1. Sebagai salah satu unsur dari
kesatuan masyarakat, maka hukum adat merupakan cabang hukum mandiri
(an independent branch of law) yang tidak dapat dipisahkan dari struktur
masyarakat.
Melalui Pasal 18B ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945 ) yang berbunyi “Negara mengakui dan
monghormati

kesatuan

masyarakat

hukum

adat

beserta


hak

hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara kesatuan republik Indonesia yang di atur
dalam undang undang”, sehinga adat dan kesatuan masyarakat adat memiliki
posisi yang istimewa dalam penyelenggaraan Negara khususnya pada satuan
terkecil yaitu desa. Hal ini dikarenakan Desa sebagai penyelenggara
pemerintahan yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Salah satu
daerah yang masih banyak memiliki satu kesatuan desa adat yang masih
memegang teguh hukum adat terdapat di wilayah provinsi Bali, dimana satu
kesatuan hukum adat dirasa masih sangat kental dalam kehidupan
masyarakat khususnya dalam berjalanya pemerintahan desa.

1

Surojo Wingnjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, 1983, hlm. 15.


Menginjak massa kemerdekaan Indonesia ke-70 tahun , dirasa perlu untuk
kembali membuat sebuat refleksi dalam bidang kajian hukum adat kita,
terutama mengenai peranan hukum adat dan system kelembagaan desa
khususnya di wilayah pulau bali yang masih kental penerapan hukum
adatnya, maka penulis membuat kajian kepustakaan tentang Peran Hukum
Adat Dalam Sistem Pemerintahan Desa Adat Bali.

Pulau Bali sebagai salah satu kepulauan di Indonesia mewarisi
kebudayaan yang luhur dan diteruskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Demikian juga aturan adatnya tetap terpelihara dan berkembang
dengan suburnya di kalangan para warga masyarakat di Bali. Kata “adat”
yang dalam istilah di Bali dipakai kata-kata “dresta, sima dan cara” terpelihara
di kalangan rakyat dan dirasakan sebagai hal yang diperlukan adanya.
Ketaatan terhadap adapt di Bali dapat terlihat jelas dalam kehidupan desa,
banjar, subak, dan lain-lain bentuk organisasi kemasyarakatan adat. Setiap
orang mentaati adat itu dan kepada pelanggarnya diberikan sanksi adat yang
diberikan oleh warga masyarakat itu sendiri.
Hal ini membawa tegaknya adat sebagai salah satu alat dalam tegaknya
ketertiban hidup bermasyarakat.2 Pengertian desa di Bali mengandung dua
arti, yaitu desa administrasi dan desa adat (desa pakraman). Desa

administrasi mengurusi urusan pemerintahan, sedangkan desa adat atau
desa pakraman mengurusi masalah keagamaan dan dalam bidang adat
istiadat. Organisasi kemasyarakatan yang disebut desa adat mempunyai
peraturanperaturan yang mengikat para anggotanya di mana aturan-aturan
tersebut merupakan batas-batas wewenang dan kewajiban yang disebut
“awig-awig”. Awig-awig ini merupakan aturan pokok yang mengatur pergaulan
warganya sehingga tercipta suasana aman, damai dan rukun,. Pelanggaran
terhadap awig-awig tersebut, disediakan sanksi yang biasanya berupa
“denda”.
1.2 Rumusan masalah

2

Tjokorde Raka Dherana, Pokok-Pokok Organisasi Kemasyarakatan Adat di Bali (Fakultas Hukum &Pengetahuan
Masyarakat Universitas Udayana 1975) hal. 3.

2|

-


Apa saja jenis desa yang ada di bali ?

-

Seperti apa kelembagaan desa berdasar hukum adat di bali ?

-

Apa

Dasar

hukum

masih

berlakunya

hukum


adat

dalam

pengelolaan desa di bali ?

2. Pembahasan
2.1 Apa saja jenis desa yang ada di Bali
Di Bali, pada jaman kolonial, bahkan jauh sejak jaman raja-raja, ada
dua macam desa yaitu desa dinas dan desa adat. Ini merupakan keunikan
yang tidak dimiliki di daerah lain di nusantara. Secara historis sebenarnya
wilyah Bali habis terbagi dengan desa adat (desa pakraman), yaitu desa yang
khusus mengurus persoalan adat ,budaya, dan agama. Disisi lain ada desa
dinas yaitu desa yang pada zaman colonial dan zaman raja-raja adalah
disebut Keperbekelan yang fungsinya adalah untuk mengurus upeti dari
rakyat pada pemerintah colonial/ raja. Perkekelan ini adalah cikal bakal dari
desa dinas.
Dalam koridor penyelenggaraan Pemeritahan Daerah, desa pada
dasarnya merupakan unsur pemerinahan paling bawah yang langsung
berhadapan dengan rakyat. Sehingga secara realita dapat kita rasakan

bawasannya pelaksanaan pembangunan maupun perkembangan tradisi dan
adat budaya khususnya di desa akan langsung menyentuh dan dirasakan
faedah

maupun

hasilnya

oleh

rakyat.

Di

tengah-tengah

kehidupan

masyarakat Bali, diakui adanya Desa Pakraman merupakan kesatuan
masyarakat hukum adat yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata

krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam
ikatan kahyangan tiga, mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan
sendiri.
Dengan pengertian tersebut, Desa Pakraman merupakan lembaga
tradisional yang bercorak sosial relegius dan mempunyai pemerintahan yang
otonom

3|

berdasarkan

hak

asal

usulnya.

Dengan

kata


lain,

dalam

penyelenggaraan pemerintahan, Desa Pakraman dapat menetapkan aturanaturan yang dibuat sendiri yang disebut awig-awig. Penyusunan awig-awig
desa bersumber dari falsafah Tri Hita karana, yaitu adanya keharmonisan
hubungan antara manusia dengan dengan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan
antara manusia dengan sesama manusia, dan hubungan antara manusia
dengan alam. Adapun konsep Tri Hita Karana sebagai berikut:

a.

Parahyangan

(Hubungan

manusia

dengan


Tuhan)

Parahyangan

merupakan konsep pertama dari filosofi Tri Hita Karana, Parahyangan berarti
hubungan manusia dengan tuhan, dalam ajaran Parahyangan manusia
diajarkan akan keseimbangan antara rasa puji syukur kepada Ida Sanghyang
Widhi Wasa (Tuhan) karena telah memberikan segala karunianya kepada
manusia, dan dalam ajaran ini manusia dituntun agar memenunaikan
kewajibannya sebagai mahluk ciptannya sebagai timbal balik atas kenikmatan
yang diberikannya3
b. Pawongan (Hubungan manusia dengan manusia) Pawongan adalah
konsep kedua dari filosofi Tri Hita Karana, dalam ajaran pawongan manusia
diajak unuk bersikap harmonis antara manusia satu dengan manusia lainnya.
Bagi penganut agama Hindu terdapat keyakinan bahwa semua manusia
memiliki harkat dan martabat yang sama dan perbedaan antar manusia
terletak pada karmanya. Ajaran Karma Yoga menekankan bahwa hanya
dengan bekerja (karma) manusia dapat mencapai tujuan dan hakekat hidup.
c. Palemahan (Hubungan manusia dengan alam) Palemahan adalah konsep

ketiga dari filosofi Tri Hita Karana, dalam konsep Palemahan diajarkan untuk
menghargai alam sebagai sumber dimana semua mahluk hidup mendapat
penghidupan. Desa pakraman sebagai suatu organisasi yang berperan untuk
mensejahterakan masyarakat tentunya tak lepas juga dari pengaruh alam
sebagai sumber penghidupannya. Fungsi alam yang sangat penting sebagai
sumber penghidupan manusia tersebut sangat berpengaruh terhadap
pembentukan sikap dan prilaku manusia dalam kehidupannya baik secara
individual maupun organisasi, sehingga sebagai manusia harus selalu dijaga
kelestariannya.
3

I Gusti Ketut Widana, Mengenal Budaya Hindu di Bali, PT. BP Denpasar, Denpasar, 2002. Hal. 24

4|

Di Bali, selain berlaku sistem pemerintahan Desa Pakraman, ada juga
pemerintahan Desa Dinas. Kedua jenis desa tersebut mempunyai fungsi dan
tugas yang berbeda. Desa Pakraman mengatur urusan adat dan agama,
sedangkan Desa Dinas mengatur urusan administrasi yang berhubungan
dengan

pelaksanaan

pemerintah

desa

dibawah

kecamatan.

Dalam

penyelenggaraan pemerintahan desa, Desa Pakraman dan Desa Dinas dapat
berjalan secara harmonis
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa peraturan daerah wajib
mengakui dan menghormati hak, asal-usul, dan adat istiadat desa. Yang
dimaksud dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam
sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah Kabupaten. Dengan
demikian,

peraturan

perundang-undangan

secara

formal

mengakui

keberadaan Desa Pakraman, sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
berwenang

untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat,

berdasarkan asal-usul dan adat istiadat yang diakui dan dihormati dalam
sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia 4
2.2 kelembagaan desa berdasar hukum adat di bali
Dalam rangka kita ingin memahami peran dari hukum adat dalam system
kepemerintahn desa di bali maka selayaknya kita mengetahui dua hal penting
yaitu tentang sumber sumber berlakunya hukum adat masyarakat bali dan
bagaimana struktur desa adat di bali itu sendiri

2.2.1 Sumber Hukum Adat Bali
Hukum adat di Bali bersumber pada awig-awig bersumber pada weda
yang mengajarkan “Tri Hita Karana‟ ( tiga Hubungan yang harus dijaga )
yaitu:
(1) Parahyangan yaitu hubungan dengan Tuhan,
4

Sirtha, I Nyoman. 2008. Aspek Hukum Dalam Konflik Adat Di Bali. Denpasar: Udayana University Press.

5|

(2) Pawongan yaitu hubungan dengan sesame manusia
(3) Palemahan yaitu hubungan dengan lingkungan alam sekelilingnya,
dan „Tri Karya Parisuda‟ dasar susila yang memeritahkan agar perpikir
(manacika), berbicara (wacika), dan berbuat (kayika) yang baik-baik karena
pada prinsipnya semua orang akan menjalani karmanya masing-masing.
Hukum adat di Bali diadopsi dalam system pemerintahan desa secara
langsung melalui Desa Pakraman, dan pengaplikasiannya keseluruh system
pemerintahan di Bali melalui Majelis Alit Pakraman (tingkat kecamatan),
Majelis Midel Pakraman ( tingkat kabupaten/ kota), dan Majelis Agung
Pakraman (ditingkat pemerintahan provinsi). Hukum adat Bali tujuan
utamanya adalah gotong royong atau kesejajaran. Untuk kesejajaran maka
yang di jadikan tolok ukur permasalahan adalah yang paling rendah. Adanya
„megibung‟ adalah makan bersama di pure untuk menrcerminkan kehidupan
gotong royong. Ini semua ada di Desa Pakraman, sebagai desa yang
mencerminkan keaslian masyarakat Bali tempo dulu. 5
Desa adat/ desa pakraman landasan normanya terutama mengacu
pada awigawig (aturan adat Bali). Orang yang paling bertanggung jawab
dalam system pemerintahan di desa adat/ desa pakraman adalah Juru
Bedese (kepala desa adat/pakraman), di tingkat kecamatan ada lembaga
yang mewadahi Bedese adalah Majelis Desa Pakraman Alit, di tingkat
kabupaten/ kota ada Majelis Desa Pakraman Midel, sedangkan untuk di
tingkat provinsi ada Majelis Desa Pakraman Agung. Eksistensi hukum adat
diaplikasikan pembuatan aturan desa dan juga perda kabupaten/ kota, juga
perda provinsi lewat Bedese (Kepala Desa Pakraman), Majelis Pakraman Alit,
Majelis Pakraman Midel, dan Majelis Pakraman Agung. Sehingga tentunya
nilai-nilai Hukum Adat ini menjadi menyeluruh untuk di Bali
Disetiap desa pakraman mempunyai awig-awig (Aturan Adat Bali), dan
warga desa adat sangat menghargai aturan prararem (adat istiadat) dan
awig-awig (hukum adat)dan, bahkan ada kecenerungan bahwa mereka lebih
takut sanksi adat disbanding terhadap sangsi hukum Negara. Karena begitu
patuhnya adat mereka, maka ada kecenderungan bahwa keluarga besar
5

Penelitian Hukum, Eksistensi hukum adat dalam pelaksanaan pemerintahan desa ,2011 Suherma toha
,SH.,MH.,APU, Badan pembinaan hukum nasional

6|

mengikat warga Bali dimanapun ia berada. Awig-awig di desa pakraman yang
satu bisa berbeda dengan awig-awig di desa lain, dikernakan atas
kesepakatan warga maka awig-awig dapat dirubah, walaupun untuk
perubahan bukan suatu hal yang mudah. Masyarakat desa pakraman sangat
menghargai awig-awig dan untuk kesakralannya maka awig-awig yang asli
mereka taroh di pure. Awig-awig diantaranya mengatur perihal urusan
keluarga, seperti urusan kasta, urusan sentana rajeg (untuk kelanjutan
penerus yang tidak selalu laki-laki). Mengatur juga tentang tata ruang atau
penggunaan lahan, ada yang disebut tanah ayahan desa (untuk rumah), ada
pekarangan desa (tanah tegalan yang dimiliki desa) utamanya untuk
mempasilitasi kepentingan adapt, mengatur pula tentang tempat-tempat yang
disucikan seperti gunung, laut, muara.
Desa Adat dengan Banjar-Banjarnya adalah lembaga masyarakat umat
Hindu yang sepenuhnya berdasarkan keagamaan. Secara nyata dasar
keagamaan itu dapat dilihat pada Kahyangan Tiga dan upacara-upacara
agama yang berlangsung di Desa Adat seperi upacara Tawur Kesanga,
Usabha Desa dan lain-lain. Agama Hindu menjiwai dan meresapi segala
kegiatan Krama Desa
2.2.2 Struktur Desa Adat Bali
Dengan apa yang telah di sebutkan sebelumnya bahwa struktur desa
di bali salah satunya adalah desa pakraman atau desa adat, dimana dalam
memahami kehadiran hukum adat kita harus mengetahui struktur dan system
kerja desa adat pakraman ini dimana struktur pemerintahan Desa Adat/ Desa
Pakraman adalah sebagai berikut:
a. Juru Bendese (sebagai kepala Desa Adat/ Desa Pakraman), Ia
bukan aparat pemerintah tapi adalah parner pemerintah. Ia tidak mendapat
gaji dari pemerintah. Biaya hidup Juru Bedesa dan untuk pengurusan dan
pendanaan system pemerinrahan desa adat/ desa pakraman didapat dari
iuran warga, harta kekayaan desa, dan dari sumbangan yang didapat dari
pihak ke tiga.

7|

b. Petajeuh / Pangliman (Wakil Ketua Desa Adat/ Wakil Ketua Desa
Pakraman).
c. Penyarikan (sebagai sekretaris desa dari Desa Adat/ Desa
Pakraman);
d. Petangen / Juru Raksa (sebagai bendahara ada Desa Adat/ Desa
Pakraman);
e. Upa desa (juru damai dalam penyelesaian sengketa bila ada warga
masyarakat adat yang tidak puas dan menuntut hak adatnya).
Adapun lembaga tempat penyelesaian sengketa disebut Kerta Desa.
sekarang ini sengketa adat ada kalanya di bawa para pihak ke Pengadilan
Negeri tetapi pihak Pengadilan Negeri biasanya kebingungan untuk
memproses dan memutusnya. Dalam pengertian bahwa „Upa Desa‟ lebih
kompeten dan professional dalam hal penyelesaian sengketa perkara adat
warga desa.
f. Pacalang (sebagai keamanan pada Desa Adat/ Desa Pakraman),
tupoksinya menjaga keamanan masyarakat desa khususnya pada upacara
adat danhari-hari raya keagamaan. Desa Adat/ Desa Pakraman antara lain:
Desa Pakraman Padang Sambian, Padang Sambian Rajeg, ada Padang
sambian Kulon, dan yang merupakan percontohan/ cagar budaya adalah
Desa Pakraman Panglipuran.

Selanjutnya salah satu organisasi penting di desa adat Bali adalah
subak, Subak merupakan salah satu kelembagaan tradisional yang telah
terbukti efektivitasnya dalam menyangga pembangunan pertanian dan
perdesaan di Bali. Karena keunikan dan berbagai karakteristik lainnya, Subak
telah terkenal ke berbagai penjuru dunia khususnya di kalangan pakar
pembangunan pertanian dan perdesaan, maupun ahliahli ilmu sosial
(Sosiolog dan Antropolog), serta pemerhati masalah teknis keirigasian.
Mengenai sejarah Subak di Bali, hasil kajian Purwita (1997) mulai dari sejarah
manusia Bali sampai dengan adanya bukti-bukti tertulis menyimpulkan bahwa
secara faktual Subak telah ada di Bali pada tahun 1071 Masehi.
Sebagaimana halnya dengan organisasi tradisional yang tumbuh di Bali,
8|

Subak juga berdasar atas filosofi Tri Hita Karana, yang mengupayakan
keharmonisan hubungan antara manusia, Tuhan, dan alam semesta.
Pengertian Subak dapat dilihat segi fisik dan segi sosial. Secara fisik,
Subak adalah hamparan persawahan dengan segenap fasilitas irigasinya,
sedangkan secara social Subak adalah organisasi petani pemakai air yang
otonom.

Anggota suatu Subak dapat berasal dari berbagai desa, dan

seorang petani dapat menjadi anggota pada beberapa Subak. Secara umum
anggota Subak (Krama Subak) dapat dibedakan atas tiga kelompok, yaitu
anggota aktif (Krama Pengayah), anggota pasif (Krama Pengampel) dan
anggota khusus (Krama Leluputan) yang dibebaskan dari kewajiban Subak
karena memangku jabatan tertentu6.
Sebagai suatu organisasi, Subak mempunyai unsur pimpinan yang
disebut dengan Prajuru. Pada Subak yang kecil, struktur organisasinya
sangat sederhana, hanya terdiri dari seorang ketua Subak yang disebut
Kelihan Subak atau Pekaseh, dan anggota Subak. Sedangkan pada Subaksubak yang lebih besar, prajuru subak umumnya terdiri atas :
-

Pekaseh (Ketua Subak),

-

Petajuh (Wakil Pekaseh),

-

Penyarikan (Sekretaris),

-

Petengan atau Juru Raksa (Bendahara),

-

Juru arah atau Kasinoman (Pembawa informasi), dan

-

Saya (Pembantui khusus).

2.2.3 Tugas Dan Wewenang Desa Pakraman
Tugas dan wewenang desa pakraman diatur dalam Pasal 5 dan Pasal
6 Perda Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001. Pasal 5 Perda Nomor 3 Tahun
2001 Menentukan desa pakraman mempunyai tugas sebagai berikut:

6



Membuat awig-awig;



Mengatur krama desa;



Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa;

Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Bali 2001 Dharmayuda, I.M.S.,Denpasar: Upada Sastra. Hal 35

9|



Bersama-sama

pemerintah

melaksanakan

pembangunandi

segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan
kemasyarakatan.


Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam
rangka

memperkaya,

melestarikan,

dan

mengembangkan

kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah
pada khususnya, berdasarkan “porosporos”, “sagilik-saguluk”,
“salunglung-sabayantaka” (musyawarah-mufkat);


Mengayomo krama desa.

Pasal 6 Perda Nomor 3 Tahun 2001, menentukan desa pakraman mempunyai
wewenang sebagai berikut:


Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan
wilayahnya dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat;



Turut

serta

menentukan

keputusan

dalam

pelaksanaan

pembangunan yang ada di wilayahnya terutama yang berkaitan
dengan Tri Hita Karana;


Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa
pakraman.

2.3

Dasar

hukum

masih

berlakunya

hukum

adat

dalam

pengelolaan desa di Bali
Semenjak reformasi tahun 1998, terjadi perubahan konstitusi yang
berdampak pada perubahan peraturan yang mengatur tentang pemerintahan
daerah. Konstitusi perubahan tersebut diberi nama Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Melalui
Pasal 18 B UUD NRI Tahun 1945, negara dengan tegas mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa serta mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak istimewa tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

10 |

Hal ini berararti desa-desa yang dahulu sudah ada sebelum masuknya
penjajah harus diakui dan dihormati oleh negara. Mereka merupakan
organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh
sejumlah penduduk, dan mempunyai adatistiadat untuk mengelola dirinya
sendiri

(selfgoverning

community).

Sebutan

Desa

sebagai

kesatuan

masyarakat hukum baru dikenal pada masa kolonial Belanda. Desa pada
umumnya mempunyai pemerintahan sendiri yang dikelola secara otonom
tanpa ikatan hirarkhis-struktural dengan struktur yang lebih tinggi. Di
masyarakat7
Guna menjalankan amanat Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945,
diberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (UU Pemda). Melalui UU Pemda ini, Desa Tidak termasuk dalam
skema desentralisasi teritorial. UU Pemda Tidak mengenal otonomi Desa,
melainkan hanya mengenal otonomi daerah.2 Pengaturan tentang Desa
dimuat dalamn Bab XI Pasal 200 sampai Pasal 216 UU Pemda dan Peraturan
Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Pedoman Umum Pengaturan
MengenainDesa (PP No. 72/2005). 3 Menurut UU Pemda, Desa adalah
kesatuannmasyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang

untuk

mengatur

dan

mengurus

kepentingan

masyarakat

setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan
dihorma� dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya, ada empat urusan pemerintahan desa menurut Pasal 206 UU
Pemda, yaitu:
-

Urusan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa;

-

Urusan

yang

diserahkan
-

menjadi

kewenangan

kabupaten/

kota

yang

pengaturannya kepada Desa;

Tugas pembantuan dari Pemerintah, provinsi, dan/atau pemerintah
kabupaten/kota;

-

Urusan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan
diserahkan kepada Desa.

7

Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang tentang Desa (Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa – Departemen Dalam Negeri, 2007), hlm. 11.

11 |

Selanjutnya Dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, hukum adat dapat
terlihat dari produk hukumnya. Beberapa produk hukum yang mengakomodir
dan melegalkan hukum adat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa di
Bali, antara lain:
A) Undang undang nomer 6 tahun 2014 tentang desa Pasal 97
B) Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 6 Tahun 1986 tentang
Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali
(Perda Desa Adat);
C) Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman;
D) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 1 Tahun 2009 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Tahun 200520258
Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Pasal 1 angka 4 dari Perda Desa Pakraman menyebutkan bahwa:
“Desa Pakraman adalah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi
Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan
hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan
kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah
tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah
tangganya sendiri”.
Selanjutnya jika kita buat korelasikan dengan undang undang nomer 6 tahun
2014 tentang desa maka pengaturan tentang desa adat akan di temukan
dalam pasal Pasal 97 dimana berbunyi:
“Pasal 97
8

Eksistensi hukum adat dalam penyelengaraan pemerintahan di Bali, Adharinali, dalam jurnal rechvinding
volume 1 nomer 3 tahun 2012,Jakarta Hal 416

12 |

(1) Penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 memenuhi
syarat:
a. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara
nyata masih hidup, baik yang
bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional;
b. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya
dipandang sesuai dengan
perkembangan masyarakat; dan
c. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai
dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memiliki wilayah
dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya:
a. masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok;
b. pranata pemerintahan adat;
c. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau
d. perangkat norma hukum adat.”
Dari bunyi pasal ini maka kembali memperkuat posisis hukum adat
khusnya

dalam

penyelenggaraan

pemerintahan

desa

yang

masih

mempergunakan system kelembagaan adat.
Selanjutnya sebagaimana ditentukan dalam perda provinsi Bali Nomor
06 Tahun 1986 , tentang “Kedudukan , fungsi dan peranan desa Adat sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat daerah provinsi tingkat I Bali “. Pasal 5
Perda nomor 06 tahun 1986 , menentukan :
“desa Adat di provinsi Daerah tingkat I Bali , merupakan kesatuan masyarakat
hukum adat yang bersifat sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan “
Pasal 6 Perda Nomor 06 Tahun 1986 menentukan : Desa Adat sebagai
kesatuan

masyarakat

Pemerintah,

hukum

Pemerintah

adat

Daerah

mempunyai

dan

pemerintah

fungsi

:

Membantu

Desa/Pemerintahan

Kelurahan dalam kelancaran dan pelayanan pembangunan di segala bidang
13 |

terutama

di

bidang

keagamaan,

kebudayaan,

dan

kemasyarakatan.

Melaksanakan hukum adat dan adat istiadat dalam desa Adatnya.
Memberikan kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial keperdataan dan
keagamaan. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka
memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada
umumnya dan kebudayaan Bali pada khususnya berdasarkan poros-poros
salunglung sebayantaka/musyawarah untuk mufakat Menjaga, memelihara
dan memanfaatkan kekayaan desa adat untukkesejahteraan desa adat.
Hal ini menunjukkan bahwa Desa Pakraman adalah Desa sebagai
wahana aktifitas umat Hindu di Daerah ini. Desa adat / desa pakraman
utamanya adalah mengurus urusan ada / keagamaan, karenanya pada
urusan desa adat/ desa pakraman sangat menonjol perihal kearipan lokalnya.
Masyarakat adat di Bali demikian kuat karena terikat fungsi sosial keagamaan
Sebagai kelanjutan dari Desa Pakraman, dan tindak lanjut dari Perda Bali
tersebut, maka didirikan Majelis Agung Desa Pakraman untuk di tingkat
Propinsi, dan Majelis Madya Desa Pakraman di Tingkat Kabupaten dan Kota,
dan di tingkat Kecamatan ada Majelis Alit Desa Pakraman

3. kesimpulan
Bahwa pemerintahan desa sudah ada jauh sebelum penjajah masuk
ke Indonesia, yaitu sejak zaman kerajaan-kerajaan di nusantara. Begitu juga
dengan eksistensi adat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang
telah ada sejak lama. Eksistensi adat dalam penyelenggaraan pemerintahan
desa di Bali dapat dimulai dilihat dari instrumen hukum yang mengakomodasi
dan melegalkan hukum adat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa itu
sendiri. Selain itu, dapat dilihat dari penerapan filosofi Tri Hita Karana yang
diadopsi dari ajaran agama Hindu yaitu berupa adanya pengaturan Asta
Kusala Kusali berupa pengaturan tata ruang (Parahyangan), pembuatan
14 |

koperasi pegawai (Pawongan) dan persyaratan sebagai calon Kepala Desa
yang

ditetukan

oleh

peraturan

perundang-undangan

dan

harus

memperhatikan nilai-nilai social budaya setempat.
Hadirnya Desa Pakraman juga merupakan bukti nyata penghormatan
dan penerapan adat dalam sistem pemerintahan desa di Bali. Adanya dua
desa di Bali yaitu desa pakraman dan desa dinas, bukanlah berarti ada
dikotomi desa dalam sistem pemerintahan desa di Bali melainkan saling
melengkapi. Desa pakraman mengurusi bidang keagamaan dan adat,
sedangkan desa dinas mengurusi bidang administrasi pemerintahan. Dengan
demikian, eksistensi Desa Pakraman bukan sebagai wujud superioritas adat
dalam pemerintahan desa di Bali.

Daftar Pustaka
Adharinali, 2012, “Eksistensi hukum adat dalam penyelengaraan
pemerintahan desa”, jurnal rechvinding volume 1 nomer 3 , Jakarta,
Dharmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di
Bali,.,Denpasar: Upada Sastra.
Dherana, Tjokorde Raka, 1975, Pokok-Pokok Organisasi Kemasyarakatan
Adat di Bali. Denpasar, Fakultas Hukum & Pengetahuan Masyarakat
Universitas Udayana
Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang tentang Desa (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa –
Departemen Dalam Negeri, 2007)
Sirtha, I Nyoman. 2008. Aspek Hukum Dalam Konflik Adat Di Bali. Denpasar:
Udayana University Press.
15 |

Toha, Suherma, 2011, Penelitian Hukum, Eksistensi hukum adat dalam
pelaksanaan pemerintahan desa , Jakarta , Badan pembinaan hukum
nasional
Widana , I Gusti Ketut, 2002, Mengenal Budaya Hindu di Bali, Denpasar , PT.
BP Denpasar.
Wingnjodipuro, Surojo, 1983 Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta,
Gunung Agung.

16 |