Sulit Memakzulkan Yudhoyono.

123
17
OJan

.

Pikiran Rakyat
o Se/asa o Rabu 0

Sen;n

18

4

6

7
22



23

9

10

Jumat

o Sabtu 0 M;nggu
12

11

13

26

27

o Mar OApr o Me; OJun OJul 0 Ags


OSep

20

19
.Peb

5

0

Kam;s

21

24

25


14
28

OOkt

15
29
OHov

16
30

ODes

Solit Memal,"zull,"an
.Yudhoyono
~

- --


...

-

<

~~

-..'

W

ACANA pemakzu1an terhadap pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono
~g
diembuskan Partai Gerindra menjadi serius dibahas oleh banyak kalangan. Hal ini ditambah dengan pola
kepemimpinan Yudhoyono yang dianggap melankolik dan tidak setegar waktu
periode pertama kepresidenannya.
.Meski dianggap angin lalu oleh partai
koalisi pemerintah di DPR, guliran pemakzu1an Yudhoyono-Boediono menjadi kekhawatiran kalangan terdekat di
lingkaran istana. Hal ini ditegaskan

dengan berbagai respons dari Yudhoyono, selain selalu curhat kepada publik
berkaitan dengan perilaku politik yang
mengancam pemerintahannya.
.
Langkah konsolidasi yang dilakukannya
terhadap pimpinan lembaga tinggi negara makin memperkuat bahwa pemakzu1an bukan lagi sekadar wacana.
Hal lain yang agak menarik dalam
konteks ini adalah bahwa SBYterkesan
selalu merasa dalam posisi bertahan
dan memosisikan diri seolah sebagai
figur yang teraniaya secara politik. Hal
ini secara teoretik agak aneh, mengingat Yudhoyono-Boediono mengantungi
dukungan publik lebih dari 60%. Seharnsnya, Yudhoyono khususnya mampu melakukan berbagai bentuk artikulasi politik dalam merealisasikan program,nya. Bahkan yang paling serius
adalah wacana pemakzu1an tersebutjuga "dipopulerkan" oleh Yudhoyono dengan berbagai curhat politik yang dilakukannya kepada publik.
Model dan prasyarat
Penurunan presiden dari kekuasaannya setidaknya telah teIjadi
empat kali dalam sejarah Indonesia.
Hal ini tidak termasuk dengan pergantIan PerdanaMenteri di era Demokrasi
Parlementer. Empat proses pemakzu1an
tersebut bisajadi model bagi kita untuk

mengukur sejauh mana proses yang
sarna dapat teIjadi pada YudhoyonoBoediono.
.
Adapun keempat model tersebut
adalah, pertama, model Soekarno,
yakni pemakzulan terhadap kekuasaan
Soekarno sebagai presiden oleh MPRS
karena menolak mempertanggungjawabkan krisis ekonomi dan politik,
serta dianggap melindungi PKI.
Soekarno menyebut Peristiwa G30SjPKI adalah riak dalam revolusi sebagaimana yang diungkapkannya dalam
pidatonya di depan MPRS beIjudul
Nawaksara.
Kedua, model Soeharto, yakni proses
penurunan dirinya dari kekuasaan Orde
Barn. Hal yang menarik dari model

-.-.

'---


Soeharto adalah kecerdaS'arrnrelihat
situasi politik, di mana tidak lagi ada
duktingan politik, baik dari lingkaran
politiknya, DPRjMPR, maupun tentara.
Soeharto memilih mundur secara
sukarela daripada diberhentikan oleh
MPR.
Ketiga, model Abdurrahman Wahid
(Gus Dur). Model pemakzu1an Gus Dur
ini sesungguhnya mencerminkan dinamika politik yang khas dan sangat dinamis. Praktis Gus Dur diturunkan oleh
MPR melalui sidang istimewanya karena koalisi partai politik yang mendukungnya menarik diri. Hal yang
menarik, jauh sebelum itu Gus Dur
melakukan berbagai manuver politik
yang sebenarnya agak kurang tepat,
mengingat koalisi partai politik yang
mendukungnya sangat rapuh.
Keempat, model Habibie. Model ill
sebenarnya bukan bagian dari proses
pemakzu1an, hanya karakteristiknya
mirip dan dekat dengan upaya penurunannya dari kekuasaan. Penolakan

pertanggungjawaban Habibie dalam SU
MPR adalah bagian skenario politik untuk mematikan langkah politik Habibie
yang akan dicalonkan kembali menjadi
presiden oleh Partai Golkar dan beberapa partai gurem pasca-Pemilu 1999.
Dari keempat model pemakzu1an
tersebut, setidaknya memiliki kesamaan
prasyarat yang membuat empat presiden Indonesia tersebut diturunkan,
mundur secara sularela, dan atau ditolak pertanggungjawaban politiknya oleh

MPR.

.

Adapun prasyarat tersebut adalah,
pertama, adanya kasus atau peristiwa
sebagai pemicu politik teIjadinya pemakzu1an. Pada model Soekarno adalah
peristiwa G30SjPKI; Soeharto,
gugurnya mahasiswa dalam aksi unjuk
rasa yangkemudian dikenal sebagai
Tragedi Trisakti; Gus Dur, Bruneigate

dan kontroversi pergantian Kapolri;
dan Habibie, lepasnya Timor- Timur
dari NKRI sebagai akibat dari kebijakan
IJabibie membarikan opsi referendum
kepada provinsi termuda Indonesia
tersebut.
Kedua, koalisi politik pendukung terpecah atau menarik dukungan. Pada
konteks Soekarno, partai politik pendukung Nasakom terpecah, selain PKI
yang terlibat dalam peristiwa
G30SjPKI, PNIjuga dilanda konflik internal, sedangkan NU memilih jalan
aman dengan merapat pada militer. Sementara itu, pada model Soeharto,
pimpinan MPR ketika itu, yang juga Ketua Umum Golkar ketika itu menyarankan Soeharto mundur dari kekuasaannya. Sementara itu, pada model Gus

Kliping Humas Unpad 2010
--

31

Dur justru makin kentara dengan
adanya penarikan diri koalisi partai

politik yang dulu mengusungnya menjadi presiden. Dan, hal yang sarna juga
teIjadi pada model Habibie, pada waktu
itu internal Golkar juga tidak solid
dalam mengusung Habibie, sem oportunitas partai politik pendukung lainnya, yang cenderung bermain di dua kaki.
Ketiga, militer tidak mendukung dan
atau terpecah dukungannya. Pada model Soekarno, TNI secara mayoritas
menarik dukungannya dari Soekarno,
kecuali sekelompok kecil di tubuh TNI
AU. Masa Soehan:o, TNIjustru terlibat
konflik internal, antara Wiranto yang
cenderung ingin mengamankan
kekuaSaan Soeharto, dengan Prabowo
yang memiliki ambisi politik untuk
memimpin TNI sepeninggal Soeharto.
Pada era Gus Dur, tentara cenderung
mengikuti arus politik ketika itu, dan
meninggalkan Gus Dur serta memilih
proses konstitusional dalam konteks SI
MPR Sementara pada model Habibie,
TNI justru tengah melakukan koreksi

total sehingga dinamika yang teIjadi pada saat SU MPR tidak terlibat secara
aktif.
Keempat, tidak solidnya lingkaran
dekat Istana. Prasyarat keempat ini
menjadi garda terakhir dari kekuasaan
presiden. Dapat dibayangkan
bagaimana Soekarno merindukan
orang yang loyal di sekitarnya saat
dirinya tengah gundah karena tuduhan
dan serangan politik terhadap dirinya.
Namun satu per satu meninggalkannya,
baik yang dianggap terlibat dalam peristiwa G30SjPKI ataupun karena alasan
oportunis semata.
Konteks Soeharto juga hampir mirip.
Empat belas menteri di bawah koordinasi Ginanjar Kartasasmita menolak
bergabung dengan kabinet yang dibentuk Soeharto sebagai respons dari tuntutan publik. Era Gus Dur juga demikian, satu persatu menteri yang berasal
dari koalisi partai politik pendukungnya
menarik diri. .Sementara pada kasus
Habibie, Partai Golkar dan ICMI yang
menjadi pilar penopang di lingkaran
terdekatnyajuga tidak menunjukkan
soliditas yang tinggi. Alhasil, langkah
politik Habibie terhenti karena pertanggungiawabannya ditolak MPR
Yudhoyono?
Berkaca pada model dan prasyarat
tersebut di atas, masih relevankah upaya pemakzulan Yudhoyono-Boediono?
Tentu saja semua tergantung dari dinamika politik yang ada. Namun, secara
kalkulatif politik upaya pemakzulan ter-

hadap Yudhoyono-Boediono menjadi
sangat sulit dilakukan. Selain empat
prasyarat yang diurai tersebut di atas
belum teIjadi, juga secara legitimasi
politik, Yudhoyono-Boediono lebih kuat.
Bahwa kasus Century Gate akan
menjadi pemicu politik penurunan
Yudhoyono-Boediono merupakan bentuk harapan politik, bukan sebagai
pemicu. Apalagi secara realitas, meski
PKS dan Partai Golkar berupaya
mengambil momentum politik pada kasus tersebut, namun faktanya koalisi
partai politik pengusung pasangan
tersebut relatif solid. Sementara itu
dukungan tentara terhadap kepemimpinan Yudhoyono- Boediono juga tak
tergoyahkan. Meski ada sejumlah kasus
seperti pengambilalihan perumahan dinas tentara yang sedikit banyak mengoreksi persepsi umum di kalangan tentara dan keluarganya terhadap Yudhoyono. Apalagi ditambah dengan soliditas KIB II dan kalangan terdekat istana
yang secara tim juga tidak bermasalah.
Namun, tentu Yudhoyono juga dihadapkan pada dua pilihan yang rumit
guna menyudahi polemik Century Gate
agar dirinya dan KIB II dapat secara
fokus menjalankan programnya. Pilihan
itu, yakni, mengambil alih seluruh tanggungjawab permasalahan Bank Century, dengan harapanakan mendapatkan
simpati publik dan permasalahan tersebut selesai dengan permohonan maaf
Yudhoyono kepada publik. Atau, mengorbankan anak buahnya demi menjaga
pencitraan politiknya. Dua orang yang
disinyalir terlibat langsung dalam kasus
Century Gate adalah Boediono dan Sri
Mulyani akan dilengserkan demi alasan
stabilitas di KIB II.
Agaknya SBYcenderung memilih pilihan kedua karena biaya politiknya
lebih rendah dibandingkan dengan
mengambil alih tanggungjawab
masalah Century Gate, yang belum tentu dapat dimaatkan oleh publik. Justru
bisa saja pilihan pertama tersebut akan
menjadi bola liar dan mengarah pada
pemakzulan dirinya, sebagaimana yang
teIjadi pada kasus Soekarno dan Gus
Dur. Artinya, cukup mengganti dua
orang dari KIB II, maka dua hal penting
dapat diraih, menghindari pemakzulan
dan mendapatkan tambahan dukungan
di parlemen. Sebab, selain koalisi partai
politik yang mengusungnya, bisa jadi
PDI PeIjuangan juga akan merapat.
(Muradi, staf pengajar Ilmu Pemerintahan, FISIP Unpad, Bandung. Direktur Program Institute for Political
Leadership Studies Universitas Paramadina, Jakarta)***

--

-