Netralitas Pegawai Negeri Sipil Terhadap Pemilukada Sumatera Utara Tahun 2013

BAB I
PENDAHULUAN

I.1

LATAR BELAKANG MASALAH
Pegawai Negeri Sipil adalah Unsur Aparatur Negara dalam mengadakan

dan menyelenggarakan pemerintahan maupun pembangunan dalam rangka usaha
untuk dapat mencapai tujuan Nasional. Adapun usaha dalam mencapai tujuan
Nasional tersebut diperlukan adanya pegawai Negeri Sipil yang penuh kesetiaan
dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan
Pemerintah.

Peran Pegawai Negeri Sipil merupakan subyek utama dalam suatu
birokrasi yang mempunyai peran tertentu untuk dapat menjalankan tugas negara
dan pemerintahan. Dalam hal ini pola kerja Pegawai Negeri Sipil merupakan
suatu unsur utama dalam terciptanya pelayanan kepada masyarakat secara
profesional, adil dan merata. Kedudukan Pegawai Negeri Sipil sebagai suatu
unsur aparatur negara yang abdi masyarakat dan memiliki mental loyalitas
terhadap negara. Hal ini secara tidak langsung Pegawai Negeri Sipil dituntut

harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak
diskriminatif terhadap pelayanan masyarakat.

Sehubungan dengan persoalan netralitas Pegawai Negeri Sipil tersebut,
sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang nomor 43 Tahun 1999 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian yang mengatur dengan tegas mengenai Netralitas
Pegawai pada pemerintahan sebagaimana tercantum dalam pasal 3 yang
menyatakan bahwa Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai
politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan masyarakat. Untuk

Universitas Sumatera Utara

menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. 1

Larangan terhadap Pegawai Negeri Sipil menjadi anggota partai politik
dapat dilihat secara rinci dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
2004 tentang larangan Pegawai Negeri Sipil dalam menjadi Anggota ataupun
Pengurus Partai Politik 2 yang mengatur bahwa Pegawai Negeri Sipil dituntut

untuk netral dan dilarang menjadi anggota atau pengurus partai politik tertentu.
Apabila ada seorang Pegawai Negeri Sipil ingin menjadi anggota dalam suatu
partai politik ataupun ingin duduk sebagai pengurus partai politik, maka yang
bersangkutan diharuskan melaporkan kepada atasan langsungnya dan tidak
membuat permohonan pengunduran diri sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan secara
langsung akan diberhentikan secara tidak hormat. Hal ini bisa dibilang
berhubungan dengan pendapat Wilson dan Godnow yang menyatakan bahwa
perlunya memisahkan antara administrasi dengan politik yang arahnya untuk
menjaga agar tugas dan fungsi masing-masing yang sebagaimana mestinya
diterapkan larangan ikut keanggotaan suatu partai politik kepada Pegawai Negeri
Sipil 3. Adapun pendapat Hegel mengatakan bahwa birokrasi haruslah berposisi di
tengah sebagai perantara antara kelompok kepentingan umum (negara) dengan
kelompok kepentingan khusus (pengusaha dan profesi) 4.
Dalam hal ini, Netralitas Pegawai Negeri Sipil berkaitan dengan
adanya Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 dimana Undang-Undang ini mengenai Pemerintahan
Daerah. Adapun agenda reformasi yang digulirkan dengan tujuan untuk dapat
mewujudkan iklim yang lebih demokratis dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hal


1

2

3

4

seperti

ini dapat

diwujudkan

dengan mengembalikan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 pasal 3 tentang pokokpokok kepegawaian.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri
Sipil menjadi anggota / pengurus Partai Politik
Miftah Thoha, Netralitas Birokrasi di Pemerintahan Indonesia, Malang: Pustaka

Pelajar, 2001, hal.54.
Ibid hal.55

Universitas Sumatera Utara

kedaulatan ketangan rakyat. Karena yang kita ketahui selama ini adalah
kedaulatan yang seakan-akan berada di tangan partai politik. Dimana satu-satunya
hak politik yang dimiliki oleh rakyat adalah dengan memilih orang yang akan
mewakili mereka dalam Dewan perwakilan Rakyat. Lalu setelah itu, kedaulatan
beralih kepada mereka yang menyebut diri mereka sebagai wakil rakyat yang
pada kenyataannya

justru lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan

partainya, daripada memperjuangkan kepentingan rakyat yang memilih mereka.

Dalam praktiknya, tercatat ada tiga bentuk pelanggaran yang dilakukan
PNS dan pejabat pemerintahan dalam pemilu. Pertama, penyalahgunaan
kewenangan yang dimiliki, antara lain menerbitkan aturan yang mewajibkan
kampanye kepada bawahan, pengumpulan dana bagi parpol tertentu, pemberian

izin usaha disertai tuntutan dukungan kepada parpol/caleg tertentu, penggunaan
bantuan pemerintah untuk kampanye, mengubah biaya perjalanan dinas, dan
memaksa

bawahan

membiayai

negara. Kedua, penggunaan

kampanye

fasilitas

negara

parpol/caleg
secara

dari


anggaran

langsung,

misalnya

penggunaan kendaraan dinas, rumah dinas, serta kantor pemerintah dan
kelengkapannya. Ketiga, pemberian dukungan lain, seperti bantuan sumbangan,
kampanye terselubung, memasang atribut parpol/caleg di kantor, memakai atribut
parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye dengan menggunakan pakaian dinas
dan kelengkapannya, serta pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan
menggunakan fasilitas negara dan perlakuan tidak adil/diskriminatif atas
penggunaan fasilitas negara kepada parpol/caleg.
Sebenarnya yang harus mendapat titik tekan pelarangan Pegawai Negeri
Sipil terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada Langsung adalah dalam konteks
sebagai peserta, baik sebagai calon Kepala Daerah maupun tim kampanye
pendukung Kepala Daerah. Mereka memposisikan diri mereka pada salah satu
pihak, keberpihakan merekalah yang sebenarnya harus “diharamkan”. Karena
ketika mereka memutuskan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) keberpihakan

mereka hanyalah kepada kepentingan rakyat. Mereka haruslah mengabdi demi
rakyat, bukanlah demi satu atau dua kelompok atau satu atau dua kepentingan

Universitas Sumatera Utara

saja. Jadi, jika mereka terlibat menjadi panitia penyelenggara Pemilihan Kepala
Daerah itu di bolehkan 5.
Mengacu kepada surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor : K.2630/V.31-3/99, tanggal 12 Maret 2009, untuk mencegah terjadinya pelanggaran
masalah netralitas PNS dalam pemilukada, pemilu calon legislatif (DPR, DPRD
Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota), anggota DPD, dan calon Presiden/Wakil
Presiden,

maka

Pejabat

Pembina

Kepegawaian


Pusat,

dan

Daerah

Provinsi/Kabupaten/Kota, bertanggungjawab untuk :
a.

Mensosialisasikan mengenai netralitas PNS dalam Pemilihan Umum
Calon Legislatif dan Calon Presiden/Wakil Presiden;

b.

Mengecek dan mengawasi implementasi mengenai netralitas PNS dalam
Pemilihan Umum Calon Legislatif dan Calon Presiden/Wakil Presiden;

c. Memberikan hukuman apabila terdapat PNS di lingkungannya yang
melakukan pelanggaran terhadap netralitas PNS.


Dalam pemerintahan Otonomi Daerah, Pegawai Negeri Sipil banyak
terjadi penyalahgunaan wewenang. Misalnya saja dalam pelaksanaan Pemilihan
Kepala Daerah Langsung, penyalahgunaan wewenang kerap kali terjadi. Birokrasi
disini dijadikan sebagai mesin politik untuk dapat memenangkan Incumbent.
Menurut Lembaga Survey Indonesia dari 460 calon incumbent yang menang
dalam Pemilukada kurang lebih 62,7%, sedangkan yang kalah kurang lebih
37,83%. 6
Berdasarkan penjelasan dari latar belakang, Penulis mengangkat judul
Skripsi tentang “Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilukada Sumatera
Utara 2013” Studi Kasus terhadap Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Wilayah
Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara.

5

6

Departemen Agama Republik Indonesia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan
Pegawai Negeri Sipil, Jakarta: September 2003
Diakses dari www.Lsi.or.id pada tanggal 20 Juli 2013-07-21


Universitas Sumatera Utara

I.2

PERUMUSAN MASALAH
Adapun Perumusan Masalah merupakan penjelasan mengenai alasan

mengapa masalah dalam penelitian ini dipandang menarik dan perlu untuk diteliti.
Dengan kata lain, Perumusan Masalah merupakan isi dari pertanyaan lengkap
dan rinci mengenai lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan dari
identifikasi masalah dan pembatasan masalah. 7 Berdasarkan uraian yang telah
dipaparkan dalam Latar Belakang Masalah, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :
- Bagaimana Netralitas Pegawai Negeri Sipil di Kantor Kementerian Agama
Provinsi Sumatera Utara dalam Pemilukada 2013.
- Faktor – faktor apa yang mempengaruhi netral atau tidak netralnya
terhadap Pegawai Negeri Sipil.

I.3


PEMBATASAN MASALAH
Dalam sebuah penelitian, dibutuhkan adanya pembatasan masalah

terhadap masalah yang akan diteliti. Penulis perlu membuat pembatasan masalah
juga agar hasil penelitian yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang ingin
dicapai menjadi karya tulis yang sistematis. Adapun batasan masalah yang akan
diteliti penulis adalah penelitian ini hanya mencakup kepada Pegawai Negeri Sipil
di Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara. Hal-hal diluar pembahasan
Pegawai Negeri Sipil pada Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara tidak
dibahas disini.

I.4

TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah:
1.

Untuk mengetahui sejauh mana peranan Pegawai Negeri Sipil sebagai
Aparatur Negara dalam abdi masyarakat.

7

Husaini Usman dan Purnomo, Metodologi Penelitian Sosial, Bandung: Bumi Aksara,
2004, Hal: 26.

Universitas Sumatera Utara

2.

Untuk

mengetahui

Netralitas

Pegawai

Negeri

Sipil

di

Kantor

Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara terhadap Pemilihan Kepala
Daerah Sumatera Utara 2013.

I.5

MANFAAT PENELITIAN
Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat, terlebih lagi

untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu yang menjadi manfaat dari
penelitian ini adalah:
1.

Secara teoritis maupun metodologis, studi ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan terhadap pemahaman tentang peranan Pegawai
Negeri Sipil

2.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran bagi birokrat dalam setiap even politik pemilu memiliki sikap
netral dan profesional.

3.

Secara Akademis, diharapkan dapat bermanfaat bagi kalangan mahasiswa
Departemen Ilmu Politik dan dapat menjadi sumber rujukan bagi
Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Sumatera Utara.

4.

Bagi penulis sendiri, untuk mengembangkan kemampuan berfikit dalam
menulis suatu karya ilmiah.

I.6

KERANGKA TEORI

I.6.1

Teori Birokrasi
Birokrasi berasal dari bahasa inggris kata bureaucracy yang dapat

diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dalam bentuk
sebuah piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada
tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun
militer. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan
sebagai sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena
telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Max Weber konsep birokrasi ada dalam suatu organisasi, dimana
organisasi bukan hanya dapat digunakan sebagai pendekatan efektif untuk
mengontrol pekerjaan sehingga sampai pada sasarannya, karena organisasi
birokrasi hanya punya struktur yang jelas tentang kekuasaan terhadap orang yang
punya kekuasaan mempunyai pengaruh sehingga dapat memberi perintah untuk
mendistribusikan tugas kepada orang lain.
Weber menggambarkan tipe birokrasi ideal dalam nada positif,
membuatnya lebih berberntuk organisasi rasional dan efisien daripada alternatif
yang terdapat sebelumnya, yang dikarakterisasikan sebagai dominasi karismatik
dan tradisional. Menurut terminologinya, birokrasi merupakan bagian dari
dominasi legal. Akan tetapi, ia juga menekankan bahwa birokrasi menjadi
inefisien ketika keputusan harus diadopsi kepada kasus individual. Menurut
Weber, atribut birokrasi moderen termasuk kepribadiannya, konsentrasi dari arti
administrasi, efek daya peningkatan terhadap perbedaan sosial dan ekonomi dan
implementasi sistem kewenangan yang praktis tidak bisa dihancurkan. Birokrasi
ala Weber dikenal juga dengan sebutan “Birokrasi Weberian”. Birokrasi tersebut
dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang
mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan
negara yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal. 8

Adapun karakteristik birokrasi menurut weber adalah :
1.

Organisasi yang disusun secara hirarkis

2.

Setiap bagian memiliki wilayah kerja khusus.

3.

Pelayanan publik (civil sevants) terdiri atas orang-orang yang diangkat,
bukan dipilih, di mana pengangkatan tersebut didasarkan kepada
kualifikasi

kemampuan,

jenjang

pendidikan,

atau

pengujian

(examination).
4.

Seorang pelayan publik menerima gaji pokok berdasarkan posisi.

5.

Pekerjaan sekaligus merupakan jenjang karir.

8

Diakses dari www. mutiara-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail pada tanggal 1
september 2013 pukul 14.25

Universitas Sumatera Utara

6.

Para pejabat/pekerja tidak memiliki sendiri kantor mereka.

7.

Setiap pekerja dikontrol dan harus disiplin.

8.

Promosi yang ada didasarkan atas penilaian atasan .

Prajudi Atmosudirjo mengatakan dalam bukunya G Kartasapoetra
mengemukakan bahwa birokrasi mempunyai arti 9:
1.

Birokrasi sebagai tipe organisasi.

2.

Sebagai suatu organisasi tertentu, birokrasi cocok sekali untuk
melaksanakan suatu macam pekerjaan yang terkait pada peraturanperaturan yang bersifat rutin, artinya volume pekerjaan besar, akan
tetapi sejenis dan bersifat berulang-ulang, dan pekerjaan yang
memerlukan keadilan, merata dan stabil.

3.

Birokrasi sebagai system, yang artinya birokrasi adalah suatu system
kerja yang berdasar atas tata hubungan kerjasama antara jabatan
(pejabat-pejabat) secara langsung kepada persolannya dan secara formal
serta berjiwa tanpa dipilih kasih atau tanpa pandang bulu.

Dalam hal ini, menyebutkan adanya keadaan birokrasi publik di sektor
pemerintahan, pendidikan dan kesehatan dan sebagainya berada dalam suatu
kondisi yang dikenal dengan istilah organizational slack yang ditandai dengan
menurunnya kualitas pelayanan yang diberikannya. Masyarakat pengguna
pelayanan banyak mengeluhkan akan lambannya penanganan pemerintah atas
masalah yang dihadapi dan bahkan mereka telah memberikan semacam public
alarm agar pemerintah sebagai instansi yang paling berwenang, responsif
terhadap semakin menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat segera
mengambil inisiatif yang cepat dan tepat untuk menanggulanginya.
Michael G. Roskin, et al. menyebutkan bahwa sekurang-kurangnya ada 4
fungsi birokrasi di dalam suatu pemerintahan modern. Fungsi-fungsi tersebut
adalah :

9

G Karyasapoetra, 1994, Debirokratisasi dan Deregulasi, Jakarta: Rineka Cipta, Hal.21

Universitas Sumatera Utara

1. Administrasi
Fungsi administrasi pemerintahan modern meliputi administrasi, pelayanan,
pengaturan, perizinan, dan pengumpul informasi. Dengan fungsi administrasi
dimaksudkan bahwa fungsi sebuah birokrasi adalah mengimplementasikan
undang-undang yang telah disusun oleh legislatif serta penafsiran atas UU
tersebut oleh eksekutif. Dengan demikian, administrasi berarti pelaksanaan
kebijaksanaan umum suatu negara, di mana kebijakan umum itu sendiri telah
dirancang sedemikian rupa guna mencapai tujuan negara secara keseluruhan.

2. Pelayanan
Birokrasi sessungguhnya diarahkan untuk melayani masyarakat atau
kelompok-kelompok khusus. Dalam hal ini badan pendidikan, dan badan
kesehatan adalah contoh yang bagus di Indonesia, dimana badan – badan tersebut
ditujukan demi kepentingan masyarakat. Sehingga menjalankan fungsi public
service nya dengan baik

3. Pengaturan (regulation)
Fungsi pengaturan dari suatu pemerintahan biasanya dirancang demi
mengamankan kesejahteraan masyarakat. Dalam menjalankan fungsi ini, badan
birokrasi biasanya dihadapkan antara dua pilihan: Kepentingan individu versus
kepentingan masyarakat banyak. Badan birokrasi negara biasanya diperhadapkan
pada dua pilihan ini.

4. Pengumpul Informasi (Information Gathering)
Informasi dibutuhkan berdasarkan dua tujuan pokok: Apakah suatu
kebijaksanaan mengalami sejumlah pelanggaran atau keperluan membuat
kebijakan-kebijakan baru yang akan disusun oleh pemerintah berdasarkan situasi
faktual. Badan birokrasi, oleh sebab itu menjadi ujung tombak pelaksanaan
kebijaksanaan negara tentu menyediakan data-data sehubungan dengan dua hal
tersebut. Misalnya, pemungutan uang yang tidak semestinya (pungli) ketika
masyarakat membuat SIM atau STNK tentunya mengalami pembengkakan.

Universitas Sumatera Utara

Pungli tersebut merupakan pelanggaran atas idealisme administrasi negara, oleh
sebab itu harus ditindak. Dengan ditemukannya bukti pungli, pemerintah akan
membuat prosedur baru untuk pembuatan SIM dan STNK agar tidak memberi
ruang bagi kesempatan melakukan pungli.

Melihat sejarah birokrasi Indonesia, netralitas birokrasi yang tidak
terpengaruh kekuatan politik belum pernah terwujud. Padahal untuk melahirkan
tatanan kepemerintahan yang demokratis diperlukan birokrasi pemerintah yang
netral dari kepentingan partai atau kekuatan politik. Jika birokrasi pemerintah
dibuat netral, maka rakyat secara keseluruhan akan bisa dilayani oleh birokrasi
pemerintah, karena birokrasi tidak mengutamakan dan memihak kepada salah satu
kepentingan kelompok rakyat tertentu. Pemihakan kepada kepentingan seluruh
rakyat ini sama dengan melaksanakan demokrasi. Sedangkan keberpihakan
birokrasi terhadap salah satu kekuatan partai politik yang sedang memerintah
cenderung akan memberikan peluang terhadap suburnya penyelewenganpenyelewengan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pegawai yang profesional dan terbuka terhadap perubahan ekonomi, sosial
dan politik menjadi sebuah tuntutan. Bagaimana para birokrat memahami jabatan
yang dipegang dan merealisasikan dalam bentuk pelayanan publik optimal adalah
hal utama. Selama ini kecenderungan aparat birokrasi masih mewarisi budaya
”memerintah” dan menganggap bahwa jabatan adalah status sosial yang
membedakan mereka dengan warga biasa. Melayani dan memenuhi kebutuhan
warga negara dengan sebaik-baiknya belumlah menjadi paradigm para birokrat.
Masyarakat pun masih menganggap bahwa keberadaan birokrasi bukanlah
mempermudah urusan mereka tetapi malah menghambat layanan yang harus
diterima.
Birokrasi sebagai “alat pemerintah” memang tidak mungkin “netral” dari
pengaruh pemerintah. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa birokrasi tidak
memiliki kemandirian. Justru karena posisinya sebagai alat pemerintah yang
bekerja untuk kepentingan masyarakat, maka diperlukan kemandirian birokrasi.
Sebagaimana dicitrakan dalam konsep Hegelian Bureaucracy, birokrasi

Universitas Sumatera Utara

seharusnya menempatkan dirinya sebagai mediating agent, penjembatanan antara
kepentingan-kepentingan masyrakat dengan kepentingan pemerintah. 10
Birokrasi di Indonesia hingga saat ini masih belum efektif. Para birokrat di
mata publik memiliki citra buruk dan cenderung korup. Mereka tidak dapat
mengikuti situasi ekonomi, sosial dan politik yang sedang berkembang yang
menuntut adanya sikap dinamis dan terbuka. Waktu dan biaya yang tidak terukur
adalah cermin ketidakprofesional kerja penopang birokrasi. Mereka masih
melestarikan budaya birokrasi kolonial. Inilah budaya birokrasi kita saat ini yang
jauh dari kesan melayani masyarakat. Perubahan kepemimpinan yang terjadi di
tingkat nasional maupun daerah ternyata tidak mampu mendorong reformasi yang
terarah dalam memperbaiki citra pejabat birokrat dan sistem birokrasi kita.

I.6.2

Teori Sistem Pemilu
Adapun Pemilihan umum adalah proses pemilihan orang-orang untuk

mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan - jabatan tersebut beranekaragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai
dengan kepala desa. Pemilu merupakan salah satu usaha untuk mempengaruhi
rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika,
public relations, komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun
agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam
kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga
dipakai oleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik.
Dengan kata lain, pemilu adalah sarana demokrasi untuk membentuk
sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan
perwakilan yang digariskan oleh Undang-Undang Dasar. Kekuasaan yang lahir
melalui pemilihan umum adalah kekuasaan yang lahir dari bawah menurut
kehendak rakyat dan dipergunakan sesuai dengan keinginan rakyat.

10

Priyo Budi Santoso, 1997, Birokrasi Pemerintah Orde Baru : Perspektif Kultural dan
Struktural, Edisi I, Cetakan Ketiga, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm 32

Universitas Sumatera Utara

Pemilihan umum yang demokratis haruslah diselenggarakan dalam
suasana keterbukaan, adanya kebebasan berpendapat dan berserikat, atau dengan
perkataan lain pemilihan umum yang demokratis harus memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut 11
1.

Sebagai aktualiasi dari prinsip keterwakilan politik.

2.

Aturan permainan yang fair.

3.

Dihargainya nilai-nilai kebebasan.

4.

Diselenggarakan oleh lembaga yang netral atau mencerminkan berbagai
kekuatan politik secara proporsional.

5.

Tiadanya intimidasi.

6.

Adanya kesadaran rakyat tentang hak politiknya dalam pemilihan umum.

7.

Mekanisme pelaporan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara moral
dan hukum
Dalam hubungan yang demikian, maka pemilihan umum sangat erat

kaitannya dengan sistem pemilihan umum (electoral system). Akan tetapi,
berkaitan dengan electoral system tersebut harus dibedakan antara electoral laws
dengan electoral process. Didalam ilmu kepemiluan yang disebut dengan
electoral laws adalah proses pembentukan pemerintahan melalui pilihan sistem
pemilihan umum yang diartikulasikan kedalam suara, dan kemudian suara
tersebut diterjemahkan kedalam pembagian kewenangan pemerintahan diantara
partai politik yang bersaing. 12
Berdasarkan pandangan yang demikian, electoral laws berkenaan dengan
sistem pemilihan dan aturan yang menata jalannya pemilihan umum serta
distribusi hasil pemilihan umum. Dalam kaitan ini sistem pemilihan umum
adalah rangkaian aturan yang menurutnya pemilih mengekspresikan prefensi
politik mereka, dan suara pemilih diterjemahkan menjadi kursi. Sedangkan
electoral process adalah menyangkut mekanisme yang dijalankan didalam

11

12

Rusli M. Karim, Pemilu Demokratis Kompetitif, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Yogya, 1991), hlm. 37.
Diakses dari www.repository.usu.ac.id/bitstream pada tanggal 24 agustus pukul 21.35

Universitas Sumatera Utara

mengelola pemilihan umum, mulai dari pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye
(baik yang menyangkut isi, tema, prosedur, dan teknik) pemberian suara, serta
penghitungan suara. Pemilu dianggap sebagai bentuk paling riil dari demokrasi
serta

wujud

paling

konkret

keiktsertaan

(partisipasi)

rakyat

dalam

penyelenggaraan negara. Oleh sebab itu, sistem & penyelenggaraan pemilu
hampir selalu menjadi pusat perhatian utama karena melalui penataan, sistem &
kualitas penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat benar-benar mewujudkan
pemerintahan demokratis
Dalam hal ini, pemilu dan netralitas Pegawai Negeri Sipil memang sangat
dibutuhkan dalam proses politik seperti Pemilihan Umum Kepala Daerah karena
pegawai negeri merupakan pelayan publik dan pegawai negeri yang betul-betul
berdiri secara independen tanpa harus memihak. Harus diperhatikan bahwa
kadang kala pegawai negeri terbawa arus atau dengan kata lain dalam keadaan
terpaksa untuk memihak pada salah satu pihak apalagi ketika salah satu kandidat
merupakan calon (incumbent). Ketidaknetralan Pegawai negeri juga sangat
terlihat apabila ada calon kepala daerah yang berasal dari keluarganya, sehingga
nilai-nilai yang seharusnya dimiliki harus terbuang dan ditinggalkan. Tidak
mengherankan jika banyak proses politik dalam hal ini pemilihan umum kepala
daerah dicederai dengan adanya keterlibatan secara langsung pegawai negeri sipil
dalam mendukung salah satu calon kepala daerah.
Ketentuan tentang dilarangnya atau tidak diperbolehkannya pegawai
negeri sipil untuk ikut serta secara langsung dalam pemilihan Kepala Daerah
diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang menegaskan:
1. Dalam kampanye, dilarang melibatkan:
a. Hakim pada semua peradilan;
b. Pejabat BUMN/BUMD;
c. Pejabat Struktural dan Fungsional dalam Jabatan Negeri;
d. Kepala Desa.

Universitas Sumatera Utara

2.

Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila
pejabat tersebut menjadi calon kepala daerah dan wakil

3.

kepala daerah.

Pejabat negara yang menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
dalam melaksanakan kampanye harus memenuhi ketentuan:
a. tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya;
b. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan
c. pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan memperhatikan
keberlangsungan tugas Penyelenggaraan pemerintahan daerah.

4.

Pasangan calon dilarang melibatkan pegawai negeri sipil, anggota Tentara
Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah.

I.6.3

Teori Kebijakan
Kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy yang berasal dari bahasa

Inggris. Kata policy diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan
mengenai tujuan-tujuan, yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan,
partai politik, dan lain-lain. Kebijakan juga diartikan sebagai pernyataanpernyataan mengenai kontrak penjaminan atau pernyataan tertulis. Pengertian ini
mengandung arti bahwa yang disebut kebijakan adalah mengenai suatu rencana,
pernyataan tujuan, kontrak penjaminan dan pernyataan tertulis baik yang
dikeluarkan oleh pemerintah, partai politik, dan lain-lain. Dengan demikian
siapapun dapat terkait dalam suatu kebijakan.
James E. Anderson memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian
tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh
seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah
tertentu. James E. Anderson secara lebih jelas menyatakan bahwa yang dimaksud
kebijakan adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabatpejabat pemerintah. Pengertian ini, menurutnya, berimplikasi:

Universitas Sumatera Utara

(1) bahwa kebijakan selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan
tindakan yang berorientasi pada tujuan,
(2) bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan
pejabat-pejabat pemerintah,
(3) bahwa kebijakan merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh
pemerintah,
(4) bahwa kebijakan bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa
bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau
bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah
untuk tidak melakukan sesuatu,
(5) bahwa kebijakan, dalam arti positif, didasarkan pada peraturan
perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif).

Dalam pengertian ini, James E. Anderson menyatakan bahwa kebijakan
selalu terkait dengan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah.
James Anderson sebagai pakar kebijakan publik meenetapkan proses kebijakan
public sebagai berikut:
1. Formulasi masalah (problem formulation): apa masalahnya? Apa yang
membuat hal tersebut menjadi masalah kebijakan? Bagaimana masalah
tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah?
2. Formulasi kebijakan (formulation): bagaimana mengembangkan pilihanpilihan atau alternatf-alternatif untuk memecahkan masalah tersebut? Sipa
saja yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan?
3. Penentuan

kebijakan

(adoption):

bagaimana

alternative

ditetapkan?

Persyaratan atau criteria seperti apa yang harus dipenuhi? Siapa yang akan
melaksanakan

kebijakan?

Bagaimana

proses

atau

strategi

untuk

melaksanakan kebjakan? Apa isi dari kebijakan yang telah ditetapkan?
4. Implementasi (implementasion): siapa yang terlibat dalam implementasi
kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa dampak dari isi kebijakan?

Universitas Sumatera Utara

5. Evaluasi (evaluation): bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak
kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi
dari adanya evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan untuk melakukan
perubahan atau pembatalan?

I.6.4 Netralitas Birokrasi
Konsep pada netralitas birokrasi sangat erat dengan perkembangan analisis
sosial dan politik hampir dua abad yang lalu. Sekitar abad ke 20-an, konsep
netralitas organisasi birokrasi menjadi sangat penting dalam kehidupan sosial
politik modern. Para penulis di tahun 30-an mulai lantang berbicara tentang
managerial revolution dan konsep baru tentang birokrasi dunia (bureaucratization
of the world). Dengan itu, mereka juga ingin mengetahui sampai di mana peranan
birokrasi dalam perubahan-perubahan besar dalam kehidupan sosial, ekonomi dan
politik pada zaman yang semakin maju ini.
Bila dibandingkan dengan kondisi birokrasi di Indonesia khususnya pada
era Orde Baru yang berjalan hamipr 32 tahun di mana jelas bahwa birokrasi sudah
menampakkan keberpihakannya kepada satu kekuatan politik tertentu (Golkar)
sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik Orde Baru itu sendiri.
Ketika masa Orde Baru lahir, kehidupan kepartaian kita Indonesia dalam kondisi
dan situasi yang sangat memprihatinkan. Hal – hal ini disebabkan oleh strategi
pembangunan politik orde lama di mana PKI merupakan satu-satunya partai
politik yang tetap eksis dengan fungsinya. Sedangkan parta-partai lain satu
persatu hilang, baik secara alamiah atupun karena tidak sesuai dengan Bung
Karno sebagai Presiden yang sekaligus sebagai Panglima Tertinggi dan
menyatakan dirinya juga sebagai Panglima Besar Revolusi pada waktu itun itu
yang mengeluarkan gagasan JAREK (jalannya revolusi kita)
Dalam keadaan seperti itu pulalah masyarakat sangat merindukan
terciptanya satu situasi yang memungkinkan kepentingan mereka tersalurkan dan
terwakili melalui partai politik. Situasi yang demikian dibaca oleh rejim baru,
sehingga begitu orde lama tumbang, orde baru berusaha untuk memulihkan
keadaan dengan menerapkan dua strategi dasar yaitu: pertama, menjadikan

Universitas Sumatera Utara

tentara/ABRI sebagai ujung tombak demokrasi dan pemegang kemdali
pemerintahan ditopang oleh birokrasi yang kuat dan terlepas dari ikatan
kepartaian konvensional/tradisional. Kedua, menitikberatkan pembangunan ke
arah rehabilitasi ekonomi.
Dua strategi tersebut sangat jelas akan memerlukan stabilitas dengan segala
resikonya yang dalam banyak hal akan merugikan bagi parpol non-pemerintah.
Dalam kerangka inilah ABRI kemudian mendirikan Sekretariat Bersama
Golongan Karya (pada tahun 1964 sebagai embrio bagi partai pemerintah (partai
pelopor seperti konsep Presiden Soekarno). Dari sini kita melihat bahwa politik
orde baru berusaha menciptakan iklim politik yang mendukung tumbuh suburnya
kembali partai-partai politik, namun tetap berada di bawah kontrol birokrasi
sehingga tidak akan menggoyahkan stabilitas nasional. 13
Untuk mewujudkan Netralitas diharapkan dalam manajemen sistem
kepegawaian perlu selalu ada:
(a)

Stabilitas, yang menjamin agar setiap PNS tidak perlu kuatir akan masa
depannya serta ketenangan dalam mengejar karier.

(b)

Balas jasa yang sesuai untuk menjamin kesejahteraan PNS beserta
keluarganya. Sehingga keinginan untuk melakukan korupsi, baik korupsi
jabatan maupun korupsi harta, menjadi berkurang, kalau tidak mungkin
dihapuskan sama sekali.

(c)

Promosi dan mutasi yang sistematis dan transparan, sehingga setiap PNS
dapat memperkirakan kariernya dimasa depan serta bisa mengukur
kemampuan pribadi
Dengan melihat banyaknya masalah politisasi birokrasi yang tetap

berlangsung, maka jelas tampak di sini pentingnya untuk mengartikulasikan
kembali tuntutan netralisasi birokrasi. Sebenarnya tuntutan seperti ini sudah
pernah menghangat ketika muncul perdebatan mengenai rangkap jabatan seorang

13

A. Isa Anshori. 1994. “Netralitas Birokrasi” Makalah disampaikan dalam Seminar
Dikotomi Politik dan Administrasi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Universitas Sumatera Utara

pejabat pemerintahan sekaligus pengurus atau anggota partai. Namun demikian,
tuntutan itu mendapatkan resistensi dari parpol dan para politisi atau kader partai
yang meraih kekuasaan dalam kepemimpinan birokrasi pemerintahan

I.6.5

Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pegawai Negeri Sipil
Salah satu langkah mendasar dari reformasi birokrasi, Pemerintah telah

menetapkan kebijakan baru dalam pembinaan Pegawai Negeri Sipil (PNS)
sebagai bagian dari Pegawai Negeri, yang pada prinsipnya mengarahkan sikap
politik PNS dari yang sebelumnya harus mendukung golongan politik tertentu
menjadi netral atau tidak memihak, yang selanjutnya lazim disebut kebijakan
netralitas politik PNS. Kebijakan netralitas PNS tersebut dinyatakan secara tegas
dengan memasukkan pengaturannya dalam:

a.

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, Pasal 3 ayat (1) – (3):
(1). Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang
bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara
profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara,
pemerintahan dan pembangunan.
(2). Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai
politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
(3). Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau
pengurus partai politik. 14

14

Fokus Media, Pokok-Pokok Kepegawaian Edisi Lengkap, Bandung: Tahun 2007.

Universitas Sumatera Utara

b.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Larangan Pegawai Negeri Sipil menjadi anggota Partai Politik pada pasal 2
dan pasal 3.

PASAL 2:
(1). Pegawai

Negeri

Sipil

dilarang

menjadi

anggota

dan/atau

pengurus partai politik.
(2). Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus
partai politik diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil.
PASAL 3:
(1). Pegawai Negeri Sipil yang akan menjadi anggota dan/atau pengurus
partai politik wajib mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil.
(2). Pegawai Negeri Sipil yang mengundurkan diri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diberhentikan dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil.
(3). Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlaku
terhitung mulai akhir bulan mengajukan pengunduran diri. 15

c.

Undang – Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dalam Pasal 59 ayat (5) bagian g, dimana Partai Politik atau gabungan partai
politik pada saat mendaftarkan calon, wajib menyerahkan: “Surat
pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal
dari Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. 16

d.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disipln
Pegawai Negeri Sipil. Dimana Larangan pada bagian Kedua Pasal 4 ayat
(12) yaitu Larangan memberikan dukungan kepada Calon Presiden/Wakil

15

16

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil
menjadi anggota Partai Politik.
Diakses dari www.kpu.go.id pada tanggal 20 Juli 2013

Universitas Sumatera Utara

Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah atau
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara:
-

Ikut serta sebagai pelaksana kampanye,

-

Menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau
atribut Pegawai Negeri Sipil.

-

Sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan Pegawai Negeri Sipil
Lainnya,
Sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara. 17

-

e.

Surat Edaran MenPan nomor 7 Tahun 2009 tentang Netralitas Pegawai
Negeri Sipil dalam Pemilihan Umum :
- PNS yang mencalonkan secara perseorangan menjadi anggota DPD,
Presiden/Wakil Presiden, atau Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah.
1.

PNS yang mencalonkan secara perseorangan menjadi anggota
Dewan Perwakilan Daerah harus mengundurkan diri sebagai PNS.

2.

PNS

yang

mencalonkan

secara

perseorangan

menjadi

Presiden/Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatan
negeri.
3.

PNS yang mencalonkan secara perseorangan menjadi Kepala/Wakil
Kepala Daerah harus mengundurkan diri dari jabatan negeri.

- PNS dilarang :
Memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden,
dengan cara:
a. ikut serta sebagai pelaksana kampanye;
b. menjadi

peserta

kampanye

dengan

menggunakan

atribut

partai/Pegawai Negeri Sipil;

17

Diakses dari www.depkeu.go.id pada tanggal 21 Juli 2013

Universitas Sumatera Utara

c. sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan Pegawai Negeri Sipil
di lingkungan kerjanya;
d. sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara;
e. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu calon pasangan selama masa kampanye;
f. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap
calon pasangan yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama,
sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan,
seruan dan pemberian barang kepada Pegawai Negeri Sipil dalam
lingkungan kerjanya, anggota keluarga dan masyarakat.

I.7

METODE PENELITIAN
Adapun definisi metode penelitian merupakan ajaran-ajaran mengenai

cara-cara yang digunakan dalam proses penelitian. Metodologi penelitian pada
dasarnya merupakan suatu cara yang dipergunakan dalam mencapai tujuan
penelitian yang dilakukan. 18 Tujuan umum dari penelitian ini sendiri adalah untuk
memecahkan suatu masalah yang telah dirumuskan dan dilakukan dengan
metode-metode ilmiah.

I.7.1

Jenis Penelitian
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif

untuk melihat bagaimana jawaban dari perumusan masalah yakni Bagaimana
netralitas Pegawai Negeri Sipil Terhadap Pemilihan Kepala Daerah Sumatera
Utara 2013. Penelitian deskriptif yang penulis gunakan adalah sebagai sebuah
penelitian yang menjelaskan maupun menggambarkan suatu keadaan penelitian
dan berusaha menggambarkan dengan jelas dan mendalam tentang apa yang
diteliti pada pokok permasalahan.

18

Hadawi Nawawi, Metodologi Penelitian Sosial, Yogyakarta-Gajah Mada University
Press, Hal. 61.

Universitas Sumatera Utara

I.7.2

Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian dilakukan di Kantor Kementerian Agama

Provinsi Sumatera Utara tepatnya di Jl. Gatot Subroto depan kantor Kodam,
Medan.

I.7.3

Populasi dan Sampel
Populasi merupakan suatu keseluruhan objek yang terdiri dari manusia,

benda, hewan,

tumbuh-tumbuhan,

gejala, nilai, maupun peristiwa sebagai

sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian
penelitian. 19.
Populasi dalam penelitian ini adalah Seluruh Pegawai Negeri Sipil dalam
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara yang berjumlah
209 Orang. Sedangkan Sampel merupakan sebagian yang diambil dari populasi
dengan menggunakan cara tertentu. Seperti misalnya rumus Taro Yamane, antara
lain:
n=

Keterangan:
n

= Jumlah Sampel

N

= Jumlah populasi

d

= Presisi 10% dengan tingkat kepercayaan 90%

Pada lokasi penelitian Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi
Sumatera Utara yang berjumlah 209 Orang. Jadi sampel yang diambil adalah:
n=

209
209 (0,1)2 + 1

n = 209
3,09
n = 67,63
19

Ibid. Hal. 61

Universitas Sumatera Utara

Jadi setelah melalui penggenapan sampel yang diambil adalah sebanyak 68
orang, dengan distribusi sampel per bidang sebagai berikut:

Tabel I.1
NO.
1.
2.
3.

BIDANG
Golongan II
Golongan III
Golongan IV
JUMLAH

Berikut ini adalah

POPULASI
18 orang
145 orang
46 orang

SAMPEL
12 orang
33 orang
23 orang

209 orang

68 orang

bidang – bidang

yang

terbagi di dalam Kantor

Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara :

NO.

BIDANG

POPULASI

1.

Tata Usaha

73 orang

2.

Pendidikan Madrasah

21 orang

3.

Agama & keagamaan Islam

14 orang

4.

Urais dan Pembinaan Syari’ah

17 orang

5.

Penerangan Agama islam zakat wakaf

13 orang

6.

Haji dan Umroh

29 orang

7.

Bimas Kristen

13 orang

8.

Pembimas Hindu

3 orang

9.

Pembimas Buddha

5 orang

10.

Pembimas Katolik

6 orang

11.

Pegawai Honorer

15 orang

JUMLAH

209 orang

Sumber data: data populasi bersumber dari Kanwil Kementerian Agama Prov.SU

Universitas Sumatera Utara

Adapun pada bidang Tata Usaha terdapat beberapa sub-bagian, antara lain:
1. Sub.Bagian Kepegawaian
2. Sub.Bagian Umum
3. Sub. Bagian Humas
4. Sub. Bagian Kerukunan Umat Beragama
5. Sub. Bagian Keuangan dan Perencanaan.

I.7.4

Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan penulis untuk mendapatkan data yang relevan dan

secara langsung dari objek penelitian yang dimaksud. Beberapa teknik
pengumpulan data yang digunakan oleh penulis meliputi:

1.

Wawancara dan Kuesioner
Dalam metode ini merupakan suatu metode lapangan yang digunakan

penulis dengan cara memberikan sejumlah pertanyaan baik lisan maupun tulisan
dari pihak – pihak yang terkait, untuk mendapatkan jawaban langsung yang
mendukung pemecahan masalah dalam penelitian ini.
2.

Studi Pustaka
Teknik pengumpulan data ini dengan menggunakan penelitian kepustakaan

(library search). Data yang digunakan adalah data-data sekunder seperti bukubuku, peraturan-peraturan, perundang-undangan, laporan, majalah, koran maupun
media online serta bahan lain yang dianggap relevan dalam penelitian ini. 20

I.7.5 Teknik Analisis Data
Sesuai dengan metode penelitian dalam menganalisis data, pada penelitian
ini teknik analisis data yang digunakan adalah teknik kualitatif, yaitu teknik tanpa
menggunakan alat bantu dengan rumus statistik. Metode Kualitatif dapat
didefinisikan sebagai proses penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang

20

Burhan Bungin, Metode Penelitan Sosial, Surabaya: Airlangga University Press,
2001, hal 4.

Universitas Sumatera Utara

mengkaji masalah secara kasus perkasus. Tujuan dari metodologi ini merupakan
pemahaman secara mendalam pada suatu masalah.

I.8

SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan merupakan penjabaran rencana penulisan untuk lebih
mempermudah dan terarah dalam pembahasan karya ilmiah ini. Maka penulis
membagi sistematika penulisan terdiri dari empat bab, antara lain:
BAB I

PENDAHULUAN
Pada bab ini merupakan pendahuluan yang berisikan mengenai
Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian dan
Sistematika Penulisan.

BAB II

DESKRIPSI KANWIL KEMENTERIAN AGAMA PROV.
SUMATERA UTARA
Pada bab ini diuraikan mengenai gambaran umum dan keadaan
lokasi penelitian. Bab ini berisi tentang deskripsi Kanwil
Kemenag Provinsi Sumatera Utara, Pegawai Negeri Sipil yang
terpilih secara acak sebagai responden.

BAB III ANALISIS DATA
Dalam bab ini berisikan tentang penyajian data-data yang
diperoleh dari penelitian yang dilakukan dalam penyebaran
angket mengenai Netralitas Pegawai Negeri Sipil terhadap
Pemilukada Sumatera Utara 2013 dengan Studi Analisis pada
Kantor Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara dengan
menggunakan teori yang digunakan penulis untuk memecahkan
masalah yang diteliti.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV PENUTUP
Bab ini merupakan Bab terakhir dari skripsi penulis yang
berisikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil
pembahasan pada bab-bab sebelumnya serta terdapat juga saransaran yang mungkin berguna bagi masyarakat umum.

Universitas Sumatera Utara