Publikasi Majalah Fashion Vogue Sebagai
Before It’s in Fashion, It’s in VOGUE !
Publikasi Majalah Fashion Vogue Sebagai Media Politik dan
Transformasi Sosial
Deni Aulia
Program Studi Hubungan Internasional, FISIP Universitas Brawijaya
Abstract
Over the past one hundred years, women have transformed from being a “stay at home
housewife” to a “independent working-mom who can do it all herself”. How could? It’s simply
because of what we call as “popular culture”, in this case, fashion magazine. Vogue, the world’s
most powerful fashion magazine, helps that transformation occured. Vogue shows us how to
empower women through its strong female editor, Anna Wintour, and to promote gender equality
through its contents and models so that all the women are expected to be more powerful and
independent in many different field. The concern of its paper is to analyze how can Vogue be
very powerful and what are the “social effects” of Vogue being published all over the world.
Furthermore, I would like to explain the symbiosis mutualism relation between Vogue and
politics, explained by power – knowledge nexus.
Keyword : transformation, pop culture, Vogue, social effects, power-knowledge nexus
1. Pendahuluan
Pada era modern ini, keanekaragaman identitas yang berasal dari seluruh dunia telah
terekspos secara cepat melalui apa yang disebut dengan budaya populer (pop culture). Budaya
populer didefinisikan sebagai :
“... determined by the interactions between people in their everyday sctivities : style
of dress, the use of slang, greeting rituals and the food that people eat. Popular
culture is also informed by mass media.” (Delaney, Philosophy Now).
Before It’s in Fashion, It’s in VOGUE !
Melalui definisi yang dijelaskan oleh Delaney di atas, pop culture dapat dikatakan
sebagai sebuah keadaan atau kondisi dari “budaya bersama” yang keberadaannya diakui oleh
hampir seluruh masyarakat di dunia. Pop culture selanjutnya juga dijelaskan sebagai sebuah
budaya yang terdiri atas berbagai aspek sosial mulai dari attitudes, behaviors, beliefs, customs
yang seringkali disebut sebagai the culture of the people (Delaney, Philosophy Now). Lebih
lanjut, keberadaan pop culture tidak lepas dari peran media massa, yang mana media tersebut
berperan untuk “menyebarkan” pop culture. Adapun media tersebut seperti film, musik, acara
televisi, dan yang tidak kalah penting adalah majalah.
Salah satu “alat” atau media terpenting dalam “menyebarkan” pop culture yang
mengekspos tentang berbagai identitas sosial adalah majalah. Majalah, pada dasarnya digunakan
sebagai sebuah media untuk menginformasikan masyarakat mengenai segala hal atau berita
terbaru dalam bidang yang spesifik, seperti contoh berita tentang olahraga, otomotif, ekonomi,
hingga fashion. Akan tetapi, majalah tidak hanya digunakan sebagai sarana penyebar informasi
saja, tetapi juga dipertimbangkan sebagai sarana mempromosikan sebuah produk ke seluruh
dunia. How could a magazine promote products? Hal ini dikarenakan berbagai macam majalah
ternama yang berkelas internasional dibaca oleh berbagai macam masyarakat di negara yang
berbeda-beda sehingga majalah memiliki kemampuan untuk menjangkau masyarakat secara
langsung, dalam hal ini para konsumen, dan selanjutnya konsumen tidak hanya akan membaca
informasi yang ada di dalam majalah tetapi juga akan melihat segala macam bentuk promosi
yang ada.
Meskipun beberapa majalah memiliki bahasan yang sama dalam bidangnya, seperti
contoh majalah fashion akan selalu membahas tentang tren fashion terbaru dan brand ternama di
dalamnya, masing-masing dari majalah tersebut pada dasarnya memiliki perbedaan jelas
mengenai target dan tujuannya. Perbedaan inilah yang saya sebut dengan “fokus”. Dengan
membuat perbedaan yang mencirikan masing-masing majalah, masyarakat pun akan menyadari
majalah mana yang sekiranya memberikan informasi yang diinginkan. Hal inilah yang terjadi di
dalam industri majalah fashion dunia. Beberapa majalah fashion, seperti Marie Claire dan
Vogue, memiliki perbedaan yang cukup signifikan terkait dengan target konsumen hingga
kontennya, walaupun keduanya memiliki bahasan yang sama : fashion. Marie Claire, di dalam
setiap edisinya selalu menampilkan berbagai macam tren fashion yang berbeda bagi setiap
pembacanya. Sementara Vogue, lebih menitikberatkan pada kesan eksklusifitasnya di dalam
Before It’s in Fashion, It’s in VOGUE !
dunia fashion. Hal ini jelass terlihat dari banyaknya brand internasional yang “menumpang”
Vogue untuk mempromosikan produknya dengan harga yang tercantum mencapai empat digit.
Vogue merupakan salah satu majalah fashion terpenting dan paling dikenal oleh
masyarakat dunia. Vogue pertama kali dipublikasikan oleh Conde Nast Publication pada akhir
abad ke- 19. Majalah ini pertama kali dipublikasikan untuk para pembaca di Amerika dan
diproduksi di 18 negara berbeda. Akan tetapi, pada awal abad ke- 20, Vogue memulai debutnya
di luar Amerika dimana Inggris merupakan negara non-Amerika pertama yang mempublikasikan
Vogue, yang selanjutnya dikenal sebagai British Vogue (Monk, The University of Winchester).
Hingga kini, Vogue telah dipublikasikan di lebih dari 20 negara di seluruh dunia dan juga
dinobatkan sebagai majalah fasshion paling berpengaruh di dunia oleh The New York Times.
Penobatan Vogue sebagai majalah fashion nomor satu di dunia bukan tanpa alasan.
Vogue hingga kini telah memperoleh berbagai pencapaian tinggi di dunia fashion. Vogue juga
dikenal sebagai the bible of the fashion world, kitab bagi para pecinta fashion. Mengapa seluruh
hal tersebut dapat terjadi pada Vogue? Jawabannya ialah Anna Wintour. Siapa yang tidak
mengenal Anna Wintour? Wintour adalah editor-in-chief dari Vogue Amerika sejak tahun 1988.
Dialah yang dinilai telah membuat Vogue sebagai sebuah majalah fashion eksklusif melalui
berbagai strateginya. Wintour disebut-sebut sebagai orang nomor satu dalam industri fashion
karena Wintour lah yang telah membuat Vogue sebagai majalah yang sangat berpengaruh.
Wintour juga lah yang menentukan isi atau konten apa saja yang harus dimuat di dalam majalah
Vogue, siapa saja yang akan menjadi model di dalam majalah, hingga produk atau brand apa
saja yang ditampilkan. This in, this out. Hal ini menunjukkan bahwa setiap konten yang ada di
dalam Vogue sangatlah bergantung pada preferensi atau ketertarikan dari Anna Wintour sendiri,
apa yang dianggap pantas dan apa yang dinilai tepat untuk dipublikasikan.
2. Pengaruh Majalah Fashion Vogue
Untuk membahas tentang Vogue dan bagaimana pengaruhnya terhadap masyarakat serta
bagi bidang lainnya, penulis akan mencoba untuk menganalisisnya melalui pendekatan poststrukturalis dan konstruktivis. Penulis akan menganalisis tiga hal yang menurut penulis menarik
untuk dibahas, yakni : (1) power – knowledge nexus, (2) gender blurring, serta (3) the ideas of
beauty
Before It’s in Fashion, It’s in VOGUE !
Power - Knowledge Nexus
Power – Knowledge Nexus merupakan sebuah teori dalam perspektif post strukturalis.
Pandangan ini menjelaskan bahwa suatu teks atau bacaan tidak dapat menerangkan apa yang
ditulis oleh penulis. Artinya, teks yang dibaca akan memiliki interpretasi yang berbeda – beda
antara satu pembaca dengan penulisnya serta pembaca lainnya. Dalam konteks power –
knowledge nexus, teks atau bacaan serta segala pengetahuan yang ada sangat erat kaitannya
dengan adanya power yang dimiliki oleh penulis (power menghasilkan knowledge). Lebih lanjut,
pembentukan pengetahuan, menurut Foucoult, juga dipengaruhi oleh power relation antar aktor.
Dalam kaitannya dengan Vogue, power – knowledge nexus tercermin dari bagaimana
peran editor-in-chief, Anna Wintour dalam mengambil segala keputusannya terkait dengan
publikasi Vogue. Seperti telah dijelaskan, sebagai orang nomor satu dalam industri fashion,
Wintour memegang kendali penuh atas Vogue dan seluruh konten yang ditampilkan di dalam
majalah adalah preferensi dari Wintour sendiri. Menurut penulis, hal ini menunjukkan jabatan
yang dipegang oleh Wintour sebagai editor-in-chief telah memberikan sebuah kekuasaan
(power ) bagi Wintour dan melalui power yang dimilikinya tersebut, Wintour memiliki kendali
atas segala teks atau bacaan, gambar – gambar, serta informasi yang disampaikan oleh Vogue.
Hal tersebut mencerminkan power yang dimiliki pun dapat melegitimasikan preferensi seseorang
untuk diakui kebenarannya oleh orang lain yang secara tidak langsung juga telah membentuk
sebuah pengetahuan baru melalui teks yang ada di dalamnya yang selanjutnya akan
mempengaruhi bagaimana pembaca menginterpretasikan pesan yang disampaikan oleh Wintour
melalui Vogue-nya.
Pada dasarnya, apa yang Wintour coba sampaikan melalui Vogue seringkali “diamini”
oleh para pembacanya, terutama dalam hal tren fashion terbaru. Akan tetapi, Wintour tidak
hanya menentukan bacaan saja, tetapi juga dalam hal iklan atau promosi produk. Peran Wintour
pun terlihat semakin penting dalam industri fashion, dimana promosi suatu produk atau brand
juga ditentukan oleh Wintour. Brand yang dianggap “tidak pantas” untuk tampil di Vogue
karena tidak sesuai dengan preferensi Wintour, tidak akan pernah ditampilkan. Lagi – lagi,
kekuasaan yang dimiliki Wintour memperlihatkan bagaimana ia mengendalikan informasi yang
ada.
Before It’s in Fashion, It’s in VOGUE !
Power yang dimiliki oleh Vogue juga berimplikasi secara politis. Secara umum, dalam
dunia politik fashion pada dasarnya juga dijadikan sebagai sebuah instrumen atau media bagi
pihak – pihak tertentu untuk meredamkan segala bentuk suara pihak lain yang berbeda. Hal ini
dilakukan melalui berbagai cara, seperti menggunakan produk fashion untuk mempromosikan
agenda politik pihak tertentu secara tersirat. Hal yang paling umum dilakukan adalah
menggunakan pakaian sebagai media untuk menyampaikan pesan politik, seperti pakaian yang
bertuliskan tentang stop kekerasan dan aspirasi suara kelompok minoritas tertentu (Morgado,
1996).
Bagaimana Vogue berperan dalam penyampaian pesan politik dari pihak tertentu? Vogue
kembali memiliki peran sebagai sarana publikasi yang sangat diminati, termasuk dalam bidang
politik, karena Vogue memiliki jumlah pembaca yang sangat banyak dan juga mencakup level
internasional, tidak hanya di Amerika Serikat saja. Tren fashion yang menunjukkan pesan politik
melalui produk – produk ternama secara tidak langsung akan disadari oleh masyarakat yang
selanjutnya dapat mengkonstruksi pandangan masyarakat terhadap golongan politik tertentu.
Namun demikian, lagi – lagi preferensi Anna Wintour lah yang akan “bermain” dalam
penyampaian pesan politik dimana Wintour akan menampilkan produk fashion politik yang
sesuai dengan pandangan pribadinya terhadap politik itu sendiri.
Salah satu hal yang menurut penulis cukup fenomenal yang pernah dilakukan oleh Vogue
ialah menjadikan Michelle Obama, ibu negara Amerika Serikat sebagai model cover majalah
nya. Secara implisit, penulis menilai bahwa pemilihan Michelle Obama sebagai model telah
menunjukkan jika Vogue merupakan majalah fashion yang tidak hanya ditawarkan bagi
masyarkat biasa saja, tetapi juga bagi kaum elit pemerintahan sehingga kesan dan image Vogue
sebagai majalah fashion berpengaruh di dunia pun semakin terlihat. Hal tersebut selanjutnya
akan dapat “melegitimasi kekuasaan” yang dimiliki oleh Wintour. Tentu saja, pemilihan
Michelle Obama didasarkan pada preferensi dari Wintour sendiri mengenai pandangannya
terhadap politik. Di sisi lain, Vogue juga “mempromosikan” politik Amerika Serikat, dalam hal
ini Demokrat, kepada seluruh pembacanya. Vogue dijadikan sebagai alat promosi bagi Demokrat
untuk menarik dukungan rakyat nya melalui Michelle Obama. Penjelasan tersebut
memperlihatkan hubungan “simbiosis mutualisme” antara Vogue dengan Demokrat dimana
kedua belah pihak dapat memperoleh keuntungan melalui power relation di antara keduanya :
Vogue menggunakan power nya untuk membuat kekuasaan yang dimiliki Vogue semakin
Before It’s in Fashion, It’s in VOGUE !
terlegitimasi dan sebaliknya Demokrat menggunakan power nya untuk mempromosikan dan
mengkonstruski pandangan politik para pembaca Vogue terhadap Demokrat melalui pemilihan
Michelle Obama sebagai model Vogue.
Gender Blurring
Dalam penjelasan di latar belakang, penulis telah menjelaskan tentang identitas yang
terkespos melalui pop culture, dimana majalah merupakan salah satu bentuk dari pop culture itu
sendiri. Pop culture, dalam hal ini majalah, telah merubah cara pandang umum masyarakat
terhadap sesuatu hal yang pada akhirnya turut membantu pembentukan sebuah formasi identitas
baru dalam masyarakat. Biasanya, identitas yang terbentuk melalui media majalah fashion
melibatkan wanita beserta perannya. Dalam hal ini, majalah fashion membuat wanita yang
membaca artikel mengenai perkembangan fashion terbaru akan mengkonstruksi pikirannya
sendiri untuk membentuk suatu identitas baru yang secara implisit ditawarkan oleh majalah
tersebut.
Vogue, sebagai majalah ternama seringkali “memanjakan” pembacanya dengan berbagai
macam produk fashion terbaru nan mewah dengan harga yang sangat fantastis tercantum di
dalamnya. Menurut penulis, melalui hal inilah Vogue memiliki peran yang sangat signifikan
dalam menggeser cara pandang masyarakat terhadap fashion itu sendiri. Sebagian besar pembaca
setia Vogue yang mayoritas wanita, tidak mampu untuk membeli produk yang ditawarkan. Akan
tetapi, secara perlahan cara pandang pembaca akan bergeser ke arah ingin mengikuti gaya atau
lifestyle yang diinformasikan oleh Vogue sehingga pembaca akan mencoba untuk berpenampilan
seperti model yang ditampilkan ataupun merubah gaya hidup bak model tersebut. Lebih lanjut,
Vogue diklaim sebagai majalah yang memberikan kekuasaan yang besar bagi wanita, terlihat
dari peran Anna Wintour dan model wanita yang mencerminkan kemandirian. Secara tidak
langsung, klaim ini juga akan menimbulkan dampak psikologis tersendiri bagi para pembacanya
untuk dapat lebih mengedepankan peran wanita.
Lantas, apa kaitan antara Vogue dengan “gender blurring” ? Gender blurring merupakan
sebuah karakteristik dalam studi posmodernisme yang menyangkut hal gender yang
dikonstruksikan dalam masyarakat tertentu. Dalam hal fashion, gender blurring dibagi menjadi
dua, yakni produk fashion maskulin atau uniseks serta androgynous (Pena, 2005). Sepanjang
perjalanannya, Vogue telah menarik perhatian masyarakat melalui cara penyampaian pesan
Before It’s in Fashion, It’s in VOGUE !
terkait kesetaraan gender bagi wanita. Peran wanita seringkali dikaitkan dengan pekerjaan rumah
tangga namun pemikiran tersebut pun bergeser karena dewasa ini telah banyak wanita yang
bekerja. Vogue, membantu “mengkampanyekan” keseteraan gender di masyarakat melalui
produk fashion yang ditampilkan seringkali bersifat maskulin. Vogue telah membuat sebuah tren
fashion baru dimana wanita juga dapat menggunakan pakaian yang identik dengan pria, seperti
tuxedo, dasi, hingga celana. Penulis menilai bahwa produk fashion memiliki peran yang sangat
signifikan untuk mempromosikan kesetaraan gender karena pakaian seringkali merefleksikan
perbedaan peran antara pria dan wanita. Tren fashion tidak hanya memperlihatkan model
mengenakan pakaian yang umumnya dipakai oleh pria saja, tetapi Vogue juga memperlihatkan
bagaimana ekspresi wajah model wanita yang terkesan maskulin dengan pakaian yang
dikenakannya.
The Ideas of Beauty
Pemahaman mengenai kecantikan sangatlah dipengaruhi oleh pemikiran Barat. Banyak
produk kecantikan yang mempromosikan bahwa cantik identik dengan kulit putih sehingga
pemahaman ini secara tidak langsung mensiratkan bahwa bangsa atau masyarakat yang tidak
berkulit putih dianggap tidak cantik. Promosi pemahaman tentang kecantikan pun juga
dipengaruhi oleh peran majalah Vogue.
Vogue tidak hanya berperan penting dalam pembentukan identitas baru bagi pembaca
wanitanya, tetapi juga menginformasikan bagaimana wanita “seharusnya” berpenampilan.
Vogue selalu menampilkan produk fashion yang (menurut Wintour) bagus dan terkesan
merepresentasikan wanita kebanyakan. Akan tetapi, seperti telah dijelaskan sebelumnya,
berbagai macam produk yang ditawarkan kebanyakan tidak dapat dibeli oleh pembacanya karena
harganya yang terlampau tinggi. Pembaca hanya dapat meniru apa yang ditampilkan oleh Vogue.
Hal inilah yang selanjutnya membuat adanya konstruksi sosial mengenai definisi kecantikan.
Pembaca akan menemukan identitas baru di dalam dirinya melalui fashion. Selain itu, pembaca
juga akan menganggap bahwa jika ingin dianggap cantik, maka berpenampilanlah selayaknya
model yang ada di dalam Vogue karena Vogue merupakan kitab para pecinta fashion. Menurut
penulis, keadaan ini membuat timbulnya suatu realita baru yang terbentuk akibat dari konstruksi
sosial masyarakat terhadap kecantikan. Konstruksi yang terbentuk pun tidak hanya di Amerika
Serikat saja, tetapi juga di berbagai belahan dunia lainnya. Realita tersebut pada dasarnya juga
Before It’s in Fashion, It’s in VOGUE !
terbentuk melalui idealisme pembaca yang ingin dianggap cantik yang pada akhirnya juga
berpengaruh terhadap peran serta identitas wanita.
Akan tetapi, di sisi lain, walaupun telah mengkonstruksi pembaca melalui idealisme nya,
Vogue juga membantu penyebaran definisi kecantikan dalam konteks lain. Tidak hanya tentang
penampilan saja, tetapi juga tentang kecantikan yang menyangkut ras dan warna kulit. Vogue
sangat dikenal dengan model cover nya yang cantik tetapi Vogue juga dikenal sebagai salah satu
pionir dalam menampilkan wanita berkulit hitam sebagai modelnya di berbagai edisi Vogue.
Chanel Iman, Jourdan Dunn, dan Naomi Campbell adalah sederet model berkulit hitam ternama
yang pernah menjadi model Vogue. Penulis beranggapan bahwa pemilihan model non- kulit
putih berimplikasi pula ada pendefinisian akan kecantikan. Cantik pada akhirnya tidak lagi selalu
identik dengan wanita berkulit putih, tetapi sangat bergantung pada bagaimana penampilan
seseorang tersebut apapun warna kulitnya. Secara perlahan, pemahaman ini pun menyebar luas
di seluruh dunia dan dapat membuat semakin kuatnya gerakan sosial terkait dengan persamaan
hak asasi manusia.
3. Kesimpulan
Perkembangan pop culture dewasa ini telah menimbulkan efek yang cukup signifikan
dalam berbagai bidang, seperti politik dan sosial. Majalah fashion, salah satu bentuk dari pop
culture, telah mengubah berbagai cara pandang masyarakat atau pembacanya melalui berbagai
informasi yang disediakan di dalam majalah. Dalam hal ini, Vogue merupakan salah satu
majalah fashion yang memiliki pengaruh sangat kuat di dunia. Pengaruh kuat tersebut didapat
melalui power yang dimiliki oleh editor-in-chief, Anna Wintour, dalam memilih informasi apa
saja yang akan ditampilkan sehingga pembaca hanya akan mengetahui apa yang ingin
diinformasikan oleh Vogue. Kekuasaan yang dimiliki Wintour telah menjadikannya sebagai
orang nomor satu dalam industri fashion dunia dan hal ini berimplikasi tidak hanya di dunia
fashion saja, tetapi juga dalam bidang lain.
Power Wintour turut berpengaruh dalam pembentukan pengetahuan bagi pembacanya.
Walaupun berkonsepkan fashion, Vogue secara tersirat seringkali mengangkat aspek lain, seperti
politik ke dalamnya. Pemilihan Michelle Obama sebagai model, ditampilkannya produk fashion
yang memaparkan slogan dan simbol politik pada dasarnya akan mempengaruhi cara pandang
Before It’s in Fashion, It’s in VOGUE !
pembaca. Di bidang sosial, Vogue cukup berperan dalam pembentukan identitas baru bagi
pembaca wanitanya dimana segala konten yang ditampilkan sangat erat kaitannya dengan upaya
redefinisi tentang peran wanita dalam masyarakat. Kekuasaan yang dimiliki oleh Wintour
dengan Vogue-nya pun telah menunjukkan transformasi sosial mengenai wanita di Barat dan
yang tidak kalah penting, Wintour memiliki kontrol yang sangat kuat dalam penyebaran
informasi yang tersirat di dalamnya. Before it’s in fashion, it’s in Vogue!
Referensi :
Delaney,
Tim.
Pop
Culture
:
An
Overview
accessed
from
http://philosophynow.org/issues/64/Pop_Culture_An_Overview on June 19th 2013
Monk, Elspeth. Magazine Journalism : Vogue (The University of Winchester) accessed
from http://journalism.winchester.ac.uk/?page=254 on June 19th 2013
Morgado, M. Postmodern : Theories and concepts of contemporary culture and their
implications for apparel scholars. Clothing and Textiles Research Journal 14(1)
Pena, Melody A. The Impact of Postmodernism on Fashion Since 1980. (Athens : Florida
State University, 2005)
Jumlah kata : 2.631 kata
Publikasi Majalah Fashion Vogue Sebagai Media Politik dan
Transformasi Sosial
Deni Aulia
Program Studi Hubungan Internasional, FISIP Universitas Brawijaya
Abstract
Over the past one hundred years, women have transformed from being a “stay at home
housewife” to a “independent working-mom who can do it all herself”. How could? It’s simply
because of what we call as “popular culture”, in this case, fashion magazine. Vogue, the world’s
most powerful fashion magazine, helps that transformation occured. Vogue shows us how to
empower women through its strong female editor, Anna Wintour, and to promote gender equality
through its contents and models so that all the women are expected to be more powerful and
independent in many different field. The concern of its paper is to analyze how can Vogue be
very powerful and what are the “social effects” of Vogue being published all over the world.
Furthermore, I would like to explain the symbiosis mutualism relation between Vogue and
politics, explained by power – knowledge nexus.
Keyword : transformation, pop culture, Vogue, social effects, power-knowledge nexus
1. Pendahuluan
Pada era modern ini, keanekaragaman identitas yang berasal dari seluruh dunia telah
terekspos secara cepat melalui apa yang disebut dengan budaya populer (pop culture). Budaya
populer didefinisikan sebagai :
“... determined by the interactions between people in their everyday sctivities : style
of dress, the use of slang, greeting rituals and the food that people eat. Popular
culture is also informed by mass media.” (Delaney, Philosophy Now).
Before It’s in Fashion, It’s in VOGUE !
Melalui definisi yang dijelaskan oleh Delaney di atas, pop culture dapat dikatakan
sebagai sebuah keadaan atau kondisi dari “budaya bersama” yang keberadaannya diakui oleh
hampir seluruh masyarakat di dunia. Pop culture selanjutnya juga dijelaskan sebagai sebuah
budaya yang terdiri atas berbagai aspek sosial mulai dari attitudes, behaviors, beliefs, customs
yang seringkali disebut sebagai the culture of the people (Delaney, Philosophy Now). Lebih
lanjut, keberadaan pop culture tidak lepas dari peran media massa, yang mana media tersebut
berperan untuk “menyebarkan” pop culture. Adapun media tersebut seperti film, musik, acara
televisi, dan yang tidak kalah penting adalah majalah.
Salah satu “alat” atau media terpenting dalam “menyebarkan” pop culture yang
mengekspos tentang berbagai identitas sosial adalah majalah. Majalah, pada dasarnya digunakan
sebagai sebuah media untuk menginformasikan masyarakat mengenai segala hal atau berita
terbaru dalam bidang yang spesifik, seperti contoh berita tentang olahraga, otomotif, ekonomi,
hingga fashion. Akan tetapi, majalah tidak hanya digunakan sebagai sarana penyebar informasi
saja, tetapi juga dipertimbangkan sebagai sarana mempromosikan sebuah produk ke seluruh
dunia. How could a magazine promote products? Hal ini dikarenakan berbagai macam majalah
ternama yang berkelas internasional dibaca oleh berbagai macam masyarakat di negara yang
berbeda-beda sehingga majalah memiliki kemampuan untuk menjangkau masyarakat secara
langsung, dalam hal ini para konsumen, dan selanjutnya konsumen tidak hanya akan membaca
informasi yang ada di dalam majalah tetapi juga akan melihat segala macam bentuk promosi
yang ada.
Meskipun beberapa majalah memiliki bahasan yang sama dalam bidangnya, seperti
contoh majalah fashion akan selalu membahas tentang tren fashion terbaru dan brand ternama di
dalamnya, masing-masing dari majalah tersebut pada dasarnya memiliki perbedaan jelas
mengenai target dan tujuannya. Perbedaan inilah yang saya sebut dengan “fokus”. Dengan
membuat perbedaan yang mencirikan masing-masing majalah, masyarakat pun akan menyadari
majalah mana yang sekiranya memberikan informasi yang diinginkan. Hal inilah yang terjadi di
dalam industri majalah fashion dunia. Beberapa majalah fashion, seperti Marie Claire dan
Vogue, memiliki perbedaan yang cukup signifikan terkait dengan target konsumen hingga
kontennya, walaupun keduanya memiliki bahasan yang sama : fashion. Marie Claire, di dalam
setiap edisinya selalu menampilkan berbagai macam tren fashion yang berbeda bagi setiap
pembacanya. Sementara Vogue, lebih menitikberatkan pada kesan eksklusifitasnya di dalam
Before It’s in Fashion, It’s in VOGUE !
dunia fashion. Hal ini jelass terlihat dari banyaknya brand internasional yang “menumpang”
Vogue untuk mempromosikan produknya dengan harga yang tercantum mencapai empat digit.
Vogue merupakan salah satu majalah fashion terpenting dan paling dikenal oleh
masyarakat dunia. Vogue pertama kali dipublikasikan oleh Conde Nast Publication pada akhir
abad ke- 19. Majalah ini pertama kali dipublikasikan untuk para pembaca di Amerika dan
diproduksi di 18 negara berbeda. Akan tetapi, pada awal abad ke- 20, Vogue memulai debutnya
di luar Amerika dimana Inggris merupakan negara non-Amerika pertama yang mempublikasikan
Vogue, yang selanjutnya dikenal sebagai British Vogue (Monk, The University of Winchester).
Hingga kini, Vogue telah dipublikasikan di lebih dari 20 negara di seluruh dunia dan juga
dinobatkan sebagai majalah fasshion paling berpengaruh di dunia oleh The New York Times.
Penobatan Vogue sebagai majalah fashion nomor satu di dunia bukan tanpa alasan.
Vogue hingga kini telah memperoleh berbagai pencapaian tinggi di dunia fashion. Vogue juga
dikenal sebagai the bible of the fashion world, kitab bagi para pecinta fashion. Mengapa seluruh
hal tersebut dapat terjadi pada Vogue? Jawabannya ialah Anna Wintour. Siapa yang tidak
mengenal Anna Wintour? Wintour adalah editor-in-chief dari Vogue Amerika sejak tahun 1988.
Dialah yang dinilai telah membuat Vogue sebagai sebuah majalah fashion eksklusif melalui
berbagai strateginya. Wintour disebut-sebut sebagai orang nomor satu dalam industri fashion
karena Wintour lah yang telah membuat Vogue sebagai majalah yang sangat berpengaruh.
Wintour juga lah yang menentukan isi atau konten apa saja yang harus dimuat di dalam majalah
Vogue, siapa saja yang akan menjadi model di dalam majalah, hingga produk atau brand apa
saja yang ditampilkan. This in, this out. Hal ini menunjukkan bahwa setiap konten yang ada di
dalam Vogue sangatlah bergantung pada preferensi atau ketertarikan dari Anna Wintour sendiri,
apa yang dianggap pantas dan apa yang dinilai tepat untuk dipublikasikan.
2. Pengaruh Majalah Fashion Vogue
Untuk membahas tentang Vogue dan bagaimana pengaruhnya terhadap masyarakat serta
bagi bidang lainnya, penulis akan mencoba untuk menganalisisnya melalui pendekatan poststrukturalis dan konstruktivis. Penulis akan menganalisis tiga hal yang menurut penulis menarik
untuk dibahas, yakni : (1) power – knowledge nexus, (2) gender blurring, serta (3) the ideas of
beauty
Before It’s in Fashion, It’s in VOGUE !
Power - Knowledge Nexus
Power – Knowledge Nexus merupakan sebuah teori dalam perspektif post strukturalis.
Pandangan ini menjelaskan bahwa suatu teks atau bacaan tidak dapat menerangkan apa yang
ditulis oleh penulis. Artinya, teks yang dibaca akan memiliki interpretasi yang berbeda – beda
antara satu pembaca dengan penulisnya serta pembaca lainnya. Dalam konteks power –
knowledge nexus, teks atau bacaan serta segala pengetahuan yang ada sangat erat kaitannya
dengan adanya power yang dimiliki oleh penulis (power menghasilkan knowledge). Lebih lanjut,
pembentukan pengetahuan, menurut Foucoult, juga dipengaruhi oleh power relation antar aktor.
Dalam kaitannya dengan Vogue, power – knowledge nexus tercermin dari bagaimana
peran editor-in-chief, Anna Wintour dalam mengambil segala keputusannya terkait dengan
publikasi Vogue. Seperti telah dijelaskan, sebagai orang nomor satu dalam industri fashion,
Wintour memegang kendali penuh atas Vogue dan seluruh konten yang ditampilkan di dalam
majalah adalah preferensi dari Wintour sendiri. Menurut penulis, hal ini menunjukkan jabatan
yang dipegang oleh Wintour sebagai editor-in-chief telah memberikan sebuah kekuasaan
(power ) bagi Wintour dan melalui power yang dimilikinya tersebut, Wintour memiliki kendali
atas segala teks atau bacaan, gambar – gambar, serta informasi yang disampaikan oleh Vogue.
Hal tersebut mencerminkan power yang dimiliki pun dapat melegitimasikan preferensi seseorang
untuk diakui kebenarannya oleh orang lain yang secara tidak langsung juga telah membentuk
sebuah pengetahuan baru melalui teks yang ada di dalamnya yang selanjutnya akan
mempengaruhi bagaimana pembaca menginterpretasikan pesan yang disampaikan oleh Wintour
melalui Vogue-nya.
Pada dasarnya, apa yang Wintour coba sampaikan melalui Vogue seringkali “diamini”
oleh para pembacanya, terutama dalam hal tren fashion terbaru. Akan tetapi, Wintour tidak
hanya menentukan bacaan saja, tetapi juga dalam hal iklan atau promosi produk. Peran Wintour
pun terlihat semakin penting dalam industri fashion, dimana promosi suatu produk atau brand
juga ditentukan oleh Wintour. Brand yang dianggap “tidak pantas” untuk tampil di Vogue
karena tidak sesuai dengan preferensi Wintour, tidak akan pernah ditampilkan. Lagi – lagi,
kekuasaan yang dimiliki Wintour memperlihatkan bagaimana ia mengendalikan informasi yang
ada.
Before It’s in Fashion, It’s in VOGUE !
Power yang dimiliki oleh Vogue juga berimplikasi secara politis. Secara umum, dalam
dunia politik fashion pada dasarnya juga dijadikan sebagai sebuah instrumen atau media bagi
pihak – pihak tertentu untuk meredamkan segala bentuk suara pihak lain yang berbeda. Hal ini
dilakukan melalui berbagai cara, seperti menggunakan produk fashion untuk mempromosikan
agenda politik pihak tertentu secara tersirat. Hal yang paling umum dilakukan adalah
menggunakan pakaian sebagai media untuk menyampaikan pesan politik, seperti pakaian yang
bertuliskan tentang stop kekerasan dan aspirasi suara kelompok minoritas tertentu (Morgado,
1996).
Bagaimana Vogue berperan dalam penyampaian pesan politik dari pihak tertentu? Vogue
kembali memiliki peran sebagai sarana publikasi yang sangat diminati, termasuk dalam bidang
politik, karena Vogue memiliki jumlah pembaca yang sangat banyak dan juga mencakup level
internasional, tidak hanya di Amerika Serikat saja. Tren fashion yang menunjukkan pesan politik
melalui produk – produk ternama secara tidak langsung akan disadari oleh masyarakat yang
selanjutnya dapat mengkonstruksi pandangan masyarakat terhadap golongan politik tertentu.
Namun demikian, lagi – lagi preferensi Anna Wintour lah yang akan “bermain” dalam
penyampaian pesan politik dimana Wintour akan menampilkan produk fashion politik yang
sesuai dengan pandangan pribadinya terhadap politik itu sendiri.
Salah satu hal yang menurut penulis cukup fenomenal yang pernah dilakukan oleh Vogue
ialah menjadikan Michelle Obama, ibu negara Amerika Serikat sebagai model cover majalah
nya. Secara implisit, penulis menilai bahwa pemilihan Michelle Obama sebagai model telah
menunjukkan jika Vogue merupakan majalah fashion yang tidak hanya ditawarkan bagi
masyarkat biasa saja, tetapi juga bagi kaum elit pemerintahan sehingga kesan dan image Vogue
sebagai majalah fashion berpengaruh di dunia pun semakin terlihat. Hal tersebut selanjutnya
akan dapat “melegitimasi kekuasaan” yang dimiliki oleh Wintour. Tentu saja, pemilihan
Michelle Obama didasarkan pada preferensi dari Wintour sendiri mengenai pandangannya
terhadap politik. Di sisi lain, Vogue juga “mempromosikan” politik Amerika Serikat, dalam hal
ini Demokrat, kepada seluruh pembacanya. Vogue dijadikan sebagai alat promosi bagi Demokrat
untuk menarik dukungan rakyat nya melalui Michelle Obama. Penjelasan tersebut
memperlihatkan hubungan “simbiosis mutualisme” antara Vogue dengan Demokrat dimana
kedua belah pihak dapat memperoleh keuntungan melalui power relation di antara keduanya :
Vogue menggunakan power nya untuk membuat kekuasaan yang dimiliki Vogue semakin
Before It’s in Fashion, It’s in VOGUE !
terlegitimasi dan sebaliknya Demokrat menggunakan power nya untuk mempromosikan dan
mengkonstruski pandangan politik para pembaca Vogue terhadap Demokrat melalui pemilihan
Michelle Obama sebagai model Vogue.
Gender Blurring
Dalam penjelasan di latar belakang, penulis telah menjelaskan tentang identitas yang
terkespos melalui pop culture, dimana majalah merupakan salah satu bentuk dari pop culture itu
sendiri. Pop culture, dalam hal ini majalah, telah merubah cara pandang umum masyarakat
terhadap sesuatu hal yang pada akhirnya turut membantu pembentukan sebuah formasi identitas
baru dalam masyarakat. Biasanya, identitas yang terbentuk melalui media majalah fashion
melibatkan wanita beserta perannya. Dalam hal ini, majalah fashion membuat wanita yang
membaca artikel mengenai perkembangan fashion terbaru akan mengkonstruksi pikirannya
sendiri untuk membentuk suatu identitas baru yang secara implisit ditawarkan oleh majalah
tersebut.
Vogue, sebagai majalah ternama seringkali “memanjakan” pembacanya dengan berbagai
macam produk fashion terbaru nan mewah dengan harga yang sangat fantastis tercantum di
dalamnya. Menurut penulis, melalui hal inilah Vogue memiliki peran yang sangat signifikan
dalam menggeser cara pandang masyarakat terhadap fashion itu sendiri. Sebagian besar pembaca
setia Vogue yang mayoritas wanita, tidak mampu untuk membeli produk yang ditawarkan. Akan
tetapi, secara perlahan cara pandang pembaca akan bergeser ke arah ingin mengikuti gaya atau
lifestyle yang diinformasikan oleh Vogue sehingga pembaca akan mencoba untuk berpenampilan
seperti model yang ditampilkan ataupun merubah gaya hidup bak model tersebut. Lebih lanjut,
Vogue diklaim sebagai majalah yang memberikan kekuasaan yang besar bagi wanita, terlihat
dari peran Anna Wintour dan model wanita yang mencerminkan kemandirian. Secara tidak
langsung, klaim ini juga akan menimbulkan dampak psikologis tersendiri bagi para pembacanya
untuk dapat lebih mengedepankan peran wanita.
Lantas, apa kaitan antara Vogue dengan “gender blurring” ? Gender blurring merupakan
sebuah karakteristik dalam studi posmodernisme yang menyangkut hal gender yang
dikonstruksikan dalam masyarakat tertentu. Dalam hal fashion, gender blurring dibagi menjadi
dua, yakni produk fashion maskulin atau uniseks serta androgynous (Pena, 2005). Sepanjang
perjalanannya, Vogue telah menarik perhatian masyarakat melalui cara penyampaian pesan
Before It’s in Fashion, It’s in VOGUE !
terkait kesetaraan gender bagi wanita. Peran wanita seringkali dikaitkan dengan pekerjaan rumah
tangga namun pemikiran tersebut pun bergeser karena dewasa ini telah banyak wanita yang
bekerja. Vogue, membantu “mengkampanyekan” keseteraan gender di masyarakat melalui
produk fashion yang ditampilkan seringkali bersifat maskulin. Vogue telah membuat sebuah tren
fashion baru dimana wanita juga dapat menggunakan pakaian yang identik dengan pria, seperti
tuxedo, dasi, hingga celana. Penulis menilai bahwa produk fashion memiliki peran yang sangat
signifikan untuk mempromosikan kesetaraan gender karena pakaian seringkali merefleksikan
perbedaan peran antara pria dan wanita. Tren fashion tidak hanya memperlihatkan model
mengenakan pakaian yang umumnya dipakai oleh pria saja, tetapi Vogue juga memperlihatkan
bagaimana ekspresi wajah model wanita yang terkesan maskulin dengan pakaian yang
dikenakannya.
The Ideas of Beauty
Pemahaman mengenai kecantikan sangatlah dipengaruhi oleh pemikiran Barat. Banyak
produk kecantikan yang mempromosikan bahwa cantik identik dengan kulit putih sehingga
pemahaman ini secara tidak langsung mensiratkan bahwa bangsa atau masyarakat yang tidak
berkulit putih dianggap tidak cantik. Promosi pemahaman tentang kecantikan pun juga
dipengaruhi oleh peran majalah Vogue.
Vogue tidak hanya berperan penting dalam pembentukan identitas baru bagi pembaca
wanitanya, tetapi juga menginformasikan bagaimana wanita “seharusnya” berpenampilan.
Vogue selalu menampilkan produk fashion yang (menurut Wintour) bagus dan terkesan
merepresentasikan wanita kebanyakan. Akan tetapi, seperti telah dijelaskan sebelumnya,
berbagai macam produk yang ditawarkan kebanyakan tidak dapat dibeli oleh pembacanya karena
harganya yang terlampau tinggi. Pembaca hanya dapat meniru apa yang ditampilkan oleh Vogue.
Hal inilah yang selanjutnya membuat adanya konstruksi sosial mengenai definisi kecantikan.
Pembaca akan menemukan identitas baru di dalam dirinya melalui fashion. Selain itu, pembaca
juga akan menganggap bahwa jika ingin dianggap cantik, maka berpenampilanlah selayaknya
model yang ada di dalam Vogue karena Vogue merupakan kitab para pecinta fashion. Menurut
penulis, keadaan ini membuat timbulnya suatu realita baru yang terbentuk akibat dari konstruksi
sosial masyarakat terhadap kecantikan. Konstruksi yang terbentuk pun tidak hanya di Amerika
Serikat saja, tetapi juga di berbagai belahan dunia lainnya. Realita tersebut pada dasarnya juga
Before It’s in Fashion, It’s in VOGUE !
terbentuk melalui idealisme pembaca yang ingin dianggap cantik yang pada akhirnya juga
berpengaruh terhadap peran serta identitas wanita.
Akan tetapi, di sisi lain, walaupun telah mengkonstruksi pembaca melalui idealisme nya,
Vogue juga membantu penyebaran definisi kecantikan dalam konteks lain. Tidak hanya tentang
penampilan saja, tetapi juga tentang kecantikan yang menyangkut ras dan warna kulit. Vogue
sangat dikenal dengan model cover nya yang cantik tetapi Vogue juga dikenal sebagai salah satu
pionir dalam menampilkan wanita berkulit hitam sebagai modelnya di berbagai edisi Vogue.
Chanel Iman, Jourdan Dunn, dan Naomi Campbell adalah sederet model berkulit hitam ternama
yang pernah menjadi model Vogue. Penulis beranggapan bahwa pemilihan model non- kulit
putih berimplikasi pula ada pendefinisian akan kecantikan. Cantik pada akhirnya tidak lagi selalu
identik dengan wanita berkulit putih, tetapi sangat bergantung pada bagaimana penampilan
seseorang tersebut apapun warna kulitnya. Secara perlahan, pemahaman ini pun menyebar luas
di seluruh dunia dan dapat membuat semakin kuatnya gerakan sosial terkait dengan persamaan
hak asasi manusia.
3. Kesimpulan
Perkembangan pop culture dewasa ini telah menimbulkan efek yang cukup signifikan
dalam berbagai bidang, seperti politik dan sosial. Majalah fashion, salah satu bentuk dari pop
culture, telah mengubah berbagai cara pandang masyarakat atau pembacanya melalui berbagai
informasi yang disediakan di dalam majalah. Dalam hal ini, Vogue merupakan salah satu
majalah fashion yang memiliki pengaruh sangat kuat di dunia. Pengaruh kuat tersebut didapat
melalui power yang dimiliki oleh editor-in-chief, Anna Wintour, dalam memilih informasi apa
saja yang akan ditampilkan sehingga pembaca hanya akan mengetahui apa yang ingin
diinformasikan oleh Vogue. Kekuasaan yang dimiliki Wintour telah menjadikannya sebagai
orang nomor satu dalam industri fashion dunia dan hal ini berimplikasi tidak hanya di dunia
fashion saja, tetapi juga dalam bidang lain.
Power Wintour turut berpengaruh dalam pembentukan pengetahuan bagi pembacanya.
Walaupun berkonsepkan fashion, Vogue secara tersirat seringkali mengangkat aspek lain, seperti
politik ke dalamnya. Pemilihan Michelle Obama sebagai model, ditampilkannya produk fashion
yang memaparkan slogan dan simbol politik pada dasarnya akan mempengaruhi cara pandang
Before It’s in Fashion, It’s in VOGUE !
pembaca. Di bidang sosial, Vogue cukup berperan dalam pembentukan identitas baru bagi
pembaca wanitanya dimana segala konten yang ditampilkan sangat erat kaitannya dengan upaya
redefinisi tentang peran wanita dalam masyarakat. Kekuasaan yang dimiliki oleh Wintour
dengan Vogue-nya pun telah menunjukkan transformasi sosial mengenai wanita di Barat dan
yang tidak kalah penting, Wintour memiliki kontrol yang sangat kuat dalam penyebaran
informasi yang tersirat di dalamnya. Before it’s in fashion, it’s in Vogue!
Referensi :
Delaney,
Tim.
Pop
Culture
:
An
Overview
accessed
from
http://philosophynow.org/issues/64/Pop_Culture_An_Overview on June 19th 2013
Monk, Elspeth. Magazine Journalism : Vogue (The University of Winchester) accessed
from http://journalism.winchester.ac.uk/?page=254 on June 19th 2013
Morgado, M. Postmodern : Theories and concepts of contemporary culture and their
implications for apparel scholars. Clothing and Textiles Research Journal 14(1)
Pena, Melody A. The Impact of Postmodernism on Fashion Since 1980. (Athens : Florida
State University, 2005)
Jumlah kata : 2.631 kata