Hubungan Kerapatan Mangrove Terhadap Kepadatan Moluska di Dusun II Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

5

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Mangrove
Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu
nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizophora spp). Nama mangrove
diberikan kepada jenis tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di pantai atau goba-goba
yang menyesuaikan diri pada keadaan asin. Kadang-kadang kata mangrove juga
berarti suatu komunitas (mangrove). Sering kita jumpai kata mangal untuk
komunitas mangrove dan untuk mangrove sebagai jenis tumbuh-tumbuhan.
Ekosistem mangrove didefiniskan sebagai mintakat pasut dan mintakat suprapasut dari pantai berlumpur dan teluk, goba dan estuari yang didominasi oleh
halofita, yakni tumbuh-tumbuhan yang hidup di air asin, berpokok dan
beradaptasi tinggi, yang berkaitan dengan anak sungai, rawa dan banjiran,
bersama-sama

dengan

populasi

tumbuh-tumbuhan


dan

hewan

(Romimohtarto dan Juwana, 2001).
Hutan mangrove sering dianggap sebagai ekosistem yang sangat berbeda.
Kondisi lingkungan tumbuh yang ekstrim, karena faktor lingkungan yang
mempengaruhi yaitu salinitas air tanah dan genangan air. Hutan mangrove
memiliki berbagai kepentingan untuk lingkungan, satwa liar dan perikanan, dan
telah dimanfaatkan oleh manusia untuk berbagai produk alami. Eksploitasi oleh
manusia ini memiliki efek penting pada ekosistem. Daerah Sumatera, hutan
mangrove telah mempelajari lebih dari hampir semua ekosistem alam lainnya.
Setiap provinsi sumatera memiliki beberapa pantai, jika hanya dalam teluk
terlindung sedikit atau pintu masuk sungai atau di sekitar pulau lepas pantai tetapi

Universitas Sumatera Utara

6


dari 1.470.000 hektar hutan mangrove lebih dari 60% berada di Riau dan
Sumatera Selatan (Whitten, dkk., 1987).
Hutan mangrove merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat
potensial. Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi,
tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam
mempertahankan, melestarikan dan pengelolaannya. Hutan mangrove sangat
menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena merupakan sumber mata
pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Secara ekologis hutan
mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga merupakan tempat
pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis mangrove dan
keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan atau
penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman
sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber pakan
habitat biota laut (Waryono, 2002).
Daerah dimana air dangkal dan gelombang tidak terlalu besar, mangrove
memiliki biji yang panjang mengambang di dalam air. Ketika benih menjadi
penangkap dalam lumpur, mangrove mengambil akar. Pohon-pohon dapat
mengeluarkan garam dari daun. Mangrove juga telah mengembangkan secara
ekstensif akar yang berada di atas air, di mana dapat memperoleh oksigen dan
menopang tanaman. Pohon-pohon perangkap sedimen dan menyediakan tempat

bagi kepiting, ubur-ubur, spons, dan ikan hidup. Perangkap sedimen dan gerakan
terus-menerus mangrove ke daerah dangkal mengakibatkan pengembangan
ekosistem terestrial di laut dangkal. Hutan bakau ditemukan di Florida Selatan,

Universitas Sumatera Utara

7

Karibia, Sotheast Asia, Afrika, dan bagian lain dari dunia di mana kondisi yang
cocok (Enger dan Smith, 2000).
Peristiwa pasang-surut yang berpengaruh langsung terhadap ekosistem
mangrove menyebabkan komunitas ini umumnya didominasi oleh spesies-spesies
pohon yang keras atau semak-semak yang mempunyai manfaat pada perairan
payau. Faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi komunitas mangrove, yaitu
salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut, arus, kekeruhan, dan substrat dasar. Kondisi
fisika kimia perairan hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh volume air tawar
dan air laut yang bercampur. Mangrove tumbuh dengan baik dari ketinggian
permukaan laut sampai dengan rata-rata permukaan pasang (Talib, 2008).
Segala bentuk usaha pemanfaatan dan pengelolaan mangrove harus
direncanakan secara seksama agar kelestariannya tetap terjaga, serta memerlukan

data-data mengenai kondisi habitat disertai dengan indikator yang mencerminkan
peranannya terhadap kelangsungan hidup organisme di perairan sekitarnya.
Fungsi ekologis mangrove akan berjalan dengan baik apabila parameter
lingkungan tempat vegetasi mangrove hidup berada dalam kondisi yang baik.
Karakteristik habitat mangrove yang berbeda akan memiliki kondisi lingkungan
perairan yang berbeda juga (Ulqodry, dkk., 2010).

Peran dan Fungsi Mangrove
Mangrove merupakan contoh ekosistem yang banyak ditemui di sepanjang
pantai tropis dan estuari. Ekosistem ini memiliki fungsi sebagai penyaring bahan
nutrisi dan penghasil bahan organik, serta berfungsi sebagai daerah penyangga
antara daratan dan lautan. Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat, antara

Universitas Sumatera Utara

8

lain; sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan
lumpur dan perangkap sedimen; penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan
pohon mangrove; daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari makan

(feeding grounds) dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan,
udang, dan biota laut lainnya; penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar,
bahan baku arang, dan bahan baku kertas (pulp); pemasok larva ikan, udang, dan
biota laut lainnya; dan sebagai tempat pariwisata (Talib, 2008).
Manfaat ekonomis mangrove, juga cukup memegang peranan penting bagi
masyarakat, karena merupakan wahana dan sumber penghasilan seperti ikan,
ketam, kerang dan udang, serta buah beberapa jenis mangrove dapat dimanfaatkan
sebagai bahan makanan. Manfaat lainnya merupakan sumber pendapatan
masyarakat melalui budidaya tambak, kulit mangrove bermanfaat dalam industri
penyamak kulit, industri batik, patal dan pewarna jaring, serta sebagai wahana
wisata alam, penelitian dan laboratorium pendidikan. Mencermati atas
karakteristik ekosistem dan peranan fungsinya, nampaknya degradasi (kerusakan)
kawasan mangrove akan menyebabkan berbagai fenomena baik terhadap
kehidupan biota perairan, dan kehidupan liar lainnya, maupun sebagai sumber
kehidupan masyarakat di sekitarnya (Waryono, 2002).
Mangrove juga bermanfaat bagi beberapa jenis burung migran sebagai
lokasi antara (stop over area) dan tempat mencari makan, karena ekosistem
mangrove merupakan ekosistem yang kaya sehingga dapat menjamin ketersediaan
pakan selama musim migrasi. Vegetasi mangrove juga memiliki kemampuan
untuk memelihara kualitas air karena vegetasi ini memiliki kemampuan luar biasa

untuk menyerap polutan (logam berat Pb, Cd dan Cu), di Evergaldes negara

Universitas Sumatera Utara

9

bagian California Amerika Serikat, mangrove adalah komponen utama dalam
menyaring polutan sebelum dilepas ke laut bebas (Setiawan, 2013).
Fungsi hutan mangrove adalah sebagai pencegah abrasi (pengikisan tanah
akibat air laut), penghasil oksigen, tempat tinggal berbagai tumbuhan dan hewan
kecil seperti kepiting, kerang, ikan-ikan kecil, dan tempat tinggal spesies primata,
burung-burung dan masih banyak manfaat yang lain. Melihat manfaat dari hutan
mangrove, masyarakat mempunyai peran yang besar untuk melestarikannya
karena menyusutnya hutan mangrove akibat dari berbagai kegiatan masyarakat
seperti pencemaran dan penggunaan kawasan hutan mangrove sebagai lahan
tambak (Eflaha, 2014).
Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat
mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonservasi area hutan
mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial,
industri dan pertanian. Selain itu, juga meningkatnya permintaan terhadap

produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove.
Kegiatan lain yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove cukup besar adalah
pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan. Kegiatan terakhir ini
memberikan konstribusi terbesar dalam pengrusakan ekosistem mangrove. Dalam
situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini
jauh lebih besar dari nilai penggantinya. Secara umum, ada beberapa permasalahn
yang timbul karena ketidaktahuan akan nilai alamiah yang dapat diberikan
olehekosistem mangrove dan ketiadaan perencanaan untuk pengembangan secara
integral (Dahuri, dkk., 2004).

Universitas Sumatera Utara

10

Zonasi Mangrove
Hutan mangrove dapat dibagi menjadi lima bagian berdasarkan frekuensi
air pasang, yaitu; zonasi yang terdekat dengan laut, akan didominasi oleh
Avicennia spp dan Sonneratia spp, tumbuh pada lumpur lunak dengan kandungan
organik yang tinggi. Avicennia spp tumbuh pada substrat yang agak keras,
sedangkan Avicennia alba tumbuh pada substrat yang agak lunak; zonasi yang

tumbuh pada tanah kuat dan cukup keras serta dicapai oleh beberapa air pasang.
Zonasi ini sedikit lebih tinggi dan biasanya didominasi oleh Bruguiera cylindrica;
ke arah daratan lagi, zonasi yang didominasi oleh Rhizophora mucronata dan
Rhizophora apiculata. Jenis Rhizophora mucronata lebih banyak dijumpai pada
kondisi yang agak basah dan lumpur yang agak dalam. Pohon-pohon yang dapat
tumbuh setinggi 35-40 m. Pohon lain yang juga terdapat pada hutan ini mencakup
Bruguiera parviflora dan Xylocarpus granatum; hutan yang didominasi oleh
Bruguiera parviflora kadang-kadang dijumpai tanpa jenis pohon lainnya; hutan
mangrove di belakang didominasi oleh Bruguiera gymnorrhiza (Talib, 2008).
Pola zonasi mangrove dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Pola Zonasi Mangrove (Bengen, 2004)

Universitas Sumatera Utara

11

Karena sifat lingkungannya keras, misalnya karena genangan pasang-surut
air laut, perubahan salinitas yang besar, perairan yang berlumpur tebal dan
anaerobik, maka pohon-pohon mangrove telah beradaptasi untuk itu baik secara

morfologi maupun fisiologi. Adaptasi tersebut antara lain dapat terlihat pada
bentuk sistem perakaran mangrove yang khas. Perakaran ini berfungsi antara lain
untuk membantu mangrove bernafas dan tegak bediri. Ada jenis-jenis yang
mempunyai akar horizontal di dalam tanah dan di sana-sini mencuat keluar, tegak
bagaikan tonggak-tonggak tajam seperti pada api-api (Avicennia spp). Ada pula
yang akarnya tersembul ke permukaan dan melengkung bagaikan lutut seperti
pada tanjang (Bruguiera spp). Selain itu ada pula yang akar-akarnya mencuat dari
batang, bercabang-cabang mengarah ke bawah dan menggantung kemudian
masuk ke tanah seperti pada bakau (Rhizophora spp) (Nontji, 1987). Bentuk
spesifikasi akar pada mangrove dapat dilihat pada Gambar 3.

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 3. Bentuk Spesifikasi Akar Pada Mangrove (Kusmana, dkk., 2005)

(a) Akar Papan (Heritiera spp.), (b) Akar Pasak atau Akar Napas
(Avicennia spp., Sonneratia spp. dan Xylocarpus spp.), (c) Akar
Tunjang (Rhizophora spp.) dan (d) Akar Lutut (Bruguiera spp.)

Universitas Sumatera Utara

12

Kualitas Air
Suhu
Suhu merupakan suatu ukuran yang menunjukan derajat panas benda.
Suhu biasa diGambarkan sebagai ukuran energi gerakan molekul. Suhu sangat
berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem suatu perairan. Suhu sangat
memengaruhi segala proses yang terjadi di perairan baik fisika, kimia, dan biologi
badan air. Suhu juga mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme.
Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi
pertumbuhannya. Makin tinggi kenaikan suhu air, maka makin sedikit oksigen
yang terkandung di dalamnya. Suhu yang berbahaya bagi makrozoobentos adalah
yang lebih kurang dari 35˚ C (Marpaung, 2013).
Kenaikan suhu air mengakibatkan menurunnya oksigen terlarut di dalam

air, meningkatnya kecepatan reaksi kimia, terganggunya kehidupan ikan dan
hewan air lainnya. Naiknya suhu air yang relatif tinggi seringkali ditandai dengan
munculnya ikan-ikan dan hewan air lainnya ke permukaan air untuk mencari
oksigen. Jika suhu tersebut tidak juga kembali pada suhu normal, lama kelamaan
dapat menyebabkan kematian ikan dan hewan lainnya (Nugroho, 2006).

Salinitas
Perubahan salinitas akan memengaruhi keseimbangan di dalam tubuh
organisme melalui perubahan berat jenis air dan perubahan tekanan osmosis.
Semakin tinggi salinitas, semakin besar tekanan osmosisnya sehingga organisme
harus memiliki kemampuan beradaptasi terhadap perubahan salinitas sampai batas

Universitas Sumatera Utara

13

tertentu

melalui

mekanisme

osmoregulasi,

yaitu

kemampuan

mengatur

konsentrasi garam atau air di cairan internal (Marpaung, 2013).
Keanekaragaman dan jumlah spesies organisme perairan mencapai
maksimum pada perairan samudera dengan kisaran salinitas 30 - 40 %o.
Kemudian berturut-turut menurun pada perairan tawar ( < 0,5 – 30 %o ),
hypersalin ( 40 - 80 %o ) dan brine water ( > 80 %o ). Toleransi terhadap salinitas
yang rendah pada hewan intertida berhubungan dengan beberapa mekanisme
seperti pasang surut yang dipengaruhi oleh curah hujan dan penguapan yang besar
dan aktivitas manusia berupa adanya pembendungan sungai atau kanal
(Faozan, 2004).

Oksigen terlarut (DO)
Oksigen terlarut dalam air berasal dari hasil proses fotosintesis oleh
fitoplankton atau tanaman air lainnya dan difusi dari udara. Oksigen terlarut
merupakan unsur senyawa kimia yang

sangat penting untuk mendukung

kehidupan organisme dalam suatu perairan. Oksigen terlarut digunakan oleh
organisme perairan dalam proses respirasi. Secara alami senyawa kimia ini
terdapat dalam air laut pada kadar yang sesuai. Perubahan kadar yang terjadi tentu
akan mempengaruhi

kehidupan organisme yang hidup dalam perairan.

Rendahnya kandungan oksigen di perairan ini diduga karena masuknya bahanbahan organik ke perairan, sehingga memerlukan banyak oksigen untuk
menguraikannya. Semakin banyak bahan buangan organik yang ada di dalam air,
semakin sedikit sisa kandungan oksigen yang terlarut di dalamnya (Patty, 2015).

Universitas Sumatera Utara

14

Oksigen terlarut dalam air pada umumnya berasal dari difusi oksigen
udara melalui permukaan air, aliran air, air hujan dan hasil fotosintesis tumbuhan
air pada siang hari. Oksigen merupakan salah satu unsur yang penting di perairan
yaitu sebagai pengatur proses-proses metabolisme komunitas, selain itu,
kandungan produktivitas primer di suatu perairan dari hasil fotosintesis
(Nugroho, 2006).

Derajat Keasaman (pH)
Air laut adalah sistem penyangga yang sangat luas dengan pH yang relatif
stabil antara 7,0 – 8,0. Perubahan nilai pH air laut yang kecil saja dari nilai
alaminya menunjukkan sistem penyangga perairan tersebut terganggu sebab air
laut sebetulnya mempunyai kemampuan untuk mencegah perubahan pH. Kisaran
pH yang baik dan netral untuk mangrove adalah 5- 7,6. Bila pH terlalu rendah
dapat mengakibatkan terhambatnya bahan organik menjadi netral (Faozan, 2004).
Nilai pH suatu perairan mencerminkan keseimbangan antara asam dan
basa dalam air. Nilai pH perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
ialah aktivitas fotosintesis, aktivitas biologi, suhu, kandungan oksigen dan adanya
kation serta anion dalam perairan. Komunitas Rhizophora spp. dan Avicennia spp.
hidup pada sustrat dengan pH 6,6 dan 6,2 ketika dalam keadaan penuh air, tetapi
pada kedaan kering pH akan turun menjadi 4,6 dan 5,7 untuk Avicennia spp.
(Sadat, 2004).

Universitas Sumatera Utara

15

Substrat
Substrat dasar merupakan salah satu faktor ekologis utama yang
mempengaruhi struktur komunitas makrobentos. Penyebaran makrobentos dapat
dengan jelas berkorelasi dengan tipe substrat. Makrobentos yang mempunyai sifat
penggali pemakan deposit cenderung melimpah pada sedimen lumpur dan
sedimen lunak yang merupakan daerah yang mengandung bahan organik yang
tinggi. Substrat dasar atau tekstur tanah merupakan komponen yang sangat
penting bagi kehidupan organisme. Substrat di dasar perairan akan menentukan
kelimpahan dan komposisi jenis dari hewan bentos. Komposisi dan kelimpahan
fauna invertebrata yang berasosiasi dengan mangrove berhubungan dengan variasi
salinitas dan kompleksitas substrat (Susiana, 2011).
Karakteristik substrat diketahui juga menentukan kehidupan komunitas
mangrove, substrat sedimen di daerah hutan mangrove mempunyai ciri-ciri selalu
basah, mengandung garam, memiliki oksigen yang sedikit, berbutir-butir dan kaya
akan bahan organik. Perbedaan tingkat kerapatan vegetasi mangrove serta jenis
mangrove yang ditemukan juga berpengaruh terhadap kandungan bahan organik
pada substrat dimana sesuai dengan besarnya nilai tingkat kerapatan suatu
mangrove akan mempengaruhi proses penguraian dari bahan organik tersebut
jenis mangrove juga ikut andil dalam proses cepat atau lambatnya proses
penguraian

tersebut

rendahnya

nilai

kandungan

bahan

organik

ini

mengindikasikan bahwa pengaruh dari tingkat pasang surut yang tinggi sehingga
serasah yang jatuh terangkut kembali terbawa arus dan tidak terurai menjadi
bahan organik (Darmadi, dkk., 2012).

Universitas Sumatera Utara

16

Moluska
Filum Moluska merupakan anggota yang terbanyak kedua setelah filum
Arthropoda. Terdapat lebih dari 60.000 spesies hidup dan 15.000 spesies fosil.
Pada umumnya Moluska menempati zona littoral, termasuk daerah pasang surut.
Moluska terutama jenis kerang-kerangan banyak ditemukan terbenam dalam
substrat lumpur berpasir. Moluska mempunyai bentuk tubuh yang beranekaragam.
Berdasarkan bentuk tubuh, jumlah serta keping cangkang filum Moluska terbagi
ke dalam 7 kelas yaitu : Aplacophora, Monoplacophora, Polyplacophora,
Gastropoda, Bivalvia, Scaphopoda, dan Cephalopoda (Irawan, 2008).
Moluska merupakan hewan lunak yang mempunyai cangkang. Moluska
banyak ditemukan di ekosistem mangrove, hidup di permukaan substrat maupun
di dalam substrat dan menempel pada pohon mangrove. Kebanyakan Moluska
yang hidup di ekosistem mangrove adalah dari spesies Gastropoda dan Bivalvia.
Berbagai macam biota yang hidup di ekosistem mangrove seperti ikan, Moluska,
udang, kepiting dan cacing. Mangrove merupakan habitat bagi biota - biota
akuatik. Fungsi ekologis mangrove bagi biota-biota tersebut adalah sebagai daerah
asuhan (nursery ground), daerah tempat mencari makan (feeding ground) dan
daerah pemijahan (spawning ground) (Hartoni dan Agussalim, 2013).
Kelompok fauna perairan/akuatik yang berkoeksistensi di ekosistem hutan
mangrove, terdiri atas dua tipe yaitu; biota yang hidup di kolam air, terutama
berbagai jenis ikan dan udang; dan yang menempati substrat baik keras (akar dan
batang mangrove) maupun lunak (lumpur) terutama kepiting, kerang dan berbagai
jenis invertebrata lainnya (Talib, 2008).

Universitas Sumatera Utara

17

Apabila salah satu komponen mata rantai suatu rantai makanan mengalami
perubahan maka akan merubah keadaan mata rantai yang ada pada suatu
ekosistem misalnya pada ekosistem mangrove dengan Moluska, perubahan ini
akan berdampak terhadap ketidakstabilan ekosistem, baik dampak secara
langsung maupun tidak langsung. Komposisi Moluska pada ekosistem mangrove
sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi pada ekosistem tersebut, karena
sifat Moluska yang hidupnya cenderung menetap menyebabkan Moluska
menerima setiap perubahan lingkungan ataupun perubahan dari dalam hutan
mangrove tersebut, misalnya perubahan fungsi hutan mangrove menjadi areal
pemukiman ataupun hutan mangrove yang semakin meningkat ini tertutama pada
subsektor perikanan yang memanfaatkan hutan tersebut untuk kegiatan budidaya
tambak, penambangan atau kegitan pembangunan lainnya yang kurang
memperhitungkan akibat sampingannya (Hartoni dan Agussalim, 2013).
Keberadaan Moluska laut sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yang
terdiri dari faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik terdiri dari pohon mangrove
dan fitoplankton yang merupakan sumber makanan utama bagi Moluska. Faktor
abiotik terdiri dari suhu, salinitas, substrat dasaran, dan kandungan bahan organik.
Perubahan suhu dapat mempengaruhi perubahan komposisi, kelimpahan, dan
keanekaragaman hewan pada suatu perairan. Salinitas juga merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi keberadaan Moluska karena organisme laut hanya
dapat mentoleransi terhadap perubahan salinitas yang kecil atau lambat. Tiap jenis
Moluska memerlukan suatu kombinasi faktor abiotik yang optimum agar jenis
tersebut dapat hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik (Ayunda, 2011).

Universitas Sumatera Utara

18

Menurut Rangan (2010), menyatakan bahwa jenis-jenis Moluska yang
hidup di hutan mangrove menjadi tiga kelompok sebagai berikut:
1. Jenis-jenis Moluska asli hutan mangrove, adalah jenis Moluska yang seluruh
dan sebagian besar waktu hidup dewasanya dihabiskan di hutan mangrove
umumnya merupakan pemakan serasah, dengan sebaran dari bagian tengah
sampai ke belakang hutan mangrove.
2. Jenis-jenis Moluska fakultatif, adalah jenis Moluska yang menggunakan hutan
mangrove sebagai salah satu tempat hidupnya. Umumnya hidup di bagian
pinggiran hutan, baik ke arah pantai atau ke arah darat.
3. Jenis-jenis Moluska pengunjung, adalah jenis-jenis yang secara tak sengaja di
dalam hutan mangrove. Umumnya hadir di sekitar perbatasan antara hutan dan
ekosistem tempat hidupnya.
Komposisi Moluska pada ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh
perubahan yang terjadi pada ekosistem tersebut, karena sifat Moluska yang
hidupnya cenderung menetap menyebabkan Moluska menerima setiap perubahan
lingkungan ataupun perubahan dari dalam hutan mangrove tersebut, misalnya
perubahan fungsi hutan mangrove menjadi areal pemukiman ataupun hutan
mangrove yang semakin meningkat ini tertutama pada subsektor perikanan yang
memanfaatkan hutan tersebut untuk kegiatan budidaya tambak, penambangan atau
kegitan

pembangunan

lainnya

yang

kurang

memperhitungkan

akibat

sampingannya (Hartoni dan Agussalim, 2013).

Universitas Sumatera Utara

19

Cerithidea obtusa
C. obtusa adalah salah satu Gastopoda asli mangrove dari suku
Potamididae. Hewan tersebut ummnya berada di bagian akar dan cabang-cabang
di atas substrat, atau pada mudbank di daerah pasang surut. Hewan ini sering
ditemukan pada tempat yang paling basah pada surut terendah. Spesies ini
umumnya berfungsi sebagai makanan di beberapa negara Asia Tenggara, terutama
di Indonesia (Rusnaningsih, 2012).
Apertura pada C. obtusa berbentuk bulat (rounded), tanpa saluran siphon
yang membentuk celah pada sudut apertura. Karakter penting yang lain adalah tererosinya apex pada C. obtusa sehingga membentuk ujung yang tumpul.
Berdasarkan karakter apex tercebut C. obtusa dipisahkan dari anggota Cerithidea
yang lain. Dari struktur tersebut penamaan obtusa diturunkan (Obtusus = tumpul).
C. cingulata menunjukkan modifikasi yang membedakan dari anggota Cerithidea
yang lain (Puguh, dkk., 2014).

Cerithidea cingulata
Habitat asli C. cingulata adalah di perairan hutan mangrove. Hewan
tersebut dapat ditemukan di dasar perairan, akar perairan, atau menempel pada
batang mangrove. Siput tersebut dapat hidup di perairan dengan kisaran salinitas
15 – 45 ppt. Siput C. cingulata tersebut mencapai usia dewasa setelah satu tahun
dan umumnya berukuran 15 – 17 mm. Setelah mencapai usia satu tahun, siput
tersebut dapat berproduksi dan berkembang biak dengan cepat. Pada salinitas air
di atas 48 ppt hewan tersebut akan mati. Nilai pH air yang sesuai untuk C.
cingulata berkisar antara 6 – 9 dengan kisaran suhu sekitar 24˚ - 36˚ C. Tekstur

Universitas Sumatera Utara

20

substrat sangat mempengaruhi distribusi C. cingulata. Siput tersebut hampir tidak
pernah dijumpai di dekat mulut estuari karena bersubstrat pasir. C. cingulata
menghindari substrat pasir dan lumpur murni dan lebih memilih substrat
campuran antara pasir dan lumpur. C. cingulata juga memiliki bentuk adaptasi
terhadap pasang surut air laut, yakni bergerak seirama pasang surut. Gastropoda
tersebut dapat memutuskan untuk naik ke batang mangrove beberapa saat sebelum
terjadi pasang surut (Laksmana, 2011).
Gastropoda pada umumnya hidup di permukaan substrat atau menempel
pada pohon mangrove. Gastropoda yang hidup di hutan mangrove pada umumnya
bersifat bergerak (mobile), bergerak aktif turun naik mengikuti pasang surut
sehingga Gastropoda sendiri memiliki adaptasi yang cukup besar dengan
perubahan faktor lingkungan yang disebabkan oleh suhu dan salinitas
(Lihawa, dkk., 2004).

Littorina scabra
Habitat L. scabra melimpah di pohon dan akar, di tepi arah laut dari
kawasan mangrove, atau kadang-kadang di kayu apung di pantai berpasir di mana
tidak ada pohon mangrove serta berlindung dibalik batu. Dikonsumsi secara lokal
untuk makanan, terutama di Viet Nam, Teluk Thailand dan Indonesia. Distribusi
tersebar luas di Indo Pasifik Barat, dari Afrika Timur, termasuk Madagaskar dan
Laut Merah, Jepang dan Hawaii, dan selatan untuk Queensland selatan dan
Kaledonia Baru (Carpenter dan Niem, 1998).
L. scabra merupakan organisme yang dapat hidup di batang, daun dan
tangkai mangrove dan gastropoda ini dapat hidup di mintakat air pasang dan tahan

Universitas Sumatera Utara

21

kekeringan karena dapat menutup rapat cangkangnya dan menggunakan air di
dalamnya. Anggota dari famili Littorinidae terdapat pada hampir seluruh vegetasi,
kadang-kadang sampai 2 m di atas permukaan tanah dan ditemukan pada daun,
batang dan pohon mangrove dan teruama hidup pada bagian muka hutan
mangrove. (Hartoni dan Agussalim, 2013).

Telescopium telescopium
Hewan ini merupakan jenis hewan indopasifik yang mampu hidup di
perairan bakau tropis. Umumnya jenis ini ditemukan sangat dekat dengan
genangan air dan mampu bertahan pada rantang kadar garam air yang tinggi, yaitu
pada garam 15 – 34 ppt dan bentuknya seperti kristal yang muncul di permukaan.
Hewan ini sering ditemukan jumlah berlimpah di daerah pertambakan yang
berbatasan dengan hutan mangrove, juga pada sungai yang dekat dengan daerah
pertambakan. Hewan ini banyak ditemukan di daerah pertambakan yang dekat
dengan mulut sungai dan dapat hidup pada kadar garam 1 – 2 ppt, juga hewan ini
lebih banyak membenamkan diri dalam lupur yang kaya bahan organik dari pada
di atas subsrat lumpur. T. telescopium mendiami tanah berlumpur deket daerah
pasang surut, mampu hidup beberapa lama diluar air, hidup berkelompok serta
termasuk habifora (pemakan tumbuh-tumbuhan) dan detritus feeder (pemakan
detritus) (Pelu, 2011).
T. telescopium menyukai tempat lahan terbuka (karena pohon tumbang)
dan banyak sinar matahari. Banyaknya lahan terbuka akibat dari pohon-pohon
mangrove yang tumbang akan berpengaruh ketersedian bahan organik.
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk

Universitas Sumatera Utara

22

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem dengan produktifitas tinggi (penghasil
detritus). Kebanyakan detritus akan terdekomposisi sehingga mendorong
terakumulasi menjadi bahan organik (Sihombing, dkk., 2014).

Nassarius dorsatus
Ukuran cangkang Gastropoda ini 3 cm dan asimetri, permukaan cangkang
halus, tipis dan ringan, terdapat axial lines. Mulut cangkang berbentuk pipih dan
aperture halus, banyak ditemukan soliter di daerah intertidal, serta di akar,
pangkal batang pohon bakau. Nassariidae yang hidup di laut dapat dijumpai di
berbagai lingkungan dan bentuknya beradaptasi dengan lingkungannya tersebut.
Nassariidae hidup menempel pada subtract yang keras, tetapi ada juga yang hidup
pada subtrat seperti lumpur dan pasir (Bachry, 2013).
Sebagian dari Gastropoda hidup di daerah mangrove, memiliki adaptasi
spasial yakni dengan cara hidup di atas permukaan substrat yang berlumpur atau
tergenang air, hidup menempel pada akar atau batang dan hidup membenamkan
diri di dalam lumpur Secara ekologis Gastropoda memiliki peranan yang sangat
penting dan besar dalam rantai makanan. Hal ini disebabkan karena Gastropoda
sebagai pemangsa detritus, pengurai serasah menjadi unsur mikro (Nuha, 2015).

Chicoreus capucinus
Gastropoda yang berada di kawasan mangrove dapat dikelompokan
menjadi tiga yaitu Gastropoda asli mangrove, Gastropoda fakultatif, dan
Gastropoda pengunjung. Jenis Gastropoda asli mangrove merupakan pemakan
serasah

mangrove,

hanya

beberapa

jenis

yang

tergolong

predator.

Universitas Sumatera Utara

23

Jenis-jenis Gastropoda dari suku Muricidae merupakan jenis Gastropoda yang
aktif sebagai predator (Nurrudin, 2015).
C. capucinus, Terebralia sulcata, Clypeomorus coralum, L. scabra, T.
telescopium merupakan jenis asli penghuni hutan mangrove dan memiliki
toleransi yang tinggi terhadap perubahan kondisi lingkungan. Karenanya hanya
hewan-hewan dan tumbuhan yang memiliki toleransi yang besar terhadap
perubahan ekstrim dari faktor-faktor fisik yang dapat bertahan dan berkembang di
hutan mangrove. Spesies ini lebih menyukai daerah yang berbatasan langsung
dengan laut, C. capucinus hidup pada lumpur basah sekitar pangkal pohon
mangrove (Rangan, 2010).

Nerita balteata
Neritidae merupakan Familia yang termasuk dalam Superfamilia
Neritacea, Ordo Archaeogastropoda, Superclass Prosobranchia dan Class
Gastropoda. Neritidae memiliki anggota yang tersebar dari perairan tawar, payau
hingga laut. Beberapa jenis mempunyai karakter khas dalam penyebaran di
habitatnya. Neritidae dikenal dengan sebutan “Neritids snail”. Morfologi
cangkang yang khas memudahkan kita untuk mengenal jenis berdasarkan corak
dan karakter cangkangnya (Hobri, 2013).
Spesies dari genus Nerita berhubungan lebih dekat dengan lingkungan
laut, sementara spesies dari Neritina dan Clithon lebih memilih untuk menghuni
payau atau air tawar habitat. Dengan demikian, beberapa nama telah dibuat dan

Universitas Sumatera Utara

24

banyak yang sekarang dianggap sinonim. Situasi ini memiliki usaha yang rumit
untuk meneliti seluruh Family Neritidae. Meskipun beberapa mencoba untuk
menyelesaikan taksonomi spesies dalam Neritidae (Tan dan Clements, 2008).

Pugilina cochlidium
P. cochlidium (Linnaeus, 1758) umumnya dikenal sebagai "Melongena
spiral", adalah siput yang sangat umum ditemukan di pantai intertidal berlumpur.
Spesies ini biasanya hidup setengah terkubur dalam lumpur, dan dapat tumbuh
hingga 16,5 cm. Daging P. cochlidium adalah kelezatan di Filipina, dan mungkin
digunakan untuk dimakan secara lokal, seperti Chuang mencatat bahwa bekicot
itu secara teratur dikumpulkan. P. cochlidium juga tampil sebagai kerang di
sebuah poster besar di Molluska Malaysia oleh Perikanan Departemen
Departemen Pertanian, Malaysia (Chan, 2009).
Selain berperan di dalam siklus rantai makanan, ada juga jenis Moluska
yang mempunyai nilai ekonomi penting, seperti berbagai jenis kerang-kerangan
dan berbagai jenis keong. Moluska memiliki kemampuan beradaptasi yang cukup
tinggi pada berbagai habitat, dapat mengakumulasi logam berat tanpa mengalami
kematian dan berperan sebagai indikator lingkungan. Moluska memiliki beberapa
manfaat bagi manusia diantaranya sebagai sumber protein, bahan pakan ternak,
bahan

industri,

dan

perhiasan

bahan

pupuk

serta

untuk

obat-obatan

(Wahyuni, dkk., 2016).

Universitas Sumatera Utara

25

Littorina melanostoma
L. melanostoma, hidup yang tinggi di kisaran pasang surut pada vegetasi
mangrove, memiliki sistem reproduksi yang mirip dengan Littorinids lain tapi
ditandai terutama oleh yang tertutup, prostat tubular dan penis sederhana pada
jantan, dan kelenjar pallial spiral pada betina. Telur dilepaskan dalam kapsul
sederhana yang menetas untuk melepaskan larva veliger dalam tujuh hari. Kapsul
telur dilepaskan hampir seluruhnya selama periode pasang surut terkait dengan
bulan purnama. Beberapa betina melepaskan telur di bulan penuh berturut-turut
tetapi tampaknya kemungkinan bahwa banyak betina lebih sering melepaskan
telur di bulan penuh (Berry dan Chew, 1973).
Hutan mangrove memiliki banyak fungsi dalam ekosistem laut dalam
bentuk fungsi ekologis dan ekonomi fungsi. Dalam hal fungsi ekologis, mangrove
merupakan habitat bagi berbagai jenis organisme air atau terestrial organisme.
Selain berfungsi sebagai tempat berlindung, mangrove juga menyediakan bahan
makanan organik, sebagai daerah pemijahan dan merawat organisme laut. Salah
satu kelompok organisme yang menghuni hutan mangrove adalah hewan
Moluska. Itu organisme yang paling umum ditemukan di substat, akar tanaman,
daun, batang, dan ranting. Kelompok Moluska yang Dominan ditemukan di hutan
mangrove adalah dari kelas Gastropoda dan Bivalvia. Hal ini disebabkan
kemampuan kelompok ini beradaptasi dalam menghadapi perubahan lingkungan
yang ekstrim seperti kekeringan mangrove, fluktuasi suhu dan tinggi salinitas.
(Nasution dan Zulkifli, 2014).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Struktur dan Komposisi Vegetasi Mangrove di Dusun II Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara

0 5 102

Hubungan Kerapatan Mangrove Terhadap Kepadatan Moluska di Dusun II Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

2 24 128

Struktur dan Komposisi Vegetasi Mangrove di Dusun II Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara

0 0 16

Struktur dan Komposisi Vegetasi Mangrove di Dusun II Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara

0 0 2

Struktur dan Komposisi Vegetasi Mangrove di Dusun II Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara

0 0 5

Hubungan Kerapatan Mangrove Terhadap Kepadatan Moluska di Dusun II Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 17

Hubungan Kerapatan Mangrove Terhadap Kepadatan Moluska di Dusun II Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Hubungan Kerapatan Mangrove Terhadap Kepadatan Moluska di Dusun II Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 4

Hubungan Kerapatan Mangrove Terhadap Kepadatan Moluska di Dusun II Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 6

Hubungan Kerapatan Mangrove Terhadap Kepadatan Moluska di Dusun II Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 35