Hubungan Sanitasi Dasar dan Higiene Perorangan dengan Infeksi Kecacingan Pada Siswa SD Negeri 067773 Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan MarelanTahun 2016

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Infeksi Kecacingan
Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit

berupa cacing. Cacing umumnya tidak menyebabkan penyakit berat sehingga
sering kali diabaikan walaupun sesungguhnya memberikan gangguan kesehatan.
Tetapi dalam keadaan infeksi berat atau keadaan yang luar biasa, kecacingan
cenderung memberikan analisa keliru ke arah penyakit lain dan tidak jarang dapat
berakibat fatal (Ismid et al, 2008).
Definisi infeksi kecacingan menurut WHO (2011) adalah sebagai infestasi
satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus.
Diantara nematoda usus ada sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah
atau biasa disebut dengan cacing jenis STH (soil transmitted helminths), yaitu
cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale
dan Necator americanus), dan cacing cambuk (Trichuris trichiura ) (Gandahusada,
2006).

Kecacingan ini umumnya ditemukan di daerah tropis dan subtropis dan
beriklim basah dimana hygiene dan sanitasinya buruk. Penyakit ini merupakan
penyakit infeksi paling umum menyerang kelompok masyarakat ekonomi lemah
dan ditemukan pada berbagai golongan usia (WHO, 2011).
Nematoda adalah cacing yang tidak bersegmen, bilateral simetris,
mempunyai saluran cerna yang berfungsi penuh, biasanya berbentuk silindris serta
panjangnya bervariasi dari beberapa milimeter hingga lebih dari satu meter.

Universitas Sumatera Utara

9

Nematoda usus biasanya matang dalam usus halus, dimana sebagian besar cacing
dewasa melekat dengan kait oral atau lempeng pemotong. Cacing ini
menyebabkan penyakit karena dapat menyebabkan kehilangan darah, iritasi dan
alergi (Ismid et al, 2008).
Nematoda melanjutkan kehidupannya melalui siklus hidup (daur hidup)
yang simpel atau kompleks tanpa atau dengan hospes definitif. Kebanyakan
nematoda hanya mempunyai satu hospes tetap, dimana larva langsung pindah dari
satu hospes ke hospes lain atau dari larva bebas ke tuan rumah. Transmisi ke suatu

hospes baru dapat terjadi bila telur atau larva yang matang dan infeksius termakan
oleh hospes tersebut dan bila larva menembus membran mukosa hospes (Irianto,
2009)
2.1.1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
Diseluruh dunia infeksi cacing ini diderita oleh lebih dari 1 miliar orang
dengan angka kematian sekitar 20 ribu jiwa. Askariasis terutama diderita oleh
anak-anak dibawah umur 10 tahun. Askariasis endemik di banyak negara di Asia
Tenggara, Afrika Tengah dan Ameriska Selatan (Soedarto, 2009).
a. Morfologi
Berbentuk gilig (silindris) memanjang, berwarna krem/merah muda
keputihan dan panjangnya dapat mencapai 40 cm. Ukuran cacing betina 20-35 cm,
diameter 3-6 mm dan cacing jantan 15-31 cm dan diameter 2-4 mm. Mulut
terdapat tiga tonjolan bibir berbentuk segitiga (satu tonjolan di bagian dorsal dan
dua lainnya di ventrolateral) dan bagian tengahnya terdapat rongga mulut (buccal
cavity) (Ideham B dan Pusarawati S, 2007).

Universitas Sumatera Utara

10


Cacing jantan, ujung posterior tajam agak melengkung ke ventral seperti
kait, mempunyai 2 buah copulatory spicule panjangnya 2 mm yang muncul dari
orifisium kloaka dan di sekitar anus terdapat sejumlah papillae. Cacing betina,
ujung posterior tidak melengkung ke arah ventral tetapi lurus. Jangka hidup (life
span) cacing dewasa 10 -12 bulan (Ideham B dan Pusarawati S, 2007).

b. Siklus Hidup
Telur cacing yang telah dibuahi yang keluar bersama tinja penderita,
dalam tanah yang lembap dan suhu yang optimal akan berkembangmenjadi telur
infektif, yang mengandung larva cacing. Infeksi terjadi dengan masuknya telur
cacing yang infektif ke dalammulut melalui makanan atau minuman yang
tercemar tanah yang mengandung tinja penderita askariasis (Soedarto, 2008).
Bentuk infektif ini akan menetas menjadi larva di usus halus, larva
tersebut menembus dinding ususmenuju pembuluh darah atau saluran limfa dan
dialirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru menembus dinding
pembuluh darah, lalu melalui dindingalveolus masuk rongga alveolus, kemudian
naik ke trachea melalui bronchiolus danbroncus. Dari trachea larva menuju ke
faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke

dalam esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa.

Seekor cacing betina mulai mampu bertelur, yang jumlah produksi telurnya dapat
mencapai 200.000 butir perhari (Soedarto, 2008).
c. Patologi dan Gejala Klinis
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan
larva. Gangguan karena cacing dewasa biasanya ringan, kadang-kadang penderita

Universitas Sumatera Utara

11

mengalami gangguan usus ringan, seperti mual, nafsu makan berkurang, diare
atau konstipasi. Sedangkan gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat
berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil di dinding
alveolus dan timbul gangguan seperti batuk dan eosinofilia . Pada foto thoraks
tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan tersebut
disebut “Sindrom Loeffler” (Utama, 2009).
Patogenesis A.lumbricoides berhubungan dengan respon imun hospes, efek
migrasi larva, efek mekanis cacing dewasa, dan defisiensi gizi. Larva yang
mengalami siklus dalam jumlah besar akan menyebabkan pneuminitis. Apabila
larva menembus jaringan masuk alveoli, larva mampu merusak epitel bronkus

(Muslim, 2009).
Jumlah cacing mempengaruhi timbulnya gejala. Adapun berbagai macam
gejala yang muncul, seperti :
1. Gejala infeksi cacing yang masih ringan : ditemukannya cacing dalam tinja,
batuk mengeluarkan cacing, nafsu makan berkurang, demam, bunyi mengi
saat bernafas (Wheezing).
2. Gejala Infeksi berat : muntah, nafas pendek, perut buncit, usus tersumbat,
saluran empedu tersumbat (Zulkoni, 2010).
d. Epidemiologi
Cacing ini tersebar luas diseluruh dunia, terutama di daerah tropis dan
subtropis yang kelembaban udaranya tinggi khususnya negara-negara berkembang
seperti Asia dan Afrika. Di beberapa daerah di Indonesia infeksi cacing ini dapat

Universitas Sumatera Utara

12

dijumpai pada lebih dari 60% sampai 90% dari penduduk yang diperiksa tinjanya
(Soedarto, 2008).
e. Diagnosis

Diagonsis dapat ditegakkan dengan mengidentifikasi adanya telur
padafeses dan kadang dapat dijumpai cacing dewasa keluar bersama
feses,muntahan

ataupun

melalui

pemeriksaan

radiologi

dengan

kontras

barium(Soedarmo, 2010).
f. Pencegahan
Melaksanakan prinsip-prinsip kesehatan lingkungan yang baik, misalnya
membuat kakus yang baik untuk menghindari pencemaran tanah dengan tinja

penderita, mencegah masuknya telur cacing yang mencemari makanan atau
minuman dengan selalu memasak makan dan minuman sebelum dimakan atau
diminum, serta menjaga kebersihan perorangan.
Mengobati penderita serta pengobatan massal dengan obat cacing di
daerah endemik dapat memutuskan rantai siklus hidup cacing ini. Pendidikan
kesehatan pada penduduk perlu dilakukan untuk menunjang upaya pencegahan
penyebaran dan pemberantasan askariasis (Soedarto, 2008).
2.1.2 Cacing Tambang ( Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)
Ancylostomaduodenale

dan

Necatoramericanus

masih

merupakan

penyebab masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama di daerah
subtropik dan tropik. Di Indonesia angka prevalensi cacing ini masih cukup tinggi

seperti yang dilaporkan oleh Departemen Kesehatan dan beberapa peneliti.
Tingginya angka prevalensi ini erat hubungannya dengan beberapa faktor, yaitu

Universitas Sumatera Utara

13

karena Indonesia terletak di daerah iklim tropik dimana hal ini merupakan tempat
yang ideal bagi perkembangan telur cacing, kebiasaan hidup yang kurang sehat
seperti kebiasaan buang air besar disembarang tempat dan tanpa alas kaki, dan
juga karena faktor sosial ekonomi (Rampengan, 1997).
a. Morfologi
Cacing dewasa hidup di dalam usus halus manusia, cacing melekat pada
mukosa usus dengan bagian mulutnya yang berkembang dengan baik. Cacing ini
berbentuk silindris dan berwarna putih keabuan. Cacingdewasa jantan berukuran 8
sampai 11 mm sedangkan betina berukuran10 sampai 13 mm. Cacing
N.americanus

betina


dapat

bertelur

±9000butir/hari

sedangkan

cacing

A.duodenale betina dapat bertelur ±10.000butir/hari. Bentuk badan N.americanus

biasanya menyerupai huruf Ssedangkan A.duodenale menyerupai huruf C.
Rongga mulut kedua jeniscacing ini besar. N.americanus mempunyai benda kitin,
sedangkan padaA.duodenale terdapat dua pasang gigi ( Safar, 2010).
Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila ditemukan dalam
tinja disebut sebagai telur hookworm atau telur cacing tambang. Telur cacing
tambang besarnya ±60 x 40 mikron, berbentuk oval, dinding tipis dan rata, warna
putih. Di dalam telur terdapat 4-8 sel. Dalam waktu 1-1,5 hari setelah dikeluarkan
melalui tinja maka keluarlah larva rhabditiform. Larva pada stadium rhabditiform

dari cacing tambang sulit dibedakan. Panjangnya 250 mikron, ekor runcing dan
mulut terbuka. Larva pada stadium filariform (Infective larvae) panjangnya 600700 mikron, mulut tertutup ekor runcing dan panjang oesophagus 1/3 dari panjang
badan (Ismid et al, 2008).

Universitas Sumatera Utara

14

b. Siklus Hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes untuk Ancylostoma duodenale
maupun Necator americanus. Cacing dewasa habitatnya di daerah jejenum dan
duodenum. Telur yang dihasilkan oleh cacing keluar bersama tinja ke lingkungan
luar, dan bila kondisi lingkungan optimal (lembap, hangat, teduh) larva menetas
dalam 1-2 hari. Larva rhabditiformberkembang di dalam tinja dan atau tanah, dan
setelah 5-10 hari larva selanjutnya menjadi larva filarifom (Ideham B dan
Pusarawati S, 2007).
Infeksi pada manusia didapat melalui penetrasi larva filariform yang
terdapat di tanah ke dalam kulit. Setelah masuk ke dalam kulit, pertama-tama
larva di bawa aliran darah vena ke jantung bagian kanan dan kemudian ke paruparu. Larva menembus alveoli, bermigrasi melalui bronki ke trakea dan faring,
kemudian tertelan sampai ke usus kecil dan hidup di sana. Mereka melekat di

mukosa, mempergunakan struktur mulut sementara, sebelum struktur mulut
permanen yang khas terbentuk. Bentuk betina mulai mengeluarkan telur kira-kira
5 (lima) bulan setelah permulaan infeksi, meskipun periode prepaten dapat
berlangsung dari 6-10 bulan. Apabila larva filariform Ancylostoma duodenale
tertelan, mereka dapat berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus tanpa
melalui siklus paru-paru (Gandahusada, 2003).
c. Patologi dan Gejala Klinis
Gejala-gejala awal setelah penetrasi larva ke kulit seringkali tergantung
darijumlah larva. Dapat timbul rasa gatal yang minimal sampai berat

Universitas Sumatera Utara

15

dengankemungkinan infeksi sekunder apabila lesi menjadi vesicular dan terbuka
karenagarukan. Berkembangnya vesikel dari ruam papula eritematosa disebut
sebagai”ground itch”. Pneumonitis yang disebabkan karena migrasi larva
tergantung daripada jumlah larva yang ada. Gejala-gejala infeksi pada fase usus
disebabkan olehnekrosis jaringan usus yang berada dalam mulut cacing dewasa
dan kehilangan darahlangsung dihisap oleh cacing dan terjadinya perdarahan
terus-menerus di tempat asalperlekatannya, yang kemungkinan diakibatkan oleh
sekresi antikoagulan olehcacing (Gandahusada, 2006).
Pada infeksi akut dengan banyak cacing, dapat disertai kelemahan, nausea ,
muntah, sakit perut, diare dengan tinja hitam atau merah (tergantung jumlah darah
yang keluar), lesu dan pucat. Seperti pada infeksi parasit lainnya, jumlah cacing
yang banyak pada anak-anak dapat menimbulkan gejala sisa serius dan kematian.
Pada infeksi kronik, gejala utamanya adalah anemia defisiensi besi dengan tanda
pucat, edema muka dan kaki, lesu dan kadar hemoglobin ≤ 5g/dL. Dapat dijumpai
kardiomegali, serta retardasi mental dan fisik (Gandahusada, 2003).
d. Epidemiologi
Insidens tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di daerah
pedesaan, khususnya di perkebunan. Seringkali pekerja perkebunan yang
langsung berhubungan dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70 %. Tanah
yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan
suhu optimum untuk Necator americanus 28°-32°C, sedangkan untuk A.
duodenale lebih rendah yaitu 23°-25°C. Untuk menghindari infeksi, antara lain

dengan memakai sandal atau sepatu (Ismid et al, 2008).

Universitas Sumatera Utara

16

e. Diagnosis
Pemeriksaan mikroskopis terhadap tinja dilakukan untuk menemukan telur
cacing. Pemeriksaan darah menunjukkan gambaran Hemoglobin menurun, pada
wanita < 11,5 g/dl dan pada pria < 13,5 g/dl. Diagnosis banding untuk infeksi
cacing tambang adalah penyakit Tuberkulosis, anemia dan penyebab gangguan
perut lainnya (Soedarto, 2008).
f. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan memutus rantai lingkaran hidup
cacingsehingga

dapat

mencegah

perkembangannya

menjadi

larva

infektif,mengobati penderita, memperbaiki cara dan sarana pembuangan feses dan
memakai alas kaki (Soedarmo, 2010).
2.1.3Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
Infeksi cacing ini lebih sering terjadi di daerah panas, lembab dan sering
terlihat bersama-sama dengan infeksi Ascaris. Jumlah cacing dapat bervariasi,
apabila jumlah-jumlahnya sedikit, pasien biasanya tidak terpengaruh dengan
adanya cacing ini (Garcia, 1996).
Karena bentuknya mirip cambuk, cacing iini sering disebut cacing cambuk
(whip worm). Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing ini adalah Trichuriasis
(Soedarto, 2008).
a. Morfologi
Manusia adalah hospes utama cacing Trichuris trichiura . Cacing dewasa
berbentuk cambuk dengan 2/5 bagian posterior tubuhnya tebal dan 3/5 bagian

Universitas Sumatera Utara

17

anterior lebih kecil. Cacing jantan memiliki ukuran lebih pendek (3-4cm) daripada
betina dengan ujung posterior yang melengkung ke ventral. Cacing betina
memiliki ukuran 4-5 cm dengan ujung posterior yang membulat. Memiliki bentuk
oesophagus yang khas (Schistosomaoesophagus). Telur berukuran 30-54 x 23
mikron dengan bentukan yang khas lonjong seperti tong (barrel shape) dengan
dua mucoid plug pada kedua ujung yang berwarna transparan (Prianto et al.,
2006).
Cara infeksi adalah telur yang berisi embrio tertelan manusia, larva aktif
akan keluar di usus halus masuk ke usus besar dan menjadi dewasa dan menetap.
Telur yang infektif akan menjadi larva di usus halus pada manusia. Larva
menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limpa
kemudian

terbawa

oleh

darah

sampai

ke

jantung

menuju

paru-paru

(Onggowaluyo, 2002).
b. Siklus Hidup Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
Cacing betina setiap harinya menghasilkan telur 3.000 – 10.000 butir telur
yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur menjadi matang dalam
waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai. Telur matang adalah telur yang
berisi larva yang merupakan infektif. Cara infeksi langsung yaitu bisa secara
kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan
masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa, cacing turun ke usus bagian
distal dan masuk ke dalam colon, terutama sekum, jadi tidak ada siklus paru.

Cacing ini dapat hidup beberapa tahun di usus besar hospes (Gandahusada, 2003).

Universitas Sumatera Utara

18

Masa pertumbuhan, mulai dari telur yang tertelan sampai menjadi cacing
dewasa yang meletakkan telur ialah kira-kira 30 sampai 90 hari. Hidupnya
mungkin selama beberapa tahun (Brown, 1983).
c. Patologi dan Gejala Klinis
Trichuris trichiura menyebabkan dua proses reaksi pada tubuh, yaitu

traumatik pada tempat perlekatan cacing pada mukosa usus dan sekum dan juga
reaksi alergi. Jika hanya sedikit cacing yang menjadi dewasa kerusakan ringan,
tetapi bila banyak dapat menutup lumen apendiks dan kolon asenden (Ideham B
dan Pusarawati S, 2007).
Reaksi alergi juga tergantung dari jumlah cacing. Pada infeksi berat
dapat menyebabkan kolitis, proktitis dan anemia sekunder. Anemia disebabkan
kehilangan darah secara kronis dan desentri yang lama. Gejala umum trikuriasis,
rasa sakit pada daerah epigastrik, abdominal dan lumbal, mual, konstipasi, distensi
abdominal dan flatulen. Prolapsus rekti dapat terjadi pada infeksi berat (Ideham B
dan Pusarawati S, 2007).
d. Epidemiologi
Penyebaran geografis T. trichuira sama A. lumbricoides sehingga
seringkali kedua cacing ini ditemukan bersama-sama dalam satu hospes.
Frekuensinya di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan, frekuensinya
antara 30%-90%. Angka infeksi tertinggi ditemukan pada anak–anak. Faktor
terpenting dalam penyebaran trikuriasis adalah kontaminasi tanah dengan tinja
yang mengandung telur. Telur berkembang baik pada tanah liat, lembab dan teduh
(Onggowaluyo, 2002).

Universitas Sumatera Utara

19

e. Diagnosis
Pada infeks ringan dengan beberapa ekor cacing, tidak tampak gejala atau
keluhan penderita. Tetapi pada infeksi yang berat, penderita akan mengalami
gejala dan keluhan berupa anemia berat, diare berdarah, nyeri perut, mual dan
muntah dan berat badan menurun (Soedarto, 2008).
Pemeriksaan darah pada infeksi yang berat, Hemoglobin dapat berada
dibawah 3 g % dan menunjukkan gambaran eosinofilia (eosinofil > 3 %). Pada
pemeriksaan tinja dapat ditemukan tellur cacing yang khas bentuknya. Pada
infeksi berat melalui pemeriksaan proktoskopi dapat dilihat adanya cacing-cacing
dewasa pada kolon atau rektum penderita (Soedarto, 2008).
f. Pencegahan
Pencegahan

dilakukan

dengan

memperbaiki

cara

dan

sarana

pembuanganfeses, mencegah kontaminasi tangan dan juga makanan dengan
tanahyaitu dengan cara cuci bersih tangan sebelum makan dan sesudah
makan,mencuci sayur-sayuran dan buah-buahan yang ingin dimakan,menghindari
pemakaian feses sebagai pupuk dan mengobati penderita(Soedarmo, 2010).
2.1.4 Dampak Infeksi Kecacingan
Kecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung,
namunsangat

mempengaruhi

dapatmengakibatkan

kualitas

menurunnya

hidup

kondisi

penderitanya.

kesehatan,

gizi,

Kecacingan
kecerdasan

danproduktivitas penderita sehingga secara ekonomi dapat menyebabkanbanyak
kerugian yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas sumberdaya manusia.

Universitas Sumatera Utara

20

Infeksi cacing pada manusia dapat dipengaruhi oleh perilaku,lingkungan tempat
tinggal dan manipulasinya terhadap lingkungan(Wintoko, 2014).
Infeksi cacing gelang yang berat akan menyebabkan malnutrisi dan
gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak. Infeksi cacing
tambang mengakibatkan anemia defesiensi besi, sedangkan Trichuristrichiura
menimbulkan morbiditas yang tinggi (Satari, 2010).
Pada infeksi Trichuris trichiura berat sering dijumpai diare darah,
turunnya berat badan dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan eritrosit
di bawah 2,5 juta dan hemoglobin 30% di bawah normal. Infeksi cacing tambang
umumnya berlangsung secara menahun, cacing tambang ini sudah dikenal sebagai
penghisap darah. Seekor cacing tambang mampu menghisap darah 0,2 ml per hari.
Apabila terjadi infeksi berat, maka penderita akan kehilangan darah secara
perlahan dan dapat menyebabkan anemia berat (Ismid et al, 2008).
2.1.5 Upaya Pengendalian dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan
Adapun yang menjadi upaya pengendalian dan pemberantasan Infeksi
kecacingan adalah sebagai berikut ;
1.
a.

Memutuskan daur hidup dengan cara
Defekasi jamban, menjaga kebersihan, cukup air bersih di jamban, untuk
mandi dan cuci tangan secara teratur, penyuluhan kepada masyarakat
mengenai sanitasi lingkungan yang baik dan cara menghindari infeksi
cacing, dan memberikan pengobatan massal dengan obat antelmintik yang
efektif, terutama pada golongan rawan (Utama, 2009)

Universitas Sumatera Utara

21

b.

Kebersihan perorangan terutama tidak kontak dengan tinja, tidak BAB di
tanah, menggunakan sarung tanga apabila hendak berkebun, mengkonsumsi
makanan dan minuman yang dimasak, pendidikan kesehatan, dan sanitasi
lingkungan (Ideham B dan Pusarawati S, 2008).

c.

Mengendalikan ketentuan-ketentuan sanitasi jamban dan pembuangan tinja,
menggunakan pelindung alas kaki, mencuci sayuran yang kemungkinan
terkontaminasi larva, menghindari sayuran lalapan seperti salad, tidak
menggunakan tinja sebagai pupuk, dan perbaikan kondisi sanitasi
lingkungan yang buruk (Zaman Viqar, 2008)
Penyuluhan kepada masyarakat penting sekali dan dititikberatkan pada

perubahan kebiasaan dan mengembangkan sanitasi lingkungan yang baik dimana
pada pengobatan massal sulit dilaksanakan mekipun ada obat yang ampuh karena
harus di lakukan 3−4 kali setahun dan harga obat tidak terjangkau. Dengan
demikian keadaan endemi dapat dikurangi sampai angka kesakitan (morbiditas)
yang tinggi diturunkan (Utama, 2009).
2.2

Sanitasi Dasar
Menurut Widyati (2005) sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit

yang menitik beratkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia.
Menurut Depkes (2002) sanitasi adalah pencegahan penyakit dengan mengurangi
atau mengendalikan faktor-faktor lingkungan fisik yang berhubungan dengan
rantai penularan penyakit. Pengertian lain dari sanitasi adalah upaya pencegahan
penyakit melalui pengendalian faktor lingkungan yang menjadi mata rantai
penularan penyakit.

Universitas Sumatera Utara

22

Sanitasi dasar adalah sanitasi minimum yang diperlukan untuk
menyediakan lingkungan sehat yang memenuhi syarat kesehatan yang
menitikberatkan

pada

pengawasan

berbagai

faktor

lingkungan

yang

mempengaruhi derajat kesehatan manusia. (Azwar, 1995).
Upaya sanitasi dasar meliputi sarana air bersih, pembuangan kotoran
manusia (jamban), pengelolaan sampah dan saluran pembuangan air limbah.
2.2.1

Sarana Air Bersih
Air merupakan kebutuhan manusia, juga manusia selama hidupnya selalu

memerlukan air (Slamet, 2009). Manusia akan lebih cepat meninggal karena
kekurangan air daripada kekurangan makanan. Di dalam tubuh manusia itu sendiri
sebagian besar terdiri dari air. Tubuh orang dewasa, sekitar 55-60 % berat badan
terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar 65 %, dan untuk bayi sekitar 80 %
(Chandra, 2007)
Sekitar tiga per empat bagian dari tubuh kita terdiri dari air dan tidak
seorangpun dapat bertahan hidup lebih dari 4-5 hari tanpa minum air. Selain itu,
air juga dipergunakan untuk memasak, mencuci, mandi, dan membersihkan
kotoran yang ada di sekitar rumah. Air juga digunakan untuk keperluan industri,
pertanian, pemadam kebakaran, tempat rekreasi, transportasi, dan lain-lain.
Penyakit-penyakit yang menyerang manusia dapat juga ditularkan dan disebarkan
melalui air. Kondisi tersebut tentunya dapat menimbulkan wabah penyakit
dimana-mana (Chandra, 2007).
Berdasarkan

Peraturan

Menteri

Kesehatan

RI

No.

416/MenKes/Per/IX/1990, yang di maksud air bersih adalah air bersih yang

Universitas Sumatera Utara

23

digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat
kesehatan dan dapat diminum apabila telah di masak. Air bersih merupakan salah
satu kebutuhan manusia untuk memenuhi standar kehidupan manusia secara sehat.
Ditinjau dari sudut ilmu kesehatan masyarakat, penyediaan sumber air
bersih harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena persediaan air bersih
yang terbatas memudahkan timbulnya penyakit di masyarakat. Volume rata-rata
kebutuhan air setiap individu per hari berkisar antara 150-200 liter atau 35-4O
galon. Kebutuhan air tersebut bervariasi dan bergantung pada keadaan iklim,
standar kehidupan, dan kebiasaan masyarakat. Berbagai keperluan seperti mandi,
mencuci kakus dan wudhu membutuhkan air yang memenuhi syarat dari segi
kualitas dan mencukupi dari segi kuantitas (Chandra, 2007).
Untuk itu penyediaan air bersih harus memenuhi persyaratan dari segi :
a. Kualitas : Tersedia air bersih yang memenuhi syarat kesehatan (fisik,
kimia, dan bakteriologis).
b. Kuantitas : Tersedia air bersih minimal 60 liter/hari
c. Kontinuitas : Air minum dan air bersih tersedia pada setiap kegiatan yang
dibutuhkan secara berkesinambungan.
Syarat kualitas air secara fisik adalah tidak berwarna, tidak berasa, tidak
berbau dan jernih. Secara kimia air yang baik tidak tercemar secara berlebihan
oleh zat-zat kimia ataupun mineral terutama zat-zat yang berbahaya bagi
kesehatan. Dan syarat bakteriologis semua air minum hendaknya dapat terhindar
dari kemungkinan terkontaminasi bakteri terutama bakteri pathogen.

Universitas Sumatera Utara

24

Penyakit yang ditularkan melalui air disebut sebagai waterborne disease
atau water-related disease. Terjadinya suatu penyakit tentunya memerlukan
adanya agen dan terkadang vektor. Berikut beberapa contoh penyakit yang dapat
ditularkan melalui air berdasarkan tipe agen peenyebabnya (Chandra, 2007) :
1. Penyakit viral, misalnya hepatitis viral, poliomielitis.
2. Penyakit bakterial, misalnya kolera, disentri, tifoid, diare.
3. Penyakit protozoa, misalnya amoebiasis, giardiasis.
4. Penyakit helmintik, misalnya kecacingan (askariasis, whip worm).
5. Leptospiral, misalnya Weil's disease.
Sementara itu, penyakit-penyakit yang berhubungan dengan air dapat
dibagi dalam kelompok-kelompok berdasarkan cara penularannya. Mekanisme
penularan penyakit sendiri terbagi menjadi empat (Chandra, 2007), yaitu :
1. Waterborne mechanism
Di dalam mekanisme ini, kuman patogen dalam air yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia ditularkan kepada manusia melalui mulut atau sistem
pencernaan. Contoh penyakit yang ditularkan melalui mekanisme ini antara lain
kolera, tifoid, hepatitis viral, disentri basiler, dan poliomielitis.
2. Waterwashed mechanism
Mekanisme penularan semacam ini berkaitan dengan kebersihan umum dan
perseorangan. Pada mekanisme ini terdapat tiga cara penalaran, yaitu:
a. Infeksi melalui alat pencernaan, seperti diare pada anak-anak.
b. Infeksi melalui kulit dan mata, seperti skabies dan trakhoma.
c. penularan melalui, binatang pengerat sepert, pada penyakit leptospirosis.

Universitas Sumatera Utara

25

3. Water-based mechanism
Penyakit yang ditularkan dengan mekanisme ini memiliki agen penyebab yang
menjalani sebagian siklus hidupnya di dalam tubuh vektor atau sebagai
intermediate host yang hidup di dalam air. Penyakit yang masuk dalam golongan

ini adalah Schistosimiasis, cacing Guinea .
4. Water-related insect vector mechanism
Penyakit yang disebabkan oleh insekta yang berkembangbiak atau memperoleh
makanan di sekitar air sehingga insiden – insidennya dapat dihubungkan dengan
dekatnya sumber air yang cocok, misalnya penyakit malaria, DBD, filariasis dan
yellow fever.

Hasil penelitian Mudmainah (2003), menunjukkan bahwa ada hubungan
penyediaan air bersih dengan infeksi kecacingan dengan prevalensi kecacingan
lebih banyak ditemukan pada siswa Sekolah Dasar yang penyediaan air bersihnya
kurang (57%). Kurangnya penyediaan air bersih terutama sebagai penggelontor
kotoran, air untuk cebok serta cuci tangan sebelum dan sesudah makan, setelah
BAB (buang air besar) menimbulkan infeksi kecacingan. Kecacingan juga dapat
terjadi jika mengkonsumsi air yang telah tercemar kotoran manusia atau binatang
karena di dalam kotoran tersebut terdapat telur cacing (PHBS dan Penyakit
berbasis lingkungan).
2.2.2

Pembuangan Tinja (Jamban)
Pembuangan kotoran (tinja) manusia merupakan bagian yang penting

dalam kesehatan lingkungan. Di sebagian besar negara-negara, pembuangan tinja
yang layak merupakan kebutuhan kesehatan masyarakat yang mendesak.

Universitas Sumatera Utara

26

Pembuangan yang tidak saniter dari tinja manusia dapat menyebabkan terjadinya
kontaminasi terhadap air tanah dan sumber-sumber air bersih. Kondisi ini
mengakibatkan agen penyakit dapat berkembang biak dan menyebarkan infeksi
terhadap manusia (Chandra, 2007).
Pembuangan tinja yang buruk sering sekali berhubungan dengan
kurangnya penyediaan air bersih dan fasilitas kesehatan lainnya. Kondisi-kondisi
demikian ini akan berakibat terhadap kesehatan serta mempersulit penilaian
peranan masing-masing komponen dalam transmisi penyakit (Kusnoputranto,
1986).
Pembuangan tinja yang tidak saniter akan menyebabkan berbagai macam
penyakit seperti : Diare, Cholera, Dysentri, Poliomyelitis, Infeksi kecacingandan
sebagainya. Kotoran manusia merupakan buangan padat. Selain menimbulkan
bau, mengotori lingkungan juga merupakan media penularan penyakit pada
masyarakat (Chandra, 2007).
Penyebaran penyakit yang bersumber pada tinja dapat melalui berbagai
macam jalan atau cara. Hal ini dapat dilihat seperti gambar berkut ini :
Air

Mati

Tangan
Makanan

Tinja
Lalat

Pejamu

Minuman
Sayuran

Tanah

Sakit

Gambar 2.1. Jalur pemindahan kuman penyakit dari tinja ke pejamu yang baru
(Wagner & Lanoix, 1958 dalam Soeparman, 2001)

Universitas Sumatera Utara

27

Dari gambar tersebut tampak jelas bahwa proses pemindahan kuman
penyakit dari tinja sebagai pusat infeksi sampai pejamu dapat melalui berbagai
media perantara, antara lain air, tangan, serangga, tanah, makanan dan minuman.
Pembuangan tinja dan limbah cair yang saniter akan memutuskan mata rantai
penularan penyakit dengan menghilangkan faktor ke empat dari enam faktor itu
dan merupakan penghalang sanitasi kuman penyakit untuk berpindah dari tinja ke
pejamu potensial (Soeparman, 2001).
Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan
mengumpulkan kotoran/najis yang lazim disebut WC, sehingga kotoran atau najis
tersebut berada dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau
penyebar penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman (Ditjen P2M & PLP,
1998).
Dalam mendirikan jamban harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
(Azwar, 1995)
1. Harus tertutup, dalam arti bangunan tersebut terlindungi dari pandangan orang
lain, terlindungi dan panas, hujan, syarat ini terpenuhi apabila diadakan
ruangan tersendiri untuk kakus di rumah atau mendirikan rumah kakus di
pekarangan.
2. Bangunan kakus ditempatkan pada lokasi yang tidak sampai mengganggu
pemandangan, tidak menimbulkan bau, serta tidak menjadi tempat hidupnya
pelbagai macam binatang.
3. Bangunan kakus mempunyai lantai yang kuat, mempunyai tempat berpijak
yang kuat, terutama jika mendirikan kakus model cemplung.

Universitas Sumatera Utara

28

4. Mempunyai lubang closet yang kemudian melalui saluran tertentu dialirkan
pada sumur penampung dan atau sumur rembesan, terutama disyaratkan jika
mendirikan kakus model pemisahan bangunan kakus dengan tempat
penampungan dan atau rembesan.
5. Menyediakan alat pembersih (air ataupun kertas) yang cukup, sedemikian rupa
sehingga dapat segera dipakai setelah melakukan buang kotoran.
Menurut Depkes RI tahun 2014 syarat-syarat jamban yang memenuhi
kesehatan, yaitu:
1. Tidak mencemari sumber air minum, letak lubang penampung berjarak 10-15
meter dari sumber air minum
2. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus. Umtuk
itu tinja harus tertutup rapat misalnya dengan menggunakan jamban leher
angsa atau penutup lubang rapat
3. Cukup luas dan landai/miring ke arah lubang jongkok sehingga tidak
mencemari tanah di sekitarnya.
4. Mudah dibersihkan dan aman digunakan.
5. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna terang.
6. Cukup penerangan.
7. Lantai kedap air.
8. Ventilasi cukup baik.
9. Tersedia air dan alat pembersih
Hasil penelitian Mudmainah (2003) menunjukkan bahwa ada hubungan antara
pembuangan kotoran dengan infeksi kecacingan (52,4%). Pembuangan tinja

Universitas Sumatera Utara

29

sembarangan dapat menimbulkan infeksi kecacingan. Tinja yang dibuang
sembangan tempat memberi peluang besar untuk cacing berkembang biak.
2.2.3. Pengelolaan Sampah
Sampah dalam ilmu kesehatan lingkungan sebenarnya hanya sebagian dari
benda atau hal-hal yang dipandang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak
disenangi, atau harus dibuang, sedemikian rupa sehingga tidak sampai
mengganggu kelangsungan hidup (Azwar,1995).
Sampah erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat, merupakan tempat
hidup berbagai mikroorganisme penyebab penyakit (bakteri patogen), oleh sebab
itu sampah harus dikelola dengan baik. Pengelolaan sampah meliputi tiga hal
meliputi: (Chandra, 2007)
1.

Penyimpanan Sampah
Penyimpanan sampah maksudnya ialah tempat sampah sementara, sebelum

sampah tersebut dikumpulkan, untuk kemudian diangkut serta dibuang
(dimusnahkan). Untuk itu perlu disediakan tempat sampah, yang lazimnya
ditemui di rumah tangga, kantor, restoran, hotel dll. Syarat tempat sampah harus
dengan konstruksi yang kuat agar tidak mudah bocor sehingga sampah tidak
berserak, tempat sampah mempunyai tutup yung mudah dibuka dan ditutup dan
mudah dibersihkan. Ukuran tempat sampah sedemikian rupa sehingga mudah
diangkat oleh satu orang.
2.

Pengumpulan sampah
Volume sampah yang akan dikumpulkan cukup besar, sehingga harus

memenuhi syarat antara lain: Dibangun di atas permukaan setinggi kenderaaan

Universitas Sumatera Utara

30

pengangkut sampah, mempunyai dua buah pintu untuk tempat masuk dan
keluarnya sampah, perlu ada lubang ventilasi bertutup kawat kasa untuk
mencegah masuknya lalat, tidak menjadi tempat tinggal lalat dan tikus, mudah
dicapai baik oleh masyarakat yang akan menggunakannya atau kenderaan
pengangkut sampah. Dalam pengumpulan sampah dikenal sistem duet artinya
tersedia dua tempat sampah yang satu untuk sampah basah yang lainnya untuk
sampah kering dan sistem trio sama dengan sistem duet tetapi untuk sampah
kering dibedakan yang mudah dibakar dan yang tidak mudah dibakar (kaca,
kaleng, dll).
3.

Pembuangan sampah
Sampah yang telah dikumpulkan selanjutnya perlu dibuang untuk

dimusnahkan. Beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam membangun tempat
pembuangan sampah antara: Dibangun tidak dekat dengan sumber air minum atau
sumber air lainnya yang dipergunakan oleh manusia (mencuci, mandi dll), tidak
pada tempat yang sering kena banjir, jauh dari tempat tinggal manusia. Pedoman
yang digunakan sekitar 2 km dari perumahan penduduk, sekitar 15 km dari laut
dan sekitar 200 m dari sumber air bersih.
Sistem pembuangan sampah dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara
lain (Chandra, 2007) :
a.

Sanitary landfill
Sanitary landfill adalah sistem pembuangan sampah yang paling baik.

Pembuangan sampah dilakukan dengan cara menimbun sampah dengan tanah
yang dilakukan selapis demi selapis. Dengan demikian sampah tidak berada di

Universitas Sumatera Utara

31

alam terbuka dan tentunya tidak menimbulkan bau atau menjadi sarang binatang
pengerat.
b.

Incineration
Incineration merupakan suatu metode pembakaran sampah secara besar-

besaran melalui fasilitas (pabrik) yang dibangun khusus.
c.

Composting

Pengolahan sampah menjadi pupuk, yakni dengan terbentuknya zat-zat
organik yang menyuburkan tanah.
d.

Hog Feeding

Diperkirakan 25% dari jumlah garbage yang diproduksi setiap hari
dipergunakan manusia untuk makanan babi, bila ditinjau dari segi kesehatan hal
ini akan mendatangkan masalah, terutama jika garbage ini tidak direbus terlebih
dahulu. Dari hasil penelitian, babi yang diberi makan garbage yang tidak direbus
akan lebih mudah menderita cacing pita serta cacing hati.
e.

Discharge to sewers

Sampah telah dihaluskan terlebih dahulu dan kemudian dibuang ke dalam
saluran pembuangan air limbah.
f.

Dumping

Pembuangan dengan diletakkan saja di atas permukaan tanah. Cara ini banyak
segi negatifnya terutama jika sampah tersebut mudah membusuk.
g.

Dumping in water

Universitas Sumatera Utara

32

Prinsipnya sama dengan dumping tetapi disini sampah dibuang ke dalam air
(sungai atau laut). Akibatnya, terjadi pencemaran pada air dan pendangkalan yang
bisa menimbulkan banjir.
h.

Individual Incineration

Pembakaran sampah yang dilakukan secara perorangan ini biasa dilakukan
oleh penduduk terutama di daerah perdesaan.
i.

Recycle

Pengolahan sampah dengan maksud pemakaian kembali unsur-unsur yang
masih bisa digunakan (kaleng, kaca, dll)
j.

Reduction

Metode ini diterapkan dengan cara menghancurkan sampah sampai ke bentuk
yang lebih kecil, kemudian diolah untuk menghasilkan lemak.
k.

Salvaging

Pemanfaatan sammpah yang dapat dipakai kembali misalnya kertas bekas.
Bahayanya adalah bahwa metode ini dapat menularkan penyakit.
Pembuangan kotoran, air buangan dan sampah, serta pemeliharaan
lingkungan rumah, juga berperan penting dalam penanggulangan penyebaran
kecacingan. Menurut Hadiwartomo (1994) di Jakarta ditemukan 37.5%
pekarangan rumah positif telur Ascaris lumbricoides. Menurut Ismid et al. (1980)
seperti yang dikutip Hidayat (2002), di halaman rumah telur cacing gelang banyak
ditemukan di sekitar tumpukan sampah (55%) dan tempat teduh di bawah pohon
(33,3%). Penelitian Hadidjaja et al (1989) menunjukkan bahwa 14 - 24 % sample
air limbah (got) yang diperiksa ternyata positif mengandung telur cacing Ascaris

Universitas Sumatera Utara

33

lumbricoides. Telur Ascaris juga banyak ditemukan di sekitar sumur, tempat cuci,

dekat jamban, pinggir kali dan bahkan di dalam rumah.
Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat secara langsung maupun tidak
langsung. Pengaruh langsung adalah karena kontak langsung dengan sampah
misalnya sampah beracun. Pengaruh tidak langsung dapat dirasakan akibat proses
pembusukan, pembakaran dan pembuangan sampah. Efek tidak langsung dapat
berupa penyakit bawaan, vektor yang berkembang biak di dalam sampah.
Mengingat efek daripada sampah terhadap kesehatan maka pengelolaan
sampah harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Tersedia tempat sampah yang dilengkapi dengan penutup
2. Tempat sampah terbuat dari bahan yang kuat, tahan karat, permukaan
bagian dalam rata dan dilengkapi dengan penutup
3. Tempat sampah dikosongkan setiap 1 x 24 jam atau 2/3 bagian telah terisi
penuh.
2.2.4. Saluran Pembuangan Air limbah
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2001,
air limbah adalah sisa dari suatu usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair.
Menurut Ehless dan Steel air limbah adalah cairan buangan yang berasal dari
rumah tangga, industri, dan tempat-tempat umum lainnya dan biasanya
mengandung bahan-bahan atau zat yang dapat membahayakan kehidupan manusia
serta mengganggu kelestarian lingkungan (Chandra, 2007).
Air limbah rumah tangga terdiri dari tiga fraksi penting:
1. Tinja, (faeces ), berpotensi mengandung mikroba patogen

Universitas Sumatera Utara

34

2. Air seni (urine ), umumnya mengandung Nitrogen dan Posfor, serta
kemungkinan kecil mikroorganisme.
3. Grey water , merupakan air bekas cucian dapur, mesin cuci dan kamar mandi.
Grey water sering juga disebut dengan istilah sullage. Campuran faeces dan

urine disebut sebagai excreta, sedangkan campuran excreta dengan air bilasan
toilet disebut sebagai black water. Mikroba patogen banyak terdapat pada
excreta. Excreta ini merupakan cara transport utama bagi penyakit bawaan air
Menurut Chandra (2007) secara garis besar karakteristik air limbah ini
digolongkan menjadi sebagai berikut:
1.

Karakteristik Fisik
Sebagian terdiri dari air dan sebagian kecil terdiri dari bahan padat dan

tersuspensi. Terutama air limbah rumah tangga, biasanya berwarna suram seperti
larutan sabun, sedikit berbau. Kadang-kadang mengandung sisa-sisa kertas,
berwarna bekas cucian beras dan sayur, bagian-bagian tinja dan sebagainya.
2.

Karakteristik kimiawi
Air limbah biasanya bercampur dengan zat kimia anorganik yang berasal dari

air bersih dan zat organik yang berasal dari limbah itu sendiri, saaat keluar dari
sumber, air limbah bersifat basa. Namun, air limbah yang sudah lama membusuk
akan bersifat asam karena sudah mengalami proses dekomposisi yang dapat
menimbulkan bau yang tidak menyenangkan.
3.

Karakteristik bakteriologis
Bakteri patogen yang terdapat dalam air limbah biasanya termasuk golongan

E. coli.

Universitas Sumatera Utara

35

Menurut Chandra (2007) ada 5 cara pembuangan air limbah rumah tangga, yaitu:
1. Pembuangan umum, yaitu melalui tempat penampungan air limbah yang
terletak dihalaman.
2. Digunakan untuk menyiram tanaman dikebun
3. Dibuang ke lapangan peresapan
4. Dialirkan ke saluran terbuka
5. Dialirkan ke saluran tertutup atau selokan.
Halaman sering dijadikan arena bermain anak-anak, bahkan tidak jarang
digunakan untuk tempat buang air besar yang memungkinkan telur cacing untuk
tidak cepat matang sehingga potensi untuk menularkan tetap besar.
Air limbah yang mengandung mikroorganisme patogen dan berasal dari
pembersihan kamar mandi mungkin dapat menginfeksi anak-anak yang sedang
bermain di halaman. Jika kondisi tanah kurang dapat di tembus air, sementara
penggunan air atau kepadatan rumah tinggi, metode pembuangan air limbah yang
memenuhi syarat mutlak diperlukan (Chandra, 2007).
Syarat dan upaya untuk mencegah atau mengurangi akibat buruk dari air
limbah, yaitu :
a.

Tidak mengakibatkan kontaminasi terhadap sumber air minum

b.

Tidak menyebabkan pencemaran air

c.

Tidak mengakibatkan pencemaran terhadap permukaan tanah

d.

Tidak menjadi tempat berkembang biaknya bibit penyakit dan vekor

e.

Kondisi tidak terbuka karena jika terbuka saat tidak diolah terkena udara
luar akan mengangu pernafasan, terutama anak-anak (Notoatmodjo, 2007).

Universitas Sumatera Utara

36

2.3

Higiene Perorangan
Hygiene adalah seluruh kondisi atau tindakan untuk meningkatkan

kesehatan. Hygiene adalah ilmu yang berkaitan dengan pencegahan penyakit dan
pemeliharaan kesehatan. Pengertian hygiene juga mencakup usaha perawatan diri
yang disebut Personal Hygiene (higieneperorangan) (Merriam W, 2009).
Menurut Entjang (2001) Higiene perorangan adalah upaya dari seseorang
untuk memelihara kesehatannya dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri
meliputi:
a. Memelihara kebersihan
b. Makanan yang sehat
c. Cara hidup yang teratur
d. Meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani
e. Menghindari terjadinya penyakit
f. Meningkatkan taraf kecerdasan dan kerohanian
g. Melengkapi rumah dengan fasilitas yang menjamin hidup sehat
h. Pemeriksaan kesehatan
Higiene merupakan hal yang sangat penting diperhatikan terutama pada
masa-masa perkembangan. Dengan kesehatan pribadi yang buruk pada masa
tersebut akan dapat mengganggu perkembangan kualitas sumber daya manusia.
Higiene yang belum memadai merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
tingginya prevalensi kecacingan. Menurut Azwar (1996) Higiene adalah usaha
kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap
kesehatan manusia, upaya untuk mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh

Universitas Sumatera Utara

37

lingkungan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga
terjamin pemeliharaan kesehatan. Keadaan higiene yang tidak baik seperti tangan
dan kuku yang kotor, kebersihan diri dan penggunaan alas kaki hal ini dapat
menimbulkan infeksi kecacingan.
Untuk menjaga kesehatan pribadi tentu saja tidak lepas dari kebiasaankebiasaan sehat yang dilakukan setiap hari. Pemeliharaan kebersihan perorangan
diperlukan untuk kenyamanan individu, keamanan dan kesehatan. Higiene
perseorangan pada anak Sekolah Dasar meliputi kebersihan tangan, kaki, dan
kuku. Pemeliharaan kesehatan dilakukan dengan mencuci tangan dengan sabun
sebelum makan, memotong kuku secara teratur, membersihkan lingkungan dan
mencuci kaki sebelum tidur (Potter, 2005).
Tanah merupakan media yang diperlukan cacing untuk melalukan proses
perkembangbiakannya. Larva filariform dalam tanah dapat menembus kulit
terutama kulit tangan dan kaki yang kontak langsung dengan tanah. Untuk
menghindari hal tersebut, maka ketika bermain hendaklah memakai alas kaki
(Soedarto, 2008).
Menurut World Health Organization (WHO)tangan adalah salah satu jalur
utama masuknya kuman penyakit ke dalam tubuh. Sebab, tangan merupakan alat
tubuh yang paling sering berhubungan langsung dengan mulut dan hidung.
Tangan yang kotor sangat beresiko terhadap masuknya mikroorganisme. Cuci
tangan berfungsi untuk menghilangkan/mengurangi mikroorganisme yang
menempel di tangan.

Universitas Sumatera Utara

38

Cuci tangan harus dilakukan dengan menggunakan air bersih dan sabun.
Air yang tidak bersih banyak mengandung kuman dan bakteri penyebab penyakit.
Bila digunakan, kuman akan berpindah dan akan masuk ke dalam tubuh ketika
makan. Sabun dapat membersihkan kotoran dan membunuh kuman yang ada pada
tangan. Mencuci tangan dengan air dan sabun lebih efektif membersihkan kotoran
dan dan telur cacing yang menempel pada permukaan kulit, jari-jari dan kuku
pada kedua tangan (Proverawati & Rahmawati, 2012).
Menurut Onggowaluyo (2002) kuku yang terawat dan bersih merupakan
cerminan keperibadian seseorang. Kuku yang panjang dan tidak terawat akan
menjadi tempat melekatnya berbagai kotoran yang mengandung bahan dan
mikroorganisme diantaranya bakteri dan telur cacing. Penularan kecacingan
diantaranya melalui tangan yang kotor, kuku yang kotor yang kemungkinan
terselip telur cacing akan tertelan ketika makan. hal ini diperparah lagi apabila
tidak terbiasa mencuci tangan memakai sabun sebelum makan.
Hasil penelitian Zukhriadi (2008) menunjukkan ada hubungan bermakna
antara higiene perorangan dengan infeksi kecacingan, yaitu tidak ada kebiasaan
cuci

tangan (67,5%), kebiasaan kontak dengan tanah (68,3%), jarang

menggunaan alas kaki (13,3%), kuku yang tidak bersih (60%).
Menurut Mudmainah (2003), kuku yang terawat dan bersih merupakan
cerminan kepribadian seseorang, kuku yang panjang dan tidak terawat akan
menjadi tempat melekatnya berbagai kotoran yang mengandung mikroorganisme
diantaranya telur cacing. Penularan kecacingan diantaranya melalui tangan yang
kotor, dan tidak mencuci tangan memakai sabun sebelum makan (52,5%).

Universitas Sumatera Utara

39

Higiene perorangan juga sangat berhubungan dengan sanitasi lingkungan,
artinya apabila melakukan higiene perorangan harus diikuti atau didukung oleh
sanitasi lingkungan yang baik, kaitan keduanya dapat dilihat, misalnya pada saat
mencuci tangan sebelum makan dibutuhkan air bersih, yang harus memenuhi
syarat kesehatan (Jalalluddin, 2008).
2.4 Kerangka Konsep Penelitian
Karakteristik Responden
- Umur
- Jenis Kelamin

Sanitasi Dasar
- Sarana air bersih
- Pembuangan tinja(jamban)
- Saluran pembuangan air
limbah
- Pengelolaan sampah

Kejadian Infeksi

Positif

Kecacingan

Negatif

Higiene Perorangan
- Kebersihan kuku
- Kebiasaan\ cuci tangan
- Kebiasaan kontak
dengan tanah
- Penggunaan alas kaki

Pemeriksaan
Tinja (Faeces)
di Laboratorium

Universitas Sumatera Utara

40

2.5 Hipotesis penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Ada hubungan Sanitasi dasar (sarana air bersih, pembuangan tinja (jamban),
saluran pembuangan air limbah dan pengelolaan sampah) dengan Infeksi
kecacingan pada siswa SD Negeri 067773 di Kelurahan Paya Pasir
Kecamatan Medan Marelan Tahun 2016.
2. Ada hubungan Higiene perorangan dengan Infeksi kecacingan pada siswa SD
Negeri 067773 di Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan Tahun
2016.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Hubungan Higiene Perorangan dan Perilaku Anak Sekolah Dasar Dengan Terjadinya Infeksi Kecacingan Di SD Negeri 1 Kecamatan Hinai Kabupaten Langkat Tahun 2003

7 48 76

Hubungan Higiene Perorangan Pemulung Makanan Sisa Dengan Infeksi Kecacingan Di Kelurahan Padang Bulan Medan Tahun 2006.

1 35 93

Hubungan Higiene Perorangan Siswa Dengan Infeksi Kecacingan Anak SD Negeri Di Kecamatan Sibolga Kota Kota Sibolga

5 31 138

Hubungan Sanitasi Dasar dan Higiene Perorangan dengan Infeksi Kecacingan Pada Siswa SD Negeri 067773 Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan MarelanTahun 2016

1 9 148

Hubungan Sanitasi Dasar dan Higiene Perorangan dengan Infeksi Kecacingan Pada Siswa SD Negeri 067773 Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan MarelanTahun 2016

0 0 16

Hubungan Sanitasi Dasar dan Higiene Perorangan dengan Infeksi Kecacingan Pada Siswa SD Negeri 067773 Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan MarelanTahun 2016

0 0 2

Hubungan Sanitasi Dasar dan Higiene Perorangan dengan Infeksi Kecacingan Pada Siswa SD Negeri 067773 Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan MarelanTahun 2016

0 0 7

Hubungan Sanitasi Dasar dan Higiene Perorangan dengan Infeksi Kecacingan Pada Siswa SD Negeri 067773 Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan MarelanTahun 2016

0 5 5

Hubungan Sanitasi Dasar dan Higiene Perorangan dengan Infeksi Kecacingan Pada Siswa SD Negeri 067773 Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan MarelanTahun 2016

0 0 39

Hubungan Higiene Perorangan dengan Kejadian Kecacingan pada Murid SD Negeri Abe Pantai Jayapura

0 1 11