Optimasi konsentrasi Hidroksipropil Metilselulosa (HPMC) sebagai polimer hydrocolloid matrix diabetic wound healing dengan zat aktif piroksikam.

(1)

OPTIMASI KONSENTRASI HIDROKSIPROPIL METILSELULOSA (HPMC) SEBAGAI POLIMER HYDROCOLLOID MATRIX DIABETIC

WOUND HEALING DENGAN ZAT AKTIF PIROKSIKAM

Gracia Elwy Nona Sanjivany

Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Kampus III Paingan, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta, 55282, Indonesia.

Telp. (0274) 883037, Fax. (0274) 886529

gracia.elwy@gmail.com ABSTRAK

Peningkatan enzim MMP-9 secara berlebihan pada penderita diabetes mellitus menjadi penyebab utama terjadinya komplikasi ulkus kaki diabetik. Piroksikam memiliki aktivitas penghambatan enzim MMP-9 diduga mampu mempercepat penyembuhan ulkus kaki diabetik. Hydrocolloid dressing

direkomendasikan untuk pengobatan ulkus kaki diabetik. HPMC digunakan sebagai polimer untuk mengontrol pelepasan zat aktif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi HPMC yang optimal sebagai polimer hydrocolloid diabetic wound healing matrix. Karakteristik fisikokimia dievaluasi. Formula optimal diaplikasikan setiap 24 jam pada luka eksisi tikus jantan terinduksi dan tidak terinduksi aloksan. Persen penutupan luka dihitung hingga 100% dan dilanjutkan uji histopatologi. Hasil evaluasi sediaan dan penutupan luka dianalisis menggunakan software R pada taraf kepercayaan 95%. Berdasarkan analisis statistik, F2 adalah formula optimal karena memiliki DE360 paling besar (53,05±8,894%), kemampuan menyerap lembab yang besar (19,96±1,228% dan 4,5x10-4±6x10-5g/jam), persen kandungan obat (81,568±15,867%), stabil pada suhu 37oC (84,258±4,093%), sertaterdapat perbedaan antara lama waktu penyembuhan antarluka pada kelompok tikus normal dan diabetes (p-value <0,05). Hasil uji histopatologi menunjukkan hydrocolloid matrix dengan zat aktif piroksikam memberikan kualitas penyembuhan luka diabetik yang baik.

Kata kunci: diabetic wound healing, HPMC, hydrocolloid matrix, piroksikam .


(2)

OPTIMIZATION OF HYDROXYPROPYL METHYLCELULLOSE (HPMC) CONCENTRATION AS POLYMER OF HYDROCOLLOID

MATRIX DIABETIC WOUND HEALING WITH PIROXICAM AS ACTIVE INGREDIENT

Gracia Elwy Nona Sanjivany

Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Kampus III Paingan, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta, 55282, Indonesia.

Telp. (0274) 883037, Fax. (0274) 886529

gracia.elwy@gmail.com

ABSTRACT

Excess elevation of MMP-9 enzyme in people with diabetes is the main cause of diabetic foot ulcer complications. Piroxicam which has inhibitory activity of the MMP-9 enzyme allegedly able to accelerate the healing of diabetic foot ulcers. Hydrocolloid dressings are recommended for the treatment of diabetic foot ulcers. HPMC is used as polymer to control the release of active substances. This study aims to determine the optimal concentration of HPMC as polymer in hydrocolloid matrix diabetic wound healing. Physicochemical characterizations were evaluated. The optimal formula was applied every 24 hours in the wound excision of male rats induced and not induced with alloxan. The wound closure percentage was calculated up to 100% and continued with histopathology test. The results of the evaluation and the wound closure was analyzed using R software with a 95% confidence level. Based on statistical analysis, F2 was the optimal formula because of its highest DE360 (53,05±8,894%), highest moisture absorption ability (19,96±1,228% and 4,5x10-4±6x10-5g/

h), drug content (81,568±15,867%), stable in 37oC (84,258±4,093%), and difference between the length of wound healing in normal and diabetic rats group (p-value <0,05). Histopathology test results showed that piroxicam hydrocolloid matrix provide good quality for the diabetic wound healing.


(3)

OPTIMASI KONSENTRASI HIDROKSIPROPIL METILSELULOSA (HPMC) SEBAGAI POLIMER HYDROCOLLOID MATRIX DIABETIC

WOUND HEALING DENGAN ZAT AKTIF PIROKSIKAM

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Gracia Elwy Nona Sanjivany NIM : 138114064

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(4)

i

HALAMAN JUDUL

OPTIMASI KONSENTRASI HIDROKSIPROPIL METILSELULOSA (HPMC) SEBAGAI POLIMER HYDROCOLLOID MATRIX DIABETIC

WOUND HEALING DENGAN ZAT AKTIF PIROKSIKAM

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Gracia Elwy Nona Sanjivany NIM : 138114064

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(5)

ii


(6)

(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Action is the foundational key to all success” - Pablo Picasso -

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

Tuhan Yesussumber kekuatan dan pengharapanku, sertaBunda Maria bunda pendengar, penolong, dan penghantar permohonanku

Papa&mama yang senantiasa mendukungku, serta kakak & adikkuyang selalu menyayangiku

Teman-teman yang tiada henti menjadi penghibur, penyemangat, dan teman belajar


(8)

(9)

vi


(10)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Kasih yang telah memberikan rahmat dan anugerah kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Optimasi Konsentrasi Hidroksipropil Metilselulosa (HPMC) Sebagai Polimer

Hydrocolloid Matrix Diabetic Wound Healing Dengan Zat Aktif Piroksikam”. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi. Diharapkan juga dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi para pembaca tentang formulasi hydrocolloid matrix

piroksikam sebagai sediaan penyembuh luka diabetik.

Dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, maka dengan penuh syukur penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

2. Ibu Dr. Sri Hartati Yuliani, Apt. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu, waktu, semangat dan masukan untuk penyelesaian penelitian ini.

3. Ibu Dr. Dewi Setyaningsih, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji yang bersedia memberikan saran dan perbaikan yang membangun dalam penelitian ini.

4. Ibu Beti Pudyastuti, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji yang bersedia memberikan saran dan perbaikan yang membangun dalam penelitian ini.

5. Bapak Enade Istyastono, Ph.D., Apt. dan Bapak Florentinus Dika Octa Riswanto, M.Sc. yang bersedia memberikan masukan dalam penelitian ini.

6. Bapak Yohanes Ratijo yang telah banyak meluangkan waktu untuk membantu penelitian ini.

7. PT. Erela dan PT. Dexa Medica selaku perusahaan industri farmasi yang telah membantu pengadaan bahan penelitian.


(11)

viii

8. DP2M Dikti yang telah memberikan Grant penelitian untuk mendukung sebagian pendanaan penelitian berdasar kontrak Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah No.010/HB/LIT/III/2016 tanggal 15 Maret 2016. 9. Keluarga penulis yang telah memberikan semangat, doa, dan kasih. 10. Dipta, Fidelia, dan Ryan yang menjadi rekan berjuang bersama; Tim

Scarless Wound Healing atas kerjasama dan dinamika selama penelitian berlangsung, Yogi yang selalu memberi semangat dan masukan; Rere, Ajeng, Tasha, Milla, Eta, Lia, Noni, Tama, Kevin, Ellin, Fenny, Herna, Rency, Lala, Asti yang menjadi tempat saling berbagi dan mendukung.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan di dalam skripsi ini. Oleh karena itu dengan terbuka dan senang hati penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan selamat membaca.

Yogyakarta, 18 Januari 2017

Penulis


(12)

ix

OPTIMASI KONSENTRASI HIDROKSIPROPIL METILSELULOSA (HPMC) SEBAGAI POLIMER HYDROCOLLOID MATRIX DIABETIC

WOUND HEALING DENGAN ZAT AKTIF PIROKSIKAM

Gracia Elwy Nona Sanjivany

Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Kampus III Paingan, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta, 55282, Indonesia.

Telp. (0274) 883037, Fax. (0274) 886529

gracia.elwy@gmail.com ABSTRAK

Peningkatan enzim MMP-9 secara berlebihan pada penderita diabetes mellitus menjadi penyebab utama terjadinya komplikasi ulkus kaki diabetik. Piroksikam memiliki aktivitas penghambatan enzim MMP-9 diduga mampu mempercepat penyembuhan ulkus kaki diabetik. Hydrocolloid dressing

direkomendasikan untuk pengobatan ulkus kaki diabetik. HPMC digunakan sebagai polimer untuk mengontrol pelepasan zat aktif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi HPMC yang optimal sebagai polimer hydrocolloid diabetic wound healing matrix. Karakteristik fisikokimia dievaluasi. Formula optimal diaplikasikan setiap 24 jam pada luka eksisi tikus jantan terinduksi dan tidak terinduksi aloksan. Persen penutupan luka dihitung hingga 100% dan dilanjutkan uji histopatologi. Hasil evaluasi sediaan dan penutupan luka dianalisis menggunakan software R pada taraf kepercayaan 95%. Berdasarkan analisis statistik, F2 adalah formula optimal karena memiliki DE360 paling besar (53,05±8,894%), kemampuan menyerap lembab yang besar (19,96±1,228% dan 4,5x10-4±6x10-5g/jam), persen kandungan obat (81,568±15,867%), stabil pada suhu 37oC (84,258±4,093%), sertaterdapat perbedaan antara lama waktu penyembuhan antarluka pada kelompok tikus normal dan diabetes (p-value <0,05). Hasil uji histopatologi menunjukkan hydrocolloid matrix dengan zat aktif piroksikam memberikan kualitas penyembuhan luka diabetik yang baik.

Kata kunci: diabetic wound healing, HPMC, hydrocolloid matrix, piroksikam .


(13)

x

ABSTRACT

Excess elevation of MMP-9 enzyme in people with diabetes is the main cause of diabetic foot ulcer complications. Piroxicam which has inhibitory activity of the MMP-9 enzyme allegedly able to accelerate the healing of diabetic foot ulcers. Hydrocolloid dressings are recommended for the treatment of diabetic foot ulcers. HPMC is used as polymer to control the release of active substances. This study aims to determine the optimal concentration of HPMC as polymer in hydrocolloid matrix diabetic wound healing. Physicochemical characterizations were evaluated. The optimal formula was applied every 24 hours in the wound excision of male rats induced and not induced with alloxan. The wound closure percentage was calculated up to 100% and continued with histopathology test. The results of the evaluation and the wound closure was analyzed using R software with a 95% confidence level. Based on statistical analysis, F2 was the optimal formula because of its highest DE360 (53,05±8,894%), highest moisture absorption ability (19,96±1,228% and 4,5x10-4±6x10-5g/h), drug content (81,568±15,867%), stable in 37oC (84,258±4,093%), and difference between the length of wound healing in normal and diabetic rats group (p-value <0,05). Histopathology test results showed that piroxicam hydrocolloid matrix provide good quality for the diabetic wound healing.

Keywords: diabetic wound healing, HPMC, hydrocolloid matrix, piroxicam


(14)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI ... vi

PRAKATA ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN... 1

METODE PENELITIAN ... 2

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 6

KESIMPULAN ... 13

UCAPAN TERIMA KASIH ... 14

DAFTAR PUSTAKA ... 14

LAMPIRAN ... 16


(15)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Formula hydrocolloid matrix ... 3

Tabel II. Hasil Evaluasi Sediaan dan Uji Stabilitas ... 10

Tabel III. Hasil Uji Iritasi Kulit Dermal Akut pada Kelinci ... 11

Tabel IV. Interpretasi Hasil Uji Histopatologi dan Lama Waktu Penyembuhan Luka Mencapai 100% ... 12


(16)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Hasil Uji Sterilitas... 6


(17)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Proposal Penelitian ... 17

Lampiran 2. Ethical Clearance Penelitian... 36

Lampiran 3. Certificate of Analysis Bahan Penelitian ... 38

Lampiran 4. Pembuatan Sediaan ... 40

Lampiran 5. Karakteristik Sediaan ... 41

Lampiran 6. Verifikasi Metode Analisis ... 44

Lampiran 7. Stabilitas Fisikokimia Sediaan ... 47

Lampiran 8. Data Profil Pelepasan Obat ... 63

Lampiran 9. Data Uji Iritasi Akut Dermal pada Kelinci ... 65

Lampiran 10. Data Uji Aktivitas Sediaan ... 67

Lampiran 11. Hasil Uji Histopatologi ... 68

Lampiran 12. Hasil Analisis Statistik ... 70

Lampiran 13. Dokumentasi Penelitian ... 97


(18)

1

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus merupakan kondisi hiperglikemia di mana tubuh tidak dapat memproduksi cukup insulin atau tidak dapat menggunakan insulin secara efektif (International Diabetes Federation, 2015). Apabila hal ini tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan berbagai komplikasi kronis yaitu salah satunya ulkus kaki diabetik yang rentan terhadap infeksi dan amputasi kaki (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Komplikasi kejadian ulkus kaki diabetik di Indonesia mencapai 15% dari seluruh penderita DM dengan angka amputasi 23,5% (Utami et al., 2014).

Menurut Hamed et al. (2014), proses penyembuhan luka pada kulit orang normal terjadi dalam 4 fase, yaitu koagulasi, inflamasi, proliferasi, dan remodelling. Namun pada penderita diabetes, proses penyembuhan luka mengalami gangguan akibat ketidakseimbangan akumulasi komponen matriks ekstraseluler dengan MMPs (Lobmann et al., 2002). Cairan luka pada penderita diabetes mengandung sejumlah besar MMP-9 yang dapat mendegradasi dan merombak matriks ekstraseluler sehingga menghambat penyembuhan luka (Zhang et al., 2015).

Dalam penelitian ini, ulkus kaki diabetik yang dimaksudkan adalah luka kronis dengan sedikit hingga banyak eksudat sehingga hydrocolloid dressing dipilihsebagai bentuk sediaan penutup luka sekaligus penghantar obat. Penelitian ini berkaitan dengan pembuatan

hydrocolloid matrix untuk pengobatan lokal ulkus kaki diabetik yang mengandung zat aktif piroksikam. Piroksikam diduga mampu mempercepat penyembuhan ulkus kaki diabetik karena mekanismenya yang dapat menurunkan jumlah MMP-9 (Mazumder et al., 2014). Piroksikam memiliki bobot molekul sebesar 331,35 g/mol dan titik leleh sebesar 198-200oC (DrugBank, 2013), serta memiliki nilai pKa 5,3 dan pKb 1,86 (Abdulkarim et al., 2010). Piroksikam termasuk dalam Biopharmaceutics Classification System (BCS) kelas II dengan kelarutan dalam air sebesar 23 mg/L (Mirza et al., 2010, DrugBank, 2013).

Polimer hidrofilik menjadi faktor kritis formulasi hydrocolloid karena berfungsi sebagai matriks pembawa obat yang mengatur pelepasan obat, menentukan sifat dan stabilitas fisikokimia sediaan. Dalam penelitian ini, hidroksipropil metilselulosa (HPMC) dipilih sebagai polimer karena bersifat tidak beracun dan kompatibel dengan berbagai macam bahan obat ataupun eksipien (Rowe et al., 2009). Beberapa fungsi HPMC sebagai

bioadhesive material, agen pelepasan terkontrol dan agen penstabil, dapat mendukung sistem penghantaran obat dalam hydrocolloid. Selain itu, HPMC merupakan pembentuk film


(19)

2

yang baik pada range 2-20% (Rowe et al., 2009). Fungsi HPMC ini didukung oleh penelitian Liu et al. (2014) yang melaporkan bahwa HPMC sebagai sistem matriks wound dressing

mampu menghasilkan penghantaran obat yang larut maupun sukar larut air secara terkontrol. Konsentrasi HPMC dioptimasi dalam 3 tingkat yang berbeda untuk mengetahui pengaruhnya terhadap karakteristik sediaan. Formula hydrocolloid matrix piroksikam dengan karakteristik terbaik dipilih untuk uji aktivitas penyembuhannya terhadap luka eksisi pada kulit tikus diabetes yang diinduksi aloksan maupun kulit tikus normal. Hipotesis penelitian ini adalah meningkatnya konsentrasi HPMC mempengaruhi sifat fisikokimia

hydrocolloid matrix piroksikam; dan pada konsentrasi HPMC tertentu menghasilkan formula hydrocolloid matrix piroksikam yang optimal sehingga dapat mempercepat penyembuhan luka pada tikus putih galur Wistar yang menderita diabetes.

METODE PENELITIAN

Bahan dalam penelitian ini meliputi piroksikam (Nantong Jinghua), HPMC/hypromellose 2910 (Shin-Etsu), propilen glikol, gliserol, aseton, metanol (Merck),

nutrient agar (Oxoid), dinatrium hidrogen fosfat, kalium dihidrogen fosfat, natrium klorida, akuades, krim depilatori (Reckitt Bensckiser), etil asetat, aloksan monohidrat (Sigma), etanol 70%, ketamin 10%, formalin 10% (Aldrich), heparin, test kit Glucose GOD FS (Diasys, Germany), akuabides steril, darah subjek uji, aluminium foil, dan plastic wrap.

Alat yang digunakan antara lain timbangan analitik (Ohaus), alat-alat gelas (Pyrex), cawan porselen, termometer, batang pengaduk, stirrer, hotplate magnetic stirrer, jangka sorong, spuit injeksi, skalpel, tube eppendorf, sentrifugator, MicroLab-200 (Merck), mikropipet (Socorex), biopsy punch 5 mm, pH analyzer (Ohaus), autoklaf, oven, climatic chamber, kabinet LAF, Franz diffusion cell, spektrofotometer UV (Shimadzu), vortex (Wilten), dan mikroskop cahaya Olympus tipe BH-2 (Olympus Corp., Jepang).

Subjek uji penelitian yaitu 3 ekor kelinci albino jantan berusia 8-9 bulan dengan berat badan 1,8-2,2 kg dari Peternakan Kelinci Seyegan, DIY dan 6 ekor tikus putih jantan berusia 2 bulan dari Laboratorium Imono Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dengan berat badan 150-180 g. Seluruh prosedur pengujian dengan hewan uji telah disetujui oleh Komisi Etik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pembuatan hydrocolloid matrix piroksikam

Formula yang digunakan dalam penelitian ini terdapat pada Tabel I. Variasi HPMC (8,75%; 11% dan 13,25%) pada campuran B dilarutkan dalam akuades sambil diaduk dengan


(20)

3

stirrer pada suhu 40°C hingga terbentuk gel. Kemudian campuran A disiapkan dan ditambahkan ke dalam gel HPMC lalu diaduk dengan stirrer hingga homogen. Setelah itu gliserol ditambahkan ke dalam campuran tersebut. Campuran akhir kemudian dituang ke tabung reaksi bertutup sebanyak 12,5 gram, lalu disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 115oC selama 15 menit. Setelah itu campuran dipindahkan ke dalam cawan petri secara aseptis di dalam kabinet LAF, dilanjutkan dengan pengeringan dalam oven pada suhu 45°C selama 2 hari. Hydrocolloid matrix yang terbentuk kemudian dipotong dengan diameter 1 cm, disimpan dalam aluminium foil pada wadah plastik berisi silika gel, dan digunakan dalam seluruh pengujian.

Uji sterilitas Sediaan ditempelkan ke media nutrient agar dalam cawan petri. Tiap petri kemudian dibungkus plastic wrap dan diinkubasi terbalik dalam LAF selama 24 jam.

Evaluasi karakteristik sediaan

Uji organoleptis Pengamatan pada warna, kejernihan dan kehalusan dari sediaan yang telah dibuat (Shirsand et al., 2012).

Uji keseragaman bobot Sebanyak 10 sediaan masing-masing formula satu persatu ditimbang dan dihitung rata-rata bobot sediaan (British Pharmacopoeia, 1993).

Tabel I. Formula hydrocolloid matrix

Formula BF1 BF2 BF3 F1 F2 F3

C

ampur

an

A Piroksikam - - - 0,175 g 0,175 g 0,175 g

Aseton 6,887 g 6,887 g 6,887 g 6,887 g 6,887 g 6,887 g Propilen glikol 7,8 g 7,8 g 7,8 g 7,8 g 7,8 g 7,8 g

C

ampur

an

B HPMC 4,375 g 5,5 g 6,625 g 4,375 g 5,5 g 6,625 g

Gliserol 3,78 g 3,78 g 3,78 g 3,78 g 3,78 g 3,78 g Akuades ad 50 g ad 50 g ad 50 g ad 50 g ad 50 g ad 50 g Keterangan: BF1 (basis formula 1); BF2 (basis formula 2); BF3 (basis formula 3); F1 (formula 1); F2 (formula

2); F3 (formula 3)

Uji ketebalan Ketebalan sediaan dihitung pada 5 titik berbeda (keempat sudut dan bagian tengah) dengan jangka sorong, kemudian dihitung rata-ratanya (El-gendy et al., 2009).

Uji folding endurance Setiap formula sediaan dilipat secara berulang pada posisi yang sama hingga rusak. Jumlah pengulangan pelipatan tanpa merusak sediaan merupakan nilai dari ketahanan pelipatan (Shirsand et al., 2012).


(21)

4

Uji pH larutan sediaan Setiap formula sediaan direndam dalam 20 mL akuades pada suhu 37oC selama 24 jam, kemudian pH larutan tersebut diukur dengan pH meter (British Pharmacopoeia, 1993).

Uji moisture content Sebanyak 5 sediaan masing-masing formula dikondisikan dalam sebuah desikator berisi silika selama 24 jam. Setelah itu masing-masing sediaan ditimbang sampai didapatkan bobot yang tetap (Toshkhani et al., 2013).

Uji moisture absorption Sebanyak 5 sediaan masing-masing formula ditimbang, kemudian diletakkan dalam climatic chamber dengan RH 85% pada suhu 28oC selama 24 jam. Setelah itu, sediaan diambil dan ditimbang kembali (Toshkhani et al., 2013).

Uji keseragaman kandungan obat Sebanyak 5 hydrocolloid matrix masing-masing formula dilarutkan dalam 15 mL metanol dan 35 mL PBS pH 6,4. Kemudian absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 354 nm menggunakan spektrofotometer UV (Shirsand et al., 2012).

Uji pelepasan obat secara in vitro Uji pelepasan piroksikam dari sediaan dilakukan menggunakan Franz Diffusion Cell pada suhu 36,5 ± 1oC. Sebanyak 15 mL campuran metanol-PBS pH 6,4 dimasukkan pada sel difusi sebagai kompartemen aseptor. Membran

Millipore 0,45 mm sebelumnya direndam dalam larutan aseptor selama 1 jam, kemudian

hydrocolloid matrix dipasang pada sel difusi. Pada menit ke-15,30,45,60,90,120,180,240,300, dan 360 kompartemen aseptor disampling dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 354 nm. Kadar obat ditentukan dengan plot kurva baku piroksikam. Nilai dissolution efficiency dihitung sampai menit ke-360 (Pudyastuti et al., 2014).

Uji stabilitas hydrocolloid matrix piroksikam Setiap formula sediaan yang mengandung piroksikam disimpan dalam paparan suhu 37°C dan 45°C selama 4 minggu. Analisis fisik dan kandungan obat pada sediaan dilakukan setiap akhir minggu (Amjad et al., 2011).

Uji iritasi akut dermal Punggung tiga ekor kelinci dicukur 24 jam sebelum pengujian. Dalam satu punggung diaplikasikan 1 kontrol positif etil asetat, 1 kontrol negatif dan 3 basis

hydrocolloid matrix yang ditutup plester hypafix selama 4 jam. Pengamatan dilakukan pada jam ke-1, 24, 48 dan 72 jam terhadap eritema dan udema yang terjadi pada kulit yang terpapar sampel. Lalu dihitung indeks iritasi primer masing-masing (BPOM, 2014).

Pemilihan formula optimal Dipilih formula yang memiliki profil pelepasan obat tertinggi, memiliki kemampuan penyerapan lembab yang tinggi, kandungan obat yang besar dan


(22)

5

seragam, karakteristik sifat fisikokima yang baik, serta stabil dalam penyimpanan berdasarkan nilai p-value.

Uji aktivitas hydrocolloid diabetic wound healing matrix

Perlakuan pada tikus Enam ekor tikus putih jantan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok perlakuan terdiri dari 3 ekor tikus diabetes dengan kadar gula darah > 250 mg/dL dan kelompok kontrol terdiri dari 3 ekor tikus tidak diabetes. Tikus diabetes diperoleh dengan menginjeksi aloksan monohidrat 5% secara intraperitoneal dengan dosis 150 mg/kgBB selama 3 hari. Setiap tikus dianestesi dengan injeksi ketamin 10% pada dosis 80 mg/kgBB secara intramuscular. Pada tiap tikus diberi 5 luka eksisi menggunakan biopsy punch berdiameter 5 mm. Luka dibuat pada punggung tikus yang sudah dicukur 48 jam sebelumnya. Kelima luka eksisi pada 1 ekor tikus diberi perlakuan berbeda, yaitu: kontrol tanpa perlakuan, 2 basis dari formula optimal, dan 2 formula optimal. Penggantian sediaan dilakukan setiap 24 jam sampai luka menutup 100%. Setelah luka sembuh, tikus dieuthanasia dengan injeksi ketamin dosis 100 mg/kgBB. Kulit punggung diambil dengan ukuran 2x2 cm dan disimpan dalam pot berisi formalin 10%.

Uji histopatologi pengecatan Hematoxylin-Eosin (HE) Pengecatan dengan Hematoxylin Eosin dilakukan pada sampel jaringan kulit tikus, kemudian diamati histopatologinya secara mikroskopis menggunakan mikroskop cahaya Olympus tipe BH-2 yang terhubung dengan kamera Optilab v.2.1 (Micronos, Indonesia).

Tata cara analisis hasil Analisis kuantitatif

Moisture content (%) = � � � − � � ℎ��

� � ℎ�� � % (Toshkhani et al., 2013).

Moisture absorption (%) = � � ℎ��− � � �

� � � � % (Toshkhani et al., 2013).

DE360(%) = ��� � % (Fudholi, 2013).

Wound Closure (%) = �� ℎ �� � − �� ℎ �� ��

�� ℎ �� � � % (Thu et al., 2012).

Data keseragaman bobot, moisture content, moisture absorption, kandungan obat, pelepasan obat, stabilitas sediaan, dan persen wound closure dianalisis secara statistik menggunakan

software R i.386 3.2.5 dengan taraf kepercayaan 95%.

Analisis kualitatif Pengamatan preparat histopatologi memberikan perbandingan mikroskopis antara struktur kulit dari penyembuhan luka eksisi tikus normal dan diabetes.


(23)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Formulasi hydrocolloid diabetic wound healing matrix

Hydrocolloid matrix dibuat menggunakan teknik solvent casting. Hasil orientasi pembuatan sediaan menjadi dasar penentuan 3 tingkat konsentrasi HPMC, yaitu 8,75% (F1), 11% (F2), dan 13,25% (F3). Sediaan matriks matriks tanpa obat yang dihasilkan berwarna bening kekuningan, jernih dan halus, sedangkan matriks mengandung obat berwarna kuning, jernih, dan halus, namun piroksikam tidak terdispersi merata dalam matriks, terlihat dari terbentuknya kristal obat. Menurut Hansen and Qu (2015), piroksikam merupakan senyawa kristal polimorfi dimana ada 2 faktor yang mempengaruhi pembentukannya, yaitu konsentrasi awal piroksikam (solute consentration) dan suhu. Hal ini sesuai dengan kondisi percobaan, yaitu konsentrasi larutan piroksikam-aseton sebesar 2% dimana sudah melewati ambang kelarutan obat (jenuh) sehingga memicu terbentuknya kristal, serta suhu pengeringan piroksikam sebesar 45oC mendukung pembentukan kristal.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 1. Hasil Uji Steritilas

Keterangan: (O) lokasi sediaan; (a) F1, (b) F2, (c) F3), dan (d) BF1; BF2; BF3

Uji sterilitas dilakukan untuk mengetahui apakah formulasi yang dibuat dengan metode sterilisasi akhir mampu menghasilkan hydrocolloid matrix yang steril. Sediaan

diabetic wound harus memenuhi persyaratan sterilitas supaya tidak menimbulkan infeksi pada luka diabetes. Hasil uji sterilitas menunjukkan bahwa keenam sediaan ini steril dengan tidak ditemukan adanya pertumbuhan mikroorganisme pada cawan petri (Gambar 1).


(24)

7

Uji keseragaman bobot

Persen CV keenam formula sediaan dihitung untuk mengetahui keseragaman bobot masing-masing. Hasil perhitungan diperoleh CV BF1, BF2, BF3, F1, F2, dan F3 berturut-turut sebesar 6,15%, 6,22%, 6,98%, 5,40%, 5,08%, dan 7,47% (Tabel II). Seluruh CV sediaan memenuhi kriteria seragam, yaitu CV bobot sediaan tidak lebih dari 10% (British Pharmacopoeia, 1993).

Uji ketebalan

Ketebalan keenam sediaan memiliki rentang antara 0,50±0,000 mm – 0,77±0,027 mm (Tabel II). Rentang ketebalan ini termasuk dalam kriteria ideal ketebalan matriks menurut Thu et al. (2012). Adanya rentang ketebalan matriks yang dihasilkan berkaitan dengan kandungan air di dalam matriks tersebut. Matriks yang lebih tebal memiliki kandungan air yang lebih banyak dibandingkan matriks yang lebih tipis.

Uji folding endurance

Sediaan yang dihasilkan memiliki frekuensi ketahanan pelipatan pada rentang 60-86 untuk kelompok basis dan rentang 23-25 untuk kelompok formula (Tabel II). Ketahanan F1, F2, dan F3 (matriks mengandung obat) lebih rendah dibandingkan BF1, BF2, dan BF3 (matriks tanpa obat). Hal ini disebabkan oleh matriks yang mengandung obat memiliki tekstur seperti jelly sehingga lebih rapuh dibandingkan matriks tanpa obat.

Uji pH larutan sediaan

Hasil pengujian ini diperoleh nilai pH BF1, BF2, BF3, F1, F2, dan F3 berturut-turut sebesar 6,8, 6,88, 6,94, 6,91, 6,97, dan 6,94 (Tabel II). Hasil ini menunjukkan sediaan yang dilarutkan dalam air pada suhu yang sesuai dengan kondisi tubuh menghasilkan pH yang dapat diterima kulit.

Uji moisture content

Nilai persen moisture content pada BF2 >BF1 >BF3 (untuk kelompok basis) dan F2 >F1>F3 (untuk kelompok formula) (Tabel II). Hasil ini tidak sesuai dengan teori dimana seharusnya peningkatan persen moisture content matriks berhubungan dengan peningkatan konsentrasi HPMC dalam formula. Semakin besar konsentrasi HPMC, molekul HPMC yang terbentuk dalam matriks semakin besar sehingga memperlambat penguapan air dari dalam matriks selama proses pengeringan, akibatnya kandungan air semakin banyak (Pudyastuti et al., 2014). Ketidaksesuaian ini disebabkan oleh kondisi penyimpanan dalam desikator dimana kemampuan silika untuk menyerap lembab dari sediaan tidak dikendalikan.


(25)

8

Uji moisture absorption

Nilai persen moisture absorption pada BF1 >BF2 > BF3 (untuk kelompok basis) dan F1> F2> F3 (untuk kelompok formula) (Tabel II). Hasil ini sesuai dengan teori dimana peningkatan konsentrasi HPMC akan meningkatkan nilai persen moisture content. Oleh karena semakin banyak lembab yang terkandung, kemampuan matriks untuk menyerap lembab berkurang akibatnya nilai persen moisture absorption semakin kecil. Kemampuan penyerapan lembab sediaan juga dapat diukur dari kecepatan penyerapan lembabnya. Nilai ini menggambarkan seberapa cepat sediaan mampu menyerap lembab per waktu. Kecepatan penyerapan lembab tertinggi terdapat pada BF2, yaitu 6,3x10-4±2x10-5g/

jam (untuk kelompok basis) dan F1, yaitu 4,8x10-4±7x10-5g/

jam (untuk kelompok formula). Uji keseragaman kandungan obat

Rerata jumlah piroksikam yang ditemukan dalam F1 dan F3 sebesar 0,566±0,079 mg dan 0,513±0,110 mg dari total 0,669 mg, sedangkan dalam F2 sebesar 0,566±0,068 dari total 0,694 mg, serta %CV F1, F2 dan F3 secara berturutan sebesar 13,9, 19,4% dan 13,2%. Nilai %CV yang besar menunjukkan bahwa kandungan obat dalam sediaan tidak seragam. Selain itu, rentang persen kandungan obat dalam ketiga formula sebesar 76,739±10,149% - 84,585±11,780% (Tabel II). Persen kandungan obat ketiga formula tidak memenuhi persyaratan kandungan obat menurut British Pharmacopoeia (2009), dimana kandungan piroksikam pada sediaan topikal sebesar 95-105%. Hal ini disebabkan oleh distribusi kandungan obat yang tidak homogen dalam matriks.

Uji pelepasan obat secara in vitro

Persen dissolution efficiency pada menit ke-360 tertinggi dihasilkan oleh F2 (53,05±8,894%) (Tabel II). Peningkatan konsentrasi HPMC menghambat pelepasan piroksikam karena adanya peningkatan viskositas HPMC menyebabkan matriks semakin rapat sehingga menghalangi masuknya pelarut ke dalam matriks (Pudyastuti et al., 2014). F2 ditemukan memiliki profil pelepasan obat tertinggi karena pada konsentrasi HPMC11% ukuran matriks yang terbentuk pada formula ini tidak terlalu besar dan tidak terlalu rapat, sehingga pelarut tidak terhalangi masuk dan dapat melarutkan piroksikam. Namun secara keseluruhan, tidak maksimalnya jumlah piroksikam yang terlepas dari matriks F1, F2, dan F3 disebabkan oleh adanya kristal obat yang tertinggal pada membran dan sukar larut dalam medium. Akibatnya pelepasan yang dihasilkan pun tidak terlalu besar. Selain itu ukuran


(26)

9

sediaan (diameter 1 cm) menjadi kelemahan metode ini, karena hasil disolusinya belum mewakili keseluruhan jumlah obat yang dimasukkan dalam pembuatan sediaan.

Uji stabilitas hydrocolloid matrix piroksikam

Perubahan organoleptis, sifat fisik dan sifat kimia sediaan diamati selama 1 bulan. Parameter kristis yang menjadi pertimbangan stabilitas adalah kandungan obat dalam matriks. Berdasarkan analisis statistik, penyimpanan sediaan pada suhu 37oC dan 45oC menghasilkan kandungan obat dalam F1 dan F2 yang stabil (p-value >0,05), namun tidak stabil untuk kandungan obat dalam F3 (p-value <0,05). Organoleptis sediaan pada penyimpanan suhu 37oC cenderung lebih baik bila dibandingkan pada penyimpanan suhu 45oC. Sediaan yang menjadi lebih keras pada suhu tinggi berpengaruh pada jumlah kandungan air dalam sediaan menjadi lebih sedikit dan kemampuannya menyerap lembab menjadi turun. Hal ini berhubungan dengan pengaruh suhu tinggi menyebabkan sediaan mengalami pengeringan, sehingga air dalam sediaan menguap dan menyebabkan matriks menjadi lebih rigid. Parameter stabilitas persen moisture content dan persen moisture absorption dapat dijadikan pertimbangan pengemasan sediaan selama penyimpanan.

Uji iritasi akut dermal

Pengujian potensi iritasi kulit sediaan penyembuh luka merupakan uji yang sangat penting untuk mengetahui apakah basis hydrocolloid matrix menimbulkan iritasi. BF1, BF2, dan BF3 memiliki nilai indeks iritasi primer sebesar 0,0 sehingga ketiganya termasuk dalam kategori tidak mengiritasi kulit (ISO 10993-10, 2002). Skor penilaian uji ini dapat dilihat pada Tabel III. Uji iritasi mengacu pada penelitian Shirsand et al. (2012) yang hanya menggunakan basis tanpa obat. Pengujian ini tidak dilakukan terhadap sediaan yang mengandung obat karena piroksikam merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid sehingga tidak menimbulkan iritasi kulit, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Udegbunam et al. (2012) bahwa injeksi intramuskuler piroksikam tidak menimbulkan iritasi.

Pemilihan Formula Optimal

Berdasarkan hasil evaluasi sediaan, hydrocolloid matrix piroksikam F2 dipilih menjadi formula optimal karena memiliki nilai DE360 paling besar (53,05±8,894%), kemampuan menyerap lembab yang besar (19,96±1,228% dan 4,5x10-4±6x10-5 g/jam), kandungan obat sebesar 81,568±15,867%, serta stabil pada suhu 37oC (84,258±4,093%). Formula


(27)

10

Tabel II. Hasil Evaluasi Sediaan dan Uji Stabilitas

Keterangan: *) n=10; **) n=5; ***) n=3; a=data stabilitas minggu ke-4 suhu 37oC; b= data stabilitas minggu ke-4 suhu 45oC

Formula

Bobot sediaan (%CV)*

Ketebalan (mm)** Rerata±SD

Frekuensi pelipatan pH

%Moisture

Content **

Rerata±SD

Moisture Absorption Kandungan Obat

%DE360 ***

Rerata±SD %

Rerata±SD

Kecepatan (g/jam) Rerata±SD

mg Rerata±SD

% Rerata±SD

BF1 6,15 0,77±0,027 60 6,98 7,30±0,458 21,74±1,077 5,3x10-4±6x10-5 - - -

BF2 6,22 0,72±0,027 86 6,88 9,04±5,653 19,94±1,474 6,3x10-4±2x10-5 - - -

BF3 6,98 0,60±0,000 70 6,94 6,46±0,665 18,89±0,575 5,2x10-4±1x10-4 - - -

F1

5,40 0,50±0,000 25 6,91 5,86±1,160 20,44±1,851

4,8x10-4±7x10-5

0,566±0,079 84,585±11,780

42,69±3,193 15,86a 0,49±0,027a 20a 7,1a 6,72±0,643a 7,56±1,596a 0,431±0,083a 64,365±12,382a

10,70b 0,55±0,000b 102b 6,9b 10,84±3,643b 8,04±0,899b 0,517±0,013b 77,297±1,888b

F2

5,08 0,50±0,000 25 6,97 6,18±1,201 19,96±1,228

4,5x10-4±6x10-5

0,566±0,110 81,568±15,867

53,05±8,894 6,51a 0,58±0,000a 27a 7,1a 7,12±0,395a 10,06±1,246a 0,585±0,028a 84,258±4,093a

15,19b 0,40±0,000b 83b 6,9b 1,30±0,820b 4,05±1,067b 0,431±0,061b 62,076±8,860b

F3

7,47 0,50±0,000 23 6,94 5,13±0,395 17,52±0,801

3,4x10-4±1x10-5

0,513±0,068 76,739±10,149

42,93±5,156 7,09a 0,48±0,027a 28a 7,1a 4,71±0,710a 9,29±1,715a 0,405±0,031a 60,520±4,573a

4,62b 0,50±0,000b 100b 6,9b 1,66±1,149b 3,86±1,084b 0,412±0,031b 61,636±4,566b


(28)

11

Gambar 2. Kurva Hubungan %Pelepasan Obat Kumulatif dengan Waktu

Tabel III. Hasil Uji Iritasi Kulit Dermal Akut pada Kelinci

Sediaan Kelinci ke- Total Indeks Iritasi Primer Kesimpulan Eritema Udem

BF1

1 0 0

0,0 Tidak mengiritasi

2 0 0

3 0 0

BF2

1 0 0

0,0 Tidak mengiritasi

2 0 0

3 0 0

BF3

1 0 0

0,0 Tidak mengiritasi

2 0 0

3 0 0

Uji Aktivitas Penyembuhan Luka Diabetik

Hasil analisis statistik uji ANAVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan rata-rata lama waktu penyembuhan luka mencapai 100% antara kontrol, BF2, dan F2, baik dalam kelompok tikus diabetes dan kelompok tikus normal (p-value <0,05). Berdasarkan analisis Post Hoc, F2 pada tikus diabetes berbeda signifikan dengan kontrol diabetes dan F2 pada tikus normal berbeda signifikan dengan kontrol normal (p-value

<0,05).

Uji Histopatologi

Pengujian ini bertujuan untuk melihat kualitas penyembuhan luka yang diberi

hydrocolloid matrix piroksikam sekaligus untuk membandingkan struktur kulit baru antara luka diabetik dengan luka normal. Hasil uji histopatologi ditunjukkan dalam Tabel V. Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis, luka kontrol pada tikus normal maupun tikus

0 10 20 30 40 50 60 70

0 100 200 300 400

% P el epa sa n Ob at K um ul at if Waktu (menit) F1 F2 F3


(29)

12

diabetes menunjukkan bahwa keduanya masih dalam fase proliferasi. Sedangkan luka yang diobati BF2 pada tikus normal ataupun tikus diabetes memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan luka kontrol masing-masing, hal ini ditandai dengan sudah tercapainya tahap awal fase remodelling.Sementara penyembuhan luka tikus normal yang diobati dengan F2 telah mencapai fase remodeling, ditandai dengan serat kolagen yang lebih teratur dan rapat dibandingkan pada luka tikus diabetes yang diobati dengan F2. Hal ini terjadi karena ekspresi berlebih MMP-9 pada luka tikus diabetes menyebabkan proses penyembuhan luka berjalan lebih lambat dibandingkan tikus normal. Akibatnya, fase penyembuhan luka F2 tikus diabetes masih berada pada tahap awal fase remodeling. Luka yang diobati dengan

hydrocolloid matrix piroksikam menunjukkan struktur jaringan yang lebih baik dan serat kolagen yang jauh lebih rapat dibandingkan dengan luka kontrol dan luka yang diobati dengan basis hydrocolloid matrix. Hasil histopatologi ini menunjukkan bahwa hydrocolloid matrix piroksikam mampu menghasilkan penyembuhan luka dengan kualitas yang baik.

Tabel IV. Interpretasi Hasil Uji Histopatologi dan Lama Waktu Penyembuhan Luka Mencapai 100%

Tikus normal Tikus diabetes

Struktur kulit tikus lengkap (tanpa jaringan granulasi karena tidak mengalami proses luka)

Kontrol: serat kolagen mulai terbentuk, jaringan granulasi masih luas, jaringan ikat mulai merapat, terdapat pembuluh darah menunjukkan proses penyembuhan luka mencapai fase proliferasi

Kontrol: serat kolagen mulai terbentuk, jaringan granulasi masih luas, jaringan ikat masih renggang, dan terdapat pembuluh darah menunjukkan proses penyembuhan luka mencapai fase proliferasi Lama Waktu Penyembuhan Luka Mencapai 100%

yaitu 15±1 hari

Lama Waktu Penyembuhan Luka Mencapai 100% yaitu 17±1 hari

3

2 1

5 4

1

2 4

5

5 4

3

1

3


(30)

13

Tikus normal Tikus diabetes

BF2: serat kolagen mulai terbentuk, jaringan granulasi masih luas, jaringan ikat telah terbentuk dan menyatu namun belum rapat dan lapisan epidermis telah sempurna, menunjukkan proses penyembuhan luka mencapai tahap awal fase

remodelling

BF2: serat kolagen mulai rapat, jaringan granulasi tersisa sedikit, lapisan epidermis telah sempurna, jaringan ikat mulai terbentuk, dan pemulihan morfologi jaringan semakin mendekati kulit normal menunjukkan proses penyembuhan luka mencapai tahap awal fase remodelling

Lama Waktu Penyembuhan Luka Mencapai 100% yaitu 14±0 hari

Lama Waktu Penyembuhan Luka Mencapai 100% yaitu 15±0 hari

F2: serat kolagen teratur dan rapat, jaringan granulasi tersisa sedikit, jaringan ikat telah terbentuk dan menyatu namun belum rapat, dan lapisan epidermis terbentuk sempurna menunjukkan proses penyembuhan luka mencapai fase remodelling

F2: serat kolagen cukup teratur tetapi kurang rapat, jaringan granulasi tersisa sedikit, lapisan epidermis telah sempurna, jaringan ikat mulai terbentuk, dan terdapat pembuluh darah menunjukkan proses penyembuhan luka mencapai tahap awal fase

remodelling

Lama Waktu Penyembuhan Luka Mencapai 100% yaitu 13±0 hari

Lama Waktu Penyembuhan Luka Mencapai 100% yaitu 13±2 hari

Keterangan: 1=lapisan epidermis; 2=jaringan granulasi; 3=serat kolagen; 4=pembuluh darah; 5=jaringan ikat

KESIMPULAN

Hasil analisis statistika evaluasi sediaan menunjukkan ada perbedaan sifat dan stabilitas fisikokimia yang bermakna antara konsentrasi HPMC 8,75%, 11%, dan 13,25%. Konsentrasi optimal HPMC yang memberikan karakteristik fisikokimia terbaik adalah 11%. Berdasarkan analisis statistik kecepatan penyembuhan luka diabetik, terdapat perbedaan signifikan rata-rata kecepatan penyembuhan luka antara pengobatan F2 dengan kontrol tikus normal maupun kontrol tikus diabetes. Uji histopatologi membuktikan hydrocolloid matrix

piroksikam menghasilkan kualitas jaringan kulit baru yang baik.

1 2

3 5 1 3 4 5 4 1 2 3 5 1 2 3 5 2


(31)

14

Saran untuk penelitian selanjutnya, dilakukan optimasi konsentrasi larutan obat piroksikam, dikembangkan hydrocolloid matrix piroksikam dengan diameter yang lebih besar, penambahan plasticizer (dibutil ftalat), penurunan suhu pengeringan dalam suhu kamar selama 24 jam dilanjutkan pada suhu 45oC, pengujian moisture content dilakukan dalam climatic chamber serta pengemasan dalam aluminium foil yang rapat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih ditujukan kepada Bapak Enade Perdana Istyastono, Ph.D., Apt. dan Bapak Florentinus Dika Octa Riswanto, M.Sc. yang bersedia memberikan masukan, PT. Dexa Medica yang membantu pengadaan bahan penelitian, serta DP2M Dikti yang telah memberikan Grant Penelitian untuk mendukung pendanaan sebagian penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkarim, M., Abdullah, G., Chitneni, M., Salman, I., Ameer, O., Yam, M., Mahdi, E., Sattar, M., Basri, M., and Noor, A., 2010. Topical Piroxicam In Vitro Release and In Vivo Anti-inflammatory and Analgesic Effects from Palm Oil Esters-Based Nanocream. International Journal of Nanomedicine, 5, 915–924.

Amjad, M., Ehtheshamuddin, M., Chand, S., Hanifa, Sabreesh, M., Asia, R., and Kumar, G.S., 2011. Formulation and Evaluation of Transdermal Patches of Atenolol. ARPB, 1 (2), 109–110.

BPOM RI, 2014. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo. Badan Pengawas Obat dan Makanan, 17 (Juni), 65-72.

British Pharmacopoeia, 2009. British Pharmacopoeia. London: The Stationery Office. British Pharmacopoeia, 1993. British Pharmacopoeia Addendum. London: Her Majesty’s

Stationery Office.

DrugBank, 2013. Piroxicam [online], http://www.drugbank.ca/drugs/DB00554/ diakses 25 Juni 2016.

El-gendy, N.A., Abdelbary, G.A., El-komy, M.H., and Saafan, A.E., 2009. Design and Evaluation of a Bioadhesive Patch for Topical Delivery of Gentamicin Sulphate.

Current Drug Delivery, 6 (1), 50–57.

Fudholi, A., 2013. Disolusi dan Pelepasan Obatin vitro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hamed, S., Bennett, C.L., Demiot, C., Ullmann, Y., Teot, L., and Desmoulière, A., 2014.

Erythropoietin, a novel repurposed drug: An innovative treatment for wound healing in patients with diabetes mellitus. Wound Repair and Regeneration, 22 (1), 23–33. Hansen, T.B., and Qu, H., 2015. Formation of Piroxicam Polymorphism in Solution

Crystallization: Effect and Interplay of Operation Parameter. Crystal Growth & Design, 15, 4694-4700.

International Diabetes Federation, 2015. IDF Diabetes Atlas, Seventh Edition. Belgium: International Diabetes Federation.

International Standard ISO 10993-10, 2002. Biological Evaluation of Medical Devices, Part 10 – Test for Irritation and delayed-type hypersensitivity, Second Edition.


(32)

15

Kementerian Kesehatan RI, 2014. Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta Selatan: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.

Liu, H., Chaw, J., Shih, Y., and Huang, C., 2014. Designed Hydrocolloid Interpenetrating Polymeric Networks for Clinical Applications of Novel Drug-Carrying Matrix Systems Using Tris ( 6-isocyanatohexyl ) Isocyanurate and Hydroxypropylmethylcellulose. Bio-Medical Materials and Engineering, 24 (2014), 2065–2072.

Lobmann, R., Ambrosch, A., Schultz, G., Waldmann, K., Schiweck, S., and Lehnert, H., 2002. Expression of matrix-metalloproteinases and their inhibitors in the wounds of diabetic and non-diabetic patients. Diabetologia, 45 (7), 1011–1016.

Mazumder, M.K., Bhattacharya, P., and Borah, A., 2014. Inhibition of matrix metalloproteinase-2 and 9 by Piroxicam confer neuroprotection in cerebral ischemia: An in silico evaluation of the hypothesis. Medical Hypotheses, 83 (6), 697–701. Mirza, S., Miroshnyk, I., Habib, M.J., and Brausch, J.F., 2010. Enhanced Dissolution and

Oral Bioavailability of Piroxicam Formulations : Modulating Effect of Phospholipids.

Pharmaceutics, 2, 339–350.

Pudyastuti, B., Nugroho, A. K., and Martono, S., 2014. Formulasi Matriks Transdermal Pentagamavunon-0 dengan Kombinasi Polimer PVP K30 dan Hidroksipropil Metilselulosa. Jurnal Farmasi Sains dan Komunitas, 11 (2), 44-49.

Rowe, R.C., Sheskey, P.J., and Quinn, M., 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients, Sixth Edition. London: Pharmaceutical Press.

Shirsand, S.B., Ladhane, G.M., Prathap, S., and Prakash, P.., 2012. Design and Evaluation of Matrix Type of Transdermal Patches of Methotrexate. RGUHS J Pharm Sci, 2 (4), 58–65.

Thu, H.E., Zulfakar, M.H., and Ng, S.F., 2012. Alginate Based Bilayer Hydrocolloid Films as Potential Slow-Release Modern Wound Dressing. International Journal of Pharmaceutics, 434 (1-2), 375–383.

Toshkhani, S., Shilakari, G., and Asthana, A., 2013. Advancements in Wound Healing Biodegradable Dermal Patch Formulation Designing. Inventi Rapid: Pharm Tech, 2013 (3), 1–11.

Udegbunam, R.I., Agu, N.N., and Udegbunam, S.O., 2012. Efficacy of Piroxicam on Acute Pain Induced by Full Thickness Excision Wounds in Rats, 6 (23), 1668–1674.

Utami, D.T., Karim, D., and Agrina, 2014. Fakftor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus dengn Ulkus Diabetikum. Jom Psik, 1 (2), 1–7.

Zhang, Y., George, J., Li, Y., Olufade, R., and Zhao, X., 2015. Matrix Metalloproteinase-9 Expression Is Enhanced in Renal Parietal Epithelial Cells of Zucker Diabetic Fatty Rats and Is Induced by Albumin in In Vitro Primary Parietal Cell Culture. Plos One, 10 (4), 1–20.


(33)

16

LAMPIRAN

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(34)

17

Lampiran 1. Proposal Penelitian

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Diabetes Mellitus (DM) merupakan kondisi di mana tubuh tidak dapat memproduksi cukup insulin atau tidak dapat menggunakan insulin secara efektif. Hal ini menyebabkan hiperglikemia, apabila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan berbagai komplikasi kronis yang dapat mengakibatkan kematian (International Diabetes Federation 2015). Salah satu komplikasi tersebut adalah ulkus kaki diabetik yang rentan terhadap infeksi dan amputasi kaki (Kementrian Kesehatan RI 2014). Risiko amputasi penderita DM 15-40 kali lebih besar dibandingkan bukan penderita (Decroli

et al. 2008).

Indonesia menduduki peringkat keempat dari sepuluh negara dengan jumlah penderita DM terbesar di dunia (Mihardja et al. 2014). Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 memaparkan bahwa 6,9% masyarakat Indonesia usia 15 tahun ke atas menderita DM (Kementrian Kesehatan RI 2014). Adapun komplikasi kejadian ulkus kaki diabetik di Indonesia mencapai 15% dari seluruh penderita DM dengan angka amputasi 23,5% dan angka mortalitas 32,5% (Utami et al. 2014).

Matrixmetalloproteinase-9 (MMP-9) bertanggung jawab terhadap perombakan matriks ekstraseluler dalam reorganisasi jaringan. Meningkatnya jumlah MMP-9 hingga 14 kali lipat pada penderita DM mengakibatkan proses penyembuhan luka berjalan lebih lambat dibandingkan bukan penderita. Oleh karena itu, penghambatan MMP-9 diharapkan mampu mempercepat proses penyembuhan luka pada penderita DM (Lobmann et al. 2002).

Piroksikam merupakan obat golongan Non-steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDs) yang diindikasikan untuk rheumatoid arthritis dan osteoarthritis. Dalam penelitian Udegbunam et al. (2012), piroksikam dikembangkan sebagai salah satu obat yang menekan rasa sakit dan mempercepat penyembuhan luka eksisi full thickness pada tikus. Divadi (2015) juga melaporkan bahwa piroksikam memiliki aktivitas anti-inflamasi dan penyembuhan luka pada tikus. Selain sebagai agen anti-inflamasi, Mazumder et al. (2014) melaporkan bahwa piroksikam mampu menghambat dan menurunkan regulasi MMP-9. Dengan demikian, mekanisme piroksikam tersebut berpotensi dikembangkan sebagai obat yang menekan rasa sakit dan mempercepat penyembuhan luka ulkus kaki diabetik pasien DM.

Dalam tata layanan ulkus kaki diabetik, penutupan luka menggunakan


(35)

18

adalah gauze, foams, hidrogel, silver dressing, dan hydrocolloid. Masing-masing wound dressing memberikan cara kerja yang berbeda-beda sehingga penggunaannya pun disesuaikan dengan tipe dan kondisi ulkus yang terjadi (Shai and Maibach 2005). Dalam penelitian ini, ulkus diabetik yang dimaksudkan adalah luka kronis yang mengeluarkan sedikit hingga banyak eksudat, sehingga dibutuhkan wound dressing yang mampu melembabkan lingkungan luka dan menyerap eksudat luka.

Hydrocolloid dressing merupakan sediaan penutup luka berupa partikel koloid dalam lapisan pembentuk gel hidrofilik yang dilekatkan pada

semipermeable film atau foam backing. Hydrocolloid banyak dipilih karena kemampuannya dalam menyeimbangkan kelembaban lingkungan luka, menyerap eksudat, memfasilitasi autolisis debridement, melindungi dari invasi bakteri, dan mengurangi rasa sakit. Bahkan, sediaan ini direkomendasikan sebagai penutup luka primer ulkus tahap I, II dan III. Keuntungan dari sediaan ini yaitu dapat memudahkan penggunaan oleh pasien dan menghemat biaya perawatan luka karena penggantiannya setiap 3-7 hari (Fletcher et al. 2011). Maka, penelitian ini berkaitan dengan pembuatan

hydrocolloid untuk pengobatan lokal ulkus kaki diabetik yang mengandung zat aktif piroksikam sebagai penekan rasa sakit dan penyembuh luka diabetik (Fletcher et al. 2011, Hamed et al. 2014).

Pembentuk gel (polimer) hidrofilik merupakan faktor kritis dalam formulasi hydrocolloid karena mempengaruhi karakteristik sediaan yang dihasilkan. Bahan tersebut berfungsi sebagai matriks pembawa obat yang mengatur pelepasan obat, menentukan sifat dan stabilitas fisikokimia sediaan. Dalam penelitian ini, hidroksipropil metilselulosa (HPMC) dipilih sebagai polimer karena fungsinya sebagai pembentuk film yang baik pada range 2-20% (Rowe et al. 2009). Adanya ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pada HPMC dengan gugus karbonil pada piroksikam juga meningkatkan disolusi piroksikam (Jug et al. 2004). Fungsi HPMC ini didukung oleh penelitian Liu

et al. (2014) yang melaporkan bahwa HPMC sebagai sistem matriks wound dressing mampu menghasilkan penghantaran obat yang larut maupun sukar larut air secara terkontrol. Selain itu, HPMC juga berfungsi sebagai agen penstabil (Rowe et al. 2009).

Konsentrasi HPMC dioptimasi dalam 3 tingkat yang berbeda untuk mengetahui pengaruhnya terhadap karakteristik fisikokima, profil disolusi piroksikam, dan stabilitas fisikokima sediaan. Formula hydrocolloid matrix

piroksikam dengan karakteristik terbaik dipilih untuk uji aktivitas penyembuhannya terhadap luka eksisi pada kelompok tikus diabetes yang diinduksi aloksan maupun kelompok tikus yang tidak diinduksi aloksan.


(36)

19

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Bagaimana pengaruh peningkatan konsentrasi HPMC terhadap sifat dan stabilitas fisikokimia hydrocolloidmatrix diabetic wound healing

piroksikam?

1.2.2. Berapa konsentrasi HPMC yang optimal sebagai polimer hydrocolloid matrix diabetic wound healing piroksikam?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi HPMC terhadap sifat dan stabilitas fisikokimia hydrocolloidmatrix diabetic wound healing

piroksikam.

1.3.2. Mengetahui konsentrasi HPMC yang optimal sebagai polimer

hydrocolloid matrix diabetic wound healing piroksikam.

1.4. Urgensi Penelitian

Penelitian ini berguna untuk mengembangkan sediaan hydrocolloid

piroksikam yang dapat mempercepat proses penyembuhan luka pada penderita DM sehingga mengurangi angka kejadian amputasi akibat ulkus kaki diabetik.

1.5. Kontribusi Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada ilmu kefarmasian di Indonesia, terutama berkaitan dengan pengembangan potensi sediaan hydrocolloid piroksikam sebagai diabetic wound healing.

1.6. Luaran yang Diharapkan

Luaran yang diharapkan dalam penelitian ini yaitu mengetahui konsentrasi HPMC yang optimal serta pengaruhnya terhadap sifat dan stabilitas fisikokimia hydrocolloid matrixdiabetic wound healing piroksikam.

1.7. Manfaat Penelitian

1.7.1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui konsentrasi HPMC yang optimal dalam pembuatan hydrocolloid matrix diabetic wound healing piroksikam dan dapat dijadikan acuan dalam penelitian berikutnya.

1.7.2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat membuktikan secara ilmiah daya penyembuhan luka diabetik oleh piroksikam dalam formulasi


(37)

20

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyembuhan Luka Normal

Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomi normal. Luka dikategorikan sebagai luka akut dan luka kronis berdasarkan lamanya waktu penyembuhan. Luka akut adalah luka dengan proses penyembuhan sesuai jalur penyembuhan luka normal dan berlangsung dalam 8-12 minggu, sedangkan luka kronis adalah luka dengan proses penyembuhan yang tidak sesuai jalur penyembuhan luka normal dan berlangsung lebih dari 12 minggu (Boateng et al. 2008).

Proses penyembuhan luka pada orang normal terjadi dalam empat fase, yaitu koagulasi; inflamasi; proliferasi; dan remodelling. Fase koagulasi dimulai segera setelah terjadi luka yaitu ketika platelet mengagregasi luka untuk memfasilitasi pembentukan benang fibrin yang diubah menjadi matriks sementara dengan bergabungnya fibronectin. Agregat platelet akan mensekresi mediator khusus untuk memanggil makrofag dan fibroblast ke lokasi luka. Fase inflamasi ditandai dengan keluarnya neutrofil dan makrofag dari pembuluh darah menuju lokasi luka untuk fagositosis jaringan yang rusak dan mikroorganisme oportunistik. Sitokin proinflamasi akan merekrut sel inflamasi ke lokasi luka dan menginduksi migrasi sel untuk fase selanjutnya (Hamed et al. 2014).

Fase proliferasi meliputi epitelisasi, fibroplasia, angiogenesis, dan kontraksi. Fase ini diawali saat fase inflamasi berlangsung dan berakhir ketika jaringan granulasi terbentuk pada luka. Growth factor yang disekresikan oleh makrofag di lokasi luka, merangsang angiogenesis dengan menginduksi pertumbuhan dan proliferasi sel endotelium. Pembentukan jaringan granulasi memungkinkan terjadinya epitelisasi dan penutupan luka terbuka. Fase

remodelling meliputi pengakhiran proses inflamasi dan scarforming, pemulihan morfologi jaringan normal, dan reorganisasi matriks kolagen sepanjang garis ketegangan kulit. Pada saat yang sama, sel-sel yang tidak lagi diperlukan untuk penyembuhan luka dihilangkan dengan apoptosis (Hamed

et al. 2014).

2.2. Penyembuhan Luka Diabetik

Salah satu penyebab tertundanya proses penyembuhan luka pada penderita diabetes adalah ketidakseimbangan akumulasi komponen matriks ekstraseluler dengan MMPs dan TIMPs (Lobmann et al. 2002). MMP-9 adalah kelompok enzim zinc-dependent proteinase dengan aktivitas proteolitik terhadap matriks ekstraselular. MMP-9 dikenal sebagai anti-fibrosis karena kemampuannya untuk mendegradasi dan merombak matriks ekstraseluler (Zhang et al. 2015).


(38)

21

MMP-9 yang jumlahnya berlebih pada penderita DM disebabkan oleh meningkatnya produksi radikal bebas dengan mekanisme reaksi redoks akibat keadaan hiperglikemia. Disfungsi endothelial NO synthase bersama dengan aktivasi NADPH-dependent oxidase bertanggung jawab dalam peningkatan produksi superoksida di jaringan pembuluh darah. Mekanisme stres oksidatif yang diinduksi glukosa menaikkan regulasi transkripsi dan aktivitas MMP-9 di sel endotel yang dapat mempengaruhi perkembangan lesi aterosklerotik (Uemura et al. 2001).

Penundaan penyembuhan luka diabetes juga disebabkan oleh meningkatnya apoptosis, berkurangnya angiogenesis, dan menurunnya re-organisasi jaringan oleh serat kolagen (Asai et al. 2012). Kolagen merupakan salah satu komponen matriks ekstraseluler yang berfungsi untuk memberikan kekuatan dan integritas pada jaringan (Enoch and Leaper 2007). Jumlah MMP-9 yang berlebih mengakibatkan berkurangnya jumlah kolagen sehingga memperlambat proses penyembuhan luka (Lobmann et al. 2002).

2.3. Ulkus Kaki Diabetik

Ulkus kaki diabetik terjadi karena adanya faktor kelainan metabolik pada penderita DM, seperti penyakit arteri perifer dan aterosklerosis (makroangiopati), neuropati, mikroangiopati, dan berkurangnya pertahanan terhadap infeksi (Shai and Maibach 2005). Ulkus kaki diabetik dideskripsikan berdasarkan ukuran, kedalaman, kenampakan dan letaknya. Terdapat 2 macam sistem klasifikasi ulkus kaki diabetik yang sering digunakan, yaitu Wagner Ulcer Classification System (tabel 1) dan University of Texas Wound Classification System (tabel 2).

Tabel 1. Wagner Ulcer Classification System

Grade Lesion

1 Superficial diabetic ulcer

2 Ulcer extension involving ligament, tendon, joint capsule, or fascia with no abscess or osteomyelitis

3 Deep ulcer with abscess or osteomyelitis 4 Gangrene to portion of forefoot

5 Extensive gangrene of foot

Tabel 2. University of Texas Wound Classification System

Stages Description

A No infection or ischemia B Infection present

C Ischemia present


(39)

22

Grading Description

0 Epithelialized wound 1 Superficial wound

2 Wound penetrates to tendon or capsule 3 Wound penetrates to bone or joint

(Clayton and Elasy 2009).

Neuropati perifer menjadi faktor risiko utama yang mempengaruhi ulserasi kaki melalui dampaknya terhadap gangguan saraf sensorik, motorik dan otonom (Leung 2007, Chadwick et al. 2013). Gangguan sensorik disadari saat pasien mengeluhkan kaki kehilangan sensasi atau merasa kebas. Rasa kebas menyebabkan trauma yang terjadi pada pasien DM seringkali tidak diketahui. Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot, deformitas kaki, perubahan biomekanika kaki dan distribusi tekanan kaki terganggu sehingga meningkatkan kejadian ulkus kaki. Gangguan otonom menyebabkan kaki mengalami penurunan ekskresi keringat sehingga kulit kaki menjadi kering dan mudah terbentuk fissura. Saat terjadi mikrotrauma keadaan kaki yang mudah retak meningkatkan risiko ulkus kaki diabetik (Chadwick et al. 2013).

Ulkus kaki diabetik karena penyakit arteri perifer muncul di ekstremitas bawah, biasanya pada sisi lateral atau pretibial kaki, punggung kaki, atau area malleolar. Mikroangiopati diabetes ditandai dengan penebalan membran basal dan peningkatan permeabilitas kapiler. Perubahan iskemik (bersama-sama dengan mikroangiopati) menyebabkan kerusakan tambahan pada kulit, sehingga meningkatkan kemungkinan ulserasi (Shai and Maibach 2005). Selain itu, penurunan respon sistem kekebalan tubuh penderita DM terutama penurunan kemampuan kemotaksis perekrutan sel inflamasi ke dalam jaringan luka dapat meningkatkan risiko infeksi bakteri (Leung 2007).

2.4. Piroksikam

Gambar 1. Struktur Molekul Piroksikam

(Pal et al. 2009).

Piroksikam (Gambar 1) adalah obat anti-inflamasi non steroid yang digunakan dalam pengobatan rheumatoid arthritis, osteoarthritis dan gangguan inflamasi lainnya (Pal et al. 2009). Siklooksigenase (COX) merupakan suatu enzim kunci proinflamasi yang mengonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin. Prostaglandin berkontribusi terhadap rasa


(40)

23

sakit dan berbagai penyakit inflamasi (Chiong et al. 2013). Selain itu, prostaglandin juga dapat meningkatkan regulasi dari MMP-9 dengan menginduksi ekspresi dan sekresi dari MMP-9 (Yen et al. 2008).

Penelitian oleh Campione et al. (2015) membuktikan bahwa piroksikam mampu menghambat aktivitas enzim COX-1 dan COX-2 melalui pembentukan ikatan hidrogen residu Serin530 dan Tirosin355 (pada COX-1) dan ikatan hidrogen dengan residu Tirosin355 dan residu Arginin120 (pada COX-2) (Gambar 2). Terhambatnya aktivitas siklooksigenase mengurangi pembentukan prostaglandin sehingga dapat mengurangi level MMP-9 (Yen

et al. 2008, Campione et al. 2015). Penurunan jumlah MMP-9 ini didukung oleh penelitian Mazumder et al. (2014) yang melaporkan bahwa piroksikam secara in sillico mampu menekan regulasi MMP-9 dengan interaksi ikatan hidrogen dengan residu Prolin421 (Gambar 3).

Gambar 2. Interaksi Piroksikam dengan COX-1 (A) dan COX-2 (B)

(Campione et al. 2015).

Gambar 3. Interaksi Piroksikam dengan MMP-9


(41)

24

Piroksikam memiliki bobot molekul sebesar 331,35 g/mol dan titik leleh sebesar 198-200oC (DrugBank 2013), serta memiliki nilai pKa 5,3 dan pKb 1,86 sehingga memungkinkan piroksikam bertindak sebagai obat

zwitterionic pada nilai pH tertentu (Abdulkarim et al. 2010) Kelarutan piroksikam dalam etanol sebesar 5 mg/mL (Santa Cruz Biotechnology 2016). Sebagai asam lemah, piroksikam dapat terionisasi pada pH 7,4. Piroksikam memiliki nilai logP sebesar 3,06 (DrugBank 2013). Berdasarkan sifat-sifat kimia tersebut, piroksikam termasuk dalam Biopharmaceutics Classification System (BCS) kelas II dimana absorpsi obat dibatasi oleh kecepatan disolusi karena kelarutannya dalam air rendah, yaitu 23 mg/L (Mirza et al. 2010, DrugBank 2013). Piroksikam memiliki nilai LD50 dermal dan oral berturut-turut pada tikus sebesar >5000 mg/kg dan 216 mg/kg (United State Pharmacopeial 2013), sedangkan nilai ED50 topikal piroksikam pada manusia sebesar 5 mg (Juel-Friis et al. 2014).

2.5. Sediaan Penyembuh Luka

Wound dressing adalah penggunaan beragam bahan untuk melindungi luka (Food and Drug Association 2009). Tujuan dari wound dressing adalah untuk mempromosikan penyembuhan luka dalam waktu sesingkat mungkin, dengan rasa sakit minimal, dan harus terjadi dalam lingkungan fisiologis yang kondusif untuk perbaikan jaringan dan regenerasi (Esimone et al. 2008). Pada luka kronis seperti ulkus diabetik, fase inflamasi berkepanjangan seringkali menghambat fase proliferasi. Oleh karena itu, kunci untuk penyembuhan luka kronis bukan hanya menyeimbangkan tingkat kelembaban di area luka, tetapi juga eksekusi senyawa-senyawa di eksudat luka kronis yang menghambat penyembuhan luka (Okan et al. 2007).

Sediaan penyembuh luka dikatakan ideal dalam penggunaannya apabila sediaan tersebut dapat melindungi luka dari invasi bakteri, mencegah dehidrasi, menyerap eksudat luka dan mempercepat penyembuhan luka (Sun

et al. 2011). Selain itu, sediaan penyembuh luka yang ideal harus mampu memelihara lingkungan luka secara seimbang, memungkinkan terjadinya pertukaran udara dan uap air, serta mengurangi rasa sakit. Sediaan penyembuh luka untuk ulkus kaki diabetik harus memperhatikan beberapa hal, antara lain kenyamanan, kesesuaian, fleksibilitas apabila digunakan di area kaki; kemudahan untuk dihilangkan sehingga tidak menimbulkan trauma baru; kemudahan penggunaan oleh pasien; efektivitas, dan biaya relatif murah (Chadwick et al. 2013).

2.6. Hydrocolloid

Hydrocolloid dressing terbuat dari lapisan bahan pembentuk gel yang melekat pada semipermeable film atau foam (Fletcher et al. 2011). Ketika

hydrocolloid dressing diaplikasikan pada permukaan ulkus, terjadi interaksi


(42)

25

antara substansi hydrocolloid dan cairan ulkus menghasilkan massa agar-agar berwarna kuning. Substansi hydrocolloid mengabsorpsi bahan nekrotik dan cairan ulkus, sedangkan massa agar-agar ini berkontribusi pada pembentukan lingkungan yang lembab, memfasilitasi autolisis debridement, pembentukan jaringan granulasi, dan epitelisasi. Adanya massa agar-agar melindungi jaringan granulasi dan epitel baru ketika hydrocolloid dressing dilepas atau diganti (Shai and Maibach 2005).

Hydrocolloid dressing diganti setiap 3-7 hari. Hal ini bertujuan untuk menghindari kerusakan kulit sekitar ketika melepas perekat (Fletcher et al.

2011). Dalam kasus tertentu, frekuensi penggantian dressing bergantung pada penampakan ulkus. Apabila ulkus tidak bersih, perlu dilakukan pengawasan dan penggantian dressing setiap 48 jam bahkan 24 jam (Shai and Maibach 2005).

Hydrocolloid dressing mempunyai beberapa keuntungan, yaitu: a. Menciptakan lingkungan luka yang lembab untuk

mempromosikan angiogenesis, meningkatkan jumlah fibroblas, menstimulasi produksi jaringan granulasi, dan meningkatkan jumlah sintesis kolagen;

b. Melembutkan dan merehidrasi jaringan nekrosis supaya terjadi autolisis debridement;

c. Sifat adhesif dan anti-air hydrocolloid berfungsi sebagai barrier

terhadap bakteri, virus, dan kontaminasi senyawa asing;

d. Sifat licin dari backing mengurangi koefisien friksi sehingga melindungi kulit regenerasi;

e. Pembentukan gel selama penyembuhan luka memudahkan penggantian sediaan tanpa meninggalkan trauma dan melindungi ujung saraf nyeri sehingga mengurangi rasa sakit pada luka

(Fletcher et al. 2011).

2.7. Hidroksipropil Metilselulosa (HPMC)

Gambar 4. Struktur Molekul HPMC


(43)

26

HPMC (Gambar 4) banyak digunakan sebagai polimer dalam formulasi sediaan topikal karena sifatnya yang tidak beracun, tidak mengiritasi, dan kompatibel dengan berbagai macam bahan obat ataupun eksipien. Beberapa fungsi HPMC sebagai bioadhesive material, agen pelepasan terkontrol dan agen penstabil, dapat mendukung sistem penghantaran obat dalam hydrocolloid. Selain itu, HPMC juga berfungsi sebagai dissolution enhancer sehingga dapat meningkatkan disolusi obat-obatan dengan kelarutan dalam air yang buruk, seperti piroksikam. HPMC dengan konsentrasi 2-20% mempunyai fungsi sebagai pembentuk film (Rowe

et al. 2009).

2.8. Landasan Teori

Luka kronis pada penderita DM mengakibatkan banyaknya jumlah prostaglandin yang disintesis. Prostaglandin merupakan salah satu mediator inflamasi yang menginduksi MMP-9. Piroksikam sebagai inhibitor non-selektif terhadap siklooksigenase mampu menghambat sintesis prostaglandin. Selain itu, secara in silico piroksikam juga mampu menghambat secara langsung aktivitas enzim MMP-9.

Hydrocolloid dressing merupakan sediaan pembalut luka yang direkomendasikan untuk penyembuhan ulkus karena kemampuannya dalam menyeimbangkan kelembaban lingkungan luka, menyerap eksudat, memfasilitasi autolisis debridement, melindungi dari invasi bakteri, dan mengurangi rasa sakit. Hydrocolloid memudahkan pasien dalam penggunaannya dan menghemat biaya perawatan luka. Piroksikam yang diformulasikan ke dalam hydrocolloid dapat mempercepat penyembuhan luka pada penderita DM.

HPMC berfungsi sebagai bahan pembentuk gel hidrofilik yang mengontrol pelepasan zat aktif. Selain itu, fungsinya sebagai bahan bioadhesif dan agen penstabil dapat meningkatkan kualitas sediaan. Oleh karena itu, penggunaan HPMC sebagai pembentuk matriks hydrocolloid piroksikam dapat memberikan karakteristik sediaan yang dikehendaki, sehingga akan diperoleh formula optimal sebagai diabetic wound healing.

2.9. Hipotesis

2.9.1. Meningkatnya konsentrasi HPMC mempengaruhi sifat fisikokomia

hydrocolloid matrix diabetic wound healing piroksikam.

2.9.2. Pada konsentrasi HPMC tertentu menghasilkan formula hydrocolloid matrix diabetic wound healing piroksikam yang optimal.


(44)

27

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian yang berjudul “Optimasi Konsentrasi Hidroksipropil

Metilselulosa (HPMC) sebagai Polimer Hydrocolloid Matrix Diabetic Wound Healingdengan Zat Aktif Piroksikam” ini termasuk penelitian eksperimental

murni.

3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.2.1. Variabel penelitian

a. Variabel bebas: variasi konsentrasi HPMC sebagai polimer

hydrocolloid matrix diabetic wound healing piroksikam.

b. Variabel tergantung: sifat dan stabilitas fisikokimia hydrocolloid matrix diabetic wound healing.

c. Variabel pengacau:

1) Variabel pengacau terkendali: produsen obat dan bahan kimia untuk formula hydrocolloid matrix, prosedur pembuatan dan pengujian sediaan, kondisi penyimpanan sediaan, serta wadah penyimpanan sediaan.

2) Variabel pengacau tak terkendali: suhu dan kelembaban udara ruangan selama pembuatan dan pengujian sediaan.

3.2.2. Definisi Operasional

a. Hydrocolloid matrix piroksikam: sediaan yang mengandung HPMC, aseton, propilen glikol, gliserol, dan akuades sebagai basis yang ditambahkan zat aktif piroksikam lalu dibentuk hydrocolloid matrix.

b. HPMC: polimer yang ditambahkan ke dalam hydrocolloid matrix

piroksikam dengan 3 konsentrasi berbeda yaitu 8,75%%, 11% dan 13,25%.

c. Sifat fisikokimia hydrocolloid matrix piroksikam: parameter kualitas fisik sediaan yang meliputi organoleptis, keseragaman bobot sediaan, ketebalan sediaan, pH, persen moisture content, persen moisture absorption, folding endurance, keseragaman kandungan obat dalam sediaan, pelepasan obat dari sediaan, dan iritabilitas sediaan.

d. Stabilitas fisikokimia sediaan: parameter kestabilan hydrocolloid matrix piroksikam meliputi perubahan fisik dan kandungan obat setelah diberi perlakuan suhu yang berbeda selama penyimpanan. e. Sterilitas hydrocolloid matrix piroksikam: uji mikrobiologi yang


(45)

28

f. Organoleptis: uji penampakan fisik hydrocolloid matrix piroksikam yang memiliki warna seragam, jernih, dan halus.

g. Keseragaman bobot sediaan: uji terkait variasi bobot hydrocolloid matrix piroksikam yang menunjukkan hasil homogen dengan nilai CV <10%.

h. Ketebalan sediaan: uji terkait variasi ketebalan hydrocolloid matrix

piroksikam yang menunjukkan hasil homogen dengan target ketebalan 0,5 mm.

i. pH larutan sediaan: uji terkait pH larutan hydrocolloid matrix

piroksikam yang berada pada range pH 4-7 atau kurang dari 7,6. j. Persen moisture content: uji terkait penyerapan kelembaban oleh

hydrocolloid matrix piroksikam sampai mencapai titik jenuh. Formula dengan nilai persen moisture content terendah dipertimbangkan sebagai formula optimal.

k. Persen moisture absorption: uji terkait kandungan lembab yang terdapat dalam sediaan hydrocolloid matrix piroksikam. Formula dengan nilai persen moisture absorption tertinggi dipertimbangkan sebagai formula optimal.

l. Folding endurance sediaan: uji untuk mengetahui fleksibilitas

hydrocolloid matrix piroksikam ditunjukkan oleh formula dengan nilai ketahanan pelipatan sampai 300 kali.

m. Keseragaman kandungan obat: uji untuk mengetahui keseragaman dan dispersi obat dalam sediaan, ditunjukkan dengan nilai %recovery yang seragam.

n. Pelepasan obat dari hydrocolloid matrix piroksikam: uji untuk mengetahui pelepasan obat dari sediaan, ditunjukkan oleh formula optimal dengan nilai dissolution efficieny tertinggi.

o. Iritabilitas sediaan: uji untuk mengetahui bahwa sediaan tidak mengiritasi kulit yang ditunjukkan dengan nilai indeks iritasi primer <0,5.

p. Formula optimal sediaan: hydrocolloid matrix piroksikam yang memenuhi kriteria semua sifat dan stabilitas fisikokimia.

q. Tikus putih galur Wistar jantan terinduksi aloksan: merupakan tikus putih galur Wistar jantan yang menderita diabetes dengan kadar glukosa darah >250 mg/dL akibat diinduksi aloksan sebanyak 150 mg/kgBB.

r. Uji aktivitas hydrocolloid matrix piroksikam: uji yang menunjukkan bahwa sediaan memiliki aktivitas diabetic wound healing, dilihat dari penyembuhan luka dengan nilai wound closure

100% dan kecepatan waktu penyembuhan pada luka eksisi tikus


(46)

29

diabetes setelah diaplikasikan sediaan hydrocolloid matrix

piroksikam dibandingkan dengan tikus yang tidak diinduksi aloksan dan diberi perlakuan yang sama dengan tikus diabetes. s. Uji histopatologi: pengamatan morfologi kulit bekas luka dan kulit

tikus kontrol secara mikroskopik menggunakan mikroskop cahaya dengan bantuan zat pewarna.

3.3. Subjek dan Bahan Penelitian 3.3.1. Subjek Penelitian

a. Populasi: tikus putih galur Wistar jantan yang terinduksi aloksan, dan yang tidak terinduksi aloksan, serta kelinci albino jantan. b. Sampel: masing-masing 3 ekor tikus putih galur Wistar jantan yang

terinduksi aloksan dan yang tidak terinduksi aloksan dengan berat badan 150-180 g, serta 3 ekor kelinci albino jantan dengan berat badan 1,8-2,2 kg.

3.3.2. Bahan Penelitian

Piroksikam, aseton, HPMC, propilen glikol, gliserol, akuades, metanol, larutan PBS pH 6,4, aloksan monohidrat, WFI, test kit

Glucose GOD FS, krim depilatori, etil asetat, kapas, etanol 70%, ketamin, NaCl saline, kassa steril, hypavix, Nutrient Agar, formalin 10%, larutan Harris Hematoxylin, larutan acid alkohol, larutan ammonium, larutan stok Eosin alkohol 1%, dan larutan working Eosin.

3.4. Alat Penelitian

Timbangan analitik (Ohaus), alat-alat gelas (Pyrex), cawan porselen, termometer, batang pengaduk, hotplate magnetic stirrer, stirrer, jangka sorong, pipet tetes, spuit injeksi, skalpel, tube eppendorf, sentrifugator, MicroLab-200 (Merck), mikropipet (Socorex), tabung reaksi, aluminium foil,

plastic wrap, autoklaf, oven, climatic chamber, kabinet LAF, cawan petri, Franz diffusion cell, spektrofotometer UV, pinset, gunting, biopsy punch 5 mm, kaca objek dan kaca penutup, plastic wrap, kaca bundar, vortex (Wilten), dan mikroskop cahaya Olympus tipe BH-2 (Olympus Corp., Jepang).

3.5. Skema Kerja Penelitian Sterilisasi ruangan,

alat dan bahan

Pembuatan hydrocolloid matrix

diabetic wound healing piroksikam

Uji sterilitas

Uji sifat dan stabilitas fisikokimia

Uji aktivitas formula optimal

Analisis hasil dan penulisan laporan


(47)

30

3.6. Tata Cara Penelitian

3.6.1. Sterilisasi Ruang, Alat, dan Bahan

Kabinet LAF dibersihkan dengan menggunakan etanol 70% kemudian lampu UV dinyalakan selama 24 jam. Proses ini dilakukan sebelum proses pembuatan hydrocolloid matrix piroksikam. Kemudian dilanjutkan proses sterilisasi cawan petri dan tabung reaksi bertutup dengan cara sterilisasi panas kering menggunakan oven pada suhu 180oC selama 1 jam. Setelah itu oven yang digunakan untuk pengeringan campuran gel disterilisasi menggunakan etanol 70%.

3.6.2. Pembuatan hydrocolloid matrix diabetic wound healing piroksikam

Dasar dari pemilihan formula dalam penelitian ini adalah formula hydrocolloid film oleh Thu et al. (2012) sebagai berikut:

Tabel 3. Formula Hydrocolloid Film Formula Hydrocolloid Film

Ibuprofen 5 g

Sodium alginate 6 g

Propylene glycol 15 mL

Etanol 5 mL

Gliserol 6 mL

Akuades 74 mL

Modifikasi formula yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Formula Hydrocolloid Modifikasi

Formula BF1 BF2 BF3 F1 F2 F3

Campuran A

Piroksikam - - - 0,175 0,175 0,175

Aseton 6,887 6,887 6,887 6,887 6,887 6,887

PG 7,8 7,8 7,8 7,8 7,8 7,8

Campuran B

HPMC 4,375 5,5 6,625 4,375 5,5 6,625

Gliserol 3,78 3,78 3,78 3,78 3,78 3,78

Akuades ad 50 ad 50 ad 50 ad 50 ad 50 ad 50

HPMC pada campuran B dilarutkan dalam akuades sambil diaduk dengan stirrer pada suhu 40°C hingga terbentuk gel. Kemudian campuran A disiapkan dan ditambahkan ke dalam gel HPMC lalu diaduk dengan stirrer hingga homogen. Setelah itu gliserol


(1)

data: tikusnormal$kontrol and tikusnormal$F2 F = Inf. num df = 2. denom df = 2. p-value < 2.2e-16 > t.test(tikusnormal$kontrol,tikusnormal$F2)

Welch Two Sample t-test

data: tikusnormal$kontrol and tikusnormal$F2 t = 5. df = 2. p-value = 0.03775

> var.test(tikusnormal$BF2,tikusnormal$F2) F test to compare two variances

data: tikusnormal$BF2 and tikusnormal$F2 F = NaN. num df = 2. denom df = 2. p-value = NA > t.test(tikusnormal$BF2,tikusnormal$F2)

Error in t.test.default (tikusnormal$BF2. tikusnormal$F2): data are essentially constant

Analisis statistik

Nilai p-value Kesimpulan Kelompok 1 Kelompok 2

Kontrol normal BF2 normal 0,1835 Tidak berbeda signifikan Kontrol normal F2 normal 0,03775 Berbeda signifikan

BF2 normal F2 normal NA -

10.3.Keseluruhan data tikus diabetes dan tikus normal a. Data


(2)

b. Uji homogenitas

c. Uji Kruskal Wallis

p value <0.05. H1 diterima. Kesimpulannya: pada taraf kepercayaan 95% ada perbedaan rata-rata kecepatan penyembuhan luka tikus diabetes dengan kecepatan penyembuhan luka tikus normal.

d. Post hoc

> var.test(WH$kontroldiabet,WH$kontrolnormal) F test to compare two variances

F = 1. num df = 2. denom df = 2. p-value = 1

> t.test(WH$kontroldiabet,WH$kontrolnormal,var.equal=T) Two Sample t-test

t = 4.2426. df = 4. p-value = 0.01324

> var.test(WH$kontroldiabet,WH$BF2normal) F test to compare two variances


(3)

> t.test(WH$kontroldiabet,WH$BF2normal) Welch Two Sample t-test

t = 8. df = 2. p-value = 0.01527

> var.test(WH$kontroldiabet,WH$F2normal) F test to compare two variances

F = Inf. num df = 2. denom df = 2. p-value < 2.2e-16 > t.test(WH$kontroldiabet,WH$F2normal)

Welch Two Sample t-test

t = 11. df = 2. p-value = 0.008163

> var.test(WH$BF2diabet,WH$kontrolnormal) F test to compare two variances

F = 0. num df = 2. denom df = 2. p-value < 2.2e-16 > t.test(WH$BF2diabet,WH$kontrolnormal)

Welch Two Sample t-test t = 1. df = 2. p-value = 0.4226

> var.test(WH$F2diabet,WH$kontrolnormal) F test to compare two variances

F = 9. num df = 2. denom df = 2. p-value = 0.2 > t.test(WH$F2diabet,WH$kontrolnormal,var.equal=T)

Two Sample t-test

t = -1.5811. df = 4. p-value = 0.189 > var.test(WH$BF2diabet,WH$BF2normal)

F test to compare two variances

F = NaN. num df = 2. denom df = 2. p-value = NA > t.test(WH$BF2diabet,WH$BF2normal)

Error in t.test.default(WH$BF2diabet. WH$BF2normal) : data are essentially constant

> var.test(WH$BF2diabet,WH$F2normal) F test to compare two variances

F = NaN. num df = 2. denom df = 2. p-value = NA > t.test(WH$BF2diabet,WH$F2normal)


(4)

Error in t.test.default(WH$BF2diabet. WH$F2normal) : data are essentially constant

> var.test(WH$F2diabet,WH$BF2normal) F test to compare two variances

F = Inf. num df = 2. denom df = 2. p-value < 2.2e-16 > t.test(WH$F2diabet,WH$BF2normal)

Welch Two Sample t-test t = -1. df = 2. p-value = 0.4226

> var.test(WH$F2diabet,WH$F2normal) F test to compare two variances

F = Inf. num df = 2. denom df = 2. p-value < 2.2e-16 > t.test(WH$F2diabet,WH$F2normal)

Welch Two Sample t-test t = 0. df = 2. p-value = 1 Analisis statistik

Nilai p-value Kesimpulan Kelompok 1 Kelompok 2

Kontrol diabet BF2 diabet 0,03775 Berbeda signifikan Kontrol diabet F2 diabet 0,02539 Berbeda signifikan

BF2 diabet F2 diabet 0,1835 Tidak berbeda

signifikan Kontrol normal BF2 normal 0,1835 Tidak berbeda

signifikan Kontrol normal F2 normal 0,03775 Berbeda signifikan

BF2 normal F2 normal NA -

Kontrol diabet Kontrol normal 0,01324 Berbeda signifikan Kontrol diabet BF2 normal 0,01527 Berbeda signifikan Kontrol diabet F2 normal 0,008163 Berbeda signifikan

BF2 diabet Kontrol normal 0,4226 Tidak berbeda signifikan F2 diabet Kontrol normal 0,189 Tidak berbeda

signifikan

BF2 diabet BF2 normal NA -

BF2 diabet F2 normal NA -

F2 diabet BF2 normal 0,4226 Tidak berbeda

signifikan

F2 diabet F2 normal 1 Tidak berbeda


(5)

Lampiran 13. Dokumentasi Penelitian

a b c

d e f

Hydrocolloid matrix: (a) F1, (b) F2, (c) F3, (d) BF1, (e) BF2, dan (f) BF3

Uji pH larutan sediaan Uji iritasi sediaan pada kelinci 1


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Gracia Elwy Nona Sanjivany dilahirkan di Surakarta, 3 September 1995 oleh pasangan suami-istri bernama Mikael Eko Prihardono dan Anastasia Tiwik Dwi Irianti. Penulis skripsi berjudul “Optimasi Konsentrasi Hidroksipropil Metilselulosa (HPMC) sebagai Polimer Hydrocolloid Matrix Diabetic Wound Healing dengan Zat Aktif Piroksikam” ini merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Pangudi Luhur 3 Surakarta pada tahun 2007. Kemudian, penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Pangudi Luhur Bintang Laut Surakarta pada tahun 2007 hingga 2010. Setelah itu penulis menempuh pendidikan menengah atas di sekolah berasrama SMA Van Lith Muntilan dan mengambil jurusan IPA selama 3 tahun. Lalu pada tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan mengambil minat Farmasi Sains dan Teknologi.

Penulis cukup aktif dalam kegiatan di dalam dan di luar Kampus, baik kepanitiaan maupun organisasi. Pada tahun 2015, penulis menjadi delegasi Jaringan Mahasiswa Kesehatan Indonesia (JMKI) Komisariat Universitas Sanata Dharma dalam Pra Kongres Mahasiswa Kesehatan Indonesia (Pra-KMKI) IX di Jember. Selain itu penulis juga merupakan Beswan Djarum angkatan 31 yang menjadi penerima Djarum Beasiswa Plus periode 2015/2016.