Perbandingan intensitas warna CPO dengan menggunakan Bleaching Earth (BE) dan Spent Bleaching Earth (SBE) di PT. SMART Tbk.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis guinensis JAQC) adalah tanaman berkeping satu yang
termasuk dalam familia palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani
yaitu Elaeis atau minyak, sedangkan nama spesies Guinensis berasal dari kata
guinea, yaitu tempat dimana Seorang Ahli bernama Jaqcuin menemukan taman
kelapa sawit pertama kali di pantai Guinea.
Kelapa sawit didasarkan atas bukti-bukti fosil, Sejarah, dan Linguistik
yang ada diyakini berasal dari Afrika Barat. Di tempat asalnya ini, Kelapa sawit
(yang pada saat lalu dibiarkan tumbuh liar di hutan - hutan) sejak awal
telah dikenal sebagai tanaman pangan yang penting. Oleh penduduk setempat
kelapa sawit telah diproses secara amat sederhana menjadi minyak dan tuak sawit.
Di luar Benua Afrika, kelapa sawit mulai diperhitungkan sebagai tanaman
komoditas (penghasil produk pangan) Sejak Revolusi Industri bersaing keras di
Eropa. Saat itu, di Eropa mulai bermunculan Industri atau pabrik (anatara lain
Industri sabun dan margarin) yang
operasionalnya.
membutuhkan bahan mentah / baku untuk
Minyak sawit dan minyak inti sawit yang muncul
kemudian adalah
bahan mentah / baku tersebut.
dua produk yang antara lain dibutuhkan untuk
Maka jadilah minyak dibutuhkan oleh pasar
Eropa (Tim Penulis,1997).
Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada Daerah beriklim tropis dengan
curah hujan 2000 mm / tahun dan kisaran suhu 22 – 32 °C. Dimana daerah
5
Universitas Sumatera Utara
penanaman kelapa sawit di Indonesia adalah Jawa Barat (Lebak dan Tangerang),
Lampung, Riau, Sumatera Utara, dan Aceh. Negara penghasil kelapa sawit di
Indonesia adalah Malaysia, Amerika Tengah dan Nigeria. Berdasarkan ketebalan
tempurung dan daging buah, dikenal lima varietas kelapa sawit, yaitu :
1. Dura
Tempurung cukup tebal antara 2 -8 mm dan tidak terdapat lingkaran sabut pada
bagian luar tempurung dan daging buah relative tipis dengan persentase daging
buah terhadap buah bervariasi antara 35 – 50 %. Kernel (daging biji) biasanya
besar dengan kandugan minyak yang rendah. Dalam persilangan varietas Dura
dipakai sebagai phon induk betina.
2. Psifera
Ketebalan tempurung sangat tipis, bahkan hampir tidak ada, tetapi daging buahnya
tebal. Persentase daging buah terhadap buah cukup tunggi, sedangkan
daging biji sangat tipis. Jenis Psifera tidak dapat diperbanyak tanpa
menyilangkan dengan jenis yang lain. Oleh sebab itu, dalam persilangan
dipakai pohon induk jantan. Penyerbukan silang antara Psifera dengan Dura akan
menghasilkan Varietas Tenera.
3. Tenera
Varietas ini mempunyai sifat – sifat yang berasal dari kedua induknya, yaitu Dura
dan Psifera. Varietas inilah yang banyak ditanamkan di perkebunan saat ini.
Tempurung sudah disekelilingnya. Persentase daging buah terhadap tinggi antara
6
Universitas Sumatera Utara
60 - 96 %. Tandan buah yang dihasilkan oleh Tenera lebih banyak daripada Dura
tetapi ukuran tandannya relative lebih kecil.
4. Macro Carya
Tempurung sangat tebal, sekitar 5 mm, sedang daging buahnya tipis sekali.
5. Diwikka-Wakka
Varietas ini mempunyai ciri khas dengan adanya dua lapis daging buah.
Diwikka-Wakka dapat dibedakan menjadi Diwikka-wakkadura, Diwikkawakkapsifera
dan
Diwikka-wakkatenera.
Perbedaan
ketebalan
buah kelapa sawit menyebabkan perbedaan persentase atau rendemen
daging
minyak
yang dikandungnya. Rendemen minyak tertinggi terdapat pada varietas Tenera
yaitu 22 - 24 % sedangkan pada varietas. Dura antara 16 - 18 %. Sehingga tidak
heran jika lebih banyak perkebunan yang menanam kelapa sawit dari varietas
Tenera
2.2
(Tim Penulis,1992 ).
Minyak Kelapa Sawit
Buah kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak. Minyak yang berasal dari
daging buah (mesokarp) berwarna merah. Jenis minyak inini dikenal sebagai
minyak kelapa sawit kasar atau Crude Palm Oil ( CPO ). Sedangkan minyak yang
kedua adalah berasal dari inti kelapa sawit, tidak berwarna dikenal sebagai minyak
inti kelapa sawit atau Palm Kernel Oil (PKO). Minyak kelapa sawit kasar (Crude
Palm Oil) mengandung sekitar 500-700 ppm β-carotene dan merupakan bahan
pangan sumber karoten alami terbesar. Oleh karena itu CPO berwarna merah
jingga. Disamping itu jumlahnya juga cukup tinggi. Minyak sawit ini diperoleh
7
Universitas Sumatera Utara
dari mesokarp buah kelapa sawit melalui ekstraksi dan mengandung sedikit air
serta serat halus, yang berwarna kuning sampai merah dan berbentuk semi solid
pada suhu ruang. Adanya serat halus dan air pada sawit kasar tersebut
menyebabkan minyak sawit kasar tidak dapat dikonsumsi langsung sebagai
bahan pangan maupun non pangan (Ketaren, 1986 ).
2.2.1
Komposisi Minyak Sawit
Kelapa sawit mengandung lebih kurang 80 % pericarp dan 20 %buah yang
dilapisi kulit yang tipis ; kadar minyak dalam pericarp sekitar 30 – 40 %. Minyak
kelapa sawit adalah
lemak semi padat yang mempunyai komposisi yang tetap
zat warna yang terdapat dalam CPO terdiri dari zat warna alamiah dan zat warna
dari hasil degradasi zat warna alamiah. Zat warna alamiah seperti ά dan β-karoten,
xanthofil, khlorofil, gossyfil, dan anthocyanin yang menyebabkan minyak
berwarna kuning,
kuning coklat,
kehijau-hijauan
Sedangkan zat warna dari hasil degradasi
menyebabkan CPO
dan
kemerah-merahan.
zat warna alamiah biasanya
berwarna gelap (Ketaren, 1986).
Minyak yang berkualitas bagus dan digunakan untuk menggoreng adalah
minyak yang memiliki daya tahan tinggi dan tidak membentuk lapisan
keras jika dibiarkan mengering di udara. Syarat mutu minyak goreng menurut
Standar Industri Indonesia (SII) terdapat pada Tabel 2.1
8
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Syarat Mutu Minyak Goreng
Komponen
Maksimum
Kadar air
0,3%
Angka peroksids
1 mg oksigen/100g minyak
Asam lemak bebas dsebagai asam terlarut
0,03%
Logam bahaya (Pb, Cu, Hg dan Arsen)
Negatif
Bau, warna dan rasa
Normal
2.2.2
Sifat Fisika – Kimia Minyak Kelapa Sawit
Sifat Fisika- Kimia minyak kelapa sawit meliputi warna, bau dan flavor,
kelarutan,
titik
cair
dan
polymorphism,
titik
didih
(boiling
point),
titik pelunakan, slipping point, shot melting point, bobot jenis, indeks bias,
titik kekeruhan (turbidity point),
Beberapa
sifat
fisika
–
kimia
titik asap,
dari
titik nyaladan titik api.
kelapa
sawit
nilainya
dapat
dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Nilai Sifat Fisika – Kimia Minyak Sawit dan Minyak Inti Sawit
Sifat
Bobot jenis pada suhu kamar
Minyak Sawit
0,900
MinyakInti Swit
0,900-0,913
Indeks bias D 40 °C
1,4565-1,4585
1,495-1,415
Bilangan Iod
48 - 56
14 - 20
Bilangan Penyabunan
196 - 205
244 – 254
9
Universitas Sumatera Utara
Warna minyak ditentukan oleh adanya pigmen yang masih tersisa setelah proses
pemucatan, karena asam – asam lemak dan gliserida tidak berwarna.
Warna Orange atau kuning disebabkan adanya pigmen karoten yang
larut dalam minyak. Bau dan flavor dalam minyak terdapat secara alami,
juga
terjadi
akibat
akibat
kerusakan
adanya
minyak.
asam-asam
Sedangkan
lemak
bau khas
berantai
minyak
kelapa
pendek
sawit
ditimbulkan oleh persenyawaan Beta ionone. Titik cair minyak sawit
berada
dalam
nilai
kisaran
suhu,
karena
minyak
kelapa
sawit
mengandung beberapa macam asam lemak yang mempunyai titik cair yang
berbeda-beda ( Ketaren,1986)
2.3
Proses Pengolahan Minyak Sawit Mentah ( CPO )
Minyak sawit yang keluar dari pemerasan atau pengepresan masih berupa minyak
sawit kasar, karena masih mengandung kotoran dan serabut serta air sebesar
40 - 45%. Agar diperoleh minyak sawit yang bermutu baik, minyak sawit kasar
tersebut mengalami pengolahan lebih lanjut. Minyak sawit yang masih kasar
kemudian dialairkan kedalam tanki minyak kasar (Crude Oil Tank). Dan setelah
melalui pemurnian atau klarifikasi yang bertahap, maka akan dihasilkan minyak
sawit mentah (Crude Palm Oil). Proses penjernihan dilakukan untuk menurunkan
kandungan air di dalam minyak. Untuk memperoleh minyak yang bermutu baik
ini harus dimurnikan kembali dari bahan – bahan atau kotoran yang terdapat
didalamnya (Tim Penulis, 1997).
Minyak yang baik, tidak berbau dan enak rasanya, jernih dan sukai
warnanya, stabil pada cahaya dan tahan terhadap panas. Minyak sawit mempunyai
10
Universitas Sumatera Utara
sifat yang menguntungkan untuk dijadikan minyak goreng dengan mutu yang
baik. Melalui proses refinery dan fraksinasi dapat dihasilkan minyak jernih dan
bebas dari kotoran (Seto,2001)
Tidak seperti minyak lain, minyak kelapa sawit terutama mengandung
gliserida dan hanya memiliki sebagian kecil komponen non gliserida yang
porsinya bervariasi. Dalam rangka menghasilkan minyak minyak yang bisa di
konsumsi, komponen non tri gliserida ini harus dibuang atau dikurangi sampai
tingkat yang porsinya bervariasi. Dalam istilah kemudahan larut, gliserida
memiliki dua tipe utama, yaitu gliserida tidak larut dalam minyak dan gliserida
yang larut dalam minyak. Kotoran yang tidak dapat larut dalam minyak seperti
serat buah,
cangkang dan air yang dapat dengan mudah dihilangkan.
Tujuan utama
pemurnian minyak sawit adalah merubah minyak sawit
kasar menjadi
minyak sawit yang berkualitas secara efisien dengan
membuang
kotoran – kotoran yang tidak diinginkan sampai pada
tingkat yang dapat diterima.
komponen yang diinginkan
Hal ini berarti juga bahwa kerugian pada
di usahakan tetap minimal (Iyung,
2006).
Tahap pemurnian meliputi 4 tahap antara lain Degumming, Netralisasi, Bleaching,
dan Deodorisasi.
2.3.1.
Degumming
Degumming merupakan proses pemisahan getah atau lendir – lendir yang terdiri
dari fosfatida, protein, residu, karbohidrat, air dan resin, tanpa mengurangi
jumlah asam lemak bebas dalam minyak. Biasanya proses ini dilakukan
11
Universitas Sumatera Utara
dengan cara dehidrasi gum atau kotoran lain agar bahan tersebut lebih mudah
terpisah dari minyak kemudian disusul dengan proses pemusingan (sentrifugasi).
Caranya
ialah
dengan
melakukan
uap
air
panas
kedalam
minyak
disusul dengan pengaliran air dan selanjutnya disentrifugasi sehingga bain lendir
terpisah dari air
2.3.2
Netralisasi
Minyak atau lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau
pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun (soap stock). Pemisahan asam lemak
bebas dapat juga dilakukan dengan istilah deasidifkasi.
a. Netralisasi dengan basa (NaOH)
Netralisasi dengan kaustik soda banyak dilakukan dalam skala industri, karena
lbih efisien dan lebih murah dibandingkan dengan cara netralisasi lainnya. Selain
itu menggunakan kaustik soda. Membantu dalam mengurangi zat warna dan
kotoran yang Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan zat warna dan
kotoran seperti fosfatida dan protein. Dengan cara membentuk emulsi. Sabun atau
emulsi yang terbentuk dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifusi.
b.
Netralisasi dengan Natrium Karbonat (Na2CO3)
Keuntungan menggunakan persenyawaan karbonat adalah karena trigliserida
tidak ikut tersabunkan. Sehingga nilai refining factor dapat diperkecil. Suatu
kelemahan dari pemakaian senyawaa ini adalah karena sabun yang terbentuk
sukar dipisahkan. Hal ini disebabkan karena gas CO2 yang dibebaskan dari
karbonat akan menimbulkan busa dalam minyak. Pada umumnya netralisasi
12
Universitas Sumatera Utara
minyak menggunakan natrium karbonat dilakukan dibawah suhu 50°C, sehingga
seluruh asam lemak bebas yang bereaksi dengan natrium karbonat akan
membentuk sabun dan asam karbonat, Pada pemanasan. Asam karbonat yang
terbentuk akan terurai menjadi gas CO2 dan H2O. gas CO2 yang dibebaskan akan
membentuk busa dalam sabun yang terbentuk dan mengapungkan partikel sabun
di atas permukaan minyak.
c.
Netralisasi Minyak dalam bentuk “miscella”
Cara netralisasi ini digunakan pada minyak yang diekstrak dengan menggunakan
pelarut menguap (solvent extraction). Hasil ekstraksi merupakan campuran antara
pelarut dan minyak disebut miscella. Asam lemak bebas dalam miscella dapat di
neteralkn dengan menggunakan kaustik soda atau natrium karbonat.
d.
Netralisasi dengan Etanol Amin dan Amonia
etanol amin dan amino dapat digunakan untuk netralisasi asam lemak bebas. Pada
proses ini asam lemak bebas dapat di netralkan tanpa menyabunkan trigliserida.
Sedangkan amonia yang digunakan dapat diperoleh kembali dari soap stock
dengan cara penyulingan dalam ruangan vakum.
2.3.3 Deodorisasi
Deodorasi adalah suatu tahap proses pemurnian minyak yang bertujuan
untuk menghilangkan bau dan rasa ( flavor) yang tidak enak dalam minyak.
Prinsip proses deodorisasi yaitu penyulingan minyak dengan uap panas dalam
tekanan atmosfer atau keadaan vakum. Proses deodorisasi perlu dilakukan
terhadap minyak yang digunakan untuk bahan pangan. Beberapa jenis minyak
13
Universitas Sumatera Utara
yang baru di ekstrak mengandung faveor yang baik untuk tujuan bahan pangan,
sehingga tidak memerlukan proses deodorisasi misalnya lemak susu, lemak
cokelat, dan minyak olive. Dalam penggunaan minyak dan lemak diperusahaan
pembuatan margarine dibutuhkan minyak dan lemak
yang tidak mempunyai
rasa dan bau. Oleh karena itu sering perlu dilakukan penghilangan bau dan cita
rasa yang ada. Penghilangan dengan uap sanagat banyak
perlakuan minyak atau lemak dengan uap
pembentuk cita rasa dan
akan
digunakan yaitu,
menguapkan bahan - bahan
bau dari lemak bersama – sama dengan uap (Buckle,
1987).
2.3.4
Bleaching
Pemucatan ialah suatu tahap proses pemurnian untuk menghilangkan
zat-zat warna yang tidak disukai dalam minyak. Pemucatan ini dilakukan
dengan
mencampur
minyak
dengan
sejumlah
kecil
adsorben.
Seperti tanah serap (fuller earth), lempung aktif (activated clay) dan arang aktif
atau
dapat
digunakan
juga
menggunakan
bahan
kimia.
Adsorben
untuk memucatkan minyak terdiri dari tanah pemucat
yang
(bleaching
earth) dan arang (bleaching carbon). Zat warna dalam minyak akan diserap oleh
permukaan adsorben dan juga menyerap suspensi koloid
(gum dan resin)
serta hasil degradasi minyak, mislnya peroksida.
Adsorben yang biasa digunakan untuk memucatkan minyak terdiri
dari bleaching clay, arang dan arang aktif. Bleaching clay (bleaching earh)
Bahan pemucat ini merupakan sejenis tanah liat dengan komposisi utama terdiri
14
Universitas Sumatera Utara
dari SiO2, Al2O3, air terikatseta ion kalsium, magnesium oksida dan besi oksida.
Perbandingan komposisi antara 2 jenis bleaching clay dapat dilihat pada Tabel 2.3
Tabel 2.3 Komposisi kimia adsorben “Landau Raw Clay” dan “Florida
Clay”
Komponen kimia (%)
Jenis adsorben
Landau raw clay
SiO2
59,0
Florida Clay 8
56,5
Al2O3
22,9
11,6
Fe2O3
3,4
3,3
CaO
0,9
3,1
MgO
1,2
6,3
Bleaching clay pertama kali ditemukan pada abad ke-19 di Inggris dan Amerika.
Dalam perdagangan bleaching clay mempunyai nama dan komposisi kimia yang
berbeda. Sebagai contoh ialah bleaching clay yang berasal dari Amerika dikenal
dengan nama Floridin, sedangkan yang berasal dari Rusia, Kanada, dan
Jepang dikenal dengan nama gluchower kaolin. Jumlah adsorben yang
dibutuhkan untuk menghilangkan warna minyak
tergantung dari macam
dan tipe warna dalam minyak dan sampai berapa jauh warna tersebut akan
dihilangkan.
Daya pemucatan bleaching clay disebabkan karena ion Al3 pada permukaan
partikel adsorben dapat mengadsorbsi partikel zat warna. Daya pemucatan
15
Universitas Sumatera Utara
tersebut tergantung dari prbandingan komponen
bleaching clay.
SiO2
dan Al2O3
dalam
Adsorben yang terlalu kering menyebabkan daya
kombinasi dengan air telah hilang. Sehingga mengurani daya penyerapan terhadap
zat warna. Arang (bleaching carbon)
arang merupakan
bahan padat yang
berpori-pori dan umumnya diperoleh dari hasil pembakaran kayu
atau bahan
yang mengandung unsur carbon (C). umumnya arang mempunyai daya adsorbsi
yang rendah terhadap zat warna dan dan daya adsorbsi tersebut dapat diperbesar
dengan cara mengaktifkan arang menggunakan uap atau bahan kimia. Komposisi
kimia arang kayu keras dapat dilihat pada Tabel 2.4 (Ketaren,1989).
Tabel 2.4 Komposisi Kimia Arang Kayu Keras
Kompnen (%)
Kering Udara
Kering Oven
Air
9,9
--
Bahan Menguap
8,1
9,0
Abu
2,0
2,2
“Fixed carbon”
80,0
88,9
Sumber lain dari arang berasal dari bahan nabati dan hewani antara lain
serbuk
gergaji,
Pada
umumnya
pada
proses
pelepasan
yang
gas
ampas
tebu,
pengarangan
pengarangan
CO2
merupakan
tahap
tempurung,
dilakukan
akan
dan
terjadi
selanjutnya
permulaan
tongkol
dengan
jagung,
suhu
penguapan
terjadi
proses
air
dan
tulang.
–
500°C.
disusul
dengan
300
peristiwa
pengarangan.
ekosistematis
Arang
aktif
(activated carbon) aktivasi karbon bertujuan untuk memperbesar luas permukaan
16
Universitas Sumatera Utara
arang dengan membuka pori – pori yang tertutup,
sehingga memperbesar
kapasitas adsorbsi terhadap zat warna. Pori – pori dalam arang biasanya diisi oleh
hidrokarbon dan zat – zat organik lainnya yang terdiri dari fixed karbon, abu, air,
persenyawaan yang mengandung nitrogen dan sulfur.
2.3.4.1.
Spent Bleaching Earth
Spent bleaching earth (SBE) atau bleaching earth bekas merupakan limbah
yang dihasilkan pada industri refining CPO (Gambar 1).
CPO
Degumming
Spent clay
Bleaching
filtration
Steam
Deodoration
H2PO4
Bleaching
clay
Palm Fatty Acid
distilation
Volatiles
RBDPO
Gambar 2.1 Diagram proses refining CPO di industri.
Pada industri ini, melalui beberapa tahapan proses Crude Palm Oil
(CPO) atau minyak sawit mentah diolah menjadi minyak goreng antara lain,
proses penghilangan gum/getah (degumming), proses penghilangan asam lemak
bebas (netralisasi), proses pemucatan warna (bleaching), dan proses penghilangan
17
Universitas Sumatera Utara
bau (deodorisasi). Bleaching earth bekas atau SBE merupakan limbah terbesar
pada industri tersebut.
Pada umumnya industri refinery minyak nabati akan menimbun SBE pada
suatu lahan tertentu, karena berdasarkan PP No. 18 tahun 1999 limbah ini dapat
dikategorikan sebagai limbah Bahan Buangan Berbahaya (limbah B3). Akan
tetapi limbah ini masih mengandung 20-30% minyak nabati dan merupakan bahan
yang sangat potensial untuk dimanfaatkan kembali. Minyak yang terkandung pada
adsorben bekas ini dapat diperoleh kembali dengan proses recovery minyak, dan
minyak hasil recovery dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel
(metil ester). Selain itu, limbah ini dapat di-regenerasi sehingga dapat
dimanfaatkan kembali sebagai bleaching agent dalam proses bleaching CPO. Pada
penelitian ini, bleaching earth bekas atau spent bleaching earth (SBE) yang
digunakan diperoleh dari PT.SMART.Tbk. Limbah ini bersifat lunak dengan
tingkat kekerasan satu pada skala Mohs, berat jenisnya berkisar antara 1,7 – 2,7;
mudah berderai. karena ukuran partikel koloidnya sangat kecil dan memiliki
kapasitas permukaan yang tinggi, mudah mengembang di dalam air, karena
adanya penggantian isomernya pada lapisan oktohedral (ion Mg oleh ion Al).
Adanya gaya elektrolisis yang mengikat kristal pada jarak 4,5 Å dari permukaan
unit-unitnya, dan akan tetap menjaga unit itu untuk tidak saling merapat. Pada
pencampuran bleaching earth bekas dengan air, adanya proses pengembangan
membuat jarak antara setip unit makin melebar dan lapisannya menjadi bentuk
serpihan, serta mempunyai permukaan luas jika dalam zat pengsuspensi. Oleh
karena sifatnya ini, dapat dijadikan bleaching agent atau adsorben.
18
Universitas Sumatera Utara
Namun yang pada umumnya yang digunakan dalam industri refinery
minyak nabati adalah pemucatan dengan menggunakan adsorben, dengan tanah
pemucat (bleaching earth) disertai pemanasan dan pada kondisi vakum. Proses
refining CPO di industri dilakukan baik secara fisika maupun kimia. Pada proses
pemurnian CPO secara fisika sebanyak 20% CPO 40 – 60°C dari tangki
penyimpan (storage tank) dialirkan ke dalam slurry tank. Didalam tank slurry
CPO dicampur dengan bleaching earth (BE) 6-12 kg/ton CPO, campuran diaduk
sampai terbentuk slurry. Kemudian, slurry tersebut dialirkan ke bleaching tank
untuk diolah secara kimia dengan menggunakan asam fosfat (H3PO4). Pada waktu
yang sama, 80 % CPO ditambahkan asam fosfat 0,35 -0,45 kg/ton campuran ini
diaduk secara intensif agar getah/gum terendapkan didalam mixer static. Dalam
bleaching tank, 20 % slurry CPO dan 80 % CPO dari mixer static dicampur.
Proses bleaching yang optimum terjadi selama 30 menit pada kondisi; suhu dalam
tank 100-130°C, serta steam dengan tekanan rendah dialirkan kedalam bleaching
tank untuk menggerakkan campuran slurr lurry ini dilewatkan filter niagara agar
bebas dari partikel spentbleaching earth. Bleached palm oil (BPO) keluar dari
filter tersebut dan melalui
rangkaian sistem pengembalian panas (heat recovery
system. Bleached palm oil (BPO) dari hasil filtra i ini dipompa menuju tank buffer
yang berfungsi
lanjut.
sebagai tangki penyimpanan sementara sebelum proses lebih
BPO panas dari spiral heat exchanger kemudian diproses ke tahap
selanjutnya dimana FFA dan warna dikurangi dan lebih penting, menghilangkan
bau menghasilkan produk yang stabil dan bau yang berkurang
19
Universitas Sumatera Utara
2.3.4.2.
Proses Recovery Minyak Pada Spent Bleaching Earth
Pada umumnya industri minyak akan membuang spent bleaching earth
(SBE) pada suatu lahan. Tingginya kandungan minyak nabati pada spent
bleaching earth sangat potensial untuk dimanfaatkan sehingga perlu dilakukan
recovery
untuk
selain itu spent bleaching earth dapat dilakukan proses regenerasi
digunakan kembali dalam proses pemurnian minyak nabati. Limbah
dari proses pemucatan minyak terdiri dari dua komponen utama yaitu minyak
dan bentonit. Adapun minyak hasil recovery dapat digunakan menjadi
metil
ester
(biodiesel),
hal
tersebut
dikarenakan
minyak
sudah
tidak lagi food grade artinya minyak sudah rusak. Pemanfaatan tersebut
sangat baik karena potensi limbah yang sangat tinggi dengan seiring
perkembangan industri pemurnian minyak sawit.
Kheang et.al (2006) telah melakukan penelitian mengenai proses
pengambilan
yaitu
minyak dari spent
solvent
extraction
bleaching
(n-heksan)
earth
dan
dengan dua
supercritical
metode
extraction.
Penelitian tersebut menunjukan bahwa kandungan minyak yang didapatkan
dengan metode solvent extraction lebih besar dibanding supercritical extraction
(SC-CO2) yaitu sebesar 30%. Pemanfaatan limbah industri. Pemurnian
minyak
sangat
penting
dilakukan
terkait
dengan
besarnya
potensi
limbah yang dihasilkan dan semakin pesatnya pertumbuhan industri pemurnian
minyak. Rendemen minyak yang dihasilkan dari proses recovery dengan 2 jenis
pelarut organik berkisar antara 16 sampai 21.74 % dari bobot limbah.
20
Universitas Sumatera Utara
Kepolaran
juga
pelarut organik
berpengaruh
minyak
terhadap
selain
berpengaruh
kejernihan
terhadap
minyak.
Nilai
rendemen
transmitten
(faktor pengenceran 100 kali) pada panjang gelombang 500 nm
untuk minyak yang dihasilkan dari ekstraksi dengan menggunakan isopropanol
berkisar antara 15.85 sampai 27.9 % sedangkan pada minyak hasil ekstraksi
dengan n-heksan berkisar antara 87.45 sampai 93.55 %. Kadar asam lemak bebas
pada minyak hasil recovery ini berkisar antara 13.15 – 20.9 % untuk
semua jenis perlakuan. Bilangan peroksida minyak tidak terdeteksi untuk semua
jenis perlakuan. Kadar abu yang terdapat pada minyak hasil recovery umumnya
sangat kecil, untuk keseluruhan perlakuan bernilai kurang dari 1%. Nilai pH SBE
setelah recovery berkisar antara 3.21 sampai 3.43. Bleach power bentonit hasil
recovery ditunjukan dengan nilai % T pada minyak yang dipucatkan oleh bentonit
tersebut. Nilai transmitten minyak (faktor pengenceran 50 kali) pada panjang
gelombang 500 nm pada bentonit hasil recovery dengan isopropanol memiliki
nilai antara 77.05 sampai 80 % sedangkan bentonit hasil recovery dengan nheksan berkisar antara 60.35 sampai 63.5 %.
Pada prinsipnya spent bleaching earth memiliki kemampuan adsorpsi
yang
rendah,
tetapi
jika
di-regenerasi
dengan
cara
pemanasan,
dan penambahan media daya adsorpsinya akan meningkat. Proses regenerasi
pada SBE dapat dilakukan secara fisika dan kimia. Proses daur ulang
secara fisika dapat dilakukan dengan cara mengaktivasi spent bleaching earth
tersebut dengan metode pemanasan, dan proses daur ulang secara kimia
dapat
phospat
dilakukan
(H3PO4),
dengan
hydrogen
bantuan
peroksida
media
(H2O2).
activator,
Spent
seperti
bleaching
asam
earth
21
Universitas Sumatera Utara
pada
dasarnya
merupakan
campuran
antara
bleaching
earth
dengan senyawa hidrokarbon yang berasal dari CPO. Senyawa hidrokarbon ini
dengan proses pemanasan akan menjadi arang (coke). Arang yang terbentuk
dengan bantuan asam phospat dapat meningkatkan permukaan aktif bleaching
earth bekas yang diregenerasi. Dalam hal ini, bleaching earth bekas adalah
kalsium-bentonit yang terdiri dari lebih 80% mineral monmorillonit mempunyai
struktur bertingkat dan kapasitas pertukaran ion yang aktif di bagian dasar.
Oleh karena itu, strukturnya
dapat diganti seperti struktur bagian dasar dengan
cara penambahan media pengaktif seperti H3PO4 atau H2O2. Bahan kimia terseb
akan menyebabkan penggantian ion-ion K+, Na+ dan Ca+2 dengan H+ dalam ruang
interlamelar,
serta akan melepaskan ion-ion Al+3, Fe+3 dan Mg+2 dari kisi
strukturnya sehingga menjadi lempung aktif. Aktivitas permukaan aktif adsorben
bekas ini dipengaruhi oleh konsentrasi bahan kimia pengaktif, biasany
dipakai
H3PO4. Selain pengaruh konsentrasi bahan kimia pengakti perlu diperhatikan sifat
dasar, distribusi ukuran
tersebut,
partikel, pH, dan nilai SiO2 atau Al2O3. Selain hal
beberapa faktor yang
mempengaruhi proses regenerasi atau re-
aktivasi yaitu suhu pemanasan, waktu pemanasan dan tekanan (Wambu,2009).
A. Pengaruh suhu Pemanasan
Pada proses pemucatan warna CPO dengan bleaching earth sebagai adsorbennya
memperlihatkan bahwa adsorben ini mulai aktif menyerap warna pada suhu 80°C130°C. Kenaikan tingkat kejernihan warna minyak tidak begitu signifikan setelah
suhu 140°C-150°C, bahkan tingkat kejernihan warna cenderung menurun.
Contohnya, pada proses pemucatan minyak kedele penghilangan warnanya
pada
suhu
sekitar
100°C.
Pada
proses
pemucatan
CPO
dengan
22
Universitas Sumatera Utara
bleaching earth sebagai adsorbennya memperlihatkan bahwa adsorben ini
mulai aktif menyerap warna CPO jika diaktivasi pada suhu diatas 100°C.
Pada proses bleaching CPO bentonit berfungsi sebagai bleaching earth,
yang
diperoleh
dengan
aktivasi
pada
kondisi
asam.
Pada
prinsipnya
daya jerap bleaching earth bekas akan semakin meningkat bila diaktif
(Al Quinabait, 2005).
Biasanya proses bleaching dilakukan dengan menggunakan suhu yang
relatif tinggi (100 - 120°C). Akan tetapi dengan suhu sedemikian tinggi tersebut
dapat menyebabkan CPO menjadi mudah teroksidasi, sehingga warnanya
semakin gelap. Proses oksidasi minyak bisa diminimalisasi atau bahkan
dihindari dengan mengkondisikan set alat bleaching dalam kondisi vakum
untuk mencegah adanya oksigen atau sebelum dilakukan proses bleaching
oksigen yang ada dalam set alat bleaching diusir terlebih dahulu dengan
gas nitrogen (Yusnimar, 2006).
B. Pengaruh Waktu Pemanasan
Pengontrolan proses daur ulang bleaching earth bekas dengan cara fisika maupun
kimia sangat dipengaruhi oleh waktu kontak antara media pengaktif
dengan
spent bleaching earth . Pada kondisi suhu, tekanan, dan jumlah
spent bleaching earth sama memperlihatkan bahwa hasil penghilangan
warna
CPO
maksimum
pada
pemanasan
suhu
55°C
dan
kemudian
cenderung menurun bila waktu kontak diperpanjang. Penurunan pemucatan
disebabkan habisnya daya jerap adsorben bekas tersebut (Lin, 1995).
23
Universitas Sumatera Utara
C. Pengaruh Tekanan
Daya penghilangan warna dari bleaching earth dipengaruhi juga oleh luas
permukaan
adsorben
ini
yang
dikontakkan
dengan
minyak.
Dengan
menurunkan tekanan pori dalam adsorben pada tekanan atmosfir, adsorben
akan
terdearasi,
sehingga
luas
permukaannya
akan
lebih
besar.
Tekanan yang umum dipakai di industri-industri adalah 5.077 mmHg.
2.4. Pengukuran Warna.
Untuk keperluan industri dan pemakaian secara umum, pengukuran
warna dilakukan dengan alat Lovibond – Tinto meter. Warna merah dan kuning
dari minyak kelapa sawit disesuaikan dengan gelas-gelas berwarna merah dan
kuning dari alat Lovibond, dengan sel 5,25 inci. Gelas-gelas berwarna merah dan
kuning distandarisasi dengan “The National Bureau of Standards dalam istilah
skala warna Priest Gibson "N”(9, 10) . Kemajuan dalam industri minyak kelapa
sawit mendorong industri pembuatan alat Lovibond-Tintometer, sehingga
lama-kelamaan timbul pembuatan gelas-galas merah dan kuning dari alat
Lovibondyang
menyimpang
sedikit
demi
sedikit
dari
warna
semula.
Untuk menertibkan hal ini maka The Americans Oil Chemist's Society (AOCS),
menyesuaikan warna
gelas dari Lovibond-Tintorneter dengan warna yang di
ukur oleh alat spektrofotometer. Stanandar spesipikasi yang Oleh PT.SMART
Tbk dilihat dalam Tabel 2.5.
24
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.5 Standart Mutu Spesifikasi di PT.SMART.Tbk
Kandungan
Asam lemak bebas (%)
Spesipikasi oleh PT.SMART Tbk.
1 –2
Kadar air (5)
< 0,1
Pengotoran (%)
< 0,02
Besi (ppm)
< 10
Tembaga (ppm)
0,5
Bilangan iodium
53 + 1,5
Karotena (ppm)
+ 500
Tokoperol (ppm)
+ 800
Pemucatan : merah (R) dan Kuning (y)
maks 15,5R - 20R
25
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis guinensis JAQC) adalah tanaman berkeping satu yang
termasuk dalam familia palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani
yaitu Elaeis atau minyak, sedangkan nama spesies Guinensis berasal dari kata
guinea, yaitu tempat dimana Seorang Ahli bernama Jaqcuin menemukan taman
kelapa sawit pertama kali di pantai Guinea.
Kelapa sawit didasarkan atas bukti-bukti fosil, Sejarah, dan Linguistik
yang ada diyakini berasal dari Afrika Barat. Di tempat asalnya ini, Kelapa sawit
(yang pada saat lalu dibiarkan tumbuh liar di hutan - hutan) sejak awal
telah dikenal sebagai tanaman pangan yang penting. Oleh penduduk setempat
kelapa sawit telah diproses secara amat sederhana menjadi minyak dan tuak sawit.
Di luar Benua Afrika, kelapa sawit mulai diperhitungkan sebagai tanaman
komoditas (penghasil produk pangan) Sejak Revolusi Industri bersaing keras di
Eropa. Saat itu, di Eropa mulai bermunculan Industri atau pabrik (anatara lain
Industri sabun dan margarin) yang
operasionalnya.
membutuhkan bahan mentah / baku untuk
Minyak sawit dan minyak inti sawit yang muncul
kemudian adalah
bahan mentah / baku tersebut.
dua produk yang antara lain dibutuhkan untuk
Maka jadilah minyak dibutuhkan oleh pasar
Eropa (Tim Penulis,1997).
Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada Daerah beriklim tropis dengan
curah hujan 2000 mm / tahun dan kisaran suhu 22 – 32 °C. Dimana daerah
5
Universitas Sumatera Utara
penanaman kelapa sawit di Indonesia adalah Jawa Barat (Lebak dan Tangerang),
Lampung, Riau, Sumatera Utara, dan Aceh. Negara penghasil kelapa sawit di
Indonesia adalah Malaysia, Amerika Tengah dan Nigeria. Berdasarkan ketebalan
tempurung dan daging buah, dikenal lima varietas kelapa sawit, yaitu :
1. Dura
Tempurung cukup tebal antara 2 -8 mm dan tidak terdapat lingkaran sabut pada
bagian luar tempurung dan daging buah relative tipis dengan persentase daging
buah terhadap buah bervariasi antara 35 – 50 %. Kernel (daging biji) biasanya
besar dengan kandugan minyak yang rendah. Dalam persilangan varietas Dura
dipakai sebagai phon induk betina.
2. Psifera
Ketebalan tempurung sangat tipis, bahkan hampir tidak ada, tetapi daging buahnya
tebal. Persentase daging buah terhadap buah cukup tunggi, sedangkan
daging biji sangat tipis. Jenis Psifera tidak dapat diperbanyak tanpa
menyilangkan dengan jenis yang lain. Oleh sebab itu, dalam persilangan
dipakai pohon induk jantan. Penyerbukan silang antara Psifera dengan Dura akan
menghasilkan Varietas Tenera.
3. Tenera
Varietas ini mempunyai sifat – sifat yang berasal dari kedua induknya, yaitu Dura
dan Psifera. Varietas inilah yang banyak ditanamkan di perkebunan saat ini.
Tempurung sudah disekelilingnya. Persentase daging buah terhadap tinggi antara
6
Universitas Sumatera Utara
60 - 96 %. Tandan buah yang dihasilkan oleh Tenera lebih banyak daripada Dura
tetapi ukuran tandannya relative lebih kecil.
4. Macro Carya
Tempurung sangat tebal, sekitar 5 mm, sedang daging buahnya tipis sekali.
5. Diwikka-Wakka
Varietas ini mempunyai ciri khas dengan adanya dua lapis daging buah.
Diwikka-Wakka dapat dibedakan menjadi Diwikka-wakkadura, Diwikkawakkapsifera
dan
Diwikka-wakkatenera.
Perbedaan
ketebalan
buah kelapa sawit menyebabkan perbedaan persentase atau rendemen
daging
minyak
yang dikandungnya. Rendemen minyak tertinggi terdapat pada varietas Tenera
yaitu 22 - 24 % sedangkan pada varietas. Dura antara 16 - 18 %. Sehingga tidak
heran jika lebih banyak perkebunan yang menanam kelapa sawit dari varietas
Tenera
2.2
(Tim Penulis,1992 ).
Minyak Kelapa Sawit
Buah kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak. Minyak yang berasal dari
daging buah (mesokarp) berwarna merah. Jenis minyak inini dikenal sebagai
minyak kelapa sawit kasar atau Crude Palm Oil ( CPO ). Sedangkan minyak yang
kedua adalah berasal dari inti kelapa sawit, tidak berwarna dikenal sebagai minyak
inti kelapa sawit atau Palm Kernel Oil (PKO). Minyak kelapa sawit kasar (Crude
Palm Oil) mengandung sekitar 500-700 ppm β-carotene dan merupakan bahan
pangan sumber karoten alami terbesar. Oleh karena itu CPO berwarna merah
jingga. Disamping itu jumlahnya juga cukup tinggi. Minyak sawit ini diperoleh
7
Universitas Sumatera Utara
dari mesokarp buah kelapa sawit melalui ekstraksi dan mengandung sedikit air
serta serat halus, yang berwarna kuning sampai merah dan berbentuk semi solid
pada suhu ruang. Adanya serat halus dan air pada sawit kasar tersebut
menyebabkan minyak sawit kasar tidak dapat dikonsumsi langsung sebagai
bahan pangan maupun non pangan (Ketaren, 1986 ).
2.2.1
Komposisi Minyak Sawit
Kelapa sawit mengandung lebih kurang 80 % pericarp dan 20 %buah yang
dilapisi kulit yang tipis ; kadar minyak dalam pericarp sekitar 30 – 40 %. Minyak
kelapa sawit adalah
lemak semi padat yang mempunyai komposisi yang tetap
zat warna yang terdapat dalam CPO terdiri dari zat warna alamiah dan zat warna
dari hasil degradasi zat warna alamiah. Zat warna alamiah seperti ά dan β-karoten,
xanthofil, khlorofil, gossyfil, dan anthocyanin yang menyebabkan minyak
berwarna kuning,
kuning coklat,
kehijau-hijauan
Sedangkan zat warna dari hasil degradasi
menyebabkan CPO
dan
kemerah-merahan.
zat warna alamiah biasanya
berwarna gelap (Ketaren, 1986).
Minyak yang berkualitas bagus dan digunakan untuk menggoreng adalah
minyak yang memiliki daya tahan tinggi dan tidak membentuk lapisan
keras jika dibiarkan mengering di udara. Syarat mutu minyak goreng menurut
Standar Industri Indonesia (SII) terdapat pada Tabel 2.1
8
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Syarat Mutu Minyak Goreng
Komponen
Maksimum
Kadar air
0,3%
Angka peroksids
1 mg oksigen/100g minyak
Asam lemak bebas dsebagai asam terlarut
0,03%
Logam bahaya (Pb, Cu, Hg dan Arsen)
Negatif
Bau, warna dan rasa
Normal
2.2.2
Sifat Fisika – Kimia Minyak Kelapa Sawit
Sifat Fisika- Kimia minyak kelapa sawit meliputi warna, bau dan flavor,
kelarutan,
titik
cair
dan
polymorphism,
titik
didih
(boiling
point),
titik pelunakan, slipping point, shot melting point, bobot jenis, indeks bias,
titik kekeruhan (turbidity point),
Beberapa
sifat
fisika
–
kimia
titik asap,
dari
titik nyaladan titik api.
kelapa
sawit
nilainya
dapat
dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Nilai Sifat Fisika – Kimia Minyak Sawit dan Minyak Inti Sawit
Sifat
Bobot jenis pada suhu kamar
Minyak Sawit
0,900
MinyakInti Swit
0,900-0,913
Indeks bias D 40 °C
1,4565-1,4585
1,495-1,415
Bilangan Iod
48 - 56
14 - 20
Bilangan Penyabunan
196 - 205
244 – 254
9
Universitas Sumatera Utara
Warna minyak ditentukan oleh adanya pigmen yang masih tersisa setelah proses
pemucatan, karena asam – asam lemak dan gliserida tidak berwarna.
Warna Orange atau kuning disebabkan adanya pigmen karoten yang
larut dalam minyak. Bau dan flavor dalam minyak terdapat secara alami,
juga
terjadi
akibat
akibat
kerusakan
adanya
minyak.
asam-asam
Sedangkan
lemak
bau khas
berantai
minyak
kelapa
pendek
sawit
ditimbulkan oleh persenyawaan Beta ionone. Titik cair minyak sawit
berada
dalam
nilai
kisaran
suhu,
karena
minyak
kelapa
sawit
mengandung beberapa macam asam lemak yang mempunyai titik cair yang
berbeda-beda ( Ketaren,1986)
2.3
Proses Pengolahan Minyak Sawit Mentah ( CPO )
Minyak sawit yang keluar dari pemerasan atau pengepresan masih berupa minyak
sawit kasar, karena masih mengandung kotoran dan serabut serta air sebesar
40 - 45%. Agar diperoleh minyak sawit yang bermutu baik, minyak sawit kasar
tersebut mengalami pengolahan lebih lanjut. Minyak sawit yang masih kasar
kemudian dialairkan kedalam tanki minyak kasar (Crude Oil Tank). Dan setelah
melalui pemurnian atau klarifikasi yang bertahap, maka akan dihasilkan minyak
sawit mentah (Crude Palm Oil). Proses penjernihan dilakukan untuk menurunkan
kandungan air di dalam minyak. Untuk memperoleh minyak yang bermutu baik
ini harus dimurnikan kembali dari bahan – bahan atau kotoran yang terdapat
didalamnya (Tim Penulis, 1997).
Minyak yang baik, tidak berbau dan enak rasanya, jernih dan sukai
warnanya, stabil pada cahaya dan tahan terhadap panas. Minyak sawit mempunyai
10
Universitas Sumatera Utara
sifat yang menguntungkan untuk dijadikan minyak goreng dengan mutu yang
baik. Melalui proses refinery dan fraksinasi dapat dihasilkan minyak jernih dan
bebas dari kotoran (Seto,2001)
Tidak seperti minyak lain, minyak kelapa sawit terutama mengandung
gliserida dan hanya memiliki sebagian kecil komponen non gliserida yang
porsinya bervariasi. Dalam rangka menghasilkan minyak minyak yang bisa di
konsumsi, komponen non tri gliserida ini harus dibuang atau dikurangi sampai
tingkat yang porsinya bervariasi. Dalam istilah kemudahan larut, gliserida
memiliki dua tipe utama, yaitu gliserida tidak larut dalam minyak dan gliserida
yang larut dalam minyak. Kotoran yang tidak dapat larut dalam minyak seperti
serat buah,
cangkang dan air yang dapat dengan mudah dihilangkan.
Tujuan utama
pemurnian minyak sawit adalah merubah minyak sawit
kasar menjadi
minyak sawit yang berkualitas secara efisien dengan
membuang
kotoran – kotoran yang tidak diinginkan sampai pada
tingkat yang dapat diterima.
komponen yang diinginkan
Hal ini berarti juga bahwa kerugian pada
di usahakan tetap minimal (Iyung,
2006).
Tahap pemurnian meliputi 4 tahap antara lain Degumming, Netralisasi, Bleaching,
dan Deodorisasi.
2.3.1.
Degumming
Degumming merupakan proses pemisahan getah atau lendir – lendir yang terdiri
dari fosfatida, protein, residu, karbohidrat, air dan resin, tanpa mengurangi
jumlah asam lemak bebas dalam minyak. Biasanya proses ini dilakukan
11
Universitas Sumatera Utara
dengan cara dehidrasi gum atau kotoran lain agar bahan tersebut lebih mudah
terpisah dari minyak kemudian disusul dengan proses pemusingan (sentrifugasi).
Caranya
ialah
dengan
melakukan
uap
air
panas
kedalam
minyak
disusul dengan pengaliran air dan selanjutnya disentrifugasi sehingga bain lendir
terpisah dari air
2.3.2
Netralisasi
Minyak atau lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau
pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun (soap stock). Pemisahan asam lemak
bebas dapat juga dilakukan dengan istilah deasidifkasi.
a. Netralisasi dengan basa (NaOH)
Netralisasi dengan kaustik soda banyak dilakukan dalam skala industri, karena
lbih efisien dan lebih murah dibandingkan dengan cara netralisasi lainnya. Selain
itu menggunakan kaustik soda. Membantu dalam mengurangi zat warna dan
kotoran yang Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan zat warna dan
kotoran seperti fosfatida dan protein. Dengan cara membentuk emulsi. Sabun atau
emulsi yang terbentuk dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifusi.
b.
Netralisasi dengan Natrium Karbonat (Na2CO3)
Keuntungan menggunakan persenyawaan karbonat adalah karena trigliserida
tidak ikut tersabunkan. Sehingga nilai refining factor dapat diperkecil. Suatu
kelemahan dari pemakaian senyawaa ini adalah karena sabun yang terbentuk
sukar dipisahkan. Hal ini disebabkan karena gas CO2 yang dibebaskan dari
karbonat akan menimbulkan busa dalam minyak. Pada umumnya netralisasi
12
Universitas Sumatera Utara
minyak menggunakan natrium karbonat dilakukan dibawah suhu 50°C, sehingga
seluruh asam lemak bebas yang bereaksi dengan natrium karbonat akan
membentuk sabun dan asam karbonat, Pada pemanasan. Asam karbonat yang
terbentuk akan terurai menjadi gas CO2 dan H2O. gas CO2 yang dibebaskan akan
membentuk busa dalam sabun yang terbentuk dan mengapungkan partikel sabun
di atas permukaan minyak.
c.
Netralisasi Minyak dalam bentuk “miscella”
Cara netralisasi ini digunakan pada minyak yang diekstrak dengan menggunakan
pelarut menguap (solvent extraction). Hasil ekstraksi merupakan campuran antara
pelarut dan minyak disebut miscella. Asam lemak bebas dalam miscella dapat di
neteralkn dengan menggunakan kaustik soda atau natrium karbonat.
d.
Netralisasi dengan Etanol Amin dan Amonia
etanol amin dan amino dapat digunakan untuk netralisasi asam lemak bebas. Pada
proses ini asam lemak bebas dapat di netralkan tanpa menyabunkan trigliserida.
Sedangkan amonia yang digunakan dapat diperoleh kembali dari soap stock
dengan cara penyulingan dalam ruangan vakum.
2.3.3 Deodorisasi
Deodorasi adalah suatu tahap proses pemurnian minyak yang bertujuan
untuk menghilangkan bau dan rasa ( flavor) yang tidak enak dalam minyak.
Prinsip proses deodorisasi yaitu penyulingan minyak dengan uap panas dalam
tekanan atmosfer atau keadaan vakum. Proses deodorisasi perlu dilakukan
terhadap minyak yang digunakan untuk bahan pangan. Beberapa jenis minyak
13
Universitas Sumatera Utara
yang baru di ekstrak mengandung faveor yang baik untuk tujuan bahan pangan,
sehingga tidak memerlukan proses deodorisasi misalnya lemak susu, lemak
cokelat, dan minyak olive. Dalam penggunaan minyak dan lemak diperusahaan
pembuatan margarine dibutuhkan minyak dan lemak
yang tidak mempunyai
rasa dan bau. Oleh karena itu sering perlu dilakukan penghilangan bau dan cita
rasa yang ada. Penghilangan dengan uap sanagat banyak
perlakuan minyak atau lemak dengan uap
pembentuk cita rasa dan
akan
digunakan yaitu,
menguapkan bahan - bahan
bau dari lemak bersama – sama dengan uap (Buckle,
1987).
2.3.4
Bleaching
Pemucatan ialah suatu tahap proses pemurnian untuk menghilangkan
zat-zat warna yang tidak disukai dalam minyak. Pemucatan ini dilakukan
dengan
mencampur
minyak
dengan
sejumlah
kecil
adsorben.
Seperti tanah serap (fuller earth), lempung aktif (activated clay) dan arang aktif
atau
dapat
digunakan
juga
menggunakan
bahan
kimia.
Adsorben
untuk memucatkan minyak terdiri dari tanah pemucat
yang
(bleaching
earth) dan arang (bleaching carbon). Zat warna dalam minyak akan diserap oleh
permukaan adsorben dan juga menyerap suspensi koloid
(gum dan resin)
serta hasil degradasi minyak, mislnya peroksida.
Adsorben yang biasa digunakan untuk memucatkan minyak terdiri
dari bleaching clay, arang dan arang aktif. Bleaching clay (bleaching earh)
Bahan pemucat ini merupakan sejenis tanah liat dengan komposisi utama terdiri
14
Universitas Sumatera Utara
dari SiO2, Al2O3, air terikatseta ion kalsium, magnesium oksida dan besi oksida.
Perbandingan komposisi antara 2 jenis bleaching clay dapat dilihat pada Tabel 2.3
Tabel 2.3 Komposisi kimia adsorben “Landau Raw Clay” dan “Florida
Clay”
Komponen kimia (%)
Jenis adsorben
Landau raw clay
SiO2
59,0
Florida Clay 8
56,5
Al2O3
22,9
11,6
Fe2O3
3,4
3,3
CaO
0,9
3,1
MgO
1,2
6,3
Bleaching clay pertama kali ditemukan pada abad ke-19 di Inggris dan Amerika.
Dalam perdagangan bleaching clay mempunyai nama dan komposisi kimia yang
berbeda. Sebagai contoh ialah bleaching clay yang berasal dari Amerika dikenal
dengan nama Floridin, sedangkan yang berasal dari Rusia, Kanada, dan
Jepang dikenal dengan nama gluchower kaolin. Jumlah adsorben yang
dibutuhkan untuk menghilangkan warna minyak
tergantung dari macam
dan tipe warna dalam minyak dan sampai berapa jauh warna tersebut akan
dihilangkan.
Daya pemucatan bleaching clay disebabkan karena ion Al3 pada permukaan
partikel adsorben dapat mengadsorbsi partikel zat warna. Daya pemucatan
15
Universitas Sumatera Utara
tersebut tergantung dari prbandingan komponen
bleaching clay.
SiO2
dan Al2O3
dalam
Adsorben yang terlalu kering menyebabkan daya
kombinasi dengan air telah hilang. Sehingga mengurani daya penyerapan terhadap
zat warna. Arang (bleaching carbon)
arang merupakan
bahan padat yang
berpori-pori dan umumnya diperoleh dari hasil pembakaran kayu
atau bahan
yang mengandung unsur carbon (C). umumnya arang mempunyai daya adsorbsi
yang rendah terhadap zat warna dan dan daya adsorbsi tersebut dapat diperbesar
dengan cara mengaktifkan arang menggunakan uap atau bahan kimia. Komposisi
kimia arang kayu keras dapat dilihat pada Tabel 2.4 (Ketaren,1989).
Tabel 2.4 Komposisi Kimia Arang Kayu Keras
Kompnen (%)
Kering Udara
Kering Oven
Air
9,9
--
Bahan Menguap
8,1
9,0
Abu
2,0
2,2
“Fixed carbon”
80,0
88,9
Sumber lain dari arang berasal dari bahan nabati dan hewani antara lain
serbuk
gergaji,
Pada
umumnya
pada
proses
pelepasan
yang
gas
ampas
tebu,
pengarangan
pengarangan
CO2
merupakan
tahap
tempurung,
dilakukan
akan
dan
terjadi
selanjutnya
permulaan
tongkol
dengan
jagung,
suhu
penguapan
terjadi
proses
air
dan
tulang.
–
500°C.
disusul
dengan
300
peristiwa
pengarangan.
ekosistematis
Arang
aktif
(activated carbon) aktivasi karbon bertujuan untuk memperbesar luas permukaan
16
Universitas Sumatera Utara
arang dengan membuka pori – pori yang tertutup,
sehingga memperbesar
kapasitas adsorbsi terhadap zat warna. Pori – pori dalam arang biasanya diisi oleh
hidrokarbon dan zat – zat organik lainnya yang terdiri dari fixed karbon, abu, air,
persenyawaan yang mengandung nitrogen dan sulfur.
2.3.4.1.
Spent Bleaching Earth
Spent bleaching earth (SBE) atau bleaching earth bekas merupakan limbah
yang dihasilkan pada industri refining CPO (Gambar 1).
CPO
Degumming
Spent clay
Bleaching
filtration
Steam
Deodoration
H2PO4
Bleaching
clay
Palm Fatty Acid
distilation
Volatiles
RBDPO
Gambar 2.1 Diagram proses refining CPO di industri.
Pada industri ini, melalui beberapa tahapan proses Crude Palm Oil
(CPO) atau minyak sawit mentah diolah menjadi minyak goreng antara lain,
proses penghilangan gum/getah (degumming), proses penghilangan asam lemak
bebas (netralisasi), proses pemucatan warna (bleaching), dan proses penghilangan
17
Universitas Sumatera Utara
bau (deodorisasi). Bleaching earth bekas atau SBE merupakan limbah terbesar
pada industri tersebut.
Pada umumnya industri refinery minyak nabati akan menimbun SBE pada
suatu lahan tertentu, karena berdasarkan PP No. 18 tahun 1999 limbah ini dapat
dikategorikan sebagai limbah Bahan Buangan Berbahaya (limbah B3). Akan
tetapi limbah ini masih mengandung 20-30% minyak nabati dan merupakan bahan
yang sangat potensial untuk dimanfaatkan kembali. Minyak yang terkandung pada
adsorben bekas ini dapat diperoleh kembali dengan proses recovery minyak, dan
minyak hasil recovery dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel
(metil ester). Selain itu, limbah ini dapat di-regenerasi sehingga dapat
dimanfaatkan kembali sebagai bleaching agent dalam proses bleaching CPO. Pada
penelitian ini, bleaching earth bekas atau spent bleaching earth (SBE) yang
digunakan diperoleh dari PT.SMART.Tbk. Limbah ini bersifat lunak dengan
tingkat kekerasan satu pada skala Mohs, berat jenisnya berkisar antara 1,7 – 2,7;
mudah berderai. karena ukuran partikel koloidnya sangat kecil dan memiliki
kapasitas permukaan yang tinggi, mudah mengembang di dalam air, karena
adanya penggantian isomernya pada lapisan oktohedral (ion Mg oleh ion Al).
Adanya gaya elektrolisis yang mengikat kristal pada jarak 4,5 Å dari permukaan
unit-unitnya, dan akan tetap menjaga unit itu untuk tidak saling merapat. Pada
pencampuran bleaching earth bekas dengan air, adanya proses pengembangan
membuat jarak antara setip unit makin melebar dan lapisannya menjadi bentuk
serpihan, serta mempunyai permukaan luas jika dalam zat pengsuspensi. Oleh
karena sifatnya ini, dapat dijadikan bleaching agent atau adsorben.
18
Universitas Sumatera Utara
Namun yang pada umumnya yang digunakan dalam industri refinery
minyak nabati adalah pemucatan dengan menggunakan adsorben, dengan tanah
pemucat (bleaching earth) disertai pemanasan dan pada kondisi vakum. Proses
refining CPO di industri dilakukan baik secara fisika maupun kimia. Pada proses
pemurnian CPO secara fisika sebanyak 20% CPO 40 – 60°C dari tangki
penyimpan (storage tank) dialirkan ke dalam slurry tank. Didalam tank slurry
CPO dicampur dengan bleaching earth (BE) 6-12 kg/ton CPO, campuran diaduk
sampai terbentuk slurry. Kemudian, slurry tersebut dialirkan ke bleaching tank
untuk diolah secara kimia dengan menggunakan asam fosfat (H3PO4). Pada waktu
yang sama, 80 % CPO ditambahkan asam fosfat 0,35 -0,45 kg/ton campuran ini
diaduk secara intensif agar getah/gum terendapkan didalam mixer static. Dalam
bleaching tank, 20 % slurry CPO dan 80 % CPO dari mixer static dicampur.
Proses bleaching yang optimum terjadi selama 30 menit pada kondisi; suhu dalam
tank 100-130°C, serta steam dengan tekanan rendah dialirkan kedalam bleaching
tank untuk menggerakkan campuran slurr lurry ini dilewatkan filter niagara agar
bebas dari partikel spentbleaching earth. Bleached palm oil (BPO) keluar dari
filter tersebut dan melalui
rangkaian sistem pengembalian panas (heat recovery
system. Bleached palm oil (BPO) dari hasil filtra i ini dipompa menuju tank buffer
yang berfungsi
lanjut.
sebagai tangki penyimpanan sementara sebelum proses lebih
BPO panas dari spiral heat exchanger kemudian diproses ke tahap
selanjutnya dimana FFA dan warna dikurangi dan lebih penting, menghilangkan
bau menghasilkan produk yang stabil dan bau yang berkurang
19
Universitas Sumatera Utara
2.3.4.2.
Proses Recovery Minyak Pada Spent Bleaching Earth
Pada umumnya industri minyak akan membuang spent bleaching earth
(SBE) pada suatu lahan. Tingginya kandungan minyak nabati pada spent
bleaching earth sangat potensial untuk dimanfaatkan sehingga perlu dilakukan
recovery
untuk
selain itu spent bleaching earth dapat dilakukan proses regenerasi
digunakan kembali dalam proses pemurnian minyak nabati. Limbah
dari proses pemucatan minyak terdiri dari dua komponen utama yaitu minyak
dan bentonit. Adapun minyak hasil recovery dapat digunakan menjadi
metil
ester
(biodiesel),
hal
tersebut
dikarenakan
minyak
sudah
tidak lagi food grade artinya minyak sudah rusak. Pemanfaatan tersebut
sangat baik karena potensi limbah yang sangat tinggi dengan seiring
perkembangan industri pemurnian minyak sawit.
Kheang et.al (2006) telah melakukan penelitian mengenai proses
pengambilan
yaitu
minyak dari spent
solvent
extraction
bleaching
(n-heksan)
earth
dan
dengan dua
supercritical
metode
extraction.
Penelitian tersebut menunjukan bahwa kandungan minyak yang didapatkan
dengan metode solvent extraction lebih besar dibanding supercritical extraction
(SC-CO2) yaitu sebesar 30%. Pemanfaatan limbah industri. Pemurnian
minyak
sangat
penting
dilakukan
terkait
dengan
besarnya
potensi
limbah yang dihasilkan dan semakin pesatnya pertumbuhan industri pemurnian
minyak. Rendemen minyak yang dihasilkan dari proses recovery dengan 2 jenis
pelarut organik berkisar antara 16 sampai 21.74 % dari bobot limbah.
20
Universitas Sumatera Utara
Kepolaran
juga
pelarut organik
berpengaruh
minyak
terhadap
selain
berpengaruh
kejernihan
terhadap
minyak.
Nilai
rendemen
transmitten
(faktor pengenceran 100 kali) pada panjang gelombang 500 nm
untuk minyak yang dihasilkan dari ekstraksi dengan menggunakan isopropanol
berkisar antara 15.85 sampai 27.9 % sedangkan pada minyak hasil ekstraksi
dengan n-heksan berkisar antara 87.45 sampai 93.55 %. Kadar asam lemak bebas
pada minyak hasil recovery ini berkisar antara 13.15 – 20.9 % untuk
semua jenis perlakuan. Bilangan peroksida minyak tidak terdeteksi untuk semua
jenis perlakuan. Kadar abu yang terdapat pada minyak hasil recovery umumnya
sangat kecil, untuk keseluruhan perlakuan bernilai kurang dari 1%. Nilai pH SBE
setelah recovery berkisar antara 3.21 sampai 3.43. Bleach power bentonit hasil
recovery ditunjukan dengan nilai % T pada minyak yang dipucatkan oleh bentonit
tersebut. Nilai transmitten minyak (faktor pengenceran 50 kali) pada panjang
gelombang 500 nm pada bentonit hasil recovery dengan isopropanol memiliki
nilai antara 77.05 sampai 80 % sedangkan bentonit hasil recovery dengan nheksan berkisar antara 60.35 sampai 63.5 %.
Pada prinsipnya spent bleaching earth memiliki kemampuan adsorpsi
yang
rendah,
tetapi
jika
di-regenerasi
dengan
cara
pemanasan,
dan penambahan media daya adsorpsinya akan meningkat. Proses regenerasi
pada SBE dapat dilakukan secara fisika dan kimia. Proses daur ulang
secara fisika dapat dilakukan dengan cara mengaktivasi spent bleaching earth
tersebut dengan metode pemanasan, dan proses daur ulang secara kimia
dapat
phospat
dilakukan
(H3PO4),
dengan
hydrogen
bantuan
peroksida
media
(H2O2).
activator,
Spent
seperti
bleaching
asam
earth
21
Universitas Sumatera Utara
pada
dasarnya
merupakan
campuran
antara
bleaching
earth
dengan senyawa hidrokarbon yang berasal dari CPO. Senyawa hidrokarbon ini
dengan proses pemanasan akan menjadi arang (coke). Arang yang terbentuk
dengan bantuan asam phospat dapat meningkatkan permukaan aktif bleaching
earth bekas yang diregenerasi. Dalam hal ini, bleaching earth bekas adalah
kalsium-bentonit yang terdiri dari lebih 80% mineral monmorillonit mempunyai
struktur bertingkat dan kapasitas pertukaran ion yang aktif di bagian dasar.
Oleh karena itu, strukturnya
dapat diganti seperti struktur bagian dasar dengan
cara penambahan media pengaktif seperti H3PO4 atau H2O2. Bahan kimia terseb
akan menyebabkan penggantian ion-ion K+, Na+ dan Ca+2 dengan H+ dalam ruang
interlamelar,
serta akan melepaskan ion-ion Al+3, Fe+3 dan Mg+2 dari kisi
strukturnya sehingga menjadi lempung aktif. Aktivitas permukaan aktif adsorben
bekas ini dipengaruhi oleh konsentrasi bahan kimia pengaktif, biasany
dipakai
H3PO4. Selain pengaruh konsentrasi bahan kimia pengakti perlu diperhatikan sifat
dasar, distribusi ukuran
tersebut,
partikel, pH, dan nilai SiO2 atau Al2O3. Selain hal
beberapa faktor yang
mempengaruhi proses regenerasi atau re-
aktivasi yaitu suhu pemanasan, waktu pemanasan dan tekanan (Wambu,2009).
A. Pengaruh suhu Pemanasan
Pada proses pemucatan warna CPO dengan bleaching earth sebagai adsorbennya
memperlihatkan bahwa adsorben ini mulai aktif menyerap warna pada suhu 80°C130°C. Kenaikan tingkat kejernihan warna minyak tidak begitu signifikan setelah
suhu 140°C-150°C, bahkan tingkat kejernihan warna cenderung menurun.
Contohnya, pada proses pemucatan minyak kedele penghilangan warnanya
pada
suhu
sekitar
100°C.
Pada
proses
pemucatan
CPO
dengan
22
Universitas Sumatera Utara
bleaching earth sebagai adsorbennya memperlihatkan bahwa adsorben ini
mulai aktif menyerap warna CPO jika diaktivasi pada suhu diatas 100°C.
Pada proses bleaching CPO bentonit berfungsi sebagai bleaching earth,
yang
diperoleh
dengan
aktivasi
pada
kondisi
asam.
Pada
prinsipnya
daya jerap bleaching earth bekas akan semakin meningkat bila diaktif
(Al Quinabait, 2005).
Biasanya proses bleaching dilakukan dengan menggunakan suhu yang
relatif tinggi (100 - 120°C). Akan tetapi dengan suhu sedemikian tinggi tersebut
dapat menyebabkan CPO menjadi mudah teroksidasi, sehingga warnanya
semakin gelap. Proses oksidasi minyak bisa diminimalisasi atau bahkan
dihindari dengan mengkondisikan set alat bleaching dalam kondisi vakum
untuk mencegah adanya oksigen atau sebelum dilakukan proses bleaching
oksigen yang ada dalam set alat bleaching diusir terlebih dahulu dengan
gas nitrogen (Yusnimar, 2006).
B. Pengaruh Waktu Pemanasan
Pengontrolan proses daur ulang bleaching earth bekas dengan cara fisika maupun
kimia sangat dipengaruhi oleh waktu kontak antara media pengaktif
dengan
spent bleaching earth . Pada kondisi suhu, tekanan, dan jumlah
spent bleaching earth sama memperlihatkan bahwa hasil penghilangan
warna
CPO
maksimum
pada
pemanasan
suhu
55°C
dan
kemudian
cenderung menurun bila waktu kontak diperpanjang. Penurunan pemucatan
disebabkan habisnya daya jerap adsorben bekas tersebut (Lin, 1995).
23
Universitas Sumatera Utara
C. Pengaruh Tekanan
Daya penghilangan warna dari bleaching earth dipengaruhi juga oleh luas
permukaan
adsorben
ini
yang
dikontakkan
dengan
minyak.
Dengan
menurunkan tekanan pori dalam adsorben pada tekanan atmosfir, adsorben
akan
terdearasi,
sehingga
luas
permukaannya
akan
lebih
besar.
Tekanan yang umum dipakai di industri-industri adalah 5.077 mmHg.
2.4. Pengukuran Warna.
Untuk keperluan industri dan pemakaian secara umum, pengukuran
warna dilakukan dengan alat Lovibond – Tinto meter. Warna merah dan kuning
dari minyak kelapa sawit disesuaikan dengan gelas-gelas berwarna merah dan
kuning dari alat Lovibond, dengan sel 5,25 inci. Gelas-gelas berwarna merah dan
kuning distandarisasi dengan “The National Bureau of Standards dalam istilah
skala warna Priest Gibson "N”(9, 10) . Kemajuan dalam industri minyak kelapa
sawit mendorong industri pembuatan alat Lovibond-Tintometer, sehingga
lama-kelamaan timbul pembuatan gelas-galas merah dan kuning dari alat
Lovibondyang
menyimpang
sedikit
demi
sedikit
dari
warna
semula.
Untuk menertibkan hal ini maka The Americans Oil Chemist's Society (AOCS),
menyesuaikan warna
gelas dari Lovibond-Tintorneter dengan warna yang di
ukur oleh alat spektrofotometer. Stanandar spesipikasi yang Oleh PT.SMART
Tbk dilihat dalam Tabel 2.5.
24
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.5 Standart Mutu Spesifikasi di PT.SMART.Tbk
Kandungan
Asam lemak bebas (%)
Spesipikasi oleh PT.SMART Tbk.
1 –2
Kadar air (5)
< 0,1
Pengotoran (%)
< 0,02
Besi (ppm)
< 10
Tembaga (ppm)
0,5
Bilangan iodium
53 + 1,5
Karotena (ppm)
+ 500
Tokoperol (ppm)
+ 800
Pemucatan : merah (R) dan Kuning (y)
maks 15,5R - 20R
25
Universitas Sumatera Utara