Budaya Hukum dan Kita.

Pikiran
o Senin o Selasa
1
17
OJan

2
18

3
19
OPeb

4

5

0
6

20


21

o Mar

OApr

Rakyat

Rabu
0 Kamis 0 Jumat
7
8
9
10
11
22
23
24
25

26

OMei

OJun

OJul

o Sabtu
1~

~

.

13

Minggu

14


28
OOkt

0 Ags OSep

15

16

29
30
31
ONov
.Des

Budaya
Hukum dan Kita
_____ - _ZII _


-

-

- ;; -- -

-

-'

.

..

~.-.----

HARRY SUllJANAl"PR"

PENGAMAT budaya Miranda Risang Ayu (kanan) menyampaikan paparannya pada diskusi hukum dan budaya di Aula Redaksi
"Pikiran Rakyat", Jln. Soekarno-Hatta 147 Bandung, Selasa (22/12). Diskusi dalam rangka refleksi akhir tahun tersebut menghadirkan


-

~

juga pembicara (dari kiri) Hawe Setiawan,Acep Zamzam Noor, moderator SetiyajiPurnasatmoko, dan GustaffH. Iskandar. *
ERBUDAYA
hukurnkah kita?
Menunrt
Lawrence Friedman, budaya
hukum bisa diartikan sebagai pola pengetahuan, sikap, dan perilaku sekelompok masyarakat terhadap sebuah sistem hukum. Dari polapola tersebut, dapat dilihat tingkat integrasi masyarakat tersebut dengan sistem hukum terkait. Secara mudah, tingkat integrasi ini ditandai dengan tingkat pengetahuan, penerimaan,
kepercayaan, dan kebergantungan mereka terhadap sistem hukum itu.
Dalam masyarakat yang tingkat integrasi dengan sistem hukumnya tinggi, anggota-anggotanya memiliki pengetahuan hukum umum yang relatifbaik,
merasa bahwa sistem hukum itu
adil dan mewakili kepentingan
mereka, dan percaya bahwa sistern itu dapat dijadikan sandaran untuk mencapai kebutuhan
mereka akan kepastian hukum
gan pemenuhan rasa keadilan.

Mereka pun mempergunakanmeminjam istilah Mochtar Kusumaatmadja da).ampendefinisian hukum- nilai-nilai, prosesproses, dan institusi-institusi hukum dalam kehidupan keseharian mereka. Mereka merupakan

pendukung utama sistem hukum yang baik. Kalaupun mereka hams bersikap kritis terhadap kekurangan yang ada dalam
sistem hukum itu, mereka melakukannya melalui prosedur-prosedur yang telah disediakan, dengan cara santun, mengembangkan, dan bukannya mengancam keutuhan sistem itu sendiri. Friedman juga menyatakan, meskipun pola-pola ini
unik pada setiap individu, biasanya, ada kemiripan pola antaranggota suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu dibandingkan dengan anggota
suatu bangsa atau kelompok
masyarakat lain.
Pertanyaan ret1ektifpun jadi
mengemuka. Seberapa berbudaya hukurnkah kita? Seberapa
tinggikah tingkat integrasi kita
dengan sistem hukum yang kini
positifberlaku? Su$hkah ang-

Klloinn

Hllmn~

1I""n~

gota masyarakat jeIata sampai
pejabat-pejabat negara punya
pengetahuan hukum yang cukup? Kalau ya, apakah mereka

merasa bahwa sistem hukum itu
adil dan mewakili kepentingan
mereka? Jika ada kontlik kepentingan atau gejolak dalam masyarakat, apakah mereka lalu
menempuh prosedur-prosedur
hukum yang baik untuk menyelesaikannya? Percayakah mereka terhadap sistem hukum yang
kini positifberlaku, sambil
mengambil bagian secara positif
dalam gelombang reformasi hukum yang tengah teIjadi?
£sensi dari sederet pertanyaan itu sesungguhnya satu saja:
paham dan percayakah kita terhadap sistem hukum? Dan efekbalik dari pertanyaan ini bisa jadi genting: karena hukum hanya
mungkin ada oleh manusia, maka apakah kita, selaku persona
yang punya kecerdasan pikir
dan hati untuk membuat, melaksanakan, dan menegakkan
hukum, juga punya kualitas
yang layak dipercaya?
diri "kita"yang
Bagian

~


?nnQ

bertugas membuat hokum adalab para wakil kita, yang kini duduk sebagai anggota badan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), baik di tingkat pusat
maupun daerah. Jika pun mereka kini cukup legitimatifkarena
sudah dipilih melalui mekanisme demokratis pemilihan umum
dan bukan lantaran garis keturunan atau persaudaraan saja,
bagaimana kapasitas mereka?
Syarat utama dari para wakil
rakyat itu tentu saja bahwa pertama, mereka barns memiliki
idealisme yang meluas danjauh
lebib tinggi dari pada sekadar pemenuhan kepentingan pn'badi
mereka sendiri.
Kedua, mereka punya karakter yang cukup kuat untuk selalu
berani dan taban menomorduakan kepentingan pn'badi, demi
kepentingan masyarakat yang Iebib besar. Hanya dengan karakter yang kuat inilah, perilaku politik mereka untuk meraih kekuasaan dapat tetap teIjaga untuk tujuan utama kesejahteraan
masyarakat luas, dan bukan terjerumus ke dalam parodi kucing
rebutan tulang sabanjam makan
menjelang.

Karakter yang kuat ini pun
belum cukup. Pertanyaan selanjutnya adalah tabukah mereka,
sebetulnya kepentingan masyarakat yang mereka wakili itu
apa? Cukup dekatkah mereka
dengan rakyat yang diwakilinya,
hingga mereka tidak hanya tabu,
tetapijuga paham, dan bahkan
mampu menjadi bagian yang
meretas derita masyarakat yang
tersungkup di pojok-pojok gelap

peradaban?

.

Jika empati sosial sudah cukup mendarah daging, masib
ada satu pertanyaan teknis yang
efeknya tidak main-main di raoab hokum: mampukah mereka
menuangkan pemahaman dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang tepat dan
efektif impelentasinya?

Pertanyaan-pertanyaan seputar kekuatan karakter, empati sosial, dan tingkat pengetahuan
dan keterampilan teknis tersebut, bisa ber.!.ll~ e,ada pujian

tetapi juga tikaman. Dan dengan
detail yang berbeda, pertanyaanpertanyaan itu bisa dialamatkan
juga kepada para pelaksana hukum dan penegak hokum. Pelaksana hokum adalah para pejabat
eksekutif di tingkat pusat maupun daerah, baik presideD,wakil
.

tujuan pemberdayaan dan penyejahteraan optimal seluruh
masyarakat. Pola-pola ini biasanya tercermin dalam tata organisasi yangjelas, legitimatif, bersib, cepat tanggap, dan transparan. Jika koreksi atau kritik datang, struktur dan mekanisme
keIja organisasi-organisasi ini
semakin efektif dan efisien, dan
bukannya defensif dan porakporanda.
Aspek terakhir tetapi mungkin justru yang terpenting adalab identitas. Dari nilai-nilai dan
pola perilaku tertentu, kita bisa
tabu dan memberitabu, siapa kita. Semakin kuat dan mengakar
identitas yang terbangun, semakin kuat pula pengaruhnya terhadap pembentukan karakter
masyarakat, baik sebagai persona, maupun bangsa. Identitas
ini tentu bisa diraba dari wujudwujud nyata, atau artefak, dari

tata nilai dan pola perilaku berbudaya hokum tersebut
Budaya hukum yang baik,
akan membuat anggota masyarakat pendukungnya mampu
berekspresi secara baik, positif,
dan kreatif. Budayahukum yang
baik, akan menghasilkan kaIyakaIya terbaik. Dan wujud rekam
jejak dari kaIya-kaIya terbaik ini
bersifat ikonik, yakni terpelihara,
berkembang, dan tetap dikenang
dan bermanfaat maknanya, seiring dengan peIjalanan waktu.
Karya-kaIya itu bisa belWUjud
kebijakan, kearifan, sistem penyembuhan, perayaan, dan berbagai ragam kesenian, hingga
kaIya-kaIya material, dari mulai
perkakas sederhana Gnikinovatif, sampai alat transportasi dan
komunikasi, struktur lanskap

presiden,menteri,danpejabat
pelaksana di bawahnya, maupun
pemerintab daerah Provinsi,kabupaten, kota, hingga desa. Penegak hukum? Tentu saja para
pejabat yang terlibat dalam proses peradilan, baik polisi,jaksa,
maupun hakim, di semua tingkat Pengacara termasukjuga di
dalamnya. Tahukah, pahamkah,
empatikah, dan mampukah mereka melaksanakan amanat rakyat; rakyat yang merupakan
muara pelayanan, dan bukannya
objek manipulasi mimpi pribadi
mereka?
**

IALU, di manakah rakyat?
Rakyat adalah kita. Kitabagian
dari rakyat. Pada kita: pada kecerdasan, ketabahan, kelenturan, sekaligus kegigihan .kita menyikapi perubahan dan perbedaan secara progresif sekaligus damaioHukum, mestinya, menjadi
nilai-nilai yang bukan hanya tertulis di atas kertas, tetapi juga bisa diindera. Alasannya sederhana saja, karena sebagai sistem
nilai, hukum mestinya memang
tidak hanya tertulis, tetapi dipahami, dihayati, dilakukan, dan
singkatnya, dipersaksikan, pada
awal hingga akhir tiap tindakan
subjek-subjeknya.
Jika nilai-nilai ini sudah mewujud dalam tingkah laku yang
tidak hanya ''baik karena kebetulan sedang baik", tetapi menjadi pola sikap dan perilaku yang
menetap, maka efeknya pun
akan terasa dalam interaksi personal maupun organisasional.
Artinya, efek langsung darinya,
akan membuat berbagai bentuk
pengorganisasian diri, dari organisasi siswa, rukun tetangga,
lembaga swadayamasyarakat,
hingga berbagai institusi formal
di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial sampai
organisasi politik dan media,
menjadi efektif dan efisien,bagi

--

-

,

danbangunan,yangprofun
maupun sakral, seperti mesjid,
gereja, candi, atau pagoda. Pertanyaannya kemudian, di manakah semua kaIya ikonik itu berada. Masih terpelihara, dikembangkan, dan terlindungi secara
optimal, atau hanya tersisa dalam ingatan yang usang?
Singkatnya, dari perspektif
hokum, kita barn bisa mengklaim bahwa diri kita berbudaya,jika hokum positif yang berlakujuga merupakan hukum

yang hidup, tidak hanya di luar,
tetapi di dalam diri kita. Hukum
yang baik dan adil, mewarnai sikap keseharian dan profesional
kita, hingga tindakan kita untuk
mengoreksi hukum pun, merupakan bagian dari dinamika hukum yang memperkuat terbo
hokum, dan bukan inenghancurkannya.
**

KARENA adagium sederhana "tak kenal maka tak sayang"
berlaku di sini, maka sebelum
menelisik pertanyaan ini, ada
pertanyaan pendahuluan: kepada budaya kita, kenalkah kita?
Dengan asumsi bahwa budaya mencakup sistem nilai, pola
perilaku bermasyarakat, dan artefak-artefaknya, maka kemampuan mengenal tentu bertumpu
kepada kejelasan identitas. Jika
kita masyarakat Indonesia, cukupkah sila-sila Pancasila dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea N
menjadi dasar seluruh nilai-nilai
kita, yang tidak hanya bhinneka,
tetapi juga potensial menimbulkan prahara? Jika ya, mekanisme demokrasi apakah Yangharns ditumbuhkan, yang tidak
hanya memberi ruang untuk
berbeda, tetapi juga stimulus
untuk saling menjaga?
Lalu, strategi kebudayaan
apakah yang dapat secara optimal merangsang sekaligus melindungi setiap kaIya kreatif
anak bangsa, sebagai salah satu
bagian yang paling kasat mata
dari identitas kita, baik di mata
kita sendiri, maupun ill mata
dunia?
Jika kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tidak hanya secara emosional-reaktif dan pesimistik, tetapi juga
analitik-konstruktif dan futuristik, baik dalam ranah pribadi,
sosial, maupun struktur hukum,
ekonomi, dan sosial politik,
mungkin kita baru layak mendalat, bahwa kita menyayangi budaya kita. ***

MIRANDA RISANG
AYU,
pemerhati hak kebudayaan
dan kekayaan intelektual, kopenan tan- tradisi.
-lumnis, dan----