Implementasi Kebijakan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas Kebersihan Kota Medan

(1)

IMPLEMENTASI AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI

PEMERINTAH (AKIP)

PADA DINAS KEBERSIHAN KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Disusun oleh:

ROSMERI SIMARMATA

080903027

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

Implementasi Kebijakan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas Kebersihan Kota Medan

Nama : Rosmeri Simarmata

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Dra. Februati Trimurni, M.Si

Akuntabilitas adalah salah satu dari 3 pilar utama dari pemerintahan yang baik (good governance) yang mewajibkan pemegang amanah mempertanggungjawabkan kewenangan yang diberikan padanya baik dalam hal keberhasilan maupun kegagalan dari hasil yang dicapai. Untuk mewujudkan tujuan itu maka dikeluarkanlah Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) dengan Laporan AKIP sebagai media pertanggungjawaban secara periodik. Dinas Kebersihan Kota Medan sebagai instansi yang berkewenangan memberikan layanan kebersihan prima terhadap masyarakat berkewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban kinerjanya dalam pencapaian visi dan misi yang telah dirumuskan.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat penerapan AKIP dan mengetahui kendala-kendala apa saja yang ditemukan dalam pelaksanaannya pada Dinas Kebersihan Kota Medan.

Teknik penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan wawancara dan observasi. Teknik pengambilan subyek penelitian secara

purposive sampling. Dari teknik ini diperoleh 8 orang informan yang terdiri dari Tim LAKIP dan Pegawai Dinas Kebersihan Kota Medan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui Dinas Kebersihan Kota Medan harus berupaya lebih maksimal untuk mengimplementasikan AKIP secara khusus dalam penyusunan LAKIP setiap tahun. Hal ini dilihat dari koordinasi antara Tim LAKIP dan tiap bidang di Dinas Kebersihan, kualitas dan kuantitas pegawai, kecenderungan sikap pegawai dan struktur birokrasi yang ada.

Kata kunci: Implementasi, Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP), Dinas Kebersihan Kota Medan


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis nyatakan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena berkat dan pertolonganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan judul “Implementasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) Pada Dinas Kebersihan Kota Medan” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sosial, Departemen Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara

Hasil penelitian ini menjelaskan tentang penerapan AKIP pada Dinas Kebersihan Kota Medan berdasarkan teori implementasi George Edwards III. Dengan mengetahui pelaksanaannya diharapkan mampu menjadi bahan referensi untuk perbaikan ke depannya.

Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada dosen pembimbing, Ibu Dra. Februati Trimurni, M.Si yang sangat banyak membantu dalam proses pengerjaannya juga kepada seluruh pihak yang membantu dalam penyelesaian tugas ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih banyak terdapat kekurangan, maka dengan kerendahan hati penulis mohon maaf dan menerima kritik saran yang membangun dalam penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara, Medan


(4)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang ... 1

I.2Fokus Masalahan ... 6

I.3 Perumusan Masalah ... 7

I.4 Tujuan Penelitian ... 7

I.5 Manfaat Penelitian ... 8

I.6 Kerangka Teori I.6.1 Kebijakan Publik I.6.1.1 Pengertian Kebijakan Publik ... 8

I.6.1.2 Tahapan Kebijakan Publik ... 11

I.6.2 Implementasi Kebijakan I.6.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan ... 14

I.6.2.2. Model Implementasi George Edward III ... 15

I.6.3 Akuntabilitas ... 33

I.6.4 Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) I.6.4.1 Latar Belakang dan Ruang Lingkup AKIP ... 37

I.6.4.2 Pedoman Penyusunan dan Pelaksanaan AKIP ... 41

I.7 Definisi Konsep ... 45

I.8 SistematikaPenulisan ... 47

BAB II METODE PENELITIAN II.1 Bentuk Penelitian ... 48

II.2 Lokasi Penelitian ... 48

II.3 Informan Penelitian ... 48


(5)

II.5 Teknik Analisa Data ... 51

II.6 Pengujian Keabsahan Data ... 53

II.7 Etika Penelitian ... 54

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN III.1 Dinas Kebersihan Kota Medan III.1.1 Sejarah Dinas Kebersihan Kota Medan ... 56

III.1.2 Struktur Organisasi Dinas Kebersihan Kota Medan ... 57

III.1.3 Tugas dan Fungsi Dinas Kebersihan Kota Medan ... 59

III.2 Komponen AKIP Dinas Kebersihan Kota Medan III.2.1 Perencanaan Strategis 2006-2010 ... 73

III.2.2 Visi dan Misi Dinas Kebersihan Kota Medan ... 75

III.2.3Tujuan dan Sasaran Dinas Kebersihan Kota Medan ... 79

III.3 Pelaksanaan AKIP di Dinas Kebersihan Kota Medan ... 81

BAB IV PENYAJIAN DATA IV.1 Deskripsi Hasil Wawancara tentang Impelementasi Kebijakan (AKIP) pada Dinas Kebersihan Kota Medan ... 84

IV.1.1 Komunikasi ... 85

IV.1.2 Sumber Daya ... 91

IV.1.3 Struktur Birokrasi ... 99

VI.1.4 Disposisi Implementor ... 102

VI.2 Kendala dalam Implementasi sistem AKIP pada Dinas Kebersihan Kota Medan ... 103

BAB V ANALISIS DATA V.1 Implementasi Kebijakan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas Kebersihan Kota Medan ... 107

V.1.1 Komunikasi ... 108

V.1.2 Struktur Birokrasi ... 111


(6)

V.1.4 Disposisi ... 116 V.2 Analisis Hubungan Semua Variabel dalam Impelementasi

Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah pada Dinas

Kebersihan Kota Medan ... 117

BAB VI PENUTUP

VI.1 Kesimpulan ... 121 VI.2 Saran ... 123


(7)

ABSTRAK

Implementasi Kebijakan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas Kebersihan Kota Medan

Nama : Rosmeri Simarmata

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Dra. Februati Trimurni, M.Si

Akuntabilitas adalah salah satu dari 3 pilar utama dari pemerintahan yang baik (good governance) yang mewajibkan pemegang amanah mempertanggungjawabkan kewenangan yang diberikan padanya baik dalam hal keberhasilan maupun kegagalan dari hasil yang dicapai. Untuk mewujudkan tujuan itu maka dikeluarkanlah Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) dengan Laporan AKIP sebagai media pertanggungjawaban secara periodik. Dinas Kebersihan Kota Medan sebagai instansi yang berkewenangan memberikan layanan kebersihan prima terhadap masyarakat berkewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban kinerjanya dalam pencapaian visi dan misi yang telah dirumuskan.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat penerapan AKIP dan mengetahui kendala-kendala apa saja yang ditemukan dalam pelaksanaannya pada Dinas Kebersihan Kota Medan.

Teknik penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan wawancara dan observasi. Teknik pengambilan subyek penelitian secara

purposive sampling. Dari teknik ini diperoleh 8 orang informan yang terdiri dari Tim LAKIP dan Pegawai Dinas Kebersihan Kota Medan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui Dinas Kebersihan Kota Medan harus berupaya lebih maksimal untuk mengimplementasikan AKIP secara khusus dalam penyusunan LAKIP setiap tahun. Hal ini dilihat dari koordinasi antara Tim LAKIP dan tiap bidang di Dinas Kebersihan, kualitas dan kuantitas pegawai, kecenderungan sikap pegawai dan struktur birokrasi yang ada.

Kata kunci: Implementasi, Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP), Dinas Kebersihan Kota Medan


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Semangat reformasi telah mewarnai pendayagunaan aparatur negara dengan tuntutan untuk mewujudkan admnistrasi negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan dengan mempraktekkan prinsip-prinsip

good governance.

Good governance yang dimaksudkan adalah merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and service. Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Dalam rangka hal tersebut, diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, nyata sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna,bersih dan bertanggung jawab.1

Keterpurukan bangsa kita selama ini antara lain disebabkan oleh kurangnya komitmen terhadap akuntabilitas, terutama dari para penyelenggara negara dalam melaksanakan amanah rakyat. Dalam perspektif ini akuntabilitas merupakan perwujudan dari kewajiban untuk mempertanggungjawabkan

1


(9)

keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik. Dari itu dapat dilihat bahwa adanya suatu sistem pertanggungjawaban merupakan suatu hal yang mutlak harus dipenuhi oleh aparatur negara untuk mewujudkan dan menghasilkan pelayanan yang prima bagi masyarakat..

Indonesia secara eksplisit mulai mengimplementasikan konsep akuntabilitas melalui Instruksi Presiden No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) dengan dilatarbelakangi keinginan untuk lebih meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang lebih berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab disamping untuk mengetahui kemampuan instansi pemerintahan dalam pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Hal ini muncul berdasarkan pengalaman dan pengamatan sejarah birokrasi Indonesia yang selama ini belum menunjukkan kondisi prima sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Kondisi ini menjadi penyebab utama ketidakberhasilan kinerja birokrasi dalam upaya menuju good governance. Sejak munculnya iklim yang lebih demokratis dalam pemerintahan, kinerja instansi pemerintah semakin menjadi sorotan dan masyarakat mulai banyak menuntut nilai yang diperoleh atas pelayanan yang diberikan.

Untuk mewujudkan akuntabilitas ini, maka disusunlah sebuah pedoman dan rangkaian petunjuk dalam peraturan tersebut yang disebut dengan SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah ) dan dikemukakan media pelaporan yang digunakan adalah laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi


(10)

Pemerintah (LAKIP). Untuk melaksanakan pelaporan ini maka dipersyaratkan untuk mengembangkan sistem akuntabilitas kinerja yang mencakup indikator, metode, mekanisme, dan tata cara pelaporan kinerja instansi pemerintah dengan dasar perencanaan stratejik. Akuntabilitas instansi pemerintah tersebut hendaknya mampu untuk menjelaskan dan menjawab mengenai aktivitas yang dijabarkan dan dijalaninya telah sesuai dengan visi, misi dan arah kebijakan. Demikian pula dalam tataran operasional mereka harus mampu melaporkan dan menjelaskan pelaksanaan program pembangunannya dengan menjabarkan tujuan, sasaran, strategi, aktivitas dan kinerjanya. Kinerja yang mereka tunjukkan haruslah dapat mewujudkan indikator keberhasilan maupun kemungkinan adanya kegagalan dengan segala penyebabnya.

Untuk melihat sejauh mana pelaksanaan SAKIP ini pemerintah terus berupaya melakukan kajian dan evaluasi kebijakan pengembangan dan pelaksanaan SAKIP di berbagai instansi pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan kota. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Pusat Kajian Manajemen Kebijakan yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara, Badan Diklat Provinsi Jawa Timur, Badan Diklat Provinsi Jawa Tengah, PKPA I Jawa Barat, Badan Diklat Provinsi Kalimantan Timur, dan Badan Diklat Provinsi Sumatera Utara yang melibatkan sebanyak 538 responden. Berdasarkan kajian tersebut ditemukan beberapa fakta yang terjadi di lapangan sehubungan dengan pelaksanaan AKIP, antara lain 1)pemahaman pejabat di lingkungan instansi pemerintah tentang SAKIP tergolong cukup baik, namun tetap masih ditemukan kesulitan dalam penyusunannya karena banyak komponen yang tidak dijelaskan


(11)

secara spesifik, 2)beragamnya lansasan hukum penyusunan renstra, rendahnya pemahaman dan anggapan akan tidak pentingnya renstra, 3)kesulitan dalam penyusunan rencana kerja, 4)instansi pemerintah masih mengikuti trend dalam penentuan indikator kinerja, 5)keterbatasan waktu, anggaran data pendukung dan pemahaman aparat terhadap evaluasi kinerja, 6) masih sangat sedikit instansi yang secara terbuka dan jujur menyampaikan keberhasilan dan kegagalan dalam pencapaian targetnya.2

Selain itu, dalam pelaksanaannya sampai saat ini Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) sendiri belum menentukan sanksi yang jelas bagi setiap instansi yang tidak menyerahkan LAKIP tepat pada waktunya dan kesadaran setiap instansi untuk menyerahkan LAKIP nya pun masih sangat rendah. Tahun 2011, 3 provinsi (Maluku Utara, Papua Barat, dan Sulawesi Tenggara) dan 300 kabupaten dan sejumlah SKPD tidak meyerahkan LAKIP

3

. Sedangkan bila ditinjau dari segi kualitas LAKIP yang diserahkan, berdasarkan evaluasi dari MemenPAN & RB, mayoritas pemerintah provinsi di Indonesia akuntabilitas kinerjanya masih rendah. Dari 30 provinsi yang dinilai pada tahun 2011, hanya 2 yang mendapat rapor B, sementara sisanya mendapat nilai C, termasuk provinsi Sumatera Utara dan Kota Medan. 4

2

pukul 12.37 WIB

3

4


(12)

Dalam LAKIP ini, disampaikan oleh Sekdaprov Sumut, Nurdin Lubis didapati belum adanya keterkaitan (sinerji) antara Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dengan Rencana Strategis (Renstra), Rencana Kerja (Renja) hingga penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA). Selain itu, Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemprov Sumut juga belum menunjukan indikator yang jelas dan terukur, bahkanternyata ditemukan adanya kegiatan SKPD yang tidak tercantum dalam Renstra dan Renja organisasi yang bersangkutan.5

Salah satu SKPD yang turut wajib memberikan laporan akuntabilitas kinerjanya adalah Dinas Kebersihan Kota Medan yang bertanggung jawab atas penyelenggara urusan pelayanan umum di bidang kebersihan, termasuk pengelolaan sampah Kota Medan.

Berdasarkan data statastik yang ada peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan volume sampah yang dihasilkan tiap harinya. pada tahun 2006, jumlah penduduk kota Medan sebanyak 2.068.400 jiwa dan jumlah volume sampah mencapai 4.382,00m³/ hari. Pada tahun 2007, jumlah penduduk mencapai 2.067.288 jiwa dan volume sampah sebesar 4.382,00m³/hari. Jumlah volume sampah ini meningkat drastis di tahun 2009 menjadi 5.616 m³/hari (1.404 ton/hari) dan mencapai 1700 ton perhari di tahun 2011. 6

5

Bahkan jika diperhatikan lagi di setiap sudut Kota Medan masih sering ditemukan tumpukan sampah yang sangat mengganggu pemandangan dan pastinya mempengaruhi kesehaan

22 Juli 2012 pukul 13.25 WIB

6


(13)

masyarakat. Warga kota Medan sendiri pun turut memberikan penilaian akan pelayanan kebersihan dalam bentuk protes dan kekecewaan atas terpilihnya Medan untuk meraih penghargaan Piala Adipura tahun 2011. Penghargaan itu dinilai sebagai suatu teguran yang sangat memalukan.7 Oleh karena itu, sesungguhnya Dinas Kebersihan Kota Medan memiliki tanggung jawab yang berat untuk dapat mencapai visi yang diemban, yaitu mewujudkan pelayanan kebersihan yang prima. Hal ini sangat kontradiksi dengan hasil capaian Kinerja Instansi Dinas Kebersihan Kota Medan dalam LAKIP tahun 2009 dan 2010 yang menyandang predikat sangat baik yang salah satu program kerjanya adalah peningkatan sarana dan prasarana kebersihan.8

Dari beberapa uraian di atas tampak bahwa dinas kebersihan sebagai instansi pemerintah wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dalam mencapai visi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Implementasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas Kebersihan Kota Medan”

I.2 Fokus Masalah

Adapun yang menjadi fokus Dinas Kebersihan Kota Medan dalam mengimplementasikan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) secara khusus dalam penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Dalam hal ini penentuan fokus masalah didasarkan pada penemuan

7

http://sampah%20%20Piala%20Adipura%20Menghina%20Masyarakat%20Medan, %20 Benarkah %20%20-% 20Harian%20Analisa.htm diakses tanggal 17 Juni 2012


(14)

kondisi di lapangan yaitu pada Dinas Kebersihan Kota Medan dari hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh penulis. Saat bertanya tentang pelaksanaan AKIP maka kecenderunga pegawai Dinas Kebersihan Kota Medan langsung mengarahkan jawaban mereka pada LAKIP. mencob untuk mendalami fenomena ini dan penulis mendapati bahwa pengerjaan LAKIP menjadi poin sentral dalam pelaksanaan AKIP ini.

I.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam fokus masalah yang disajikan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah implementasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas Kebersihan Kota Medan?

I.4 Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis melalui penelitian ini adalah:

1. Untuk melihat penerapan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas Kebersihan Kota Medan

2. Untuk mengetahui bagaimana kendala-kendala atau hambatan dalam penerapan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas Kebersihan Kota Medan.


(15)

I.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah: 1. Secara subjektif, untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan dalam

melatih kemampuan berpikir ilmiah dalam pembuatan karya ilmiah.

2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi Dinas Kebersihan Kota Medan dalam rangka peningkatan akuntabilitas kinerja instansi

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmiah, referensi dan tambahan informasi bagi para pembaca mengenai kebijakan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP)

I.6 Kerangka Teori

Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori (tinjauan pustaka) sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilih. Dalam penelitian ini dalam penelitian ini yang menjadi kerangka teori yaitu:

I.6.1 Kebijakan Publik

I.6.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Secara etimologis, istilah kebijakan publik atau policy berasal dari bahasa Yunani “polis” berarti negara kota yang kemudian masuk ke dalam bahasa Latin menjadi “politia” yang berarti negara. Akhirnya masuk ke dalam bahasa Inggris


(16)

policie” yang artinya berkenaan dengan pengendalian masalah-masalah atau administrasi pemerintahan. 9

Istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau atau sejumlah aktor dalam jumlah kajian tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan biasa, namun menjadi kurang memadai untuk pembicaraan yang bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik.

Untuk keperluan analisis ada beberapa batasan yang dapat digunakan, salah satunya merupakan definisi mengenai kebijakan publik yang diberikan oleh Robert Eyestone. Ia mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat didefiniskan sebagai “hubungan suatu unit pemerintahan dengan lingkungannya”. Batasan lain diberikan oleh Thomas R. Dye yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan.10 Definisi kebijakan publik dari Thomas R. Dye ini mengandung makna bahwa kebijakan publik tersebut dibuat oleh pemerintah, bukan organisasi swasta dan kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah.11

9

William Dunn. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta:Gajah Mada University Press. Hal 22-25

10

Budi Winarno. 2004. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo. Hal 16

11


(17)

Chandler dan Plano (1988) berpendapat bahwa kebijakan publik adalah pemanfaataan strategis terhdap sumberdaya – sumberdaya yang ada utuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Dalam kenyataannya kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup dan berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.12

Sedangkan Anderson (1975) memberikan definisi kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah 1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah; 3) kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang dimaksudkan untuk dilakukan; kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positifdalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti positif didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat dan memaksa. Dari berbagai uraian


(18)

di atas dan sejalan dengan pendapat dari Charles O. Jones (1977) bahwa kebijakan publik terdiri dari komponen-komponen :

1. Goals atau tujuan yang diinginkan

2. Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan 3. Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan

4. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan , membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program

5. Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer atau skunder). 13

Meskipun terdapat berbagai definisi kebijakan publik (public policy) seperti yang telah dikemukan di awal, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.

I.6.1.2 Tahapan Kebijakan Publik

Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses dan variabel yang harus dikaji. Oleh sebab itu terdapat tahapan-tahapan proses penyusunan kebijakan kebijakan publik. Menurut William Dunn, tahapan-tahapan kebijakan publik terdiri dari:

13


(19)

1. Tahap penyusunan agenda. Dalam tahapan ini para pejabat memilih dan mengangkat permasalahan publik yang dinilai paling penting dan dimasukkan ke dalam agenda kebijakan

2. Tahap formulasi kebijakan, masalah yang telah disusun dalam agenda kebijakan didefiniskan untuk kemudian dicari pemecahan yang terbaik

3. Tahap adopsi kebijakan yaitu dengan melakukan adopsi terhadap salah satu kebijakan yang dianggap baik dengan dukungan mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan

4. Tahap implementasi kebijakan. Program kebijakan yang telah ditentukan sebagai alternatif terbaik bagi pemecahan masalah dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah tingkat bawah yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia

5. Tahap penilaian kebijakan ini dilakukan untuk melihat sejauh mana sebuah kebijakan mampu memecahkan masalah dengan menggunakan kriteria-kriteria sebagai dasar untuk melihat dampak kebijakannya yang telah diimplementasikan. 14

14


(20)

Dalam pandangan Ripley (1985), tahapan kebijakan publik digambarkan sebagai berikut:15 Hasil Diikuti Hasil Diperlukan Hasil

Diperlukan Mengarah ke

Gambar 1.1. Tahapan Kebijakan Publik

Dengan demikian setiap kebijakan selalu melewati proses analisa dan pengujian sebelum akhirnya diputuskan untuk ditetapkan dan diimpelementasikan untuk memcahkan sebuah permasalahan publik.

Agenda Pemerintah Penyusunan Agenda Kebijakan Formulasi & Legitimasi Kebijakan Tindakan Kebijakan Implementasi Kebijakan Evaluasi terhadap implementasi, kinerja dan dampak kebijakan Kinerja dan Dampak Kebijakan Kebijakan Baru


(21)

I.6.2 Implementasi Kebijakan

I.6.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan

Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar, yaitu tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dan cara untuk mencapai sasaran tersebut. Komponen yang ketiga yaitu cara, merupakan komponen yang berfungsi untuk mewujudkan dua komponen yang pertama. Cara inilah yang disebut dengan implementasi. 16

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak dan tujuan yang diinginkan. Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elite, jika program tersebut tidak pernah diimplementasikan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya meraih tujuan-tujuan kebijakan dan program-program. 17

Sementara itu, Van Meter dan Van Horn membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (kelompok-kelompok) pemerintah atau swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu

16

Samudra Wibawa. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal: 15 17


(22)

tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan. Yang perlu ditekankan disini adalah bahwa tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan atau diidentifikasikan oleh keputusan-keputusan kebijakan. 18

Dengan demikian tahapan implementasi ini merupakan bentuk mewujudnyatakan setiap kebijakan dan perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Proses ini berlangsung dan sangat menentukan bagaimana sebuah solusi dari permasalan yang ada dikerjakan sehingga benar-benar memberikan dampak sesuai dengan yang diharapkan sejak awal.

I.6.2.2 Model Implementasi Kebijakan George Edwards III

Menurut Edwards, studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi public administration dan publik policy. Implementasi kebijakan adalah tahap antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.


(23)

Dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan mengajukan dua buah pertanyaan, yakni : prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Dan hambatan-hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal. Edwards berusaha menjawab kedua pertanyaan penting ini dengan membicarakan empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan. Faktor atau variabel tersebut adalah komunikasi, sumber-sumber kebijakan, kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku dan struktur organisasi.

Menurut Edwards III, oleh karena empat faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu dan menghambat implementasi kebijakan, maka pendekatan yang ideal adalah dengan cara merefleksikan kompleksitas ini dengan membahas semua faktor tersebut sekaligus. Untuk memahami suatu implementasi kebijakan perlu menyederhanakan, dan untuk menyederhanakan perlu merinci penjelasan-penjelasan tentang implementasi dalam komponen-komponen utama. Patut diperhatikan disini bahwa implementasi dari setiap kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis yang mencakup banyak interaksi dari banyak variabel. Oleh karenanya tidak ada variabel tunggal dalam proses implementasi, sehingga perlu dijelaskan keterkaitan antara satu variabel dengan variabel yang lain dan bagaimana variabel-variabel ini mempengaruhi proses implementasi kebijakan.


(24)

Gambar 1.2. Model Implementasi Edward III

1. Komunikasi

Secara umum, Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan. Menurut Edwards, prasyarat pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan itu dapat diikuti. Tentu saja komunikasi-komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana. Berikut akan dijelaskan lebih rinci unsur dari komunikasi, yaitu:

Komunikasi

Struktur Organisasi

Sumberdaya

Disposisi


(25)

a. Transmisi.

Faktor utama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan satu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana tampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan.

Ada beberapa hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintah implementasi. 1) Pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan. Pertentangan terhadap kebijakan ini akan menimbulkan hambatan atau distorsi seketika terhadap komunikasi kebijakan. Hal ini terjadi karena para pelaksana menggunakan keleluasaan yang tidak dapat mereka elakkan dalam melaksanakan keputusan-keputusan dan perintah umum. 2)Informasi melewati berlapis-lapis hierarki birokrasi. Penggunaan sarana komunikasi yang tidak langsung mungkin juga mendistorsikan perintah-perintah pelaksana.

b. Kejelasan.

Jika kebijakan-kebijakan diimpelentasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksana tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas.


(26)

Namun demikian, ketidakjelasan pesan komunikasi kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi. Pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Edwards mengidentifikasikan enam faktor yang mendorong terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan, yaitu: kompleksitas kebijakan publik, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan, dan sifat pembuatan kebijakan pengadilan. c. Konsistensi.

Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten. Perintah-perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan. Bila hal ini terjadi maka akan berakibat pada ketidakefektivan implementasi kebijakan.

Menurut Edwards dengan menyelidiki hubungan antara komunikasi dan implementasi maka kita dapat mengambil generalisasi, yakni bahwa semakin cermat keputusan-keputusan dan perintah-perintah pelaksanaan diteruskan kepada mereka yang harus melaksanakannya, maka semakin tinggi probabilitas keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah pelaksanaan tersebut dilaksanakan.


(27)

2. Sumber-sumber.

Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif. Dengan demikian, sumber-sumber dapat menjadi faktor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber-sumber yang penting meliputi staff yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menterjemahkan usul-usul di atas kertas guna pelaksakan pelayanan publik.

a. Staf.

Barangkali sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan adalah staf. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa jumlah tidak selalu mempunyai efek positif bagi implementasi kebijakan. Kasus rendahnya pelayanan birokrasi di Indonesia menjadi contoh kasus yang dapat digunakan untuk menjelaskan proporsi ini. Pelayanan publik di Indonesia sering kali dinyatakan lamban dan cenderung tidak efesien. Penyebabnya bukan terletak pada jumlah staf yang menangani pelayanan publik tersebut, tetapi lebih pada kurangnya sumber daya manusia dan rendahnya motivasi para pegawai. Dengan demikian tidaklah cukap hanya dengan jumlah pelaksana yang memadai, namun harus disertai dengan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan. Salah satu masalah yang dihadapi oleh pemerintah adalah sedikitnya pejabat yang


(28)

mempunyai keterampilan-keterampilan pengelolaan. Seringkali mereka yang mempunyai latar belakang profesional yang dinaikkan pangkatnya sampai mereka menjadi administrator-administrator. Lagi pula mereka seringkali tidak mempunyai keahlian pengelolaan bagi kedudukan mereka yang baru. Latihan atau training yang diberikan kepada para pelaksana ini sangat minim, sehingga kemampuan profesional mereka mengalami kenaikan yang cukup lambat. Sementara itu pejabat-pejabat di tingkat atas, yaitu pejabat yang dipilih berdasarkan politik mempunyai kedudukan yang relatif singkat sehingga kurang menanamkan kemampuan jangka panjang. Kurangnya keterampilan-keterampilan pengelolaan merupakan masalah besar yang dihadapi oleh pemerintah daerah. Hal ini disebabkan oleh minimnya sumber daya yang digunakan untuk latihan profesional. Faktor lain adalah kesulitan dalam merekrut dan mempertahankan administrator-administrator yang kompeten karena umumnya gaji, prestise dan jaminan kerja mereka yang rendah. Dalam banyak kasus, rendahnya jaminan kerja telah mendorong banyak orang untuk menghindari pekerjaan di birokrasi pemerintah. Orang-orang yang mempunyai kemampuan cenderung bekerja di sektor swasta atau di luar pemerintah karena mempunyai jaminan kerja yang baik.

b. Informasi.

Informasi merupakan sumber penting kedua dalam implementasi kebijakan. Informasi mempunyai dua bentuk. Pertama, informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan. Pelaksana-pelaksana perlu


(29)

mengetahui apa yang dilakukan dan bagaimana mereka harus melakukannya. Bentuk kedua dari informasi ini adalah data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan-peraturan pemerintah. Pelaksana-pelaksana harus mengetahui apakah orang-orang lain yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan ini mentaati undang-undang ataukah tidak. Kurangnya pengetahuan tentang bagaimana mengimplementasikan beberapa kebijakan mempunyai beberapa konsekuensi langsung, antara lain 1) Beberapa tanggung jawab secara sungguh-sungguh tidak akan dapat dipenuhi atau tidak dapat dipenuhi tepat pada waktunya. 2) Ketidakefisienan. Kebijakan yang tidak tepat menyebabkan unit-unit pemerintah lain atau organisasi-organisasi dalam sektor swasta membeli perlengkapan, mengisi formulir atau menghentikan kegiatan-kegiatan yang tidak diperlukan.

c. Wewenang.

Wewenang ini akan berbeda-beda dari satu program ke program lainnya serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda. Namun demikian, dalam beberapa hal suatu badan mempunyai wewenang yang terbatas atau kekurangan wewenang untuk melaksanakan suatu kebijakan dengan tepat. Bila wewenang formal tidak ada, atau sering disebut dengan wewenang di atas kertas, seringkali salah dimengerti oleh para pengamat dengan wewenang yang efektif. Padahal keduanya mempunyai perbedaan yang substansial. Wewenang di atas kertas atau wewenang formal adalah suatu hal, sedangkan apakah wewenang tersebut digunakan secara efektif adalah


(30)

hal lain. Dengan demikian, bisa saja terjadi suatu badan mempunyai wewenang formal yang besar, namun tidak efektif dalam menggunakan wewenang tersebut. Menurut Edwards kita dapat memahami mengapa hal ini terjadi dengan menyelidiki salah satu dari sanksi-sanksi yang paling potensial merusak dari yurisdiksi-yurisdiksi tingkat tinggi, yakni wewenang menarik kembali dana dari suatu program. Lindblom mengemukakan beberapa ciri kewenangan, yakni: kewenangan selalu bersifat khusus; kewenangan, baik sukareka maupun paksaan, merupakan konsesi dari mereka yang mau tunduk; kewenangan itu rapuh; dan yang terakhir, kewenangan diakui karena berbagai sebab. Menurut Lindlom, sebab-sebab kewenangan terdiri dari dua hal pokok, yakni: pertama, sebagian orang beranggapan bahwa mereka lebih baik jika ada seseorang yang memerintah. Kewenangan mungkin juga ada karena adanya ancaman, teror, dibujuk, diberi keuntungan dan lain sebagainya.

d. Fasilitas-fasilitas

Fasilitas fisik mungkin juga merupakan sumber-sumber penting dalam implementasi. Seorang pelaksana mungkin memiliki staf yang memadai, mungkin memahami apa yang harus dilakukan dan mungkin mempunyai wewenang untuk melakukan tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan, tanpa perbekalan, maka besar kemungkinan implementasi yang dicanangkan tidak akan berhasil.


(31)

3. Kecenderungan-kecenderungan

Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijkan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dalam hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan di awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku-tingkah laku atau perspektif-perspektif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit. Dalam beberapa kasus, karena sifat dari kebijakan serta sifat dari sistem pengadilan, seringkali suatu kebijakan dilaksanakan oleh yurisdiksi yang lain. Hal ini berakibat pada semakin terbukanya interpretasi terhadap kebijakan yang dimaksud dan bila hal ini benar-benar terjadi maka akan berakibat pada semakin sulitnya implementasi kebijakan, sebab interpretasi yang terlalau bebas terhadap kebijakan akan semakin mempersulit implementasi yang efektif dan besar kemungkinan implementasi yang dijalankan menyimpang dari tujuan awalnya. Mengingat pentingnya kecenderungan – kecenderungan ini bagi implementasi kebijakan yang efektif, maka akan dibahas dampak dari kecenderungan –kecenderungan tersebut terhadap implementasi kebijakan. a. Dampak dari kecenderungan-kecenderungan

Menurut Edwards banyak kebijakan masuk dalam “zona ketidakacuhan”. Ada kebijakan yang dilaksanakan secara efektif karena mendapat dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun kebijakan-kebijakan lain


(32)

mungkin akan bertentangan secara langsung dengan pandangan-pandangan pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan pribadi atau organisasi dari para pelaksana. Jika orang diminta untuk melaksanakan perintah-perintah yang tidak mereka setujui, maka kesalahan-kesalahan yang tidak dapat dielakkan terjadi, yakni antara kebijakan-kebijakan keputusan dan pencapaian kebijakan. Dalam kasus-kasus seperti ini, maka para pelaksana kebijakan akan menggunakan keleluasaan dan kadang-kadang dengan cara-cara yang halus untuk menghambat implementasi. Para pejabat dalam birokrasi pemerintah merupakan pelaksana-pelaksana yang paling umum dan penting dalam mengetahui pengaruh-pengaruh tertentu pada kecenderungan- kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku mereka, bila dibandingkan dengan para hakim dan pelaksana kebijakan swasta/nonpemerintah. Badan-badan birokasi pemerintah mempunyai beberapa karakteristik yang mungkin tidak dipunyai oleh badan-badan lainnya, yaitu:

1) Badan-badan biroktasi pemerintah lebih bersifat homogen

Tingkah laku yang homogen ini berkembang karena model rekruitmen staf baru yang berlangsung secara selektif. Mereka yang tertarik bekerja dalam badan-badan pemerintah mungkin mendukung kebijakan yang dijalankan oleh badan-badan itu. Badan-badan ini lebih suka mempekerrjakan orang-orang yang mempunyai pikiran yang sama sehingga mendorong timbulnya lingkungan yang secara relatif seragam dimana pembuatan kebijakan dilakukan.


(33)

2) Berkembangnya pandangan-pandangan parokial. Sifat parokial ini didukung oleh beberapa faktor, yakni: a) terlalu sedikitnya jumlah pembuat keputusan tingkat tinggi yang menghabiskan masa jabatannya dalan suatu badan atau departemen. Karena orang ingin percaya apa yang mereka lakukan untuk hidupnya, maka hubungan-hubungan lama akan sangat mempengaruhi tingkah laku para birokrat. Suatu hasil dari pengelompokan ini adalah bahwa komunikasi-komunikasi antarorganisasi terutama berlaku dikalangan orang-orang yang mempunyai pandangan yang sama dan memperkuat parokialisme birokrasi dengan hubungan mereka yang terus berlanjut. b) pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Seperti diungkapkan Edwards, kita sering menemukan fakta bahwa apabila kelompok-kelompok kepentingan dan komite-komite dalan badan legislatif mendukung satu badan, maka mereka akan mengharapkan imbalan dukungan birokrasi yang berkesinambungan. Kondisi seperti ini akan menciptakan suatu lingkungan yang baik bagi perkembangan parokialisme. Pandangan parokialisne ini mempunyai pengaruh yang cukup kuat bagi implementasi kebijakan yang efektif. Beberapa pejabat diangkat dengan alasan-asalan politik dan dalam waktu yang singkat. Akibatnya, mereka cenderung menggunakan pandangan-pandangan unit birokrasi yang sempit. Ketergantungan pejabat-pejabat tersebut pada pejabat-pejabat bawahan karena ingin mendapatkan informasi dan nasehat, kebutuhan untuk mempertahankan moral organisasi


(34)

dengan mendukung pandangan-pandangan yang ada, serta tekanan-tekanan dari para klien bercampur menjadi satu yang pada akhirnya mendorong pejabat-pejabat tinggi untuk tidak mempertahankan kepentingan publik.

a. Dampak dari kekuatan-kekuatan ini adalah seringnya birokrat mengesampingkan implementasi kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Lebih dari itu para pelaksana akan cenderung melihat kepentingan organisasi mereka sebagai prioritas yang tinggi. Hal ini lah yang menjadi penyebab bagi munculnya perbedaan antara pembuat keputusan puncak dan mendorong ketidakefektivan implementasi kebijakan.

b. Pengangkatan birokrat.

Kecenderungan-kecenderungan pelaksana menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan. Hanya yang menjadi persoalan adalah bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat tinggi, mengapa mereka tidak diganti dengan orang yang lebih bertanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin mereka? Untuk menjawab pertanyaan ini, barangkali kita dapat merujuk pada suatu kasus pengangkatan pejabat eksekutif oleh presiden. Dalam pengangkatan pejabat tinggi, presiden sering menemui hambatan politik. Biasanya presiden beranggapan bahwa pengangkatan pejabat-pejabat tinggi ini harus menunjukkan perimbangan geografis, ideologi, kesukuan, seks dan karakteristik-karakteristik kependudukan lain


(35)

yang menonjol pada suatu waktu. Sebenarnya, dalam mencari pejabat-pejabat tinggi ini hanya beberapa saja dari jumlah orang yang benar-benar memenuhi syarat untuk pekerjaan-pekerjaan yang tersedia, tetapi karena kebutuhan politik maka presiden akan mengangkat lebih banyak pejabat. Pengangkatan pejabat tinggi lantas tidak lagi semata-mata kapasitasnya untuk menduduki suatu jabatan tertentu, tetapi lebih mengarah pada pertimbangan –pertimbangan politik, seperti misalnya untuk mengakomodasi berbagai kepentingan. Keuntungan-keuntungan politik yang didapat dari model seperti ini mungkin menyenangkan pendukung-pendukung politik, tetapi mereka tidak akan memberikan landasan bagi administrasi yang sehat. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan politik dalam pengangkatan pejabat tinggi akan menghambat implementasi kebijakan yang efektif.

c. Beberapa insentif.

Mengubah personil dalam birokrasi pemerintah merupakan pekerjaan yang sulit dan tidak menjamin proses implementasi dapat berjalan lancar. Menurut Edwards salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif-insentif. Oleh karena pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif-insentif oleh para pembuat kebijakan tingkat tinggi bisa kemungkinan mempengaruhi tindakan-tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan-keuntungan atau biaya-biaya tertentu barangkali akan menjadi


(36)

faktor pendorong yang membuat para pelaksana melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi, organisasi atau kebijakan substanstif.

4. Struktur Birokrasi

Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif, dalam rangka memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan modern. Mereka tidak hanya berada dalam struktur pemerintah, tetapi juga dalam organisasi-organsiasi swasta yang lain bahkan di institusi-institusi pendidikan dan kadang kala satu sistem birokrasi sengaja diciptakan untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu. Ripley dan Franklin, berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap birokrasi Amerika, mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi, yakni: 1) Birokrasi dimana pun berada, dipilih sebagai instrumen sosial yang ditujukan untuk masalah-masalah yang didefinisikan sebagai urusan publik 2) Birokrasi merupakan institusi yang didominan dalam pelaksanaan program kebijakan, yang tingkat kepentingannya berbeda-beda untuk masing-masing tahap. 3) Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda. 4) Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang luas dan kompleks. 5)Birokrasi jarang mati, naluri untuk bertahan hidup tidak perlu dipertanyakan lagi. 6) Birokrasi bukan merupakan sesuatu yang netral dalam pilihan-pilihan mereka, tidak juga secara penuh dikontrol oleh kekuatan-kekuatan yang berasal dari luar dirinya. Otonomi yang mereka miliki membuat mereka mempunyai


(37)

kesempatan untuk melakukan tawar menawar guna meraih pembagian yang dapat diukur dari pilihan yang mereka ambil. Dengan merujuk pada peran yang dijalankan birokrasi dalam proses implementasi seperti diungkapkan di atas, maka mengetahui struktur birokrasi merupakan faktor yang fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan. Pada dasarnya para pelaksana kebijakan mungkin mengetahui apa yang dilakukan dan mempunyai cukup keinginan serta sumber-sumber untuk melakukannya, namun dalam pelaksanaannya mereka masih dihambat oleh struktur-struktur organisasi dimana mereka menjalankan kegiatan tersebut. Menurut Edwards ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni:

a. Prosedur kerja (Standart Operating Procedures = SOP)

SOP berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari para pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas yang pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar (orang dapat dipindahkan dengan mudah dari suatu tempat ke tempat lain) dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan-peraturan. Kurangnya sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan dengan semestinya membantu dalam menjelaskan penggunaan SOP yang berulang-ulang. Para pelaksana jarang mempunyai kemampuan untuk menyelidiki dengan seksama dan secara individual setiap keadaan yang mereka hadapi. Sebaliknya mereka mengandalkan pada prosedur-prosedur biasa yang menyederhanakan pembuatan keputusan dan menyesuaikan


(38)

tanggung jawab program dengan sumber-sumber yang ada. Sekali prosedur- prosedur biasa ditetapkan, maka akan cenderung tetap berlaku. Hal ini menguntungkan para pelaksana kebijakan karena kondisi seperti in ditambah keinginan untuk memperoleh stabilitas dan kurangnya konflik dan biaya yang tinggi dalam mengembangkan SOP, telah mendorong pelestarian status quo. Namun demikian, prosedur- prosedur biasa yang dirumuskan pada masa lalu mungkin dimaksudkan untuk meyelesaikan keadaan-keadaan khusus yang berbeda dengan keadaan sekarang justru akan menghambat perubahan dalam kebijakan karena prosedur- prosedur biasa itu tidak sesuai dengan keadaan baru. Cara-cara yang lazim seringkali ditetapkan terhadap tanggung jawab-tanggung jawab baru, tetapi cara ini mungkin menghalangi implementasi dengan membatasi fleksibilitas yang diperlukan untuk menanggapi keadaan-keadaan baru, menghambat pengangkatan personil dengan kemampuan yang baik, dan tidak mendorong teknik-teknik kerja yang tepat. Kadang-kadang organisasi bahkan menghindari tanggung jawab yang baru karena pemimpin-pemimpin mereka menganggapnya tidak konsisten dengan cara-cara yang lazim ditetapkan. Di samping cara-cara yang disesuaikan dengan ukuran dasar, pemakaian waktu dan pemborosan dapat menghambat implementasi. Setiap komponen dalam sistem yang harus menjelaskan program-program atau proyek-proyek menempatkan prioritas-prioritas bagi tindakan pada program-program tertentu. Sementara pada sisi yang lain, prioritas-prioritas untuk program-program biasa tidak sama besarnya dengan perhatian untuk


(39)

program-program baru. Pemborosan akan terjadi bila cara-cara yang lazim ditujukan untuk suatu tujuan dipertahankan selama waktu tertentu dan diterapkan dalam keadaan yang sama sekali tidak perlu. SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan. Disamping itu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dari suatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat implementasi. Namun demikian, disamping menghambat implementasi kebijakan SOP juga mempunyai manfaat. Organisasi dengan prosedur pelaksanaan yang luwes dan kontrol yang besar atas program yang luwes mungkin lebih dapat meyesuaikan tanggung jawab yang baru daripada birokrasi-birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri seperti ini.

b. Fragmentasi

Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi organisasi. Tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan sering tersebar diantara beberapa organisasi, sering pula terjadi desentralisasi kekuasaan tersebut dilakukan secara radikal guna mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Sifat multidimensi dari banyak kebijakan juga ikut mendorong fragmentasi. Konsekuensi yang paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha untuk menghambat koordinasi. Para birokrat dengan alasan-alasan prioritas dari badan-badan yang berbeda, didorong untuk menghindari koordinasi dengan badan-badan


(40)

lain. Padahal penyebaran wewenang dan sumber-sumber untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang kompleks membutuhkan koordinasi. Hambatan ini diperburuk oleh struktur pemerintah yang terpecah-pecah. Pada umumnya semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan untuk berhasil. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan dua konsekuensi pokok yang merugikan bagi implementasi yang berhasil. 1) Tidak ada orang yang akan mengahiri implementasi kebijakan dengan melaksanakan fungsi-fungsi tertentu karena tanggung jawab suatu bidang kebijakan terpecah-pecah. Di samping itu karena badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang penting mungkin akan terdampar antara retak-retak organisasi. 2) Pandangan-pandangan yang sempit dari badan-badan mungkin juga akan menghambat perubahan. Jika suatu badan mempunyai fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha mempertahankan esensinya dan besar kemungkinan akan menentang kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan perubahan.19

I.6.3 Akuntabilitas

Istilah akuntabilitas dewasa ini menjadi wacana dan pembahasan oleh masyarakat luas. Di Indonesia, kata ini sepertinya hal baru, padahal secara inheren

19


(41)

akuntabilitas sudah melekat pada setiap orang dan atau organisasi yang menerima pendelegasian kewenangan.

Menurut LAN RI (2003), akuntabilitas adalah kewajiban untuk menyampaikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.20

Dari materi di atas dapat ditarik empat materi kunci yaitu sebagai berikut: 1. Akuntabilitas dalah kewajiban sebagai konsekuensi logis dari adanya

pemberian hak dan kewenangan

2. Kewajiban tersebut berbentuk pertanggungjawaban terhadap kinerja dan tindakan

3. Kewajiban tersebut melekat pada seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif 4. Pertanggungjawaban ditujukan kepada pihak yang memiliki hak dan

berkewenangan untuk hal tersebut.

Pertama, karena merupakan kewajiban, akuntabilitas pada dasarnya bersifat imperatif (keharusan). Artinya wajib dilaksanakan dan disertai sanksi bagi yang melanggarnya. Kedua, akuntabilitas berkaitan dengan kinerja dan tindakan. Kinerja merupakan keseluruhan hasil, manfaat, dan dampak dari suatu proses pengolahan masukan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan tindakan merupakan aktivitas aktif dari seseorang/ badan hukum/ pimpinan kolektif untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kinerja dan tindakan yang dilakukan

20


(42)

berkaitan dengan hak dan kewenangan yang diberikan kepada seseorang/badan hukum/ pimpinan kolektif. Ketiga, pelaksanaan kewajiban ditujukan kepada seseorang/badan hukum/ pimpinan kolektif yang karena jabatannya memperoleh hak dan kewenangan menjalankan tugas untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian akuntabilitas dapat bersifat perorangan, kelompok, atau organisasional. Keempat, akuntabilitas yang dilakukan oleh seseorang/ badan hukum/ pimpinan kolektif ditujukan kepada pihak-pihak yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Pihak-pihak tersebut adalah pejabat yang berwenang dan atau pemegang saham.

Candler dan Plano mengartikan akuntabilitas sebagai “refers to the instutition of check and balances in an administrative system”, (akuntabilitas menunjuk pada institusi tentang “check and balance” dalam sistem administrasi). Dalam hal ini berarti menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau kewenangan yang digunakan. 21

Selanjutnya Taliziduhu Ndraha (2000) membedakan akuntabilitas dan responsibilitas dalam kaitannya dengan makna pemerintahan yang bertanggung jawab menyatakan bahwa akuntabilitas meliputi perhitungan, laporan pelaksanaan tugas yang disampaikan kepada atasan atau penyampai tugas, oleh bawahan atau yang diberi kuasa dalam batas-batas kekuasaan (tugas) yang diterimanya, sedangkan responsibilitas sebagai cause yakni faktor yang menggerakkan seorang

Dengan kata lain akuntabilitas merupakan perwujudan rasionalisasi perencanaan yang ada terhadap kinerja yang dilaksanakan.

21

Joko Widodo. 2005. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. Malang: Bayumedia Publishing. Hal 100


(43)

pejabat untuk melakukan suatu tindakan atau mengambil keputusan berdasarkan kehendak bebas.22

Dengan mengadopsi dari ketiga pendekatan tersebut akuntabilitas dapat didefinisikan sebagai metode-metode prosedur dan tekanan-tekanan yang ditentukan nilai apa yang akan direfleksikan ke dalam kebijakan administratif. Dan ketika mempelajari organisasi sektor publik maka akan memberikan perhatian kepada akuntabilitas sebagai metode untuk mencapai pemerintah dan administrasi yang peka atau dengan kata lain, nilai-nilai akuntabilitas menuntut untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan tugasnya. Prinsip akuntabilitas ini mensyaratkan adanya perhitungan cost and benefits dalam berbagai kebijakan dan tindakan aparatur. Secara khusus dalam ruang lingkup publik, cost and benefit ini diukur dari nilai kemanfaatan yang diterima oleh masyarakat dibandingkan dengan upaya yang dikerjakan oleh pemerintah.

Sejalan seperti yang dikemukakan oleh Day dan Klein yang mengingatkan kita bahwa seseorang tidak dapat bertanggung gugat (akuntabilitas), kecuali seseorang itu mempunyai pertanggjawaban (responsibilitas) untuk melakukan segala sesuatu. Kemudian pertanggungjawaban dapat dilihat dalam 3 cara yaitu tanggung jawab sebagai kewenangan yang sah, tanggung jawab sebagai kewajiban moral, dan tanggung jawab sebagai kepekaan terhadap nilai-nilai dimana seorang pelayan publik ditugaskan untuk melaksanakan harapan-harapan orang lain dengan referenci nilai-nilai tertentu yang dibuat oleh para pelayanan publik dengan membawa fungsi mereka.

Jabbra dan Dwidevi mengemukakan ada lima perspektif akuntabilitas yaitu: 22

Paimin Napitupulu. 2007. Pelayanan Publik dan Customer Satisfaction, Prinsip –prinsip Dasar agar Pelayanan Publik Lebih Berorientasi pada Kepuasan dan Kepentingan Masyarakat.


(44)

1. Akuntabilitas organisasional/ administratif yaitu pertanggungjawaban antara pejabat yang berwenang dengan unit bawahannya dalam hubungan hierarki yang jelas dan bersifat internal. Contohnya Inpres No.7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

2. Akuntabilitas legal lebih merujuk pada domain publik yang dikaitkan dengan proses legislatif dan yudikatif. Ukuran akuntabilitas legal adalah peraturan akuntabilitas politik dan undang-undang.

3. Akuntabilitas profesional berkaitan dengan pelaksanaan kinerja dan tindakan yang berdasarkan tolak ukur yang ditetapkan oleh organisasi profesi yang sejenis

4. Akuntabilitas moral berkaitan dengan tata nilai yang berlaku di kalangan masyarakat dan banyak berbicara tentang baik buruknya suatu kinerja dan tindakan yang dilakukan oleh seseorang/ badan hukum/ piminan kolektif berdasarkan ukuran tata nilai yang berlaku setempat.

I.6.4 Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) I.6.4.1 Latar Belakang dan Ruang Lingkup AKIP

Dalam rangka menciptakan pemerintahan yang baik (good governance) dan memerangi praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) telah secara tegas dituangkan dalam TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN; UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Memang sejak bergulirnya reformasi, berbagai upaya telah dilakukan negara ini untuk menjadikan


(45)

penyelenggara (pemegang amanah) menjadi akuntabel kepada pihak yang telah memercayainya.

Dengan disemangati oleh amanat UU No. 28 Tahun 1999, pemerintah telah menerbitkan Inpres No.7 Tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Inpres ini merupakan jawaban nyata atas pentingnya penyelenggaraan pemerintah yang berkinerja dan akuntabel. Pemerintah yang berkinerja yang tidak hanya diukur dari keberhasilan pemerintahan dalam menjalankan program kerjanya, akan tetapi yang lebih penting ialah bagaimana seluruh kebijakan, program dan kegiatan tersebut dapat dirasakan dan bermanfaat bagi masyarakat. Pengertian akuntabilitas kinerja dalam inpres ini adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran yang ditetapkan malalui alat pertanggungjawaban secara periodik.

Dalam Permenpan dan RB No. 35 Tahun 2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2011 disebutkan bahwa AKIP merupakan sistem manajemen pemerintah yang berfokus pada peningkatan akuntabilitas dan sekaligus peningkatan kinerja yang berorientasi pada hasil (result oriented government). AKIP ini kemudian diimplementasikan secara “self assesment” oleh masing-masing instansi pemerintah. Ini berarti instansi pemerintah tersebut merencanakan sendiri, melaksanakan, mengukur dan memantau kinerjanya sendiri serta melaporkannya sendiri kepada instansi yang lebih tinggi.


(46)

Pengembangan Sistem AKIP (SAKIP) dan LAKIP bermula pada pencarian pola peningkatan kinerja instansi pemerintah. Inisiatif untuk mempelajari akuntabilitas instansi pemerintah mulai menggelinding di tahun 1996, diawali dengan studi literatur dan studi banding pada beberapa negara yang telah lebih dulu mengembangkan dan melaksanakan prinsip akuntabilitas dan penyelenggaraan pemerintahan. Kegiatan studi literatur dan studi banding tersebut didukung oleh BPKP dengan mengerahkan beberapa personil, diskusi-diskusi dan seminar-seminar yang mendukung inisiatif pengembangan sistem akuntablitas kinerja instansi pemerintah dan dilengkapi dengan antara lain:

1. Bahan-bahan mengenai praktek-praktek adminisrasi negara di Amerika Serikat, terutama pelaksanaan GPRA (Government Performance and Result Act, 1993) dan mewabahnya implementasi Reinventing Government berikut sejumlah pengambangannya di Amerika Serikat

2. Melaksanaan studi literatur di bidang pemerintahan, administrasi negara, perkembangan audit, tukar menukar informasi melalui surat menyurat dan internet

Untuk lebih merangsang pemikiran lebih lanjut mengenai pengembangan sistem akuntabilitas instansi pemerintah, hasil kegiatan studi literatur dan diskusi-diskusi serta tukat menukar informasi tersebut di atas dituangkan dalam berbagai bahan bacaan, buku dan karya terjemahan sebagai referensi dalam pengembangan sistem AKIP.

Dengan adanya Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, setiap instansi pemerintah didorong untuk terus meningkatkan kinerjanya. Selanjutnya dalam


(47)

akuntabilitas tersebut dikembangkan pula informasi kinerja yang evaluasinya dituangkan dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) agar dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan instansi pemerintah dalam pencapaian visi, misi dan tujuannya.

Pemberlakuan AKIP ini juga tidak lepas dari nilai kemanfaatan yang diharapkan, antara lain:

1. Mempertajam penetapan prioritas program-program pembangunan nasional dan daerah

2. Meminimalisasi duplikasi pembiayaan kegiatan rutin dan pembangunan sekaligus dapat meningkatkan kinerja secara terukur dan berkelanjutan

3. Tersedianya mekanisme pancatatan pemanfaatan sumber daya nasional dalam pelaksanaan seluruh program dan kegiatan nasional dan daerah yang lebih akurat

4. Mempercepat dan meningkatkan keakurasian dalam penyusunan revisi, perhitungan APBN sesuai dengan amanat UU Keuangan Negara

5. Mencegah penggunaan dana APBN/ APBD untuk kegiatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada publik

6. Tersedianya sarana dan metode kerja baru dalam pengendalian sistem manajemen (built ini control system) yang lebih handal

7. Dapat mengurangi jenis dan jumlah laporan yang harus disiapkan pejabat di setiap instansi pemerintah, sehingga waktu kerja pemimpin dapat difikuskan untuk peningkatan kinerja instansi sesuai dengan harapan pemerintah.


(48)

I.6.4.2 Pedoman Penyusunan dan Pelaksanaan AKIP

Inpres No.7 Tahun 1999 menyertakan sebuah lampiran yaitu Pedoman Penyusunan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang terdiri dari dua pokok uraian yakni uraian umum dan uraian Pelaksanaan Penyusunan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. dengan pedoman ini instansi pemerintah akan dituntun sehingga mampu mengimplementasikan AKIP secara proporsional.

Sebagai tindak lanjut dari Inpres tersebut, Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) mengeluarkan Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 589/IX/6/99 tentang Pedoman Pelaporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah. Empat tahun kemudian pedoman tersebut diperbaiki dengan keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

Berdasarkan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang ditetapkan oleh Kepala Lembaga Administrasi Negara, pelaksanaan AKIP harus berdasarkan antara lain pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Adanya komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi yang bersangkutan. 2. Berdasarkan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan sumber-sumber

daya secara konsisten dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 3. Menunjukkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan.


(49)

4. Berorientasi pada pencapaian visi dan misi, serta hasil dan manfaat yang diperoleh.

5. Jujur, objektif, transparan, dan akurat.

6. Menyajikan keberhasilan/kegagalan dalam pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan.

Selain prinsip-prinsip tersebut di atas, agar pelaksanaan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah lebih efektif, sangat diperlukan komitmen yang kuat dari organisasi yang mempunyai wewenang dan bertanggung jawab di bidang pengawasan dan penilaian terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.

Berkenaan dengan ruang lingkup SAKIP, dikemukakan bahwa SAKIP yang dilaksanakan oleh setiap instansi pemerintah sebagai bahan pertanggungjawabannya kepada presiden, adalah semua kegiatan instansi pemerintah yang memberi kontribusi bagi pencapaian visi dan misinya. Kegiatan yang menjadi perhatian utama mencakup:

1. Tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah 2. Program kerja yang menjadi isu nasional

3. Aktivitas yang dominan dan vitas bagi pencapaian visi dan misi instansi pemerintah.


(50)

Sjahruddin Rasul menyatakan bahwa siklus akuntabilitas kinerja instansi pemerintah pada dasarnya berlandaskan pada konsep manajemen berbasis kinerja. Adapun tahapan dalam siklus manajemen berbasis kinerja adalah sebagai berikut: 1. Penetapan perencanaan stratejik yang meliputi penetapan visi dan misi

organisasi dan strategic performance objectives.

2. Penetapan ukuran-ukuran kinerja atas perencanaan stratejik yang telah ditetapkan yang diikuti dengan pelaksanaan kegiatan organisasi.

3. Pengumpulan data kinerja (termasuk proses pengukuran kinerja), menganalisisnya, mereviu, dan melaporkan data tersebut.

4. Manajemen organisasi menggunakan data yang dilaporkan tersebut untuk mendorong perbaikan kinerja, seperti melakukan perubahanperubahan dan koreksi-koreksi dan/atau melakukan penyelarasan (fine-tuning) atas kegiatan organisasi. Begitu perubahan, koreksi, dan penyelarasan yang dibutuhkan telah ditetapkan, maka siklus akan berulang lagi.


(51)

Skema mengenai siklus Manajemen Berbasis Kinerja dapat dilihat pada gambar di bawah ini23:

Gambar 1.3. Siklus Manajemen Berbasis Kinerja

Hal ini sejalan dengan tahapan yang telah ditetapkan dalam Inpres No.7 Tahun 1999 tentang pelaksanaan Sistem AKIP dilakukan dengan cara sebagai berikut. 1. Mempersiapkan dan menyusun perencanaan strategis

2. Merumuskan visi, misi,faktor-faktor kunci keberhasilan, tujuan, sasaran dan strategi instansi pemerintah

23

Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 2007. DIKLAT PEMBENTUKAN AUDITOR AHLI AKUNTABILITAS

Menetapkan Misi dan Tujuan Kinerja Strategis Menggunakan

Informasi Kinerja Untuk Memicu Perbaikan Kinerja

Mnetapkan akuntabilitas

kinerja

Melaksanakan Tugas

dan Mengukur Kinerja Mengumpulkan

Data Untuk Menilai Kinerja Menganalisis,

Mereviu, Dan Melaporkan


(52)

3. Merumuskan indikator kinerja instansi pemerintah dengan berpedoman pada kegiatan yang dominan, menjadi isu nasional dan vital bagi pemcapaian visi dan misi instansi pemerintah.

4. Memantau dan mengamati pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dengan seksama

5. Mengukur pencapaian kinerja dengan:

a. Perbandingan kinerja aktual dengan rencana atau target b. Perbandingan kinerja aktual dengan tahun-tahun sebelumnya

c. Perbandingan kinerja aktual dengan kinerja di negara-negara lain atau dengan standar internasional

d. Membandingkan capaian berjalan dengan tahun-tahun sebelumnya

e. Membandingkan kumulatif pencapaian kinerja dengan target selesainya rencana strategis

6. Melakukan evaluasi kinerja dengan : a. Menganalisis hasil pengukuran kinerja b. Menginterpretasikan data yang diperoleh

c. Membandingkan pencapaian program dengan visi dan misi intansi pemerintah.

Pada akhir suatu periode, capaian kinerja tersebut dilaporkan kepada pihak yang berkepentingan atau yang meminta dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Tahap akhir, informasi yang teremuat


(53)

dalam LAKIP tersebut dimanfaatkan bagi perbaikan kinerja instansi yang berkesinambungan. 24

I.7 Definisi Konsep

Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi perhatian ilmu sosial25

1. Kebijakan Publik yaitu serangkaian tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Kebijakan Publik dalam penelitian ini yaitu Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah atau AKIP (Inpres No. 7 Tahun 1999)

. Selain itu tujuan adanya konsep adalah untuk mendapatkan batasan yang jelas dari setiap konsep yang diteliti. Maka untuk mendapatkan batasan yang jelas, defini konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

2. Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) merupakan perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran yang ditetapkan melalui alat pertanggungjawaban secara periodik. AKIP ini meliputi sistem AKIP (SAKIP) yang merupakan keseluruhan proses/ langkah-langkah pelaksanaan AKIP sesuai dengan Inpres No. 7 Tahun 1999 yang meliputi penyusunan rencana strategis (termasuk

24

Ismail Mohamad, dkk, Konsep dan Pengukuran Akuntabilitas, (Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, 2004), hlm 110


(54)

penetapan visi, misi, tujuan, sasaran dan penetapan indikator kinerja dari Dinas kebersihan Kota Medan) sampai kepada pembuatan laporan AKIP (LAKIP) yang merupakan alat pertanggungjawaban AKIP.

3. Implementasi kebijakan adalah tindakan yang dilakukan oleh individu-individu yang diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Teori implementasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Implementasi George Edwards III, dengan 4 faktor yang mempengaruhi implementasi, yaitu:

a. Komunikasi. Penyampaian informasi yang efektif tentang kebijakan AKIP yang akan dilaksanakan terhadap pegawai Dinas Kebersihan Kota Medan.

b. Sumber-sumber yaitu segala modal dan kapasitas yang dimiliki oleh implementor yang mendukung keefektivan pengimplementasian kebijakan AKIP pada Dinas Kebersihan Kota Medan

c. Kecenderungan-kecenderungan (disposisi) merupakan respon berupa penerimaan atau penolakan terhadap kebijakan AKIP yang diterapkan. d. Struktur birokrasi meliputi Prosedur kerja (Standart Operating


(55)

I.8 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang, perumusan masalah, fokus masalah tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep dan sistematika penulisan

BAB II METODE PENELITIAN

Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, rencana pengujian keabsahan data, etika penelitian.

BAB IV TEMUAN PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang gambaran dan karakteristik lokasi penelitan serta hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan

BAB V ANALISIS TEMUAN

Bab ini berisi proses dan hasil analisa data yang diperoleh dari lapangan

BAB VI PENUTUP

Bab ini memuat kesimpulan dan saran-saran yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan


(56)

BAB II

METODE PENELITIAN

II.1 Bentuk Penelitian

Bentuk yang digunakan penulis dalam penulis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang mengemukakan gejala/keadaan/peristiwa/masalah sebagaimana adanya secara lengkap dan diikuti dengan pemberian analisa dan interpretasi.26

II. 2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada kantor Dinas Kebersihan Kota Medan di Jl. Pinang Baris No. 114 Medan

II.3 Informan Penelitian

Penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari hasil penelitian. Oleh karena itu tidak dikenal adanya populasi dan sampel27

26

Hadari Nawawi. Manajemen Sumber Daya Manusia. (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1992), hal. 64

. Subjek penelitian ini ditentukan secara sengaja. Subjek penelitian inilah yang akan menjadi informan penelitian yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian.

27


(57)

Informan penelitian ini meliputi (1) informan kunci (key informan), yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian, (2) informan utama, yaitu mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menentukan informan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan informan scara sengaja dan informan yang digunakan adalah mereka yang benar-benar paham mengenai permasalahan yang akan diteliti. Maka peneliti dalam hal ini menggunakan informan penelitian yang terdiri dari:

1. Informan kunci yang berjumlah 1 orang yaitu Sekretaris dari Tim LAKIP Dinas Kebersihan Kota Medan, Ir. Surrahman (Kasubag Penyusunan Program) 2. Informan utama adalah pegawai Dinas Kebersihan Kota Medan, anggota Tim

LAKIP dan pegawai Dinas Kebersihan Kota Medanyang mewakili beberapa bidang, antara lain:

a. Kristina F. Sianipar, ST; Staf Bag. Penyusunan Program, Tim LAKIP

b. Erianto Pasaribu, SE; Staf Bag. Penyusunan Program, Tim LAKIP

c. Ramos Samual Samosir, SE; Staf Bag. Penyusunan Program, Tim LAKIP

d. Andi Harahap; Kabid Retribusi Dinas Kebersihan Kota Medan


(58)

II.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data atau keterangan yang diperlukan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Metode pengumpulan data primer, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan secara langsung pada lokasi penelitian. Pengumpulan data primer dilakukan dengan insstrumen sebagai berikut:

a. Metode wawancara secara mendalam yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya jawab secara langsung kepada pihak-pihak terkait sehingga memperoleh informasi yang terperinci. Agar hasil wawancara dapat direkam dengan baik dan peneliti memiliki bukti telah melakukan wawancara kepada informan atau sumber data maka diperlukan alat-alat sebagai berikut:

1) Buku catatan berfungsi untuk mencatat semua percakapan dengan sumber data.

2) Tape recorder berfungsi untuk merekam semua percakapan atau pembicaraan.

b. Observasi yaitu pengumpulan data dengan kegiatan pengamatan secara langsung dengan mencatat gejala-gejala yang ditemukan dalam interaksi sosial di lapangan untuk melengkapi data-data yang diperlukan yang berkenaan dengan topik penelitian.


(59)

2. Teknik pengumpulan data sekunder,yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui studi bahan-bahan kepustakaan yang diperlukan untuk mendukung data-data primer, yang dilakukan dengan instrumen:

a. Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan catatan atau foto-foto dan rekaman vidio yang ada di lokasi penelitian serta sumber-sumber lain yang relevan dengan objek penelitian

b. Studi kepustakaan yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan berbagai literatur seperti buku, karya ilmiah dan lainnya yang berkenaan dengan penelitian ini.

II.5 Teknik Analisa Data

Hamidi28

Melalui teknik analisis data, peneliti menguji kemampuan nalar dalam menghubungkan fakta. data dan informasi yang diperoleh. Dan selanjutnya akan dianalisis sehingga peneliti dapat memperoleh informasi dan kebenaran dari setiap permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Miles dan Huberman (dalam

menyatakan bahwa analisa data dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif pada prinsipnya berproses secara induksi-interpretasi-konseptualisasi. Dengan demikian laporan yang detail (induksi) dapat berupa data yang lebih mudah dipahami, dicarikan makna sehingga ditemukan pikiran apa yang tersembunyi di balik cerita mereka (interpretasi) dan akhirnya dapat diciptakan suatu konsep (koseptualisasi).

28


(60)

Sugiyono)29

1. Reduksi Data

, mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Dalam melakukan analisis data, ada langkah-langkah yang dilakukan menurut Miles dan Huberman, yaitu:

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

2. Penyajian Data

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan peneliti untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami.

3. Penarikan Kesimpulan

Langkah ketiga dalam nalisis data kualitatif menurut Miles dan Huberman adalah penarikan kesimpulan. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Kesimpulan ini sebagai hipotesis, dan bila didukung oleh data maka akan dapat menjadi teori.

29


(61)

II.6 Pengujian Keabsahan Data

Pengujian keabsahan data sangat diperlukan dalam penelitian kualitatif karena data hasil penelitian harus valid, rediabel dan objektif. Dalam penelitian ini, pengujian keabsahan data yang dingunakan adalah uji kredibilitas karena melibatkan penetapan hasil penelitian kualitatif yang dapat dipercaya. Kriteria kredibilitas dilihat dari perspektif partisipan dalam penelitian yang dilakukan karena pada hakekatnya tujuan penelitian kualitatif ialah untuk memahami fenomena sosial yang menarik perhatian dari sudut pandang partisipan penelitian. Strategi untuk meningkatkan kredibilitas data dilakukan dengan melakukan perpanjangan pengamatan, ketekunan penelitian, tringualistik teknik (triangulation technic) dan memberchecking. Dalam penelitian ini yang dilakukan untuk pengujian keabsahan data ialah perpajangan pengamatan, triangulation dan

memberchecking. Pengujian Keabsahan Data tersebut secara rinci dapat dijelaskan seperti dibawah ini:30

1. Perpanjangan Pengamatan

Perpanjangan waktu yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian dengan mewawancarai informan yang telah diwawancara untuk mengetahui apakah memang informasi yang sudah ditemukan dahulu benar adanya atau bersifat valid.

2. Tringualistik Teknik(Triangulation technic)

Tringualistik Teknik (Triangulation technic) adalah proses penguatan bukti dari beberapa individu yang menjadi informan dalam penelitian yang berbeda


(62)

dari teknik pengamatan yang sebelumnya dan melakukan wawancara dengan informan yang berbeda dari informan yang telah diwawancara sebelumnya. Dalam penelitian ini, penguatan data yang dilakukan adalah hanya dengan melakukan wawancara dengan informan baru namun tekniknya tidak berbeda dengan teknik pengamatan sebelumnya.

3. Memberchecking

Memberchecking merupakan suatu proses dimana peneliti menanyakan atau melakukan wawancara pada salah satu informan atau lebih dalam studi untuk mengecek keakuratan keterangan yang ada sebelumnya.

Dalam penelitian ini, pengujian keabsahan data dilakukan selama beberapa hari dengan melakukan wawancara dengan informan yang lama atau yang baru mengenai informasi yang sesuai dengan masalah penelitian.

II. 7. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti tetap berpedoman terhadap etika penelitian. Etika penelitian adalah prinsip-prinsip etik dalam pengolahan penelitian mulai dari penetapan topik dan masalah sampai penyajian hasil penelitian. Dalam pelaksanaan penelitan, etika penelitian digunakan pada setiap tahap penelitian.

Dalam penyusunan proposal, penelti mencari referensi buku guna melengkapi teori yang akan peneliti bawa dalam penelitian dan menuliskannya dengan jujur. Peneliti juga mencari tahu masalah dan keganjalan yang ada di lembaga yang peneliti teliti melalui internet. Setelah mendapat hal-hal yang ingin


(1)

BAB VI PENUTUP VI.1 Kesimpulan

Dinas Kebersihan Kota Medan mengiplementasikan kebijakan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) sejak tahun 2002 yang dimulai dengan penyusunan rencana srategis yang mencakup visi misi Dinas Kebersihan Kota Medan yang disesuaikan dengan visi dan misi Walikota Medan, penetapan tujuan dan sasaran serta penetapan indikator kinerja sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP).

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disajikan dalam bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa implementasi AKIP pada Dinas Kebersihan Kota Medan masih kurang dikerjakan dengan maksimal dilihat dari empat faktor yang mempengaruhi impelentasi sesuai dengan teori George Edward III, yaitu

1. Komunikasi. Penyaluran komunikasi dirasakan sudah baik, dilihat dalam hal menyebarkan surat edaran dari Kepala Dinas Kebersihan Kota Medan dan dengan pembentukan tim LAKIP, kejelasan informasi yang didapat baik dari Inpres No. 7 Tahun 1999 dan berdasarkan draft isian penyusunan LAKIP yang diberikan oleh Inspektorat Jendral Medan, dan konsistensi dari kebiijakan yang merupakan salah satu bentuk monitoring dari pemerintah terhadap tanggung jawab internal suatu lembaga atau instansi pemerintah. Namun


(2)

kurangnya koordinasi antara Tim LAKIP dan bagian yang ada di Dinas Kebersihan Kota Medan masih harus diperhatikan

2. Struktur Birokrasi. Secara khusus, Dinas Kebersihan Kota Medan masih belum memiliki SOP dalam pelaksanaan AKIP dan masih hanya menggunakan Inspres No. 7 Tahun 1999 sebagai panduan dan menyesuaikannya dengan bimbingan dari Inspektorat Medan. Dalam hal tanggung jawab dalam pelaksanaan AKIP ini tersebar di setiap bidang yang ada karena AKIP merupakan kebijakan yang harus dikerjakan secara internal, sehingga dibutuhkan koordinasi internal dalam tiap bidang. Sejauh ini, koordinasi tiap bidang masih berjalan dengan baik secara khusus dalam penyerahan laporan pertanggungjawaban bidang pada tim LAKIP, walau dalam beberapa kondisi terjadi misscomunication dalam hal waktu dan kesibukan masing-masing pihak.

3. Sumber Daya. Hal ini dilihat dari 3 bentuk yang berbeda, antara lain staf, finansial dan kewenangan. Kemampuan pegawai dalam pelaksanaan sistem AKIP masih kurang baik dan sangat perlu untuk meningkatkan motivasi serta semangat kerja dari para pegawai Dinas Kebersihan Kota Medan. Dalam hal fasilitas yang ada pun dirasakan sudah cukup mendukung pelaksanaannya. Kewenangan yang diliki oleh Dinas Kebesihan Kota Medan pun secara legal diatur dalam Peraturan Walikota Medan Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Rincian Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kebersihan Kota Medan.

4. Disposisi atau kecenderungan-kecenderungan implementor yang ditemukan pada pegawai Dinas Kebersihan Kota Medan terbagi 2 yaitu untuk menerima


(3)

dan menolak kebijakan AKIP dan kecenderungan ini tampakd dari komitmen pegawai dalam hal kedisiplinan kerjanya.

VI.2 Saran

Dalam pelaksanaan sistem AKIP ini pada Dinas Kebersihan Kota Medan, secara khusus penyusunan LAKIP diaharapkan dapa berjalan dnegan lebih maksimal lagi, secara khusus dalam hal koordinasi dan kerjasama antar setiap komponen yang terlibat di dalamnya. Selain itu, berikut juga beberapa saran untuk perbaikan pelaksanaan AKIP ke depannya, antara lain:

1. Sesuaikan kuntitas dan kualitas pegawai dengan beban kerja dan tanggung jawabnya. Dalam hal ini Dinas Kebersihan Kota Medan perlu untuk semakin gencar memanfaatkan setiap diklat, pelatihan dan training yang dilaksanakan oleh pihak luar.

2. Perlu segera disusun SOP pelaksanaan AKIP pada Dinas Kebersihan Kota Medan


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Kumorotomo, Wahyudi. 2005. Akuntabilitas Birokrasi Publik. Sketsa pada Masa Transisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mangkunegara, Anwar Prabu. 2009. Evaluasi Kinerja SDM. Bandung: Refika Aditama

Mohamad, Ismael, dkk. 2004. Konsep dan Pengukuran Akuntabilitas. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.

Nawawi, Hadari. 1992. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.

Nugroho, Riant. 2004. Kebijakan Publik; Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta: Gramedia

Parson, Wayne. 2008. Public Policy; Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup

Subarsono, AG. 2005. Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suyanto, Bagong. 2005. Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Prenada.

Winarno, Budi. 2002. Kebijakan Publik, Teori dan Proses. Yogyakarta: Medpress

Tangkilisan, Hasel Nogi. 2003. Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta: YPAPI Lukman Offset.

_______, Emzir. 2010. Metode Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers.


(5)

_______, Sugiyono. 2009. Metode penelitian Kuntitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

_________, Sedarmayanti. 2003. Good Govenance (Kepemerintahan yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah. Bandung: Penerbit Mandar Maju.

_________, 2010. Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Laporan Akuntabilitas Dinas Kebersihan Kota Medan Tahun 2009

Laporan Akuntabilitas Dinas Kebersihan Kota Medan Tahun 2010

Sumber Perundang-undangan

UU No.18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah

Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/09/M.PAN/5/2007 Tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama Di Lingkungan Instansi Pemerintah

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2010

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Nomor 35 Tahun 2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2011

Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor : 239/1X/6/8/2003 Tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah


(6)

Sumber Internet

http://sampah%20 %20Piala%20Adipura% 20Menghina%20Masyarakat% 20Medan,%20Benarkah %20%20-% 20Harian%20Analisa.htm diakses tanggal 17 Juni 2012

pada tanggal 22 Juli 2012 pukul 12.37 WIB

pukul 12.49 WIB

tanggal 22 Juli 2012

.

pada tanggal 22 Juli 2012 pukul 13.25 WIB