Motivasi waria menjadi anggota pesantren.

(1)

Studi Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Nidia Gabriella Indyaningtyas

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran motivasi seorang waria yang memilih untuk menjadi anggota pesantren. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis fenomenologi interpretif dari data yang didapatkan melalui proses wawancara semi terstruktur dan observasi selama wawancara berlangsung. Jumlah informan yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah dua orang yang merupakan anggota pesantren lebih dari satu tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi waria menjadi anggota pesantren didorong oleh berbagai. Kebutuhan tersebut didominasi oleh afeksi, kekaguman, simpati, cinta dan ketergantungan serta pencapaian power, kekayaan, prestis, pengetahuan dan prestasi. Berdasarkan pola motivasi kedua informan, dapat dilihat bahwa satu kebutuhan dapat memunculkan beberapa motif dan satu motif dapat dipengaruhi oleh beberapa kebutuhan. Namun, secara keseluruhan pola motivasi keduanya berbeda dari segi motif yang dihasilkan dari beberapa kebutuhan yang sama-sama ditemukan pada keduanya, hanya ada satu pola yang sama yakni n. Counteraction yang memunculkan motif keinginan untuk memiliki kontrol diri.


(2)

Study in Psychology in Sanata Dharma University

Nidia Gabriella Indyaningtyas

ABSTRACT

This research aimed to identify the motivation of transgender who chose to become a member of pesantren (Islamic education state). The method of this research is qualitative with interpretive phenomenology analysis of the data which were obtained through semi-structured interviews and observations during the interviews. This research involved two informant who have been members of pesantren for more than a year.

The result showed that transgender’s motivation for becoming a members of pesantren was influenced by a variety of needs which led to various motives. Those needs dominated by affection, admiration, sympathy, love, and dependence and than to achievea power, wealth, prestige, knowledge, and achievement. Based on the pattern of motivation from the both of informant, it can be seen that a need may be generating some motives and a motive can be influenced by multiple needs. However, the patterns of motivation from both are different in

terms of motive’s result from some needs which are equally found in both. There is only one similar pattern, it is n. Counteraction which rises to the desire for self-control motive.


(3)

i

MOTIVASI WARIA MENJADI ANGGOTA PESANTREN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Nidia Gabriella Indyaningtyas 119114077

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN MOTTO

“Segala Perkara dapat

kutanggung di dalam Dia yang

memberi kekuatan kepadaku”

-Filipi 4:13-

Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Untuk Dia yang kusebut Tuhanku, Yesus Kristus Sang Juru

Selamat

Untuk Mama, malaikat tanpa sayapku dan Adik luar biasaku (Osmond

Giovanni Indyaputra) yang akan ku perjuangkan kebahagiaannya.

Untuk keluarga besar Mamaku yang telah mengajarkanku

kesederhanaan dalam hidup.

Untuk Papa, yang selalu kurindu sosoknya

Untuk si Pujaan Hati dan geng Ciwik-Ciwik yang mengisi hatiku.

Untuk para penjuang skripsi, bersemangatlah, berjuanglah!


(8)

(9)

vii

MOTIVASI WARIA MENJADI ANGGOTA PESANTREN

Studi Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Nidia Gabriella Indyaningtyas

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran motivasi seorang waria yang memilih untuk menjadi anggota pesantren. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis fenomenologi interpretif dari data yang didapatkan melalui proses wawancara semi terstruktur dan observasi selama wawancara berlangsung. Jumlah informan yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah dua orang yang merupakan anggota pesantren lebih dari satu tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi waria menjadi anggota pesantren didorong oleh berbagai. Kebutuhan tersebut didominasi oleh afeksi, kekaguman, simpati, cinta dan ketergantungan serta pencapaian power, kekayaan, prestis, pengetahuan dan prestasi. Berdasarkan pola motivasi kedua informan, dapat dilihat bahwa satu kebutuhan dapat memunculkan beberapa motif dan satu motif dapat dipengaruhi oleh beberapa kebutuhan. Namun, secara keseluruhan pola motivasi keduanya berbeda dari segi motif yang dihasilkan dari beberapa kebutuhan yang sama-sama ditemukan pada keduanya, hanya ada satu pola yang sama yakni n. Counteraction yang memunculkan motif keinginan untuk memiliki kontrol diri.


(10)

viii

TRANSGENDER’S MOTIVATION FOR BEING A MEMBER OF PESANTREN (ISLAMIC EDUCATION STATE)

Study in Psychology in Sanata Dharma University

Nidia Gabriella Indyaningtyas

ABSTRACT

This research aimed to identify the motivation of transgender who chose to become a member of pesantren (Islamic education state). The method of this research is qualitative with interpretive phenomenology analysis of the data which were obtained through semi-structured interviews and observations during the interviews. This research involved two informant who have been members of

pesantren for more than a year. The result showed that transgender’s motivation for becoming a

members of pesantren was influenced by a variety of needs which led to various motives. Those needs dominated by affection, admiration, sympathy, love, and dependence and than to achievea power, wealth, prestige, knowledge, and achievement. Based on the pattern of motivation from the both of informant, it can be seen that a need may be generating some motives and a motive can be influenced by multiple

needs. However, the patterns of motivation from both are different in terms of motive’s result from some needs which are equally found in both. There is only one similar pattern, it is n. Counteraction which rises to the desire for self-control motive.


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah dan penyertaan-Nya yang luar biasa, sehingga penelitian yang berjudul MOTIVASI WARIA MENJADI ANGGOTA PESANTREN ini telah selesai. Penelitian ini merupakan syarat untuk mendapatkan gelar Strata Satu (S1) Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Selama proses penulisan, penulis telah didukung dan dibantu oleh beberapa pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terimakasih kepada:

1. Mama, yang luar biasa kedua setelah Tuhan. Terimakasih banyak ya Ma atas segalanya. Semoga dengan gelar ini, aku bisa sedikit membalas pengorbananmu ya Ma, tunggu aku sukses, pastiku akan membahagiakanmu.

2. Ibu Dr. Tjipto Susana, M.Si, yang sering ku sebut Bunda, selaku dosen pembimbing skripsiku yang luar biasa. Terimakasih banyak Bu, atas bimbingannya selama ini, atas kesabarannya membimbingku dan semua waktu yang telah Ibu luangkan, sesibuk apapun, Ibu selalu menyempatkan untuk mengadakan bimbingan setiap minggunya.

3. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi yang telah memimpin Fakultas Psikologi ini dengan baik.

4. Kedua Dosen Penguji yang baik hati Bapak YB. Cahya Widiyanto, Ph.D., dan Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi., terimakasih karena telah menyediakan


(13)

xi

waktunya untuk mendengarkan hasil penelitian saya dan membantu saya untuk memperbaikinya.

5. Ibu Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi, selaku Dosen Pembimbing Akademik saya dan juga PKM-M tim PIMNAS YUK saya yang luar biasa. I love You, Bu. 6. Dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma,

terimakasih atas pengajaran kalian semua selama perkuliahan.

7. Papa, dimanapun kamu berada. Terimakasih sudah bertanggungjawab membiayaiku dan adek kuliah. Apapun yang telah kamu lakukan, kamu tetap orangtua kami. Sehat selalu ya, Pa, aku rindu berkumpul bersama berempat. 8. Osmond Giovanni Indyaputra, makasih banyak adekku sayang buat semua yang

kamu lakukan. Besok studinya jangan lama kayak aku.

9. Geng "Ciwik-Ciwik", makasih buat Benedikta Elsa Yuninda Pasaribu, Agnes Wijaya, Albertin Melati Widyaninta, Raysa Bestari Siniwi, Margaretha Theresia Ghea Kuncahyani, Martha Veronica Sihombing, Ketut Yunita Primaturini, dan Marius Angga Kurnianto. Terimakasih sudah mengubah pandanganku tentang sahabat. Kalian segalanya.

10.Untuk Keluarga Nugraha (Abang Haha, Bene, Dek Epek, Dek Kenan yang blm diadopsi waktu aku nulis ini) aku sayang kalian dan bapak, ibuk, dan Elmo. 11.Vianey Yona Widya Sasmita, terimakasih Genjikku buat pengalaman yang luar

biasa tentang cinta dan segala perjuangannya. Semoga Tuhan menyertai kita selalu. Sampai bertemu di masa depan, Amin.


(14)

xii

12.Untuk anak-anak AKSIku SKINNER (Vita, Bincik, Aryo, Kenang, Lintang, Novia, Patrice, Lenny, Richard), BIPOLAR (Riya, Luky, Gregory, Bama, Putri, Fena, Vina, Erdian, Sendy, Febi, Lias, Tasya), dan KREATIVITAS (Tesa, Mike, Flora, Rico, Hannah, Wendy, Gabriel, Ellen, Ines, Sesa, Yolan). Makasih

ya sudah boleh menjadi ‗Ibumu‘ heheh, teruskan perjuangan kalian, sukses

selalu.

13.Untuk keluarga AKSI 2012, 2013, 2015 terutama keluarga TUTOR, PSYCHOFEST 2012, 2014, dan Asisten UTS/UAS yang digawangi oleh Hwang Xiu Yue, tetap garang dan galak membasmi percontekan!!

14.Keluarga UKM SEXEN USD dan terutama Mas Yoga Prihantara yang sudah bersedia menyediakan waktunya untuk mendengarkan keluh kesahku, bien aku wedi mbek koe mas ahahaha.

15.Untuk Mas Ucil dan Mas Gatyo, yang udah membantuku menyelesaikan skripsi dan menasihatiku, maaf yo aku ngeyelan haha.

16.Untuk keluarga NURI ADVENTURIA, atas pengalamannya dan kepercayaannya menjadikanku fasilitator.

17.Untuk keluarga PSIKOLOGI 2011, terimakasih banyak atas semuanya yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu. Terkhusus untuk Mandana, Endah, Gunam, Pika, Natan, salam bukan wacana!!

18.Untuk kedua informan yang sangat membantuku dalam menyelesaikan skripsi ini. Tanpa kalian aku hanyalah apa. Dan terutama untuk Pondok Pesantren Waria (Al-Fatah) yang bersedia menerimaku untuk menjadi keluarga baru.


(15)

xiii

19.Terimakasih untuk Dyah Ayu Perwitasari, Clothilde Arum Jayatri Rejeki dan Dwi Agnes Setiani yang bersedia menyediakan waktu dikala aku sedih dan senang.

20.Untuk teman trevelingku, tim PACE-MACE (Abang Haha, Ajik, Bene, Mayang, Gunti, Dek Gita, Agnes, Biancuk) terimakasih petualangannya. Pertama kalinya aku mengeksplor Indonesia (Sumbawa), esok lagi ya!

21.Terimakasih untuk Justin Beiber, Paramore, Tove Lo dan penyanyi Barat lainnya, karena selama pengerjaan skripsi, kalian menghiburku dengan suara emas kalian hahahaha.

22.Untuk teman-teman bimbingan Bu Susan, dan untuk kerabat yang membantu aku selama pengerjaan skripsi ini, terimakasih dan semangat terus ya kaliaaaaann.

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini memiliki banyak kekurangan. Oleh sebab itu, peneliti menerima segala bentuk kritik atau masukan. Semoga penelitian ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dapat mengurangi diskriminasi bagi kaum LGBT di Indonesia.

Yogyakarta, Penulis


(16)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBINGError! Bookmark not defined. HALAMAN PENGESAHAN ... Error! Bookmark not defined. HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... Error! Bookmark not defined. ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH Error! Bookmark not defined. KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

1) Manfaat Teoritis ... 9

2) Manfaat Praktis ... 9

BAB II ... 11

TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. MOTIVASI ... 11


(17)

xv

2) Definisi Dorongan (drive) ... 13

3) Definisi Motif ... 14

4) Definisi Press ... 15

5) Definisi Kebutuhan (need) ... 16

6) Daftar Kebutuhan Murray ... 16

7) Dinamika Motivasi ... 22

B. PESANTREN ... 23

1) Definisi Pesantren ... 23

2) Elemen dalam Pesantren ... 24

3) Pesantren Waria ... 25

C. WARIA ... 27

1) Definisi Identitas ... 27

2) Definisi Identitas Gender ... 29

3) Definisi Waria ... 30

4) Waria ditinjau dari DSM-5TM ... 31

5) Faktor Penyebab adanya Fenomena Waria ... 34

6) Waria dan Perilaku Seksual ... 36

7) Waria dalam Lingkup Sosial ... 37

D. KERANGKA PENELITIAN ... 39

BAB III ... 42

METODE PENELITIAN ... 42

A. Jenis Penelitian ... 42

B. Fokus Penelitan ... 43

C. Metode Pengambilan Data... 43

D. Informan Penelitian ... 49

E. Analisis Data ... 50

F. Kredibilitas Penelitian ... 51

BAB IV ... 53


(18)

xvi

A. Pelaksanaan Penelitian ... 53

B. Gambaran Informan ... 53

C. Hasil Penelitian ... 55

D. Pembahasan ... 67

BAB V ... 78

KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Keterbatasan Penelitian ... 79

C. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 82


(19)

xvii

DAFTAR TABEL


(20)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Motivasi ... 22

Gambar 2. Pola Motivasi Informan 1 ... 63

Gambar 3. Pola Motivasi Informan 2 ... 65


(21)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

LEMBAR PERSETUJUAN SUBJEK PENELITIAN ... 91

SURAT PERSETUJUAN INFORMAN 1 ... 92

SURAT PERSETUJUAN INFORMAN 2 ... 93

KODING DATA HASIL WAWANCARA INFORMAN 1 ... 94

PENGELOMPOKAN KODE INFORMAN 1 ... 128

Hasil Observasi Informan 1 ... 130

KODING DATA HASIL WAWANCARA INFORMAN 2 ... 136

PENGELOMPOKAN KODE INFORMAN 1 ... 145

Hasil Observasi Informan 2 ... 147


(22)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

WARIA merupakan kepanjangan dari wanita-pria (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994). Sebutan lain yang sering kita temui adalah bencong, banci, atau wadam (Atmojo, 1986). Sebutan ini diperuntukan bagi individu yang secara biologis berjenis kelamin laki-laki, namun, pada proses perkembangan hidupnya, mereka lebih memilih berperan sebagai perempuan (Faidah & Abdullah, 2013). Gaya hidup mereka yang dapat kita lihat adalah berdandan dan berperilaku layaknya perempuan, bahkan ada juga yang melakukan operasi untuk mengubah kelamin mereka atau organ-organ perempuan lainya seperti payudara (Koeswinarno, dalam Faidah & Abdullah, 2013).

Seorang waria merasa bahwa jiwa mereka terjebak ditubuh yang salah, hal ini berkaitan dengan pengindentifikasian gender mereka atau Gender

indentity yang merupakan persepsi diri secara psikologis akan dirinya sebagai

laki—laki atau perempuan (Helgeson, 2012). Apabila seseorang merasa tidak sesuai antara jenis kelaminnya dengan identitas gendernya, seseorang tersebut mungkin mengidentifikasikannya menjadi transeksual atau transgender (Gainor, 2000 dalam The Guidelines for Psychological Practice with Lesbian, Gay, and

Bisexual Clients, adopted by the APA Council of Representatives, February 18-20, 2011).


(23)

DSM-5TM (2013) membahas waria ini dalam bab gender dysphoria, yang mengacu pada kesulitan yang dapat menyertai inkongruensi antara pengalaman individu atau cara mengekspresikan gender dengan tugas gendernya. Sehingga muncullah dorongan yang kuat untuk diperlakukan sebagai gender lain (perempuan), adanya keyakinan yang kuat bahwa mereka memiliki perasaan dan reaksi yang khas terhadap tugas gender lain, dan dorongan yang kuat untuk menjadi gender yang lain.

Jumlah waria di Indonesia pada tahun 2010 yang dicatat oleh Direktoran Rehabilitasi Sosial Tuna Susila sebanyak 31.197 jiwa. Jumlah ini adalah yang mampu terhitung, dibanding kenyatannya. Fenomena munculnya waria ini dipengaruhi oleh beberapa aspek. Pertama secara biologis, yang terjadi adalah adanya pengaruh hormon dalam tubuh mereka. Kedua secara sosiologis dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal mereka dan ketiga secara psikologis dipengaruhi oleh adanya motivasi tertentu dalam berperilaku (Dwinandi, dalam Fikri, 2013).

Hadirnya waria ini sering disebut-sebut sebagai jenis kelamin ketiga diluar perempuan dan laki-laki yang selama ini telah diakui masyarakat (Nadia, 2005). Sehingga tidak sedikit, waria mengalami berbagai hambatan sosial. Misalnya berupa pengucilan yang dimasyarakat, yang dikarenakan tingkah laku seksual mereka tidak dapat diterima secara kultural (Nurhidayati, 2010). Bentuk lain dari hambatan yang waria temui bahkan terjadi dalam praktek peribadatan seperti shalat. Waria kerap kali mengalami perlakuan yang kurang


(24)

menyenangkan dari masyarakat (Nurhidayati, 2010). Hal ini dikarenakan waria sulit pula diterima dalam pemahaman agama.

Kondisi seperti ini membuat waria kesulitan dalam menjalani kehidupan bersosialisasi dan beribadah. Menurut Colonne dan Eliana (2005), keinginan mereka untuk menjadi perempuan dan segala manifestasinya tersebut muncul dari dalam diri. Selain itu juga mereka merasa bertentangan dengan pandangan masyarakat. Hal ini memicu munculnya rasa ketidaknyamanan dalam diri waria, sehingga mereka lebih memilih untuk bergabung dengan lembaga maupun organisasi yang mampu menerima mereka. Seperti yang diutarakan Baron dan Byrne (1997) bahwa seseorang memutuskan untuk menjadi anggota sebuah kelompok tertentu dapat membantu mereka untuk memuaskan kebutuhan sosial dan psikologis terpenting mereka (atensi, afeksi, rasa memiliki, prestise). Kelompok juga membantu mereka dalam mencapai tujuan secara bersama, bukan secara individu, dan anggota kelompok dapat juga menyediakan pengetahuan dan informasi. Selain itu, kelompok dapat membuat seseorang merasa aman serta memiliki tempat perlindungan.

Di Indonesia sudah ada beberapa komunitas yang beranggotakan waria seperti HIWARIA (Himpunan Waria Jakarta), PEWARKOS (Persatuan Waria Kota Madya Surabaya), IWAYO (Ikatan Waria Yogyakarta), dan HIWAT (Himpunan Waria Jawa Barat). Tujuan dibentuknya komunitas tersebut adalah untuk memperjuangkan hak-hak identitas mereka sebagai waria tidak hanya di dalam komunitas tetapi juga di luar komunitas


(25)

(https://mypotret.wordpress.com/2009/07/28/ada-tuhan-di-hati-waria/#more-3294 diakses tanggal 1 Desember 2014). Hal ini dimungkinkan bagi waria yang

notabene adalah kaum minoritas untuk bergabung menjadi anggota sebuah

kelompok atau komunitas khusus waria tersebut, karena keamanan menjadi hal yang utama bagi seseorang untuk menjadi anggota dari sebuah kelompok karena kelompok dapat mereduksi rasa tidak aman mereka (DeCenzo & Silhanek, 2002). Selain itu, kelompok atau komunitas juga dapat memenuhi kebutuhan waria yang tertekan oleh norma masyarakat.

Di sisi lain, ada bentuk perkumpulan yang berbeda dengan yang disebutkan di atas, yakni pesantren. Pada umumnya pesantren identik dengan lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan (Islam) (Ziemek, 1986). Dahulu banyak pesantren yang dibangun sebagai pusat reproduksi spiritual maupun pengetahuan-pengetahuan tentang Islam, dengan aktivitas seperti meneruskan pengetahuan yang telah didapat, memahamai ayat dalam kitab suci dan mengadakan pengajian. Setelah adanya beberapa perubahan sosial dan ekonomi, pesantren menambah fungsinya misal adanya pendidikan formal, penyesuain dengan kebutuhan masyarakat saat ini seperti sekolah dasar (Ziemek, 1986). Elemen yang terpenting dalam sebuah pesantren adalah pondok (asrama), masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, santri dan Kyai (Dhoefir, 1982 dalam Sumarto, 2012).

Berbeda dengan pesantren pada umumnya, pesantren ini adalah pesantren khusus kaum waria. Pesantren yang didirikan oleh seorang waria dan


(26)

beranggotakan para waria ini tidak memiliki elemen terpenting dalam pesantren (asrama, masjid, kitab-kitab Islam Klasik), yang ada hanya rumah salah satu santri waria yang dijadikan tempat kegiatan dan juga adanya ustadz yang mengajarkan mereka tentang agama. Selain itu dalam kegiatannya, pesantren ini tidak terlalu mengikat, santri waria diperbolehkan datang atau tidak sesuai dengan kesibukan mereka masing-masing. Pesantren waria didirikan guna menyediakan fasilitas beribadah bagi waria, hal ini berangkat dari beberapa masyarakat yang melarang keras upaya ibadah waria (Mariani, pendiri pesantren khusus waria, dalam Sumarto, 2012). Tujuan lainya pesantren waria tersebut adalah membantu para waria mempelajari agama (Islam) dan lebih memperdalam waria dalam Islam. Kegiatan rutin yang diadakan oleh pondok pesantren khusus waria ini antara lain adalah shalat berjamaah, pembelajaran tentang Al-Quran dan ajaran tentang Islam, dan kemudian dilanjutkan dengan sesi sharing dengan anggota pesantren terkait dengan Islam maupun tentang kehidupan sehari-hari yang mereka temui (Shinta Ratri, Ketua PonPres Waria, wawancara 11 Maret 2015). Pada proses pembinaan, terdapat keunikan yakni selama proses kegiatan di pesantren ini berlangsung, para santri waria ini mengenakan atribut ibadah untuk laki-laki seperti mengenakan sarung dan peci. Ketika shalatpun, para santri ini juga bergabung dengan ustadz dalam barisan laki-laki. Selain itu, tidak semua santri melakukan shalat, ketika ditanyai, hal yang mempengaruhi mereka adalah keenganan untuk menghapus make-up yang telah mereka gunakan sebelum datang ke pesantren. Namun, ada juga santri


(27)

yang memang sudah berpenampilan pria dan tidak berdandan, sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengikuti shalat.

Fenomena di pesantren waria tersebut menunjukkan bahwa para santri waria seakan diingatkan kembali pada identitasnya sebagai laki-laki. Hal ini dikarenakan, waria dalam Islam masih berada dalam kategori laki-laki dan hendaknya mengenakan atribut laki-laki ketika beribadah (Nurhidayati, 2010). Namun, disisi lain para waria ini lebih nyaman berpenampilan dan berperilaku selayaknya wanita karena adanya dorongan yang besar untuk menjadi seperti lawan gendernya (DSM-5TM, 2013). Hal ini terlihat adanya dorongan para waria tersebut yang berlawanan dengan dorongan yang lain dan menyebabkan munculnya perilaku tertentu, yakni dorongan waria untuk memilih menjadi anggota pesantren dengan konsekuensi berpenampilan sebagai laki-laki dengan dorongan mereka yang besar untuk menjadi seperti lawan gendernya (perempuan).

Keunikan juga terletak pada keputusan waria untuk menjadi anggota pesantren yang mau tidak mau mengingatkan mereka gender asli mereka yakni laki-laki yang dirasa tidak membuat mereka nyaman. Colonne dan Eliana (2005) mengatakan bahwa pada waria yang sudah mantap untuk menjadi waria, sudah barang tentu mereka tidak mau lagi untuk diingatkan kembali bahwa pada dasarnya mereka adalah laki-laki. Namun, berbeda dengan yang masih belum mantap karena konflik dalam dirinya antara keinginan menjadi perempuan dan tuntutan sosial yang mengharuskan mereka menjadi laki-laki, kemungkinan


(28)

untuk mereka ingin ‗kembali‘ masih ada. Padahal, kelompok adalah salah satu

cara mereka untuk memuaskan kebutuhan mereka baik sosial maupun psikologis, termasuk rasa aman dan nyaman (Baron & Byrne, 1997).

Pada penelitian ini, peneliti tertarik untuk mengetahui motivasi yang mempengaruhi waria mau menjadi anggota pesantren dan mengikuti segala kegiatannya yang seakan mengingatkan mereka kembali pada gender aslinya yakni laki-laki. Selain itu dengan melihat cerita yang diutarakan oleh waria yang menjadi anggota pesantren tentang motivasi mereka, kita dapat mengetahui tentang bagaimana mereka mengidentifikasikan diri mereka. Hal ini dikarenakan, apa yang diutarakan oleh mereka merupakan konstruk dari identitas diri mereka. Identitas diri tersebut ditemukan dengan berbagai cara seperti perilaku, sikap, perasaan dan tujuan-tujuan hidup mereka (McAdams, Josselson, & Lieblich, 2006).

Cerita atau narasi yang diutarakan waria tersebut memuat pemahaman-pemahaman mereka tentang pengalaman mereka dari pertama kali mereka dapat mengingat kejadian yang dialami sampai saat ini, baik itu kebingungan tentang identitas gendernya sampai pada keputusan untuk menjadi waria hingga motivasi mereka bergabung menjadi anggota pesantren. McAdams (2006) dalam bukunya yang berjudul The Redemptive Self mengatakan bahwa cerita-cerita tentang pengalaman diri yang dinarasikan memberikan identitas bagi orang tersebut. Selain itu, ketika kita ingin mengetahui mengapa seseorang melakukan sesuatu, maka hal yang dapat kita lihat adalah narasi mereka tentang diri mereka.


(29)

Para teoritis berasumsi bahwa segala perilaku pasti memiliki penyebabnya (Franken, 2002), seperti motivasi individu yang mampu memunculkan tingkah laku tertentu (Feist & Feist, 2010). Maslow (1970 dalam Feist & Feist, 2010) berasumsi bahwa seseorang akan termotivasi secara keseluruhan, dan biasanya motivasi itu kompleks (terdiri dari beberapa hal), dan seseorang secara berulang akan termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhannya. McClelland (1985) mengungkapkan bahwa studi tentang motivasi seseorang dapat memberikan penjelasan tentang perilaku manusia secara keseluruhan. Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motivasi waria yang memilih menjadi anggota pesantren agar dapat melihat kebutuhan apa saja yang mempengaruhi keputusan mereka. Hal ini dikarenakan menurut Murray (dalam Ratnasari, 2012 dan Wardani 2012) motivasi terkait dengan adanya kebutuhan, dan mengidentifikasikan kebutuhan dapat mengetahui tingkat kepuasan maupun ketidakpuasan dalam melakukan sesuatu.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran motivasi yang dimiliki oleh waria yang menjadi anggota pesantren?

C. Tujuan Penelitian

Melihat gambaran motivasi seorang waria yang memilih untuk menjadi anggota pesantren.


(30)

D. Manfaat Penelitian 1) Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan tentang munculnya perilaku serta bertahannya suatu perilaku tertentu sekalipun ada hal yang bertentangan dalam dirinya.

2) Manfaat Praktis a. Bagi santri waria

Penelitian ini diharapkan dapat membantu waria untuk lebih memahami motivasinya menjadi anggota pesantren sehingga dapat memberikan kontribusinya bagi kelangsungan kegiatan di pesantren seperti lebih aktif dalam mengikuti kegiatan dan mampu mengajak waria lain untuk bergabung bahkan untuk mempertahankan keberadaan pesantren

b. Bagi Pondok Pesantren

Penelitian ini diharapkan dapat membantu pondok pesantren untuk menemukan wadah yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dominan waria.

c. Bagi masyarakat

Waria masih sering mendapatkan diskriminasi dalam berbagai bidang seperti pekerjaan, pendidikan dan bahkan tempat beribadah. Penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk memahami kebutuhan waria dalam beribadah dan mampu mengurangi diskriminasi dalam


(31)

ruang ibadah. Sehingga waria dapat juga beribadah di ruang umum, tidak hanya di pondok pesantren khusus waria saja.


(32)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. MOTIVASI

1) Definisi Motivasi

Benjamin Ball (dalam A summary motivation theories, diunduh tanggal 2 September 2015) mengutip pengertian motivasi berdasarkan kamus Bahasa Inggris dari kata to motivate yang berarti kata kerja ―untuk menyediakan dengan motif atau motif-motif; menghasut; mendorong‖. Kemudian motivasi sebagai kata benda merupakan fitur psikologis yang membangkitkan organisme untuk beraksi kearah tujuan; alasan untuk beraksi/berperilaku; yang memberikan tujuan dan arahan untuk berperilaku. Selain itu, motivasi berasal dari bahasa Latin yakni movere yang artinya dorongan atau penggerak. Sedangkan dari bahasa Indonesia berasal dari kata motif yang artinya adalah alasan yang mendorong seseorang untuk bertindak atau melakukan sesuatu.

Studi tentang motivasi berupaya untuk menjawab pertanyaan ―mengapa‖

terkait dengan perilaku manusia karena para teoritis juga berasumsi bahwa segala perilaku manusia pasti memiliki penyebabnya (Franken, 2002; Huffman & Vernoy, 2000). Hal ini dikarenakan motivasi merupakan studi mengenai apa yang membuat seseorang berpikir atau bertingkah laku seperti itu (Graham & Weiner, 1996).


(33)

Beberapa tokoh mengartikan motivasi sebagai konsep yang kita gunakan ketika kita mendeskripsikan kekuatan yang menggerakan organisme untuk memulai dan mengarahkan perilakunya (Petri, 1981). Feldman (2011) mendefinisikan motivasi sebagai daya penggerak atau faktor yang mengarahkan dan memberikan energi pada manusia dan oraganisme lainnya, misalnya energi untuk mencapai tujuan mereka. Sedangkan menurut Vroom (dalam teori

expectancy nya) motivasi ialah sebuah akibat dari suatu hasil yang ingin diraih

atau dicapai oleh seseorang dan sebuah perkiraan bahwa apa yang dilakukannya akan mengarah pada hasil yang diinginkan.

Beberapa teori juga telah membahas mengenai perilaku manusia yang berkaitan dengan motivasi. Misalnya, teori kognitif yang mengatakan bahwa perilaku manusia digerakkan oleh kehendak yang merupakan hasil pikiran, namun bukan digerakkan oleh motivasi melainkan rasio yaitu sudah dipikirkan alasan-alasannya (Handoko, 1992). Sedangkan menurut teori psikoanalisis, perilaku manusia dipengaruhi oleh kekuatan bawaan, Freud menyebutnya sebagai motif seksual (seks) dan motif menghindar (agresi).

Pandangan lain tentang motivasi adalah teori keseimbangan (homeostatis). Teori ini mengatakan bahwa manusia akan menemukan ketidakseimbangan di dalam dirinya, sehingga mereka berusaha untuk mengembalikan keadaan mereka sampai menemukan keseimbangan. Hal ini muncul dari berbagai kebutuhan yang belum terpenuhi, dan perilaku mereka bergerak kearah pencapaian tujuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut


(34)

(Handoko, 1992). Motivasi juga mengacu pada faktor-faktor yang ada dalam diri individu (seperti kebutuhan, dorongan dan minat) yang mengaktifkan, mempertahankan, dan mengarahkan perilaku (Huffman dan Vernoy, 2000), atau dengan kata lain, motivasi memberikan energi atau tenaga dan mengarahkan perilaku. Sedangkan motif merupakan dorongan psikologis

Salah satu tokoh yang membahas tentang kebutuhan dan motivasi adalah Murray. Murray (dalam Schultz, 2009) mengatakan bahwa, kebutuhan mampu menjelaskan motivasi dan mengarahkan perilaku manusia. Kebutuhan juga mempengaruhi otak untuk mengorganisasi dan mengarahan kemampuan intelektual dan perseptual. Kebutuhan muncul dari proses internal maupun dari peristiwa yang terjadi di lingkungan. Kemudian, kebutuhan tersebut memunculkan tegangan dan individu berusaha untuk mereduksinya dengan cara bertindak untuk memuaskan kebutuhan tersebut. Sehingga kebutuhan memberikan tenaga dan mengarahkan perilaku untuk memuaskan kebutuhan. Sehingga motivasi dapat diartikan sebagai sebuah usaha atau energi yang mendorong manusia atau organisme lain untuk mengaktifkan, mempertahankan dan mengarahkan perilaku mereka.

2) Definisi Dorongan (drive)

Dorongan (drive) merupakan konstruk dari motivasional, kaitannya adalah dengan pemeliharaan homeostatis (keseimbangan) organisme atau merupakan proses mekanisme kebutuhan yang bertujuan untuk mempertahankan keadaan fisiologis pada kondisi yang lebih baik (Koeswara, dalam Wardani


(35)

2012). Matsumoto (2009) juga mengatakan bahwa dorongan merupakan kecenderungan bereaksi dalam rangka pemenuhan kekurangan dan memotivasi untuk mengembalikan keseimbangan. Dengan kata lain, dorongan memiliki kaitan yang erat dengan kebutuhan-kebutuhan organisme (Maslow, dalam Feist & Feist, 2007). Sedangkan Hull (dalam Graham & Weiner, 1996) berpendapat bahwa drive dianggap sebagai pemberi energi pada perilaku yang tidak terarah – masih akan ada kebutuhan yang akan membangkitkan asosiasi apapun yang berhubungan dengan struktur kebiasaan organisme/individu. Dengan kata lain,

drive didefinisikan sebagai energi yang aktif ketika keadaan diri tidak seimbang

dan energi tersebut berusaha untuk memelihara keseimbangan dengan memenuhi kebutuhan yang belum terpuaskan. Kaitannya dengan motivasi, drive lebih dikaitkan dengan proses fisik yakni biologis atau fisiologis (kebutuhan-kebutuhan fisiologis).

3) Definisi Motif

Motif adalah suatu alasan/dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan sesuatu, dan dalam motif pada umumnya memiliki dua unsur pokok yakni dorongan atau kebutuhan dan tujuan (Handoko, 1992). Maslow (dalam Feist & Feist, 2007) mengatakan bahwa perilaku seseorang terdiri dari berbagai macam motif dan bersifat kompleks. Kaitannya dengan motivasi, motif merupakan aktivitas mental atau psikologis atau merupakan dorongan psikologis yang biasanya muncul dari hasil pembelajaran (Wardani, 2012).


(36)

4) Definisi Press

Press adalah faktor-faktor eksternal dalam kehidupan seorang manusia yang berupa situasi, objek dan/atau orang. Setiap press mempunyai potensi tertentu. Potensi press adalah apa yang dapat dilakukan/berpengaruh kepada individu atau untuk individu. Potensi juga dapat diartikan sebagai kekuatan yang dapat berpengaruh pada kesejahteraan/keadaan individu dengan satu atau lain cara (Prihanto, 1993).

Murray membedakan dua aspek press:

- Alpha press, yakni karakteristik nyata dan objektif dari press

- Beta press, yakni interpretasi pribadi yang bersifat subjektif, yang

dilakukan oleh individu terhadap objek itu, sehingga interpretasi ini akan mempengaruhi dirinya dalam menanggapi press tersebut. Dengan kata lain, beta press menunjukkan bagaimana individu mempersepsi (perceived) dan mengalami (experience).

Menurut Murray, beta press jauh lebih kuat pengaruhnya untuk perilaku individu dibandingkan alpha press karena di dalam beta pressterdapat unsur perasaan, interpretasi dan respons individu. Selain itu, reaksi yang baik merupakan korespondensi antara alpha dan betapress. Namun, kesenjangan pada keduanya sering terjadi dan akan mennimbulkan pikiran delusional. Misalnya pasien paranoid selalu merasa terancam karena menyangka bahwa orang-orang disekitarnya mengatur siasat tertentu untuk mencelakainya, meskipun dalam kenyataannya tidak.


(37)

5) Definisi Kebutuhan (need)

Kebutuhan merupakan keadaan kekurangan yang dialami oleh tubuh (fisiologis) maupun secara psikologis yang menyebabkan terganggunya keseimbangan pada tubuh yang kemudian memaksa tubuh untuk memenuhi kekurangan (Seimun & Matsumoto dalam Gatyo, 2013).

Kriteria untuk mengidentifikasi kebutuhan. Murray mengemukakan 5 kriteria:

- Merupakan respons terhadap suatu objek atau sekelompok objek yang berfungsi sebagai stimulus

- Menyebabkan munculnya suatu perilaku

- Adanya konsekuensi atau hasil akhir dari perilaku

- Adanya suatu respons emosional tertentu dalam perilaku tersebut

- Adanya tingkat kepuasan atau ketidakpuasaan tertentu setelah seluruh respons dilakukan.

Kebutuhan juga dapat muncul karena pengaruh dari dalam diri atau secara internal maupun dari lingkungan.

6) Daftar Kebutuhan Murray

Terdapat 20 daftar kebutuhan (Schultz, 2009), dan kebutuhan tersebut dapat dikelompokkan kedalam beberapa kategori motif (Prihanto, 1993): 1. Kebutuhan yang dimotivasi oleh keinginan untuk mencapai power,


(38)

a) Achievement

Mencapai sesuatu yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisir objek fisik, manusia, atau ide-ide. Mengatasi hambatan dan mencapai standar yang tinggi. Menyaingi dan melampaui orang lain.

b) Aggression

Menguasai kekuatan oposisi/lawan. Melawan, menyerang, menyakiti atau membunuh orang lain (physical social). Meremehkan, mengecam atau memperolok orang lain. Bertengkar mulut atau beradu argumen (emotional verbal). Agresi terhadap aturan hukum dan standar moral, ranpa adanya ancaman dari orang lain, berbuat kriminal (physical asocial). Merusak, menghancurkan, vandalisme, membakar (destruction).

c) Counteraction

Untuk menguasai atau memperbaiki kesalahan dengan berjuang kembali, melenyapkan penghinaan dengan kembali bertindak. Menguasai kelemahan dan memendam ketakutan. Mencari rintangan dan kesulitan untuk dikuasai. Memperbaiki self-respect (kehormatan diri) dan harga diri menjadi level yang tinggi.

d) Dominance

Mengontrol suatu lingkungan. Mempengaruhi atau mengarahkan perilaku orang lain dengan sugesti, bujukan, persuasi atau komando.


(39)

Mendapatkan orang lain utuk kooperaatif. Meyakinkan orang lain tentang kebenaran dari salah satu opini.

a) Exhibition

Membuat kesan. Menjadi terlihat dan terdengar. Membuat gempar, kagum, mempesona, intrik, menghibur atau menarik orang lain.

b) Order

Meletakkan sesuatu dengan rapi/runtut. Mencapai atau memperoleh kebersihan, keteraturan, keseimbangan, kedekatan dan presisi.

e) Understanding

Condong pada analisis kejadian dan mengeneralisasikannya. Berdiskusi dan berargumen dan memberitekanan pada alasan dan logika. Menjadikan salah satu opini tersebut tepat. Menunjukan minat atau ketertarikan pada formulasi abstrak pada ilmu pengetahuan, matematika dan filosofi. Mencoba menghubungkan pikiran dengan fakta. Mencoba memahami hubungan antara suatu objek dengan objek lain.

2. Kebutuhan yang dimotivasi oleh afeksi, kekaguman, simpati, cinta dan ketergantungan:


(40)

a) Affiliation (afiliasi/kebersamaan dengan orang lain)

Mendekat atau senang bekerjasama atau membalas dengan orang lain dengan hal yang sejenis. Mematuhi dan tetap setia pada teman. Menjalin hubungan dengan teman (associative), menjalin hubungan akrab atau intim (emosional).

b) Deference

Memuji dan mendukung orang lain yang lebih superior (respect). Bersemangat untuk terpengaruh oleh orang lain yang sejenis. Sesuai dengan adat. Setuju untuk bekerja sama, patuh pada usulan orang lain, kesediaan mengikuti kepemimpinan orang lain (complience).

c) Nurturance

Memberikan simpati dan memenuhi kebutuhan pada orang lain yang membutuhkan bantuan, anak-anak atau bayi atau orang yang lemah, berkebutuhan khusus, kelelahan, kurang berpengalaman, tidak berdaya, terhina, sendiri, sedih atau secara mental bingung. Menghibur, mendukung, melindungi atau membuat tenang/nyaman.

d) Succorance

Untuk dirawat, didukung, disokong atau ditopang, diapit, dilindungi, dicintai, diberi nasihat, diarahkan, dimanjakan, dimaafkan, atau dihibur. Tetap dekat pada pelindung. Kecenderungan untuk menangis, menjadi tidak berdaya, tergantung, memburu afeksi atau kelembutan, menerima pemberian tanpa keragu-raguan.


(41)

e) Sex

Membentuk dan melanjutkan relasi erotis. Mendapatkan hubungan seksual atau hubungan kelamin, pergaulan lawan jenis, jatuh cinta. Lebih pada unsur tindakan/perilaku.

3. Kebutuhan yang dimotivasi oleh keinginan akan kebebasan, perubahan, perangsangan dan permainan:

a) Autonomy

Mendapatkan kebebasan, melepaskan kekangan, atau keluar dari kurungan (freedom). Menolak paksaan dan aturan atau tuntutan (resistance). Mandiri dan bebas untuk bertindak sesuai dengan dorongan. Menentang aturan, melakukan perilaku yang dilarang dan diancam hukuman, sengaja meniru, mencuri tetapi bukan perbuatan kriminal (asocial).

b) Sentience

Mencari dan menikmati kesan dari kenikmatan pengindraan, seperti menikmati pemandangan, mengomentari cuaca, warna ruang, gambar, suara, rasa, bau yang menyenangkan.

c) Play/Playmirth

Bertindak menyenangkan tanpa tujuan lebih lanjut selain untuk kesenangan itu sendiri. tertawa, bermain, bercanda. Namun, jika


(42)

permainan itu seirus dan kompetitif maka akan muncul

n.Achievement.

4. Kebutuhan lain-lain

c) Abasement

Secara pasif menyerah pada kekuatan eksternal. Menerima luka, hinaan, kritik, hukuman, atau merasa sakit dan rendah diri. Menyerah atau pasrah pada nasib. Menerima inferioritas, kekeliruan, kesalahan, atau kekalahan. Menyalahkkan, meremehkan, atau merusak diri. Mencari dan menikmati rasa sakit, hukuman, penyakit dan ketidakberuntungan. Mengambil sikap pasif dan lemah.

d) Defendance

Mempertahankan diri melawan serangan, kritikan, dan kesalahan. Menyembunyikan atau membenarkan kelakuan buruk, kesalahan, dan penghinaan.

e) Harmavoidance

Menghindari kesakitan, cedera fisik, kesakitan dan kematian. Menghindar dari situasi berbahaya. Mengambil langkah pencegahan. Hati-hati, menghindar dari kecemasan termasuk kehilangan dukungan atau hadirnya orang lain.


(43)

f) Infavoidance

Menghindar dari penghinaan. Keluar dari situasi yang memalukan atau menghindari kondisi yang dapat mengarahkan mereka pada cemoohan, ejekan, atau ketidakpedulian orang lain. Menahan diri dari aksi karena ketakutan akan kegagalan.

g) Rejection

Meniadakan, membuang, mengeluarkan atau tetap acuh pada orang yang inferior. Menghindar dan menolak berhubungan dengan orang lain.

7) Dinamika Motivasi

Motivasi dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Skema Motivasi

Pertama, motivasi tidak bisa lepas dari kebutuhan, dorongan, dan motif. Kemudian perilaku dapat muncul dari adanya kebutuhan yang merupakan keadaan kekurangan yang dialami oleh tubuh (fisiologis) maupun secara psikologis yang menyebabkan terganggunya keseimbangan pada tubuh yang

Kebutuhan (needs)

Dorongan (drives)

Motif (motives)


(44)

kemudian memaksa tubuh untuk memenuhi kekurangan (Seimun & Matsumoto dalam Gatyo, 2013). Kemudian keadaan tersebut memicu aktifnya dorongan untuk memelihara keseimbangan dengan memenuhi kebutuhan tersebut (drives) dan kemudian langsung memunculkan perilaku. Kedua, adanya kebutuhan memicu keadaan untuk memelihara keseimbangan (drives) namun melewati aktivitas mental seperti berpikir (motives) terlebih dahulu sebelum menjadi perilaku. Ketiga, perilaku dapat muncul langsung dari aktivitas mental (motives).

Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhannya, individu juga akan menemui tekanan yang dapat menghambat individu dalam memenuhi kebutuhannya. Istilahnya disebut press atau tekanan yang berasal dari luar individu. Sehingga, akan ada kebutuhan-kebutuhan individu yang sulit untuk terpenuhi karena adanya tekanan tersebut dan kemudian akan menimbulkan kecemasan (Prihanto, 1993).

B. PESANTREN

1) Definisi Pesantren

Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berarti asrama atau hotel (Wikipedia.com diakses


(45)

tanggal 12 Desember 2014). Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan (Islam) (Ziemek, 1986). Dahulu banyak pesantren yang dibangun sebagai pusat reproduksi spiritual maupun pengetahuan-pengetahuan tentang Islam, dengan aktivitas seperti meneruskan pengetahuan yang telah didapat, memahamai ayat dalam kitab suci dan mengadakan pengajian. Setelah adanya beberapa perubahan sosial dan ekonomi, pesantren menambah fungsinya misal adanya pendidikan formal, penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat (saat ini seperti sekolah dasar (Ziemek, 1986)).

2) Elemen dalam Pesantren

Terdapat lima elemen terpenting yang harus dimiliki pesantren menurut, Zamakhsyari Dhoefir (dalam Sumarto, 2012) yakni :

a. Pondok

Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional, para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kyai. b. Masjid

Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu,


(46)

Kedudukan masjid dalam tradisi pesantren merupakan manivestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional.

c. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik

Pada masa lalu, pengajaran kitab ini merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Tujuan utama pengajaran ini adalah untuk mendidik calon-calon ulama. Para santri yang bercita-cita ingin menjadi ulama, mengembangkan keahliannya dalam bahasa arab melalui sistem sorogan dalam pengajian sebelum mereka pergi ke pesantren untuk mengikuti sistem bandongan. d. Santri

Menurut pengertian yang dipakai dalam lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kyai bila ia memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut. Oleh karena itu, santrimerupakan elemen penting dalam suatu lembaga pesantren. e. Kyai

Kyai merupakan elemen terpenting dari suatu pesantren bahkan merupakan pendiri pesantren tersebut. Maka sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu pesantren semata-mata tergantung kepada kemampuan pribadi kyainya sendiri.

3) Pesantren Waria

Pondok Pesantren Waria Al-Fatah ini menjadi pesantren waria satu-satunya di Indonesia bahkan di dunia


(47)

(http://www.merdeka.com/peristiwa/cerita-tentang-pesantren-waria-di-yogyakarta.html diakses tanggal, 1 Desember 2014). Pesantren ini didirikan oleh Mariani yang juga seorang waria. Tujuan didirikannya pesantren khusus waria ini adalah untuk menyediakan fasilitas bagi waria untuk beribadah dan juga membantu para waria mempelajari agama (Islam) dan lebih memperdalam waria dalam Islam. Hal ini berangkat dari beberapa masyarakat yang melarang keras upaya ibadah waria (Mariani, pendiri pesantren khusus waria, dalam Sumarto, 2012). Pesantren ini dahulu berkegiatan di kediaman Mariani yang terletak di daerah Notoyudan Yogyakarta. Namun, setelah beliau meninggal, kegiatan pesantren dipindahkan ke daerah Kota Gede di kediaman Shinta Ratri yang saat ini menjabat sebagai ketua Pondok Pesantren Waria.

Tidak seperti kebanyakan pesantren lain, pesantren khusus waria ini tidak memiliki elemen terpenting yang harus dimiliki oleh pesantren seperti asrama, masjid, kitab-kitab Islam Klasik. Namun, dalam pelaksanaan kegiatannya, pesantren ini menggunakan rumah ketua pondok pesantren dan juga didampingi oleh seorang ustadz yang berperan dalam pengajaran materi terkait tentang agama Islam. Kegiatan yang dilakukan dalam pesantren tersebut antara lain adalah shalat berjamaah, pembelajaran tentang Al-Quran dan ajaran tentang Islam, dan kemudian dilanjutkan dengan sesi sharing dengan anggota pesantren terkait dengan Islam maupun tentang kehidupan sehari-hari yang mereka temui (Shinta Ratri, Ketua PonPes Waria). Kegiatan


(48)

lainya yang merupakan agenda bulana atau tahunan adalah kunjungan ke berbagai tempat Islami seperti pada bulan Maret 2015 lalu adalah melakukan studi banding ke Jepara di Universitas Islam Nahdattul Ulama. Pada proses pembinaannya, para santri waria ini mengenakan atribut ibadah yang diperuntukan bagi laki-laki seperti sarung dan peci. Ketika shalat-pun, para santri waria ini juga bergabung dengan ustadz dalam barisan laki-laki dan juga menjadi imam.

C. WARIA

1) Definisi Identitas

McAdams, dkk. (2006) mengatakan bahwa seseorang merupakan seorang pencerita dan seseorang adalah cerita yang ia ceritakan. Cerita yang diceritakan oleh seseorang merupakan pengalaman personal seseorang yang secara detail dan kompleks berkembang dari anak-anak sampai dewasa. Selain itu, kita akan memiliki harapan tersendiri pada cerita yang ada seperti, berharap bahwa cerita tersebut dapat mengedukasi, menghibur, menginspirasi dan mempengaruhi kita, untuk bisa membuat kita marah, sedih, senang, tertarik, dan kita juga berharap bahwa cerita dapat memberitahu siapa kita (McAdams, 2006). Hal tersebut merupakan istilah yang disebut dengan identitas yang biasanya terlintas dari beberapa


(49)

yang mungkin pas dengan saya?; atau Seperti apa sesungguhnya saya?‖ (Santrock, 2002).

Identitas merupakan proses mental pada otak, oleh karena itu seseorang dapat mengidentifikasi sensasi dan fenomena mental lainnya. Beberapa peneliti mengatakan bahwa terdapat 3 pendekatan yang dapat menjelaskan perubahan-perubahan identitas terutama pada remaja. Pendekatan tersebut adalah self-conception yakni ide-ide yang mengatakan bahwa individu memiliki sifat dan atribut masing-masing, self-esteem yakni bagaimana individu merasa secara negatif atau positif tentang dirinya dan yang ketiga adalah sense of identity yakni perasaan bahwa siapakah diri seseorang itu, dari mana seseorang itu datang dan kemana seseorang itu pergi. Identias merupakan sebuah siklus yang berkembang dan gender merupakan salah satu komponen yang membentuk identitas.

Gender dapat membentuk identitas karena sejak lahir, seseorang akan dihadapkan dengan standar sosial yang mengarahkan pada perilaku mereka baik maskulin atau feminin yang kemudian mempengaruhi pandangan mereka tentang bagaimana mereka membawakan diri sebagai perempuan atau laki-laki (Santrock, 2002). Gender merupakan hasil interaksi antara seseorang dengan lingkungan yang memberikan pengetahuan tentang cara berperilaku sesuai dengan jenis kelaminnya (Helgeson, 2012).

Pada waria, cara mereka memberi identitas berbeda dengan kebanyakan orang yang memang sudah kongruen antara persepsi diri dengan persepsi


(50)

lingkungan. Namun, waria akan menemui konflik antara persepsi mereka tentang diri mereka yang memuat pengalaman dan perasaan mereka sebagai perempuan, dengan norma yang berlaku di masyarakat tentang identitas mereka secara sosial yakni sebagai laki-laki (Colonne & Eliana, 2005). Identitas mereka dapat dilihat dari pengalaman inkongruensi mereka antara persepsi diri dengan persepsi masyarakat atau lingkungan.

2) Definisi Identitas Gender

Sex atau jenis kelamin merupakan status biologis seseorang yang

biasanya dikategorisasikan dalam laki-laki atau perempuan. Sedangkan gender merupakan asosiasi secara budaya yang diberikan pada jenis kelamin biologis seseorang yang merujuk pada sikap, perasaan, dan perilaku (Scottish Transgender Allience).

Kita pernah mendengar bahwa seseorang secara biologis merupakan laki-laki namun ia merasa bahwa dirinya adalah perempuan dan berharap bahwa dirinya menjadi perempuan. Hal tersebut merupakan identitas gender atau persepsi diri secara psikologis laki-laki atau perempuan. Dan transgender adalah seseorang yang hidup dengan identitas gender yang tidak sesuai dengan jenis kelamin biologisnya dan kemudian membuat mereka mengambil peran sebagai lawan gendernya (Helgeson, 2012). Ketika seseorang tidak kongruen dengan identitas gendernya dan jenis kelamin biologisnya, individu tersebut mungkin akan mengidentifikasi dirinya sebagai transgender atau transeksual (Scottish Transgender Allience).


(51)

Menurut Meissner (dalam Phartami, 2009), identitas gender merupakan pengalaman internal diri tentang gender yang menjadi bagian dari identitas diri seseorang tersebut. Identitas gender juga terdiri dari dua bagian yakni identitas gender inti perasaan sebagai laki-laki atau perempuan yang terbentuk sejak usia dua tahun yang didasarkan pada aspek biologis yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan identitas peran gender adalah perasaan akan gendernya sebagai maskulin atau feminin yang dipengaruhi oleh faktor biologis, sosiologis, dan psikologis. Pemaknaan maskulinitas dan feminimitas melalui proses identifikasi keluarga, masyarakat dan budaya.

Identitas Gender tidak sama dengan orientasi seksual. Secara sederhana, gender mengacu pada siapa kita, sedangan orientasi seksual mengacu kepada siapa kita tertarik. Seorang transgender bisa jadi straight, seperti transeksual (laki-laki menjadi perempuan), mereka straight tertarik dengan laki-laki (Scottish Transgender Allience).

3) Definisi Waria

Waria dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) merupakan singkatan dari wanita-pria. Sebutan ini diperuntukkan bagi individu yang secara biologis adalah laki—laki, namun pada proses perkembangan hidupnya, mereka lebih memilih berperan (Faidah & Fadilah, 2013). Peran sebagai perempuan itu terlihat dari cara berpenampilan yang berdandan dan berpakaian layaknya perempuan, bertingkah laku seperti perempuan pada umumnya seperti lemah


(52)

lembut dan feminin (Putri & Sutarmanto, 2010). Selain itu, ada pula waria yang juga mengganti alat kelaminnya menjadi alat kelamin perempuan (Atmojo, 1986). Selain istilah waria, di Indonesia, istilah lain yang merujuk pada waria ada berbagai macam, seperti banci, bencong atau wadam (Atmojo, 1986).

Pengertian waria sering disandingkan dengan istilah lain seperti

transgender, transexual dan transvestites (Atmojo, 1986; Sandiah, 2014) dan

perbedaan ini cukup membuat kabur difinisi tentang waria. Transeksual juga merupakan ketidakpuasan akan alat kelaminnya, namun ada usaha untuk mengganti dan menghilangkan jenis kelamin asli mereka (dari laki-laki kemudian melakukan operasi menjadi perempuan). Sedangkan transvestite, adalah individu yang menggunakan atribut lawan jenisnya untuk mendapatkan kepuasan seksual dan tidak memiliki keinginan untuk berperilaku seperti lawan jenisnya (Atmojo, 1986; Sandiah, 2014). Istilah lain yang mengaburkan makna jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah transgender. Transgender merupakan ketidakmampuan seseorang dalam mengidentifikasi tugas gendernya ketika mereka lahir, berbeda dengan transeksual, transgender mungkin ingin mengubah identitas gendernya namun tidak dengan anatomi biologisnya

(Woman‘s Resource Center, University of Colorado Denver).

4) Waria ditinjau dari DSM-5TM

Waria dibahas pada bab Gender Dysphoria, yakni merujuk pada distress yang disertai dengan ketidaksesuaian antara pengalaman seseorang atau gender yang telah seseorang nyatakan dengan tugas gendernya. Walaupun demikian,


(53)

distress tidak selalu dialami oleh semua individu sebagai hasil dari

ketidaksesuaiannya, banyak yang mengalami distress jika dorongan fisik mengintervensi dengan cara tidak menyediakan pembedahan hormon.

Kriteria diagnostik Gender Dysphoriia antara lain: 1) Gender Dysphoria pada Anak-anak (302.6 (F64.2))

a. Ditandai dengan adanya ketidaksesuaian antara apa yang dialami atau dinyatakan oleh seseorang tentang gendernya dengan tugas dari gendernya tersebut, paling sedikit selama 6 bulan.

- Adanya dorongan yang yang kuat untuk menjadi gender lain atau adaya desakan bahwa gender lain adalah gendernya. - Pada laki-laki (tugas gender), adanya pilihan yang kuat untuk

cross-dressing atau berpakaian wanita; pada perempuan

adanya pilihan yang kuat untuk berpakaian maskulin dan melawan keras untuk memakai pakaian tipe perempuan. - Adanya pilihan yang kuat untuk berperan secara lintas gender

dan membuat fantasi bermain.

- Adanya pilihan yang kuat pada mainan-mainan, games atau aktivitas yang secara streotipe lekat dengan gender lain. - Adanya pilihan yang kuat untu bermain bersama dengan

orang dari gender lain.

- Pada laki-laki, terjadi penolakan yang kuat terhadap mainan yang bertipe maskulin, gamse, maupun aktivitas dan


(54)

menghindar dari permainan yang kasar dan jatuh; pada perempuan, adanya penolakan yang kuat terhadap mainan feminin, games dan aktivitasnya.

- Adanya ketidaksukaan yang kuat akan anatomi seksual yang dimiliki.

- Adanya dorongan yang kuat untuk mencocokan pengalaman gender seseorang baik karakteristik seks primer maupun sekunder.

b. Sebuah kondisi diasosiasikan dengan distress yang secara klinis signifikan atau rusak pada sosial, sekolah, atau area lain yang memiliki fungsi penting.

2) Gender Dysphoria pada Remaja dan Dewasa (302.85 (F64.1))

a. Ditandai dengan ketidakcocokan antara apa yang dialami atau di ekspresikan oleh seseorang tentang gendernya dengan tugas gendernya, setidaknya selama 6 bulan lamanya, seperti yang dituturkan setidaknya dua dari beberapa hal berikut:

- Ditandai dengan ketidakcocokan antara apa yang seseorang alami dan ekspresikan tentang gendernya dengan karakteristik seks primer ataupun sekunder (atau pada remaja awal adalah mengantisipasi karakteristik seks sekunder).

- Adanya dorongan yang kuat untuk menyingkirkan karakteristik seks primer maupun sekunder karena adanya


(55)

ketidakcocokan antara apa yang seseorang alami dan ekspresikan tentang gendernya (atau pada remaja awal, dorongan untuk mencegah perkembangan dari karakteristik seks sekunder).

- Keinginan yang kuat untuk memiliki karakteristik seks primer atau sekunder dari lawan gender.

- Keinginan kuat untuk menjadi seperti lawan gender (atau seperti alternatif gender yang berbeda).

- Keinginan yang kuat untuk diperlakukan sebagai mana seperti lawan gendernya (atau seperti alternatif diperlakukan berbeda dari tugas gendernya).

- Keyakinan yang kuat bahwa seseorang memiliki perasaan dan reaksi yang khas seperti gender lain.

b. Kondisi yang diasosiasikan dengan distres yang secara klinis signifikan atau rusak pada sosial, sekolah, atau area lain yang memiliki fungsi penting.

5) Faktor Penyebab adanya Fenomena Waria

Terdapat dua konsep tentang gender yakni identitas gender dan peran gender (Budge et al, 2012). Identitas gender adalah perasaan individu pada gendernya yang diekspresikan melalui perilaku dan kesadarannya menjadi perempuan, laki-laki atau ambivalen dan dilakukan secara kontimun. Sedangkan peran gender adalah perilaku yang diasosiasikan oleh lingkungan untuk sesuai dengan


(56)

perilaku perempuan, laki-laki atau ambivalen (Brierley, 2000 dalam Budge et al, 2012).

Secara umum, pengalaman individu pada jenis kelamin dan identitasnya, adalah kongruen. Namun terdapat fenomena lain yakni individu yang tidak kongruen antara jenis kelaminnya dengan peran gendernya (Budge et al, 2012). Salah satunya adalah fenomena waria atau wanita-pria. Di Indonesia sendiri, fenomena ini masih menjadi momok karena masyarakat indonesia masih memiliki pandangan bahwa identitas gender itu hanya ada dua yakni feminin untuk perempuan, maskulin untuk laki-laki (Colonne & Eliana, 2005).

Dalam beberapa penelitian yang meneliti tentang gangguan seksual, menemukan bahwa faktor pembentuk atau penyebab dari fenomena ini adalah:

a. Faktor biologis

Adanya pengaruh kromosom X yang berlebih (pada laki-laki). Pertambahan kromosom X ini berakibat pada kecilnya ukuran kelamin laki-laki dan juga menyebabkan munculnya sifat kewanitaan karena adanya satu seks kromatin (kromosom X) tersebut.

b. Faktor pikologis

Adanya pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa kecil seperti pola asuh orang tua yang mendambakan anak perempuan. Ada pula pengalaman heteroseksual, rasa tidak nyaman dengan identitas gender aslinya, yang menyebabkan kebingungan akan dirinya.


(57)

Seperti pola asuh dari keluarga memiliki peran tersendiri bagi pembentukan identitas gender dan peran gender serta interaksi individu dengan lingkungannya yang juga menyumbang bagi terbentuknya peran gender (Santrock, 2003). Berdasarkan teori perilakuan, penyebab waria lebih merupakan hasil dari observasi individu pada waria sebagai model dan kemudian mengadopsinya menjadi perilaku sehari-hari (Kurniawati, 2003).

d. Faktor ekonomi

Beberapa waria berlatar belakang ekonomi ini mengaku bahwa dirinya menjadi waria karena tidak memiliki cara lain untuk mencari uang, sehingga memilih untuk menjadi waria. Mereka hanya berdandan seperti perempuan dan bergimik seperti waria hanya ketika bekerja seperti

mengamen (Laporan Nasional Indonesia-Hidup Sebagai LGBT di Asia

tahun 2013).

6) Waria dan Perilaku Seksual

Kegiatan seksual bagi waria merupakan kebutuhan yang mendasari mereka untuk memutuskan menjadi waria (Dwinanda, 2011). Orientasi seksual mereka dapat dikatakan sebagai homoseksual atau menyukai sesama jenis. Hal ini latarbelakangi oleh keadaan psikis mereka yang merasa bahwa diri mereka adalah perempuan dan cenderung mencari pasangan laki-laki (Koeswinarno, 2004). Lain halnya dengan kaum gay. Keduanya berbeda (Atmojo, 1986; Liawati, 2006). Gay memiliki orientasi seksual dengan sesama jenisnya namun


(58)

tidak mempersepsikan identitas seksualnya sebagai lawan jenisnya. Sedangkan pada waria, memiliki orientasi seksual dengan sesama jenis, namun mepersepsikan diri mereka sebagai perempuan.

Aktivitas seksual mereka dapat ikatakan sebagai perilaku seks yang tidak sehat seperti masturbasi mutual, oral seks, anal seks yang dilakukan dengan berganti-ganti pasangan (Riniastuti, 2003). Tidak sehat karena sangat rentan terhadap PMS (Penyakit Menular Seks) maupun HIV/AIDS. Selain itu juga, seks bagi waria juga sebagai lahan untuk mencari uang karena minimnya lapangan pekerjaan, membuat aktivitas seks ini sulit untuk dilepaskan dan bahkan dipandang sebagai sebuah kesempatan yang harus mereka manfaatkan sebagai akibat dari ketidakmampuan mereka untuk memiliki pendamping hidup (suami) (Koeswinarno, 2004).

7) Waria dalam Lingkup Sosial

Tidak mudah bagi waria untuk dapat diterima di masyarakat, terutama di Indonesia. Hal ini dikarenakan waria tidak termasuk dalam kategori jenis kelamin yang telah ditetapkan selama ini yakni laki-laki dan perempuan. Hal tersebut pula memunculkan berbagai stigma negatif yang kemudian melekat pada waria seperti dianggap menyimpang, berdosa dan bahkan sampah masyarakat. Beberapa permasalahan yang mereka alami dapat dikategorikan kedalam dua bentuk yakni internal dan eksternal:


(59)

Permasalahan yang muncul dari dalam diri. Misalnya, merasa tidak jelas akan identitas gendernya yang kemudian membuat bingung, canggung, tingkah laku yang berlebihan. Mereka juga merasa tertolang, merasa terasingkan oleh masyarakat yang akan berdampak munculnya frustrasi, depresi, kesepian hingga bunuh diri.

b. Permasalahan Eksternal

Permasalahan yang muncuk dari luar diri seperti anggapan negatif bagi waria dan komunitasnya yang dianggap menyimpang dan menyebabkan adanya pengucilan. Masyarakat memandang waria sebagai penyandang masalah sosial karena kelainan pada aspek biologisnya, pergaulan sosialnya, perilaku seksualnya. Bahkan waria disejajarkan dengan kaum tuna sosial (gelandangan, pengemis dll) (Koeswinarno, 2004).

Permasalahan-permasalahan tersebut berdampak pada aktivitas mereka secara sosial. Seperti kurang atau sulit mengaktualisasikan diri di dalam lingkungan seperti, sulit mencari pekerjaan, akses di bidang pendidikan, bahkan permasalahan kepemilikian Kartu Tanda Penduduk (KTP) hingga akses menuju toilet umum juga sulit (news.detik.com diakses tanggal 26 Agustus 2015).

Studi kasus yang dilakukan terhadap Dita (waria, 26 tahun, oleh Sanggar Waria Remaja dalam Laporan Naisonal Indonesia, 2013) mengungkapkan bahwa waria paling banyak mendapatkan diskriminasi dalam pekerjaan dari pada gay, lesbian, terutama di sektor formal. Para waria yang mengikuti sebuah


(60)

diskusi menerangkan bahwa kasus diskriminasi sering terjadi dalam pekerjaan seperti mengajar, perbankan bahkah salon yang notabene merupakan ranah pekerjaan yang aman bagi waria. Seperti asus Dita yang melamar pekerjaan di salon dan ketika ditanyai mengenai jenis kelaminnya yang ia jawab adalah waria, pemlik salon itu meminta Dita untuk menjadi laki-laki, berpenampilan laki-laki agar dapat diterima kerja. Dita kemudian mengiyakannya tawaran tersebut karena ia sangat butuh pekerjaan, walaupun hatinya bergejolak atau memberontak, Dita kemudian memotong rambutnya dan mengenakan pakaian pria. Namun, Dita sesekali berpenampilan perempuan ketika sedang di kos atau sedang tidak bekerja dengan tetap memakai rambut palsu dan pakaian perempuan (Laporan Nasional Indonesia-Hidup Sebagai LGBT di Asia tahun 2013).

8) KERANGKA PENELITIAN

Seorang laki-laki mengalami kebingungan akan identitas gendernya karena dirinya merasa jiwa yang berada dalam tubuh yang salah. Hal tersebut menjadi permasalahan intern bagi dirinya dan adanya permasalahan eksternal juga muncul dari anggapan negatif seperti ejekan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap perilakunya yang cenderung lebih feminin dari pada maskulin. Kemudian untuk mengurangi permasalahan tersebut, individu kemudian memutuskan untuk menjadi waria dengan berdandan dan berperilaku sebagaimana seorang perempuan. Namun pada kenyataanya, keputusan untuk


(61)

menjadi waria tersebutpun menimbulkan masalah baru, terutama dari luar individu seperti stigma negatif terhadap kaum waria dan diskriminasi. Permasalahan tersebut merupakan permasalahan eksternal yang kemudian menyebabkan waria merasa bersalah, berdosa dan tertolak sehigga dapat merasa depresi maupun frustasi (permasalahan intern). Dari sini kita dapat melihat bahwa banyaknya tekanan (press) yang ditemuai atau dialami oleh waria dalam memenuhi kebutuhannya dari sebelum menjadi waria dan setelah menjadi waria. Waria seperti yang telah diutarakan pada tinjauan pustaka, mereka nyaman dengan dirinya sebagai perempuan mulai dari perilaku, sifat dan penampilan mereka sebagai perempuan. Berpenampilan seperti perempuan misalnya menggunakan baju, alas kaki yang identik dengan kaum perempuan (dress, rok, pakaian dengan warna cerah, high heels, flat shoes, dll), asesoris dan

make up atau berdandan selayaknya perempuan. Hal tersebut merupakan salah

satu kebutuhan yang waria miliki, sehingga mereka akan merasa puas setelah melakukannya.

Disisi lain, kegiatan yang waria ikuti yakni pesantren menjadi menarik

untuk diteliti motivasinya. Secara agama, waria seperti ‗ditolak‘ karena status

mereka yang dianggap menyalahi aturan agama. Namun, pada pesantren khusus waria ini mereka difasilitasi untuk belajar agama. Kegiatan menarik adalah ketika mereka beribadah dengan menggunakan atribut laki-laki (sarung, peci) dan menjadi imam dalam shalat. Hal ini seakan mengingatkan waria kembali pada gender aslinya sebagai laki-laki. Hal ini pula bertolak belakang dengan


(62)

kenyamanan dan kepuasan mereka sebagai diri mereka yang telah mereka putuskan yakni adalah seorang waria yang baik perilaku, sifat dan penampilannya adalah perempuan. Walaupun pada kenyataannya ada waria yang sempat enggan melakukan shalat karena tidak mau menghapus make up-nya, namun ada beberapa waria yang bertahan.

Motivasi diteliti untuk melihat gambaran kebutuhan, dorongan dan motif yang melatarbelakangi waria tersebut berkegiatan di dalam pesantren. Karena motivasi merupakan sebuah usaha atau energi yang mendorong manusia atau organisme lain untuk mengaktifkan, mempertahankan dan mengarahkan perilaku mereka. Kaitannya di dalam penelitian ini adalah motivasi yang membuat waria mau menjadi anggota pesantren dan mengikuti kegiatan di dalamnya walau ada hal yang kontradiktif dengan dirinya (beribadah dengan atribut laki-laki dengan kenyamanan mereka mengidentifikasi diri sebagai perempuan).


(63)

42

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian kualitatif. Secara umum, penelitian kualitatif bersifat eksploratik dalam arti lebih mengandalkan data berupa ungkapan yang diberikan oleh subjek penelitian untuk mengeksplorasi fenomena atau permasalahan pokok yang terdapat dalam sebuah penelitian (Supratiknya, 2015). Penelitian kualitatif lebih ditujukan untuk mencapai pemahaman mendalam mengenai organisasi ataupun peristiwa khusus daripada mendeskripsikan bagian permukaan dari sample besar dari sebuah populasi (Denzin & Lincol, dalam Herdiansyah, 2010). Selain itu, penelitiaan kualitatif juga ditujukan untuk mendapatkan pemahaman melalui pengalaman

first-hand dari peneliti yang langsung berproses bersama menjadi satu bagian

dengan subjek penelitian.

Menurut Creswell, penelitian kualitatif merupakan proses penelitian ilmiah untuk memahami masalah-masalah manusia dalam konteks sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan. Hal ini dikarenakan menurut Creswell, dinamika permasalahan manusia tidak lepas dari konteks sosial dan budaya yang melingkupinya. Menurut Moleong (2005) yang dicoba untuk dipahami dari subjek penelitian kualitatif misalnya adalah perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, yang secara holistik dideskripsikan dalam bentuk


(64)

kata-kata dan bahasa pada konteks khusus yang alamiah dengan berbagai metode alamiah.

Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode fenomenologi interpretif. Menurut Husserl (dalam Herdiansyah, 2010) manusia memiliki pemahaman tersendiri terhadap fenomena yang terjadi pada dirinya, dan pemahaman tersebutlah yang kemudian mempengaruhi perilakunya. Fenomenologi berusaha untuk mengungkap fenomena beserta konteksnya yang unik dan khas pada individu sampai pada tataran keyakinan yang mereka miliki. Secara sederhana, fenomenologi berusaha untuk memahami arti dari suatu pengalaman individual yang berkaitan dengan fenomena tertentu (Herdiansyah, 2010).

B. Fokus Penelitan

Penelitian ini berfokus pada motivasi waria menjadi anggota pesantren. Motivasi diteliti dengan melihat dinamika antara kebutuhan, dorongan, motif yang ada pada waria sehingga mengarahkan mereka atau melatarbelakangi mereka untuk menjadi anggota pesantren.

C. Metode Pengambilan Data

Metode pengambilan data yang dilakukan oleh penelitian ini antara lain adalah:


(65)

1) Wawancara

Wawancara merupakan teknik yang digunakan untuk mendapatkan data dari responden dengan menguak kesadaran responden terhadap sesuatu (Downs et al, 1980). Hal ini dikarenakan adanya interaksi dua arah yang digunakan peneliti memberikan pertanyaan dan responden menjawab pertanyaan. Teknik wawancara yang dipakai adalah semi terstruktur. Pertanyaan yang hendak ditanyakan kepada responden, dirancang terlebih dahulu dan dibentuk guideline yang kemudian ditanyakan kepada responden. Teknik ini tidak terpaku ada pertaanyaan sehingga dapat memungkinkan untuk dilakukannya probing agar data dapat tergali dengan baik.

Tabel 1

Daftar Panduan Pertanyaan

Pertanyaan Tujuan Pertanyaan

Sudah berapa lama anda menjalani hidup sebagai waria?

Rapport awal dan untuk mengetahui sejauh mana informan sudah hidup menjadi waria

Bisa anda ceritakan pengalaman anda sebelum memutuskkan untuk menjadi seorang waria?

Bertujuan untuk mengetahui latar belakang kehidupan informan terdahulu dan mengetahui faktor informan menjadi waria (biologis, psikologis, sosiologis, ekonomi)


(66)

Bisa anda ceritakan pengalaman anda setelah memutuskan untuk menjadi seorang waria?

Bertujuan untuk mengetahui konteks pengalaman informan saat ini

Komunitas apa saja yang anda ikuti saat ini?

Untuk mengetahui keikutsertaan informan pada komunitas waria atau umum dan motivasi mereka mengikuti berbagai macam komunitas Sudah berapa lama anda menjadi

anggota pesantren?

Mengetahui ketahanan informan dalam menjadi anggota pesantren Bagaimana awalnya, anda bisa

mengetahui adanya pesantren ini?

Untuk mengetahui pengetahuan informan terhadap pesantren sehingga dapat melihat ketertarikan awal

Hal apa yang membuat anda tertarik ikut dalam pesantren ini?

Untuk mengetahui yang perhatian utama informan pada pesantren

Hal apa yang membuat anda terpikir untuk bergabung dengan pesantren ini?

Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi informan untuk bergabung dengan pesantren

Hal apa yang mendorong anda semakin yakin untuk bergabung dengan pesantren ini?

Untuk melihat motivasi informan dan faktor yang paling mendasari informan memilih untuk bergabung dengan pesantren


(67)

bergabung di dalam pesantren ini? informan terhadap pilihannya/keputusannya

Menurut anda, apa pendapat anda tentang kegiatan di pesantren ini?

Untuk mengetahui tanggapan, opini informan terhadap pesantren

Bagaimana perasaan anda ketika mengikuti kegiatan di dalam pesantren ini?

Untuk mengetahui tanggapan emosional informan terhadap aktivitas atau kegiatan di dalam pesantren yang informan jalani

Apa yang anda rasakan ketika anda beribadah atau shalat?

Untuk mengetahui tanggapan emosional informan ketika berpakaian laki-laki

Bagaimana pendapat anda mengenai aturan agama yang mengharuskan anda mengenakan atribut shalat yang biasanya digunakan untuk laki-laki?

Untuk mengetahui tanggapan informan terhadap aturan agama dan untuk mengetahui apakah informan mengalami konflik/tekanan dengan adanya aturan tersebut

Pernahkah anda merasa tidak nyaman dengan hal tersebut? Bisa anda ceritakan bagaimana?

Untuk mengetahui tanggapan emosional informan ketika berpakaian laki-laki

Bagaimana cara anda untuk mengatasinya?

Untuk mengetahui cara informan dalam mengatasi ketidaknyamanannya ketika


(1)

Aa harapannya ya pesantren itu makin banyak anggotanya, makin sukses gitu, jalan dengan lancar, tidak ada permasalahan gitu, kalo saya gitu dari hati saya gitu lancar tidak ingin ada permasalah gitu sama orang gitu karena itu demi kebaikan waria semuanya gitu

anggota, agar semakin sukses dan lancar tidak menemui permasalahan demi kebaikan semua waria

semakin banyak anggotanya, lancar dan sukses untuk kebaikan para santri waria

20 Kalo untuk diri mbak sendiri, harapannya apa? Hmmm kalo harapan saya ya beginilah, yang penting kita menjalani aja, yang ada di depan gitu, yang penting kita berkomunikasi aja dengan keluarga gitu, baik-baik gitu

Informan mengatakan bahwa ia ingin menjalani apapun yang akan ia temui nanti, yang terpenting baginya adalah tetap berkomunikasi dengan keluarga dengan baik

20

Informan menginginkan agar dirinya tetap mampu menjalani kehidupan dan tetap bisa menjalin komunikasi yang baik dengan anggota keluarga

Keinginan untuk dekat dengan keluarga

21 Trus mbak apa yang membuat mbak bertahan nih berkegiatan di pesantren? Yaa kita harus bertahan aja, karena demi kebaikan Eva sendiri kebaikan saya sendiri gitu, jadi kalo misalkan kita tidak baik, kita tidak mungkin bertahan karena mana yang baik mana yang tidak baik, kita yang baiknya kita ambil, tidak baiknya kita buang aja, saya begitu orangnya, baik, selagi ada orang yang apa tu jadi toleransi masalah agama, maaf, gratis gitu ya ustadz-ustadznya itulah yang saya manfaati gitu, selagi ada yang mengajarkan kita, kita harus perlu itu, kita jangan sampai kita sia-siakan gitu waktu itu dimanfaatin untuk saya

Informan mengatakan bahwa ia bertahan mengikuti kegiatan di pesantren demi kebaikan untuk dirinya sendiri dan selagi ada orang yang mau mengajarkan agama, ia akan memanfaatkannya dan tidak akan menyianyiakannya

21+22

Informan mengatakan bahwa ia akan memanfaatkan dan tidak menyianyiakan kesempatannya untuk belajar di pesantren, selagi ada tenaga pengajarnya, hal tersebut untuk kebaikan dirinya. Selain itu ia bertahan karena merasanyaman karena sudah mendapatkan banyak hal di pesantren seperti pengajar yang tanpa pamrih, sosok pemimpin dan persaudaraan yang kuat

Memanfaatkan kesempatan untuk belajar Kenyamanan ketika dipimpin Adanya

keinginan untuk memiliki saudara

22 Yang belum mbak dapatkan di pesantren apa? Yang belum mendapatkan dari pesantren, semuanya sudah saya dapatkan apapun juga yang saya rasakan, udah dapatkan dari pondok

Informan mengatakan bahwa ia sudah mengapatkan semua yang ia butuhkan dipesantren seperti cara mengajar yang tidak pamrih, pemimpinnya, dan teman


(2)

pesantren, misalnya cara mengajarnya tidak pamrih, pemimpinnya, temen-temennya ya itulah mendapatkan persaudaraan yang lebih kuat gitu, kenyamanan ya pasti nyamanlah untuk saya ya, tidak mungkin saya bertahan kok hati saya tidak nyaman, saya selalu nyaman orangnya, karena saya kan orangnya tidak pernah punya masalah

serta persaudaraan yang lebih kuat. Informan mengatakan bahwa dirinya bertahan juga karena merasa nyaman karena dirinya tidak pernah memiliki masalah

23 Kalau tanggapan sosial atau lingkungan nih mbak ketika mengetahui mbak seorang santri waria? Nggak papa, nggak jadi masalah walau udah mengetahuinya kok, mengetahuinya, ―Mbak Eva mau kemana? Ke pondok. Oo ke Pondok‖, menerima dengan baik, karena kita bisa beradaptasi dengan lingkungan, kalo kita nggak bisa beradaptasi nggak mungkin kita diterima, misalnya saling menghargai, menegur

Informan mengatakan bahwa dirinya diterima dengan baik oleh masyarakat yang mengetahui bahwa dirinya adalah seorang santri

Informan juga mengatakan bahwa dirinya dapat beradaptasi di lingkungan dengan baik sehingga bisa diterima seperti saling menghargai dan menegur

23

Informan mengatakan bahwa ia merasa diterima dengan baik oleh masyarakat terkait aktvitasnya sebagai anggota pesantren dan

juga didukung oleh

kemampuannya beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan

Adanya

keinginan untuk diterima

Adanya kemampuan beradaptasi dengan lingkungan


(3)

PENGELOMPOKAN KODE INFORMAN 2

Kode Kategori Need Motif

Keterlibatan awal karena ajakan dari seorang teman.

Mencari sosok dominan atau sosok pemimpin.

Kenyamanan ketika dipimpin.

Pandangan positif terhadap orang lain. Adanya keinginan untuk dirangkul. Senang dirangkul.

Keinginan untuk dirangkul oleh seseorang yang lebih dominan

Need of Deference

Mencari sosok yang lebih dominan

Need of Deference Need of Succorance Adanya keinginan untuk belajar agama.

Keinginan yang kuat untuk belajar agama.

Fokus untuk belajar agama.

Memanfaatkan kesempatan untuk belajar.

Keberuntungan karena telah mempelajari agama.

Agama menjadi yang utama.

Memenuhi kewajiban untuk mempelajari agama.

Mengikuti aturan keluarga.

Keinginan untuk mempelajari agama yang berasal dari dalam

diri dan dari faktor kepatuhan

Need of Achievement

Kewajiban dalam mempelajari agama Need of Deference

Motif belajar

Motif patuh pada aturan Adanya keinginan untuk memperbaiki

diri.

Adanya keinginan untuk menjadi lebih positif.

Adanya keinginan untuk mendapatkan ketenangan

Menguasai dan memperbaiki diri

Need of Counteraction

Keinginan untuk memiliki kontrol diri


(4)

Keinginan untuk dekat dengan saudara. Keinginan untuk dekat dengan keluarga.

Keinginan untuk memiliki saudara.

Keinginan untuk memiliki

kedekatan dengan saudara Need of Affiliation Keinginan untuk bersama saudara

Adanya keinginan untuk diterima. Adanya kemampuan beradaptasi dengan lingkungan.

Keinginan untuk diterima masyarakat

Need of Succorance

Keinginan untuk diterima orang lain


(5)

147 Hasil Observasi Informan 2 (EW)

Wawancara 1 : 2 Desember 2015 Waktu wawancara : 18.00

Lokasi : ruang tamu Pondok Pesantren Al-Fatah Durasi wawancara : 25 menit 30 detik

Waktu selesai : 19.30

1. Pada saat sebelum wawancara

Pada awalnya kesepakatan informan dan peneliti untuk bertemu adalah pukul 14.00, namun 2 jam sebelum pukul 14.00, informan kemudian meminta untuk mengundurkan jam pertemuan menjadi pukul 15.00 karena informan sedang ada pekerjaan yang belum diselesaikan yakni mengerjakan pemasangan rambut (hair extention) pelanggannya di salon. Informan dan peneliti membuat janji bertemu di pondok pesantren. Informan datang pukul 16.00 dan pada saat itu ternyata juga sedang berlangsung kunjungan dari Bimbingan Konseling Universitas Sanata Dharma, dan informan menjadi pembicara dalam sebuah grup diskusi. Hal tersebut membuat informan masuk dalam kelompok tersebut dan mengundurkan waktu wawancara. Wawancara kemudian baru dimulai pukul 18.00 setelah diskusi tersebut selesai.

Informan meminta untuk memulai wawancara tepat 2 menit setelah informan selesai dengan grup diskusinya, dan ia melewatkan acara makan-makan pada saat itu. Wawancara berlangsung di ruang tamu pondok pesantren.


(6)

Pada saat peneliti memberikan informed consent, informan terlihat cepat membacanya dan langsung membubuhkan tanda tangannya. Kemudian setelah itu, ia memberikan informed consent tersebut kepada peneliti dan menunggu pertanyaan dari peneliti dengan meletakkan keduatangannya dengan telapak tangan ditumpuk di atas tempurung lutut.

2. Pada saat wawancara

Informan mengenakan kaos oblong berwarna hitam, celana jeans panjang berwarna biru keabu-abuan. Informan duduk di sofa dengan kaki menyilang dan terlihat bersandar di punggung sofa tersebut. Rambut panjang informan diikat dan pada awal wawancara, informan menjawab pertanyaan sambil merokok.

Beberapan jawaban, dijawab informan dengan minim, sehingga beberapa kali, peneliti harus melakukan probing. Informan juga sesekali memberi penekanan pada beberapa jawaban.

Pada beberapa kesempatan wawancara, Ibu Shinta (Ketua pondok pesantren) lalu lalang di ruang tamu dan sempat menawarkan informan makan, namun informan menunda waktu makannya.

3. Pada saat setelah wawancara

Setelah wawancara selesai, peneliti kemudian memberikan kenang-kenangan kepada informan dan informan mengucapkan terimakasih. Setelah itu, informan kembali melanjutkan aktivitasnya yakni makan dan kemudian berfoto bersama dengan tamu yang sedang berkunjung dan hendak berpamitan pulang.