Studi Deskriptif Mengenai Model Komitmen Organisasi Pada Guru di SMPK 'X' Bandung.

(1)

vi Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Studi Deskriptif Mengenai Model Komitmen Organisasi pada Guru di SMPK “X” Bandung. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai model komitmen organisasi pada guru SMPK “X” Bandung. Ada 3 model komitmen organisasi yaitu affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment.

Peneliti mengambil data pada 30 guru SMPK “X” Bandung. Dalam mengambil data, peneliti menggunakan metode populasi sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner komitmen organisasi yang terdiri atas 25 item. Kuesioner ini merupakan alat ukur yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori komitmen organisasi dari Meyer and Allen's (1991). Melalui pengolahan data menggunakan program SPSS 17.0 for windows diketahui bahwa validitas alat ukur ini antara 0.302 sampai dengan 0.776 dan reliabilitas alat ukur ini adalah sebesar 0.757.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi rendahnya komitmen organisasi dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, status marital, lama kerja, dan pendidikan terakhir masing-masing guru tersebut.

Peneliti mengajukan saran bagi penelitian selanjutnya, dapat meneliti lebih lanjut mengenai hubungan antara kepuasan kerja yang meliputi penghayatan imbalan, pengahayatan terhadap fasilitas, penghayatan tantangan pekerjaan, penghayatan rancangan pekerjaan, penghayatan variasi pekerjaan terhadap model komitmen organisasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase terbesar ada pada tipe 1 sebesar 46,67%, yaitu : affective commitment tinggi, normative commitment tinggi, dan continuance commitment tinggi. Bagi Kepala Sekolah SMPK „X‟ Bandung disarankan untuk lebih memperhatikan ketersediaan fasilitas sarana dan prasarana untuk menunjang pembelajaran seperti internet, alat peraga, dan sebagainya.


(2)

vii Universitas Kristen Maranatha

ABSTRACT

This research study titled Descriptive of Organization Commitment of Teachers from Christian Junior High School “X” Bandung. The study was done in order to obtain the development of organization commitment of teachers from Christian Junior High School “X” Bandung. There are three models of commitment organization which are affective commitment, continuance commitment, and normative commitment.

Researchers took data on 30 teachers of Christian Junior High School “X” Bandung in order to complete this thesis. Those 30 teachers are the whole teachers who work at that school that have various working period. In order to collect the data, researchers use population sampling method. The measurement tool which is used in this research is commitment organization questionnaire that consist of 25 items. This questionnaire is a measurement tool developed by researchers based on the theory of organization commitment of Meyer and Allen's (1991). Through data processing using the program SPSS 17.0 for windows is known that a range of validity ranged from 0.302 to 0.776 while the reliability is equal to 0.757.

The results showed that type of commitment organization teachers of Christian Junior High School “X” Bandung is depend on gender, age, marital status, the lenght of working period, and the last level of education from each teachers of Christian Junior High School “X” Bandung.

Researchers put forward suggestions for further research to choose a topic about correlation between job satisfaction which covered of comprehension of facilities, comprehension of working obstacles, comprehension of working program, and comprehension of working variousity to a development of organization commitment.

Results of the research is shows that type 1 has the biggest percentage, which is 46,67%. The item of type 1 consists of affective commitment high, cormative commitment high, and continuance commitment high. For the headmaster of Christian Junior High School “X” Bandung, the researchers propose suggestions to give more attention to the requirements and the interests of teachers in order to educate the students well, such as availability of tools and infrastructures to conduct teaching-learning activities like internet, visual aid, etc.


(3)

viii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL……...……….…i

LEMBAR PENGESAHAN………...………..ii

KATA PENGANTAR……….………..…...iii

ABSTRAK………..……….……...vi

ABSTRACK……….………...vii

DAFTAR ISI……….………viii

DAFTAR TABEL……….………..………...xiii

DAFTAR BAGAN..………...……xiv

DAFTAR LAMPIRAN………..xv

BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah..………...……….1

1.2 Identifikasi Masalah………..………...……….10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian………...……..………….10


(4)

ix Universitas Kristen Maranatha

1.3.2. Tujuan Penelitian………..……….10

1.4 Kegunaan Penelitian...11

1.4.1.Kegunaan praktis………...…………...……….11

1.4.2.Kegunaan Teoretis……….11

1.5. Kerangka Pikir………..…………...………...…12

1.6.Asumsi.………..23

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komitmen Organisasi………..…..24

2.1.1 Definisi Komitmen Organisasi………...………24

2.1.2 Model Komitmen Organisasi………...………..26

2.1.3 Sumber Komitmen Organisasi………...………..……..29

2.1.4 Antecedents Komitmen Organisasi...30

2.1.5 Proses Komitmen Organisasi………...33

2.1.6 Konsekuensi Komitmen Organisasi………...……34

2.1.7 Cara Menciptakan Komitmen Organisasi………...….36


(5)

x Universitas Kristen Maranatha 2.2.1 Pengertian Guru………..38

2.2.2 Tugas Guru dalam Pendidikan………...…38

2.2.3 Peran Guru dalam Pendidikan………....39

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian……….………42

3.2. Bagan Rancangan Penelitian……….42

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional………43

3.3.1. Variabel Penelitian………..…….……….43

3.3.2. Definisi Operasional………..43

3.4. Alat Ukur……….………..44

3.4.1. Alat Ukur Komitmen Organisasi………...….…...…44 3.4.1.1. Prosedur Pengisian Kuesioner……….…………..………….45 3.4.1.2. Sistem Skoring………..…………...………..45 3.4.2. Data Penunjang……….………46

3.4.3. Validitas dan Realibilitas Alat Ukur……….47


(6)

xi Universitas Kristen Maranatha

3.4.3.2. Reliabilitas Alat Ukur……….………48

3.5. Populasi Sasaran, Teknik Sampling, dan Karakteristik Populasi……..49

3.5.1. Populasi Sasaran………...………...49

3.5.2. Karakteristik Populasi………...………50

3.6. Teknik Analisis Data……...……….…...50

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Responden………...……….51

4.1.1. Jenis Kelamin Responden……...………..51

4.1.2. Usia Responden………...………..52

4.1.3. Pendidikan Responden………...………...52

4.1.4. Lama Kerja Responden………..…………...53

4.1.5. Status Marital Responden………..………...54

4.2. Hasil Penelitian………..54

4.2.1. Tabel Komponen Komitmen Organisasi………...………55

4.2.2. Tabel Model Komitmen Organisasi………..56


(7)

xii Universitas Kristen Maranatha BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan………66

5.2. Saran………..67

5.2.1. Saran Teoretis………...……….67

5.2.2 Saran Praktis………...67

DAFTAR PUSTAKA………..68

DAFTAR RUJUKAN………..70


(8)

xiii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

3.1. Tabel Kisi-kisi Alat Ukur………....44

3.2. Tabel Skoring Alat Ukur………...…..45

4.1. Tabel Responden Berdasarkan Jenis Kelamin………....51

4.2. Tabel Responden Berdasarkan Usia………52

4.3. Tabel Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir………..52

4.4. Tabel Responden Berdasarkan Lama Kerja………53

4.5. Tabel Responden Berdasarkan Status Marital………..………..54

4.6. Tabel Persentase Komponen Komitmen Organisasi………..55


(9)

xiv Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

1.1. Bagan Kerangka Pikir………....22

2.1. Bagan Komitmen Organisasi………...………..29

2.2. Bagan Model Multidimensional Komitmen Organisasi………32


(10)

xv Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Model Komitmen Organisasi

Lampiran II : Alat Ukur

Lampiran III : Model Komitmen Organisasi

Lampiran IV : Hasil Perhitungan Tabulasi Silang Antara Model Komitmen Organisasi dan Faktor yang Terkait


(11)

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pendidikan dan pekerjaan merupakan dua komponen penting dalam hidup setiap individu. Pendidikan dan pekerjaan saling mempengaruhi dan sulit untuk dibicarakan secara terpisah. Dengan pendidikan yang cukup, seseorang dapat memperoleh pekerjaan dengan lebih mudah sesuai dengan yang diharapkan, tanpa pendidikan, akan sulit bagi seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Dengan demikian, pendidikan dapat menjadi salah satu batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, sehingga pendidikan dan pekerjaan harus berjalan dengan seimbang. Artinya, jika dibandingkan dengan orang yang tidak berpendidikan dalam suatu lowongan pekerjaan kantor, maka rata-rata yang terpelajarlah yang akan mendapatkan pekerjaan tersebut (Todaro, 1997).

Dengan memiliki pekerjaan, maka kehidupan seseorang akan lebih terjamin dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki pekerjaan. Oleh karena itu, setiap orang berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai bagi dirinya. Dengan kondisi lapangan kerja yang semakin terbatas, setiap orang tentu akan berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang diharapkan sehingga dapat meningkatkan kualitas kehidupannya.

Pendidikan merupakan hal yang mempengaruhi segala bidang kehidupan, dalam memilih dan membina hidup yang baik, yang sesuai dengan martabat manusia (Daoed Joesoef,


(12)

http://smkn1yogyakarta.org/news/2-pentingnya-2

Universitas Kristen Maranatha pendidikan.html). Melihat begitu pentingnya pendidikan bagi setiap orang, maka penting jugalah peran guru dalam sekolah, dimana tanpa seorang guru, pendidikan tidak dapat berjalan dengan lancar. Pekerjaan sebagai guru memiliki tingkat kesulitan tertentu yang mungkin tidak dialami oleh orang yang bekerja di bidang lain, seperti mengatasi kenakalan siswa, mengatasi siswa yang menyalahgunakan penggunaan internet. Selain itu, para guru juga tidak jarang mengalami kesulitan dalam memilih metode mengajar yang efektif dengan inovasi secara berkala agar tidak membosankan bagi siswa, seperti memberikan praktikum atau aplikasi dari teori yang diajarkan setelah menjelaskan teori tersebut.

Sekolah merupakan organisasi formal yang berkewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam mendidik warga negara. Sekolah sebagai organisasi yang akan membantu seseorang dalam mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik. Sebagai organisasi, sekolah harus memiliki guru-guru yang berkualitas sehingga dapat menjalankan visi dan misi sekolah dan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan serta menghasilkan anak didik yang berprestasi. (Nababan, Nur Arinilawati. 2003.)

Sekolah SMPK “X” merupakan sekolah swasta yang sudah berdiri sejak tahun 1966. Sekolah ini didirikan untuk mereka yang ingin mendapatkan pendidikan formal selain di sekolah negeri. Sekolah ini memiliki jenjang pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Sekolah ini memiliki visi dan misi, dimana visinya berbunyi : “Menjadi wadah pelayanan masyarakat dan bangsa dalam bidang pendidikan, sebagai perwujudan iman, dan kasih Kristiani, untuk membina


(13)

3

Universitas Kristen Maranatha manusia Indonesia seutuhnya, berdasarkan Firman Tuhan.” Sekolah SMPK ‘X’ Bandung memiliki misi yang berbunyi : “Mengembangkan intelektualitas dan keterampilan peserta didik dalam rangka menumbuhkembangkan kepribadian mereka seutuhnya serta memberi bekal guna melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Membangun karakter peserta didik, selaku individu maupun anggota masyarakat, agar dapat hidup berdampingan dengan saling menghargai.” Sekolah ini menyediakan pendidik yang sebagian besar beragama Krsiten, sehingga diharapkan para pendidik dapat mendidik siswanya sesuai dengan visi, misi, dan tujuan yang dimiliki sekolah. Untuk mewujudkan visi dan misi, sekolah membuat program Character Building yang diadakan setiap minggu secara bergantian untuk kelas tujuh dan delapan. Character Building ini dirancang seperti sebuah permainan oleh para guru BP dan diakhiri dengan penarikan kesimpulan atau arti dari permainan tersebut oleh siswa.

Di SMPK “X” ini, beberapa guru sudah mencoba menerapkan visi dan misi sekolah dalam mengajar siswanya. Salah satunya dengan cara menegur, memberi peringatan, dan menghukum siswanya apabila siswa ketahuan mengejek nama orangtua siswa lainnya. Hal ini dilakukan para guru untuk mewujudkan salah satu visi dan misi sekolah yang membangun karakter peserta didik agar dapat hidup berdampingan dengan saling menghargai. Namun tidak semua guru ikut serta dalam memperhatikan tingkah laku siswa, dimana guru yang relatif muda lebih memiliki kepedulian terhadap siswa sehingga akan menegur dan mengingatkan siswa yang berkata kasar, sedangkan untuk guru senior hanya beberapa saja yang peduli dan menegur.


(14)

4

Universitas Kristen Maranatha Dalam melakukan pekerjaannya, guru dituntut untuk memiliki kompetensi yang terbagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu : kemampuan merencanakan pengajaran, kemampuan melaksanakan pengajaran, dan kemampuan mengevaluasi pengajaran. Kompetensi tersebut diuraikan menjadi kompetensi sebagai berikut, yaitu: menguasai bahan, menguasai landasan pendidikan, menyusun program pengajaran, melaksanakan program pengajaran, menilai proses dan hasil belajar, menyelenggarakan program bimbingan dan penyuluhan, dan menyelenggarakan administrasi sekolah, mengembangkan kepribadian, berinteraksi dengan sejawat dan masyarakat, menyelenggarakan penelitian sederhana untuk kepentingan mengajar (http//digi-crea.com/2009/11/job-desc-guru).

Melihat begitu pentingnya tuntutan pekerjaan sebagai guru dan juga tuntutan guru untuk turut serta mewujudkan visi dan misi sekolah tersebut, maka setiap guru perlu memiliki komitmen organisasi. Dengan memiliki komitmen organisasi, maka guru akan tetap bisa bekerja dengan maksimal walaupun dihadapkan dengan berbagai situasi, tuntutan, dan masalah dalam melaksanakan tugas sebagai guru. Komitmen organisasi guru juga akan terlihat dari cara guru dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa, dimana guru yang memiliki komitmen tidak hanya mengajar secara keseluruhan tetapi juga mengajar hingga seluruh siswa dapat mengerti materi yang diajarkan. Selain itu, guru tersebut juga akan berusaha untuk dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya sehingga dapat lebih baik dalam mengajar, seperti mengembangkan kemampuan dalam menggunakan teknologi dan alat peraga.


(15)

5

Universitas Kristen Maranatha Komitmen organisasi memiliki tiga komponen, yaitu affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment. Affective commitment merupakan keterikatan karyawan terhadap organisasi secara emosional. Guru yang memiliki komitmen afektif terhadap sekolah akan berusaha memajukan sekolah dengan cara mengerahkan kemampuannya untuk memajukan sekolah seperti mengajar siswa dengan maksimal hingga siswa mengerti dengan baik materi yang diajarkan. Guru akan mendidik siswanya agar dapat berprestasi semaksimal mungkin dengan cara memberikan pelajaran tambahan dan remedial bagi siswa yang belum mendapatkan nilai tuntas, memberikan feedback dari hasil ulangan agar siswa mengetahui jawabannya yang salah, dan mengikutsertakan siswa dalam perlombaan antar sekolah. Guru tersebut juga memperhatikan siswa yang berbuat tidak wajar seperti membawa gambar porno.

Komponen kedua dari komitmen organisasi adalah continuance commitment, merupakan komitmen guru terhadap organisasi karena mereka merasa akan kehilangan penghasilannya jika meninggalkan organisasinya. Guru yang memiliki continuance commitment akan mengajar dengan baik atas dasar tidak adanya pilihan lain yang lebih baik dari pekerjaannya sebagai guru. Guru Guru tersebut akan mengajar dengan apa adanya, dimana guru tidak terlalu peduli apabila ada siswa yang tidak mengerti akan materi yang diajarkannya, jika siswa tidak mengerjakan tugas yang diberikan, juga apabila ada siswa yang tidak memperhatikan saat guru tersebut mengajar. Guru tersebut akan mengajar materi yang perlu disampaikan tanpa peduli apabila ada siswa yang masih belum


(16)

6

Universitas Kristen Maranatha mengerti. Selain itu, guru tersebut tidak menjalin hubungan yang lebih dekat dengan siswa dan tidak peduli terhadap siswa yang bermasalah.

Komponen ketiga dari komitmen organisasi adalah normative commitment. Normative commitment merupakan komitmen karyawan terhadap organisasi karena merasa bahwa mereka wajib untuk tetap bekerja di organisasi tersebut. Guru yang memiliki normative commitment yang tinggi, akan menjalankan tugas dan perannya sesuai dengan prosedur. Hal tersebut dapat terlihat pada saat guru tersebut berperan sebagai wali kelas dari siswa yang bermasalah, guru tersebut kurang memiliki kepedulian untuk bekerja sama dengan guru BP dan orang tua siswa menyelesaikan masalah siswanya. Guru tersebut hanya akan bertindak sebagai guru bidang studi yang mengajar materi pelajaran bidang studi tersebut. Meskipun sebagai wali kelas, guru tersebut cenderung menyerahkan permasalahan siswa kepada guru BP dan orang tua, ia merasa bahwa permasalahan siswa bukanlah tanggung jawabnya.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara peneliti selama delapan bulan terhadap sepuluh orang guru di SMPK “X” Bandung, tiga orang guru mampu melaksanakan pengajaran dengan baik, hal itu dapat dilihat dari kemampuan guru dalam menjawab setiap pertanyaan siswa hingga siswa tersebut mengerti. Guru tersebut berusaha untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya setelah selesai menjelaskan materi, dan berusaha untuk menjawab pertanyaan siswa hingga siswa mengerti. Jika guru belum dapat menjawab pertanyaan tersebut, guru tersebut akan menjawabnya pada saat mengajar berikutnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa guru tersebut menyukai pekerjaannya sebagai guru


(17)

7

Universitas Kristen Maranatha dan merasa memiliki kewajiban untuk mengajar dengan maksimal hingga siswa mengerti.

Tiga orang guru lainnya mampu merencanakan pengajaran, hal tersebut dapat dilihat dari kemampuan guru mengajar dengan cukup sistematis. Guru tersebut mampu menentukan materi yang harus diberikan praktikum dan materi yang cukup dijelaskan secara teori. Guru yang memiliki normative commitment yang tinggi akan berusaha mengajar hingga siswa mampu mengaplikasikan materi yang diajarkannya.

Empat orang guru juga mampu mengevaluasi pengajaran dengan cara memberikan ulangan setelah selesai menjelaskan satu materi. Guru tersebut akan memberikan jawaban yang benar setelah selesai ulangan sebagai bahan evaluasi, sehingga siswa dapat mengetahui jawaban yang benar dan dapat menjawab dengan benar apabila soal tersebut muncul di ulangan berikutnya. Apabila ada siswa yang belum mencapai nilai tuntas, maka guru tersebut akan memberikan remedial. Guru yang memiliki affective commitment dan normative commitment yang tinggi melakukan hal tersebut karena merasa bahwa pemberian remedial adalah prosedur sekolah bagi siswa yang belum mencapai nilai tuntas (normative commitment) dan ingin memberikan evaluasi kepada siswa hingga siswa mengetahui jawaban dari ulangan tersebut (affective commitment).

Untuk dapat melakukan tugas dan tanggung jawab guru sesuai dengan job desc sesuai dengan standar kompetensi sebagai guru, maka para guru diharapkan memiliki komitmen organisasi. Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu keadaan dimana seorang individu memihak


(18)

8

Universitas Kristen Maranatha organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keangotaannya dalam organisasi. Setiap lembaga, perusahaan, organisasi mengharapkan karyawan yang memiliki komitmen organisasi sesuai dengan standar organisasinya. Dengan memiliki komitmen organisasi, organisasi tersebut berharap pekerja dapat mengabdikan dirinya untuk bekerja sebaik mungkin di dalam organisasi tersebut. Demikian juga halnya dengan Kepala Sekolah SMPK “X” Bandung yang mengharapkan adanya komitmen organisasi pada setiap guru di sekolah tersebut.

Menurut Kepala Sekolah SMPK X Bandung, guru-guru di sekolah tersebut tidak memiliki turn over yang tinggi, dimana dalam lima tahun hanya ada kurang lebih 1 orang yang keluar atau mengundurkan diri. Selain itu, tingkat absensi tidak tinggi, dimana guru yang diijinkan tidak masuk adalah guru yang sakit atau yang memiliki kepentingan yang tidak dapat ditinggalkan. Kepala Sekolah juga mengungkapkan bahwa semua guru hadir dalam setiap pelatihan yang diadakan setiap hari Sabtu setelah program pengembangan diri (Character Building) bagi para siswa.

Berdasarkan wawancara terhadap 10 orang guru sebanyak 70% guru mempunyai lama kerja antara 10-20 tahun, dan sebanyak 30% guru mempunyai lama kerja antara 1-5 tahun. Dari wawancara tersebut diperoleh data sebagai berikut 30% guru memiliki affective, normative, dan continuance commitment yang rendah. Hal tersebut dapat diartikan bahwa guru tersebut tidak menyukai keanggotaannya di sekolah, merasa tidak memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mengabdikan diri di sekolah, dan merasa bahwa kebutuhannya tidak


(19)

9

Universitas Kristen Maranatha tercukupi. 10% guru memiliki affective dan continuance commitment yang rendah, normative commitment yang tinggi. Artinya, guru tersebut kurang menyukai keanggotaannya di sekolah, kebutuhannya tidak tercukupi, namun merasa memiliki kewajiban untuk memajukan sekolah. 10% guru memiliki affective commitment rendah, normative dan continuance commitment yang tinggi. Artinya, guru tersebut kurang menyukai keanggotannya di sekolah, namun merasa memiliki kewajiban memajukan sekolah dan kebutuhannya tercukupi. 10% guru memiliki affective commitment yang tinggi, normative dan continuance commitment yang rendah. Artinya, guru tersebut menyukai keanggotannya di sekolah, namun merasa tidak memiliki kewajiban untuk memajukan sekolah dan kebutuhannya tidak tercukupi. 40% guru lainnya memiliki affective, normative, dan continuance commitment yang tinggi. Artinya, guru tersebut menyukai keanggotaannya di sekolah, memiliki kewajiban untuk memajukan sekolah dan kebutuhannya terpenuhi.

Dari fakta-fakta yang dijelaskan di atas, dapat dilihat bahwa untuk dapat bekerja sesuai dengan standar kompetensi guru, dibutuhkan komitmen organisasi. Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan juga diperoleh hasil bahwa komitmen organisasi setiap guru berbeda-beda modelnya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai model komitmen organisasi pada guru SMPK “X” Bandung.


(20)

10

Universitas Kristen Maranatha 1.2Identifikasi Masalah

Bagaimana gambaran model komitmen organisasi guru di SMPK ‘X’ Bandung.

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Untuk memperoleh gambaran mengenai model komitmen organisasi yang dominan pada guru di SMPK ”X” Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk memperoleh gambaran mengenai macam model dan faktor yang terkait dengan pembentukkan komitmen organisasi guru SMPK ‘X’ Bandung.

1.4Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis

1. Memberikan informasi bagi ilmu psikologi khususnya bidang psikologi industri dan organisasi mengenai model komitmen organisasi

2. Memberikan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai komitmen organisasi dan mendorong perkembangan penelitian yang berhubungan dengan komitmen organisasi.


(21)

11

Universitas Kristen Maranatha 1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi kepada kepala sekolah SMPK “X” Bandung mengenai model komitmen organisasi yang dimiliki oleh para guru sehingga dapat membantu pihak sekolah untuk mempertahankan komitmen yang dimiliki oleh para guru.

2. Memberikan informasi kepada para guru di SMPK “X” Bandung mengenai model komitmen organisasi yang dimilikinya sehingga dapat mempertahankan komitmen yang ada dalam dirinya dan mendorong agar komitmen tersebut semakin meningkat.


(22)

12

Universitas Kristen Maranatha 1.4 Kerangka Pikir

Masa usia dewasa madya (middle adulthood) merupakan periode perkembangan seseorang yang berusia kira-kira 35-45 tahun hingga memasuki usia 60 tahun (Santrock, 2004). Sebagian besar guru yang bekerja di SMPK “X” Bandung adalah guru yang berusia antara 35-50-an tahun yang termasuk dalam usia perkembangan dewasa madya (middle adulthood). Di saat tersebut, guru berusaha bertanggung jawab dalam menjalani kewajibannya untuk mendidik dan membimbing siswa dengan cara mengajarnya dengan sebaik mungkin agar siswa menjadi berprestasi. Dengan mendidik siswanya untuk berprestasi, guru tersebut dapat memenuhi tanggung jawabnya dalam memajukan mutu / kualitas sekolah di mata masyarakat. Untuk dapat menjalankan tanggung jawabnya secara konsisten, para guru perlu memiliki keterikatan baik secara fisik (kontrak) maupun secara emosional (afektif) dengan sekolah sebagai organisasi. Keterikatan guru baik secara fisik (kontrak) maupun emosional (afektif) dengan sekolah sebagai organisasi disebut dengan komitmen organisasi.

Komitmen organisasi merupakan keterikatan guru dengan sekolah sebagai tempatnya bekerja baik secara fisik (kontrak) maupun secara emosional (afektif). Adanya komitmen organisasi ini, akan membuat guru bertahan untuk tetap bekerja di sekolah tersebut meskipun ada masalah di dalam pekerjaannya, meskipun ada tawaran pekerjaan lain yang lebih menjanjikan bagi dirinya.

Guru yang memiliki komitmen organisasi akan menunjukkan keinginannya untuk bertahan dalam sekolah tersebut, bersedia ikut serta dalam kegiatan sekolah, bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugasnya, memiliki


(23)

13

Universitas Kristen Maranatha perencanaan yang sistematis dalam menyelesaikan kewajiban dan tuntutan pekerjaannya untuk mengajar. Selain itu, guru tersebut akan berusaha meningkatkan hubungannya dengan organisasi tempatnya bekerja dengan cara meningkatkan kualitas dan kemampuannya dalam bekerja melalui pelatihan atau training yang diberikan oleh sekolah. Guru tersebut juga akan berusaha mengatasi masalah, kesulitan, dan tantangan pekerjaannya secara positif dan tidak tertarik untuk bekerja di bidang lain meskipun memiliki masalah di sekolah tersebut.

Guru yang memiliki komitmen organisasi juga akan berusaha untuk mengatasi tantangan dan kesulitan yang dialami, tidak hanya dalam kegiatan belajar mengajar melainkan juga dalam menghadapi kenakalan siswa, seperti menegur siswa yang mengejek nama orang tua, menegur siswa yang berkata kasar, menegur siswa yang membawa gambar porno, dan sebagainya. Kesulitan mengajar siswa dalam jumlah yang besar, mengatasi kenakalan siswa usia remaja, membantu memecahkan permasalahan siswa dengan keluarga, kesulitan siswa dalam mengikuti pelajaran merupakan tantangan tersendiri bagi guru dimana para guru perlu memberikan perhatian yang lebih ekstra kepada siswa. Siswa remaja memiliki keinginan untuk mengetahui dan mencoba hal-hal yang membuatnya penasaran dan atau terlarang bagi dirinya, seperti hal yang bersifat porno dan narkoba. Dalam kondisi tersebut, diharapkan para guru memiliki komitmen organisasi untuk dapat bertahan dalam melaksanakan tugas, peran, tanggung jawab, dan tuntutan pekerjaan sebagai guru serta memiliki alternatif penanganan yang positif bagi siswa remaja tersebut.


(24)

14

Universitas Kristen Maranatha Meyer & Allen, 1997 mengemukakan bahwa komitmen organisasi memiliki 3 komponen, yaitu affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment. Affective commitment berkaitan dengan kelekatan emosional seseorang terhadap organisasi tempatnya bekerja. Guru yang memiliki affective commitment yang tinggi akan menyenangi pekerjaannya di dalam sekolah tersebut sehingga akan membuatnya tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan dan hambatan dalam menjalankan pekerjaannya. Seseorang akan bertahan bekerja di organisasinya atas dasar keinginannya (want). Guru yang memiliki affective commitment akan mengindentifikasikan diri dengan sekolah, sehingga tujuan sekolah dapat terinternalisasi saat menjalankan tugasnya. Guru akan terlibat aktif dalam kegiatan sekolah seperti pelatihan, rapat yang diadakan sekolah. Selain itu, guru tersebut juga bersedia bekerja sama dengan kepala sekolah dan rekan guru lainnya untuk memajukan sekolah seperti merencanakan untuk mengikutsertakan siswa dalam lomba nasional antar sekolah, guru BP dan wali kelas saling bekerja sama untuk menyelesaikan masalah siswa.

Normative commitment merupakan adanya rasa kewajiban dari seseorang untuk terus bekerja di organisasi tersebut. Rasa kewajiban ini timbul karena adanya nilai-nilai tertentu yang ada di dalam diri seseorang seperti rasa berhutang budi karena organisasi sudah membantu mengembangkan potensinya, atau adanya nilai-nilai yang dianutnya dari atasan selama seseorang tersebut bekerja di organisasi tersebut seperti merasa bahwa tenaganya masih dibutuhkan oleh organisasi tersebut. Rasa kewajiban ini juga bisa timbul karena organisasi pernah memberikan kesempatan pada seseorang tersebut untuk sekolah lebih tinggi


(25)

15

Universitas Kristen Maranatha melalui beasiswa dari organisasi. Dengan adanya rasa kewajiban tersebut, maka seseorang memiliki rasa tanggung jawab dan wajib membalasnya. Seseorang akan bertahan di dalam organisasinya atas dasar adanya rasa kewajiban yang mengharuskannya begitu (ought to). Guru tersebut akan melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan mengajar para siswa hingga memahami materi yang diajarkan dan mendapat nilai yang tuntas saat ujian sebagai rasa tanggung jawabnya sebagai guru.

Continuance commitment berkaitan dengan kesadaran seseorang akan kerugian yang diperoleh apabila seseorang meninggalkan organisasi. Guru yang memiliki continuance commitment yang tinggi akan tetap bertahan di dalam sekolah tersebut untuk menghindarinya dari kerugian baik secara financial maupun tidak adanya alternatif pekerjaan lain yang lebih baik. Guru tersebut akan mengerjakan tugasnya atas dasar kebutuhan akan pekerjaan tersebut, sehingga sangat memungkinkan jika pekerjaannya menjadi kurang maksimal. Seseorang akan bertahan di dalam organisasinya karena membutuhkan pekerjaan tersebut (need).

Setiap guru memiliki derajat yang berbeda untuk setiap komponen komitmen organisasi. Masing-masing komponen komitmen organisasi tersebut akan berkembang dari hasil pengalaman masing-masing individu yang juga memiliki dampak dan hasil yang berbeda dalam melakukan tugasnya. Seperti halnya guru yang memiliki affective commitment yang tinggi, ia akan menjalankan tugasnya sesuai prosedur karena ingin memajukan sekolah tersebut, sehingga akan menghasilkan kinerja yang maksimal. Guru yang memiliki normative commitment


(26)

16

Universitas Kristen Maranatha akan menjalankan tugasnya sebagai kewajiban. Guru tersebut akan menjalankan tugasnya sesuai dengan prosedur sekolah, sehingga untuk dapat membuat guru dengan normative commitment dapat memiliki kinerja maksimal, sekolah harus memberikan prosedur yang jelas, lengkap, dan rinci kepada guru tersebut. Guru yang memiliki continuance commitment akan menjalankan tugasnya sesuai dengan tuntutan atasan karena ia tidak memiliki pilihan untuk bekerja di bidang lain terkait dengan keterbatasan kemampuan yang dimilikinya, sehingga guru tersebut hanya akan melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar pekerjaan dari sekolah. Hal tersebut akan memungkinkan guru tersebut tidak melakukan tugasnya dengan maksimal sesuai dengan kemampuannya dan hanya melaksanakan tugasnya sesuai standar sekolah. Setiap guru dalam sekolah tersebut memiliki ketiga jenis komponen yang ada dalam komitmen organisasi, namun dengan derajat yang berbeda-beda. Dengan derajat yang berbeda untuk masing-masing komponen tersebut, maka dapat juga dilihat tingkah laku dalam bekerja (kinerja) yang berbeda pula dari setiap guru.

Pada dasarnya ketiga komponen tersebut ada dalam setiap guru dengan derajat yang berbeda. Perbedaan derajat tersebut yang akan memunculkan model komitmen pada guru tersebut. Ketiga komponen tersebut akan membentuk delapan model komitmen organisasi.

Model tipe 1 terdiri dari affective, normative, dan continuance commitment tinggi. Artinya, guru tersebut menyukai keanggotaannya di sekolah, memiliki kewajiban untuk memajukan sekolah, dan merasa kebutuhannya tercukupi. Model tipe 2, affective tinggi, normative dan continuance rendah. Artinya, guru


(27)

17

Universitas Kristen Maranatha menyukai keanggotannya di sekolah, namun tidak memiliki kewajiban untuk memajukan sekolah dan merasa kebutuhannya tidak tercukupi. Model tipe 3, affective dan continuance tinggi, normative rendah. Artinya, guru menyukai keanggotaannya di sekolah dan kebutuhannya terpenuhi, tetapi tidak merasa memiliki kewajiban untuk memajukan sekolah. Model tipe 4, affective dan normative tinggi, continuance rendah. Artinya, guru menyukai keanggotaannya di sekolah dan memiliki kewajiban untuk memajukan sekolah, namun kebutuhannya tidak tercukupi. Model tipe 5, affective rendah, normative dan continuance tinggi. Artinya, guru tidak menyukai keanggotaannya di sekolah, namun merasa memiliki kewajiban untuk memajukan sekolah dan kebutuhannya tercukupi. Model tipe 6, affective, normative rendah, dan continuance tinggi. Artinya, guru tidak menyukai keanggotaannya di sekolah dan tidak merasa memiliki kewajiban untuk memajukan sekolah meskipun kebutuhannya tercukupi. Model tipe 7, affective, continuance rendah, normative tinggi. Artinya guru tidak menyukai keanggotaannya di sekolah dan kebutuhannya tidak tercukupi, namun merasa memiliki kewajiban untuk memajukan sekolah. Model tipe 8, affective, normative, dan continuance rendah. Artinya, guru tidak menyukai keanggotannya di sekolah, merasa tidak memiliki kewajiban untuk memajukan sekolah, dan kebutuhannya tidak tercukupi.

Tinggi rendahnya komitmen organisasi guru terhadap sekolah juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: karakteristik pribadi yang meliputi usia, lama kerja, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan status marital; karakteristik pekerjaan yang meliputi tantangan pekerjaan, variasi dan rancangan pekerjaan


(28)

18

Universitas Kristen Maranatha (job design); dan kepuasan kerja yang meliputi imbalan dan fasilitas (Meyer & Allen, 1997).

Usia seseorang menunjukkan lamanya seseorang hidup. Pada umumnya, semakin banyak usia seseorang akan membuatnya memiliki continuance commitment yang semakin besar. Dengan bertambahnya usia seseorang akan membuatnya lebih sulit mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya dibandingkan dengan yang masih berusia muda. Lama kerja merupakan lamanya seseorang mengabdikan diri bekerja dalam suatu jabatan tertentu dalam organisasi. Pada umumnya, seseorang dengan lama kerja yang cukup lama akan memiliki normative commitment yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan lama kerja yang belum terlalu lama.

Jenis kelamin memiliki pengaruh dalam menentukan komitmen organisasi, dimana jenis kelamin pria memiliki komitmen organisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Karena kebanyakan pria memiliki tingkat jabatan yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Namun apabila wanita dan pria memiliki tingkat jabatan yang sama, maka kecenderungan wanita akan memiliki komitmen organisasi yang lebih tinggi. Status marital seseorang juga mempengaruhi komitmen organisasi seseorang, dimana guru yang sudah berumah tangga akan memiliki komitmen organisasi yang lebih tinggi karena mereka merasa memiliki tanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan pasangan dan anaknya. Guru yang sudah memiliki rumah tangga akan memiliki continuance commitment yang lebih besar dibandingkan dengan guru yang belum berumah tangga.


(29)

19

Universitas Kristen Maranatha Tingkat pendidikan yang tinggi akan memberikan kesempatan pada seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya, sehingga guru yang memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi cenderung kurang memiliki komitmen organisasi dimana guru akan merasa mampu untuk mendapatkan pekerjaan lain yang lebih menguntungkan (Meyer & Allen, 1997). Guru yang memiliki tingkat pendidikan yang terbatas akan memiliki continuance commitment yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Tantangan pekerjaan adalah sejauh mana pekerjaan tersebut dapat menuntutnya untuk mengeluarkan kreativitas dan tanggung jawab (Dorstein & Matalon, 1989; Meyer & Allen, 1997). Guru yang merasa bahwa pekerjaannya memiliki tantangan, akan mempersepsikan pekerjaannya sebagai pekerjaan yang menarik. Ketertarikan untuk mengatasi tantangan tersebut, akan membuat guru memiliki komitmen organisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang menganggap bahwa pekerjaannya tidak memiliki tantangan monoton. Oleh karena itu, guru yang merasa bahwa pekerjaannya memiliki tantangan akan memiliki keinginan untuk melakukan inovasi dan perubahan sebagai bentuk dari kreativitasnya. Guru yang merasa bahwa pekerjaannya menantang akan memiliki affective commitment yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang merasa bahwa pekerjaannya monoton.

Adanya variasi dalam pekerjaan akan membuat guru merasa tidak jenuh dalam mengerjakan tugasnya. Dengan adanya variasi juga akan menciptakan kreativitas dari guru dalam mengajar yang akan membuat siswa menjadi tidak


(30)

20

Universitas Kristen Maranatha jenuh dan dapat lebih berprestasi. Guru yang menganggap pekerjaannya memiliki variasi tidak mudah jenuh dan memiliki ide yang kreatif dalam mengajar, seperti meminta siswa untuk menggambar dalam bentuk peta sebagai praktikum dari pelajaran geografi. Selain itu, guru juga memiliki ide untuk program Character Building untuk menyadarkan dan mengembangkan kemampuan dan potensi siswa. Guru yang merasa bahwa pekerjaannya bervariasi akan memiliki affective commitment yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang merasa pekerjaannya membosankan.

Dengan adanya rancangan pekerjaan akan membuat guru dapat merencanakan dengan lebih detail materi yang harus diberikan pada siswa dan juga dapat mempertimbangkan untuk memberikan praktikum tambahan bagi materi yang lebih sulit dimengerti oleh siswa. Guru yang menganggap bahwa pekerjaannya memiliki rancangan yang jelas, akan lebih siap dalam mengajar dan menjalankan tugasnya sebagai guru karena guru dapat menyusun strategi yang lebih detail berdasarkan rancangan pekerjaannya. Guru dengan normative commitment akan memiliki perencanaan dalam mengajar.

Kepuasan kerja adalah sejauh mana guru tersebut merasa senang dan dihargai pekerjaannya oleh organisasi. Oleh karena itu, guru yang merasa puas terhadap organisasinya akan memperkuat komitmennya terhadap organisasi tersebut. Hal tersebut akan membuat guru tidak tertarik untuk bekerja di bidang lain karena ia merasa organisasi tersebut dapat menghargai kinerjanya di dalam organisasi tersebut. (Meyer & Allen, 1997)


(31)

21

Universitas Kristen Maranatha Imbalan adalah upah yang diterima sebagai balas jasa atas tindakan tertentu. Guru yang merasa bahwa imbalan yang diberikan oleh organisasi sesuai dengan kontribusi yang diberikan terhadap organisasi akan merasakan kepuasan. Hal tersebut akan membuat guru mempertahankan keanggotaannya didalam organisasi tersebut karena kebutuhannya sudah terpenuhi oleh imbalan dari organisasi atas pekerjaannya. Fasilitas adalah sarana yang memudahkan dalam melakukan tugas dan pekerjaan. Guru yang merasa bahwa organisasinya memberikan fasilitas yang cukup, akan lebih maksimal dalam menjalankan tugasnya karena adanya fasilitas yang mendukungnya dalam mengajar. Fasilitas yang dimaksud seperti peralatan praktikum, komputer. Imbalan dan fasilitas yang diperoleh dari organisasi akan membuat guru memiliki affective commitment yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru yang tidak puas terhadap imbalan dan fasilitas yang diperoleh dari organisasi.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat digambarkan dengan skema kerangka pemikiran sebagai berikut :


(32)

22

Universitas Kristen Maranatha 1.1 Bagan Kerangka

Guru SMPK “X” Bandung

Komitmen organisasi terhadap

sekolah

Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi :

 Karakteristik pribadi  Karakteristik pekerjaan  Kepuasan kerja

Komponen komitmen organisasi : 1. Affective commitment 2. Continuance commitment 3. Normative commitment

Model komitmen organisasi :

Tipe Affective Normative Continuance 1. Tinggi Tinggi Tinggi 2. Tinggi Rendah Rendah 3. Tinggi Rendah Tinggi 4. Tinggi Tinggi Rendah 5. Rendah Tinggi Tinggi 6. Rendah Rendah Tinggi 7. Rendah Tinggi Rendah 8. Rendah Rendah Rendah


(33)

23

Universitas Kristen Maranatha 1.5 Asumsi

1. Guru SMPK ‘X’ Bandung memiliki komitmen organisasi terhadap SMPK ‘X’ Bandung.

2. Komitmen organisasi memiliki 3 komponen yaitu: affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment.

3. Karakteristik pribadi, karakteristik organisasi, dan kepuasan kerja mempengaruhi derajat komitmen guru terhadap SMPK ‘X’ Bandung.

4. Model komitmen organisasi guru terhadap SMPK ‘X’ Bandung terbagi dalam delapan model, yaitu :

- Tipe 1 : affective tinggi, normative tinggi, continuance tinggi - Tipe 2 : affective tinggi, normative rendah, continuance rendah - Tipe 3 : affective tinggi, normative rendah, continuance tinggi - Tipe 4 : affective tinggi, normative tinggi, continuance rendah - Tipe 5 : affective rendah, normative tinggi, continuance tinggi - Tipe 6 : affective rendah, normative rendah, continuance tinggi - Tipe 7 : affective rendah, normative tinggi, continuance rendah - Tipe 8 : affective rendah, normative rendah, continuance rendah


(34)

66 Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan dan saran. Adapun kesimpulan dan saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pengolahan data dan pembahasan hasil penelitian model

komitmen organisasi pada guru SMPK ‘X’ Bandung, dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut :

1. Sebagian besar guru SMPK ‘X’ Bandung memiliki model komitmen organisasi tipe 1, yaitu affective tinggi, normative tinggi, dan continuance tinggi.

2. Sebagian guru lainnya memiliki model komitmen organisasi tipe 8, yaitu affective rendah, normative rendah, dan continuance rendah.

3. Tinggi rendahnya komponen komitmen organisasi yang membentuk model komitmen organisasi sangat berkaitan dengan usia, status marital, lama kerja, dan pendidikan terakhir masing-masing guru SMPK ‘X’ Bandung.


(35)

67

Universitas Kristen Maranatha 5.2 SARAN

1. Saran Teoretis

a. Bagi penelitian selanjutnya, dapat meneliti lebih lanjut mengenai hubungan antara kepuasan kerja yang meliputi penghayatan imbalan, pengahayatan terhadap fasilitas, penghayatan tantangan pekerjaan, penghayatan rancangan pekerjaan, penghayatan variasi pekerjaan terhadap terbentuknya model komitmen organisasi

b. Disarankan untuk mencari sampel penelitian lain agar dapat lebih terlihat model komitmen organisasi secara lebih signifikan

c. Disarankan untuk memperbanyak item alat ukur data penunjang agar dapat melihat hubungan antara data penunjang dengan model komitmen organisasi

2. Saran Praktis

a. Disarankan kepada Kepala Sekolah SMPK ‘X’ Bandung untuk lebih melengkapi ketersediaan fasilitas sarana dan prasarana untuk menunjang pembelajaran seperti internet, alat peraga, dan sebagainya.

b. Disarankan kepada pihak yayasan SMPK ‘X’ Bandung agar dapat mengadakan pelatihan untuk mengembangkan potensi guru dan kegiatan kebersamaan secara periodic agar membuat guru merasa nyaman dan termotivasi dalam menjalankan tugasnya.


(36)

68 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Aamodt, Michael G.2007. Industrial/Organizational Psychology: An appllied Approach. Thomas Wadsworth: California

Angle, H. L., & Perry, J. L. (1981). “An empirical assessment of organization commitment and organizational effectiveness”. Administrative Science Quarterly, 26, 1-13

Armstrong, Michael.1999. The Art of HRD: Human Resource Management (Vol 2) London: Crest Publishing House.

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta.

H. Emil Rosmali, SE. Tugas dan Peran Guru.

www.alfurqon.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=58&I temid=110

Hellriegel & Slocum. (2004). Organizational Behavioral. Transcontinental Interglobe: Canada

Koch, J. & Steers, R. (1978). Job attachment, satisfaction, and turnover among public sector employees. Journal of Vocational Behavior, 12, 119-128.


(37)

69 Universitas Kristen Maranatha Meyer, John P. & Allen, Natalie J. 1997. Commitment In The Workplace. Theory,

Research, and Application. Sage Publication, London.

pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_154.html

Santrock, John W. 2004. Life Span Development. Dubuqu, Iowa : Wm. C. Brown Publisher. Ninth Edition.

Sheldon, Mary (1971). Investments and involvements as mechanisms producing commitment to the organization. Administrative Science Quarterly. 16; 143-150.


(38)

70 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

www.anneahira.com/artikel-pendidikan/pendidikan-sekolah. (di akses pada tanggal 6 Oktober 2011)

Debora, Fransiska Albert. 2003. Studi Deskriptif Mengenai Organizational Commitment pada Sales PT ‘X’ Bandung. Skripsi. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

www.digi-crea.com/2009/11/job-desc-guru (di akses pada tanggal 10 Oktober 2011)

Nababan, Nur Arimilawati. 2003. Studi Deskriptif Mengenai Komitmen Organisasi pada Guru Honorer di SMAK ‘X’ Bandung. Skripsi. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

smkn1yogyakarta.org/news/2-pentingnya-pendidikan. (di akses pada tanggal 4 Oktober 2011)


(1)

23

Universitas Kristen Maranatha

1.5 Asumsi

1. Guru SMPK ‘X’ Bandung memiliki komitmen organisasi terhadap SMPK ‘X’ Bandung.

2. Komitmen organisasi memiliki 3 komponen yaitu: affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment.

3. Karakteristik pribadi, karakteristik organisasi, dan kepuasan kerja mempengaruhi derajat komitmen guru terhadap SMPK ‘X’ Bandung.

4. Model komitmen organisasi guru terhadap SMPK ‘X’ Bandung terbagi dalam delapan model, yaitu :

- Tipe 1 : affective tinggi, normative tinggi, continuance tinggi - Tipe 2 : affective tinggi, normative rendah, continuance rendah - Tipe 3 : affective tinggi, normative rendah, continuance tinggi - Tipe 4 : affective tinggi, normative tinggi, continuance rendah - Tipe 5 : affective rendah, normative tinggi, continuance tinggi - Tipe 6 : affective rendah, normative rendah, continuance tinggi - Tipe 7 : affective rendah, normative tinggi, continuance rendah - Tipe 8 : affective rendah, normative rendah, continuance rendah


(2)

66 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan dan saran. Adapun kesimpulan dan saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pengolahan data dan pembahasan hasil penelitian model komitmen organisasi pada guru SMPK ‘X’ Bandung, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Sebagian besar guru SMPK ‘X’ Bandung memiliki model komitmen

organisasi tipe 1, yaitu affective tinggi, normative tinggi, dan continuance tinggi.

2. Sebagian guru lainnya memiliki model komitmen organisasi tipe 8, yaitu affective rendah, normative rendah, dan continuance rendah.

3. Tinggi rendahnya komponen komitmen organisasi yang membentuk model komitmen organisasi sangat berkaitan dengan usia, status marital, lama kerja, dan pendidikan terakhir masing-masing guru SMPK ‘X’ Bandung.


(3)

67

Universitas Kristen Maranatha

5.2 SARAN 1. Saran Teoretis

a. Bagi penelitian selanjutnya, dapat meneliti lebih lanjut mengenai hubungan antara kepuasan kerja yang meliputi penghayatan imbalan, pengahayatan terhadap fasilitas, penghayatan tantangan pekerjaan, penghayatan rancangan pekerjaan, penghayatan variasi pekerjaan terhadap terbentuknya model komitmen organisasi

b. Disarankan untuk mencari sampel penelitian lain agar dapat lebih terlihat model komitmen organisasi secara lebih signifikan

c. Disarankan untuk memperbanyak item alat ukur data penunjang agar dapat melihat hubungan antara data penunjang dengan model komitmen organisasi

2. Saran Praktis

a. Disarankan kepada Kepala Sekolah SMPK ‘X’ Bandung untuk lebih melengkapi ketersediaan fasilitas sarana dan prasarana untuk menunjang pembelajaran seperti internet, alat peraga, dan sebagainya.

b. Disarankan kepada pihak yayasan SMPK ‘X’ Bandung agar dapat mengadakan pelatihan untuk mengembangkan potensi guru dan kegiatan kebersamaan secara periodic agar membuat guru merasa nyaman dan termotivasi dalam menjalankan tugasnya.


(4)

68 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Aamodt, Michael G.2007. Industrial/Organizational Psychology: An appllied Approach. Thomas Wadsworth: California

Angle, H. L., & Perry, J. L. (1981). “An empirical assessment of organization

commitment and organizational effectiveness”. Administrative Science Quarterly, 26, 1-13

Armstrong, Michael.1999. The Art of HRD: Human Resource Management (Vol 2) London: Crest Publishing House.

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta.

H. Emil Rosmali, SE. Tugas dan Peran Guru.

www.alfurqon.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=58&I temid=110

Hellriegel & Slocum. (2004). Organizational Behavioral. Transcontinental Interglobe: Canada

Koch, J. & Steers, R. (1978). Job attachment, satisfaction, and turnover among public sector employees. Journal of Vocational Behavior, 12, 119-128.


(5)

69 Universitas Kristen Maranatha Meyer, John P. & Allen, Natalie J. 1997. Commitment In The Workplace. Theory,

Research, and Application. Sage Publication, London.

pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_154.html

Santrock, John W. 2004. Life Span Development. Dubuqu, Iowa : Wm. C. Brown Publisher. Ninth Edition.

Sheldon, Mary (1971). Investments and involvements as mechanisms producing commitment to the organization. Administrative Science Quarterly. 16; 143-150.


(6)

70 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

www.anneahira.com/artikel-pendidikan/pendidikan-sekolah. (di akses pada tanggal 6 Oktober 2011)

Debora, Fransiska Albert. 2003. Studi Deskriptif Mengenai Organizational

Commitment pada Sales PT ‘X’ Bandung. Skripsi. Bandung : Fakultas

Psikologi Universitas Kristen Maranatha

www.digi-crea.com/2009/11/job-desc-guru (di akses pada tanggal 10 Oktober 2011)

Nababan, Nur Arimilawati. 2003. Studi Deskriptif Mengenai Komitmen

Organisasi pada Guru Honorer di SMAK ‘X’ Bandung. Skripsi. Bandung :

Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

smkn1yogyakarta.org/news/2-pentingnya-pendidikan. (di akses pada tanggal 4 Oktober 2011)