Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-Being pada Lesbian Dewasa Awal di Daerah "X" Kota Bandung Barat.

(1)

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai Psychological Well-Being pada lesbian dewasa awal di daerah “X” kota Bandung Barat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan teknik pengambilan data purposive sampling. Psychological Being yang digunakan adalah berdasarkan teori Psychological Well-Being dari Carol Ryff (1989), yang menjelaskan bahwa Psychological Well-Well-Being terdiri dari 6 dimensi, yaitu Self-Acceptance, Positive Relation With Others, Environmental Mastery, Purpose In Life, Personal Growth, dan Autonomy. Penelitian ini dilaksanakan pada sampel responden lesbian di daerah “X” Kota Bandung Barat yang berada di rentang usia dewasa awal (20 – 35 tahun). Jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 30 orang responden.

Alat ukur yang digunakan untuk pengambilan data adalah merupakan modifikasi oleh peneliti dari The Ryff Scales of Psychological Well – Being (1998) yang berbentuk matriks dan terdiri atas 84 item untuk mengukur keenam dimensi. Alat ukur terdiri dari 84 item yang diujicobakan kepada 15 orang lesbian. Perhitungan validitas dengan Spearman’s menunjukkan kisaran item antara 0,103 hingga 0,657. Setelah mengalami penyesuaian / validitas item terdapat jumlah total item digunakan sebanyak 52 item.

Hasil penelitian menunjukan sebanyak 16 orang lesbian atau sekitar 53,3% memiliki Psychological Well-Being yang rendah, dan sebanyak 14 orang atau sekitar 46,7% memiliki Psychological Well-Being yang tinggi. Peneliti menyimpulkan bahwa Lesbian di daerah “X” Kota Bandung Barat sebagian besar menunjukkan Psychological Well-Being yang relatif seimbang antara kategori tinggi dan rendahnya. Disarankan kepada lesbian daerah X kota Bandung Barat untuk tidak terlalu menghiraukan penilaian negatif, pendapat negatif, kritikan pedas, dan cemoohan dari lingkungan sekitar mengenai keadaan diri mereka, dikarenakan nantinya akan mempengaruhi kepercayaan diri dan kondisi mental mereka dalam beraktivitas di masyarakat.


(2)

Abstract

This study was conducted to obtain an overview of the Psychological Well-Being at young adulthood lesbians in the X area of West Bandung City. Psychological Well-Being used is based on the theory of Carol Ryff (1989) is composed of 6 dimensions namely Self-Acceptance, Positive Relation With Others, Environmental Mastery, Purpose In Life, Personal Growth, and Autonomy. This study conduct on a sample of lesbians respondents in the X area of West Bandung City which is in the early adult, age range (20 – 35 years). The sample used are as many as 30 respondents.

Measuring instruments used for data retrieval is a modification by researcher from The Ryff Scales of Psychological Well-Being (1998) in the form of matrix and consists of 84 items to measure 6 dimensions. Measuring instrument consists of 84 items tested the 15 lesbians. Calculations of Spearman’s validity to indicate a range of items between 0,103 to 0,657. After experiencing adjustment / validity of the items, are the total number of items used as many as 52 items.

The results showed as many as 16 lesbians or about 53,3% has a low Psychological Well-Being, and as many as 14 lesbians, or about 46,7% has a high Psychological Well-Being. Researcher concluded that lesbians in the X area of West Bandung City mostly shows Psychological Well-Being relatively balanced between the high and low categories. Suggested to the local lesbians of X area West Bandung City to shrugging off negative ratings, negative opinions, harsh criticism and ridicule from the environment surrounding the circumstances themselves, maintaining social support that they can and keep positive relationships with others, also can follow the extension or the socialization of Psychological Well-Being conducted by researchers with limited preparation, to be able to help the lesbian improve their psychological well-being.


(3)

DAFTAR ISI

Lembar Judul

Lembar Pengesahan……….. i

Pernyataan orisinalitas laporan penelitian ………... ii

Pernyataan publikasi laporan penelitian ……….. iii

Abstrak ………..………..…… iv

Abstract ………... v

Kata Pengantar………. vi

Daftar Isi……….. ix

Daftar Tabel……… xiii

Daftar Bagan……….………... xiv

Daftar Lampiran………...……..………. xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah………..………... 1

1.2 Identifikasi Masalah………..………...…… 10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian………….………....……..……… 10

13.2 Tujuan Penelitian………... 11

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis……..………... 11

1.4.2 Kegunaan Praktis……..………. 11


(4)

1.7 Asumsi……….………. 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Psychological Well-Being………... 25

2.2. Dimensi - dimensi Psychological Well-Being ……….… 27

2.3 Faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being ………. 30

2.4 Pengertian Sample Penelitian a) Definisi Lesbian ………...………... 33

b) Tipe – Tipe Lesbian ……… 34

c) Faktor penyebab Homoseksualitas ….………....……… 36

2.5 Teori perkembangan dewasa awal ……… 39

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian………..……….……….…… 42

3.2 Skema Rancangan Penelitian ……… 42

3.3. Variabel Penelitian Dan Definisi Operasional 3.3.1 Variabel penelitian ………... 42

3.3.2. Definisi Konseptual ………... 43

3.3.3. Definisi Operasional ……….. 43

3.4 Alat Ukur 3.4.1 Bentuk dan Nama Alat Ukur ………... 44

3.4.2 Prosedur Pengisian Kuesioner ………... 45


(5)

3.4.4. Penilaian ….………. 47

3.4.5. Kategori Skor ……….. 47

3.5. Validitas, dan Reliabilitas Alat Ukur 3.5.1 Validitas Alat Ukur ……… 48

3.5.2 Reliabilitas Alat Ukur ………. 50

3.5.3. Data Penunjang ……….. 50

3.6 Populasi Sasaran dan Teknik Sampling 3.6.1 Populasi Sasaran ……….. 51

3.6.2 Karakteristik Sample ………. 51

3.6.3 Teknik Pengambilan Sample ……… 51

3.7 Teknik Analisis Data ……… 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Hasil Penelitian... 53

4.1.1 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Usia, Jenis Pekerjaan, dan Pendidikan Terakhir………....……..……….. 53

4.2. Gambaran Psychological Well-Being dan 6 Dimensinya……….…... 55

4.3. Pembahasan………..………... 59

4.3.1. Tabulasi Silang Antara Data Penunjang Dengan Dimensi – dimensi Psychological Well-Being dan Psychological Well-Being……….. 63

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ………..……… 79


(6)

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis ………...………....……… 80

5.2.2 Saran Praktis ………..………....……..………. 80

DAFTAR PUSTAKA ………..………....……..………... 81

DAFTAR RUJUKAN ………..………....……..………... 82 LAMPIRAN


(7)

DAFTAR TABEL

3.1 Distribusi Item Tiap Dimensi.. ……… 45

3.2. Skor Pilihan Jawaban ………...………… 47

3.3. Kriteria Validitas ……….…..….. 49

3.4. Kriteria Reliabilitas ………...……….. 50

4.1.1. Gambaran Rentang Usia Responden ……….………….…. 53

4.1.2. Gambaran Jenis Pekerjaan Responden ………... 54

4.1.3. Gambaran Pendidikan Terakhir Responden ………....………….... 55

4.2.1. Gambaran Psychological Well-Being Keseluruhan ……… 56

4.2.2. Gambaran Dimensi Self-Acceptance ………....………... 56

4.2.3. Gambaran Dimensi Positive Relation With Others ...………. 57

4.2.4. Gambaran Dimensi Autonomy ……….………… 57

4.2.5. Gambaran Dimensi Environmental Mastery ……….……….. 58

4.2.6. Gambaran Dimensi Purpose In Life ………..………. 58


(8)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.5 Kerangka Pikir ……….. 23 Bagan 3.2. Rancangan Penelitian ……….. 42


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Kuesioner Psychological Well-Being (sebelum validitas) dan data penunjang

dan Validitas Alat Ukur Lampiran 2 : Hasil Reliabilitas Alat Ukur Lampiran 3 : Identitas Subjek Penelitian Lampiran 4 : Sumber Dukungan Sosial

Lampiran 5 : Skor Total Psychological Well-Being dan 6 Dimensinya Lampiran 6 : Kategori Psychological Well-Being dan 6 Dimensinya Lampiran 7 : Kategori The Big Five Factors Personality dari Mc Crae

Lampiran 8 : Tabulasi silang antara Psychological Well-Being Keseluruhan dengan 6 Dimensinya

Lampiran 9 : Tabulasi silang data penunjang dengan Psychological Well-Being

Tabulasi silang data penunjang dengan dimensi Psychological Well-Being Lampiran 10 : Pemindai surat persetujuan pengambilan data subjek penelitian


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Hubungan homoseksual merupakan fenomena sosial yang sudah terjadi dari jaman dahulu, yaitu fenomena awalnya pada jaman Nabi Luth pada tahun 1870 – 1950 SM, hingga kini. Bahkan pada abad ke - 21 ini hubungan homoseksual sudah sangat marak. Di setiap negara di dunia, sebagian atau beberapa persen masyarakatnya merupakan homoseksual, namun tidak diketahui persentase pastinya di masing – masing negara (Research of The University of Columbia, USA). Istilah homoseksual pertama kali dikemukakan oleh seorang dokter Hongaria bernama Karoly Maria Benkert pada tahun 1869. Sebagaimana yang dikutip oleh Spencer (2004) dalam buku “Histoire de I’homosexualité: De I’antiquité à nos jours” mengatakan bahwa selain hasrat laki - laki dan perempuan yang normal, alam dengan segenap kekuasaannya telah memberi dorongan pada sebagian orang lelaki dan perempuan dengan suatu hasrat tertentu untuk mencintai sesama jenis.

Istilah homoseksual juga dijelaskan oleh Kinsey (1953), yang membagi homoseksual kedalam dua jenis, yaitu homoseksual untuk pria, dan homoseksual untuk wanita, yang disebut juga dengan lesbian. Kinsey (1953) mengatakan bahwa Lesbian adalah suatu keadaan yang mendorong perempuan untuk memiliki kecenderungan lebih besar menyukai sesama jenis, merupakan suatu keadaan ketika seorang wanita kurang terbiasa mencintai, dan


(11)

melakukan kontak dengan melibatkan ketertarikan seksual dengan lawan jenisnya (Kinsey, 1953).

Keberadaan lesbian yang telah dijelaskan sebelumnya, juga banyak terdapat di kota – kota besar di Indonesia, khususnya kota Bandung, Jawa Barat. Keberadaan para lesbian ini juga dapat ditemui di daerah “X” Kota Bandung

Barat. Pada daerah “X” ini terdapat tempat – tempat hiburan seperti cafe, bar, karaoke, gym, dan mall yang dijadikan tempat pertemuan para lesbian untuk melakukan komunikasi antar sesama lesbian. Berdasarkan wawancara dengan AS, salah satu lesbian yang cukup berpengaruh dan terkenal di daerah “X”, diperoleh informasi bahwa belum diketahui secara pasti jumlah total lesbian yang berada di

daerah “X”, hal ini dikarenakan lesbian yang datang berkumpul di daerah “X” ini

berganti – ganti jumlahnya di setiap minggu. AS mengatakan tidak ada komunitas

lesbian secara resmi di daerah “X” tersebut dan para lesbian biasanya lebih sering datang berkumpul saat akhir pekan.

Keberadaan para lesbian di daerah “X” Kota Bandung Barat, belum dapat

diterima seutuhnya oleh masyarakat di daerah “X”. Hal ini ditegaskan melalui hasil wawancara peneliti pada bulan Febuari - Maret 2015 kepada 30 orang

masyarakat di daerah “X” Kota Bandung Barat mengenai keberadaan para lesbian

di daerah tersebut. Hasilnya, sebanyak 22 orang masyarakat (73,4%) mengatakan bahwa mereka sangat tidak menyetujui adanya hubungan lesbian. Mereka mengatakan bahwa lesbian adalah dosa besar, dilaknat oleh Tuhan, perbuatan atau hubungan yang tidak senonoh. Mereka juga berpendapat bahwa lesbian adalah sampah masyarakat, dapat mencemarkan nama baik keluarga atau instansi


(12)

tertentu, juga dapat menular kepada masyarakat lainnya yang bukan lesbian. Mereka juga mengatakan merasa keberatan atau jijik ketika melihat sepasang lesbian yang berpacaran di tempat umum, seperti berpegangan tangan, berpelukan, bermesraan, atau melakukan hal – hal romantis lainnya.

Peneliti juga melakukan wawancara terhadap para lesbian yang berada pada usia dewasa awal sebanyak 10 orang di daerah “X” Kota Bandung Barat, pada bulan Febuari – Maret 2015. Hasilnya, sebanyak 7 orang lesbian (70%) merasakan adanya tekanan dari lingkungan keluarga dan sekitar yang lebih berat dibandingkan 3 orang lesbian (30%) yang lainnya. Ketujuh lesbian ini menjelaskan seringkali mendapatkan tekanan dari keluarga, berupa dicurigai terus

– menerus ketika hendak berinteraksi dengan lingkungan atau melakukan aktivitas. Orangtua mencurigai bahwa anak – anaknya yang lesbian hendak berpacaran dengan pacar lesbiannya ketika akan pergi kuliah atau bekerja, begitu juga ketika anak – anaknya hendak pergi bermain dengan teman – temannya. Ketika anaknya yang lesbian memiliki sahabat atau teman wanita, orangtua menyangka bahwa sahabat atau teman wanitanya tersebut adalah pacarnya (menggeneralisasi). Orangtua juga menyarankan kepada mereka agar mengurangi interaksinya dengan wanita, karena ditakutkan akan memerluas peluang untuk berpacaran dengan sesama wanita. Akibat perlakuan orangtuanya tersebut, para lesbian ini menjadi merasa tidak aman, cemas, dan kesal karena mendapatkan kecurigaan yang berlebihan dan tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya mereka lakukan.


(13)

Ketujuh lesbian (70%) ini juga sering disindir mengenai keadaan religiusitasnya oleh keluarga. Keluarga menganggap para lesbian ini kurang beribadah kepada Tuhan sehingga menyebabkan mereka tergoda oleh pengaruh iblis sehingga mendorong mereka menjadi lesbian, dan mendoktrin bahwa akan masuk neraka apabila tidak segera bertobat atau berhenti menjadi lesbian. Bahkan, ada keluarga yang memaksa beberapa lesbian untuk dimasukkan ke pesantren (yang beragama Islam), dan ada yang dipanggilkan pendeta ke rumahnya (yang beragama Kristen) untuk mendapatkan penanganan perilaku yang dianggap menyimpang tersebut. Akibatnya, para lesbian ini menjadi merasa terintimidasi, cemas, dan merasa dirinya sangat berdosa.

Para lesbian yang memiliki kerabat atau anggota keluarga yang sudah menikah, seringkali menyindir atau mengajukan pertanyaan “kapan menikah?”

atau “kapan punya pacar pria?”, lalu dibandingkan dengan kerabat yang sudah menikah. Hal ini membuat para lesbian merasa tertekan dan cemas, karena mereka dianggap berbeda oleh keluarganya. Bahkan ada juga dari mereka yang dipaksa dijodohkan dengan pria yang tidak dicintainya. Ini menyebabkan ada diantara lesbian itu yang berencana untuk menikah, dalam arti bersuami, namun sewaktu – waktu tanpa sepengetahuan suami dan keluarga, akan tetap berpacaran dengan pacar lesbiannya.

Keluarga para lesbian ini juga seringkali memberikan hukuman berupa tidak memberikan dukungan finansial atau tidak memberikan biaya kuliah atau tidak diberikan uang saku (bagi lesbian yang belum bekerja). Ada juga keluarga yang melakukan kekerasan secara fisik dan verbal kepada para lesbian ini, seperti


(14)

memukulinya dengan sapu saat ketahuan berpacaran dengan sesama wanita, dan dibentak – bentak dengan menggunakan kata – kata kasar, keadaan yang paling parah adalah keluarga mengusirnya dari rumah. Keluarga menganggap para lesbian ini membuat aib di keluarga. Keadaan ini membuat para lesbian menjadi merasa sedih, sakit hati, tertekan, cemas, dan depresi. Para lesbian yang mendapatkan tekanan – tekanan dari keluarga ini, membuat mereka menjadi kurang percaya diri, kurang bisa menjalin kedekatan hangat dengan keluarga, berpura – pura memiliki pacar pria di depan keluarganya, dan ada juga lesbian yang memutuskan untuk pergi dari rumah dengan cara menyewa kost atau kontrakkan untuk tempat tinggal pribadi agar merasakan ketenangan dan kebebasan. Mereka juga ada yang tinggal bersama pacar lesbiannya di tempat kost atau kontrakkan mereka, karena enggan membawa pacarnya berkunjung ke rumah keluarga, karena mereka takut mendapatkan hujatan dari keluarga.

Lingkungan pergaulan dan pekerjaan juga memberikan tekanan kepada ke – 7 lesbian (70%) ini, yaitu dijauhi oleh teman – teman heteroseksual di kampus atau di tempat kerjanya, seringkali digossipkan atau mendapat sindiran mengenai keadaan lesbiannya. Dijelaskan pula, terkadang sering dijauhi oleh wanita heteroseksual di lingkungan sekitarnya, karena takut dipacari atau disukai, walaupun kenyataannya belum tentu demikian. Lingkungan pergaulan dan pekerjaan juga ada yang memberikan nasehat dan memaksa para lesbian ini untuk segera bertobat atau berhenti menjadi lesbian. Ada juga lesbian yang dikeluarkan dari sekolahnya (drop out) karena ketahuan lesbian oleh guru – guru dan kepala sekolahnya. Keadaan ini membuat ketujuh lesbian (70%) menjadi merasa tidak


(15)

bahagia, tertekan, malu, yang pada akhirnya membuat mereka menjadi hanya merasa nyaman jika bergaul dengan teman – teman sesama lesbian atau gay, dan berpura – pura memiliki pacar lawan jenis. Ada juga lesbian yang menjadi enggan untuk bekerja di instansi tertentu, dan lebih memilih menjadi pengangguran atau berwirausaha, akibat berkali – kali mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari lingkungan tempat kerjanya.

Ketujuh lesbian (70%) ini berharap lingkungan sekitar dan keluarga bisa menerima dirinya apa adanya, dan mendukung aktivitas yang dikerjakan, sehingga bisa membangun rasa percaya diri dan berprestasi di bidang – bidang yang ditekuni, terlepas dari keadaan lesbianismenya. Tekanan dan perlakuan negatif yang diterima dari keluarga maupun lingkungan menyebabkan pesimis akan masa depannya dan menganggap diri tidak berharga. Para lesbian ini menjelaskan bahwa menjadi lesbian bukanlah hal yang dikehendakinya, sehingga tidak ada alasan bagi lingkungan untuk menghakiminya. Selanjutnya mereka bersikap apatis terhadap lingkungan yang mencemoohnya itu, merasa tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah perlakuan lingkungan terhadap dirinya.

Sisanya, sebanyak 3 orang lesbian (30%) mengalami tekanan dari lingkungan keluarga atau sekitar dalam level moderat atau lebih ringan dibandingkan ketujuh lesbian diatas. Ketiganya menjelaskan bahwa keluarga belum mengetahui identitas lesbiannya. Saat pacar lesbian mereka berkunjung ke rumah, pacar itu diperkenalkan sebagai sahabat dekatnya. Oleh karenanya keluarga membiarkan pacar lesbiannya itu sering berkunjung ke rumah dan menjalin kedekatan yang hangat dengan keluarganya. Ada juga orangtua seorang


(16)

lesbian yang sudah mengetahui identitas lesbian anaknya, namun sudah merasa pasrah dengan keadaan anaknya, sehingga memberikan tanggung jawab kehidupan sepenuhnya kepadanya karena dianggap sudah dewasa. Orangtua sudah pasrah dengan keadaan lesbian anaknya, dan berpesan agar tetap berperilaku baik dan tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Hal yang penting adalah tetap rajin beribadah kepada Tuhan. Orangtua juga berharap anaknya bisa berprestasi di bidang karir yang ditekuni, mandiri secara finansial, dan berharap suatu saat nanti bisa mendapatkan insight atau hidayah untuk menghentikan perilaku lesbianismenya, untuk kemudian menikah. Keluarga ketiga lesbian (30%) ini juga tetap memberikan dukungan finansial berikut fasilitas – fasilitas yang dibutuhkan, khususnya untuk yang belum bekerja atau belum mapan. Kenyataan ini membuat ketiga lesbian ini menjadi merasa nyaman berada di tengah - tengah keluarganya, mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang dibutuhkan, dan membuatnya lebih percaya diri.

Ketiga lesbian diatas memiliki teman – teman dekat heteroseksual di tempat kerja maupun di kampus yang sudah mengetahui identitasnya, namun bisa menerimanya sebagai lesbian. Keadaan ini menyebabkan ketiganya bisa bergaul akrab dan mendalam dengan teman – teman heteroseksualnya tersebut, bisa memperkenalkan pacar lesbiannya kepada temannya itu, dan pacar lesbiannya bisa bermain bersama dengan teman – teman heteroseksualnya tersebut. Ketiganya merasa teman – teman dekatnya yang heteroseksual tersebut tidak memermasalahkan keadaannya, selama tidak merugikan lingkungan. Mereka juga bisa dengan leluasa berkeluh-kesah dengan teman – teman dekat heteroseksualnya


(17)

tentang hubungannya dengan pacar lesbiannya, atau ketika sedang mengalami masalah dengan pacar lesbiannya. Tekanan dari lingkungan pergaulan yang moderat atau lebih ringan ini memengaruhi aktivitasnya sehari – hari sehingga lebih lancar. Sikap menerima yang didapatkannya dari lingkungan membuatnya bisa berkonsentrasi untuk meraih prestasi – prestasinya. Ketiganya menjadi memandang hidupnya lebih berarti, sehingga memandang masa depannya lebih positif.

Peniliti juga melihat hasil survey yang telah dilakukan oleh wartawan sebuah acara stasiun televisi yang menyatakan, bahwa saat ini masyarakat juga merasa resah dengan kehadiran komunitas lesbian di suatu kawasan umum tertentu, meskipun komunitas lesbian tersebut hanya sekedar “nongkrong”. Masyarakat ingin polisi dan petugas keamanan terkait membubarkan komunitas lesbian di kawasan – kawasan umum tertentu. Bahkan pemerintah Indonesia juga berniat untuk membuat undang – undang yang berisi larangan terhadap LGBT (Acara Delik, RCTI, 16 Maret 2015, pukul 01:00). Peneliti melihat hadirnya dua

buah spanduk besar bertuliskan “Kami segenap pihak Universitas “X” Bandung mengutuk kaum LGBT” di pinggir jalan raya X daerah Bandung Barat (25 Febuari 2016).

Berdasarkan hasil wawancara pada sejumlah masyarakat dan lesbian, juga melihat peristiwa yang terjadi di masyarakat umum, dapat disimpulkan keberadaan lesbian di Indonesia mengalami banyak pertentangan, dilihat dari kondisi budaya, sudut pandang agama yang menyatakan hubungan sesama jenis bertentangan dengan kodrat manusia dan sudut pandang masyarakat. Keadaan ini


(18)

memengaruhi kesejahteraan psikologis para lesbian, sebagaimana dalam Ilmu Psikologi kondisi ini dinamakan dengan Psychological Well-Being.

Carol D. Ryff (1989) menjelaskan bahwa Psychological Well-Being adalah suatu konsep yang berhubungan dengan segala sesuatu yang dihayati dan dievaluasi oleh individu dalam aktivitas dan kehidupan sehari – harinya serta mengarah pada pengungkapan perasaan – perasaan pribadi atas apa yang dirasakan individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya yang tidak hanya sebagai pencapaian kepuasan, namun juga usaha untuk mencapai keutuhan yang merepresentasikan perealisasian potensi individu yang sesungguhnya.

Menurut Carol D. Ryff, Psychological Well-Being terdiri atas enam dimensi, yaitu Penerimaan Diri (Self-Acceptance), Kemandirian (Autonomy), Hubungan yang Positif dengan Orang Lain (Positive Relations With Others), Penguasaan Terhadap Lingkungan (Environmental Mastery), Mempunyai Tujuan Hidup (Purpose In Life), dan Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth) (Ryff, 1989 ; Ryff & Keyes, 1995 dalam Carr, 2004).

Manusia merasa senang dengan dirinya ketika menyadari keterbatasannya (Self - Acceptance). Individu juga berusaha untuk berkembang dan memeroleh hubungan interpersonal yang hangat dan saling mempercayai (Positive Relations With Others), dan membentuk lingkungan mereka sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pribadi (Environmental Mastery). Dalam menopang individualitas dalam lingkungan sosial, manusia juga berusaha mencari Self - Determination dan kemandirian pribadi (Autonomy). Usaha paling vital


(19)

adalah untuk menemukan arti dari usaha dan tantangan yang dialami (Purpose In Life). Pada akhirnya menciptakan talenta dan kapasitas individu (Personal Growth), merupakan pusat dari Psychological Well-Being.

Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti memiliki ketertarikan dan rasa ingin tahu untuk meneliti bagaimana sebenarnya gambaran dari Psychological Well-Being yang dimiliki oleh para lesbian dewasa awal di daerah “X” Kota Bandung Barat.

1.2. Identifikasi Masalah

Ingin mengetahui seperti apakah gambaran Psychological Well-Being pada Lesbian Dewasa Awal di daerah “X” Kota Bandung Barat.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud Penelitian

Untuk mendapatkan informasi mengenai gambaran Psychological Well-Being pada Lesbian Dewasa Awal di daerah “X” Kota Bandung Barat.

1.3.2. Tujuan Penelitian

Untuk memeroleh gambaran tentang kekuatan dan kelemahan gambaran keenam dimensi dari Psychological Well-Being, yaitu Self – Acceptance, Autonomy, Positive Relation With Others, Environmental Mastery, Purpose In Life, dan Personal Growth, pada Lesbian Dewasa Awal di daerah “X” Kota Bandung Barat.


(20)

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Kegunaan Teoretis

 Memberikan masukan pada khususnya bidang Psikologi Klinis dan Positif mengenai Psychological Well-Being pada Lesbian Dewasa Awal di daerah

“X” Kota Bandung Barat.

 Memberikan masukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut serta menambah wawasan dan informasi, khususnya informasi mengenai Psychological Well-Being, dan informasi mengenai Lesbian.

1.4.2. Kegunaan Praktis

Bagi Subjek Penelitian

 Memberikan informasi mengenai pengertian dan bagaimana cara menerapkan Psychological Well-Being dalam kehidupan sehari – hari kepada para Lesbian di Kota Bandung yang membutuhkan, sehingga diharapkan nantinya para Lesbian bisa menjadikan penelitian ini sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan kesejahteraan psikologisnya.

 Diharapkan dengan mengetahui informasi mengenai pengertian, dan cara penerapan Psychological Well-Being dalam kehidupan sehari - hari, para Lesbian bisa menjalin hubungan baik dengan orang lain, bisa menguasai lingkungan sosial di sekitarnya, bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya, bisa mencari dukungan sosial, dan bisa mencapai tujuan hidupnya masing – masing.


(21)

Bagi Masyarakat Umum

Agar masyarakat mendapatkan informasi mengenai Psychological Well-Being beserta manfaatnya dalam kehidupan manusia, sehingga masyarakat nantinya bisa mencapai kesejahteraan psikologisnya masing - masing.

 Memberikan informasi mengenai pengertian, dan manfaat dari Psychological Well-Being pada masyarakat yang berminat mengadakan penyuluhan terkait Psychological Well-Being.

1.5. Kerangka Pemikiran

Individu yang berada pada tahap usia dewasa awal adalah individu yang sedang berada dalam kisaran usia 20 – 35 tahun (John W. Santrock, 2002). Dewasa awal dapat diartikan sebagai masa tatkala individu melakukan penyesuaian terhadap pola – pola kehidupan dan harapan sosial yang baru, misalnya memenuhi kebutuhannya sendiri, menentukan pilihan karir, membentuk significant relationship, membangun kemandirian dari orangtua, dan bertanggung jawab atas perilakunya. Semua individu yang berada pada tahap usia dewasa awal harus dapat memenuhi tugas perkembangan sebagai individu dewasa. Tugas – tugas perkembangan tersebut adalah membangun karir, menjalin Intimacy, membangun cinta yang matang, melaksanakan pernikahan dan membangun rumah tangga (John W. Santrock, 2002).


(22)

Berbeda halnya dengan individu dewasa awal heterosekual, individu dewasa awal lesbian harus dihadapkan dengan permasalahan – permasalahan dari lingkungan sekitar ketika sedang menjalankan tugas perkembangannya. Lesbian dewasa awal harus menentukan pilihan, apakah akan menikah dengan lawan jenis dan membangun sebuah rumah tangga, atau tidak menikah dan tetap menjalin hubungan interpersonal dengan sesama jenis. Lesbian dewasa awal yang memilih untuk tidak menikah tentunya cenderung mendapatkan kecaman dari keluarga maupun masyarakat sekitar. Begitu juga ketika membangun karir dan lingkungan pekerjaan sudah mengetahui status orientasi seksual mereka, lesbian dewasa awal cenderung mendapatkan cemoohan dari lingkungan pekerjaan, sehingga berpengaruh pada prestasi kerja mereka, atau mungkin sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini tentunya juga akan berpengaruh pada status kemandirian finansial mereka, dimana setiap individu dewasa awal dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri.

Kinsey (1953), menjelaskan bahwa Lesbian adalah suatu keadaan yang mendorong perempuan untuk memiliki kecenderungan lebih besar menyukai sesama jenis, merupakan suatu keadaan ketika seorang wanita kurang terbiasa mencintai, dan melakukan hubungan mendalam / kontak secara sexual dengan lawan jenisnya. Keadaan lesbian di Indonesia, khususnya di daerah “X” Kota Bandung Barat, yaitu masyarakat cenderung menolak atau mengharamkan keberadaan lesbian atau hubungan lesbian, karena dianggap hubungan yang menyimpang, melanggar tatanan agama, dan merusak moral. Hal ini berkaitan juga dengan kondisi budaya di Indonesia, dan hukum di Indonesia yang tidak


(23)

melegalkan pernikahan atau hubungan sesama jenis. Hal ini menyebabkan para Lesbian, khususnya di daerah “X’ Kota Bandung Barat menjadi merasa dikucilkan di lingkungan masyarakat, maupun oleh keluarga mereka sendiri. Para lesbian ini juga menjadi merasa tidak bahagia, tidak sejahtera secara psikologis, karena mengalami dan menilai pengalaman – pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut, mencerminkan Psychological Well-Being.

Carol D. Ryff menjelaskan bahwa Psychological Well-Being adalah suatu konsep yang berhubungan dengan apa yang dihayati dan dievaluasi oleh individu dalam aktivitas dan kehidupan sehari – harinya serta mengarah pada pengungkapan perasaan – perasaan pribadi atas apa yang dirasakan individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya yang tidak hanya sebagai pencapaian kepuasan, namun juga usaha untuk mencapai keutuhan yang merepresentasikan perealisasian potensi individu yang sesungguhnya.

Lesbian dengan tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi menunjukkan perilaku dapat beradaptasi dan menguasai lingkungan sekitarnya (Environmental Mastery), memiliki kepercayaan diri yang baik (Self – Acceptance), dapat membangun hubungan personal yang baik dengan orang lain (Positive Relation With Others), memiliki kemandirian (Autonomy), memiliki tujuan pribadi dan tujuan dalam pekerjaannya (Purpose In Life), dan memiliki pribadi yang bertumbuh atau berkembang (Personal Growth) (Ryff dan Singer, 1996).

Dimensi yang pertama dari Psychological Well-Being, yaitu Penerimaan Diri atau Self – Acceptance. Dimensi ini merujuk kepada kemampuan seseorang


(24)

untuk dapat menghargai dan menerima secara ikhlas segala aspek dalam dirinya secara positif, baik pengalamannya di masa lalu maupun keadaan mereka saat ini. Seorang lesbian yang memiliki penerimaan diri yang tinggi dapat digambarkan sebagai seorang lesbian yang memahami keadaan dirinya yang berbeda dengan orang lain secara ikhlas, maupun menerima bahwa dirinya adalah lesbian, memiliki pandangan positif mengenai pengalaman masa lalunya, dan tetap mampu menghargai kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Sebaliknya, lesbian yang memiliki penerimaan diri yang rendah pada umumnya memiliki perasaan tidak puas dan benci dengan keadaan dirinya, menolak bahwa dirinya adalah lesbian (denial), kecewa dan selalu menyalahkan masa lalunya, berharap untuk bisa menjadi orang lain, dan bersandiwara di depan orang banyak agar tidak diketahui identitasnya sebagai lesbian.

Dimensi kedua yaitu, Hubungan Positif Dengan Orang Lain atau Positive Relation With Others. Dimensi ini merujuk pada kemampuan seseorang untuk dapat saling percaya dan menjalin hubungan hangat dengan orang lain, juga menekankan adanya kemampuan untuk mencintai orang lain. Seorang lesbian yang memiliki hubungan positif dengan orang lain yang tinggi digambarkan memiliki kehangatan terhadap orang lain, bersikap inclusive yakni dapat bergaul dengan homoseksual maupun heteroseksual, mampu menunjukkan empati, afeksi, dan keintiman serta tidak memiliki prasangka buruk terhadap suatu pihak. Seorang lesbian yang rendah pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, akan bersikap apatis dengan orang lain, tidak peduli dengan pandangan dan nilai –


(25)

nilai masyarakat, merasa terisolasi dan menjauhkan diri dari masyarakat, bersikap exclusive dan hanya mau bergaul dengan sesama homoseksual.

Dimensi selanjutnya adalah Kemandirian atau Autonomy. Dimensi ini merujuk pada kemampuan seseorang mengarahkan dirinya sendiri, dan tidak bergantung dengan orang lain. Seorang lesbian yang tinggi dalam dimensi ini digambarkan sebagai seorang lesbian yang memiliki kebebasan dalam menentukan diri tanpa mengabaikan norma sosial yang berlaku, memiliki prinsip yang kuat, mampu mengatasi tekanan sosial dalam berpikir dan bertindak, dan mampu mengontrol perilaku. Lesbian yang rendah dalam dimensi kemandirian pada umumnya digambarkan sebagai seorang lesbian yang sangat mementingkan harapan dan evaluasi dari orang lain, bergantung pada penilaian orang lain ketika membuat keputusan yang penting, dan mengikuti (conform) tekanan sosial dalam berpikir dan bertindak.

Dimensi yang keempat adalah Environmental Mastery atau Penguasaan Lingkungan, dimensi ini merujuk pada kemampuan seseorang untuk mengendalikan lingkungan yang kompleks, menekankan kemampuannya untuk maju di dunia dan mengubahnya secara kreatif melalui aktivitas fisik atau mental sehingga dirinya dapat menyesuaikan dan menggunakan kesempatan – kesempatan yang ada di sekitarnya. Seorang lesbian yang tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan, dapat digambarkan sebagai seorang lesbian yang mudah bergabung dalam masyarakat dan menampilkan diri sesuai dengan kemampuannya, terampil memanfaatkan kesempatan yang datang secara efektif dan mampu memilih dan menciptakan konteks yang cocok dengan kebutuhan dan


(26)

nilai personal. Sedangkan lesbian yang rendah dalam dimensi ini, pada umumnya kurang terampil dan mengalami kesulitan untuk mengatur hidup sehari – hari, kurang mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, mengabaikan kesempatan yang ada dan kurang mampu mengontrol pengaruh eksternal.

Dimensi selanjutnya adalah Tujuan Hidup atau Purpose In Life. Dimensi ini merujuk pada kepemilikan suatu tujuan dalam hidupnya dan evaluasi individu terhadap kemampuan untuk mencapai tujuan tersebut. Seorang lesbian yang tinggi dalam dimensi ini, digambarkan sebagai seorang lesbian yang mampu menetapkan tujuan hidup, serta memiliki keyakinan akan pencapaian tujuan hidupnya. Lesbian yang rendah dalam dimensi ini pada umumnya merasa bahwa dirinya kehilangan petunjuk, kurang memiliki keberartian hidup, kurang memiliki tujuan hidup, dan tidak memiliki keyakinan dalam hidup.

Dimensi yang terakhir adalah Personal Growth atau Pertumbuhan Pribadi. Dimensi ini mengacu pada kemampuan seseorang untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi pribadi. Seorang lesbian yang tinggi pada dimensi ini digambarkan seorang lesbian yang berkeinginan untuk mengembangkan diri, terbuka terhadap pengalaman baru, menyadari potensi yang dimiliki dan dapat mengaktualisasikannya dalam kehidupan karir dan sebagainya, serta selalu berusaha memperbaiki diri dan tingkah laku. Lesbian yang rendah dalam dimensi Personal Growth digambarkan sebagai seorang lesbian yang mengevaluasi dirinya mengalami personal stagnation, merasa tidak dapat meningkatkan dan mengembangkan aktualisasi diri, merasa jenuh dan tidak tertarik dengan


(27)

kehidupan, merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku baru.

Dalam dinamika Psychological Well-Being pada seseorang, keenam dimensi tersebut memiliki keterkaitan yang tidak dapat dilepaskan antara satu dimensi dengan dimensi lainnya yang membentuk Psychological Well-Being secara keseluruhan. Seorang lesbian yang dikatakan memiliki Psychological Well-Being yang tinggi, hasil keenam dimensinya lebih banyak yang memiliki skor tinggi dibandingkan dengan skor rendahnya. Begitu juga sebaliknya untuk lesbian yang dikatakan memiliki Psychological Well-Being yang rendah. Skor yang tinggi adalah skor yang angkanya diatas rata – rata kelompok, skor yang rendah adalah skor yang angkanya dibawah rata – rata kelompok. Dimensi – dimensi Psychological Well-Being juga dipengaruhi berbagai faktor, antara lain yaitu sosiodemografis yang terdiri dari usia, status sosial – ekonomi mereka, penghayatan agama yang mereka anut, penghayatan terhadap pengalaman hidupnya, dukungan sosial yang mereka miliki, dan faktor kepribadian.

Faktor usia mempengaruhi dimensi Environmental Mastery, Personal Growth, Autonomy, dan Purpose In Life (Ryff, 1989). Pada umumnya, pertambahan usia membuat diri mereka lebih matang, mandiri, dan terampil dalam mengendalikan lingkungannya sehingga dapat berpengaruh terhadap penilaian lesbian tersebut mengenai kemampuannya dalam mengatur lingkungan dan aktivitas yang dilakukannya (Environmental Mastery) maupun dalam kemandirian individu (Autonomy) dan berujung pada kepemilikan tujuan hidup yang jelas (Purpose In Life).


(28)

Pada dimensi pertumbuhan pribadi (Personal Growth) seseorang yang berada pada usia dewasa awal akan mengalami peningkatan, namun akan menurun ketika berada pada usia dewasa madya dan dewasa akhir, hal tersebut dikarenakan optimasi usia. Baik fisik, maupun mental akan berada pada masa optimal ketika seseorang menginjak dewasa awal.

Selain faktor diatas, faktor status sosial - ekonomi yang terdiri dari faktor pendidikan dan faktor penghasilan, turut memengaruhi Psychological Well-Being, yaitu dalam dimensi penerimaan diri (Self-Acceptance), tujuan hidup (Purpose In Life), penguasaan lingkungan (Environmental Mastery), dan pertumbuhan pribadi (Personal Growth) (Ryff, et al dalam Ryan dan Deci, 2001). Seorang lesbian yang memiliki status sosial-ekonomi yang tinggi pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang layak, hal tersebut menjadi pendorong bagi seorang lesbian untuk mewujudkan tujuannya dalam hidup dan mengembangkan potensi yang mereka miliki, selain itu dengan tingkat pendidikan dan akses yang mereka miliki, mereka menjadi memiliki pengetahuan dan perspektif yang lebih luas mengenai homoseksual sehingga mampu menerima dirinya lebih baik (Self-Acceptance) dan mampu memanfaatkan kesempatan (Environmental Mastery) yang ada di sekitar mereka. Misalnya, lesbian yang berada pada tingkat ekonomi menengah keatas memiliki peluang untuk membuka usaha karena memiliki modal, dan lesbian yang mampu menyewa kost atau kontrakkan untuk tempat tinggal pribadi.

Selain itu dukungan sosial juga turut mempengaruhi pembentukan Psychological Well-Being seseorang (Davis dalam Pratiwi, 2000). Lesbian yang


(29)

mendapatkan dukungan sosial akan merasa bahwa dirinya dicintai, dipedulikan, dihargai, dan menjadi bagian dalam jaringan sosial (seperti keluarga dan sahabat) yang menyediakan tempat bergantung ketika dibutuhkan, dan dapat membantu meningkatkan Self-Esteem mereka, sehingga lesbian yang memiliki dukungan sosial dari lingkungannya cenderung memiliki Self-Acceptance, Positive Relations With Others, Purpose In Life, dan Personal Growth yang lebih tinggi.

Dibandingkan faktor sosiodemografis dan dukungan sosial, faktor pengalaman hidup memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap kondisi Psychological Well-Being individu (Ryff, 1989). Seorang lesbian yang mendapatkan perlakuan diskriminasi, seperti verbal abuse dan kekerasan fisik cenderung memiliki Self-Acceptance, Positive Relations With Others, Purpose In Life, dan Personal Growth yang rendah. Hal ini dikarenakan seseorang yang mempunyai pengalaman hidup yang tidak menyenangkan umumnya akan membekas pada diri mereka, sehingga membuat mereka minder, ataupun susah untuk percaya dengan orang lain.

Faktor agama (religiusitas), terutama penghayatan terhadap agama mempengaruhi derajat Psychological Well-Being individu (Weiten & Llyod, 2003), terutama dalam dimensi Environmental Mastery dan Self-Acceptance. Seorang lesbian yang menghayati peran agama dalam hidupnya menghayati bahwa seluruh pengalaman dalam hidupnya, baik yang menyenangkan maupun kurang menyenangkan adalah suatu hikmah yang perlu disyukuri, hal tersebut membuat seorang lesbian menghayati hidup dan pengalaman – pengalamannya lebih bermakna dan lebih positif. Selain itu, pada lesbian yang taat, mereka


(30)

menghayati bahwa doa merupakan salah satu coping yang penting dalam menyelesaikan masalah, sehingga hal tersebut menimbulkan penghayatan lesbian tersebut bahwa mereka mampu menjalani tuntutan hidup sehari – hari.

Faktor berikutnya yang memengaruhi Psychological Well-Being individu adalah faktor kepribadian, yaitu trait dari The Big Five Personality Factors McCrae, yang meliputi Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Openness To Experience, dan Neuroticism. Trait – trait tersebut memiliki hubungan dimensi – dimensi Psychological Well-Being pada seseorang (Schmute dan Ryff, 1997). Seorang lesbian yang memiliki trait Neuroticism memiliki kecenderungan untuk mudah cemas, marah, dan reaktif serta memiliki peluang untuk menerima dirinya secara negatif, sehingga mempengaruhi dimensi Self -Acceptance. Seorang lesbian dengan trait Extraversion cenderung didominasi oleh perasaan positif, energik, dan dorongan untuk menjalin relasi dengan orang – orang di sekitarnya, sehingga lesbian dengan trait Extraversion akan cenderung memiliki Positive Relation With Others, dan Purpose In Life yang tinggi. Seorang lesbian yang memiliki trait Openness To Experience cenderung memiliki dimensi Personal Growth yang tinggi, yaitu keterbukaan terhadap pengalaman baru yang disertai nilai, imajinasi, dan pemikiran luas. Selain itu, lesbian yang memiliki trait Agreeableness biasanya akan ramah, pemaaf, penyayang, memiliki kepribadian selalu mengalah, sehingga cenderung memiliki dimensi Positive Relations With Others yang tinggi. Sedangkan lesbian yang memiliki trait Conscientiousness biasanya merupakan seseorang yang terencana, terorganisir, dan mampu


(31)

berpikiran jauh ke masa depan, sehingga cenderung memiliki dimensi Purpose In Life yang tinggi.

Keenam dimensi Psychological Well-Being dimiliki oleh setiap lesbian dewasa awal di daerah “X” Bandung Barat, namun kategori tinggi rendahnya dimensi – dimensi Psychological Well-Being mereka bergantung pada skor masing – masing dimensi Psychological Being nya. Psychological Well-Being juga dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga terdapat kategori Psychological Well-Being yang bervariasi yang dimiliki oleh masing – masing

lesbian dewasa awal daerah “X” Bandung Barat. Berdasarkan keenam dimensi Psychological Well-Being dan faktor – faktor yang mempengaruhinya, maka kita dapat mengetahui kategori Psychological Well-Being lesbian dewasa awal daerah

“X” Bandung Barat. Guna memperjelas uraian di atas, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut :


(32)

1.6. Bagan Kerangka Pemikiran

Bagan 1.1. Bagan Kerangka Pemikiran

Faktor yang Memengaruhi :

1) Sosiodemografis (Usia, budaya, sosial- ekonomi)

2) Dukungan Sosial 3) Agama

4) Faktor Kepribadian

Lesbian Usia Dewasa Awal Psychological Tinggi (20 – 35 tahun) Well – Being

Rendah

Enam Dimensi : 1) Self – Acceptance

2) Positive Relations With Others 3) Autonomy

4) Environmental Mastery 5) Purpose In Life


(33)

1.7. Asumsi Penelitian

1. Psychological Well-Being pada Lesbian di daerah “X” Kota Bandung Barat diasumsikan sebagian besar kategorinya rendah.

2. Psychological Well – Being terdiri atas enam dimensi, yaitu Self Acceptance, Positive Relation With Others, Autonomy, Environmental Mastery, Purpose In Life, dan Personal Growth. Setiap Lesbian di Kota Bandung Barat memiliki gambaran keenam dimensi Psychological Well – Being yang berbeda – beda.

3. Psychological Well-Being pada Lesbian di daerah “X” Kota Bandung Barat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor sosiodemografis (usia, pendidikan, dan faktor sosial-ekonomi), agama (religiusitas), pengalaman hidup, dukungan sosial, dan faktor kepribadian The Big Five Factors Personality McCrae.


(34)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat Psychological Well-Being pada lesbian dewasa awal di Kota Bandung Barat, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Lesbian di Kota Bandung Barat sebagian besar menunjukkan Psychological Well-Being yang relatif seimbang antara kategori tinggi dan rendahnya (tinggi 46,7%, rendah 53,3%).

2. Psychological Well-Being pada dimensi Self-Acceptance, Purpose In Life, dan Personal Growth termasuk dalam kategori tinggi. Adapun pada dimensi Autonomy dan Environmental Mastery termasuk dalam kategori rendah. Sedangkan pada dimensi Positive Relation With Others kategori tinggi dan rendahnya sama rata.

3. Faktor sosiodemografis berupa faktor ekonomi kategori penghasilan yang mencukupi kebutuhan sehari-hari, pendidikan kategori S1, dukungan sosial dari keluarga, sahabat, teman sesama lesbian, pacar, dan faktor kepribadian dari The Big Five Factors Personality McCrae yang meliputi Conscientiousness, Agreeableness, Extraversion, Openness To Experience, dan Neuroticism mempunyai keterkaitan dengan Psychological Well-Being.


(35)

5.2. Saran

5.2.1. Saran Teoritis

1. Bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian dengan variabel Psychological Well-Being dan sampelnya lesbian, bisa menggunakan data penelitian ini sebagai informasi awal dalam penelitiannya.

5.2.2. Saran Praktis

1. Para lesbian daerah “X” Bandung Barat disarankan untuk tidak terlalu menghiraukan penilaian negatif, pendapat negatif, kritikan pedas, dan cemoohan dari lingkungan sekitar mengenai keadaan diri mereka, dikarenakan nantinya akan mempengaruhi kepercayaan diri dan kondisi mental mereka dalam beraktivitas di masyarakat. Hal ini berhubungan dengan dimensi Self-Acceptance, Autonomy, dan Environmental Mastery.

2. Para lesbian daerah “X” Bandung Barat disarankan untuk mempertahankan dukungan sosial yang mereka dapat dan tetap menjalin hubungan positif dengan orang lain untuk meningkatkan kesejahteraan psikologisnya.

3. Para lesbian daerah “X” Bandung Barat dapat mengikuti penyuluhan atau sosialisasi mengenai Psychological Well-Being yang diadakan oleh peneliti dengan persiapan tertentu, untuk dapat membantu para lesbian meningkatkan kesejahteraan psikologisnya masing – masing.


(36)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI PSYCHOLOGICAL WELL

BEING PADA LESBIAN DEWASA AWAL DI

DAERAH “X”

KOTA BANDUNG BARAT

SKRIPSI

Diajukan Untuk Menempuh Sidang Sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung

Disusun Oleh :

MERRYL ROHAENI 0933036

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG


(37)

(38)

(39)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT., atas rahmat dan penyertaannya, peneliti dapat menyelesaikan tugas akhir mata kuliah Skripsi ini di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

Selama menyusun rancangan penelitian dengan judul “Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well – Being pada Lesbian Dewasa Awal di Daerah “X” Kota Bandung Barat”, peneliti banyak menemukan kesulitan, baik dalam persiapan, penyusunan, maupun penyelesaiannya. Berkat bantuan dari berbagai pihak, kesulitan – kesulitan tersebut dapat penulis atasi. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan Terima Kasih kepada :

1. Dr. Irene Prameswari E., M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

2. Drs. Sanusi Soesanto, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing utama, yang telah dengan sabar meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan saran, dan kritik yang membangun untuk outline penelitian ini.

3. Dr. Jacqueline M.TJ., M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing kedua, yang telah dengan sabar meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan saran, dan kritik mengenai sistematika penulisan outline penelitian ini.

4. Drs. Paulus H.Prasetya, M.Si., Psik., dan Ni Luh Ayu, M.Psi., Psik. selaku dosen yang telah memberikan arahan dan masukkan ketika peneliti


(40)

bertanya mengenai kesulitan – kesulitannya dalam menyusun outline penelitian ini.

5. Michael Yuda Yermia, S.Psi. selaku alumni Fakultas Psikologi Maranatha yang telah memberikan informasi dalam melakukan pengolahan data. 6. Dr. Henndy Ginting, M.Si., Psikolog selaku dosen yang telah memberikan

peneliti bahan atau referensi yang dibutuhkan dalam penulisan outline penelitian ini.

7. Dosen – dosen di Fakultas Psikologi yang telah memberikan peneliti nasehat, arahan, kritik, dan masukkan baik untuk kepentingan pembuatan penelitian ini maupun untuk memotivasi peneliti agar terus berjuang dan maju.

8. Zaki Nursanto Sulistyo, S.Psi., dan teman – teman di Fakultas Psikologi yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan peneliti informasi dan bahan yang bermanfaat untuk penulisan outline penelitian ini.

9. Para responden penelitian, baik masyarakat kota Bandung maupun subjek penelitian ini, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk diwawancara oleh peneliti pada saat melakukan survey awal, maupun bersedia mengisi kuesioner saat pengambilan data.

10.Tante Eva, Om Andi, orang tua, keluarga peneliti yang telah memberikan peneliti bantuan moril maupun materil dalam proses menyelesaikan kuliah, almarhum Ibu Mimin dan Bapak Mamat, kakak – kakak kandung


(41)

peneliti yang secara tidak langsung memotivasi peneliti untuk terus berjuang dan maju.

11.Sahabat – sahabat peneliti, dan orang – orang yang peneliti sayangi, yang secara tidak langsung telah memotivasi peneliti untuk terus berjuang dan maju.

12.Pihak lain yang turut serta membantu proses perkuliahan peneliti, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu – persatu namanya.

Akhir kata, peneliti berharap rancangan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak – pihak lain yang memerlukannya.

Bandung, Mei 2016


(42)

81

DAFTAR PUSTAKA

Crawford, Mary and Unger, Rhoda. (2004). Women and Gender: A Feminist Psychology. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Haybron, Daniel M. (2000). The Pursuit of Unhappiness: The Elusive Psychology of Well – Being. England: Oxford University Press.

Kinsey, William. (1953). Sexual Behavior In Human Female. London: W.B. Sander Publication.

Mappiare, Andi. (1980). Psikologi Orang Dewasa. Jakarta: Usaha Nasional Nazir, Mohammad. (1988). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Papalia, Diane E. (2007). Adult Development and Aging. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Santrock, John W. (2002). Adult Development and Aging. USA: Wm. C. Brown Publishers


(43)

82

DAFTAR RUJUKAN

Delik : Fenomena Cinta Sesama Jenis. 16 Maret 2015. RCTI. Indonesia

http://statistikaikip.blogspot.co.id/2015/05/pengertian-teknik-samplingpengambilan.html

Mardiansyah, Didi. (2012). Gambaran Psychological Well-Being pada Gay Usia Dewasa Muda pada Beberapa Komunitas di Kota Bandung. Skripsi. Bandung

Nursanto, Zaki. (2012). Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-Being pada Lesbian di Daerah “X” Kota Bandung Utara. Skripsi. Bandung

Pribadi, Alvian. (2010). Psychological Well – Being Ditinjau dari Tipe Coping Stress Pada Siswa Program Akselerasi SMA Negeri 3 Surakarta. Skripsi. Surakarta

Widyastutik, Ratna. (2011). Perbedaan Psychological Well-Being Ditinjau dari Dukungan Sosial pada Remaja Tunarungu yang Dibesarkan Dalam Lingkungan Asrama SLB-B di Kota Wonosobo. Skripsi. Surakarta


(1)

(2)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT., atas rahmat dan penyertaannya, peneliti dapat menyelesaikan tugas akhir mata kuliah Skripsi ini di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

Selama menyusun rancangan penelitian dengan judul “Studi Deskriptif

Mengenai Psychological Well – Being pada Lesbian Dewasa Awal di Daerah “X” Kota Bandung Barat”, peneliti banyak menemukan kesulitan, baik dalam persiapan, penyusunan, maupun penyelesaiannya. Berkat bantuan dari berbagai pihak, kesulitan – kesulitan tersebut dapat penulis atasi. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan Terima Kasih kepada :

1. Dr. Irene Prameswari E., M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

2. Drs. Sanusi Soesanto, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing utama, yang telah dengan sabar meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan saran, dan kritik yang membangun untuk outline penelitian ini.

3. Dr. Jacqueline M.TJ., M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing kedua, yang telah dengan sabar meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan saran, dan kritik mengenai sistematika penulisan outline penelitian ini.

4. Drs. Paulus H.Prasetya, M.Si., Psik., dan Ni Luh Ayu, M.Psi., Psik. selaku dosen yang telah memberikan arahan dan masukkan ketika peneliti


(3)

vii

bertanya mengenai kesulitan – kesulitannya dalam menyusun outline penelitian ini.

5. Michael Yuda Yermia, S.Psi. selaku alumni Fakultas Psikologi Maranatha yang telah memberikan informasi dalam melakukan pengolahan data. 6. Dr. Henndy Ginting, M.Si., Psikolog selaku dosen yang telah memberikan

peneliti bahan atau referensi yang dibutuhkan dalam penulisan outline penelitian ini.

7. Dosen – dosen di Fakultas Psikologi yang telah memberikan peneliti nasehat, arahan, kritik, dan masukkan baik untuk kepentingan pembuatan penelitian ini maupun untuk memotivasi peneliti agar terus berjuang dan maju.

8. Zaki Nursanto Sulistyo, S.Psi., dan teman – teman di Fakultas Psikologi yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan peneliti informasi dan bahan yang bermanfaat untuk penulisan outline penelitian ini.

9. Para responden penelitian, baik masyarakat kota Bandung maupun subjek penelitian ini, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk diwawancara oleh peneliti pada saat melakukan survey awal, maupun bersedia mengisi kuesioner saat pengambilan data.

10.Tante Eva, Om Andi, orang tua, keluarga peneliti yang telah memberikan peneliti bantuan moril maupun materil dalam proses menyelesaikan kuliah, almarhum Ibu Mimin dan Bapak Mamat, kakak – kakak kandung


(4)

viii

peneliti yang secara tidak langsung memotivasi peneliti untuk terus berjuang dan maju.

11.Sahabat – sahabat peneliti, dan orang – orang yang peneliti sayangi, yang secara tidak langsung telah memotivasi peneliti untuk terus berjuang dan maju.

12.Pihak lain yang turut serta membantu proses perkuliahan peneliti, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu – persatu namanya.

Akhir kata, peneliti berharap rancangan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak – pihak lain yang memerlukannya.

Bandung, Mei 2016


(5)

81

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Crawford, Mary and Unger, Rhoda. (2004). Women and Gender: A Feminist Psychology. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Haybron, Daniel M. (2000). The Pursuit of Unhappiness: The Elusive Psychology of Well – Being. England: Oxford University Press.

Kinsey, William. (1953). Sexual Behavior In Human Female. London: W.B. Sander Publication.

Mappiare, Andi. (1980). Psikologi Orang Dewasa. Jakarta: Usaha Nasional Nazir, Mohammad. (1988). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Papalia, Diane E. (2007). Adult Development and Aging. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Santrock, John W. (2002). Adult Development and Aging. USA: Wm. C. Brown Publishers


(6)

82

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Delik : Fenomena Cinta Sesama Jenis. 16 Maret 2015. RCTI. Indonesia

http://statistikaikip.blogspot.co.id/2015/05/pengertian-teknik-samplingpengambilan.html

Mardiansyah, Didi. (2012). Gambaran Psychological Well-Being pada Gay Usia Dewasa Muda pada Beberapa Komunitas di Kota Bandung. Skripsi. Bandung

Nursanto, Zaki. (2012). Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-Being pada Lesbian di Daerah “X” Kota Bandung Utara. Skripsi. Bandung

Pribadi, Alvian. (2010). Psychological Well – Being Ditinjau dari Tipe Coping Stress Pada Siswa Program Akselerasi SMA Negeri 3 Surakarta. Skripsi. Surakarta

Widyastutik, Ratna. (2011). Perbedaan Psychological Well-Being Ditinjau dari Dukungan Sosial pada Remaja Tunarungu yang Dibesarkan Dalam Lingkungan Asrama SLB-B di Kota Wonosobo. Skripsi. Surakarta