Studi Deskriptif Mengenai Culture Shock dan Strategi Akulturasi pada Mahasiswa Suku Bugis di Kota Bandung.

(1)

Abstrak

Penelitian deskriptif ini dilakukan untuk mengetahui gambaran culture schock dan strategi akulturasi yang dimiliki oleh mahasiswa suku Bugis di Kota Bandung dengan menggunakan tekhnik survei. Pemilihan sampel pada penelitian ini menggunakan metode purposive sampling dan sampel diperoleh sebanyak 75 orang.

Alat ukur yang digunakan merupakan modifikasi dari alat ukur culture schock. Kuesioner ini terdiri dari 48 pasang item dengan nilai validitas 0,3-0,55 dan reabilitas 0,853. Alat ukur strategi akulturasi menggunakan kuesioner East Asian Acculturation Measure (EAAM) yang disusun oleh Declan T. Berry yang telah diadaptasi oleh peneliti yang terdiri dari 26 item dengan nilai validitas 0,31-0,62 dan reabilitas sebesar 0,937. Validitas pada kedua kuesioner ini di hitung menggunakan rumus rank spearman dan reabilitas dihitung menggunakan rumus alpha chronbach.

Berdasarkan pengolahan data secara statistik maka didapatkan hasil 54,6% mahasiswa memiliki derajat culture schock yang tergolong tinggi dan 45,4% memiliki derajat culture schock yang tergolong rendah. Hasil tentang strategi akulturasi didapatkan hasil sebanyak 32% memilih asimilasi, sebanyak 38,60% memilih separasi, sebanyak 17,3% memilih integrasi, dan 12% memilih marjinalisasi sebagai strategi yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah mayoritas mahasiswa suku Bugis memiliki derajat culture schock yang tergolong tinggi dan memilih strategi separasi dalam akulturasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Peneliti mengajukan saran bahwa penelitian serupa dapat dikembangkan dengan metode korelasi pada subyek yang berbeda, dan latar belakang yang lebis beragam.


(2)

ii

Universitas Kristen Maranatha Abstract

Descriptive research is aimed to determine the image of culture schock and strategies acculturation owned by college students tribe bugis in the city of bandung by using a method of surveying .The selection of samples to this research uses the method purposive and obtained the sampling method of sample as many as 75 people.

A measuring instrument used is the modification of a measuring instrument culture shock. Consisting of 48 pairs of the questionnaire item with 0,3-0,55 reabilitas 0,852 value and validity .While a measuring instrument used a questionnaire strategy acculturation East Asian Acculturation Measure ( EAAM ) developed by Declan T .Berries that has been adapted by researchers consisting of 26 item with the value of the validity of 0,31-0,62 and reabilitas 0,937 as much as .The validity of the questionnaire on both in count using formulas Rank Spearman and reabilitas calculated using formulas Alpha Chronbach

Based on data processing statistically then obtained results 54,6% student having degrees culture schock high and 45,4% having culture schock who are low.About strategies the results of the acculturation obtained the results of as many as 32 percent chose assimilation, as many as 38,60 %, choose the separation as many as 17.3 % choose integration, and 12 % choose marginalisation as strategy implemented in daily life.

The conclusion of this research are in the majority tribe bugis students having degrees schock culture high and choose a the separation in acculturation and interact with the environment. Researchers make the advice that can be developed with a method similar research on the subject of a different correlation, and lebis diverse backgrounds.


(3)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan Pernyataan Orisinalitas

Abstrak ... i

Abstract ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 9

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 9

1.3.1 Maksud Penelitian ... 9

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Kegunaan Penelitian... 9

1.4.1 Kegunaan Penelitian ... 9

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 10

1.5 Kerangka Pikir ... 10

1.6 Asumsi ... 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sojourner ... 22

2.1.1 Tipe-tipe Sojourner ... 23


(4)

vi

Universitas Kristen Maranatha

2.1.3 Masalah yang Dihadapi Mahasiswa Sebagai Sojourne ... 25

2.2 Culture Shock ... 26

2.2.1 Simptom dari Culture Shock ... 27

2.2.2 Tahap Culture Shock ... 28

2.2.3 Komponen Culture Shock ... 30

2.2.4 Aspek Culture Shock ... 31

2.3 Kebudayaan ... 32

2.3.1 Definisi Kebudayaan ... 32

2.3.2 Pewarisan Budayaan ... 32

2.3.3 Budaya Bugis ... 33

2.3.4 Budaya Sunda ... 36

2.3.5 Konflik Budaya Mayoritas dan Minoritas ... 38

2.4 Akulturasi ... 40

2.4.1 Definisi Akulturasi ... 40

2.4.2 Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Penerapan Strategi Akulturasi ... 41

2.4.3 Faktor Internal yang Mempengaruhi Strategi Akulturasi ... 42

2.4.4 Strategi Akulturasi ... 43

BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 46

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 46

3.3 Variabel Penelitian, Definisi Konseptual dan Definisi Operasional ... 46

3.3.1 Variabel Penelitian ... 46


(5)

3.3.3 Definisi Operasional ... 47

3.4 Alat Ukur ... 51

3.4.1 Alat Ukur Culture Shock ... 51

3.4.1.1 Kuesioner ... 51

3.4.1.2 Prosedur Pengisian Kuesioner ... 54

3.4.1.3 Sistem Penilaian ... 55

3.4.2 Alat Ukur Strategi Akulturasi ... 55

3.4.2.1 Kuesioner ... 55

3.4.2.2 Prosedur Pengisian Kuesioner ... 57

3.4.2.3 Sistem penilaian ... 57

3.5 Data Penunjang dan Data Pribadi ... 57

3.6 Validitas dan Reabilitas Alat Ukur ... 58

3.6.1 Validitas Alat Ukur ... 58

3.6.2 Reabilitas Alat Ukur ... 58

3.7 Populasi Sasaran dan Teknik Penarikan Sampel ... 59

3.7.1 Populasi Sasaran ... 59

3.7.2 Karakteristik Populasi ... 59

3.7.3 Teknik Penarikan Sampel ... 59

3.8 Teknik Analisis Data ... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Subjek Penelitian ... 61

4.2 Hasil Penelitian ... 63


(6)

viii

Universitas Kristen Maranatha

4.2.2 Hasil Penelitian Strategi Akulturasi ... 64

4.2.3 Gambaran Culture Schock Komponen Affective ... 65

4.2.4 Gambaran Culture Schock Komponen Behaviour ... 66

4.2.5 Gambaran Culture Schock Komponen Cognitive ... 67

4.3 Gambaran Hasil Penelitian Pada Aspek-Aspek Culture Schock ... 68

4.3.1 Aspek Kecemasan Karena Adanya Usaha Untuk Beradaptasi Secara Psikis ... ... 68

4.3.2 Aspek Perasaan Kehilangan Keluarga dan Teman ... 68

4.3.3 Aspek Perasaan Tidak Berdaya karena Tidak Mampu Menyesuaikan Diri dengan Lingkungan Bandung ... 69

4.3.4 Aspek Menolak dan Ditolak Oleh Orang-Orang Dilingkungan Baru ... 70

4.3.5 Aspek Kebingungan Mengenai Peran, Harapan terhadap Peran, Nilai yang dianut, Perasaan, dan Identitas Diri ... 71

4.3.6 Aspek Tidak Memahami Adanya Perbedaan Bahasa, Kebiasaan, Nilai/Norma, dan Sopan Santun ... 72

4.4 Pembahasan ... 72

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 80

5.2 Saran. ... 81

5.2.1 Saran Ilmiah ... 81

5.2.2 Saran Praktis ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 83

DAFTAR RUJUKAN ... 84


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Tabel Kisi-Kisi Alat Ukur Culture Shock ... 52

Tabel 3.2 Tabel Skor Item Culture Shock ... 54

Tabel 3.3 Tabel Kisi-Kisi Alat Ukur Strategi Akulturasi ... 56

Tabel 3.4 Tabel Skor Item Strategi Akulturasi ... 57

Tabel 4.1 Tabel deskripsi tentang jenis kelamin responden ... 61

Tabel 4.2 Tabel dekripsi tentang usia responden ... 62

Tabel 4.3 Tabel deskripsi tentang gambaran lama tinggal responden di daerah asal...62

Tabel 4.4 Tabel deskripsi lamanya responden tinggal di Bandung ... 63

Tabel 4.5 Derajat culture schock ... 64

Tabel 4.6 Strategi Akulturasi ... 65

Tabel 4.7 Tabel deskripsi derajat komponen affective pada responden ... 65

Tabel 4.8 Gambaran deskripsi derajat culture schock komponeb behavior pada responden ... 66

Tabel 4.9 Gambaran deskripsi derajat komponen cognitive pada responden ... 66

Tabel 4.10 Gambaran aspek kecemasan karena adanya usaha untuk beradaptasi secara psikis ... 67

Tabel 4.11 Gambaran aspek perasaan kehilangan keluarga dan teman ... 68

Tabel 4.12 Gambaran aspek peraaan tidak berdaya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan Bandung...69

Tabel 4.13 Gambaran aspek menolak dan ditolak oleh orang-orang dilingkungan baru...70


(8)

x

Universitas Kristen Maranatha Tabel 4.14 Gambaran aspek kebingungan mengenai peran, harapan terhadap peran, nilai yang dianut dan identitas diri ... 70 Tabel 4.15 Gambaran aspek tidak memahami adanya perbedaan bahasa, kebiasaan, nilai/norma, dan sopan santun ... 72


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

• Data Pribadi • Data Penunjang

Kuesioner Culture Schock • Kuesioner Strategi Akulturasi • Output Validitas and Reliabilitas • Tabel data Mentah


(10)

1

Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan suatu hal yang penting di Indonesia. Semua warga negara Indonesia berhak mengikuti pendidikan setinggi-tinggi nya untuk meraih cita-cita mereka. Selepas mereka lulus dari SMA, tidak jarang individu melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi yaitu perguruan tinggi dengan harapan kelak mereka dapat memiliki hidup yang mapan. Dengan Mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, individu dapat belajar banyak hal yang sangat dibutuhkan sebagai bekal untuk menatap karir dalam menuju dunia kerja, dan salah satu bekal yang berguna bisa didapatkan pada saat mereka kuliah.

Masa-masa kuliah merupakan masa yang sangat krusial dalam meniti sebuah karir karena banyak kegiatan yang bisa dikerjakan pada saat menjadi mahasiswa sebagai bekal untuk menatap dunia kerja misalnya dengan mengikuti organisasi-organisasi yang ada di kampus akan memengaruhi sikap dan perilaku individu saat bekerja nantinya. Dengan banyaknya pilihan universitas di Indonesia mulai dari Universitas ternama hingga politeknik yang menawarkan berbagai macam pendidikan dari D1 hingga S3 membuat masyarakat mempunyai keinginan untuk terus melanjutkan pendidikan mereka setinggi-tinggi nya.

Indonesia memiliki banyak perguruan tinggi baik swasta maupun negeri yang tersebar di seluruh Indonesia, namun pulau Jawa memiliki jumlah perguruan


(11)

2

tinggi terbanyak di Indonesia dan di pulau Jawa terdapat beberapa universitas terbaik di Indonesia. Salah satu kota tujuan mereka untuk melanjutkan pendidikan adalah Bandung yang terletak di Jawa Barat. Menurut Alwan Ridha Ramdhani mengatakan bahwa Bandung merupakan kota terpadat di Jawa barat hal ini di karenakan terus bertambahnya jumlah pendatang dari tahun ke tahun, para pendatang ini berasal dari berbagai daerah di seluruh penjuru Indonesia salah satunya berasal dari suku Bugis. Berdasarkan data yang diperoleh dari DIKTI bahwa Bandung menjadi pilihan mereka untuk melanjutkan pendidikan karena di Bandung ini terdapat 8 Universitas yang 100 Universitas terbaik yang ada di Indonesia. Bandung juga terdapat lebih dari 20 perguruan tinggi swasta maupun negeri yang terdaftar di DIKTI. (www.Dikti.com, di unggah pada tanggal 18 November 2013)

Selain karena mutu universitas yang ada di Bandung baik, alasan lain bagi mahasiswa suku Bugis untuk pergi merantau ke daerah lain diluar Makassar karena bagi masyarakat suku Bugis melakukan perpindahan dari daerah asalnyaa merupakan upaya mencari pemecahan konflik pribadi, menghindari penghinaan, kondisi yang tidak aman, atau keinginan untuk melepaskan diri baik dari kondisi sosial yang tidak memuaskan (Pelras, Christian, 2006, Manusia Bugis, Nalar, Jakarta). Mahasiswa suku Bugis yang tercatat di KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan) di Bandung pada tahun 2010 sebanyak 95 orang, namun mengalami penuruan pada tahun 2011 dengan jumlah 73 orang. Pada tahun 2012 Mahasiswa suku Bugis mengalami peningktan dengan jumlah 81 orang, dan data terakhir yang diterima KKSS pada tahun 2013 ada sebanyak 89 orang mahasiswa


(12)

3

Universitas Kristen Maranatha berasal dari Makassar yang sedang menempuh pendidikan di Bandung. Menurut pengurus KKSS mengatakan bahwa saat ini mungkin banyak mahasiswa yang berasal dari Makassar namun tidak tercatat di KKSS karena keterbatasan mereka seperti tidak ada nya organisasi perkumpulan mahasiswa yang berasal dari suku Bugis dikampus mereka atau minimnya informasi mengenai keberadaan KKSS ini sendiri.

Saat individu memutuskan untuk berpisah dari orang tua untuk mencari ilmu, maka individu tersebut akan berusaha mencari tahu mengenai perguruan tinggi terbaik di kota tujuan dan mulai mencari tahu mengenai budaya kota tujuan mereka. Perbedaan budaya antara Sunda dan Bugis membuat beberapa mahasiswa pendatang merasa bingung apa yang harus mereka lakukan. Perbedaan sikap pun membuat mereka merasa canggung dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Dimana orang suku Bugis yang cenderung berbicara dengan nada tinggi dan keras berbeda dengan orang yang asli tinggal di Bandung dan mayoritas bersuku Sunda yang terkenal ramah dan sangat sopan dalam berbicara membuat mereka merasa takut dalam berbicara. Selain itu perbedaan karakteristik individu juga membuat mereka merasa tidak nyaman, dimana orang Makassar cenderung egois, berbicara dengan lebih spontan sehingga kadang menyinggung orang lain yang tidak mengenal budaya suku Bugis tersebut dan cenderung keras kepala yang berbeda dengan orang Bandung yang lebih menghargai orang lain dan hati-hati dalam mengungkapkan pendapat agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Di lingkungan budaya baru tempat dimana mereka mencari ilmu, ternyata mereka juga di tuntut untuk dapat beradaptasi dengan budaya dan adat kebiasaan budaya


(13)

4

baru mereka sehingga terjadilah suatu ketegangan yang dialami individu ketika mereka di hadapkan pada budaya baru yang berbeda dengan budaya asal mereka dan menurut Oberg (1960) dalam buku culture shock menyebutkan bahwa hal ini biasa disebut sebagai culture shock.

Pada survey awal yang di lakukan oleh peneliti, peneliti melakukan wawancara terhadap 10 orang mahasiswa yang berasal dari suku Bugis dengan berpacu pada tahap-tahap culture shock yang di jelaskan oleh Oberg. Oberg mengatakan bahwa ketika individu bertemu dengan budaya baru yang mereka kenal maka ia akan mengalami 4 tahap yaitu, tahap pertama adalah honey moon dimana individu merasa senang berada di budaya baru dan mereka masih terpesona dengan tempat baru tersebut. Pada tahap ini mahasiswa yang berasal dari Makassar mengatakan bahwa akan merasa senang dan bangga karena mereka bisa menjadi bagian dari warga Kota Bandung dimana Bandung merupakan salah satu kota wisata dan saat ini Bandung telah menjadi salah satu kota pendidikan yang ada di Indonesia. Mahasiswa suku Bugis juga mengatakan bahwa pada saat awal kedatangan mereka di Bandung mereka berkeliling kota Bandung berkunjung ke tempat-tempat wisata yang ada di Bandung dan menikmati udara kota Bandung yang sejuk yang jelas berbeda dengan kota asal mereka Makassar yang terkenal dengan udara yang panas karena berada di pesisir pantai.

Pada tahap kedua, yaitu tahap krisis dimana individu akan merasa kehilangan dan sangat merindukan daerah asal mereka karena adanya ketidak cocokan dengan budaya baru yang di hadapinya. Setelah beberapa bulan berada di Bandung mahasiswa yang berasal dari suku Bugis mulai merasakan ketidak


(14)

5

Universitas Kristen Maranatha nyamanan karena adanya perbedaan budaya antara Bugis dan Sunda, 6 dari 10 orang yang di wawancara oleh peneliti mengatakan bahwa Perbedaan yang mereka rasakan adalah perbedaan bahasa dan intonasi saat berinteraksi dengan masyarakat yang berasal dari Bandung sehingga mereka merasa canggung untuk berinteraksi dengan masyarakat yang berasal dari Bandung. Selain perbedaan bahasa, individu juga merasa adanya perbedaan adat istiadat sopan santun atau kebiasaan antara budaya Sunda dan budaya Bugis. Hal itu membuat mereka merasa ragu untuk berinteraksi dengan lingkungan kampus seperti dengan teman-teman, dosen, dan tetangga yang berasal dari daerah berbeda dengan mereka, karena mereka takut di nilai tidak sopan dengan masyarakat Bandung seperti kebiasaan menyapa dengan orang lain yang bertemu dijalan, membungkukkan badan jika lewat di depan orang yang lebih tua, perbedaan cara berbicara dengan orang yang lebih tua dan kebiasaan dan sopan santun lainya merupakan bagian dari budaya Sunda sehingga kadang hal ini menjadi alasan mereka untuk menghindari interaksi dengan lingkungan sekitar. Namun bagi R Ia tidak merasa kaget dengan adat dan kebiasaan orang Sunda karena Ibu R berasal dari Bandung, dan tak jarang Ia ke Bandung bersama Ibunya untuk mengunjungi keluarga nya yang ada disini. Sejak kecil R memang telah di perkenalkan dengan kedua budaya orang tua nya yaitu budaya Sunda dan budaya Bugis sehingga Ia merasa tidak kaget ketika Ia harus menempuh pendidikan di Bandung.

Hal lain 3 dari 10 orang merasa perbedaan yang dirasakan adalah adanya perbedaan makanan yang berbeda antara Bandung dan Makassar, dimana saat mereka di Makassar mereka sangat mudah mendapatkan ikan laut dengan harga


(15)

6

murah sedangkan di Bandung mereka kesulitan mendapatkan ikan laut dan harga yang cukup mahal. Ikan merupakan salah satu makanan wajib bagi setiap orang yang berasal dari Makassar.

Tahap ketiga yaitu, tahap recovery dimana individu mulai menerima budaya baru dan bersedia untuk memelajari budaya baru tersebut. Pada tahap ini 9 dari 10 mahasiswa yang berasal dari suku Bugis akan belajar untuk beradaptasi dengan budaya baru mereka dengan mencoba belajar bahasa Sunda, mengenal atau mencontoh mengenai sopan santun tentang budaya Sunda dengan menanyakan pada teman yang berasal dari Bandung. Terkadang mahasiswa tersebut menggunakan bahasa Sunda dengan teman mereka meskipun tidak terlalu lancar dan kadang menjadi bahan tertawaan rekan mereka yang lain. Mereka percaya jika mereka belajar dan memahami budaya Sunda maka akan mudah bagi mereka untuk beradaptasi dengan budaya Sunda. Bagi R sendiri bahasa Sunda bukan lah bahasa yang sulit untuk dipelajari, sejak kecil Ia sering mendengar Ibu nya berbicara dengan paman atau nenek nya menggunakan bahasa Sunda sehingga R sedikit-sedikit mengerti bahasa Sunda dan Ia pun tidak keberatan jika diminta untuk mengajari teman nya mengenai bahasa Sunda.

Tahap terakhir adalah tahap adjustment, dimana individu mulai menikmati pendidikan mereka di budaya baru tersebut. Saat ini mahasiswa merasa bahwa mereka telah nyaman untuk tinggal di Bandung, meskipun terkadang mereka merindukan kampung halaman mereka namun mereka telah terbiasa dengan adat istiadat dan kebiasaan yang dilakukan oleh warga di Bandung. Dari hasil survey awal yang dilakukan peneliti mahasiswa suku Bugis mengalami culture shock


(16)

7

Universitas Kristen Maranatha namun dengan derajat yang berbeda. Individu akan mengalami culture shock ketika individu berada di budaya baru dalam waktu kurang dari 1 tahun. Derajat Culture Shock sendiri di pengaruhi oleh kepribadian individu tersebut, tidak semua individu yang berada di budaya baru mengalami culture shock dengan derajat yang tinggi (Oberg, 1960).

Proses akhir dari culture shock adalah tahap adjustment. Pada tahap ini terjadi proses akulturasi budaya, dimana individu atau mahasiswa pendatang akan mengalami perubahan psikologis sebagai hasil dari kontak (hubungan) antara dua atau lebih kelompok budaya dan individunya (Berry, 2005). Pada proses ini individu akan mengadopsi nilai-nilai dari budaya baru mereka sehingga terjadi peleburan dengan budaya asli mereka. Proses akhir dari akulturasi ini akan menghasilkan 4 kemungkinan yang akan terjadi pada individu yaitu, asimilasi dimana individu mengambil niai-nilai dari budaya baru mereka. Mahasiswa mulai menerapkan budaya Sunda dalam kehidupan keseharian mereka seperti berbicara dengan nada yang pelan, menyapa orang lain ketika bertemu dijalan meskipun tidak mengenal baik oran tersebut. Bentuk strategi akulturasi kedua adalah integrasi, yang merupakan sintesis dari 2 budaya yaitu budaya asal mereka dan budaya baru yang ada di daerah baru mereka. Para mahasiswa Makassar yang berada di Bandung mahasiswa belajar menggunakan bahasa Sunda meskipun mereka belum mengerti sepenuhnya mengenai bahasa Sunda tetapi mereka mempelajari bahasa Sunda dengan teman mereka yang berasal dari Bandung. Selain belajar bahasa, mahasiswa pun menanyakan hal-hal apa saja yang biasa orang Bandung lakukan yang mereka tidak ketahui sebelumnya. Hal ini


(17)

8

menunjukkan adanya ciri-ciri akulturasi yang di alami oleh mahasiswa yaitu strategi akulturasi Integrasi.

Individu menolak budaya baru yang ada di daerah baru mereka. Pada beberapa mahasiswa pun ada yang menunjukkan penolakan terhadap budaya Sunda, hal ini mereka lakukan karena mereka merasa sulit untuk belajar bahasa Sunda meskipun mereka telah mencoba belajar namun mereka masih merasa kesulitan untuk belajar bahasa Sunda karena mereka selalu ditertawakan saat menggunakan bahasa Sunda namun menggunakan logat Bugis, sehingga mereka memutuskan untuk tetap mempertahankan budaya Bugis namun tetap menghargai budaya Sunda. Strategi Akulturasi ke empat yaitu marjinalisasi, individu merasa tidak mengenal dengan dua budaya yang ada yaitu budaya Bugis dan budaya Sunda. Hal ini lah yang akan di lalui mahasiswa saat mereka memutuskan untuk meninggalkan daerah asal mereka dan memutuskan untuk mencari ilmu di tempat baru dengan budaya yang berbeda. Setiap individu memiliki strategi akulturasi yang berbeda-beda sesuai dengan pengalaman dan presepsi mereka mengenai budaya baru yang sedang mereka hadapi saat ini.

Ketidak nyamanan yang terjadi pada mahasiswa Suku Bugis di Kota Bandung akibat adanya bahasa, makanan, sopan santun dan kebiasaan orang Bandung dengan budaya asal mereka mengindikasikan adanya culture shock yang di alami mahasiswa dilihat dari 4 tahap terjadinya culture shock. Mahasiswa mulai belajar dan menerima budaya baru mereka merupakan hasil dari proses akulturasi.


(18)

9

Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan fenomena diatas peneliti ingin mengetahui gambaran culture shock dan akulturasi pada mahasiswa suku Bugis di kota Bandung.

1.2Identifikasi Masalah

Dalam penelitian ini, masalah yang ingin diteliti adalah:

Gambaran derajat culture shock dan gambaran strategi akulturasi pada mahasiswa yang berasal dari suku Bugis.

1.3Maksud dan Tujuan penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah ingin melihat gambaran dari culture shock dan strategi akulturasi yang diterapkan oleh mahasiswa suku Bugis di Kota Bandung

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran derajat dari culture shock yang di alami oleh mahasiswa suku Bugis di Kota Bandung serta melihat strategi akulturasi yang diterapkan oleh mahasiswa suku Bugis di Kota Bandung.

1.4Kegunaan Peenelitian

1.4.1 Kegunaaan Teoritis

• Memberikan informasi di bidang Psikologi khususnya Psikologi Lintas Budaya mengenai gambaran culture shock dan akulturasi pada mahasiswa suku Bugis di kota Bandung.


(19)

10

Untuk memberikan informasi mengenai culture shock dan akulturasi bagi penliti lain yang berminat meneliti bidang yang sama.

1.4.2 Kegunaan Praktis

• Sebagai informasi bagi pengurus KKSS Sulawesi Selatan mengenai gambaran derajat Culture Shock dan strategi akulturasi yang di terapkan oleh mahasiswa suku Bugis di Kota Bandung agar dapat lebih mengenalkan budaya Sunda pada mahasiswa pendatang dari suku Bugis sehingga dapat meminimalisir culture shock yang akan di alami mahasiswa suku Bugis.

• Sebagai masukan bagi mahasiswa lain yang akan pindah ke kota lain untuk melanjutkan pendidikan mereka agar mahasiswa dapat lebih mempersiapkan diri ketika akan pindah ke Kota lain.

1.5 Kerangka Pikir

Banyak individu yang berasal dari luar pulau Jawa datang ke Bandung untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi dan mendapat pendidikan yang lebih baik lagi dari yang ada di daerah asal mereka, salah satunya berasal dari suku Bugis. Dengan adanya perpindahan individu dari kota Makassar ke kota Bandung, maka individu di tuntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan budaya baru tersebut. Menurut Bochner (1982) kontak antar budaya dapat terjadi ketika individu dari suatu budaya mengunjungi daerah lain dengan tujuan belajar, bekerja, bermain, atau mengungsi (Ward, et al 2001:5). Kebanyakan mahahasiswa memilih


(20)

11

Universitas Kristen Maranatha Bandung menjadi tujuan melanjutkan kuliah mereka karena ingin mendapat pengalaman baru dan ingin mendapat perguruan tinggi yang lebih baik dari daerah asal mereka.

Pada awal perpindahan mereka ke Bandung, individu akan merasa sangat senang dan mengalami euphoria. Dimana individu merasa senang, dan ingin menjelajahi kota Bandung ke tempat-tempat yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya. Pada masa ini merupakan tahap honeymoon, pada tahap ini individu akan mengalami nya selama ± 1- 2 Bulan. Individu akan menikmati perbedaan-perbedaan yang mereka rasakan dan menjadi kan hal tersebut sebagai sebuah pengalaman dan pengetahuan baru yang belum pernah mereka dapatkan di budaya asal mereka. Namun, setelah bersenang-senang dan mengunjungi tempat-tempat yang ada di Bandung, dan mereka telah melakukan kontak sosial langsung dengan masyarakat yang berasal dari budaya baru tersebut Individu akan merasa bahwa terjadi banyak perbedaan antara Bandung dengan kota asal Mereka. Meskipun mereka tahu sebelumnya dan mencari tahu tentang daerah baru yang akan mereka kunjungi sebelumnya namun mereka belum berhadapan langsung dengan situasi tersebut. Pada saat individu di hadapkan langsung dalam situasi dimana individu di tuntut untuk berinteraksi langsung dengan budaya yang berbeda dengan budaya asal mereka, individu akan merasa tidak nyaman karena ada nya perbedaan-perbadaan yang sangat jelas berbeda dengan budaya asal mereka di Makassar. Pada keadaan tidak nyaman tersebut, individu memasuki tahap crisis, dan pada tahap ini pula terjadilah culture shock. Culture shock ialah gambaran kegelisahan dan perasaan (terkejut, kekeliruan, dll.) yang dirasakan apabila seseorang tinggal


(21)

12

dalam kebudayaan yang berlainan sama sekali, seperti ketika individu dari Makassar pindah ke Bandung (Oberg, 1960). Hal yang dapat menimbulkan terjadinya culture shock adalah adanya kesulitan komunikasi, makanan, dan adat istiadat.

Kesulitan komunikasi menjadi salah satu yang memengaruhi terjadinya culture shock, karena pada komunikasi adalah kunci individu dalam berelasi dengan lingkungan nya. Kesulitan komunikasi yang biasa di alami mahasiswa adalah bahasa, dimana terdapat perbedaan bahasa dan intonasi antara budaya asal dan budaya baru di daerah baru mereka sehingga mahasiswa menjadi canggung dalam berinteraksi dengan orang yang berasal dari budaya yang berbeda dengan nya. Namun jika mahasiswa berusaha untuk belajar menggunakan bahasa dan intonasi yang digunakan pada budaya tersebut, maka tidak menutup kemungkinan kesulitan tersebut dapat teratasi meskipun itu membutuhkan waktu yang cukup lama.

Perbedayaan adatistiadat juga dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya culture shock dimana terdapat perbedaan adat istiadat yang di alami oleh mahasiswa. Pada budaya Sunda terkenal dengan budaya sopan santun dalam bertingkah laku maupun bertutur kata, budaya Sunda juga memiliki prinsip dalam bersikap yaitu, “silih asih, silih asah, dan silih asuh”, artinya harus saling mengasihi, saling mengasah atau mengajari, dan saling mengasuh sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan. Pada budaya Bugis sangat kental dengan keras kepala dan egois, dan berbicara dengan intonasi tinggi sehingga


(22)

13

Universitas Kristen Maranatha dapat terkesan bahwa orang tersebut marah apabila orang lain tidak mengetahui tentang cara berbicara masyarakaat suku Bugis. Namun orang yang berasal dari suku Bugis mempunyai kesetiakawanan yang tinggi, ia dapat melakukan kekerasan demi membela teman atau sahabatnya yang disakiti. Perbedaan budaya ini yang membuat mahasiswa di tuntut untuk bersikap seperti apa yang di tuntut lingkunganya. Selain itu perpindahan suku Bugis ke daerah lain kebanyakan Hal ini dapat membuat mahasiswa merasa tidak nyaman dan menjadi takut dalam bertindak karena takut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan lingkungan padanya.

Faktor makanan juga dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya culture shock dimana makanan dan cita rasa antara Bandung dan Makassar sangat berbeda dengan ciri khas masing-masing. Individu yang berasal dari Makassar menjadikan ikan sebagai menu utama bagi mereka, selain ikan individu yang berasal dari Makassar juga sangat menyukai makanan dengan pengolahanya menggunakan santan kelapa yang cukup kental. Hal ini berbeda dengan Bandung, yang sulit untuk mencari ikan. Walaupun terdapat ikan, harga yang ditawarkan di Bandung pun lebih mahal di bandingkan harga yang ditawarkan di Makassar, Selain itu kebanyakan makanan olahan di Bandung manis sedangakn orang yang berasal dari Makassar lebih menyukai makanan asin dibandingkan manis. Faktor-faktor di atas akan mempengaruhi individu dalam menghadapi culture shock, hal itu pula akan mempengaruhi derajat culture shock yang di alami oleh individu tersebut.


(23)

14

Culture shock memiliki 3 komponen yang mempengaruhi 6 aspek yang mendasari gejala terajadinya culture shock Komponen Affective, merupakan perasaan yang timbul ketika individu menglami dihadapkan pada budaya asing yang berbeda dengan budaya asal mereka. Aspek-aspek yang mempengaruhi komponen ini yaitu, aspek pertama ketegangan/kecemasan karena adanya usaha untuk beradaptasi secara psikologis dengan budaya baru. Mahasiswa akan mengalami kecemasan karena adanya perbedaaan budaya Bugis dengan budaya Sunda saat mereka berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru mereka Aspek kedua juga termasuk komponen Affective, perasaan kerhilangan dan kekurangan keluarga dan teman. Mahasiswa akan merasa kehilangan dan kekurangan keluarga dan teman ketika mereka berada di lingkungan baru, dimana saat di daerah asal mereka mahasiswa selalu berada dekat dan berkumpul bersama dengan keluarga mereka sedangkan saat mereka memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Bandung mereka harus berada jauh dari keluarga mereka dan teman-teman mereka yang selalu bersama saat mereka berada di daerah asal mereka. Aspek ketiga juga merupakan komponen dari Affective yaitu, penolakan terhadap orang-orang dari budaya baru atau merasa di tolak oleh orang-orang yang berasal dari budaya baru.

Komponen kedua dari culture shock adalah behavior yang meliputi peraturan adat-adat, norma-norma yang berlaku di budaya tersebu sehingga akan menimbulkan perilaku yang tidak sesuai dengan budaya mereka akan menimbulkan kesalah pahaman bahkan mungkin menimbulkan agresi. Aspek ke empat termasuk pada komponen behavior yaitu, perasaan bingung terhadap peran,


(24)

15

Universitas Kristen Maranatha nilai-nilai, perasaan dan self identity dimana mahasiswa akan merasa bingung terhadap peran-peran yang harus mereka lakukan karena adanya perbedaan budaya asal mereka dengan budaya baru di tempat baru mereka. Aspek ke enam juga termasuk pada komponen behavior yaitu, perasaan tidak berdaya yang disebabkan oleh ketidak mampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Mahasiswa akan mengalami hal tersebut ketika mereka mengalami perbedaan budaya antara budaya asal mereka dengan budaya baru mereka sehingga mereka mengurangi ineraksi dengan masyarakat dari budaya baru mereka, hal ini juga dapat di sebabkan karena mereka tidak mengetahui peran-peran yang mereka lakukan sehingga mereka takut di katakan tidak sopan.

Komponen ketiga dair culture shock adalah Cognitive, komponen ini mencakup bagaimana seseorang menginterpertasikan suatu objek, personal, intitusi, maupun peristiwa-peristiwa yang ada di lingkungan baik secara spiritual maupun secara eksestensial. Aspek kelima termasuk pada komponen cognitive yaitu, tidak memahami adanya perbedaan bahasa, kebiasaan, nilai/ norma, sopan santun di daerah asalnya dengan di daerah baru. Mahasiswa kurang memahami nilai-nilai yang di anut oleh masyarakat Bandung, selain itu mahasiswa juga dapat menganggap bahwa budaya asal mereka lebih baik dibandingkan budaya di Bandung.

Derajat culture shock ditentukan oleh ketiga komponen di atas dimana ketiga komponen tersebut saling berkaitan antara satu sama lainya. Derajat culture shock dikatakan tinggi ketika mahasiswa merasa kecemasan dan kesulitan untuk berinteraksi dengan budaya baru yang memengaruhi perilakunya menjadi


(25)

16

menutup diri dan merasa takut untuk bertindak karena memikirkan bagaiman dirinya dapat berprilaku sesuai dengan tuntutan pada budaya baru agar individu dapat diterima. Derajat culture shock dikatakan rendah ketika individu mengalami kecemasan dan kesulitan berinteraksi namun individu mampu mengatasi hal tersebut dengan belajar mengenai budaya baru tersebut dan membuka diri untuk berinteraksi dengan masyarakat yang berasal dari daerah tersebut sehingga individu di terima oleh budaya baru tersebut.

Setelah mengalami tahap crisis mahasiswa akan mengalami tahap recovery dimana mahasiswa mulai mempelajari budaya baru mereka. Pada tahap ini individu akan menunjukkan sikap mereka kepada budaya baru mereka. Dalam proses adaptasi, individu akan mengalami proses kurva-U atau kurva-W. Lysgaard mengajukan model kurva-U proses penyesuaian mahasiswa, sekaligus menyatakan bahwa mahasiswa melalui fase awal ”bulan madu”, lalu mengalami ”kemerosotan” atau fase yang membuat tertekan, dan akhirnya menguasai diri mereka hingga mencapai satu fase dalam mengelola tugas-tugas mereka di luar budaya mereka sendiri. Dalam mengembangkan model kurva-U, Gullahorn dan Gullahorn mengajukan model kurva-W seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan tentang W Curve, yaitu gabungan dari 2 U Curve.

Tahap akhir dari culture shock adalah adjustment, tahap ini terjadi ketika individu menerima budaya baru tersebut dan mulai menikmati pekerjaan mereka di daerah baru tersebut. Pada tahap ini individu telah berada di Bandung ± 6 bulan dan pada tahap inilah terjadi proses akulturasi, dimana individu mengadopsi


(26)

17

Universitas Kristen Maranatha budaya-budaya baru dari daerah baru tersebut menjadi bagian dari dirinya namun tidak mengubah budaya asal yang mereka bawa (Berry dkk., 1999). Colleen Ward (2001) menyebutkan adanya faktor dari lingkungan (eksternal) yang mempengaruhi penerapan strategi akulturasi yaitu lama kontak budaya, jarak kultural, kualitas interaksi dan dukungan sosial.

Lama kontak budaya maksudnya semakin lama kontak budaya, maka semakin tinggi individu mengenal budaya mayoritas yang ada di tempat baru maereka. Pengenalan terhadap budaya Sunda memungkinkan munculnya konflik dalam diri mahasiswa suku Bugis. Mahasiswa suku Bugis yang sudah kurang lebih satu tahun berinteraksi dengan budaya Sunda semakin mengenal karakteristik budaya Sunda, namun masih ada juga yang mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan budaya Sunda.

Jarak kultural maksudnya semakin budaya yang terlibat memiliki banyak kemiripan atau jarak kultural yang semakin kecil, maka semakin besar kemungkinan individu menerima budaya setempat. Semakin budaya yang terlibat memiliki sedikit kemiripan atau jarak kultural yang semakin besar, maka semakin kecil kemungkinan individu menerima budaya setempat. Semakin kedua budaya antara budaya Sunda dan budaya Bugis maka semakin mudah mahasiswa menerpkan strategi akulturasi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dukungan sosial maksudnya saat dukungan sosial yang diberikan oleh lingkungan budaya asal mahasiswa suku Bugis dan lingkungan budaya Sunda sama-sama baik, semakin besar kemungkinan besar mahasiswa dapat menerima budaya baru yang ada di tempat mereka. Dukungan sosial tersebut berasal dari lingkungan sekitar


(27)

18

mahasiswa baik dukungan yang di berikan oleh keluarga atau teman yang ada di daerah asal mereka maupun dukungan yang diberikan oleh orang-orang baru yang berada di tempat baru mereka.

Colleen Ward juga menyebutkan ada beberapa faktor dari dalam diri (internal) yang dapat mempengaruhi penerapan strategi akulturasi (2001), yaitu persepsi, identitas budaya, latihan dan pengalaman. Persepsi terjadi jika seorang pendatang mempersepsi mengenai kesesuaian dirinya dengan budaya baru yang ada di tempat baru. Persepsi tersebut dapat mempengaruhi individu dalam menerapkan strategi akulturasi yang akan dipilihnya nanti.

Identitas budaya dan nilai-nilai tradisional, hal ini dapat meempengaruhi penerapan strategi akulturasi yang dipilih oleh mahasiswa suku Bugis, dimana nilai-nilai tradisional dan identitas budaya yang telah mereka yakini sejak lama akan bertemu dengan nilai-nilai budaya baru. Hal ini akan menyebabkan konflik dalam diri individu dalam memilih strategi akulturasi yang akan diterapkan dalam keseharian mereka. Latihan dan pengalaman terjadi ketika para mahasiswa suku Bugis semakin terlatih dalam menghadapi budaya Sunda yang berbeda dengan budaya asalnya, semakin mempermudah mereka untuk menerima budaya Sunda tersebut, sebab mahasiswa sudah terbiasa dengan perbedaan antar budaya yang ada dan mereka dapat mentoleransi perbedaan tersebut. Semakin banyak pengalaman positif yang didapat selama berinteraksi dengan budaya Sunda yang berbeda dengan budaya asalnya, semakin besar kemungkinan mahasiswa suku Bugis menerima budaya Sunda tersebut


(28)

19

Universitas Kristen Maranatha Pada proses akulturasi ini akan menghasilkan 4 strategi akulturasi psikologis yang akan di alami oleh individu dan akan di adopsi oleh individu tersebut sebagai bagian dari diri individu tersebut. Pada proses ini akan melibatkan komponen sikap dan perilaku dimana kedua hal tersebut mempengaruhi individu dalam mengadopsi strategi akulturasi. Mahasiswa sebenarnya mampu mereka lakukan untuk menerima budaya baru mereka merupakan suatu perilaku yang di tunjukkan pada keseharian individu tersebut ( perilaku ) akan merasa suka dan berusaha untuk menerima budaya Sunda ( sikap ) tidak semua mahasiswa suku Bugis mau berusaha untuk menerima budaya Sunda yang ada di daerah baru mereka dan tidak semua mahasiswa suku Bugis mau untuk melakukan kontak sosial dengan budaya baru yang ada di budaya baru mereka. Kedua komponen tersebut di tampilkan dalam tingkah laku individu dalam keseharian individu.

Empat macam strategi akulturasi yang dihasilkan yaitu, intergrasi (integration)individu tetap mempertahankan budaya asli mereka

tetapi individu juga ingin berpartisipasi terhadap budaya luar yang masuk ke dalam budaya mereka. Hasil kedua yaitu, asimilasi (assimiliation)individu hilang

kontak (tidak memiliki kontak) dengan budaya asli mereka tetapi individu lebih memilih mengadakan kontak dengan budaya luar. Ketiga, Separasi (separation) individu mempertahankan nilai-nilai budaya asli mereka dan menolak nilai-nilai budaya luar yang masuk. Keempat, Marginalisasi (marginalization) individu memutuskan untuk menolak budaya asli dan budaya luar. Individu tidak mempertahankan budaya asli mereka tetapi juga tidak menerima budaya luar.


(29)

20

Faktor Eksternal: Yang mempengaruhi -Kualitas interaksi terjadinya culture shock : - Jarak kultural

• Makanan -Dukungan sosial • Adat Istiadat - Lama kontak budaya • Komunikasi

Integrasi Mahasiswa Suku Bugis Honey Crisis:Culture Tinggi Adjustment: Asimilasi di Kota Bandung Moon Shock Recovery Akulturasi Separasi

Rendah Marginalisasi

Komponen culture shock Faktor Internal: Affective - Persepsi

Behavior -Identitas budaya dan

Cognitive nilai-nilai tradisional

-Latihan dan pengalaman

Bagan 1.1 Skema Kerangka Pikir


(30)

21

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi

• Perbedaan kebiasaan dengan daerah asal yang dihadapi mahasiswa suku Bugis yang berada dikota Bandung.

Mahasiswa suku Bugis yang berada dikota Bandung mengalami culture shock yang di pengaruhi oleh tiga komponen yaitu komponen afeksi, komponen perilaku, dan komponen kognitif.

Mahasiswa suku Bugis yang berada dikota Bandung memiliki derajat culture shock yang berbeda-beda

• Mahasiswa suku Bugis yang berada dikota Bandung mengalami proses akulturasi yang di pengaruhi oleh karakteristik individu dan karaakteristik situasi.

• Mahasiswa suku Bugis yang berada dikota Bandung memiliki tipe akulturasi yang berbeda


(31)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian mengenai culture schock dan strategi akulturasi pada mahasiswa suku Bugis dikota Bandung, maka peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kebanyakan mahasiswa suku Bugis dikota Bandung memiliki derajat culture schock yang tergolong tinggi

2. Strategi akulturasi yang dominan diterapkan oleh mahasiswa suku Bugis dikota Bandung adalah separasi yaitu mahasiswa lebih memilih untuk mempertahankan budaya asalnya dan menolak budaya baru ditempat barunya.

3. Pada mahasiswa suku Bugis yang memiliki derajat culture schock yang tergolong tinggi, memiiki derajat yang tinggi pula pada aspek kecemasan karena adanya usaha untuk beradaptasi secara psikis, aspek perasaan kehilangan keluarga dan teman, aspek perasaan tidak berdaya karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan Bandung, aspek tidak memahami adanya perbedaan bahasa, kebiasaan, nilai/norma, dan sopan santun.


(32)

81

Universitas Kristen Maranatha 4. Pada mahasiswa suku Bugis yang memiliki derajar culture schock yang

tergolong rendah, memliki derajat yang tinggi pada aspek menolak dan ditolak oleh orang-orang yang ada dilingkungan baru, aspek kebingungan mengenai peran, nilai yang dianut, perasaan dan identitas diri.

5. Pada mahasiswa dengan derajat culture schock yang tergolong tinggi, dominan memilih separasi sebagai strategi akulturasi yang diterapkaan dalam kehidupan sehari-harinya.

6. Pada mahasiswa dengan derajat culture schock yang tergolong rendah, dominan memilih asimilasi sebagai strategi akulturasi yang diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Ilmiah

• Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini dengan menggunakan metode korelasi untuk melakukan penelitian mengenai culture schock dan strategi akulturasi pada budaya lain nya. • Bagi peneliti selanjutnya, hasil dari penelitian ini dapat dijasikan acuan

untuk melakukan penelitian guna mengetahui apakah ada hubungan atau pengaruh antara culture schock dengan strategi akulturasi.

• Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat membuat item tambahan atau membuat item-item baru untuk menambah inovasi dalam melakukan penelitian mengenai culture schock dan strategi akulturasi


(33)

82

• Untuk penelitian selanjutnya perlu adanya data penunjang tambahan sesuai dengan kerangka pikir.

5.2.2 Saran Praktis

• Bagi mahasiswa suku bugis dikota Bandung, penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi mengenai culture schock dan strategi akulturasi yang diterapkan oleh mahasiswa suku Bugis, dan diharapkan mereka dapat tetap melestarikan budaya Bugis namun tetap membuka diri untuk mengenal budaya Sunda.

• Bagi organisasi suku Bugis diseluruh kota Bandung hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi bagi organisasi yang bersangkutan mengenai culture schock dan strategi yang dipilih oleh mahasiswa suku Bugis dan dapat digunakan sebagai bahan pengarahan mahasiswa baru terutama yang berasal dari suku Bugis pada masa orientasi mahasiswa baru dengan cara menyusun program tentang pengenalaan budaya Sunda dan bagaimana cara beradaptasi di lingkungan baru agar para mahasiswa dapat tetap melestarikan budaya Bugis mereka, mempertahankan jati diri mereka namun tetap berusaha membuka diri untuk mengenal budaya setempat.


(34)

83

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Berry, John W, 2006, Acculturation Psychology, the cambridge handbook.

Berry, John W., et.al. 1999, Psikologi Lintas-Buday,: Riset dan Aplikasi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Koentjaraningrat, 1990, Penghantar Ilmu Antropologi Edisi baru, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Pelras, Christian, 2006, Manusia Bugis, Nalar, Jakarta.

Shiraev, Eric B, 2012, Psikologi Lintas Kultural Edisi keempat, Kencana, Jakarta. Siegel, Sidney, 1997, Statistik Nonparametrik untuk ilmu-ilmu Sosial, PT.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sugiyono. 2006. Statistika untuk penelitian. Bandung: alfabeta.

Surjadi, 2010, Masyarakat Sunda, Budaya & Problema, Alumni, Jakarta.

Ward, C. Bochner, S. & Furnham, A. 1986, Culturee Shock, Metheun, London and New york.

Ward, C. Bochner, S. & Furnham, A. 2001, The Psychology of Culture Shock, Routledge, USA and Canada


(35)

84

DAFTAR RUJUKAN

Bandung Sebagai Kota Pendidikan (online),

(http://www.bandung.go.id/images/download/Bandung_Termasuk_Kota_P

endidikan.doc, diakses pada tanggal 18 September 2013).

Universitas terbaik di Bandung (online), (http://www.dikti.go.id, diakses pada tanggal 18 September 2013).

Rendiani, Ririn. 2007. Studi Deskriptif Mengenai Culture Shock pada Mahasiswa Baru yang Berasal dari Luar Jakarta di STT “X”. Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha, Bandung.

Declan T,Berry. 2001. Development Of a New Scale for Measuring Acculturation: The East Asian Acculturation Measure (EAAM). Journal of Immigrant

Health

Charles L. Thompson.2006. Can You Go Home Again? A Phenomenological Investigation of Cypriot Students Returning Home After Studying Abroad. International Journal for the Advancement of Counselling, Vol. 28, No. 1

Yelda Bektas. 2009. Psychological Adaptation of Turkish Students at U.S. Campuses. International Journal of Counseling

Tim Dosen Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana. Edisi Revisi III. 2009. Baandung : Fakultas Psikologi Maranatha.


(1)

1.6 Asumsi

• Perbedaan kebiasaan dengan daerah asal yang dihadapi mahasiswa suku Bugis yang berada dikota Bandung.

Mahasiswa suku Bugis yang berada dikota Bandung mengalami culture shock yang di pengaruhi oleh tiga komponen yaitu komponen afeksi, komponen perilaku, dan

komponen kognitif.

Mahasiswa suku Bugis yang berada dikota Bandung memiliki derajat culture shock yang berbeda-beda

• Mahasiswa suku Bugis yang berada dikota Bandung mengalami proses akulturasi yang di pengaruhi oleh karakteristik individu dan karaakteristik situasi.

• Mahasiswa suku Bugis yang berada dikota Bandung memiliki tipe akulturasi yang berbeda


(2)

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian mengenai culture schock dan strategi akulturasi pada

mahasiswa suku Bugis dikota Bandung, maka peneliti dapat menarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Kebanyakan mahasiswa suku Bugis dikota Bandung memiliki derajat

culture schock yang tergolong tinggi

2. Strategi akulturasi yang dominan diterapkan oleh mahasiswa suku Bugis

dikota Bandung adalah separasi yaitu mahasiswa lebih memilih untuk

mempertahankan budaya asalnya dan menolak budaya baru ditempat

barunya.

3. Pada mahasiswa suku Bugis yang memiliki derajat culture schock yang

tergolong tinggi, memiiki derajat yang tinggi pula pada aspek kecemasan

karena adanya usaha untuk beradaptasi secara psikis, aspek perasaan

kehilangan keluarga dan teman, aspek perasaan tidak berdaya karena tidak

dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan Bandung, aspek tidak

memahami adanya perbedaan bahasa, kebiasaan, nilai/norma, dan sopan


(3)

4. Pada mahasiswa suku Bugis yang memiliki derajar culture schock yang

tergolong rendah, memliki derajat yang tinggi pada aspek menolak dan

ditolak oleh orang-orang yang ada dilingkungan baru, aspek kebingungan

mengenai peran, nilai yang dianut, perasaan dan identitas diri.

5. Pada mahasiswa dengan derajat culture schock yang tergolong tinggi,

dominan memilih separasi sebagai strategi akulturasi yang diterapkaan

dalam kehidupan sehari-harinya.

6. Pada mahasiswa dengan derajat culture schock yang tergolong rendah,

dominan memilih asimilasi sebagai strategi akulturasi yang diterapkan

dalam kehidupan sehari-harinya.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Ilmiah

• Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini dengan menggunakan metode korelasi untuk melakukan penelitian

mengenai culture schock dan strategi akulturasi pada budaya lain nya. • Bagi peneliti selanjutnya, hasil dari penelitian ini dapat dijasikan acuan

untuk melakukan penelitian guna mengetahui apakah ada hubungan atau

pengaruh antara culture schock dengan strategi akulturasi.

• Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat membuat item tambahan atau membuat item-item baru untuk menambah inovasi dalam melakukan


(4)

• Untuk penelitian selanjutnya perlu adanya data penunjang tambahan sesuai dengan kerangka pikir.

5.2.2 Saran Praktis

• Bagi mahasiswa suku bugis dikota Bandung, penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi mengenai culture schock dan strategi akulturasi yang

diterapkan oleh mahasiswa suku Bugis, dan diharapkan mereka dapat tetap

melestarikan budaya Bugis namun tetap membuka diri untuk mengenal

budaya Sunda.

• Bagi organisasi suku Bugis diseluruh kota Bandung hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi bagi organisasi yang bersangkutan mengenai

culture schock dan strategi yang dipilih oleh mahasiswa suku Bugis dan

dapat digunakan sebagai bahan pengarahan mahasiswa baru terutama yang

berasal dari suku Bugis pada masa orientasi mahasiswa baru dengan cara

menyusun program tentang pengenalaan budaya Sunda dan bagaimana

cara beradaptasi di lingkungan baru agar para mahasiswa dapat tetap

melestarikan budaya Bugis mereka, mempertahankan jati diri mereka


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Berry, John W, 2006, Acculturation Psychology, the cambridge handbook.

Berry, John W., et.al. 1999, Psikologi Lintas-Buday,: Riset dan Aplikasi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Koentjaraningrat, 1990, Penghantar Ilmu Antropologi Edisi baru, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Pelras, Christian, 2006, Manusia Bugis, Nalar, Jakarta.

Shiraev, Eric B, 2012, Psikologi Lintas Kultural Edisi keempat, Kencana, Jakarta.

Siegel, Sidney, 1997, Statistik Nonparametrik untuk ilmu-ilmu Sosial, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sugiyono. 2006. Statistika untuk penelitian. Bandung: alfabeta.

Surjadi, 2010, Masyarakat Sunda, Budaya & Problema, Alumni, Jakarta.

Ward, C. Bochner, S. & Furnham, A. 1986, Culturee Shock, Metheun, London and New york.

Ward, C. Bochner, S. & Furnham, A. 2001, The Psychology of Culture Shock, Routledge, USA and Canada


(6)

DAFTAR RUJUKAN

Bandung Sebagai Kota Pendidikan (online),

(http://www.bandung.go.id/images/download/Bandung_Termasuk_Kota_P endidikan.doc, diakses pada tanggal 18 September 2013).

Universitas terbaik di Bandung (online), (http://www.dikti.go.id, diakses pada tanggal 18 September 2013).

Rendiani, Ririn. 2007. Studi Deskriptif Mengenai Culture Shock pada Mahasiswa Baru yang Berasal dari Luar Jakarta di STT “X”. Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha, Bandung.

Declan T,Berry. 2001. Development Of a New Scale for Measuring Acculturation: The East Asian Acculturation Measure (EAAM). Journal of Immigrant

Health

Charles L. Thompson.2006. Can You Go Home Again? A Phenomenological Investigation of Cypriot Students Returning Home After Studying Abroad. International Journal for the Advancement of Counselling, Vol. 28, No. 1

Yelda Bektas. 2009. Psychological Adaptation of Turkish Students at U.S. Campuses. International Journal of Counseling

Tim Dosen Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Pedoman Penulisan

Skripsi Sarjana. Edisi Revisi III. 2009. Baandung : Fakultas Psikologi