Studi Deskriptif Mengenai Derajat Self-Compassion pada Pendeta Gereja Sinode "X" (Suatu Studi Mengenai Derajat Self-Compassion pada Pendeta Gereja Sinode "X" di DKI Jakarta).

(1)

v Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai derajat self-compassion pada Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta. Sesuai dengan tujuan penelitian ini maka rancangan yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik survey. Pemilihan sampel pada penelitian ini menggunakan accidental sampling kepada 47 orang.

Alat ukur yang digunakan merupakan alat ukur yang dibuat oleh Neff (2003) yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Riasnugrahani, setelah itu, alat ukur tersebut diterjemahkan kembali ke dalam Bahasa Inggris oleh Sarintohe pada tahun 2012 dan telah disetujui oleh Neff.

Berdasarkan uji validitas dengan menggunakan metode Pearson dan reliabilitas dengan menggunakan metode Alpha Croncbach, diperoleh 23 item valid dengan validitas berkisar antara 0,332 – 0,675 dan reliabilitas 0,775.

Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh bahwa 70.2% responden memiliki derajat self-compassion yang rendah sementara 29.8% nya tinggi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagian besar Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta memiliki derajat self-compassion yang rendah dan derajat self– compassion cenderung memiliki keterkaitan dengan faktor agreeableness trait dan openness to experience trait.

Saran untuk penelitian self-compassion selanjutnya adalah agar dapat melakukan penelitian lebih mendalam mengenai kontribusi faktor-faktor dengan variabel self-compassion.


(2)

vi Abstract

This research was conducted to determine the degree of self-compassion on Synod ‘X’ Chuirch Priests in Jakarta City. In accordance with the objectives of this research, researcher used descriptive method as the design with survey techniques. Selection of the samples in this research using accidental sampling which consists of the 47 people.

Researcher used a measuring instruments which is created by Neff (2003) which has been translated into Bahasa by Riasnugrahani, after that, the measuring instrument was translated back into English by Sarintohe in 2012 and has been approved by Neff.

Based on the validity test using Pearson’s method and reliability test using

Alpha Croncbach’s method, 23 valid items are found valid with a validity ranging

from 0.332 to 0.675 and 0.775 reliability.

Based on the results of this research, found that the respondents had a low degree of compassion as much as 70.2% and 29.8% have a high degree of self-compassion. The conclusion of this study is largely respondents have a low degree of self-compassion and the degree of self-compassion tend to have relevance to factors agreeableness trait and openness to experience trait.

Suggestions for the next researcher who wants to do another research about self-compassion is in order to conduct further research on the contribution of variable factors with self-compassion itself.


(3)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... iii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 10

1.3.1 Maksud Penelitian ... 10

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Kegunaan Penelitian ... 11

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 11

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 11

1.5 Kerangka Pikir ... 11


(4)

x BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Self-Compassion ... 25

2.1.1 Pengertian Self-Compassion ... 25

2.1.2 Komponen Self-Compassion ... 25

2.1.2.1 Self-Kindness ... 25

2.1.2.2 Common Humanity ... 26

2.1.2.3 Mindfulness ... 27

2.1.3 Korelasi Antar Komponen ... 28

2.1.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi ... 29

2.1.4.1 Personality ... 29

2.1.4.2 Jenis Kelamin ... 30

2.1.4.3 Attachment ... 30

2.1.4.4.The Role of Parents ... 31

2.1.4.4.1 Modeling of Parents ... 31

2.1.4.4.2 Maternal Criticism ... 32

2.2 Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta ... 33

2.2.1 Definisi Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta ... 33

2.2.2 Persyaratan ... 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 35

3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 35

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 36

3.3.1 Variabel Penelitian ... 36


(5)

3.4 Alat Ukur ... 37

3.4.1 Alat Ukur Self-Compassion ... 37

3.4.1.1 Deskripsi Alat Ukur ... 37

3.4.1.2 Cara Penilaian ... 38

3.4.2 Data Pribadi dan Data Penunjang... 39

3.4.2.1 Data Pribadi ... 39

3.4.2.2 Data Penunjang ... 39

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 39

3.4.3.1 Validitas Alat Ukur ... 39

3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 40

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 40

3.5.1 Populasi Sasaran ... 40

3.5.2 Karakteristik Sampel ... 40

3.5.3 Teknik Penarikan Sampling ... 40

3.6 Teknis Analisis Data ... 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Sampel Penelitian ... 42

4.1.1 Data Demografi ... 43

4.2 Hasil Penelitian dan Tabulasi Silang ... 43

4.3 Pembahasan ... 44

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 57


(6)

xii

5.2.1 Saran Teoritis ... 57

5.2.2 Saran Praktis ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59

DAFTAR RUJUKAN ... 61 LAMPIRAN


(7)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur ... 37 Tabel 3.2 Cara Penilaian ... 38 Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan

Lama Jabatan ... 42 Table 4.2 Distribusi Frekuensi Self-Compassion ... 43 Tabel 4.3 Derajat Self-Compassion ... 44


(8)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pikir ... 23 Gambar 3.1 Bagan Rancangan Penelitian ... 35


(9)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Alat Ukur ... L-1 Lampiran 2 Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... L-12 Lampiran 3 Hasil Penelitian ... L-14 Lampiran 4 Tabulasi Silang Data Utama & Penunjang ... L-29 Lampiran 5 Output SPSS ... L-36


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pemuka agama dalam Agama Kristen dinamakan Pendeta. Berdasarkan Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Sinode ‘X’ Bab XXIV dan Bab XXVII, pendeta yang dimaksud adalah seorang yang minimal telah menyelesaikan studi Strata Satu Teologi pada perguruan tinggi Teologi yang didukung oleh Gereja Sinode ‘X’ dan telah melewati tahap perkenalan, tahap orientasi, tahap pemanggilan, telah dianggap layak untuk menjadi pendeta Gereja Sinode ‘X’ berdasarkan hasil percakapan gerejawi melalui Persidangan Majelis Klasis, dan tahap menerima penahbisan sebagai pendeta Gereja Sinode ‘X’. Sebagai orang yang ditahbiskan, diyakini bahwa melalui tahbisan (ordination) pendeta menerima wibawa khusus dari Roh Kudus untuk memimpin pelayanan di dalam gereja dan melaksanakan pelayanan kasih kepada sesama manusia (Borrong, 2015).

Mereka berperan sebagai seorang pengajar umum dalam jemaat yang memiliki kewajiban untuk menyampaikan Firman Tuhan serta memimpin para jemaat. Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta harus menjalankan tugas-tugas yang telah diatur dalam Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Sinode ‘X’ Bab XXIV. Tugas-tugas tersebut dibagi menjadi Tugas Umum, Khusus, dan Kepemimpinan Struktural yang diwujudkan melalui tugas-tugas konkrit sesuai penjadwalan selama enam hari kerja (Selasa - Minggu) yang sudah disusun di dalam 1 tahun program kerja.

Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta memiliki kewajiban untuk menyampaikan Firman Tuhan dan ajaran-ajaran Kristiani di dalam sebuah kebaktian.


(11)

Dilansir dari Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Sinode ‘X’ (Bab VII Pasal 13), terdapat jenis-jenis kebaktian seperti Kebaktian Minggu, Kebaktian Hari Raya Gerejawi (dalam rangka merayakan peristiwa-peristiwa Kristus sepanjang tahun gerejawi seperti Minggu-minggu adven, Malam Natal, Natal, Paskah, dan lain-lain), Kebaktian untuk Peristiwa Khusus Gerejawi (seperti Kebaktian Inisiasi, Kebaktian Ordinasi. Kebaktian Institusionalisasi, dan Kebaktian Pastoral), Kebaktian Lain (diselenggarakan berdasarkan kebutuhan dalam rangka kehidupan bergereja dan bernegara), Kebaktian Keluarga (antara lain, kebaktian harian, hari ulang tahun, hari ulang tahun pernikahan, penghiburan (kebaktian yang dilakukan saat ada jemaat yang meninggal, dan pertunangan, dan Kebaktian oleh Badan Pelayanan (dalam rangka pelaksanaan tugas pelayanan mereka).

Selain itu, mereka juga harus mengajar kelas Katekisasi. Katekisasi adalah pendidikan iman dan ajaran tentang pokok-pokok iman Kristen untuk mempersiapkan katekisan menjadi anggota gereja yang memahami dan melaksanakan tugas panggilannya dalam kehidupannya secara utuh.1 Kelas Katekisasi berlangsung selama sembilan sampai 12 bulan dan diadakan seminggu sekali. Dalam kelas ini, Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta akan mengajarkan para peserta materi mengenai Konsep Kekristenan yang dianut dan diyakini oleh Gereja Sinode ‘X’. Para peserta juga dapat berdiskusi mengenai pemahaman dan kebingungan-kebingungan mereka dengan Pendeta yang mengajar.

Pendeta berdiri sebagai wakil Allah terhadap umat sekaligus sebagai wakil umat terhadap Tuhan di dalam melaksanakan tugas panggilannya (Borrong, 2015). Maka, dapat dikatakan bahwa seorang pendeta harus memiliki akses untuk lebih

1

Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Sinode ‘X’, Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Sinode ‘X’,


(12)

3

mengenal dan membimbing setiap jemaatnya secara profesional. Hal ini lah yang menjadi fungsi “penggembalaan” bagi para pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta. Berdasarkan Tata Gereja Gereja Sinode ‘X’, “penggembalaan” merupakan pelayanan yang dilakukan di dalam kasih untuk mendukung, membimbing, menyembuhkan, dan mendamaikan agar anggota jemaat baik secara individu ataupun komunal dapat hidup dalam damai sejahtera dan taat kepada Allah2.

Terdapat dua jenis penggembalaan, yaitu Penggembalaan Umum dan Penggembalaan Khusus. Penggembalaan Khusus ditujukan kepada warga jemaat yang tindakannya bertentangan dengan Firman Tuhan dan ajaran Gereja Sinode ‘X’3. Penggembalaan Umum merupakan penggembalaan yang ditujukan kepada semua warga jemaat, baik yang sedang mengalami permasalahan yang berat maupun yang sedang tidak mengalami permasalahan, tetapi tetap membutuhkan bimbingan4. Melalui dua bentuk penggembalaan ini, Gereja Sinode ‘X’ berusaha untuk memenuhi tugas dan fungsi penggembalaannya, agar warga jemaat dapat hidup dalam damai sejahtera dan taat kepada Allah. Demi mencapai tujuan penggembalaan ini, Gereja Sinode ‘X’ memfasilitasi para anggota jemaatnya untuk mendapatkan pelayanan kunjungan perlawatan dan konseling pastoral yang dilakukan oleh para pendeta di gereja mereka.

Perlawatan merupakan sebuah kunjungan yang dilakukan oleh para pemimpin gereja (Majelis Jemaat) yaitu penatua dan pendeta, serta tim pelawat guna menjenguk dan memberi penguatan secara rohani. Pendeta yang bertugas harus mampu bersikap simpatik dan empatik agar dapat membangun komunikasi dua arah

2Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Sinode ‘X’, Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Sinode ‘X’, Jakarta: BPMS Gereja Sinode ‘X’, 2009, pasal 33, hal. 81.

3 Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Sinode ‘X’, Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Sinode ‘X’, Jakarta: BPMS Gereja Sinode ‘X’, 2009, pasal 37, hal. 82.

4

Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Sinode ‘X’, Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Sinode ‘X’, Jakarta: BPMS Gereja Sinode ‘X’, 2009, pasal 36, hal. 81-82.


(13)

dengan jemaat, sehingga yang dilawat tidak segan menceritakan keadaan diri dan permasalahan dirinya.5 Perlawatan dibagi menurut kebutuhan, ada perlawatan rutin ke jemaat di wilayah-wilayah, rumah sakit atau di rumah, dan paska kedukaaan (di mana anggota jemaat kehilangan salah satu anggota keluarganya). Setiap pendeta memiliki jadwal perlawatan yang sudah disesuaikan dengan tugasnya yang lain. Namun, tidak menutup kemungkinan mereka akan mendapat panggilan mendadak untuk mendampingi anggota jemaat yang membutuhkan.

Bagi setiap Anggota jemaat yang sedang mengalami masalah baik dalam keluarga, pekerjaan, sekolah, kehidupan berjemaat, dan ingin membicarakannya dengan pendeta, dapat dilayani oleh salah satu dari pendeta yang melayani di gerejanya melalui sesi pelayanan konseling pastoral. Para Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta harus bertindak sebagai konselor dan membimbing konselenya ke dalam suasana percakapan konseling yang ideal agar konsele mampu mengenal dirinya lebih dalam dan meningkatkan kesadaran hingga akhirnya mampu melihat dan mencapai tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung jawabnya kepada Tuhan sesuai kemampuan dirinya (Susabda, 2014). Jadi di dalam membimbing jemaat, Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta harus mampu memahami setiap persoalan yang dialami oleh jemaat dan membimbing mereka agar dapat menemukan solusi yang sesuai dengan ajaran-ajaran Kristiani.

Berdasarkan wawancara dengan 10 Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta, diketahui bahwa seringkali mereka menghadapi hal-hal berikut ini. Umumnya, setiap pendeta memiliki jadwal piket konseling pastoral sebanyak satu kali dalam seminggu dengan durasi selama satu setengah hingga dua jam. Namun, jemaat diperbolehkan untuk mengikuti sesi konseling pastoral dengan pendeta yang

5Gereja Sinode ‘X’


(14)

5

berkaitan di luar jadwal piket sesuai persetujuan kedua pihak. Maka, dalam seminggu Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta dapat memiliki jadwal konseling pastoral lebih dari satu kali dengan durasi yang beragam. Tergantung dengan kebutuhan jemaat tersebut.

Pada saat sesi konseling pastoral, jemaat diizinkan berkonsultasi mengenai berbagai hal. Walaupun Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta hanya akan melakukan pendekatan dari sisi relijius tetapi mereka juga harus memiliki pengetahuan mengenai berbagai hal karena tidak ada batasan bagi jemaat untuk mengonsultasikan masalahnya. Tidak jarang mereka berhadapan dengan jemaat yang berkonsultasi mengenai permasalahan di luar kapasitas mereka sebagai pendeta. Seperti misalnya berhadapan dengan jemaat yang berkonsultasi mengenai anggota keluarganya yang memiliki ketergantungan obat-obat terlarang sampai jemaat yang telah berulang kali mendapatkan penanganan dari tenaga medis profesional seperti psikolog atau psikiater. Padahal pendidikan Strata 1 Teologi sendiri tidak membekali para pendeta untuk menjadi konselor bagi penanganan perilaku-perilaku adiktif, masalah-masalah pada remaja, orang-orang yang akan menjelang masa pensiun, hingga perilaku-perilaku bunuh diri (Seeley, 2008). Secara tidak langsung Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta dituntut untuk mencari tahu dan memahami hal-hal yang bersangkutan dengan permasalahan jemaatnya di luar sesi dan menyiapkan materi tersebut untuk sesi konseling pastoral selanjutnya. Namun, disebabkan karena terlalu padatnya jadwal pelayanan Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta, terkadang para pendeta tidak mampu menyiapkan bahan konseling dengan adekuat.

Saat sesi konseling pastoral juga tak jarang para Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta berhadapan dengan jemaat yang sudah datang berkali-kali dengan permasalahan yang sama. Jemaat tersebut mudah tersinggung dan tidak mau


(15)

mendengarkan nasihat atau saran-saran yang sudah diberikan. Mereka cenderung selalu berargumen bahwa pendapat mereka yang benar tetapi masih selalu datang hanya untuk diyakinkan oleh pendeta. Tak jarang terdapat pendeta yang lelah sehingga mereka berusaha mempersingkat proses konseling pastoral bahkan menghindari jemaat ini sehingga cenderung gagal dalam membimbing jemaat sesuai prinsip konseling pastoral yang ideal.

Sebagai seorang pelayan Tuhan, mereka dituntut untuk memiliki karakter rela berkorban dan peduli terhadap orang lain6. Sehingga mereka seringkali mengesampingkan kepentingan mereka sendiri dalam membimbing jemaat. Seperti misalnya mengorbankan hari libur mereka untuk melawat jemaat yang anggota keluarganya meninggal tiba-tiba. Tak urung para pendeta terlalu banyak melakukan tugas pelayanan sehingga kurang memedulikan kesehatan diri sendiri. Seperti misalnya terdapat seorang Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di daerah Jakarta Pusat yang menderita penyakit liver karena mengalami kelelahan dalam menjalankan tugas pelayanannya. Lalu ada pula rekannya yang menjalani operasi pada usus karena memiliki pola makan yang tidak sehat di usia lanjut.

Menurut Mary Frances Seeley (2008), kegagalan-kegagalan dalam memedulikan diri, menangani jemaat yang mudah tersinggung, mempersiapkan pelayanan dengan adekuat, serta mengelola amarah atas suatu isu saat melayani jemaat dapat menyebabkan mereka mengalami compassion fatigue. Compassion

fatigue adalah penurunan secara bertahap dalam hal keinginan untuk membantu

dan/atau melayani orang lain yang membutuhkan (Seeley, 2008). Seeley juga menyebutkan bahwa kelelahan semacam ini terjadi saat seseorang telah bekerja dengan keras dan lama dalam bidang keahlian mereka dan telah menempatkan

6

Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Sinode ‘X’, Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Sinode ‘X’, Jakarta: BPMS Gereja Sinode ‘X’, 2009, pasal 102, hal. 176.


(16)

7

pelayanan mereka di atas kebutuhan-kebutuhan jiwa dan jasmani mereka.

Gereja Sinode ‘X’ mensyaratkan setiap pendeta agar mampu berkomitmen dalam menghayati panggilan sebagai pendeta yang adalah panggilan spiritual dari Allah melalui Gereja Sinode ‘X’ dan bersedia hidup dalam anugerah Tuhan7. Dengan adanya penghayatan ini, maka setiap Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta juga dituntut untuk bersedia melaksanakan tugas pendeta secara penuh di dalam kesetiaannya sesuai ajaran Gereja Sinode ‘X’. Hal ini lah yang membuat Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta tidak bisa menelantarkan jematnya begitu saja. Krisetya (2002) pun menyatakan bahwa sesungguhnya pendampingan pastoral adalah “a shared compassion”. Maka dari itu, diperlukan satu kemampuan yang harus dimiliki agar mereka tetap mampu mempertahankan compassionnya guna melayani jemaatnya dengan baik, yaitu self-compassion (Neff, 2011).

Self-compassion adalah kemampuan individu untuk menyadari penderitaan

mereka serta menerimanya, memahami, dan berbuat kebaikan kepada diri sendiri ketika mengalami kegagalan atau membuat kesalahan, dan menyadari bahwa penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan adalah bagian dari pengalaman yang pernah dialami semua manusia. Self-compassion seseorang dibentuk oleh tiga komponen, yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness (Neff, 2011). Menurut penelitian, para tenaga ahli yang telah dilatih kemampuan self-compassion akan memiliki derajat compassion fatigue yang lebih rendah. Saat para tenaga ahli memiliki self-compassion, mereka akan lebih mampu terlibat dalam tindakan-tindakan konkrit dari memperhatikan diri sendiri seperti beristirahat, tidur lebih banyak, dan makan dengan baik (Neff, 2011). Dengan adanya self-compassion, Pendeta-pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta akan mampu menerima,

7

Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Sinode ‘X’, Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Sinode ‘X’, Jakarta: BPMS Gereja Sinode ‘X’, 2009, pasal 102, hal. 176.


(17)

memahami, dan berbuat kebaikan kepada diri sendiri ketika mengalami kegagalan di dalam membimbing jemaatnya. Pendeta-pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta juga mampu menyadari bahwa penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan adalah bagian dari pengalaman yang pernah dialami semua manusia.

Setelah peneliti melakukan wawancara kepada 10 Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta diketahui bahwa 3 orang pendeta (30%) mampu melakukan

self-kindness. Mereka mampu bersikap hangat dan memahami diri mereka sendiri saat

mengalami kegagalan di dalam pelayanan tanpa mengkritik dirinya sendiri. Misalnya jika mereka merasa lelah dan tidak sehat, mereka tidak akan memaksakan diri untuk mengadakan sesi konseling pastoral dengan jemaat di hari itu, walaupun mereka sudah mengatur janji terlebih dahulu. Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta akan beristirahat terlebih dahulu hingga mereka merasa lebih sehat, kemudian menetapkan hari lain untuk melakukan sesi konseling pastoral yang tertunda. Diketahui 70% lainnya akan mengkritik dan menyalahkan dirinya secara berlebihan saat merasa gagal dalam pelayanan (self-judgment). Hal ini menyebabkan Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta menjadi cenderung kurang peduli dengan kesehatan diri sendiri. Misalnya, mereka tidak akan membatalkan waktu temu dengan jemaat dan tetap memaksakan mengadakan sesi konseling pastoral sesuai perjanjian dengan jemaat walaupun mereka sedang sakit atau kelelahan.

Selain itu juga, dari 10 orang pendeta, 6 orang (60%) di antaranya menganggap kegagalan dalam menjalankan tugas merupakan kejadian yang wajar dan merupakan bagian dari pengalaman semua Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang lain, bukan hanya terjadi pada diri sendiri. Hal ini merupakan kemampuan Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta dalam hal common humanity.


(18)

9

membimbing seorang jemaat yang keras kepala dalam sesi konseling pastoral, mereka menganggap hal tersebut wajar karena setiap orang menganut nilai-nilai dan prinsip yang berbeda. Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang memiliki sense of common humanity menyadari bahwa hal ini juga dialami oleh semua Pendeta

Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang lain sehingga tidak malu untuk berbagi cerita kepada rekannya dan meminta saran. Namun, 4 orang (40%) Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta lainnya menganggap kegagalan yang dialami bukanlah suatu kejadian yang wajar. Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta merasa bahwa hanya dirinya lah yang gagal membimbing jemaat yang keras kepala dalam sesi konseling pastoral. Mereka cenderung menutup diri dan menyimpan keresahannya seorang diri karena merasa malu bila rekannya yang lain mengetahui kelemahannya dalam hal ini. Hal ini mengindikasikan isolation.

Berdasarkan hasil wawancara juga diketahui bahwa terdapat dari 6 orang (60%) dari 10 Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta di antaranya memiliki

mindfulness dalam melihat sebuah peristiwa. Mereka mampu melihat segala

sesuatunya dengan jelas dan tidak menghakimi peristiwa yang terjadi saat ini. Seperti misalnya, saat Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta di dalam sesi konseling pastoral harus membimbing jemaatnya menghadapi permasalahan yang tidak pernah ia pelajari sebelumnya. Bagi Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang memiliki mindfulness, mereka tidak akan menyerah dalam ketidaktahuannya dan justru akan lebih berusaha untuk memahami bidang tersebut serta mengintegrasikannya dengan pendekatan Firman Tuhan. Berbeda dengan 4 orang (40%) Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang tidak memiliki mindfulness.

Mereka mengaku bahwa terkadang mereka merasa ingin menyerah saat menghadapi situasi ini. Seringnya mereka akan menyesali kegagalannya dan tidak mempelajari


(19)

bidang baru tersebut dengan segera sehingga mereka akan tetap bingung dan tidak berhasil membimbing jemaat dengan ideal. Hal ini mengindikasikan over

identification.

Hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti menghasilkan sebuah gambaran kecil di mana terdapat kecenderungan derajat self-compassion yang bervariasi pada Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta. Padahal, pendeta dengan indikasi derajat komponen-komponen self-compassion yang tinggi akan memberi manfaat bagi Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta dalam membimbing jemaatnya. Mereka akan lebih mampu memiliki perasaan yang lebih positif, termotivasi, dan menunjukan rasa empati kepada jemaat. Penelitian lebih lanjut mengenai self-compassion pada Pendeta-pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta akan mengarahkan penelitian-penelitian lainnya untuk memperbaiki kondisi ini. Maka dapat dikatakan bahwa self-compassion layak untuk diteliti agar dapat memahami aplikasinya dalam seting pelayanan Pendeta-pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana gambaran mengenai derajat

self-compassion pada Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana gambaran mengenai derajat


(20)

11

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran derajat self-compassion pada Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta dilihat dari komponen self-kindness, common humanity, dan mindfulness.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

 Memberikan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai self-compassion, terutama self-compassion pada Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta.

 Memberikan informasi bagi Ilmu Psikologi khususnya di bidang Psikologi Positif mengenai self-compassion pada Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta.

1.4.2 Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai self-compassion, terutama self-compassion pada Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta.

 Memberikan informasi bagi Ilmu Psikologi khususnya di bidang Psikologi Positif mengenai self-compassion pada Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta.

1.5. Kerangka Pikir

Pendeta dipercaya sebagai orang yang ditahbiskan dan diyakini bahwa melalui tahbisan (ordination) tersebut, pendeta menerima wibawa khusus dari Roh Kudus untuk memimpin pelayanan di dalam gereja dan melaksanakan pelayanan kasih kepada sesama manusia (Borrong, 2015). Dikatakan juga bahwa dalam


(21)

melaksanakan tugas panggilannya, pendeta berdiri sebagai wakil Allah terhadap umat sekaligus sebagai wakil umat terhadap Tuhan. Maka, dapat dikatakan bahwa seorang pendeta harus memiliki akses untuk lebih mengenal dan membimbing setiap jemaatnya secara profesional. Hal ini lah yang menjadi fungsi “penggembalaan” bagi para Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta. Berdasarkan Tata Gereja Gereja Sinode ‘X’, “penggembalaan” merupakan pelayanan yang dilakukan di dalam kasih untuk mendukung, membimbing, menyembuhkan, dan mendamaikan agar anggota jemaat baik secara individu ataupun komunal dapat hidup dalam damai sejahtera dan taat kepada Allah.

Namun, dalam pelayanannya seringkali para pendeta mengalami kegagalan-kegagalan dalam memerhatikan diri sendiri, menangani jemaat yang mudah tersinggung, mempersiapkan pelayanan dengan adekuat, serta mengelola amarah atas suatu isu saat membimbing jemaat. Hal ini dapat menyebabkan mereka mengalami

compassion fatigue. Compassion fatigue adalah penurunan secara bertahap dalam hal

keinginan untuk membantu dan/atau melayani orang lain yang membutuhkan (Seeley, 2008). Sedangkan, memberikan compassion kepada orang lain merupakan hal yang penting bagi para profesional di bidang seperti ini. Krisetya (2002) juga mengatakan bahwa sesungguhnya pendampingan pastoral yang dilakukan pendeta terhadap jemaatnya disebut juga dengan “a shared compassion”. Maka dari itu, diperlukan satu kemampuan yang harus dimiliki agar mereka tetap mampu menjalankan pelayanannya dengan baik, yaitu self-compassion (Neff, 2011).

Self-compassion memungkinkan individu untuk mengisi cadangan internal

kita, sehingga kita memiliki sesuatu yang lebih untuk diberikan bagi mereka yang membutuhkan. Ini merupakan sebuah kemampuan yang penting bagi mereka yang selalu berurusan dengan permasalahan orang lain (Neff, 2011). Self-compassion pada


(22)

13 Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta adalah kemampuan menyadari dan menerima kegagalan yang dialami, (seperti menderita penyakit yang cukup berat karena kelelahan, sulit menyiapkan materi baru di bidang yag tidak dikuasainya untuk sesi konseling pastoral, serta menghadapi jemaat yang mudah tersinggung dan keras kepala), memahami dan berbuat kebaikan kepada diri sendiri ketika mengalami penderitaan itu, dan melihat bahwa semua Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta juga mengalami penderitaan yang sama dengan dirinya.

Terdapat tiga komponen pada self-compassion yaitu self-kindness, common

humanity, dan mindfulness (Neff, 2011). Self-kindness akan membuat Pendeta Gereja

Sinode ‘X’ di DKI Jakarta lebih peduli dan menyayangi diri sendiri dengan tidak mengatakan hal buruk mengenai dirinya saat mengalami kegagalan. Hal itu berguna bagi pendeta untuk dapat terus membimbing jemaatnya dengan optimal, tanpa perlu melebih-lebihkan perasaan akan kegagalan yang dialami atau menghindari tugas mereka (mindfulness). Pendeta juga akan merasa lebih baik karena dengan tidak menyalahkan diri sendiri dan terus berusaha membimbing jemaat dan dapat melihat dengan lebih jelas bahwa rekan pendeta lainnya pun mengalami hal serupa seperti yang ia alami (common humanity). Keterkaitan antar komponen tersebut menyebabkan apabila komponen yang satu tinggi dan yang lain juga tinggi akan menghasilkan derajat self-compassion yang tinggi pula. Sedangkan jika salah satu atau lebih komponen rendah, individu akan mengalami kesulitan untuk menghasilkan derajat self-compassion yang tinggi (Barnad & Cury, 2011).

Self-kindness pada Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta adalah kemampuan Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta untuk bersikap hangat dan memahami dirinya sendiri saat mengalami penderitaan, kegagalan, atau ketidakmampuan tanpa terus menerus mengkritik diri sendiri. Saat Pendeta Gereja


(23)

Sinode ‘X’ di DKI Jakarta mengalami penderitaan seperti memiliki masalah kesehatan sehingga mengganggu tugas pelayanannya, para Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta mampu menerima dan memahami kekurangan fisiknya serta bersikap hangat dengan cara membatasi pelayanannya saat sedang sakit. Namun, pendeta yang tidak memiliki atau memiliki derajat self-kindness yang rendah justru akan melakukan self-judgement di mana mereka akan meremehkan diri sendiri dan mengkritik diri secara berlebihan saat gagal memenuhi tugas pelayanannya.

Komponen yang kedua adalah common humanity. Common humanity pada Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta adalah kemampuan Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta untuk mengenali penderitaan dan kelemahan diri dalam membimbing jemaat merupakan bagian dari pengalaman semua Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang lain. Seperti misalnya kegagalan mereka dalam membantu jemaat yang keras kepala untuk menyelesaikan permasalahan di dalam sesi konseling pastoral. Mereka berpikir bahwa pendeta yang lain juga pernah mengalami kegagalan dan merasakan hal yang sama. Namun, bagi Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang tidak mampu memunculkan sense of common humanity, mereka akan merasa lebih terisolasi dan tidak terhubung dari dunia di

sekitar mereka (isolation) karena mereka terlalu berfokus dengan kegagalan yang mereka alami tanpa melihat perspektif secara lebih luas. Mereka pun cenderung menghindari jemaat tersebut pada sesi konseling pastoral selanjutnya.

Komponen ketiga dari self-compassion adalah mindfulness. Mindfulness pada Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta adalah Kemampuan Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta untuk melihat segala sesuatunya dengan jelas dan tidak menghakimi peristiwa yang terjadi saat membimbing jemaat dengan apa adanya tanpa menyangkal atau melebih-lebihkan. Neff (2011) menyatakan bahwa


(24)

15

kemampuan untuk melihat situasi dengan kejelasan dan objektivitas (mindfulness) akan mengantarkan individu kepada kebijaksanaan. Kebijaksanaan ini merupakan sebuah sifat yang dituntut untuk dimiliki oleh seorang pendeta dalam melihat permasalahan dan membimbing jemaatnya. Seperti misalnya saat Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta berhadapan dengan jemaat yang berkonsultasi mengenai anggota keluarganya yang memiliki ketergantungan obat-obat terlarang. Padahal, hal tersebut bukan lah kapasitas seorang Sarjana Program Studi Strata 1 Teologia. Maka, Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang memiliki mindfulness tidak akan

terpaku akan kelemahannya. Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta dengan bijaksana membimbing jemaat tersebut seoptimal mungkin. Secara objektif, ia akan menyiapkan serta memelajari materi-materi yang berkaitan sebelum memulai sesi konseling pastoral selanjutnya. Mereka tidak akan melakukan over identification di mana mereka hanya terpaku pada kekurangan pengetahuannya yang membuatnya tidak mempelajari bidang tersebut hingga pada akhirnya mereka tidak mampu membimbing jemaat dengan optimal.

Laura K. Barnard dan John F. Curry (2011) dalam jurnalnya menyatakan bahwa dalam membahas mengenai compassion (baik yang diarahkan pada diri sendiri maupun pada orang lain), dirasa penting untuk melibatkan tiga hal berikut: merasakan penderitaan yang sedang dialami, menyadari penderitaan itu dan tidak menghindarinya, dan memiliki keinginan untuk mengurangi penderitaan tersebut. Maka dari itu, merupakan hal yang sulit untuk mendiskusikan setiap komponen secara terpisah. Self-kindness akan membantu berkembangnya common humanity dan

mindfulness. Jika Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta mampu memberikan

perhatian, kelembutan, pemahaman, dan kesabaran terhadap kekurangan dirinya atas kegagalan dalam membimbing jemaatnya (self-kindness), maka rasa malu dan


(25)

menarik diri dari orang lain akibat kegagalan tersebut cenderung akan berkurang. Mereka akan lebih memilih untuk tetap berhubungan dengan orang lain, seperti berbagi pengalaman mengenai perjuangan mereka dalam menghadapi kegagalan, atau dapat mengamati bahwa orang lain mengalami perjuangan yang sama dalam menghadapi kegagalan (common humanity).

Self-kindness juga memengaruhi mindfulness. Kemampuan ini memungkinkan Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta untuk bertahan dalam keadaan sekarang yang menyakitkan dan memiliki pandangan yang seimbang.

Self-kindness juga menungkinkan Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta untuk

mengamati segala sesuatu dengan objektif dibanding mengkritik diri terus menerus (mindfulness). Common humanity akan mengembangkan komponen self-kindness dan mindfulness. Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang merasa bahwa kegagalan dalam membimbing jemaatnya merupakan suatu kejadian yang pasti dialami semua pendeta (common humanity). Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta cenderung tidak akan menghakimi dan mengkritik dirinya dengan berlebihan (self-kindness) dan lebih menyadari bahwa ketidaksempurnaan dan kegagalan merupakan suatu hal yang wajar, maka kegagalan yang dialami akan ia terima dengan tidak berlebihan (mindfulness).

Mindfulness, akan mengembangkan komponen self-kindness dan common humanity. Saat Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta melihat kesalahan yang

dialaminya dalam membimbing jemaat secara objektif tanpa mengurangi atau melebih-lebihkannya (mindfulness), mereka akan menyadari bahwa setiap sesi konseling pastoral dan pelawatan merupakan sebuah panggilan dalam menyatakan kasih Tuhan kepada jemaat. Pendeta akan menghindari pemberian kritik yang berlebihan pada dirinya (self-kindness) dan menyadari bahwa semua Pendeta Gereja


(26)

17 Sinode ‘X’ di DKI Jakarta juga pernah mengalami kegagalan atau melakukan kesalahan (common humanity) seperti dirinya.

Menurut Neff (2011) individu harus mencapai dan mengombinasikan ketiga komponen tersebut agar bisa memperoleh self-compassion yang tinggi. Satu komponen berhubungan dengan komponen-komponen lainnya dalam membangun

self-compassion Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta dan saling memengaruhi

satu dan lainnya. Apabila ketiga komponen tersebut tinggi, maka Pendeta Gereja Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta dapat dikatakan memiliki self-compassion yang

tinggi. Namun, apabila salah satu komponen rendah, maka Pendeta Gereja Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta dapat dikatakan memiliki self-compassion yang rendah. Self-compassion dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Dalam penelitian ini,

peneliti memilih faktor internal yang terdiri dari personality, attachment, dan jenis kelamin, serta faktor eksternal yang terdiri dari role of parent. Faktor-faktor ini dinilai relevan dengan karakteristik subjek yang akan diteliti.

Berdasarkan pengukuran oleh NEO-FFI (Neff, Rude et al., 2007), ditemukan bahwa self-compassion memiliki hubungan yang kuat dengan The big five

personality. Dikatakan juga bahwa self-compassion memiliki hubungan yang kuat

dengan trait kepribadian neuroticism. Mengkritik diri dan perasaan terasing yang menyebabkan rendahnya self-compassion memiliki kesamaan dengan neuroticism. Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta dengan trait kepribadian neuroticism

cenderung akan mudah terkena stres karena mereka lebih mengartikan suatu kegagalan sebagai ancaman dan frustrasi sebagai hilangnya suatu harapan sehingga ia cenderung merasa cemas dan mengkritik diri sendiri. Hal tersebut tentunya akan menyebabkan Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta memiliki derajat self-compassion yang rendah.


(27)

Self-compassion juga berhubungan positif dengan agreeableness, extraversion, dan conscientiousness. Namun self-compassion tidak berhubungan

dengan openness to experience, karena trait itu mengukur karakteristik orang-orang yang memiliki imajinasi yang aktif, memiliki pilihan yang bervariasi untuk bisa membuka pikiran sehingga dimensi ini tidak sesuai dengan self-compassion (Neff, Rude et al., 2007).

Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang tinggi dalam agreeableness

dan extraversion berorientasi pada sifat sosial sehingga hal itu dapat membantu mereka untuk bersikap baik kepada diri sendiri dan melihat pengalaman yang negatif sebagai pengalaman yang dialami semua manusia. Selain itu, Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta dengan trait agreeableness secara umum memiliki sifat yang

penuh perhatian, bersahabat, baik hati, penolong, bersedia untuk mendahului kepentingan jemaat, serta memiliki sifat dasar yang optimis dan emosional yang seimbang. Perilaku – perilaku seperti ini akan ditampilkan oleh Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang menghayati secara sadar kasih yang diberikan Tuhan di dalam hidupnya dan membagikan kasih tersebut kepada setiap jemaat yang dibimbing. Mereka juga akan cenderung menjalin keterhubungan dan berbuat kebaikan dengan rekan pendeta lain sehingga tidak terpusat pada kegagalannya.

Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang memiliki trait kepribadian

extraversion cenderung akan memiliki derajat self-compassion yang tinggi. Mereka

senang menjalin relasi dengan orang lain, maka saat mengalami kegagalan dalam membimbing jemaatnya, mereka akan melihat berbagai masukan dan kritikan yang diberikan oleh rekan pendeta lain kepadanya secara positif. Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang mengalami kegagalan dalam membimbing jemaatnya akan menyadari bahwa kesulitan tersebut juga dialami oleh rekan pendeta yang lain.


(28)

19

Begitu juga dengan trait kepribadian conscientiousness. Costa & McCrae (1992) mengatakan bahwa trait kepribadian conscientiousness mendeskripsikan kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, terorganisir, dan memrioritaskan tugas. Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta dengan trait ini akan mendasari semua tindakan mereka dalam membimbing jemaat, dengan rasa tanggung jawabnya sebagai pelayan Tuhan. Semua yang mereka lakukan harus bisa dipertanggungjawabkan di depan Tuhan. Mereka akan lebih memerhatikan kebutuhan mereka dan merespon situasi yang sulit dalam membimbing jemaat dengan sikap yang lebih bertanggung jawab sehingga mereka dapat merespon situasi itu tanpa memberikan kritik yang berlebihan. Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta akan lebih berhati-hati dan lebih memahami keadaan diri serta kesulitan yang dihadapi sehingga memiliki derajat self-compassion yang tinggi. Maka, dapat dikatakan bahwa kebervariasian trait kepribadian yang dimiliki Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta dapat memengaruhi self-compassion mereka.

Bowlby (1969) menyatakan bahwa early attachment seseorang dengan orang tuanya akan memengaruhi internal working models mereka dengan orang lain. Jika seseorang membentuk pola secure attachment dengan orang tua mereka, mereka akan merasa bahwa mereka layak dikasihi dan disayangi. Mereka akan tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat dan bahagia, merasa aman untuk percaya bahwa mereka dapat bergantung kepada orang lain agar mendapatkan kehangatan dan dukungan. Namun, bila individu membentuk pola insecure attachment dengan orang tua mereka, mereka akan merasa tidak layak mendapatkan cinta kasih sayang, dan tidak bisa percaya kepada orang lain. Hal ini dapat menciptakan perasaan insecure yang amat mendalam dan menyebabkan tekanan emosional yang memengaruhi


(29)

kemampuannya untuk menjalin kedekatan dan hubungan yang stabil dengan orang lain di masa depan. Dengan kata lain, internal working models yang dimiliki oleh seseorang memiliki dampak yang signifikan dalam hal bagaimana kita memerlakukan dari kita.

Oleh karena itu tidak mengejutkan bila penelitian menyebutkan bahwa individu yang memiliki pola insecure attachment memiliki self-compassion yang lebih rendah daripada individu yang memeiliki pola secure attachment (Neff, 2011). Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang memiliki pola secure attachment

relatif merasa mudah dekat dan merasa nyaman untuk bergantung dengan orang lain guna mendapat dukungan sosial, sehingga self-compassion pada Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta akan cenderung tinggi. Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang memiliki pola insecure attachment akan merasa tidak nyaman dalam menjalin hubungan dan cenderung mengalami kesulitan dalam memercayai orang lain, sehingga self-compassion akan cenderung rendah. Maka dapat dikatakan Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang memiliki pola insecure attachment cenderung memiliki self-compassion yang lebih rendah dibandingkan pendeta yang memiliki pola secure attachment.

Jenis kelamin juga ikut memengaruhi self-compassion Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta. Penelitian menunjukkan bahwa wanita cenderung memiliki derajat self-compassion lebih rendah daripada pria, sebagian besar karena wanita cenderung lebih sering menilai diri dan mengkritik diri. Hal ini dapat menjelaskan mengapa wanita lebih mudah mengalami depresi dan gangguan kecemasan dua kali lipat dibandingkan dengan pria. Wanita dituntut untuk memerhatikan dan peka pada orang lain tetapi tidak untuk diri mereka sendiri (Neff, 2011).


(30)

21

yaitu the role of parent. Peran orangtua (atau pengasuh yang dianggap signifikan) dalam memberi pengalaman mengasuh Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta juga ikut memengaruhi. Hal ini dapat dilihat dari maternal criticism dan modeling of

parents. Maternal criticism juga mempengaruhi self-compassion yang dimiliki

Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta. Menurut Stolorow, Brandchaft, dan Atwood (1987), anak yang mendapat kehangatan serta hubungan yang saling mendukung antara anak dengan orangtua, serta orangtua yang memberikan kritikan membangun dan tidak sering memberikan kritik yang membuat anak takut untuk berinisiatif, maka anak cenderung akan memiliki self-compassion yang lebih tinggi dan anak yang tinggal dengan orangtua yang “dingin” dan sering mengkritik seluruh tindakan anak, cenderung akan memiliki self-compassion yang lebih rendah. Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang tumbuh dalam lingkungan di mana ia banyak mengalami kritikan dari pengasuh mereka dan menginternalisasikan kritik ke dalam pikiran, akan membuat mereka cenderung untuk takut berinisiatif saat mengalami masalah bahkan mengkritik dirinya sendiri secara berlebihan.

Brown (1999) menyatakan bahwa model orangtua juga dapat mempengaruhi

self-compassion yang dimiliki individu yaitu model orangtua yang sering mengkritik

diri dan orang tua yang dapat menerapkan kemampuan self-compassion mereka saat menghadapi kegagalan atau kesulitan. Anak memiliki kecenderungan untuk meniru orang tuanya dalam memperlakukan dirinya sendiri saat menghadapi kegagalan atau kesulitan (Neff dan McGehee, 2009). Orangtua yang sering mengkritik diri saat menghadapi kegagalan atau kesulitan, menganggap bahwa hanya diri mereka yang mengalami kegagalan dan terpaku pada kelemahan-kelamahan dirinya akan menjadi model bagi Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta untuk melakukan hal sama saat ia mengalami kegagalan dan kesulitan. Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI


(31)

Jakarta juga cenderung akan memiliki self-compassion yang rendah tetapi orangtua yang memiliki kemampuan self-compassion saat menghadapi kegagalan atau kesulitan akan menjadi model bagi Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta untuk melakukan hal serupa ketika ia mengalami kegagalan dan kesulitan. Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta pun cenderung akan memiliki self-compassion yang

tinggi.

Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang memiliki self-compassion

yang tinggi, akan menyadari penderitaan mereka dalam membimbing jemaatnya, menerimanya, memahami dan berbuat kebaikan kepada diri sendiri ketika mengalami kegagalan atau membuat kesalahan, dan menyadari bahwa penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan adalah bagian dari pengalaman yang pernah dialami semua Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta. Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang memiliki self-compassion yang rendah, akan mengkritik diri secara berlebihan ketika mengalami kegagalan atau kelemahan dirinya dalam membimbing jemaatnya. Ia berpandangan sempit dan merasa bahwa hanya dirinya yang mengalami kegagalan dan memiliki kelemahan dan tidak memperhatikan kelebihan dirinya. Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta juga akan membesar-besarkan kegagalan yang dihadapinya dengan berfokus pada kekurangan diri yang menyebabkan terjadinya kegagalan.


(32)

23

Bagan 1.1 Skema Kerangka Pikir

1.6 Asumsi Penelitian

Self-compassion terdiri dari 3 komponen yaitu self-kindness, common humanity,

dan mindfulness yang dapat menentukan self-compassion pada Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta.

 Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta memiliki derajat yang tinggi dalam komponen mindfulness.

 Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta memiliki trait kepribadian

agreeableness yang dominan.

Faktor internal yang mempengaruhi:

Personality

 Jenis kelamin

Attachment

Faktor eksternal yang mempengaruhi:

Role of Parents (maternal support/criticism dan modeling of parents)

Komponen Self-compassion:

Self-kindness

Common humanity

Mindfulness

Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di

DKI Jakarta

Self-compassion

Rendah Tinggi


(33)

 Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta memiliki self-compassion yang

bervariasi yang dipengaruhi juga oleh faktor internal dan eksternal.

Faktor internal adalah personality, jenis kelamin, dan attachment. Sedangkan faktor eksternal meliputi peran orangtua, yang meliputi adanya maternal criticism dan modeling of parents.

 Jika Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta memiliki derajat yang tinggi dalam ketiga komponen itu, maka pendeta tersebut dikatakan memiliki self-compassion yang tinggi. Jika Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta memiliki derajat yang rendah pada salah satu atau lebih dari satu komponen, maka pendeta tersebut dikatakan memiliki self-compassion yang rendah.


(34)

57

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka diperoleh suatu gambaran mengenai derajat self-compassion pada Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta dengan simpulan sebagai berikut :

1. Lebih banyak Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta yang memiliki derajat

self-compassion yang tergolong rendah dibandingkan dengan yang memiliki

derajat self-compassion yang tergolong tinggi.

2. Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta dengan derajat self-compassion yang

rendah sebagian besar dari mereka masih mampu melakukan mindfulness walaupun masih melakukan self-judgment dan isolation.

3. Ditemukan kecenderungan keterkaitan antara faktor kepribadian openness to

experience dan agreeableness.

4. Tidak ditemukan kecenderungan keterkaitan antara faktor jenis kelamin, pola

attachment, role of parents, extraversion trait, conscientiousness trait, dan neuroticism trait.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

1. Bagi peneliti selanjutnya, yang juga ingin melakukan penelitian mengenai

self-compassion dapat melakukan penelitian lebih mendalam mengenai kontribusi dari


(35)

5.2.2 Saran Praktis

1. Sehubungan dengan sebagian besar Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta

yang masih melakukan self-judgment saat menghadapi masalah atau kegagalan, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan diskusi dengan rekan pendeta lain yang mampu melakukan self-kindness dan menjadi bahan renungan dengan harapan agar lebih mampu mengasihi dirinya sendiri sebagaimana seharusnya seorang Pelayan Tuhan mengasihi jemaatnya.

2. Sehubungan dengan sebagian besar Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta

yang masih melakukan isolation saat menghadapi masalah atau kegagalan, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan diskusi dengan rekan pendeta lain yang mampu melakukan common humanity dan menjadi bahan renungan dengan harapan agar lebih mampu berbagi dan saling memberi dukungan sosial kepada rekan pendeta yang lain.

3. Sehubungan dengan sebagian besar Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta

yang memiliki komponen mindfulness yang tinggi, diharapkan agar mampu secara konsisten mempertahankan mindfulness-nya guna meningkatkan kemampuan pada dua komponen yang lainnya.

4. Menyesuaikan jumlah tenaga kerja pendeta dengan jumlah anggota jemaat dengan perbandingan yang ideal sehingga dapat dibuat jadwal kerja yang lebih sesuai dengan kondisi masing-masing tenaga kerja pendeta guna menghindari terjadinya


(36)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI DERAJAT

SELF-COMPASSION PADA

PENDETA GEREJA SINODE ‘X’

DI DKI JAKARTA

SKRIPSI

Diajukan dalam rangka menempuh Sidang Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Oleh:

DWI RENDRAHADI PUTERA 1230081

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BANDUNG


(37)

vii

PRAKATA

Puji syukur atas izin Semesta, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini. Penelitian skripsi ini disusun dalam rangka mengikuti sidang sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung dengan judul “Studi Deskriptif Mengenai Derajat Self-Compassion pada Pendeta Gereja

Sinode ‘X’ di DKI Jakarta.”

Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penelitian skripsi ini. Akan tetapi, peneliti berharap di dalam segala kekurangannya, penelitian skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi Fakultas Psikologi khususnya dan mahasiswa lain yang ingin melanjutkan penelitian mengenai Self-Compassion. Untuk itu, peneliti terbuka atas segala kritik dan saran yang diberikan bagi penelitian skripsi ini.

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menerima banyak bantuan, bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini perkenankan peneliti menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Irene Prameswari E., M.Si., Psikolog sebagai Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

2. Missiliana R., M.Si., Psikolog, selaku dosen pembimbing utama peneliti yang selalu sabar menghadapi kecerobohan peneliti dan memberikan bimbingan selama penyusunan penelitian skripsi ini sedari peneliti mengontrak MRL. 3. Cindy Maria, M.Psi., Psikolog, selaku dosen pembimbing kedua peneliti yang

selalu memberikan bimbingan, semangat, dan canda pada peneliti selama penyusunan penelitian skripsi ini.


(38)

viii

4. Pihak Sinode ‘X’ yang telah memberi saran dan membantu peneliti dalam hal

birokrasi dan perizinan untuk melaksanakan penelitian ini.

5. Para responden, atas waktu yang telah diberikan dan kesediaannya untuk mengisi kuesioner dalam penelitian skripsi ini.

6. Ica, atas kesediaannya untuk mendampingi peneliti di masa-masa sulit penyusunan penelitian ini.

7. Amal, atas kesabarannya membimbing dan menasihati peneliti dalam penyusunan penelitian ini.

8. Para Pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Psikologi UKM Periode 2014-2015, Periode 2015-2016, dan Panitia PKL 2016 karena telah memberi kesempatan pada peneliti untuk menjadi sosok yang lebih tegar dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dan berorganisasi.

9. Rinella Chirilda Elgi, S.Psi., atas sosoknya yang pernah hadir di hidup peneliti dan pernah menjadi salah satu alasan utama peneliti dalam menyelesaikan pendidikan di Prodi S1 Psikologi dengan segera.

10. Semua pihak yang memberikan dukungan dan membantu peneliti selama penyelesaian penelitian ini tetapi tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Semesta selalu memberikan perlindungan dan balasan atas segala kebaikan dan bantuan yang Bapak, Ibu, serta rekan-rekan sekalian berikan. Akhir kata, peneliti berharap penelitian skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak yang membutuhkan.

Bandung, November 2016


(39)

59

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja ’X’. (2009). Tata Gereja dan Tata Laksana

Gereja Sinode ‘X’. Jakarta: PT Adhitya Andrebina Agung.

Barnard, L.K., & Curry, J.F. (2011). Self-Compassion: Conceptualizations, Correlates, & Interventions. Curry Duke University Review of General

Psychology, 15, 289–303.

Borrong, R.P. (2015). Signifikansi Kode Etik Pendeta. Gema Teologi. Vol. 39, No. 1. Bowlby, J. (1969). Attachment and Loss. Vol. 1: Attachment (New York: Basic

Books).

Hazan, C. & Shaver, P. (1990). “Love and Work: An Attachment Theoritical

Perspective”, Journal of Personality and Social Psychology 59: 965-70.

Klaus E. Grossman, Karin Grossmann, and Everett Waters, eds. (2005). Attachment

from Infancy to Adulthood: The Major Longitudinal Studies (New York:

Guilford Press).

Kumar, R. (2011). Research Methodology: a step-by-step guide for beginners. London: Sage Publications Ltd.

Neff, K.D. (2003). Development and validation of a scale to measure self-compassion. Self and Identity, 2, 223-250.

Neff, K. D., Hseih, Y., & Dejitthirat, K. (2005). Self-compassion, achievement goals, and coping with academic failure. Self and Identity, 4, 263-287.

Neff, K.D., Kirkpatrick, K.L., & Rude, S.S. (2007a). Self-compassion and adaptive psychological functioning. Journal of Research in Personality, 41, 139-154. Neff, K., Rude, S.S., & Kirkpatrick, K.L. (2007b). An examination of

self-compassion in relation to positive psychological functioning and personality traits. Journal of Research in Personality, 41, 908-916.

Neff, K., Pisitsungkagarn, K., & Hsieh, Y. P. (2008). Self-compassion and self-construal in the United States, Thailand, and Taiwan. Journal of

Cross-Cultural Psychology, 39, 267-285.

Neff, K. & McGehee, P. (2009). Self-Identity, 225-240. Self-Compassion and Psychological Resilience Among Adolescents and Young Adults. Psychological Press.

Neff, K.D. (2011). Self-Compassion: Stop Beating Yourself Up and Leave insecurity


(40)

60

Neff, K. D & Pommier, E. (2012): The Relationship between Self-compassion and Other- focused Concern among College Undergraduates, Community Adults, and Practicing Meditators, Self and Identity, DOI:10.1080/15298868.2011.649546 from https://webspace.utexas.edu/neffk/pubs/listofpublications.html

Seeley, M.F. (2008). Compassion Fatigue. Piscataway, NJ: St. John Neumann Pastoral Center 146 Metlars Lane.

Williams, J.G., Stark, S.K., & Foster, E.E. (2008). Start Today or the Very Last Day? The Relationships Among Self-Compassion, Motivation, and Procrastination.


(41)

61

DAFTAR RUJUKAN

Kencana, Soja. (2014). Studi Deskriptif mengenai Self-Compassion pada Perawat Rumah Sakit "X" Kota Bandung. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha: Bandung.

Neff, K.D. (2003). Self-compassion scale (long). (Online). (http://www.self- compassion.org/selfcompassion-scales-for-researchers.html, diakses 20 Januari 2016).

Riasnugrahani, M. (2014). Self-Compassion dan Compassion for Others Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UK. Maranatha. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha: Bandung.


(1)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI DERAJAT

SELF-COMPASSION PADA

PENDETA GEREJA SINODE ‘X’

DI DKI JAKARTA

SKRIPSI

Diajukan dalam rangka menempuh Sidang Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Oleh:

DWI RENDRAHADI PUTERA 1230081

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BANDUNG


(2)

vii PRAKATA

Puji syukur atas izin Semesta, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini. Penelitian skripsi ini disusun dalam rangka mengikuti sidang sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung dengan judul “Studi Deskriptif Mengenai Derajat Self-Compassion pada Pendeta Gereja Sinode ‘X’ di DKI Jakarta.”

Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penelitian skripsi ini. Akan tetapi, peneliti berharap di dalam segala kekurangannya, penelitian skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi Fakultas Psikologi khususnya dan mahasiswa lain yang ingin melanjutkan penelitian mengenai Self-Compassion. Untuk itu, peneliti terbuka atas segala kritik dan saran yang diberikan bagi penelitian skripsi ini.

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menerima banyak bantuan, bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini perkenankan peneliti menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Irene Prameswari E., M.Si., Psikolog sebagai Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

2. Missiliana R., M.Si., Psikolog, selaku dosen pembimbing utama peneliti yang selalu sabar menghadapi kecerobohan peneliti dan memberikan bimbingan selama penyusunan penelitian skripsi ini sedari peneliti mengontrak MRL. 3. Cindy Maria, M.Psi., Psikolog, selaku dosen pembimbing kedua peneliti yang

selalu memberikan bimbingan, semangat, dan canda pada peneliti selama penyusunan penelitian skripsi ini.


(3)

viii 4. Pihak Sinode ‘X’ yang telah memberi saran dan membantu peneliti dalam hal

birokrasi dan perizinan untuk melaksanakan penelitian ini.

5. Para responden, atas waktu yang telah diberikan dan kesediaannya untuk mengisi kuesioner dalam penelitian skripsi ini.

6. Ica, atas kesediaannya untuk mendampingi peneliti di masa-masa sulit penyusunan penelitian ini.

7. Amal, atas kesabarannya membimbing dan menasihati peneliti dalam penyusunan penelitian ini.

8. Para Pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Psikologi UKM Periode 2014-2015, Periode 2015-2016, dan Panitia PKL 2016 karena telah memberi kesempatan pada peneliti untuk menjadi sosok yang lebih tegar dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dan berorganisasi.

9. Rinella Chirilda Elgi, S.Psi., atas sosoknya yang pernah hadir di hidup peneliti dan pernah menjadi salah satu alasan utama peneliti dalam menyelesaikan pendidikan di Prodi S1 Psikologi dengan segera.

10. Semua pihak yang memberikan dukungan dan membantu peneliti selama penyelesaian penelitian ini tetapi tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Semesta selalu memberikan perlindungan dan balasan atas segala kebaikan dan bantuan yang Bapak, Ibu, serta rekan-rekan sekalian berikan. Akhir kata, peneliti berharap penelitian skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak yang membutuhkan.

Bandung, November 2016


(4)

59

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja ’X’. (2009). Tata Gereja dan Tata Laksana

Gereja Sinode ‘X’. Jakarta: PT Adhitya Andrebina Agung.

Barnard, L.K., & Curry, J.F. (2011). Self-Compassion: Conceptualizations, Correlates, & Interventions. Curry Duke University Review of General

Psychology, 15, 289–303.

Borrong, R.P. (2015). Signifikansi Kode Etik Pendeta. Gema Teologi. Vol. 39, No. 1. Bowlby, J. (1969). Attachment and Loss. Vol. 1: Attachment (New York: Basic

Books).

Hazan, C. & Shaver, P. (1990). “Love and Work: An Attachment Theoritical

Perspective”, Journal of Personality and Social Psychology 59: 965-70.

Klaus E. Grossman, Karin Grossmann, and Everett Waters, eds. (2005). Attachment

from Infancy to Adulthood: The Major Longitudinal Studies (New York:

Guilford Press).

Kumar, R. (2011). Research Methodology: a step-by-step guide for beginners. London: Sage Publications Ltd.

Neff, K.D. (2003). Development and validation of a scale to measure self-compassion. Self and Identity, 2, 223-250.

Neff, K. D., Hseih, Y., & Dejitthirat, K. (2005). Self-compassion, achievement goals, and coping with academic failure. Self and Identity, 4, 263-287.

Neff, K.D., Kirkpatrick, K.L., & Rude, S.S. (2007a). Self-compassion and adaptive psychological functioning. Journal of Research in Personality, 41, 139-154. Neff, K., Rude, S.S., & Kirkpatrick, K.L. (2007b). An examination of

self-compassion in relation to positive psychological functioning and personality traits. Journal of Research in Personality, 41, 908-916.

Neff, K., Pisitsungkagarn, K., & Hsieh, Y. P. (2008). Self-compassion and self-construal in the United States, Thailand, and Taiwan. Journal of

Cross-Cultural Psychology, 39, 267-285.

Neff, K. & McGehee, P. (2009). Self-Identity, 225-240. Self-Compassion and Psychological Resilience Among Adolescents and Young Adults. Psychological Press.

Neff, K.D. (2011). Self-Compassion: Stop Beating Yourself Up and Leave insecurity


(5)

60

Universitas Kristen Maranatha Neff, K. D & Pommier, E. (2012): The Relationship between Self-compassion and Other- focused Concern among College Undergraduates, Community Adults, and Practicing Meditators, Self and Identity, DOI:10.1080/15298868.2011.649546 from https://webspace.utexas.edu/neffk/pubs/listofpublications.html

Seeley, M.F. (2008). Compassion Fatigue. Piscataway, NJ: St. John Neumann Pastoral Center 146 Metlars Lane.

Williams, J.G., Stark, S.K., & Foster, E.E. (2008). Start Today or the Very Last Day? The Relationships Among Self-Compassion, Motivation, and Procrastination.


(6)

61

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Kencana, Soja. (2014). Studi Deskriptif mengenai Self-Compassion pada Perawat Rumah Sakit "X" Kota Bandung. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha: Bandung.

Neff, K.D. (2003). Self-compassion scale (long). (Online). (http://www.self- compassion.org/selfcompassion-scales-for-researchers.html, diakses 20 Januari 2016).

Riasnugrahani, M. (2014). Self-Compassion dan Compassion for Others Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UK. Maranatha. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha: Bandung.