Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi ( Studi Putusan Nomor 1731 Pid.Sus 2015 PN.Medan dan Nomor 124 Pid.Sus 2016 PN.Mdn)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan endemisme ( tingkat endemik) yang
tinggi. Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17% satwa di
dunia terdapat di indonesia, walaupun luas indonesia hanya 1,3% dari luas daratan
dunia. Indonesia nomor satu dalam hal kekayaan mamalia (515 jenis) dan menjadi
habitat lebih dari 1.539 jenis burung. Sebanyak 45% ikan di dunia, hidup di
Indonesia. Indonesia juga menjadi habitat bagi satwa-satwa endemik atau satwa
yang hanya ditemukan di Indonesia saja. Jumlah mamalia endemik Indonesia ada
259 jenis, kemudian burung 384 jenis dan ampibi 173 jenis. 1
Namun dewasa ini banyak ditemui kerusakan habitat beberapa jenis satwa
liar yang dilindungi. Hal tersebut tidak lain merupakan perbuatan sekelompok
manusia yang tidak bertanggung jawab, sehingga upaya pencegahan perlu segera
dilakukan untuk melindungi satwa liar yang mungkin jumlahnya semakin sedikit
di alam liar untuk menghindari kepunahan satwa-satwa tersebut. Meskipun kaya,
indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki daftar panjang tentang satwa liar
yang terancam punah. Saat ini menurut IUCN jumlah jenis satwa liar yang
terancam punah adalah 184 jenis mamalia, 119 jenis burung, 32 jenis reptil, 32
jenis ampibi. Jumlah total spesies satwa indonesia yang terancam punah dengan
kategori kritis (critically endangered) ada 69 spesies, kategori endangered ada

197 spesies dan kategori rentan (vulnerable) ada 539 jenis. Satwa-satwa tersebut
1

Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara, “Beo Nias”, Edisi II , April- Juni
2015, hal. 23.

Universitas Sumatera Utara

benar-benar

akan

punah

dari

alam

jika


tidak

ada

tindakan

untuk

menyelamatkannya. 2 Sampai saat ini fakta menunjukkan bahwa lebih dari 80%
satwa yang diperdagangkan di berbagai daerah di Indonesia berasal dari
penangkapan dari alam. Kondisi ini dapat memicu fenomena “empty forest
syndrome” sebuah hutan tanpa isi karena satwanya telah habis diburu. Upaya
pemanfaatan satwa untuk kepentingan manusia tentunya harus diikuti dengan
upaya penyelamatan dan perlindungan satwa dihabitat alami dan di luar habitat
sehingga pemanfaatan terhadap jenis satwa tersebut dapat berkelanjutan. Jenis
satwa yang populasinya dalam keadaan kritis harus sepenuhnya mendapat
perlindungan supaya tidak punah di alam. Sebaliknya, satwa yang populasinya
masih melimpah juga harus diupayakan pengaturan pemanfaatannya sehingga
populasinya tidak menuju kepunahan. 3
Selama tahun 2015 yang lalu, kita disuguhi berita-berita yang cukup

mencengangkan tentang satwa liar dilindungi di Indonesia.

Satwa yang

seharusnya dilindungi karena populasinya makin sedikit justru terancam karena
perburuan dan perdagangan. Dari mulai jenis burung, primata, serangga, hingga
satwa kharismatik seperti harimau dan gajah. Perdagangan dan perburuan terjadi
dari wilayah barat, tengah, hingga timur Indonesia, mulai dari harimau dan
produk turunannya, gading gajah, serta berburuan terhadap banteng.
Pada 12 Februari 2015, Polisi Sumatera Selatan, BKSDA (Balai
Konservasi Sumber Daya Alam) serta WCU (Wild Crime Unit) menangkap

2

Ibid
Agus Haryanta, Dwi Nugroho, dan Novi Hardianto, Pendataan dan Pengenalan Satwa
Liar di Pasar Burung yang Sering Diperdagangkan , Jakarta : Wild Conservation SocietyIndonesia Program, 2013 , hal.1.
3

Universitas Sumatera Utara


pedagang yang telah menjual lebih dari 100 bagian harimau selama lebih dari 10
tahun terakhir ini ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan penampung di Jakarta.
Pada 22 Januari 2015, pihak Karantina dan Inspeksi Ikan Timika dan Denpasar
menangkap penyelundupan 6500 anakan kura-kura moncong babi, sekitar 1226
diamankan pada koper menuju penerbangan ke Denpasar dan sisanya sebanyak
5284 ditangkap di Denpasar. Sementara itu, pada November 2014 telah ditangkap
103 kg bagian manta dari Pengambengan Bali dan di Bandara Internasional
Surabaya diamankan 226 kg bagian manta atau sama dengan 80 ekor manta ray
dewasa. 4
Kepunahan merupakan salah satu ancaman besar untuk Indonesia.
Kepunahan ini sendiri juga dimulai dari kegiatan manusia yang melakukan
perburuan satwa liar dari alam secara terus menerus untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari, tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan
zaman ataupun kebudayaan, maka perburuan satwa liar kini juga dilakukan
sebagai hobi maupun kesenangan yang bersifat exklusif (memelihara satwa liar
yang dilindungi, sebagai simbol status) dan untuk diperdagangkan dalam bentuk
produk dari satwa liar yang dilindungi misalnya gading gajah.
Perilaku manusia ini yang dapat mengancam kepunahan dari satwa langka
yang mana ambisi manusia ingin memiliki tetapi tidak memperdulikan

populasinya dihabitat asalnya. Kepunahan satwa langka ini dapat dicegah dengan
ditetapkan perlindungan hukum terhadap satwa langka yang dilindungi.
Pencegahan ini bertujuan agar satwa-satwa langka yang hampir punah tidak hanya
4

Themmy Doaly, Peradagangan Satwa Ilegal Masih Marak, diakses dari
http://www.mongabay.co.id/tag/perdagangan-satwa-ilegal/ pada tanggal 26 Juni 2016 pukul 09.00

Universitas Sumatera Utara

menjadi cerita bagi anak cucu kita nantinya karena keserakahan manusia dalam
mengambil keuntungan dari yang diperolehnya. Kepunahan satwa langka ini bisa
dicegah apabila kita semua menjaga kelestanan alam, yang mana didalam terdapat
populasi satwa serta ekosistem yang berada didalamnya, serta mencegah
kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh alam atau perbuatan manusia sendiri.
Satwa langka yang mengalami kepunahan sebaiknya tidak boleh dimiliki,
ditangkap, diburu serta diperjualbelikan, hal ini untuk menjaga kelestanan satwa
tersebut dari kepunahan yang disebabkan oleh manusia atau alam disekitarnya.
Maraknya Perdagangan satwa liar yang dilindungi ini bukan hanya
menjadi masalah nasional tetapi juga telah mejadi perhatian dunia internasional

yang dapat dilihat dari ditandatanganinya convenction on iternational trade in
endarenged species flora and fauna ( CITES ), yaitu sebuah kesepakatan
internasional dalam hal perdagangan kehidupan liar ( satwa dan tumbuhan ) pada
tahun 1973, sehingga pada tahun 1978 Indonesia telah meratifikasi CITES denga
dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 tentang Daftar Namanama Jenis Satwa dan Tumbuhan liar yang dikategorikan langka. Mengenai
perdagangan satwa liar yang dilindungi itu diatur dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, Jo
Peraturan Pemerntah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Penegakan Hukum Pidana terhadap pelaku perdagangan satwa liar yang
dilindungi untuk melindungi satwa liar dari perdagangan menjadi hal sangat
penting, karena hal tersebut menjadi penentu kelangsungan hidup satwa-satwa liar

Universitas Sumatera Utara

yang dilindungi unuk tetap lestari sebagai bagian dari kesatuan ekosistem. Dalam
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sunber Daya Alam dan
Ekosistemnya telah secara tegas diterangkan mengenai sanksi pidana bagi para
pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi. Pada pasal 21 ayat 2
huruf (a) jo pasal 40 ayat 2 diancam pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda

paling banyak Rp. 100.000.000,-. 5 Namun melihat kenyataan penegakan hukum
pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi
belum memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana tersebut. Bahkan
sanksi yang diterima para pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang
dilindungi tidak lagi relevan untuk saat ini. Sebagai contoh untuk kasus dengan
nomor perkara

1731/Pid.Sus/PN.Mdn dengan barang bukti 5 ton trenggiling

beku.
Semakin maraknya kasus Perdagangan Satwa liar yang dilindungi baik
hidup maupun sudah mati (bagian-bagian tubuhnya) sudah terjadi hampir di
seluruh pelosok Indonesia yang kemudian melatarbelakangi penulisan skripsi.
Kejahatan terhadap satwa khususnya tindak pidana perdagangan satwa liar yang
dilindungi berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Pada perkembangannya
dewasa ini, tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi bukanlah
kejahatan yang berdiri sendiri melainkan merupakan kejahatan terorganisasi
(organized crime), lintas negara (transnational crime) yang berbasis elektronik

5


UU. No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya

Universitas Sumatera Utara

(cyber crime). 6 Tidak adanya efek jera bagi para pelaku tindak pidana
perdagangan satwa liar yang dilindungi

sepertinya mengisyaratkan lemahnya

hukum terkait dengan perdagangan satwa liar. Selain itu juga keuntungan yang
diperoleh para pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi lebih
besar daripada jumlah denda yang harus dibayarkannya ke negara, sehingga hal
tersebut tentulah tidak akan memberikan efek jera. Seperti yang terjadi pada kasus
penyelundupan pada tahun 2015 di Belawan sebanyak 5 ton daging trenggiling,
100 kg sisik trenggiling, dan 96 ekor trenggiling yang ditaksir merugikan negara
mencapai Rp. 18,4 Mliar. 7 Sementara ancaman hukuman yang ada didalam
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya hanya memberikan pidana denda maksimal Rp. 100 juta rupiah.

Hal tersebut sangat tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh oleh para
pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi tersebut. Skripsi ini
berusaha untuk membahas dan menguraikan segi-segi penegakkan hukum
terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi dikaji
secara teoritis berdasarkan peraturan perundang-undangan terutama UU No.5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
termasuk juga penerapannya dalam praktik di pengadilan terhadap kasus
perdagangan satwa yang dilindungi termasuk diperdagangkan.

6

Raynaldo Sembiring dan Wenni Adzkia, Memberantas Kejahatan Atas Satwa Liar :
Refleksi Atas Penegakan Hukum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Jurnal Hukum
Lingkungan Indonesia. Vol. 02 Issue 02, (2015), hal.58.
7
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara, Op. Cit. hal.3.

Universitas Sumatera Utara

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas,
maka dapat dirumuskan bahwa rumusan masalah dalam penulisan skripsi adalah :
1. Bagaimana pengaturan tindak pidana perdagangan terhadap satwa liar
yang dilindungi menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya ?
2. Bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana
perdagangan satwa liar yang dilindungi dalam kasus register nomor
1731/Pid.Sus/2015/PN.Medan dan Nomor 124/Pid.Sus/2016/PN.Mdn ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan identifikasi rumusan masalah tersebut diatas, maka yang
menjadi tujuan dari penulisan skripsi adalah :
1. Mengetahui pengaturan tindak pidana perdaganga satwa liar yang
dilindungi didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya
2. Mengatahui efektivitas penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak
pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi pada kasus dengan nomor
register

1731/Pid.Sus/PN.Mdn


dan

nomor

register

perkara

124/Pid.Sus/PN.Mdn.
Manfaat yang diharapkan dengan penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :

Universitas Sumatera Utara

1. Manfaat Teoritis
Penulisan Skripsi ini secara teoritis diharapkan bermanfaat untuk
memberikan masukan untuk perkembangan kemajuan hukum pidana pada
khususnya menambah wawasan dan ilmu penegtahuan terkait dengan tindak
pidana terhadap satwa liar yang dilindungi.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat,
lembaga swadaya masyarakat, para praktisi hukum, dan pemerintah dalam
melakukan penelitian terhadap tindak pidana perdagangan satwa liar yang
dilindungi.
b. Dapat menjadi masukan bagi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat,
aparat penegak hukum, dan masyarakat tentang hal-hal yang harus
dilakukan dalam upaya perlindungan terhadap satwa liar yang dilindungi
dari tindak pidana perdagangan satwa liar melalui penegakan hukum
pidana
c. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat, aparat penegak hukum,
dan pemerintah tentang pentingnya menjaga satwa liar yang hampir punah
dari perilaku tindak pidana perdagangan demi keseimbangan ekosistem.
D. Keaslian Penulisan
Sepanjang penelusuran yang telah dilakukan di lingkungan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang Penegakan Hukum
Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi
menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Universitas Sumatera Utara

Alam dan Ekosistemnya telah penulisan terkait perdagangan satwa liar yang
dilindungi sebelumnya.
Untuk mengetahui posisi penulis dalam melakukan penelitian ini , maka
dilakukan review dari penelitian terdahulu yang ada kaitaannya dengan
perdagangangan satwa liar yang dilindungi yang dilindungi.
Penelitian yang dimaksud adalah penelitian yang juga ditulis dalam bentuk
skripsi oleh Margaretha Siahaan yang berjudul “Pertanggung Jawaban Pidana
Terhadap Pelaku Satwa yang dilindungi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan
Nomor 1513/Pid.B/2014/PN.Mdn)”. Kesimpulannya adalah bahwa permasalahan
yang utama yang menjadi pembahasan dalam skripsi tersebut adalah pertanggung
jawaban pidana olehpelaku perdagangan satwa yang dilindungi. Persamaan antara
penelitian penulis dengan skripsi terdahulu terletak pada bahasan mengenai
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya. Perbedaannya penelitian yang ditulis oleh Margaretha
Siaahaan hanya membahas pertanggung jawaban pidana pelaku perdagangan
satwa yang dilindungi menurut Undang-Undang Nomor 5 Taun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan skripsi
penulis membahas penegakan hukum pidana terhadap pelaku perdagangan satwa
liar yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Taun 1990 tenttang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan putusanputusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap di Pengadilan Negeri Medan.

Universitas Sumatera Utara

E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tindak Pidana, Unsur-Unsur Tindak Pidana dan
Pemidanaan
1.1 Pengertian Tindak Pidana
Pengertian unsur-unsur tindak pidana hendaklah dibedakan dari pengertian
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam rumusan undang-undang (rumusan
pasal). Pengertian tindak pidana lebih luas daripada pengertian unsur-unsur tindak
pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan undang-undang, yang dalam bahasa
Belanda disebutelement van de wettelijke delictsome schrijving. 8 Berbagai
rumusan tindak pidana yang dikemukakan oleh para ahli hukum, jika diperhatikan
terdiri dari beberapa unsur/elemen. Para ahli ada yang mengemukakan unsur
tindak pidana secara sederhana yang hanya terdiri dari unsur objektif dan unsur
subjektif, dan ada pula yang merinci unsur-unsur tindak pidana yang diambil
berdasarkan rumusan undang-undang. Unsur subjektif adalah unsur yang terdapat
di dalam diri si pelaku, sedangkan unsur objektif adalah unsur yang terdapat di
dalam unsur perbuatan si pelaku. Pada umumnya setiap tindak pidana menurut
Barda Namawi 9 adalah perbuatan yang dinilai oleh masyarakat sebagai perbuatan
tidak patut dilakukan atau selalu bertentangan dengan hukum.
1.2Pengertian Unsur-Unsur Tindak Pidana
Dalam mengemukakan apa yang yang merupakan unsur-unsur tindak
pidana, umumnya dikemukakan terlebih dahulu pembedaan dasar antara unsur
(bagian) perbuatan dan unsur (bagian) kesalahan (pertanggungjawaban pidana).
8

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana,

Medan : USU Press, 2013,

hal.103.
9

Ibid., hal.87-89.

Universitas Sumatera Utara

Unsur (bagian) perbuatan ini sering juga disebut unsur (bagian) objektif
sedangkan unsur (bagian) kesalahan serimh juga disebut unsur subjektif. 10
D. Hazenwinkiel Suringa 11 dalam Sudarto mengemukakan unsur-unsur
tindak pidana yang diambil dari rumusan undang-undang, yaitu sebagai berikut :
1. Dalam setiap delik terdapat unsur tindak/perbuatan seseorang ;
2. Untuk beberapa delik, undang-undang menyebutkan apa yang dinamakan
akibat konstitutif dan ini terdapa dalam delik materiil;
3. Banyak delik memuat unsur-unsur yang bersifat phsychich misalnya :
dengan tujuan dolus atau culpa;
4. Pelbagai delik mengkehendaki adanya keadaan objektif, misalnya delik
penghasutan (Pasal 160 KUHP);
5. Beberapa delik memuat apa yang disebut dengan syarat tambahan untuk
dapat dipidana ( bijkomende voor waarde van straffbaarheid ) yang
maksudnya adalah :
a. Terjadi sesudah terjadinya perbuatan yang diuraikan dalam undangundang, bisa juga disertai dengan akibat konstitutifnya;
b. Justru memberikan sifat dapat dipidana, misal pasal 182 KUHP;
6. Sifat melawan hukum
12

Menururt

Jan Remmelink unsur-unsur tindak pidana yang dapat

ditemukan di dalam rumusan tindak pidana, adalah sebagai berikut :
a. Perilaku
10

Frans Maramis, Hukum Pidan Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta : Rajwali Press,
2013, hal.65-66.
11
Mohammad Ekaputra. Op. Cit., hal.106-107.
12

Ibid., hal. 107-110.

Universitas Sumatera Utara

Dalam setiap delik terdapat unsur-unsur perilaku manusia, baik itu berbuat
atau tidak berbuat dalam arti melalaikan suatu hal. Apa yang berada di luar
lingkup itu tidak menjadi perhatian hukum pidana. Singkatnya, hukum
pidana kita terfokus pada tindakan (dadstrafrecht).
b. Subjek
Manusia adalah subjek tindak pidana. Dalam arti tertentu, kita juga dapat
menyebut subjek sebagai salah satu unsur tindak pidana. Hal ini juga
berarti bahwa hukum pidana hanya berlaku bagi subjek hukum manusia
yang berbentuk badan hukum maupun tidak, dan yayaysan tau bentuk
perkumpulan lain yang mengelola kekayaan yang dipisahkan umtuk
tujuan-tujuan lain.
c. Akibat konstitutif
Sejumlah delik ditujukan pada perbuatan yang mengakibatkan suatu sebab
atau yang dinamakan akibat konstitutif. Setiap tindakan apapun
mengakibatkan dan memunculkan suatu akibat. Hanya dalam bentuk delik
materiil unsur akibat disebutkan secara eksplisit di dalam undang-undang;
hanya dalam jenis delik materiil saja akibat merupakan bagian dari
rumusan delik.
d. Sifat psikis
Banyak rumusan delik mencakup unsur-unsur yang sifatnya psikis,
misalnya

‘dengan

maksud’

(oomerk),

‘kesengajaan’

(opzet),

‘kelalaian/culpa ‘(onachtzaamheid). Dalam bentu kejahatan, penyebutan
unsur-unsur ini mutlak ada.

Universitas Sumatera Utara

e. Situasi dan kondisi objektif tertentu
Banyak delik-delik pidana isinya mensyaratkan adanya situasi dan kondisi
objektif tertentu .
f. Syarat tambahan sifat dapat dipidana
Sejumah delik lain mengandung syarat-syarat tambahan sifat dapat
dipidana. Maksudnya adalah suatu keadaan yang timbul (segera) setelah
perilaku atau tindakan yang dirumuskan dalam delik terjadi, termasuk
akibat konstitutifnya, dan keadaan itulah yang pertama-tama menetapkan
sifat dapat dipidananya perilaku tersebut. 13
Menurut Moeljatno 14 unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada
dalam suatu perbuatan pidana adalah :
1. Kelakuan dan akibat (dapat disamakan dengan perbuatan);
2. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
4. Unsur melawan hukum yang objektif;
5. Unsur melawan hukum yang subjektif.
1.3 Pengertian Pemidanaan
Pidana pada hakikatnya adalah suatu kerugian berupa penderitaan yang
sengaja diberikan oleh negara terhadap individu yang melakukan pelanggaran
terhadap hukum. Kendatipun demikian, pemidanaan juga adalah suatu pendidikan
moral terhadap pelaku yang telah melakukan kejahatan dengan maksud agar tidak

13

Mohammad Ekaputra, Op. Cit., hal. 106-109
Ibid., hal.110.

14

Universitas Sumatera Utara

mengulangi perbuatannya. 15 Menurut Sudarto pemidanaan itu kerap kali sinonim
dengan kata penghukuman. Penghukuman berasal dari kata dasar hukum,
sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang
hukumnya (berechten). Penghukuman dalam perkara pidana, sinonim denagn
pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh Hakim. Pemidanaan
dapat diartikan sebagai tahap penetapan pidana dan tahap pemberian pidana.
Sudarto 16 menyatakan bahwa pemberian pidana itu mempunyai dua arti, yaitu :
1. Dalam arti umum ialah yang menyangkut pembentuk undang-undang,
ialah yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in
abstracto) ;
2. Dalam arti konkrit, ialah yang meyangkut berbagai badan atau jawatan
yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum
pidana itu (pemberian pidana ini concreto).
Menurut Jan Remmelink, pemidanaan adalah pengenaan secara sadar dan
matang suatu azab oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang
bersalah melanggar suatu aturan hukum. Jerome Hall dalam M. Sholehuddin17
membuat deskripsi yang terperinci mengenai pemidanaan, yaitu sebagai berikut :
a. Pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup ;
b. Ia memaksa dengan kekerasan ;
c. Pemidanaan mengisyaratkan adanya peraturan-peraturan, pelanggarannya,
dan penentuannya, yang diekpresikan di dalam putusan ;
15

Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka,
2016, hal.451.
16
Abul Khair dan Mohammad Ekaputra, Pemidanaan, Medan : USU PRESS, 2011,
hal.7-8.
17
Ibid., hal.9.

Universitas Sumatera Utara

d. Ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan, dan ini
mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan
kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan dalam etika ;
e. Tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan denga perbuatan kejahatan,
dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian)
si pelanggar, motif dan dorongannya.
2. Pengertian Penegakan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana
2.1 Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan hukum dalam bahasa Inggris law enforcement, dan bahasa
Belanda disebut rechtshandhaving 18 adalah suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum
adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam
peraturan-peraturan hukum. Proses penegakan hukum menjangkau pula sampai
kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan
dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu
dijalankan. Dalam kenyataan, proses penegakan hukum memuncak pada
pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum. 19
Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidahkaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran

nilai

tahap

akhir,

untuk

menciptakan,

memelihara,

dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
18
19

Sodikin, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta : Djambatan, 2007, hal.94.
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum , Yogyakarta : Genta Publishing, 2009, hal.24.

Universitas Sumatera Utara

Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandaganpandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pandanganpandangan tersebut senantiasa terwujud di dalam pasangan-pasangan tertentu ,
misalnya ada pasangan nilai ketertiban dengan nilai ketentraman, pasangan nilai
kepentingan umum dengan nilai kepentingan pribadi, pasangan nilai kelestarian
dengan nilai inovatisme dan seterusnya. Di dalam penegakan hukum, pasangan
nilai-nilai tersebut perlu diserasikan. 20
Dalam pemahaman istilah Indonesia maka penegakan hukum berkaitan
dengan sanksi pidana, karena masyarakat hanya menyebut pada aparat penegak
hukum, yaitu polisi, jaksa, dan hakim. Padahal tidaklah demikian halnya, sebab
apabila

suatu

hukum

(undang-undang)

dapat

ditegakkan,

maka

perlu

memperhatikan suatu syarat bahwa hukum (undang-undang) akan dapat
ditegakkan. 21
Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan
satwa liar yang dilindungi juga merupakan bagian dari penegakan hukum
lingkungan

22

dimana hukum pidana di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1990 berada pada garis terdepan sebagai premium remedium. Penegakan hukum
dilaksanakan oleh para penegak hukum. Penegak hukum adalah orang atau badan
yang melakukan suatu kegiatan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu

20

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada,2007, hal.1-2.
21
Sodikin, op. Cit., hal.1.
22
Deni Bram, Hukum Lingkungan Hidup, Bekasi : Gramata Publishing, 2014, hal.47.

Universitas Sumatera Utara

usaha yang dapat diartikan sebagai

23

petugas yang berhubungan dengan masalah

peradilan. Sedangkan peradilan itu sendiri adalah segala sesuatu atau sebuah
proses yang dijalankan di pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara dengan menerapkan hukum dan/atau
menemukan hukum “in concreto” (hakim menerapkan peraturan hukum kepada
hal-hal yang nyata dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus) untuk
mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materill, dengan menggunakan
cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.
24

Menurut

Mardjono,

elemen-elemen

dalam

sistem

pengendalian

Kejahatan terdiri atas lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan
lembaga pemasyarakatan. Terkait penegakan hukum terhadap pelaku perdagangan
satwa liar yang dilindungi, peneliti mengidentifikasi elemen-elemen tersebut :
a. Lembaga-lembaga kepolisian terkait dengan kejahatan atas satwa liar
meliputi penyidik Kepolisian Republik Indonesia dan Penyidik
pegawai negeri sipil (PPNS) ;
b. Kejaksaan sesuai dengan kewenangannya melakukan penuntutan
terhadap pelaku yang melakukan perdagangan satwa liar yang
dilindungi dan melakukan eksekusi terhadap terpidana ;
c. Pengadilan melalui hakim memberikan putusan pemidanaan terhadap
pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi ;

23

Jurnal R. Tri Prayudi, Penegakan Hukum, Rehabilitasi dan Pelepasliaran Satwa
Dilindungi Hasil Sitaan Negara Ujung Tombak Upaya Penstabilan Ekosistem Kawasan
Konservasi, Program Pascasarjana PSL Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, 2014.
24
Raynaldo Sembiring dan Wenni Adzkia, Memberantas Kejahatan Atas Satwa Liar :
Refleksi Atas Penegakan Hukum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Jurnal Hukum
Lingkungan Indonesia. Vol. 02 Issue 02, (2015), hal.57-58.

Universitas Sumatera Utara

d. Lembaga pemasyarakatan sesuai tujuan pemidanaan melakuka
rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar
yang dilindungi.
2.2 Pengertian Sistem Peradilan Pidana
Pada dasarnya, aspek pemidanaan merupakan puncak dari sistem peradilan
pidana yaitu dengan dijatuhkan putusan hakim. Sistem peradilan sering diartikan
secara sempit sebagai sistem pengadilan yang menyelenggrakan keadilan atas
nama negara atau suatu mekanisme unruk menyelesaikan perkara atau sengketa.
Pengertian tersebut menurut Barda Nawawi Arief merupakan pengertian yang
sempit, karena hanya melihat dari segi aspek struktural dan hanya melihat dari
segi aspek kekuasaan mengadili/menyelesaikan perkara.
Perlu terlebih dahulu dijelaskan mengenai makna sistem dalam sistem
peradilan pidana tersebut. Menurut Satjipto Rahardjo, sistem adalah sebagai jenis
satuan yang mempunyai tatanan tertentu. 25 Tatanan tertentu ini menunjukkan
kepada suatu struktur yang tersusun dari bagian-bagian. Beliau juga memaknai
sistem sebagai suatu rencana, metode atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu.
Menurut Mardjono Reksodiputro, bahwa sistem peradilan pidana adalah
sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi maslah kejahatan,
menanggulangi disini berarti usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada
dalam batas-batas toleransi masyarakat. Menurut Romli Atmasasmita, sistem
peradilan pidana dapat dilihat dari berbagai sudut pendekatan, yaitu antara lain ;

25

Rocky Marbun, Sistem Peradilan Pidana Indonesia , Malang : Setara Press, 2015,

hal.15-16.

Universitas Sumatera Utara

1. Pendekatan normatif yang memandang keempat aparatur (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi
pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat
aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
penegakan hukum semata-mata;
2. Pendekatan manajemen atau administratif yang memandang keempat
aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga
pemasyarakatan) sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki
mekanismen kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang
bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam
organisasi tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem administrasi;
3. Pendekatan sosial yang memandang keempat aparatur penegak hukum
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan)
merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial

sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas
keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum
tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah
sistem sosial.
Ketiga bentuk pendekatan tersebut sekalipun berbeda, tetapi tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Bahkan lebih jauh ketiga pendekatan tersebut saling
mempengaruhi dalam menetukan tolak ukur keberhasilan dalam menanggulangi

Universitas Sumatera Utara

kejahatan. Sedangkan menurut Remington dan Ohlin bahwa yang dimakksud
dengan Criminal Justice System adalah : 26
“Sebagai pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan
pidana sebagai suatu sistem dan merupakan hasil interaksi antara peraturan
perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku
sosial.”
Dari berbagai pengertian-pengertian terkait dengan istilah Sistem
Peradilan Pidana, maka pada dasarnya sudah dapat diketahui tujuan dari Sistem
Peradilan Pidana. Salah satu ahli hukum yang cukup secara jelas dan gamblang
menjelaskan tujuan dari Sistem Peradilan Pidana adalah Mardjono Reksodiputro.
Beliau menjelaskan bahwa tujuan dari pembentukan Sistem Peradilan Pidana
merupakan suatu upaya suatu upaya untuk penanggulangan dan pengendalian
kejahatan yang terjadi di masyarakat. Mardjono Reksodiputro menjelaskan lebih
rinci terkait dengan tujuan dari Sistem Peradilan Pidana sebagai berikut ; 27
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana
3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
Sistem Peradilan Pidana yang diserap dalam KUHAP, diberlakukan
melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, menganut sistem Campuran yang
meletakan kerangka landasan penyelenggaraan sistem peradilan dengan mengatur
26

Ibid., hal.18-19.
Ibid., hal.31.

27

Universitas Sumatera Utara

hubungan antar subsistem peradilan. Hal demikian juga dapat dilihat dari
penyelenggaraan peradilan pidana secara normatif dapat digambarkan sebagai
berikut :
1. Tahap Penyelidikan.
2. Tahap Penyidikan.
3. Tahap Penuntutan.
4. Tahap Pemeriksaan disidang peradilan
5. Tahap upaya Hukum.
6. Pelaksanaan Putusan Pengadilan.
3. Pengertian Satwa Liar yang dilindungi
Secara sederhana untuk mengetahui pengertian dari satwa liar yang
dilindungi terlebih dahulu penulis menjelaskan pengertian dari satwa liar, karena
tidak semua satwa liar dikategorikan sebagai satwa yang dilindungi. Dalam
pemakaian bahasa keseharian satwa liar dapat diartikan sebagai fauna atau
binatang yang bergerak dan berkembang biak di alam liar yang memliki peranan
penting bagi kehidupan manusia.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya pengertian satwa tercantum didalam Pasal
1 butir 5 yaitu “satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani,baik yang
hidup di darat maupun di air”. Pada pasal 1 butir 7 disebutkan juga bahwa “satwa
liar adalah semua binatang yang hidup di darat dan/atau di air dan/atau di udara
yang masih mempunyai sifat-sifat liar baik yang hidup bebas maupun yang
dipelihara oleh manusia”. Pasal 1 butir 7 ini juga menjelaskan pembatasan

Universitas Sumatera Utara

pengertian tentang satwa liar tersebut yaitu “ikan dan ternak tidak termasuk dalam
pengertian satwa liar tetapi termasuk dalam pengertian satwa”. 28
Satwa liar dikategorikan sebagai satwa yang dilindungi karena memilki
unsur-unsur seperti berikut : 29
a. Satwa liar tersebut merupakan satwa endemik,
b. Satwa liar tersebut jumlahnya semakin sedikit di alam,
c. Satwa liar tersebut merupakan satwa khas suatu daerah yang hanya dapat
ditemukan di daerah tersebut,seperti harimau sumatera.
d. Satwa liar tersebut memiliki keunikan yang khas dari satwa yang lainnya.
Perlindungan terhadap satwa yang dilindungi telah tercantum secara jelas
pada Pasal 21 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya yaitu ;
“Pasal 21
(2) Setiap orang dilarang untuk :
d. memperniagakan, menyimpan, atau memiliki kulit, tubuh, atau bagianbagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang terbuat dari
bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat ke
Indonesia ke tempat lain baik didalam maupun diluar Indonesia.”
Larangan pada pasal 21 ayat (2) huruf d secara tegas telah menjelaskan
bahwa memperdagangkan bagian-bagian satwa liar yang dilindungi juga tidak
diperbolehkan. Namun pada kenyataannya, bagian-bagian tubuh dari satwa-satwa
liar yang dilindungi tersebut seperti gading gajah, kulit harimau, dan kulit
trenggiling masih menjadi objek perdagangan yang juga begitu banyak di beredar
di pasar ilegal.
28

UU. Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
29
Agus Haryanta, Dwi Nugroho, dan Novi Harianto, Op. Cit.,hal.2.

Universitas Sumatera Utara

F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis
normative) yaitu penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan
perundang-undangan tertulis dan berbagai literartur yang berkaitan dengan
permasalahan dalam skripsi atau disebut juga penelitian hukum doktrinal.
Penelitian dalam skripsi ini dilakukan dengan menginventarisir dan
mengelompokkan hukum positif yang berkaitan dengan tindak pidana yang
dilakukan para pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi.
Penulis juga melakukan penelitian terhadap putusan pengadilan negeri khususnya
di Pengadilan Negeri Medan yang bertujuan untuk mengetahui penerapan hukum
pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi.
Pendekatan yang digunakan penulis pertama-tama adalah mengumpulkan
literatur ataupun refrensi dan sumber-sumber hukum terkait perlindungan satwa
liar yang dilindungi, kemudian

penulis mencoba melakukan analisis

penerapannya pada penindakan nyata kasus perdagangan satwa liar yang
dilndungi oleh para pelaku tindak pidana tersebut yang merupakan pokok bahasan
dalam penulisan skripsi ini.
2. Data dan Sumber
Data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder.
Data sekunder diperoleh dari ;
a. Bahan hukum primer, yaitu sutu dokumen peraturan yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yaitu berupa KUHP dan

Universitas Sumatera Utara

Undang-Undang, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi
atau hasil kajian tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
perdagangan satwa liar yang dilindungi antara lain kasus di Pengadilan
Negeri Medan (Putusan Nomor 1731/Pid.Sus/2015/PN.Mdn dan Nomor
124/Pid.Sus/2016/PN.Mdn), buku-buku karya ilmiah dan beberapa sumber
internet yang berkaitan dengan permasalahn dalam skripsi ini.
c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep
dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Keseluruhan data pada skripsi ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan
(library research) yaitu melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan
seperti : peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah-majalah, pendapat
sarjana, dan bahan lainnya yang berkaitan dengan skripsi. Refrensi-refrensi dan
sumber-sumber hukum tersebut dipilih kemudian diinventarisir yang nantinya
akan digunakan dalam melakukan analisis secara yuridis pada praktik
penerapannya.

Universitas Sumatera Utara

4. Analisis Data
Data yang diperoleh penulis melalui studi pustaka dikumpulkan dan
diurutkan kemudian diorganisasikan dalam satu pola, kategori, dan satuan uraian
dasar. Analisa data dalam skripsi ini adalah dengan cara kualitatif yaitu
menganalisis melalui data sehingga diperoleh data yang dapat menjawab
permasalahan dalam skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Secara garis besar gambaran keseluruhan dari penulisan skripsi ini akan
penulis jabarkan dengan cara menguraikan sistematika penulisan yang terdiri atas
4 (empat) bab, yaitu :
Bab I Pendahuluan merupakan bab yang memberikan ilustrasi guna
memberikan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh serta sistematis yang
terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,tujuan dan manfaat penelitian,
keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar Yang
Dilindungi. Bab ini terdiri dari pembahasan faktor-faktor penyebab terjadinya
perdagangan satwa liar yang dilindungi, perbuatan yang termasuk perbuatan
tindak pidana terhadap satwa liar yang dilindungi menurut Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya,
dan perdagangan satwa liar yang dilindungi merupakan salah satu tindak pidana
terhadap satwa liar yang dilindungi menurut undang-undang tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Bab III Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Perdagangan Satwa Liar yang dilindungi (Studi Putusan di Pengadilan Negeri
Medan dengan Nomor Register 1731/Pid.Sus/2015/PN.Mdn dan Nomor Register
124/Pid.Sus/2016/PN.Mdn). Bab ini terdiri dari pembahasan faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum pidana dan memberikan penjelasan penegakan
hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pergangan satwa liar yang dilindungi
dengan melakukan analisis terhadap kasus perdagangan satwa liar yang dilindungi
yang telah memperoleh putusan di Pengadilan Negeri Medan berdasarkan teoriteori hukum pidana.
Bab IV Kesimpulan dan Saran, merupakan bagian akhir yang berisikan
kesimpulan dan saran dari hasil penulisan dan kaitannya dengan masalah yang
diidentifikasi.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Tindak Pidana Membantu Melakukan Pencurian dengan Kekerasan yang Dilakukan oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 03/PID.SUS-Anak/2014/PN.MDN)

1 116 103

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

2 81 104

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

2 50 101

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN SATWA YANG DILINDUNGI (Studi Putusan Perkara No. 331/Pid.Sus/2011/PN.TK.)

2 15 53

Penerapan Diversi dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Analisis Kasus Putusan Perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Tng)

1 6 95

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi ( Studi Putusan Nomor 1731/Pid.Sus/2015/PN.Medan dan Nomor 124/Pid.Sus/2016/PN.Mdn)

3 47 124

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi ( Studi Putusan Nomor 1731 Pid.Sus 2015 PN.Medan dan Nomor 124 Pid.Sus 2016 PN.Mdn)

0 0 8

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi ( Studi Putusan Nomor 1731 Pid.Sus 2015 PN.Medan dan Nomor 124 Pid.Sus 2016 PN.Mdn)

0 0 1

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi ( Studi Putusan Nomor 1731 Pid.Sus 2015 PN.Medan dan Nomor 124 Pid.Sus 2016 PN.Mdn)

0 0 24

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi ( Studi Putusan Nomor 1731 Pid.Sus 2015 PN.Medan dan Nomor 124 Pid.Sus 2016 PN.Mdn)

0 0 3