Implementasi Kebijakan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Studi Pada Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar)
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Di setiap periodisasi kepemerintahan pastinya akan dituntut peningkatan
terhadap pelayanan publik yang lebih berkualias dan proses pembangunan yang
berkelanjutan. Sehingga pemerintah sebagai pengelola pelayanan publik harus
mampu menunjukkan performa kinerja yang baik dalam mewujudkan prinsipprinsip good governance.
Bila ditelusuri mengenai karakteristik good governance, terdapat beberapa
kesamaan da tuntutan serta sistem politik demokratis terutama yang meliputi , rule
of law, transparancy, accountability, consensus. Dari segi masing-masing tersebut
good geovernance dapat melakukan koordinasi yang baik dan integritas ,
professional serta etos kerja dan moral yang tinggi. Dengan demikian penerapan
good governance dalam penyelengaraan kekuasaan pemerintah
negara
merupakan tantangan sendiri.
Penghambat good governance disebabkan adanya penyelewengan
wewenang aparatur pemerintah yang diberikan kepada masyarakat yang tidak
efisien, efektif, tidak responsif dan kurang peka terhadap aspirasi dan kebutuhan
masyarakat terhadap perkembangan lingkungan global yang mendorong suburnya
praktik-praktik KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme) yang mendorong
masyarakat menginginkan pemerintahan yang baik. Akibat maraknya patologi
birokrasi tersebut membuat pemerintah pusat maupun daerah harus bekerja keras
15
Universitas Sumatera Utara
dalam upaya penerapan koordinasi yang baik dan integritas , professional serta
etos kerja dan moral yang tinggi dalam pemebrian pelayanan publik.
Negara Indonesia secara eksplisit mulai mengimplementasikan konsep
akuntabilitas melalui Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 1999 tentang Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dengan dilatarbelakangi
keinginan untuk lebih meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang lebih
berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab disamping untuk
mengetahui kemampuan instansi pemerintahan dalam pencapaian visi, misi dan
tujuan organisasi. Hal ini muncul berdasarkan pengalaman dan pengamatan
sejarah birokrasi Indonesia yang selama ini belum menunjukkan kondisi prima
sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Kondisi ini menjadi penyebab
utama ketidakberhasilan kinerja birokrasi dalam upaya menuju good governance.
Sejak munculnya iklim yang lebih demokratis dalam pemerintahan, kinerja
instansi pemerintah semakin menjadi sorotan dan masyarakat mulai banyak
menuntut nilai yang diperoleh atas pelayanan yang diberikan.
Dilihat dari perkembangan yang telah dilakukannya akuntabilitas kinerja
pemerintah kabupaten/kota dalam tiga tahun belakangan ini cukup meningkat.
Selain penilaian terhadapa seluruh kabupaten/kota, jumlah yang mendapat nilai
CC (cukup baik/memadai) ke atas berkinerja baik juga mengalami peningkatan.
Ada peningkatan yang sinifikan pada tahun 2012 ini telah dilakukannya penilaian
akuntabilitas terhadap 435 (89%) dari 491 pemerintah kabupaten/kota. Hasilnya,
sebanyak 106 kabupaten/kota atau hampir mencapai 25%. jumlah kabupaten/kota
yang berkinerja baik (mendapat nilai CC ke atas). Dari hasil penilaian, dua
kabupaten/kota diantaranya mendapat nilai B (baik), dibanding tahun sebelumnya
16
Universitas Sumatera Utara
hanya satu kota. Adapun 104 lainnya mendapat nilai CC. Selain itu sebanyak 253
kabupaten/kota mendapat nilai C, dan masih ada 76 kabupaten/kota yang nilainya
D. Sebanyak 56 kabupaten/kota tidak belum bisa dievaluasi, karena tidak ada
data atau tidak membuat laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah
(LAKIP) dan penetapan kinerja (PK).
Kota Pematangsiantar memperoleh nilai D atas hasil evaluasi Sistem
akuntabilitas kinerja pemerintah (SAKIP) oleh Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), hal ini menjadi bahan
evaluasi dan pelajaran ke depan. Jika dikonversikan ke dunia akademik, berarti
Pemko
Siantar
dinyatakan
tidak
lulus.
(http://www.menpan.go.id/berita-
terkini/1024-akuntabilitas-kinerja-kabupaten-kota-makin-meningkatakuntabilitas-kinerja-kabupaten-kota-makin-meningkat-akuntabilitas-kinerjakabupaten-kota-makin-meningkat).
Selain kota Pematangsiantar, kabupaten/kota lain yang nilainya D dalah
Karo, Labuhan Batu, Nias Barat, Nias Utara dan Humbang Hasundutan
(Humbahas). Sementara, yang mendapat nilai C (agak kurang) adalah Asahan,
Dairi, Labuhan Batu Selatan, Labuhan Batu Utara, Langkat, Nias, Nias Selatan,
Padang Lawas, Samosir, Serdang Bedagai, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah,
Toba Samosir, Kota Binjai, Kota Tanjung Balai dan Gunung Sitoli. Sedangkan
yang mendapat nilai CC (cukup baik/memadai) hanya empat, yakni Pakpak Barat,
Kota
Medan,
Kota
Sibolga
dan
Tebingtinggi.
(http://www.metrosiantar.com/2014/01/30/120997/evaluasi-akuntabilitas-kinerja-pemerintahpemko-siantar-nilai-d/)
Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut Plt. Deputi Pengawasan
dan Akuntabilitas Kementerian PANRB, Wiharto mengatakan perlunya
17
Universitas Sumatera Utara
memperkuat penerapan akuntabilitas kinerja, mutlak diperlukan kebijakan yang
mengintegrasikan
sistem perencanaan, sistem penganggaran
dan
sistem
akuntabilitas kinerja itu sendiri. Peraturan perundangan yang memayungi, lanjut
Wiharto, sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Namun peraturan
perlaksanaannya, seperti dalam hal aplikasi Renstra, Renja dan RKA, ternyata
tidak selalu menggunakan nomenklatur maupun pengertian yang sama, serta tidak
selalu
ada
keterhubungan.
(http://www.menpan.go.id/berita-terkini/1024-
akuntabilitas-kinerja-kabupaten-kota-makin-meningkat-akuntabilitas-kinerjakabupaten-kota-makin-meningkat-akuntabilitas-kinerja-kabupaten-kota-makinmeningkat).
Salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang turut wajib
memberikan laporan akuntabilitas kinerjanya adalah Dinas Kebersihan Kota
Pematangsintar yang bertanggung jawab atas penyelenggara urusan pelayanan
umum di bidang kebersihan, termasuk pengelolaan sampah Kota Pematangsiantar.
Penanganan kebersihan dan sampah selalu menjadi permasalahan pelik di setiap
daerah. Hal itu disebabkan karena kebersihan lingkungan secara langsung
terkontaminasi kepada masyarakat. Oleh karena itu perlu peningkatan pelayan
pemerintah untuk penanganan kebersihan lingkungan kota Pematangsiantar.
Kota Pematangsiantar merupakan salah satu kota terbesar kedua setelah
Kota Medan di Propinsi Sumatera Utara. Kota Pematangsiantar tergolong
kedalam kota sedang dengan jumlah penduduk yang padat yakni 236.947 jiwa
dengan luas wilayah 79.97 km2. Kota Pematangsiantar yang hanya berjarak 128
km dari Medan dan 52 km dari Parapat di mana Kota Pematangsiantar menjadi
kota perlintasan bagi wisatawan yang hendak ke Danau Toba. Sebagai kota
18
Universitas Sumatera Utara
penunjang pariwisata di daerah sekitarnya, Kota Pematangsiantar memiliki 8 hotel
berbintang,
10
hotel
melati
dan
268
(www.pematangsiantarkota.go.id/profil-daerah/showall=&limitsart).
restoran.
Dengan
semakin tingginya pertambahan penduduk dan meningkatnya aktivitas kehidupan
masyarakat di Kota Pematangsiantar berakibat semakin banyak timbunan sampah
yang jika tidak dikelola secara baik dan teratur bisa menimbulkan berbagai
masalah, bukan saja bagi pemerintah daerah tetapi juga bagi seluruh masyarakat.
(Data Badan Penanganan Statistik Kota Pematangsiantar, 2013)
Sejalan dengan aktivitas penduduk, sampah di Kota Pematangsiantar dapat
bersumber dari perdagangan, perindustrian, pemukiman, perkantoran, rumah
sakit, dan sebagainya sehingga jenis sampah yang timbul juga bervariasi. Pada
tahun 2013, Kota Pematangsiantar dengan jumlah penduduk 236.947 jiwa,
menghasilkan sampah sebanyak 587 m3/hari, dengan jumlah sampah yang
terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sebanyak 493 m3/hari. Sehingga
banyaknya sampah yang belum terangkut ke TPA adalah 94 m3/hari. Jika
dihitung per bulan, maka dapat dipastikan timbulan sampah baik yang diangkut
maupun yang tidak terangkut ke TPA semakin banyak. (Data Badan Penanganan
Statistik Kota Pematangsiantar, 2013)
Dari data di atas, sesungguhnya Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar
memiliki tanggung jawab yang berat untuk dapat mencapai visi yang diemban,
yaitu mewujudkan pelayanan kebersihan yang prima. Hal ini menjadi evaluasi
terhadap hasil capaian Kinerja Instansi Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar
dalam LAKIP Tahun 2014 di mana menyandang predikat tidak lulus yaitu nilai D
19
Universitas Sumatera Utara
yang salah satu program kerjanya adalah peningkatan sarana dan prasarana
kebersihan.
Dari beberapa uraian di atas tampak bahwa dinas kebersihan sebagai
instansi pemerintah wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dalam mencapai
visi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Implementasi Kebijakan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas Kebersihan Kota
Pematangsiantar”.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian kondisi dan uraian di atas yang disajikan maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
Bagaimana Implementasi
Kebijakan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) pada
Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar?
I.3 Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah pasti memiliki
tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis melalui
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (SAKIP) di Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar
2. Untuk mengetahui bagaimana kendala-kendala atau hambatan dalam
penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP)
di Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar.
20
Universitas Sumatera Utara
I.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah:
1. Secara subjektif, untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan
dalam melatih kemampuan berpikir ilmiah dalam pembuatan karya
ilmiah.
2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan
bagi
Dinas
Kebersihan
Kota
Pematangsiantar
dalam
rangka
peningkatan akuntabilitas kinerja instansi.
3.
Hasil penelitian ini diharpkan dapat menjadi sumbangan ilmiah,
referensi dan tambahan informasi bagi para pembaca mengenai
kebijakan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP).
I.5 Kerangka Teori
Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau
memecahkan permasalahan perlu adanya pedoman teoritis yang dapat
membantu.Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok
pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah tersebut disoroti.
Selanjutnya, menurut Kerlinger yang dikutip dari Effendi, Sofian (2012:35), teori
merupakan serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, definisi dan proposisi untuk
menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antara konsep.
21
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan rumusan di atas, maka dalam bab ini penulis akan
mengemukakan teori, pendapat, gagasan yang akan dijadikan titik tolak landasan
berfikir dalam penelitian ini.
I.5.1 Kebijakan Publik
I.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk
menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok,
maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang
kegiatan tertentu. Sebagai suatu konsep, kebijakan memiliki makna yang luas dan
multi interpretasi. Sebagai contoh, James Anderson dalam memberi makna
kebijakan sebagai perilaku aktor dalam bidang kegiatan tertentu. Pengertian di
atas sangat luas dan bisa diartikan bermacam-macam, misal, sang “aktor” dapat
berupa individu atau organisasi; dapat pemerintah maupun non pemerintah.
Demikian pula istilah “kegiatan tertentu” bisa diartikan kegiatan administratif,
politis, ekonomis, dan lain-lain. Di samping itu, bentuk kegiatannya pun luas dan
multi interpretasi misalnya dapat berupa pencapaian tujuan, perencanaan,
program, dan sebagainya.
Menurut Kusumanegara (2009) studi kebijakan adalah studi tentang
perilaku berbagai aktor dalam berbagai bidang kegiatan yang mempunyai
relevansi dengan sang aktor. Menurut kamus Inggris-Indonesia, kata “public”
berarti (1) masyarakat umum, rakyat umum, orang banyak; (2) rakyat . Defenisi
tersebut
menggambarkan
bahwa
kata
publik
dalam
bahasa
Indonesia
diterjemahkan oleh beberapa kalangan secara berbeda sesuai dengan keperluan
atau kepentingan.
22
Universitas Sumatera Utara
Untuk keperluan analisis ada beberapa batasan yang dapat digunakan,
salah satunya merupakan definisi mengenai kebijakan publik yang diberikan oleh
Robert Eyeston (Subarsono 2005:2). Ia mengatakan bahwa “secara luas”
kebijakan publik dapat didefiniskan sebagai “hubungan suatu unit pemerintahan
dengan lingkungannya”. Batasan lain diberikan oleh Dye yang mengatakan bahwa
kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan
tidak dilakukan. Definisi kebijakan publik dari Dye ini mengandung makna bahwa
kebijakan publik tersebut dibuat oleh pemerintah, bukan organisasi swasta dan
kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan
oleh badan pemerintah.
Dalam konsep lainnya seorang pakar bernama Dunn (1994) mengatakan
proses analisis kebijakan publik merupakan serangkaian aktivitas intelektual yang
dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis itu nampak
pada serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.
Sedangkan Anderson (1975) memberikan definisi kebijakan publik
sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat
pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah 1) kebijakan publik selalu
mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi
pada tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah; 3)
kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah,
jadi bukan merupakan apa yang dimaksudkan untuk dilakukan; kebijakan publik
yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah
mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti
23
Universitas Sumatera Utara
merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan
pemerintah setidak-tidaknya dalam arti positif didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang bersifat mengikat dan memaksa. Dari berbagai uraian
di atas dan sejalan dengan pendapat dari Jones ,1977 (Hesel Nogi Tangkilisan
2002:2-3) bahwa kebijakan publik terdiri dari komponen-komponen :
1. Goals atau tujuan yang diinginkan
2. Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan
3. Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan
4. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan ,
membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program
5. Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer atau
skunder).
Meskipun terdapat berbagai definisi kebijakan publik (public policy)
seperti yang telah dikemukan di awal, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
kebijakan publik adalah proses pelaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah yang
mempunyai tujuan (goals) yang berdampak demi kepentingan seluruh masyarakat.
I.5.1.2 Tahapan Kebijakan Publik
Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena
melibatkan banyak proses dan variabel yang harus dikaji. Oleh sebab itu terdapat
tahapan-tahapan proses penyusunan kebijakan kebijakan publik. Menurut Dunn
(Budi Winarno : 28-30), tahapan-tahapn kebijkan public terdiri dari :
24
Universitas Sumatera Utara
1. Tahap penyusunan agenda. Dalam tahapan ini para pejabat memilih dan
mengangkat permasalahan publik yang dinilai paling penting dan
dimasukkan ke dalam agenda kebijakan.
2. Tahap formulasi kebijakan, masalah yang telah disusun dalam agenda
kebijakan didefiniskan untuk kemudian dicari pemecahan yang terbaik .
3. Tahap adopsi kebijakan yaitu dengan melakukan adopsi terhadap salah
satu kebijakan yang dianggap baik dengan dukungan mayoritas legislatif,
konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
4. Tahap implementasi kebijakan. Program kebijakan yang telah ditentukan
sebagai alternatif terbaik bagi pemecahan masalah dilaksanakan oleh
badanbadan administrasi maupun agen-agen pemerintah tingkat bawah
yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia .
5. Tahap penilaian kebijakan ini dilakukan untuk melihat sejauh mana
sebuah kebijakan mampu memecahkan masalah dengan menggunakan
kriteria-kriteria sebagai dasar untuk melihat dampak kebijakannya yang
telah diimplementasikan.
25
Universitas Sumatera Utara
Dalam pandangan Ripley, 1985 (dalam Subarsono, 2005 : 11) untuk tahapan
kebijakan digambarkan sebagai berikut :
Penyusunan
Agenda
Hasil
Agenda
Pemerintah
diikuti
Formulasi &
legitimasi
Kebijakan
hasil
Kebijakan
diperlukan
Implementasi
Kebijakan
Tindakan
Kebijakan
hasil
diperlukan
Mengarah ke
Kinerja &
Dampak
Kebijakan
Evaluasi Thp
implementasi,
kinerja, &
dampak
Kebijakan
Baru
Gambar 1.1 Tahapan Kebijakan Publik
Dengan demikian setiap kebijakn selalu melewati proses analisa dan
pengujian sebelum akhirnya diputuskan untuk ditetapkan dan diimplementasikan
26
Universitas Sumatera Utara
untuk memecahkan sebuah permasalahab public. Sehingga dalam penerapan
kebijakan baru dapat menjadi lebih bermanfaaat dan kebijakan tersebut lebih baik
dan lebih berhasil.
I.5.2 Implementasi Kebijakan
I.5.2.1 Pengertian Implementasi
Dalam perumusan suatu kebijakan apakah menyangkut program maupun
kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau
implementasi. Karena betapapun baiknya suatu kebijakan tanpa implementasi
maka tidak akan banyak berarti. Dalam kaitan ini seperti dikemukakan oleh
Wahab (1997 : 51), menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu
yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijaksanaan.
Kebijaksanaan hanya sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi
dalam arsip kalau tidak mampu diimplementasikan.
Menurut Nugroho (2006 : 31), Implementasi kebijakan merupakan tahap
yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus
diimplementasikan agar mempunyai dampak dan tujuan yang diinginkan. Suatu
program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elite, jika program tersebut
tidak pernah diimplementasikan. Implementasi kebijakan dipandang dalam
pengertian yang luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang dimana
berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk
menjalankan kebijakan dalam upaya meraih tujuan-tujuan kebijakan dan programprogram.
Sementara itu Cleaves (dalam Wahab, 1997 : 125) menyatakan bahwa
keberhasilan atau kegagalan implementasi dapat dievaluasi dari sudut
27
Universitas Sumatera Utara
kemampuannya secara nyata dalam meneruskan/mengoperasionalkan programprogram yang telah dirancang sebelumnya. Sebaliknya, keseluruhan proses
implementasi kebijakan dapat dievaluasikan dengan cara mengukur atau
membandingkan antara hasil akhir dari program-program tersebut dengan tujuantujuan kebijakan.
Dengan
demikian
tahapan
implementasi
ini
merupakan
bentukmewujudnyatakan setiap kebijakan dan perencanaan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Proses ini berlangsung dan sangat menentukan bagaimana sebuah
solusi dari permasalan yang ada dikerjakan sehingga benar-benar memberikan
dampak sesuai dengan yang diharapkan sejak awal.
I.5.2.2 Model Implementasi kebijakan
A. Model Van Meter dan Van Horn (1975)
Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van
Horn menjelaskan bahwa kebijakn dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling
berkaitan. Variabel-variabel tersebut yaitu :
1. Standar dan sasaran kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat
teralisir. Apabila standard dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi
multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik antara para agen
implementasi.
Mengukur
kerja
implementasi
kebijakan
tentunya
menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para
pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian
atas tingkat ketercapaian standard dan sasaran tersebut.
28
Universitas Sumatera Utara
2. Sumber Daya
Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya
manusia maupun sumber daya non-manusia. Keberhasilan implementasi
kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya
yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam
menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap
implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas
sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah
ditetapkan secara politik. Selain sumber daya manusia, sumber daya
finasial dan waktu menjadi perhitungan dalam keberhasilan implementasi
kebiijakan.
3. Komunikasi dan Penguatan Aktifitas
Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan
instansi lain agar tujuan kebijakan dapat tercapai.
4. Karakteristik Agen Pelakasana
Mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola yang terjadi
dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu
program.
5. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik
Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat
mendukung keberhasilan implementasi kebijakn, sejauh mana kelompokkelompok kepeningan dapat memberikan dukungan bagi implementasi
kebijakan, karakteristik para partisipan yakni menolak atau mendukung,
29
Universitas Sumatera Utara
bagaimana sifat opini public yang ada di lingkungan dan apakah elit
politik mendukung implementasi kebijakan.
6. Diposisi Implementor
Disposisi implementor ini mencakup 3 hal penting yaitu : a. respon
implementor terhadap kebijakan untuk melaksanakan kebijakan; b.
kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; c. intensitas disposisi
implementor, yakni prefensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
B. Model Merilee S. Grindle
Marilee S. Grindle (1980) memberi pemahaman bahwa studi implementasi
kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Grindle
juga menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh
derajat implementabilty dari kebijakan tersebut. Keunikan model Grindle terletak
pada pemahaman yang komprehensif akan konteks kebijakan khususnya yang
menyangkut implementor, penerima kebijakan, dan arena konflik yang mungkin
terjadi serta sumber daya yang akan diperlukan selama proses implementasi.
Secara konsep dijelaskan bahwa model implementasi kebijakan publik yang
dikemukakan Grindle menentukan bahwa keberhasilan proses implementasi
kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada program yang telah
dirancang dan pembiayaan ysng cukup, selain dipengaruhi oleh isi kebijakan dan
konteks implementasinya.
Isi kebijakan yang dimaksud meliputi :
1. Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan.
2. Jenis manfaat yang dihasilkan
3. Derajat perubahan yang diinginkan
30
Universitas Sumatera Utara
4. Kedudukan pembuat kebijakan
5. Siapa pelaksana program
6. Sumber daya yang dilibatkan
Isi sebuah kebijakan akan menunjukan posisi pengambilan keputusan oleh
sejumlah besar pengambil keputusan, sebaliknya ada kebijakan tertentu yang
lainnya hanya ditentukan sejumlah kecil unit pengambil kebijakan.
Selanjutnya pengaruh dalam konteks lingkungan terdiri dari :
1. Kekuasaan kepentingan dan strategi actor yang terlibat
2. Karakteristik lembaga dan penguasa
3. Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana
C. Model Mazmanian dan Sabatier. (1983)
Menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan pulik adalah upaya
melaksanakan keputusan kebijakan. Model ini disebut sebagai kerangka analisis
implementasi.
Mazmanian
dan
Sabatier
.(dalam
Wahab,
1997
:
125)mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel,
yaitu:
1. Karakteristik dari masalah, imdikatornya adalah :
a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan
b. Tingkat kemajukan dari kelompok sasaran
c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi
d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan
2. Karakteristik kebijakan, indikatornya adalah :
a. Kejelasan isi kebijakan
31
Universitas Sumatera Utara
b. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis
c. Besarnya alokasi sumber daya financial terhadap kebijakan tersebut
d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar institute
pelaksana
e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana
f. Tingkat komitmen aparat terhadap kebijakan
3. Variabel lingkungan, indikatornya adalah :
a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi
b. Dukungan public terhadap suatu kebijakan
c. Sikap dari kelompok pemilih
d. Tingkat komitmen dan ketrampilan dari aparat dan implementor
D. Model George Edwards III
Menurut Edward III, studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi
public administration dan public policy. Implementasi kebijakan adalah
pembuatan kebijakan anatara pembentukan kebijakan dan konsekuensikonsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu
kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mempengaruhi masalh yang merupakan
sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan
sekali pun kebijakan itu diimplentasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu
kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika
kebijakan tersebut kurang diimplemenatsikan dengan baik oleh para pelaksana
kebijakan.
Menurut Edwards ( dalam Wahab, 1997 : 125), terdapat empat faktor atau
variabel dalam implementasi kebijakan publik, yaitu :
32
Universitas Sumatera Utara
1.
Komunikasi
Persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif
adalah bahwa mereka melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang
mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah
harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan dan
perintahtersebut dapat diikuti. Tentu saja, komunikasi harus akurat dan
harus dimengerti dengan cermat. Secara umum Edwards membahas tiga
indicator penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni :
a. Tranmisi, yaitu komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan
suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi masalah
dalam penyaluran komunikasi, yaitu adanya salah pengertian yang
disebabkan banyaknya tingkatan birokrasi yang harus dilalui dalam
proses komunikasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di
tengah jalan.
b. Kejelasan, yakni komunikasi yang diterima oleh pelaksana
kebijkan harus jelas dan tidak membingungkan atau tidak
ambigu/mendua.
c. Konsistensi, yakni perintah yang diberikan dalam pelaksanaan
suatu komunikasi harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan atau
dijalankan. Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah,
maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.
2. Sumber Daya
Sumber daya adalah factor yang paling penting dalam implementasi
kebijakan agar efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber
33
Universitas Sumatera Utara
daya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumber daya
financial. Tanpa adanya sumber daya, kebijakan hanya tinggal di
kertas menjadi dokumen saja.
Indikator-indikator yang digunakan untuk melihat sejauh mana sumber
daya mempengaruhi implementasi kebijakan adalah :
a. Staf. Sumber daya utama implementasi kebijakan adalah staf atau
pegawai. Kegagalan sering terjadi dalam implementasi kebijakan,
salah satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup
memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam bidangnya.
b. Imformasi. Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai
dua bentuk, yakni pertama, informasi yang berhubungan dengan
cara melaksanakan kebijakan. Kedua, informasi mengenai data
kapatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi
pemerintah yang telah ditetapkan.
c. Fasilitas.
Fasilitas
fisik
merupaka
factor
penting
dalam
implementasi kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf
yang mencukupi, kapabel, dan kompeten, tetapi tanpa adanya
fasilitas penukung (sarana dan prasarana) maka implementasi
kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
3. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh
implementor seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis.
Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan
dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti yang diinginkan oleh
34
Universitas Sumatera Utara
pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sifat atau perspektif
yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi
kebijakan juga menjadi tidak efektif.
4. Struktur birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan
memiliki pengaruh yang signifikantrhadap implementasi kebijakan.
Salah satu dari aspek struktur yang paling penting dari setiap
organisasi adalah adanya rincian tugas dan prosedur pelayanan
menjadi pedoman bagi implementor dalam bertindak. Selain itu
struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan
pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang
rumit dan kompleks. Pada akhirnya menyebabkan aktivitas organisasi
tidak fleksibel.
Menurut Edwards, ada dua karakteristik utamadari birokrasi, yakni
prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut
dengan Standar Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi, yaitu :
a. Berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang
terbatas dan sumber-sumber dari pada pelaksana serta keinginan
untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi yang kompleks
dan tersebar.
b. Berasala terutama dari tekanan luar unit-unit birokrasi, seperti
komit-komit legislative, kelompok kepentingan, pejabat eksekutif,
konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi
organisasi birokrasi pemerintah.
35
Universitas Sumatera Utara
I.5.2.3 Model Implementasi Yang Digunakan
Dalam penelitian ini penulis memilih beberapa variebel yang menurut
Edwards III (dalam Wahab, 1997 : 125) yang dianggap mempengaruhi, antara lain
:
1. Komunikasi.
Yaitu menunjuk bahwa setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan
baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana program (kebijakan)
dengan para kelompok sasaran (target group). Tujuan dan sasaran dari
kebijkan dapat disosialisasikan secar baik sehingga menghindari adanya
distorsi atas keijakan dan program. Ini menjadi penting karena semakin tinggi
pengetahuan kelompok sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat
peolakan dan kekeliruan dalam mengaplikasikan program dan kebijakan
dalam ranah sesungguhnya.
2. Sumber Daya.
Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat,
jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber daya yang
diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini
pun cenderung tidak efektif. Dengan demikian, sumber daya dapat menjadi
faktor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber daya yang
penting meliputi staff yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk
melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang
diperlukan untuk menterjemahkan usul-usul di atas kertas guna pelaksakan
pelayanan publik.
36
Universitas Sumatera Utara
3. Kecenderungan-kecenderungan (Disposisi).
Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga
yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi
kebijkan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu
kebijakan tertentu, dalam hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar
mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para
pembuat keputusan di awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah lakutingkah laku atau perspektif-perspektif para pelaksana berbeda dengan para
pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi
semakin sulit. Dalam beberapa kasus, karena sifat dari kebijakan serta sifat
dari sistem pengadilan, seringkali suatu kebijakan dilaksanakan oleh
yurisdiksi yang lain. Hal ini berakibat pada semakin terbukanya interpretasi
terhadap kebijakan yang dimaksud dan bila hal ini benar-benar terjadi maka
akan berakibat pada semakin sulitnya implementasi kebijakan, sebab
interpretasi yang terlalau bebas terhadap kebijakan akan semakin mempersulit
implementasi yang efektif dan besar kemungkinan implementasi yang
dijalankan menyimpang dari tujuan awalnya. Mengingat pentingnya
kecenderungan – kecenderungan ini bagi implementasi kebijakan yang efektif,
maka akan dibahas dampak dari kecenderungan –kecenderungan tersebut
terhadap implementasi kebijakan.
4.
Struktur Birokrasi
Dalam implementasi kebijakan, struktur birokrasi mejadi hal
penting dalam proses kebijakan. Aspek struktur birokrasi mencakup dua
hal penting pertama adalah mekanisme dan struktur organisasi pelasana
37
Universitas Sumatera Utara
sendiri. Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan
melalui standar operating procedur (SOP) yang sudah dicantumkan dalam
guideline program/kebijakan. SOP yang baik mencantumkan kerangka
kerja yang jelas, sistematis, tidak berbelit dan mudah dipahami oleh siapa
pun karena akan menjadi acuan dalam bekerjanya implementor.
Sedangkan struktur organisasi pelaksana haruslah menghindari hal yang
berbelit, panjang dan kompleks.struktur organisasi pelaksana harus dapat
menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadiam dalam kebijakan
secara cepat dan efektif.
Berikut ini gambar model Edward III :
Komunikasi
Sumber daya
Implementasi
Disposisi
Struktur
birokrasi
Gambar 1.2 Model Implementasi Edward III
38
Universitas Sumatera Utara
I.5.3 Sistem Akuntabilitas Kinerja Intansi Pemerintah (SAKIP)
Saat
ini
pembahasan
mengenai
akuntabilitas
pemerintah
dalam
menjalankan tugasnya sudah menjadi bahan analisis masyarakat dalam menilai
perkembangan dan mengetahui pencapaian kinerja pemerintah. Namun, tidak bisa
dipungkiri bahwa warga negra dan pemerintah memiliki tanggungjawab yang hal
tersebut dijadikan kebutuhan universal.
Menurut Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (2003),
akuntabilitas adalah kewajiban untuk menyampaikan pertanggungjawaban atau
untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan
hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau
berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.
Dari materi di atas dapat ditarik empat materi kunci yaitu sebagai berikut:
Pertama, karena merupakan kewajiban, akuntabilitas pada dasarnya
bersifat imperatif (keharusan). Artinya wajib dilaksanakan dan disertai sanksi bagi
yang melanggarnya. Kedua, akuntabilitas berkaitan dengan kinerja dan tindakan.
Kinerja merupakan keseluruhan hasil, manfaat, dan dampak dari suatu proses
pengolahan masukan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan tindakan
merupakan aktivitas aktif dari seseorang/ badan hukum/ pimpinan kolektif untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kinerja dan tindakan yang dilakukan 1.
Akuntabilitas dalah kewajiban sebagai konsekuensi logis dari adanya pemberian
hak dan kewenangan 2. Kewajiban tersebut berbentuk pertanggungjawaban
terhadap
kinerja
dan
tindakan
3.
Kewajiban
tersebut
melekat
pada
seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif 4. Pertanggungjawaban ditujukan
kepada pihak yang memiliki hak dan berkewenangan untuk hal tersebut. berkaitan
39
Universitas Sumatera Utara
dengan hak dan kewenangan yang diberikan kepada seseorang/badan hukum/
pimpinan
kolektif.
Ketiga,
pelaksanaan
kewajiban
ditujukan
kepada
seseorang/badan hukum/ pimpinan kolektif yang karena jabatannya memperoleh
hak dan kewenangan menjalankan tugas untuk mencapai tujuan organisasi.
Dengan demikian akuntabilitas dapat bersifat perorangan, kelompok, atau
organisasional. Keempat, akuntabilitas yang dilakukan oleh seseorang/ badan
hukum/ pimpinan kolektif ditujukan kepada pihak-pihak yang memiliki hak dan
kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Pihak-pihak tersebut
adalah pejabat yang berwenang dan atau pemegang saham.
Menurut Sedarmayanti (2003 : 69) akuntabilitas dinyatakan sebagai
kewajiban
untuk
memberikan
pertanggungjawaban
atau
menjawab
dan
menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/ pimpinan suatu
organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berwewenang untuk meminta
keterangan atau pertanggungjawaban.
Sebagai perwujudan pelakasanan tata kepemerintahan yang baik
sebbagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998
Tentang Penyelengraaan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) , serta UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang hal yang sama. Di
mana sejak bergeraknya reformasi, berbbagai upaya dilakukan pemerintah untuk
menjadikan
penyelenggara (pemegang kebijakan) menjadi lebih akuntaBel
kepada pihak yang mempercayainya.
Dengan gerakan perubahan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
maka diterbiitkan Instruksi Pressiden (Inpres) Nomor 07 Tahun 1999 tentang
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Namun pelaksanaan inpres tersebut
40
Universitas Sumatera Utara
dicabut dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia
Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Perpres ini batu loncatan atas pentingnya penyelenggaraan pemerintah yang
berkinerja dan akuntabel. Pemerintah yang berkinerja yang tidak hanya diukur
dari keberhasilan pemerintahan dalam menjalankan program kerjanya, akan tetapi
yang lebih penting ialah bagaimana seluruh kebijakan, program dan kegiatan
tersebut dapat dirasakan dan bermanfaat bagi masyarakat. Pengertian akuntabilitas
kinerja dalam perpres ini adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah
untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi
organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran yang ditetapkan malalui alat
pertanggungjawaban secara periodik.
Dalam Permenpan dan RB Nomor 35 Tahun 2011 tentang
Petunjuk
Teknis Perjanjian kinerja, Pelaporan kinerja , dan Tata Cara Reviue Atas Laporan
Kinerja Intansi Pemerintah
disebutkan bahwa SAKIP merupakan sistem
manajamen pemerintah yang berfokus pada peningkatan akuntabilitas dan
sekaligus
peningkatan
kinerja
berorientasi
pada
hasil
(result
oriented
government). SAKIP ini kemudian diimplentasikan secara “self Assesment” oleh
masing-masing instansi pemerintah. Ini berarti instansi pmerintah tersebut
merencanakan sendiri, melaksanakan, mengukur dan memantau kinerjanya sendiri
serta meaporkannya sendiri kepada insansi yang lebih tinggi.
Secara substansi SAKIP diartikan sebagai instrumen yang digunakan
intasnsi pemerintah dalam memenuhi kewajiban untuk mempertangungjawabkan
keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi. Kemudian hasil dari
pelaksanaan SAKIP tersebut dituangkan ke dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja
41
Universitas Sumatera Utara
Intansi Pemerintah (LAKIP) supaya diketahui tingkat pencapaian sasarann
ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran visi, misi, dan strategi
instansi pemerintah.
Pemberlakuan SAKIP ini juga tidak lepas dari nilai kemanfaatan yang
diharapkan, antara lain:
1.
Menjadikan isntansi pemerintah yang akuntabel sehingga dapat beroperasi
secara efisien, efektif, dan responsif terhadap aspirasi masyarakat dan
lingkungannya.
2.
Terwujudnya transparansi instansi pemerinah.
3. Terwujudnya partisipiasi masyarakat dalam pelakasanaan pembangunan
nasional.
4. Terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Dengan acuan dari Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara
Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, terdapat prinsip-prinsip pelaksanaan
SAKIP yang secara proporsional yaitu:
1. Adanya komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi yang
bersangkutan.
2. Berdasarkan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan sumbersumber daya secara konsisten dengan peraturan perundangundangan yang
berlaku.
3.
Menunjukkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan yang telah
ditetapkan.
42
Universitas Sumatera Utara
4. Berorientasi pada pencapaian visi dan misi, serta hasil dan manfaat yang
diperoleh.
5. Jujur, objektif, transparan, dan akurat.
6. Menyajikan keberhasilan/kegagalan dalam pencapaian sasaran dan tujuan
yang telah ditetapkan.
Selain prinsip tersebut, pelaksanaan SAKIP haruslah lebih efektif dengan
menguatkan komitmen dalam mengerjakan apa yang menjadi visi dan misi
organisasi dan konsisten dalam pengawasan, pengendalian, dan penilaian
terhadapa akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.
Berkenaan dengan ruang lingkup SAKIP, dikemukakan bahwa SAKIP yang
dilaksanakan
oleh
setiap
instansi
pemerintah
sebagai
bahan
pertanggungjawabannya kepada presiden, adalah semua kegiatan instansi
pemerintah yang memberi kontribusi bagi pencapaian visi dan misinya. Kegiatan
yang menjadi perhatian utama mencakup:
1. Tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah
2. Program kerja yang menjadi isu nasional
3. Aktivitas yang dominan dan vitas bagi pencapaian visi dan misi instansi
pemerintah.
Berkaitan dengan penerapan manajemen berbasis kinerja, dibutuhkan
keahlian
pimpinan
intansi
pemerintah
untuk
mendukung
terlaksananya
manajemen kinerja yaitu :
1. Pimpinan instansi pemerintah mendorong perencanaan dan pelaksanaan
program dam kegiatan serah dengan visi dan misi organisasi.
43
Universitas Sumatera Utara
2. Pimpinan mendorong dibangunnya perangkat dan pelatihan agar
diterapkannya anggaran berbasis kinerja di instansinya.
3. Tugas-tugas diarahakan pada pencapaian kinerja organisasi agartujuan
organisasi dapat segera tercapai.
4. Pegawai dan organisasi yang telah mencapai kinerja dengan baik perlu
diberikan penghargaan agar mendorong pegawai dam organisasi terus
bekerja dengan baik.
5. Pemimpin instansi pemerintah mendukung dilakukannya evaluasi
kinerja di instansinya secara terus menerus agar dapat dipantau
perkembangan kinerjanya.
Selanjutnya, dalam kegiatan pengendalian disebutkan bahwa dalam upaya
untukmemantau pencapaian kinerja instansi pemerintah, pemimpin intsnasi
pemerintah harus melakukan :
1. Terlibat dalam penyusunan rencana strategis dan rencana kerja
tahunan.
2. Terlibat dalam pengukuran dam pelaopran hasil yang dicapai.
3. Secara berkala mereviu kinerja dibandingan rencana.
4. Pada tingkat kegiatan mereviu laporan kinerja, menganalisis
kecenderungan dan mengukur hasil dibandingkan dengan target
anggaran, perkiraan dan kinerja periode lalu.
Hal ini sejalan dengan tahapan yang telah ditetapkan dalam Instruksi
Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang pelaksanaan Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Mempersiapkan dan menyusun perencanaan strategis
44
Universitas Sumatera Utara
2. Merumuskan visi, misi,faktor-faktor kunci keberhasilan, tujuan,
sasaran dan strategi instansi pemerintah
3. Merumuskan indikator kinerja instansi pemerintah dengan berpedoman
pada kegiatan yang dominan, menjadi isu nasional dan vital bagi
pemcapaian visi dan misi instansi pemerintah.
4. Memantau dan mengamati pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dengan
seksama.
5. Mengukur pencapaian kinerja dengan:
a. Perbandingan kinerja aktual dengan rencana atau target
b. Perbandingan kinerja aktual dengan tahun-tahun sebelumnya
c. Perbandingan kinerja aktual dengan kinerja di negara-negara lain
atau dengan standar internasional
d.
Membandingkan
capaian
berjalan
dengan
tahun-tahun
sebelumnya
e. Membandingkan kumulatif pencapaian kinerja dengan target
selesainya rencana strategis
6. Melakukan evaluasi kinerja dengan :
a. Menganalisis hasil pengukuran kinerja
b. Menginterpretasikan data yang diperoleh
c. Membandingkan pencapaian program dengan visi dan misi
intansi pemerintah.
Pada akhir suatu periode, capaian kinerja tersebut dilaporkan kepada
pihak yang berkepentingan atau yang meminta dalam bentuk Laporan
45
Universitas Sumatera Utara
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Tahap akhir, informasi yang
teremuat dalam LAKIP tersebut dimanfaatkan bagi perbaikan kinerja instansi
yang berkesinambungan.
I.6 Defenisi Konsep
Menurut Singarimbun (1995 : 33), Konsep adalah istilah dan definisi yang
digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok
atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial, sehingga dengan konsep
maka peneliti akan bisa memahami unsur-unsur yang ada dalam penelitian baik
variabel, indikator, parameter maupun skala pengukuran yang dikehendaki di
dalam penelitian. Oleh sebab itu, untuk lebih memperjelas pemahaman dalam
tulisan ini yang menjadi definisi konsep dalam tulisan ini adalah :
1. Implementasi Kebijakan adalah proses pelaksanaan yang ditetapkan oleh
pemerintah yang mempunyai tujuan (goals) yang berdampak demi
kepentingan seluruh masyarakat. Implementasi kebijakan ini diterapkan
dengan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerinttah atau SAKIP
disesuaikan dengan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014. Berikut ini
model kebijakan yang digunakan dalam penelitian :
1) Komunikasi. Penyampaian informasi yang efektif tentang kebijakan
SAKIP yang akan dilaksanakan terhadap pegawai Dinas Kebersihan
Kota Pematangsiantar.
2) Sumber-sumber daya yaitu segala modal dan kapasitas yang dimiliki
oleh implementor yang mendukung keefektivan pengimplementasian
kebijakan SAKIP pada Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar.
46
Universitas Sumatera Utara
3) Kecenderungan-kecenderungan (disposisi) merupakan respon berupa
penerimaan atau penolakan terhadap kebijakan SAKIP yang
diterapkan.
4) Struktur birokrasi meliputi Prosedur kerja (Standart Operating
Procedures = SOP) dan fragmentasi.
2. Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah adalah perwujudan
kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan
keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai
tujuan-tujuan
dan
pertanggungjawaban
pencapaian
sasarann
sasaran
secara
yang
periodik.
ataupun
tujuan
ditetapkan
malalui
alat
SAKIP
diterapakan
untuk
instansi
pemerintah
(Dinas
Kebersihan Kota Pematangsiantar) sebagai penjabaran visi, misi, dan
strategi instansi pemerintah sampai pada laporan akuntabilitas Kinerja
Intansi Pemerintah (LAKIP) yang menjadi acuan sebagai alat evaluasi
pertangungjawaban SAKIP.
47
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Di setiap periodisasi kepemerintahan pastinya akan dituntut peningkatan
terhadap pelayanan publik yang lebih berkualias dan proses pembangunan yang
berkelanjutan. Sehingga pemerintah sebagai pengelola pelayanan publik harus
mampu menunjukkan performa kinerja yang baik dalam mewujudkan prinsipprinsip good governance.
Bila ditelusuri mengenai karakteristik good governance, terdapat beberapa
kesamaan da tuntutan serta sistem politik demokratis terutama yang meliputi , rule
of law, transparancy, accountability, consensus. Dari segi masing-masing tersebut
good geovernance dapat melakukan koordinasi yang baik dan integritas ,
professional serta etos kerja dan moral yang tinggi. Dengan demikian penerapan
good governance dalam penyelengaraan kekuasaan pemerintah
negara
merupakan tantangan sendiri.
Penghambat good governance disebabkan adanya penyelewengan
wewenang aparatur pemerintah yang diberikan kepada masyarakat yang tidak
efisien, efektif, tidak responsif dan kurang peka terhadap aspirasi dan kebutuhan
masyarakat terhadap perkembangan lingkungan global yang mendorong suburnya
praktik-praktik KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme) yang mendorong
masyarakat menginginkan pemerintahan yang baik. Akibat maraknya patologi
birokrasi tersebut membuat pemerintah pusat maupun daerah harus bekerja keras
15
Universitas Sumatera Utara
dalam upaya penerapan koordinasi yang baik dan integritas , professional serta
etos kerja dan moral yang tinggi dalam pemebrian pelayanan publik.
Negara Indonesia secara eksplisit mulai mengimplementasikan konsep
akuntabilitas melalui Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 1999 tentang Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dengan dilatarbelakangi
keinginan untuk lebih meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang lebih
berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab disamping untuk
mengetahui kemampuan instansi pemerintahan dalam pencapaian visi, misi dan
tujuan organisasi. Hal ini muncul berdasarkan pengalaman dan pengamatan
sejarah birokrasi Indonesia yang selama ini belum menunjukkan kondisi prima
sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Kondisi ini menjadi penyebab
utama ketidakberhasilan kinerja birokrasi dalam upaya menuju good governance.
Sejak munculnya iklim yang lebih demokratis dalam pemerintahan, kinerja
instansi pemerintah semakin menjadi sorotan dan masyarakat mulai banyak
menuntut nilai yang diperoleh atas pelayanan yang diberikan.
Dilihat dari perkembangan yang telah dilakukannya akuntabilitas kinerja
pemerintah kabupaten/kota dalam tiga tahun belakangan ini cukup meningkat.
Selain penilaian terhadapa seluruh kabupaten/kota, jumlah yang mendapat nilai
CC (cukup baik/memadai) ke atas berkinerja baik juga mengalami peningkatan.
Ada peningkatan yang sinifikan pada tahun 2012 ini telah dilakukannya penilaian
akuntabilitas terhadap 435 (89%) dari 491 pemerintah kabupaten/kota. Hasilnya,
sebanyak 106 kabupaten/kota atau hampir mencapai 25%. jumlah kabupaten/kota
yang berkinerja baik (mendapat nilai CC ke atas). Dari hasil penilaian, dua
kabupaten/kota diantaranya mendapat nilai B (baik), dibanding tahun sebelumnya
16
Universitas Sumatera Utara
hanya satu kota. Adapun 104 lainnya mendapat nilai CC. Selain itu sebanyak 253
kabupaten/kota mendapat nilai C, dan masih ada 76 kabupaten/kota yang nilainya
D. Sebanyak 56 kabupaten/kota tidak belum bisa dievaluasi, karena tidak ada
data atau tidak membuat laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah
(LAKIP) dan penetapan kinerja (PK).
Kota Pematangsiantar memperoleh nilai D atas hasil evaluasi Sistem
akuntabilitas kinerja pemerintah (SAKIP) oleh Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), hal ini menjadi bahan
evaluasi dan pelajaran ke depan. Jika dikonversikan ke dunia akademik, berarti
Pemko
Siantar
dinyatakan
tidak
lulus.
(http://www.menpan.go.id/berita-
terkini/1024-akuntabilitas-kinerja-kabupaten-kota-makin-meningkatakuntabilitas-kinerja-kabupaten-kota-makin-meningkat-akuntabilitas-kinerjakabupaten-kota-makin-meningkat).
Selain kota Pematangsiantar, kabupaten/kota lain yang nilainya D dalah
Karo, Labuhan Batu, Nias Barat, Nias Utara dan Humbang Hasundutan
(Humbahas). Sementara, yang mendapat nilai C (agak kurang) adalah Asahan,
Dairi, Labuhan Batu Selatan, Labuhan Batu Utara, Langkat, Nias, Nias Selatan,
Padang Lawas, Samosir, Serdang Bedagai, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah,
Toba Samosir, Kota Binjai, Kota Tanjung Balai dan Gunung Sitoli. Sedangkan
yang mendapat nilai CC (cukup baik/memadai) hanya empat, yakni Pakpak Barat,
Kota
Medan,
Kota
Sibolga
dan
Tebingtinggi.
(http://www.metrosiantar.com/2014/01/30/120997/evaluasi-akuntabilitas-kinerja-pemerintahpemko-siantar-nilai-d/)
Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut Plt. Deputi Pengawasan
dan Akuntabilitas Kementerian PANRB, Wiharto mengatakan perlunya
17
Universitas Sumatera Utara
memperkuat penerapan akuntabilitas kinerja, mutlak diperlukan kebijakan yang
mengintegrasikan
sistem perencanaan, sistem penganggaran
dan
sistem
akuntabilitas kinerja itu sendiri. Peraturan perundangan yang memayungi, lanjut
Wiharto, sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Namun peraturan
perlaksanaannya, seperti dalam hal aplikasi Renstra, Renja dan RKA, ternyata
tidak selalu menggunakan nomenklatur maupun pengertian yang sama, serta tidak
selalu
ada
keterhubungan.
(http://www.menpan.go.id/berita-terkini/1024-
akuntabilitas-kinerja-kabupaten-kota-makin-meningkat-akuntabilitas-kinerjakabupaten-kota-makin-meningkat-akuntabilitas-kinerja-kabupaten-kota-makinmeningkat).
Salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang turut wajib
memberikan laporan akuntabilitas kinerjanya adalah Dinas Kebersihan Kota
Pematangsintar yang bertanggung jawab atas penyelenggara urusan pelayanan
umum di bidang kebersihan, termasuk pengelolaan sampah Kota Pematangsiantar.
Penanganan kebersihan dan sampah selalu menjadi permasalahan pelik di setiap
daerah. Hal itu disebabkan karena kebersihan lingkungan secara langsung
terkontaminasi kepada masyarakat. Oleh karena itu perlu peningkatan pelayan
pemerintah untuk penanganan kebersihan lingkungan kota Pematangsiantar.
Kota Pematangsiantar merupakan salah satu kota terbesar kedua setelah
Kota Medan di Propinsi Sumatera Utara. Kota Pematangsiantar tergolong
kedalam kota sedang dengan jumlah penduduk yang padat yakni 236.947 jiwa
dengan luas wilayah 79.97 km2. Kota Pematangsiantar yang hanya berjarak 128
km dari Medan dan 52 km dari Parapat di mana Kota Pematangsiantar menjadi
kota perlintasan bagi wisatawan yang hendak ke Danau Toba. Sebagai kota
18
Universitas Sumatera Utara
penunjang pariwisata di daerah sekitarnya, Kota Pematangsiantar memiliki 8 hotel
berbintang,
10
hotel
melati
dan
268
(www.pematangsiantarkota.go.id/profil-daerah/showall=&limitsart).
restoran.
Dengan
semakin tingginya pertambahan penduduk dan meningkatnya aktivitas kehidupan
masyarakat di Kota Pematangsiantar berakibat semakin banyak timbunan sampah
yang jika tidak dikelola secara baik dan teratur bisa menimbulkan berbagai
masalah, bukan saja bagi pemerintah daerah tetapi juga bagi seluruh masyarakat.
(Data Badan Penanganan Statistik Kota Pematangsiantar, 2013)
Sejalan dengan aktivitas penduduk, sampah di Kota Pematangsiantar dapat
bersumber dari perdagangan, perindustrian, pemukiman, perkantoran, rumah
sakit, dan sebagainya sehingga jenis sampah yang timbul juga bervariasi. Pada
tahun 2013, Kota Pematangsiantar dengan jumlah penduduk 236.947 jiwa,
menghasilkan sampah sebanyak 587 m3/hari, dengan jumlah sampah yang
terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sebanyak 493 m3/hari. Sehingga
banyaknya sampah yang belum terangkut ke TPA adalah 94 m3/hari. Jika
dihitung per bulan, maka dapat dipastikan timbulan sampah baik yang diangkut
maupun yang tidak terangkut ke TPA semakin banyak. (Data Badan Penanganan
Statistik Kota Pematangsiantar, 2013)
Dari data di atas, sesungguhnya Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar
memiliki tanggung jawab yang berat untuk dapat mencapai visi yang diemban,
yaitu mewujudkan pelayanan kebersihan yang prima. Hal ini menjadi evaluasi
terhadap hasil capaian Kinerja Instansi Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar
dalam LAKIP Tahun 2014 di mana menyandang predikat tidak lulus yaitu nilai D
19
Universitas Sumatera Utara
yang salah satu program kerjanya adalah peningkatan sarana dan prasarana
kebersihan.
Dari beberapa uraian di atas tampak bahwa dinas kebersihan sebagai
instansi pemerintah wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dalam mencapai
visi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Implementasi Kebijakan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas Kebersihan Kota
Pematangsiantar”.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian kondisi dan uraian di atas yang disajikan maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
Bagaimana Implementasi
Kebijakan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) pada
Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar?
I.3 Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah pasti memiliki
tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis melalui
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (SAKIP) di Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar
2. Untuk mengetahui bagaimana kendala-kendala atau hambatan dalam
penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP)
di Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar.
20
Universitas Sumatera Utara
I.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah:
1. Secara subjektif, untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan
dalam melatih kemampuan berpikir ilmiah dalam pembuatan karya
ilmiah.
2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan
bagi
Dinas
Kebersihan
Kota
Pematangsiantar
dalam
rangka
peningkatan akuntabilitas kinerja instansi.
3.
Hasil penelitian ini diharpkan dapat menjadi sumbangan ilmiah,
referensi dan tambahan informasi bagi para pembaca mengenai
kebijakan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP).
I.5 Kerangka Teori
Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau
memecahkan permasalahan perlu adanya pedoman teoritis yang dapat
membantu.Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok
pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah tersebut disoroti.
Selanjutnya, menurut Kerlinger yang dikutip dari Effendi, Sofian (2012:35), teori
merupakan serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, definisi dan proposisi untuk
menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antara konsep.
21
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan rumusan di atas, maka dalam bab ini penulis akan
mengemukakan teori, pendapat, gagasan yang akan dijadikan titik tolak landasan
berfikir dalam penelitian ini.
I.5.1 Kebijakan Publik
I.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk
menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok,
maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang
kegiatan tertentu. Sebagai suatu konsep, kebijakan memiliki makna yang luas dan
multi interpretasi. Sebagai contoh, James Anderson dalam memberi makna
kebijakan sebagai perilaku aktor dalam bidang kegiatan tertentu. Pengertian di
atas sangat luas dan bisa diartikan bermacam-macam, misal, sang “aktor” dapat
berupa individu atau organisasi; dapat pemerintah maupun non pemerintah.
Demikian pula istilah “kegiatan tertentu” bisa diartikan kegiatan administratif,
politis, ekonomis, dan lain-lain. Di samping itu, bentuk kegiatannya pun luas dan
multi interpretasi misalnya dapat berupa pencapaian tujuan, perencanaan,
program, dan sebagainya.
Menurut Kusumanegara (2009) studi kebijakan adalah studi tentang
perilaku berbagai aktor dalam berbagai bidang kegiatan yang mempunyai
relevansi dengan sang aktor. Menurut kamus Inggris-Indonesia, kata “public”
berarti (1) masyarakat umum, rakyat umum, orang banyak; (2) rakyat . Defenisi
tersebut
menggambarkan
bahwa
kata
publik
dalam
bahasa
Indonesia
diterjemahkan oleh beberapa kalangan secara berbeda sesuai dengan keperluan
atau kepentingan.
22
Universitas Sumatera Utara
Untuk keperluan analisis ada beberapa batasan yang dapat digunakan,
salah satunya merupakan definisi mengenai kebijakan publik yang diberikan oleh
Robert Eyeston (Subarsono 2005:2). Ia mengatakan bahwa “secara luas”
kebijakan publik dapat didefiniskan sebagai “hubungan suatu unit pemerintahan
dengan lingkungannya”. Batasan lain diberikan oleh Dye yang mengatakan bahwa
kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan
tidak dilakukan. Definisi kebijakan publik dari Dye ini mengandung makna bahwa
kebijakan publik tersebut dibuat oleh pemerintah, bukan organisasi swasta dan
kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan
oleh badan pemerintah.
Dalam konsep lainnya seorang pakar bernama Dunn (1994) mengatakan
proses analisis kebijakan publik merupakan serangkaian aktivitas intelektual yang
dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis itu nampak
pada serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.
Sedangkan Anderson (1975) memberikan definisi kebijakan publik
sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat
pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah 1) kebijakan publik selalu
mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi
pada tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah; 3)
kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah,
jadi bukan merupakan apa yang dimaksudkan untuk dilakukan; kebijakan publik
yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah
mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti
23
Universitas Sumatera Utara
merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan
pemerintah setidak-tidaknya dalam arti positif didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang bersifat mengikat dan memaksa. Dari berbagai uraian
di atas dan sejalan dengan pendapat dari Jones ,1977 (Hesel Nogi Tangkilisan
2002:2-3) bahwa kebijakan publik terdiri dari komponen-komponen :
1. Goals atau tujuan yang diinginkan
2. Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan
3. Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan
4. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan ,
membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program
5. Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer atau
skunder).
Meskipun terdapat berbagai definisi kebijakan publik (public policy)
seperti yang telah dikemukan di awal, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
kebijakan publik adalah proses pelaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah yang
mempunyai tujuan (goals) yang berdampak demi kepentingan seluruh masyarakat.
I.5.1.2 Tahapan Kebijakan Publik
Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena
melibatkan banyak proses dan variabel yang harus dikaji. Oleh sebab itu terdapat
tahapan-tahapan proses penyusunan kebijakan kebijakan publik. Menurut Dunn
(Budi Winarno : 28-30), tahapan-tahapn kebijkan public terdiri dari :
24
Universitas Sumatera Utara
1. Tahap penyusunan agenda. Dalam tahapan ini para pejabat memilih dan
mengangkat permasalahan publik yang dinilai paling penting dan
dimasukkan ke dalam agenda kebijakan.
2. Tahap formulasi kebijakan, masalah yang telah disusun dalam agenda
kebijakan didefiniskan untuk kemudian dicari pemecahan yang terbaik .
3. Tahap adopsi kebijakan yaitu dengan melakukan adopsi terhadap salah
satu kebijakan yang dianggap baik dengan dukungan mayoritas legislatif,
konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
4. Tahap implementasi kebijakan. Program kebijakan yang telah ditentukan
sebagai alternatif terbaik bagi pemecahan masalah dilaksanakan oleh
badanbadan administrasi maupun agen-agen pemerintah tingkat bawah
yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia .
5. Tahap penilaian kebijakan ini dilakukan untuk melihat sejauh mana
sebuah kebijakan mampu memecahkan masalah dengan menggunakan
kriteria-kriteria sebagai dasar untuk melihat dampak kebijakannya yang
telah diimplementasikan.
25
Universitas Sumatera Utara
Dalam pandangan Ripley, 1985 (dalam Subarsono, 2005 : 11) untuk tahapan
kebijakan digambarkan sebagai berikut :
Penyusunan
Agenda
Hasil
Agenda
Pemerintah
diikuti
Formulasi &
legitimasi
Kebijakan
hasil
Kebijakan
diperlukan
Implementasi
Kebijakan
Tindakan
Kebijakan
hasil
diperlukan
Mengarah ke
Kinerja &
Dampak
Kebijakan
Evaluasi Thp
implementasi,
kinerja, &
dampak
Kebijakan
Baru
Gambar 1.1 Tahapan Kebijakan Publik
Dengan demikian setiap kebijakn selalu melewati proses analisa dan
pengujian sebelum akhirnya diputuskan untuk ditetapkan dan diimplementasikan
26
Universitas Sumatera Utara
untuk memecahkan sebuah permasalahab public. Sehingga dalam penerapan
kebijakan baru dapat menjadi lebih bermanfaaat dan kebijakan tersebut lebih baik
dan lebih berhasil.
I.5.2 Implementasi Kebijakan
I.5.2.1 Pengertian Implementasi
Dalam perumusan suatu kebijakan apakah menyangkut program maupun
kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau
implementasi. Karena betapapun baiknya suatu kebijakan tanpa implementasi
maka tidak akan banyak berarti. Dalam kaitan ini seperti dikemukakan oleh
Wahab (1997 : 51), menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu
yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijaksanaan.
Kebijaksanaan hanya sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi
dalam arsip kalau tidak mampu diimplementasikan.
Menurut Nugroho (2006 : 31), Implementasi kebijakan merupakan tahap
yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus
diimplementasikan agar mempunyai dampak dan tujuan yang diinginkan. Suatu
program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elite, jika program tersebut
tidak pernah diimplementasikan. Implementasi kebijakan dipandang dalam
pengertian yang luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang dimana
berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk
menjalankan kebijakan dalam upaya meraih tujuan-tujuan kebijakan dan programprogram.
Sementara itu Cleaves (dalam Wahab, 1997 : 125) menyatakan bahwa
keberhasilan atau kegagalan implementasi dapat dievaluasi dari sudut
27
Universitas Sumatera Utara
kemampuannya secara nyata dalam meneruskan/mengoperasionalkan programprogram yang telah dirancang sebelumnya. Sebaliknya, keseluruhan proses
implementasi kebijakan dapat dievaluasikan dengan cara mengukur atau
membandingkan antara hasil akhir dari program-program tersebut dengan tujuantujuan kebijakan.
Dengan
demikian
tahapan
implementasi
ini
merupakan
bentukmewujudnyatakan setiap kebijakan dan perencanaan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Proses ini berlangsung dan sangat menentukan bagaimana sebuah
solusi dari permasalan yang ada dikerjakan sehingga benar-benar memberikan
dampak sesuai dengan yang diharapkan sejak awal.
I.5.2.2 Model Implementasi kebijakan
A. Model Van Meter dan Van Horn (1975)
Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van
Horn menjelaskan bahwa kebijakn dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling
berkaitan. Variabel-variabel tersebut yaitu :
1. Standar dan sasaran kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat
teralisir. Apabila standard dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi
multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik antara para agen
implementasi.
Mengukur
kerja
implementasi
kebijakan
tentunya
menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para
pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian
atas tingkat ketercapaian standard dan sasaran tersebut.
28
Universitas Sumatera Utara
2. Sumber Daya
Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya
manusia maupun sumber daya non-manusia. Keberhasilan implementasi
kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya
yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam
menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap
implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas
sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah
ditetapkan secara politik. Selain sumber daya manusia, sumber daya
finasial dan waktu menjadi perhitungan dalam keberhasilan implementasi
kebiijakan.
3. Komunikasi dan Penguatan Aktifitas
Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan
instansi lain agar tujuan kebijakan dapat tercapai.
4. Karakteristik Agen Pelakasana
Mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola yang terjadi
dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu
program.
5. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik
Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat
mendukung keberhasilan implementasi kebijakn, sejauh mana kelompokkelompok kepeningan dapat memberikan dukungan bagi implementasi
kebijakan, karakteristik para partisipan yakni menolak atau mendukung,
29
Universitas Sumatera Utara
bagaimana sifat opini public yang ada di lingkungan dan apakah elit
politik mendukung implementasi kebijakan.
6. Diposisi Implementor
Disposisi implementor ini mencakup 3 hal penting yaitu : a. respon
implementor terhadap kebijakan untuk melaksanakan kebijakan; b.
kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; c. intensitas disposisi
implementor, yakni prefensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
B. Model Merilee S. Grindle
Marilee S. Grindle (1980) memberi pemahaman bahwa studi implementasi
kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Grindle
juga menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh
derajat implementabilty dari kebijakan tersebut. Keunikan model Grindle terletak
pada pemahaman yang komprehensif akan konteks kebijakan khususnya yang
menyangkut implementor, penerima kebijakan, dan arena konflik yang mungkin
terjadi serta sumber daya yang akan diperlukan selama proses implementasi.
Secara konsep dijelaskan bahwa model implementasi kebijakan publik yang
dikemukakan Grindle menentukan bahwa keberhasilan proses implementasi
kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada program yang telah
dirancang dan pembiayaan ysng cukup, selain dipengaruhi oleh isi kebijakan dan
konteks implementasinya.
Isi kebijakan yang dimaksud meliputi :
1. Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan.
2. Jenis manfaat yang dihasilkan
3. Derajat perubahan yang diinginkan
30
Universitas Sumatera Utara
4. Kedudukan pembuat kebijakan
5. Siapa pelaksana program
6. Sumber daya yang dilibatkan
Isi sebuah kebijakan akan menunjukan posisi pengambilan keputusan oleh
sejumlah besar pengambil keputusan, sebaliknya ada kebijakan tertentu yang
lainnya hanya ditentukan sejumlah kecil unit pengambil kebijakan.
Selanjutnya pengaruh dalam konteks lingkungan terdiri dari :
1. Kekuasaan kepentingan dan strategi actor yang terlibat
2. Karakteristik lembaga dan penguasa
3. Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana
C. Model Mazmanian dan Sabatier. (1983)
Menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan pulik adalah upaya
melaksanakan keputusan kebijakan. Model ini disebut sebagai kerangka analisis
implementasi.
Mazmanian
dan
Sabatier
.(dalam
Wahab,
1997
:
125)mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel,
yaitu:
1. Karakteristik dari masalah, imdikatornya adalah :
a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan
b. Tingkat kemajukan dari kelompok sasaran
c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi
d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan
2. Karakteristik kebijakan, indikatornya adalah :
a. Kejelasan isi kebijakan
31
Universitas Sumatera Utara
b. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis
c. Besarnya alokasi sumber daya financial terhadap kebijakan tersebut
d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar institute
pelaksana
e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana
f. Tingkat komitmen aparat terhadap kebijakan
3. Variabel lingkungan, indikatornya adalah :
a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi
b. Dukungan public terhadap suatu kebijakan
c. Sikap dari kelompok pemilih
d. Tingkat komitmen dan ketrampilan dari aparat dan implementor
D. Model George Edwards III
Menurut Edward III, studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi
public administration dan public policy. Implementasi kebijakan adalah
pembuatan kebijakan anatara pembentukan kebijakan dan konsekuensikonsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu
kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mempengaruhi masalh yang merupakan
sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan
sekali pun kebijakan itu diimplentasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu
kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika
kebijakan tersebut kurang diimplemenatsikan dengan baik oleh para pelaksana
kebijakan.
Menurut Edwards ( dalam Wahab, 1997 : 125), terdapat empat faktor atau
variabel dalam implementasi kebijakan publik, yaitu :
32
Universitas Sumatera Utara
1.
Komunikasi
Persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif
adalah bahwa mereka melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang
mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah
harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan dan
perintahtersebut dapat diikuti. Tentu saja, komunikasi harus akurat dan
harus dimengerti dengan cermat. Secara umum Edwards membahas tiga
indicator penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni :
a. Tranmisi, yaitu komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan
suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi masalah
dalam penyaluran komunikasi, yaitu adanya salah pengertian yang
disebabkan banyaknya tingkatan birokrasi yang harus dilalui dalam
proses komunikasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di
tengah jalan.
b. Kejelasan, yakni komunikasi yang diterima oleh pelaksana
kebijkan harus jelas dan tidak membingungkan atau tidak
ambigu/mendua.
c. Konsistensi, yakni perintah yang diberikan dalam pelaksanaan
suatu komunikasi harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan atau
dijalankan. Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah,
maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.
2. Sumber Daya
Sumber daya adalah factor yang paling penting dalam implementasi
kebijakan agar efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber
33
Universitas Sumatera Utara
daya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumber daya
financial. Tanpa adanya sumber daya, kebijakan hanya tinggal di
kertas menjadi dokumen saja.
Indikator-indikator yang digunakan untuk melihat sejauh mana sumber
daya mempengaruhi implementasi kebijakan adalah :
a. Staf. Sumber daya utama implementasi kebijakan adalah staf atau
pegawai. Kegagalan sering terjadi dalam implementasi kebijakan,
salah satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup
memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam bidangnya.
b. Imformasi. Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai
dua bentuk, yakni pertama, informasi yang berhubungan dengan
cara melaksanakan kebijakan. Kedua, informasi mengenai data
kapatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi
pemerintah yang telah ditetapkan.
c. Fasilitas.
Fasilitas
fisik
merupaka
factor
penting
dalam
implementasi kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf
yang mencukupi, kapabel, dan kompeten, tetapi tanpa adanya
fasilitas penukung (sarana dan prasarana) maka implementasi
kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
3. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh
implementor seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis.
Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan
dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti yang diinginkan oleh
34
Universitas Sumatera Utara
pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sifat atau perspektif
yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi
kebijakan juga menjadi tidak efektif.
4. Struktur birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan
memiliki pengaruh yang signifikantrhadap implementasi kebijakan.
Salah satu dari aspek struktur yang paling penting dari setiap
organisasi adalah adanya rincian tugas dan prosedur pelayanan
menjadi pedoman bagi implementor dalam bertindak. Selain itu
struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan
pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang
rumit dan kompleks. Pada akhirnya menyebabkan aktivitas organisasi
tidak fleksibel.
Menurut Edwards, ada dua karakteristik utamadari birokrasi, yakni
prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut
dengan Standar Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi, yaitu :
a. Berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang
terbatas dan sumber-sumber dari pada pelaksana serta keinginan
untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi yang kompleks
dan tersebar.
b. Berasala terutama dari tekanan luar unit-unit birokrasi, seperti
komit-komit legislative, kelompok kepentingan, pejabat eksekutif,
konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi
organisasi birokrasi pemerintah.
35
Universitas Sumatera Utara
I.5.2.3 Model Implementasi Yang Digunakan
Dalam penelitian ini penulis memilih beberapa variebel yang menurut
Edwards III (dalam Wahab, 1997 : 125) yang dianggap mempengaruhi, antara lain
:
1. Komunikasi.
Yaitu menunjuk bahwa setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan
baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana program (kebijakan)
dengan para kelompok sasaran (target group). Tujuan dan sasaran dari
kebijkan dapat disosialisasikan secar baik sehingga menghindari adanya
distorsi atas keijakan dan program. Ini menjadi penting karena semakin tinggi
pengetahuan kelompok sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat
peolakan dan kekeliruan dalam mengaplikasikan program dan kebijakan
dalam ranah sesungguhnya.
2. Sumber Daya.
Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat,
jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber daya yang
diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini
pun cenderung tidak efektif. Dengan demikian, sumber daya dapat menjadi
faktor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber daya yang
penting meliputi staff yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk
melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang
diperlukan untuk menterjemahkan usul-usul di atas kertas guna pelaksakan
pelayanan publik.
36
Universitas Sumatera Utara
3. Kecenderungan-kecenderungan (Disposisi).
Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga
yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi
kebijkan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu
kebijakan tertentu, dalam hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar
mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para
pembuat keputusan di awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah lakutingkah laku atau perspektif-perspektif para pelaksana berbeda dengan para
pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi
semakin sulit. Dalam beberapa kasus, karena sifat dari kebijakan serta sifat
dari sistem pengadilan, seringkali suatu kebijakan dilaksanakan oleh
yurisdiksi yang lain. Hal ini berakibat pada semakin terbukanya interpretasi
terhadap kebijakan yang dimaksud dan bila hal ini benar-benar terjadi maka
akan berakibat pada semakin sulitnya implementasi kebijakan, sebab
interpretasi yang terlalau bebas terhadap kebijakan akan semakin mempersulit
implementasi yang efektif dan besar kemungkinan implementasi yang
dijalankan menyimpang dari tujuan awalnya. Mengingat pentingnya
kecenderungan – kecenderungan ini bagi implementasi kebijakan yang efektif,
maka akan dibahas dampak dari kecenderungan –kecenderungan tersebut
terhadap implementasi kebijakan.
4.
Struktur Birokrasi
Dalam implementasi kebijakan, struktur birokrasi mejadi hal
penting dalam proses kebijakan. Aspek struktur birokrasi mencakup dua
hal penting pertama adalah mekanisme dan struktur organisasi pelasana
37
Universitas Sumatera Utara
sendiri. Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan
melalui standar operating procedur (SOP) yang sudah dicantumkan dalam
guideline program/kebijakan. SOP yang baik mencantumkan kerangka
kerja yang jelas, sistematis, tidak berbelit dan mudah dipahami oleh siapa
pun karena akan menjadi acuan dalam bekerjanya implementor.
Sedangkan struktur organisasi pelaksana haruslah menghindari hal yang
berbelit, panjang dan kompleks.struktur organisasi pelaksana harus dapat
menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadiam dalam kebijakan
secara cepat dan efektif.
Berikut ini gambar model Edward III :
Komunikasi
Sumber daya
Implementasi
Disposisi
Struktur
birokrasi
Gambar 1.2 Model Implementasi Edward III
38
Universitas Sumatera Utara
I.5.3 Sistem Akuntabilitas Kinerja Intansi Pemerintah (SAKIP)
Saat
ini
pembahasan
mengenai
akuntabilitas
pemerintah
dalam
menjalankan tugasnya sudah menjadi bahan analisis masyarakat dalam menilai
perkembangan dan mengetahui pencapaian kinerja pemerintah. Namun, tidak bisa
dipungkiri bahwa warga negra dan pemerintah memiliki tanggungjawab yang hal
tersebut dijadikan kebutuhan universal.
Menurut Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (2003),
akuntabilitas adalah kewajiban untuk menyampaikan pertanggungjawaban atau
untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan
hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau
berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.
Dari materi di atas dapat ditarik empat materi kunci yaitu sebagai berikut:
Pertama, karena merupakan kewajiban, akuntabilitas pada dasarnya
bersifat imperatif (keharusan). Artinya wajib dilaksanakan dan disertai sanksi bagi
yang melanggarnya. Kedua, akuntabilitas berkaitan dengan kinerja dan tindakan.
Kinerja merupakan keseluruhan hasil, manfaat, dan dampak dari suatu proses
pengolahan masukan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan tindakan
merupakan aktivitas aktif dari seseorang/ badan hukum/ pimpinan kolektif untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kinerja dan tindakan yang dilakukan 1.
Akuntabilitas dalah kewajiban sebagai konsekuensi logis dari adanya pemberian
hak dan kewenangan 2. Kewajiban tersebut berbentuk pertanggungjawaban
terhadap
kinerja
dan
tindakan
3.
Kewajiban
tersebut
melekat
pada
seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif 4. Pertanggungjawaban ditujukan
kepada pihak yang memiliki hak dan berkewenangan untuk hal tersebut. berkaitan
39
Universitas Sumatera Utara
dengan hak dan kewenangan yang diberikan kepada seseorang/badan hukum/
pimpinan
kolektif.
Ketiga,
pelaksanaan
kewajiban
ditujukan
kepada
seseorang/badan hukum/ pimpinan kolektif yang karena jabatannya memperoleh
hak dan kewenangan menjalankan tugas untuk mencapai tujuan organisasi.
Dengan demikian akuntabilitas dapat bersifat perorangan, kelompok, atau
organisasional. Keempat, akuntabilitas yang dilakukan oleh seseorang/ badan
hukum/ pimpinan kolektif ditujukan kepada pihak-pihak yang memiliki hak dan
kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Pihak-pihak tersebut
adalah pejabat yang berwenang dan atau pemegang saham.
Menurut Sedarmayanti (2003 : 69) akuntabilitas dinyatakan sebagai
kewajiban
untuk
memberikan
pertanggungjawaban
atau
menjawab
dan
menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/ pimpinan suatu
organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berwewenang untuk meminta
keterangan atau pertanggungjawaban.
Sebagai perwujudan pelakasanan tata kepemerintahan yang baik
sebbagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998
Tentang Penyelengraaan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) , serta UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang hal yang sama. Di
mana sejak bergeraknya reformasi, berbbagai upaya dilakukan pemerintah untuk
menjadikan
penyelenggara (pemegang kebijakan) menjadi lebih akuntaBel
kepada pihak yang mempercayainya.
Dengan gerakan perubahan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
maka diterbiitkan Instruksi Pressiden (Inpres) Nomor 07 Tahun 1999 tentang
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Namun pelaksanaan inpres tersebut
40
Universitas Sumatera Utara
dicabut dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia
Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Perpres ini batu loncatan atas pentingnya penyelenggaraan pemerintah yang
berkinerja dan akuntabel. Pemerintah yang berkinerja yang tidak hanya diukur
dari keberhasilan pemerintahan dalam menjalankan program kerjanya, akan tetapi
yang lebih penting ialah bagaimana seluruh kebijakan, program dan kegiatan
tersebut dapat dirasakan dan bermanfaat bagi masyarakat. Pengertian akuntabilitas
kinerja dalam perpres ini adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah
untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi
organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran yang ditetapkan malalui alat
pertanggungjawaban secara periodik.
Dalam Permenpan dan RB Nomor 35 Tahun 2011 tentang
Petunjuk
Teknis Perjanjian kinerja, Pelaporan kinerja , dan Tata Cara Reviue Atas Laporan
Kinerja Intansi Pemerintah
disebutkan bahwa SAKIP merupakan sistem
manajamen pemerintah yang berfokus pada peningkatan akuntabilitas dan
sekaligus
peningkatan
kinerja
berorientasi
pada
hasil
(result
oriented
government). SAKIP ini kemudian diimplentasikan secara “self Assesment” oleh
masing-masing instansi pemerintah. Ini berarti instansi pmerintah tersebut
merencanakan sendiri, melaksanakan, mengukur dan memantau kinerjanya sendiri
serta meaporkannya sendiri kepada insansi yang lebih tinggi.
Secara substansi SAKIP diartikan sebagai instrumen yang digunakan
intasnsi pemerintah dalam memenuhi kewajiban untuk mempertangungjawabkan
keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi. Kemudian hasil dari
pelaksanaan SAKIP tersebut dituangkan ke dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja
41
Universitas Sumatera Utara
Intansi Pemerintah (LAKIP) supaya diketahui tingkat pencapaian sasarann
ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran visi, misi, dan strategi
instansi pemerintah.
Pemberlakuan SAKIP ini juga tidak lepas dari nilai kemanfaatan yang
diharapkan, antara lain:
1.
Menjadikan isntansi pemerintah yang akuntabel sehingga dapat beroperasi
secara efisien, efektif, dan responsif terhadap aspirasi masyarakat dan
lingkungannya.
2.
Terwujudnya transparansi instansi pemerinah.
3. Terwujudnya partisipiasi masyarakat dalam pelakasanaan pembangunan
nasional.
4. Terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Dengan acuan dari Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara
Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, terdapat prinsip-prinsip pelaksanaan
SAKIP yang secara proporsional yaitu:
1. Adanya komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi yang
bersangkutan.
2. Berdasarkan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan sumbersumber daya secara konsisten dengan peraturan perundangundangan yang
berlaku.
3.
Menunjukkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan yang telah
ditetapkan.
42
Universitas Sumatera Utara
4. Berorientasi pada pencapaian visi dan misi, serta hasil dan manfaat yang
diperoleh.
5. Jujur, objektif, transparan, dan akurat.
6. Menyajikan keberhasilan/kegagalan dalam pencapaian sasaran dan tujuan
yang telah ditetapkan.
Selain prinsip tersebut, pelaksanaan SAKIP haruslah lebih efektif dengan
menguatkan komitmen dalam mengerjakan apa yang menjadi visi dan misi
organisasi dan konsisten dalam pengawasan, pengendalian, dan penilaian
terhadapa akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.
Berkenaan dengan ruang lingkup SAKIP, dikemukakan bahwa SAKIP yang
dilaksanakan
oleh
setiap
instansi
pemerintah
sebagai
bahan
pertanggungjawabannya kepada presiden, adalah semua kegiatan instansi
pemerintah yang memberi kontribusi bagi pencapaian visi dan misinya. Kegiatan
yang menjadi perhatian utama mencakup:
1. Tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah
2. Program kerja yang menjadi isu nasional
3. Aktivitas yang dominan dan vitas bagi pencapaian visi dan misi instansi
pemerintah.
Berkaitan dengan penerapan manajemen berbasis kinerja, dibutuhkan
keahlian
pimpinan
intansi
pemerintah
untuk
mendukung
terlaksananya
manajemen kinerja yaitu :
1. Pimpinan instansi pemerintah mendorong perencanaan dan pelaksanaan
program dam kegiatan serah dengan visi dan misi organisasi.
43
Universitas Sumatera Utara
2. Pimpinan mendorong dibangunnya perangkat dan pelatihan agar
diterapkannya anggaran berbasis kinerja di instansinya.
3. Tugas-tugas diarahakan pada pencapaian kinerja organisasi agartujuan
organisasi dapat segera tercapai.
4. Pegawai dan organisasi yang telah mencapai kinerja dengan baik perlu
diberikan penghargaan agar mendorong pegawai dam organisasi terus
bekerja dengan baik.
5. Pemimpin instansi pemerintah mendukung dilakukannya evaluasi
kinerja di instansinya secara terus menerus agar dapat dipantau
perkembangan kinerjanya.
Selanjutnya, dalam kegiatan pengendalian disebutkan bahwa dalam upaya
untukmemantau pencapaian kinerja instansi pemerintah, pemimpin intsnasi
pemerintah harus melakukan :
1. Terlibat dalam penyusunan rencana strategis dan rencana kerja
tahunan.
2. Terlibat dalam pengukuran dam pelaopran hasil yang dicapai.
3. Secara berkala mereviu kinerja dibandingan rencana.
4. Pada tingkat kegiatan mereviu laporan kinerja, menganalisis
kecenderungan dan mengukur hasil dibandingkan dengan target
anggaran, perkiraan dan kinerja periode lalu.
Hal ini sejalan dengan tahapan yang telah ditetapkan dalam Instruksi
Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang pelaksanaan Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Mempersiapkan dan menyusun perencanaan strategis
44
Universitas Sumatera Utara
2. Merumuskan visi, misi,faktor-faktor kunci keberhasilan, tujuan,
sasaran dan strategi instansi pemerintah
3. Merumuskan indikator kinerja instansi pemerintah dengan berpedoman
pada kegiatan yang dominan, menjadi isu nasional dan vital bagi
pemcapaian visi dan misi instansi pemerintah.
4. Memantau dan mengamati pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dengan
seksama.
5. Mengukur pencapaian kinerja dengan:
a. Perbandingan kinerja aktual dengan rencana atau target
b. Perbandingan kinerja aktual dengan tahun-tahun sebelumnya
c. Perbandingan kinerja aktual dengan kinerja di negara-negara lain
atau dengan standar internasional
d.
Membandingkan
capaian
berjalan
dengan
tahun-tahun
sebelumnya
e. Membandingkan kumulatif pencapaian kinerja dengan target
selesainya rencana strategis
6. Melakukan evaluasi kinerja dengan :
a. Menganalisis hasil pengukuran kinerja
b. Menginterpretasikan data yang diperoleh
c. Membandingkan pencapaian program dengan visi dan misi
intansi pemerintah.
Pada akhir suatu periode, capaian kinerja tersebut dilaporkan kepada
pihak yang berkepentingan atau yang meminta dalam bentuk Laporan
45
Universitas Sumatera Utara
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Tahap akhir, informasi yang
teremuat dalam LAKIP tersebut dimanfaatkan bagi perbaikan kinerja instansi
yang berkesinambungan.
I.6 Defenisi Konsep
Menurut Singarimbun (1995 : 33), Konsep adalah istilah dan definisi yang
digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok
atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial, sehingga dengan konsep
maka peneliti akan bisa memahami unsur-unsur yang ada dalam penelitian baik
variabel, indikator, parameter maupun skala pengukuran yang dikehendaki di
dalam penelitian. Oleh sebab itu, untuk lebih memperjelas pemahaman dalam
tulisan ini yang menjadi definisi konsep dalam tulisan ini adalah :
1. Implementasi Kebijakan adalah proses pelaksanaan yang ditetapkan oleh
pemerintah yang mempunyai tujuan (goals) yang berdampak demi
kepentingan seluruh masyarakat. Implementasi kebijakan ini diterapkan
dengan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerinttah atau SAKIP
disesuaikan dengan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014. Berikut ini
model kebijakan yang digunakan dalam penelitian :
1) Komunikasi. Penyampaian informasi yang efektif tentang kebijakan
SAKIP yang akan dilaksanakan terhadap pegawai Dinas Kebersihan
Kota Pematangsiantar.
2) Sumber-sumber daya yaitu segala modal dan kapasitas yang dimiliki
oleh implementor yang mendukung keefektivan pengimplementasian
kebijakan SAKIP pada Dinas Kebersihan Kota Pematangsiantar.
46
Universitas Sumatera Utara
3) Kecenderungan-kecenderungan (disposisi) merupakan respon berupa
penerimaan atau penolakan terhadap kebijakan SAKIP yang
diterapkan.
4) Struktur birokrasi meliputi Prosedur kerja (Standart Operating
Procedures = SOP) dan fragmentasi.
2. Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah adalah perwujudan
kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan
keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai
tujuan-tujuan
dan
pertanggungjawaban
pencapaian
sasarann
sasaran
secara
yang
periodik.
ataupun
tujuan
ditetapkan
malalui
alat
SAKIP
diterapakan
untuk
instansi
pemerintah
(Dinas
Kebersihan Kota Pematangsiantar) sebagai penjabaran visi, misi, dan
strategi instansi pemerintah sampai pada laporan akuntabilitas Kinerja
Intansi Pemerintah (LAKIP) yang menjadi acuan sebagai alat evaluasi
pertangungjawaban SAKIP.
47
Universitas Sumatera Utara