BUDAYA HUKUM SENI HUKUM DAN SISTEM HUKUM

BUDAYA HUKUM, SENI HUKUM DAN SISTEM HUKUM
1. Yang dimaksud dengan budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat
tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap
nilai-nilai dan perilaku hukum. Jadi suatu budaya hukum menunjukkan tentang pola perilaku
individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama
terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan (Hadikusuma, 1986).
Diketahuinya budaya hukum masyarakat setempat merupakan bahan informasi yang
penting, artinya untuk lebih mengenal susunan masyarakat setempat, sistem hukum,
konsepsi hukum, norma-norma hukum dan perilaku manusia. Budaya hukum bukan
merupakan budaya pribadi melainkan budaya menyeluruh dari masyarakat tertentu
sebagai satu kesatuan sikap dan perilaku. Oleh karenanya dalam membicarakan budaya
hukum tidak terlepas dari keadaan masyarakat, sistem dan susunan masyarakat yang
mengandung budaya hukum tersebut. Budaya hukum merupakan tanggapan yang bersifat
penerimaan-penerimaan atau penolakan terhadap suatu peristiwa hukum. Ia menunjukkan
sikap perilaku manusia terhadap masalah hukum dan peristiwa hukum yang terbawa ke
dalam masyarakat (Hadikusuma, 1986).
Tipe budaya hukum dapat dikelompokkan dalam tiga wujud perilaku manusia dalam
kehidupan masyarakat yaitu:
(1) Budaya parokial (parochial culture)
 Pada masyarakat parokial (picik), cara berpikir para anggota masyarakatnya masih
terbatas, tanggapannya terhadap hukum hanya terbatas dalam lingkungannya sendiri.

Masyarakat demikian masih bertahan pada tradisi hukumnya sendiri, kaidah-kaidah
hokum yang telah digariskan leluhur merupakan azimat yang pantang diubah. Jika
ada yang berperilaku menyimpang, akan mendapat kutukan. Masyarakat tipe ini
memiliki ketergantungan yang tinggi pada pemimpin. Apabila pemimpin bersifat
egosentris, maka ia lebih mementingkan dirinya sendiri. Sebaliknya jika sifat
pemimpinnya altruis maka warga masyarakatnya mendapatkan perhatian, karena ia
menempatkan dirinya sebagai primus intervares, yang utama di antara yang sama.
Pada umumnya, masyarakat yang sederhana, sifat budaya hukumnya etnosentris,

lebih mengutamakan dan membanggakan budaya hukum sendiri dan menganggap
hukum sendiri lebih baik dari hukum orang lain (Kantaprawira, 1983).
(2) Budaya subjek (subject culture)
 Dalam masyarakat budaya subjek (takluk), cara berpikir anggota masyarakat
sudah ada perhatian, sudah timbul kesadaran hukum yang umum terhadap keluaran
dari penguasa yang lebih tinggi. Masukan dari masyarakat masih sangat kecil atau
belum ada sama sekali. Ini disebabkan pengetahuan, pengalaman dan pergaulan
anggota masyarakat masih terbatas dan ada rasa takut pada ancaman-ancaman
tersembunyi dari penguasa. Orientasi pandangan mereka terhaap aspek hukum yang
baru sudah ada, sudah ada sikap menerima atau menolak, walaupun
cara pengungkapannya bersifat pasif, tidak terang-terangan atau masih tersembunyi.

Tipe masyarakat yang bersifat menaklukkan diri ini, menganggap dirinya tidak
berdaya mempengaruhi, apalagi berusaha mengubah sistem hukum, norma hukum
yang dihadapinya, walaupun apa yang dirasakan bertentangan dengan kepentingan
pribadi dan masyarakatnya (Kartaprawira, 1983).
(3) Budaya partisipant (participant culture)
Pada masyarakat budaya partisipan (berperan serta), cara berpikir dan berperilaku
anggota masyarakatnya berbeda-beda. Ada yang masih berbudaya takluk, namun
sudah banyak yang merasa berhak dan berkewajiban berperan serta karena ia merasa
sebagai bagian dari kehidupan hukum yang umum. Disini masyarakat sudah merasa
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan
pemerintahan. Ia tidak mau dikucilkan dari kegiatan tanggapan terhadap masukan dan
keluaran hukum, ikut menilai setiap peristiwa hukum dan peradilan, merasa terlibat
dalam kehidupan hukum baik yang menyangkut kepentingan umum maupun
kepentingan keluarga dan dirinya sendiri. Biasanya dalam masyarakat demikian,
pengetahuan dan pengalaman anggotanya sudah luas, sudah ada perkumpulan
organisasi, baik yang susunannya berdiri sendiri maupun yang mempunyai hubungan
dengan daerah lain dan dari atas ke bawah (Kantaprawira, 1983).
Budaya hukum, sebagaimana diuraikan, hanya merupakan sebagian dari sikap dan
perilaku yang mempengaruhi sistem dan konsepsi hukum dalam masyarakat setempat.
Masih ada faktor-faktor lain yang juga tidak kecil pengaruhnya terhadap budaya hukum


seperti system dan susunan kemasyarakatan, kekerabatan, keagamaan, ekonomi dan
politik, lingkungan hidup dan cara kehidupan, disamping sifat watak pribadi seseorang
yang kesemuanya saling bertautan (Hadikusuma, 1986).
2. Yang dimaksud dengan seni hukum adalah ungkapan budaya hukum yang bersifat seni yang
penjelmaannya dalam bentuk seni kata, seperti perlambang benda atau pepatah dan pribahasa
(Hadikusuma, 1986).
Seni hukum selalu ada pada setiap tingkat msyarakat, karena tidak ada pergaulan manusia tanpa
hukum, hukum terdapat pada masyarakat sederhana dan masyarakat beradab, baik dalam
masyarakat barat maupun masyarakat timur.
Contoh:
a. Traffic Lights (lampu lalu lintas)
Lampu lalu lintas terdiri atas warna merah yang memiliki arti berhenti, ketika lampu
merah menyala maka semua kendaraan tidak boleh melintas. Kemudian warna hijau
yang memiliki arti maju, ketika lampu hijau menyala maka semua kendaraan
diperbolehkan untuk maju, dan kemudian lampu bewarna kuning yang menandakan
hati-hati, bisa juga sebagai pertanda siap-siap, biasanya setelah lampu hijau menyala
maka akan menyala lampu warna kuning terlebih dahulu sebagai pertanda akan
menyalanya lampu warna merah. Lampu lalu lintas ini merupakan sebi hukum, ketika
peraturan dikemas dengan berbentuk symbol yang symbol tersebut di ketahui oleh

masyarakat dan masyarakat mematuhinya, jika dilanggar maka akan ada
konsekuensinya.
b. Semboyan “orang bijak taat pajak”, dimana hukum dikemas dengan seni berupa
semboyan. Kata tersebut menyampaikan kepada masyarakat bahwa orang-orang yang
membayar pajak adalah orang-orang bijak, jika masyarakat yang tidak taat pajak
maka bukan golongan tersebut. Semboyan tersebut memberikan makna akan
kepatuhan diri terhadap Negara, dan hukuman yang diberikan berupa pertentangan
batin atas kesadaran diri masyarakat.

3. System hukum merupakan gabungan kata dari system dan hukum, yang mana system adalah suatu
cara yang mekanismenya mempunyai pola yang tetap dan bersifat otomatis. Jadi suatu system
berarti suatu pertautan kegiatan yang mekanismenya tetap dengan unsure-unsurnya, dimana yang
satu dan yang lain berfungsi tidak menyimpang dari porosnya.
Jadi yang dimaksud system hukum adalah suatu cara yang mekanismenya berpola pada hukum
ideal yang tetap, dalam ruang lingkup yang terbatas pada masyarakat daerah (desa) tertentu
(hadikusuma).
Untuk komponen sistem hukum, pendapat yang sering dijadikan rujukan adalah apa yang
dikemukakan oleh Friedman (selain Mustofa dan Suherman, juga Acmad Ali (2003: 7dst)), yang menyatakan bahwa sistem hukum meliputi substansi, struktur, dan budaya
hukum.
Konsepsi hukum adalah gejala atau segi-segi tertentu atau merupakan lambang dari suatu gejala

hukum yang tradisional, sebagaimana telah dikemukakan bercorak keagamaan, kebersamaan
(komunal), serba kongkrit dan visual, tetapi terbuka dan sederhana.
Konsepsi hukum yang bercorak keagamaan adalah prilaku masyarakat yang berlatar belakang
pada adnaya TYME, masih percaya kepada kekuatan ghaib, adanya roh-roh leluhur yang selalu
memperhatikan prilaku anak cucu yang masih hidup.
Konsepsi hukum yang bercorak kebersamaan (komunal) terlihat dari masyarakat yang berlatar
belakang pola ideal tradisional, yaitu asas kekeluargaan tolong-menolong, dimana kehidupan
manusia itu bersifat altruis yang tidak semata-mata mementingkan diri sendiri tetapi juga
mementingkan kepentingan orang lain.
Konsepsi hukum yang bercorak konkret dan visual terlihat dari lembaga dan perilaku warga
masyarakat yang sederhana, yang menginginkan apa yang yang dihadapi berlaku dengan terang
dan tunai tidak tersembunyi.
Konsepsi hukum yang bersifat terbuka dan sederhana terlihat dari lembaga dan kenyataan prilaku
warga masyarakat. Terbuka artinya hukum dapat menyesuaikan dengan keadaan waktu dan

tempat, tidak tertutup kemungkinan untuk menerima perubahan karena pengaruh dari luar, asal
saja tidak bertentangan dengan hal-hal yang asasi.
Pengertian Budaya Hukum. Budaya hukum adalah keseluruhan faktor yang menentukan
bagaimana sIstem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik
masyarakat umum. Elemen budaya hukum (legal culture) yang harus diartikan sebagai people’s

attitudes toward law and the legal system – their beliefs, values, ideas, and expectations. Dengan
kata lain, hal ini merupakan bagian dari general culture yang berkaitan dengan sistem hukum,
antara lain tentang pernyataan bahwa masyarakat kalangan bawah tidak percaya kepada
pengadilan; masyarakat lebih memilih menyelesaikan perkara di luar pengadilan dari pada di
pengadilan; cybercrime di lingkungan perbankan banyak yang tidak dilaporkan untuk menjaga
kredibilitas perusahaan. Dengan demikian, legal culture merupakan "whatever or whoever
decides to turn the machine (the legal structure) on and off, and determines how it will be used".

persoalan yang mendasar di Indonesia ialah legal culture atau budaya hukum yang belum
berjalan dengan baik.Di Indonesia para pelaku korupsi malah tanpa punya rasa bersalah dan
malu lagi dan tampil di media layaknya selebriti. Hal ini yang sangat memprihatinkan di negara
indonesia karna dari masyarakat sampai kepada para pejabat negara sudah tidak punya rasa malu
dan budaya tertib. Kejujuran dan sikap disiplin merupakan barang mahal yang sulit ditemukan
pada saat ini. Seperti membuang sampah tidak pada tempatnya,menyuap penegak hukum pada
saat melanggar peraturan lalu lintas merupakan salah satu contoh terkecil dari berbagai persoalan
yang kompleks. Dalam hal ini Indonesia harus banyak belajar dan berkiblat dari negara-negara
maju dan disiplin.
Peranan Budaya Hukum Dalam Penegakan Hukum
Penegakan hukum bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri, melainkan ia saling berkait dengan
masalah-masalah sosial masyarakat lainnya. Artinya hukum bukan hanya sebagai sistem nilai,

tetapi juga hukum sebagai sub sistem dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat
dimana hukum diberlalakukan



Hukum sebagai suatu sistem, Latar belakang pemahaman hukum sebagai suatu sitem
tidak lain adalah agar kita dapat memahami hukum secara komprehensif, tidak sepotongpotong dan parsial. Makna dasar sistem yaitu :

1. Selalu berorientasi pada tujuan;
2. Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dan bagian-bagiannya;
3. selalu berorientasi dengan sistem yang lebih besar;
4. bekerjanya bagian dari sistem sosial itu menciptakan sesuatu yang berharga.
Shrode dan Voich mendefinisikan sistem sebagian schorde a set of interreladed parts,
working independently and jointly, in parsuit of common objective of the whole within a comply
environment
Dari urain diatas, schore dan Voich ingin memaparkan bahwa persoalan hukum itu rumit
dan kompleks yaitu hukum bukan hanya sebagai sistem nilai, tetapi juga hukum sebagai sub
sistem dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat dimana hukum diberlalkukan .
Hukum sebagai sitem dapat dijabarkan bahwa hukum secara hirarkis dipayungi oleh norma dasar
tertinggi (groundnorm) yang berperan memberi isi, substansi, dasar,norma-norma dibawahnya

sehingga norma hukum tidak lain adalah penjabaran, break down dari groundnorm, pancasila”
dan norma hukum tidak boleh bertentangan dengan “groundnorm” “pancasila’


Hukum sebagai sub sistem nasional, mengandung pengertian bahwa hukum bukan hanya
sistem tunggal dalam masyarakat, berdiri sendiri, otonom independent melainkan bagian
dari sub sistem sosial lainnya seperti ekonomi, politik, sosial, budaya dan konsekuensi
hukum sebagai bagian dari sub sistem sosial lainnya tentunya terasa ganjil tidak lengkap
tanpa memahami system sosial lainnya, tak bekerjanya sistem ekonomi mustahil hukum
tegak dan sebaliknya rakyat tidak akan nyaman, aman, mencari penghidupan layak jika
hukum tidak tegak.



Hukum sebagai sistem nilai sekaligus sebagai sub system dari sistem sosial sebenarnya
menjabarakan bahwa hukum merupakan das sein dan das solen disisi lainnya antara das
sein dan das sollen tidak mudah dipertemukan bahkan seringkali bertolak belakang
dengan perilaku hukum masyarakat yang seharusnya. Sulitnya penyelarasan hukum
sebagai “sein” dan hukum sebagai “solen” tidak terlepas drai faktor-faktor non yuridis
yang hidup dan berkembang yang salah satunya dalah kultur hukum. Budaya sebagai

produk masyarakat amat beragam dan berbeda tidak hanya masyarakat satu dengan
lainnyapun berbeda sehingga akibat tingkatan-tingkatan sosial dalam lingkungan
misalnya budaya hukum seorang pedagang dengan guru, sopir dengan pegawai dan
sebagainya

L. Friedman menjabarkan komponen sistem hukum meliputi
1. strukur
2. substansi dan

3. kultur hukum.
Diantara ketiganya harus berjalan beriringan yaitu struktur harus kuat, kredibel, akuntabel dan
capabel. Substansi harus selaras dengan rasa keadailan masyarakat sedang budaya hukumnya
harus mendukung tegaknya hukum jika salah satunya timpang, misal struktur aparat (law
unforercement officer) tidak akuntable, kredible dan capable mustahil hukum bias ditegakkan.
Komponen-komonen yang mempengaruhi penegakan Hukum
Hukum ditegakkan tidak melulu mempertahankan pola lama, “status quo” tetapi juga rekayasa
sosial, mengalokasikan keputusan politik, penciptaan pola baru bahkan sebagai alat
pengefektifan pencapaina tujuan nasional. Namun tujuan dan fungsi hukum itu seringkali tidak
seperti yang diharapkan tiada lain karena banykany faktor baik yang berasal dari dalam sistem
hukum maupun di luar sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Faktor berasal

dari dalam sistem hukum seperti aparat yang tidak capable, kredibel dan akuntabel, poltik
penguasa yang tidak mewakili rasa keadailan masyarakat artinya apa yang diinginkan oleh
hukum berbeda dengan keinginan masyarakat. Roscoe pound menyebut dengan istilah
kesenjangan Law in the books dan law in action. Chamblis dan Seidman menyebut “The Myth
of the operation of the law to given the hie dailcy”
Terjadinya ketimpangan , diskresi antara hukum “solen” dengan hukum”sein” bias terjadi karena
aparat penegk hukum sudah terwujud masyarakat beraksi menolaknya, dengan berbagai cara
seperti memprotes, melanggar, bahakn tidak menghiraukannya. Faktor diluar sistem hukum
berasal dari kesadaran hukum masyarakat dan perkembangan dan perubahan sosial, politik
hukum penguasa, tekanan dunia internasional, maupun budaya hukum masyarakat.
Dengan kata lain hukum tegak jika seluruh komponen sistem hukum bekerja sama. Namun jika
salah satu absent, tidak bekerja sebagai sebagaimana mestinya apakah aparatnya, hukumnya
maupun masyarakat. Maka hukum yang tegak hanya sebuah angan-angan belaka
Aparat/legislator dianggap “absent” jika dalam law making process nilai-nilai masyarakat
direduksi, disimpangi hasilnya hukum hanya menguntungkan golongan tertentu, kelas tertentu,
persekutuan –persekutuan tertentu, penguasa, orang-orang kaya dan sebagainya. Dalam
penegakannya (law inforcement process) aparat mudah disuap, dieli, suka menjungkir balikkan
fakta, membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.
Disisi lain masyarakatnya mengembangkan budaya yang tidak kondusif dan mendukung
tegaknya hukum seperti main hakim sendiri, tidak bersahabat dengan aparat untuk mencegah

penyimpangan, pengabaian hukum dan sebagainya, maka hakikat system sebagai keteraturan
hanya mitos yang terjadi justru konflik dalam sistem hukum karena masing-masing komponen,
elemen, sub system memilki kontribusi rapuhnya penegakan hukum, selain frieman, Sorjono
Soekanto juga memaparkan beberapa factor yang mempengaruhi legendanya hukum, faktor
hukumnya, penengak hukumnya, sarana dan prasarana, masyarakatnya dan budayanya.


Hukum dan struktur masyarakat

Hukum dan masyarakat berhubungan secara timbal balik, karena hukum sebagai sarana
pengantar masyarakat, bekerja di dalam masyarakat dilaksanakan oleh pula oleh masyarakat.
Hubungan tersebut bisa bersifat simbiosis muatualistis yaitu mendukung tumbuh dan tegaknya
hukum maupun sebaliknya bersifat parasitis, yaitu menghambat tumbuh berkembang dan

tegaknya hukum. Emile Durkem menjabarakan hubungan fungsional anata hukum dan
masyarakat dengan lebih dahulu mengelompokkan masyarakat menjadi dua yaitu “solidaritas
organic dan masyarakat berbasis :solodaris mekanik” Masyarakat “solidaritas Mekanik” ciri
khasnya adalah kebersamaan gotong royong dengan hukumnya yang represif, filosofis hanya
dengan hukum yang menekan dan repressif kebersamaan dapat dipertahankan. Dalam
masyarakat “solodaritas Organik” masyarakatnya individualis, mengutamakan kebebasan para
anggotanya, sehingga hukumnyapun dibuat sesuai dengan keinginan, tujuan dan cita-citanya dan
hasilnya hukum tidak lagi bersifat represif melainkan persuasive fasilitatif, proaktif dan restitutif.
H.L.A Hart mencoba membaha altenatif tingkat perkembangan masyarakatyaitu “primary Rules
of Obligation” dan “secondary Rules of Obligation” yang pertama bercirikan peraturan dalam
masyarakat tidak begitu terperinci dan resmi tak mengenal diferensiasi dan spesialisasi badan
penegak hukum karena habitat hukumnya adalah komunitas kecil dengan tingkat homogenitas
yang tinggi baik aspek tujuan, kepentingan maupun orang-orangnya sehingga peraturan yang
sederhana itu diras cukup menjamin keberlangsungan system sosialnya.
Type masyarakat kedua adalah sangat meninggiinya spesialisasi, disertifikasi di bidang hukum
seperti apa saja yang merupakan “Rules of recognition” tata cara perubahannya “ rule of change”
serta bagaimana sengketa diselesaikan “rules of adjudication” type ini. Sebagai konsekuensi
masyarakat maju dan modern dengan masyrakatnya yang homogenitasnya rendah baik ras, etnis,
pekrjaan, asosiasi, tujuan dan sebagainya.
Jadi dengan pentipologian masyarakat diharapkan hukum harus jeli, artinya hukum yang
bagaimana yang cocok, bagaimana penegakannya agar sejalan dengan tingkat perkembanagan
masyarakat itu, dengan kata lain hukum harus selalu siap untuk berubah menyesuaikan diri
dengan masyarakat.
Pada dasarnya kelas yang tinggi “modern” dimana hubungan antar anggotanya lebih bersifat
solidaritas organik, maka hukum tidak cukup dijalankan oleh intitusi informal, kepada adapt dan
sebaginya tetapi memberikan perangkat yang jelas, tegas, rasional yang dibentuk khusu ubtuk itu
yaitu birokrasi. Institusi inilah sebagai dynamo penegakan hukum. Dalam institusi ini masih
dispesialisasi menurut kompetensi tertentu seperti masalah pidana, perdata, administrasi dan
sebainya, namun di Indonesia tampaknya tidak seperti itu, artinya perubahan, perkembangan
masyarakatnya titik puncaknya kerika kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, pada
masa ini segala urusan yuridis dimodernisasi secara cepat dan kilat yang serba tertulis, bernilai
universal dan territorial, tetapi masyarkatnya terabaikan.
Akibatnya hukum dan masyarakat terjadi paradok, senjang yaitu hukum relative modern, namun
tidak didukung mayarakat yang modern pula, padahal konseusensi merenrapkan hukum modern
tidak hanya sekedar transfer cetak comot sana, comot sini tetapi membutuhkan prasyaratprasyarat tertentu seperti sumber daya manusia yang siap, terlatih, terdidik, berwawasan luas,
berbudaya egalitarian, tetapi realitasnya budaya kita masih primordial, patriomonial maupun
feodal. Akibatnya secara formal hukumnya modern namun substansi orangnya masih jauh dari
katagori modern.
Fonemena ini merupakan kesalahan yang berawal dari paradigam revolutif “perubahan cepat”
yang tergiur dengan peforma system Negara lain apakah itu system hukum, politik, sosial dan
sebagainya missal dalam system poloto, sebelum kemerdekaan system politik bangsa Indonesia
adalah kerajaan yang bersendikan “sendiko Dawuh” Sabdo Pandito Ratu” dalam menjalankan
tugas. Intitusi pelaksanaannya tidak terlembagakan melainkan personal yaitu diembani oleh
individu, seperti patih, tumenggung, adipati dan sebaginya. Setelah kemerdekaan realitas politik

itu dipangkas, diganti dengan model system poltik modern yang terlembagakan seperti MPR,
DPR, MA, BPK dan sebainya.
Menghadapi situasi dan model politik ini, tampaknya bangsa ini mengalami shock, kaget dn
belum begitu siap mengapresiasikannya, akibatnya lembaga formal itu tidak mampu
menjalankan fungsi sejati lembaganya. Di sisi lain aspek sosialnya juga mengalami revolusi guna
menyelaraskan diri dengan aspek politiknya. Demokrasi tampaknya menjadi solusi, tetapi bangsa
ini masih kaku, wagu dan tidak terampil memrankan demokrasi, alsannya demokrasi sebagai
system sosial poltik bukan sesuatu yang instant, mendadak dan otodidak tetapi membutuhkan
proses pendewasaan secara evolutif seluruh elemen bangsa (rakyat juga pejabat)
Pendewasaan itu meliputi aspek daya piker dengan sikap dan perlilaku yaitu perilaku egalitarian,
penghormatan HAM, imbalan berdasarkan prestasi hubungan yang bersifat kontrak, sedangkan
bangsa Indonesia masih bersifat feudal dengan budaya pengkedepana aspek geonolgis da ripada
prestaasi sehingga demokrasi berjalan secara formal, secara substansi tetap feudal, patrimonial
dan paternal.


Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Fungsi Hukum

Kehidupan manusia dewasa ini hampir tidak ada yang steril dari hukum, semua lini
kehidupanpun dijamahnya, artinya hukum sebagai penormaan perilaku sangat penting agar
perilaku masyarakat tidak menyimpang. Peran hukum sangat tergantung pada negaranya. Pada
Negara berkembang hukum mengambil peran sebagai kontrol sosial sekaligus sebagai penggerak
tingkah laku kearah tujuan nasional yaitu peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial. Agar
perilaku masyarakat tidak berseberangan dengan hukum tentunya dibutuhkan kesadaran
masyarakt secara total untuk patuh dan taat pada hukum. Kesadaran itu merupakan jembatan
penghubung antara hukum dengan perilaku masyarakat.
Kesadaran hukum menurut Friedman terkait erat dengan budaya hukum masyarakatnya dengan
kata lain dapat dijelaskan bahwa tingkat kesadaran hukum masyrakat tinggi atau rendah dapat
dilihat pada budaya hukumnya, jika budaya hukumnya cenderung posisitf, proaktif terhadaap
cita hukum tentu masyarakatnya memilki kesadaran hukum yang tinggi. Dalam hal ini fungsi
hukum mengalami perluasan yang mulanya sebagai kontrol sosial dan pemertahanan pola sosial
bergesr e arah perubahan tingkah laku yang dikehendaki hukum. Jika demikian dapat
digeneralisasikan bahwa tingkah laku masyarakat Negara dapat dilihat pada hukumnya, yaitu
jika hukumnya bertujuan mengontrol dan mempertahankan pola hidup warga Negara tetap dan
mapan dalam bertingkah laku. Hal senada dengan pendapat Lon. L Euller bahwa hukum itu
sebagai usaha pencapaian tujuan tertentu dalam hal ini hukum berperan sebagai guide, patokan
pedoman dalam pelaksanaan program pemerintah dengan kata lain hukum dijadikan alat
pemulus pelaksanaan keputusan, program poltik, seperti halnya bangsa Indonesia menempatkan
pembangunan sehingga program nomor wahid. Tentunya hukum pun dikondisikan untuk
memperlancara, bahkan mengamankan pelaksanaan pembangunan. Oleh karena itu hukum
berfungsi sebagai proteksi rakyat lemah terhadap kekuasaan politik penguas, kurang mennjol,
untuk kalangan Negara berkembang dan sebaliknya yang menjadi hukum ditempatkan sebagai
alat dan sarana kekuasaan politik dan hukumpun dapat diakatakan lebih dekat ke penguasa
daripada ke pihak yang di lawan.
Oleh karena itu pula Negara-negara berkembang lebih banyak berhaluan semi otoriter daripada
demokrasi. Dalam system semi otoriter hukum merupakan institusi sebagai wadah dimana

kebijak-kebijakn pemerintah dikeluarkan, karena dengan sandaran hukum kebijakan pemerintah
berjalan mulus, sah dan mempunyai legitimasi, tetapi pembuat dan pemakai kebijakan seringkali
punya pandangan berbeda karena posisi kepentingan bahkan tujuan berbeda, artinya posisi
pembuat lebih strategis daripada pemakai sehingga posisi tawarnya “bargaining positionnya pun
lebih kuat untuk membuat kebijakn model apapun, hasilnya kebijakan itu lebih banyak memuat
reperesantasi tujuan dan kepentingan pembuat daripada rakyat hingga dilapangan kebijakan
seperti itu tidak dapat dioperasionalkan karena tereletak secara sosiologis.



Hukum modern dan budaya hukum

Konsepsi modern tentang hukum sebagai sarana pencapaian tujuan. Marc Galanter menegaskan
hukum modern memilki ciri anta lain : Bersifat terirorial, tidak bersifat personal. Universalitas,
rasional dengan menitikberatkan pada utilitas dari hukum untuk masyarakat sehingga berbicara
hukum seringkali dikaitkan dengan realitas sosial dimana hukum itu tumbuh dan berkembang.
Kenyataan tersebut memang tepat mengingat hukum harus sesuai dengan masyarakat dan
sebaliknya hukum perlu menyesuaikan diri dengan kondisi perkembangan masyarakatnya.
Jika hukum yang dipaketkan penguasa politik terlalu modern dan jauh dengan masyarakat atau
terlalu ketinggalan, maka hukum tersebut tidak dapat dioperasionalkan , tidak efekti, useless dan
timpang, padahal kecenderungan sekarang hukum digungsikan sebagai penyalur, pedoman
pengaman program, kebijaksanaan pemerintah yangberua peningkatan taraf hidup rakyat kearah
yang lebih baik. Para elite cukup optimis terhadap fungsi hukum yang baru itu, karena para elit
memilki asumsi jika hukum efektif mengarahkan tingkah laku manusia tentunya berefek
terhadap keberhasilan pembangunan. Namun akan gagal fungsinya jika manusia yang
diantaranya tidak mentaatinya karena hukum dirasa asing tidak memasyarakat dan kurang
mempresentasikan tujuan bersam. Oleh karena itu perlu ada kesepakatan bersama, karena jika
hukum betul-betul mal-fungsi maka tidak hanya individu yang dirugikan tetapi juga
pembangunan yang terhambat. Oleh karena itu Fuller mengajukan “delapan prinsip legalitas”
dalam membuat hukum yaitu :
harus ada peraturannya lebih dulu
Peraturan itu harus diumumkan
Peraturan tidak boleh berlaku surut
Perumusan peraturan harus jelas, terperini dan dapat dimengeti setiap orang
Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hak-hal yang tidak mungkin
diantara sesame perturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain
Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering dirubah-rubah
Harus terdapat keserasian antara tindakan para pejabat hukum dan pertaturan yang telah dibuat.
James C.N dan Clareme J dias mengatakan bahwa bilai yang terkandung dalam hukum
nasional dengan nilai-nilai masyarakat lokal kerap kali terjai pendebatan dan pembedaan yang
ujungnya adalah sulitnya pemahaman makna dan maksud hukum nasional oleh masyarakat lokal,
hal ini terjadi karena sudut pandang dan nilai dasr penyusunan hukum tampaknya berbea antara
legislator dengan masyarakat serta kurangnya para pemegang kebijakan melakukan survey, uji
public terhadap nilai-nilai lokal, kebutuhan-kebutuhan lokal terutama masyarakat yang secara
geografis jauh dan mungkin tak terjangkauoleh pengendali kebijakkan, hasilnya hukum dibuat

terasa tidak bermakna dan bermanfaat bagi sebgaian besar rakyat tersebut. Oleh karena itu
hukum mencegah mis-nilai antara pembuat dan pemakai. Mau tidak mau pemerintah maupun
rakyat, LSM harus proaktif mengusahakan terbukanya saluran kominukasi dalam menerangkan
dan menyelaraskan berbagai maksud dan tujuan pemerintah dalam undang-undang.


Hukum sebagai karya kebudayaan

Selo soemardjan dan Soelaiman Soemardi mendefinisikan kebudayaan sebagai hasil karya, rasa
dan cipta manusia, karya dalam hidup manusia berwujud tehknomgi yang mempermudah hidup
mansuai. Rasa merupakan dasra dari munculnya nilai-nilai kemasyarakatan dan cipta merupakan
kemampuan mental emosional manusia untuk hidup beradap. Dalam arti luas kebudyaan
merupakan serangkaian nilai-nilai yang hendak dicapai oleh sebuah komunitas tertentu,
sekaligus juga sebagai way of life karena budaya juga memberikan pedoman arah hidup
manusia. Budaya juga bias disebut dengan serangkaian system perilaku, yaitu serangkaian
perilaku yang harus dan tidak boleh dilakukan oleh para pendukungnya. Dalam hal ini komunitas
tertentu memilki gambaran abstrak perilakau yang layak dan tidak layak dilakuakan. Gambaran
abstrak perilku tersebut kemudian diformulaasikan secara konkrit dalam berbagai tatanan hidup
manusia melahirkan norma dimana hukum berada didalamnya disamping norma kesopanan,
kesusilaan dan keagamaan. Jika demikain artinya hukum merupakan refeleksi tata perilaku
komintas tertentu yang bersifat territorial, khas dan khsus, dalam arti hukum masyarakat satu
berbeda dengan yang lainnya sehingga hukum kurang relevan menganut asas universalitas. Oleh
karena itu pembuatan hukum, penerapan hukum harus pandai-pandai membaca, menganalisa
realitas sosial mengingat hukum bukan saja sebagai formalisasi dan konkrtitasi perilaku
masyarakat dalam bentuk deretan pasal-pasal melainkan juga jiwa masyarakat (Volkgeist) itu,
serta hukum itu dibuat bukan untuk penguasa tetapi untuk rakyat. Oleh karena itu harus banyakbanayak mengkaca, membaca dan menganalisa relaitas sosial diman hukum itu akan diterapkan.



Komponen budaya hukum

Menurut Daniel S. Lev bahwa system hukum nenekankan pada prosedur namun kurang
membahas cara hukum menyelesaikan masalah, sedangkan budaya hukum mengandung nilai
procedural yaitu tata cara dan prosedur dalam mamanajemenisasi sebuah konflik dalam
masyarakat dan nilai substansif berupaasas-asas fundamental tentang alokas, distribusi,
penggunaan sumber-sumber dalam masyarakat terkait dengan adil dan tidak adil
Lawrensce M, Friedman memasukkan komponen kultur hukum dalam teori system hukumnya
yaitu (1) struktur, (2) substansial dan (3) kultur. Struktur berwujud institusi, lembaga pembuat
dan pengek berupa norma-norma terangkum dalam sebuah produk hukum sedangkan kultur
adalah serangkaian nilai sikap perekat dana penentu dimana hukum itu beraktifitas.

Rechtskunst (seni hukum)
RECHTSKUNST (SENI HUKUM)
Oleh: Cakra Arbas, S.H.I, M.H.
Manusia sebagai makhluk sosial dalam menjalankan aktivitas sehari-hari tidak dapat terlepas
dari kaidah hukum, kaidah hukum memberi dan membebani manusia dengan hak dan
kewajibannya. Hukum sendiri penting bagi manusia dalam menjalankan kehidupan bersama
untuk ketertiban tatanan masyarakat, melindungi kepentingan manusia lainnya serta masyarakat
secara umum, sehingga tidak mungkin ada kehidupan bersama tanpa adanya hukum, atau yang
lebih umum dikenal bahwa dimana ada masyarakat maka akan adanya hukum (ubi societas ibi
jus).
Untuk mengatur keteraturan perilaku manusia dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari,
diperlukan adanya pembentukan hukum melalui pembentukan peraturan perundang-undangan,
yang dilaksanakan oleh lembaga yang berwenang. Pembentukan peraturan perundang-undangan
adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Pembentukan hukum (peraturan perundang-undangan) merupakan suatu proses atau rangkaian
kegiatan dari salah satu bentuk praktek hukum. Mengutip dari Van Apeldoorn yang menyatakan
bahwa dengan melakukan praktek hukum maka dalam hal ini manusia telah melakukan seni
hukum atau Rechtskunst (Van Apeldoorn, 1954:316). Dalam ensiklopedia Indonesia, seni
diartikan sebagai penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa orang, diungkapkan dengan
perantaraan alat-alat komunikasi kedalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar
(seni suara), penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak. Dalam hal olah
seni hukum (Rechtskunst), seni diartikan sebagai cara yang khas, kiat menciptakan karya yang
bermutu yang didorong oleh pilihan antara yang baik dan yang buruk.
Menurut Sudikno Mertokusomo, seni hukum (Rechtskunst) ialah cara khas atau kiat, yang
didorong oleh pilihan antara yang baik dan yang buruk dalam mengolah, menggarap,

melaksanakan, menemukan, atau menerapkan hukum, sehingga menghasilkan karya dibidang
hukum yang bermutu atau mempunyai wibawa dalam bentuk putusan atau Undang-undang
(Sudikno Mertokusumo, 2012:19).
Rechtskunst dalam Qanun
Qanun adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah Provinsi yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Qanun sendiri dibentuk dalam
rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, Pemerintahan Kabupaten/Kota, sehingga nantinya
akan mempunyai legitimasi dalam menjalankan roda pemerintahan.
Menerapkan seni hukum (Rechtskunst) dalam membentuk Qanun harus berdasarkan pada asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. Kejelasan tujuan, b.
Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan, d. Dapat dilaksanakan, e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, f. Kejelasan rumusan, g.
Keterbukaan.
Menelaah rancangan Qanun yang merupakan program legislasi daerah khususnya Provinsi Aceh,
yang sedang hangat menjadi sorotan publik pada akhir-akhir ini, hendaknya dalam muatan
Qanun tersebut nantinya mengandung asas-asas, yang meliputi: a. Pengayoman, b. Kemanusiaan,
c. Kebangsaan, d. Kekeluargaaan, e. Keanekaragaman, f. Keadilan, g. Nondiskriminasi, h.
Kebersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, i. Ketertiban dan kepastian hukum, j.
keseimbangan, keserasian, kesetaraan, dan keselarasan.
Pada masa ini (dalam proses rancangan Qanun) dibutuhkan peranan para stakeholder sebagai
pembentuk Qanun, agar dapat berlaku arif dan bijaksana dalam menderivasikan nilai hingga
terciptanya suatu karya seni hukum (Rechtskunst), yang nantinya dapat diterima dan diterapkan
bagi seluruh masyarakat Aceh. Disatu pihak harus memperhatikan stabilitas demi kepastian
hukum, dipihak lain pembentuk Qanun harus berusaha agar nantinya Qanun tersebut tidak
ketinggalan dengan perkembangan kepentingan manusia dan masyarakat, maupun zamannya.
Juga Qanun yang dalam proses pembentukan, nantinya dapat berlaku untuk jangka waktu yang
lama, dan jangan sampai terjadi konflik dengan Qanun yang telah ada maupun peraturan
perundangan-undangan yang lebih tinggi. Keseluruhan rangkaian pembentukan Qanun
merupakan suatu rangkaian seni, khususnya seni hukum (Rechtskunst) dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan.
Hendaknya Qanun yang akan diciptakan dapat mengikuti perkembangan masyarakat, karena jika
Qanun tersebut hanya berjangka waktu yang singkat (tidak berjangka waktu lama), maka
pembentukan Qanun tersebut hanya akan menciptakan pemborosan anggaran (sebagaimana yang
diketahui dalam pembentukan Qanun membutuhkan anggaran yang cukup signifikan).
Sebaiknya, pembentukan Qanun tidak perlu ditargetkan, serta terburu-buru yang didorong oleh
kepentingan sesaat dan tidak sistematis, karena hal ini hanya akan melahirkan suatu Qanun yang
tidak “memuaskan” segenap elemen masyarakat Aceh.
Dalam penciptaan suatu Qanun, hendaknya masyarakat Aceh dapat berperan pro aktif,
dikarenakan nantinya masyarakat Aceh juga yang akan menerapkan atau melaksanakan norma-

norma yang terkandung dalam karya seni hukum (Rechtskunst) tersebut, dalam hal ini Qanun
Provinsi Aceh. Dengan demikian, diharapkan adanya partisipasi dari masyarakat, baik itu dalam
rangka penyiapan maupun pembahasan dari suatu rancangan Qanun.
Akhirnya, penulis mengharapkan Qanun yang lahir nantinya akan menjadi sebuah karya seni
hukum (Rechtskunst), yang dapat “dinikmati” oleh segenap elemen masyarakat Aceh. Sehingga
dengan lahirnya suatu Qanun, masyarakat Aceh akan menemukan keteraturan dan stabilitas,
dimana stabilitas akan menjamin ketertiban dalam masyarakat, juga menjamin adanya kepastian
hukum. Dalam konteks ini penulis mengibaratkan lahirnya suatu Qanun, serupa dengan
penciptaan karya-karya seni lainnya, yang dilakukan dengan proses berliku, serta diisi oleh nilainilai yang baik, sehingga pada hakikatnya dapat dinikmati oleh segenap masyarakat aceh.