Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-Being pad Lesbian Usia Dewasa Awal (18-25 Tahun) di Komunitas "X" Kota Jakarta.

(1)

viii ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran Psychological Well-Being (PWB) pada Lesbian Usia Dewasa Awal (18-25 tahun) di Komunitas “X” Kota Jakarta. Rancangan penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 41 responden. Pemilihan sampel menggunakan snowball sampling.

Alat ukur yang digunakan merupakan hasil adaptasi dari The Ryff Scales of Psychological Well-Being yang diterjemahkan oleh Neysa Valeria, S.Psi yang terdiri dari 84 item. Berdasarkan uji validitas dengan menggunakan rumus Rank Spearman diperoleh 80 item valid dengan rentang validitas 0,314-0,826. Berdasarkan hasil pengujian reliabilitas dengan rumus Alpha Cronbach, diperoleh hasil 0,937.

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” kota Jakarta memiliki psychological well-being yang berbeda-beda dan tersebar hampir merata. Diperoleh sebanyak 51.22% responden memiliki psychological well-being yang tinggi, dan 48.78% memiliki psychological well-being yang rendah.

Peneliti mengajukan saran untuk melakukan penelitian secara kualitatif agar data yang diperoleh lebih mendalam sehingga dapat menjelaskan dinamika dari keenam dimensi psychological well-being. Selain itu perlu juga melakukan penelitian mengenai kontribusi antara trait openes to experience dengan derajat PWB secara keseluruhan. Disarankan kepada lesbian untuk melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan dimensi-dimensi psychological well-being.


(2)

ix ABSTRACT

This research was conducted to know the image of the Psychological Well-Being (PWB) of early adult (18-25 years old) lesbian in the “X” community of Jakarta. The used design in this research was descriptive method. Sample of respondents in this study totaled 41. Snowball sampling is applied as sample choosing.

The measurement instrument is the adaptation from the Ryff Scales of Psychological Well-Being translated by Neysa Valeria, S.Psi and consists of 84 items. Based on validity by using formula of Rank Spearman and it resulted 80 valid items with validity is ranging from 0,314-0,826 and reliability 0,937 by using Alpha Cronbach formula.

Based on the result of the research, it found that early adult age of lesbian in the “X” community of Jakarta having different psychological well-being and almost evenly spread, which is 51.22% indicating a high psychological well-being, while 48.78% of them showed a low psychological well-being.

Researcher put forward suggestion to conduct qualitative research in order to more in-depth, so can explain the dynamics of the six dimensions of psychological well-being. In addition, also need to have a research to find out the contribution of trait openes to experience towards the overall psychological well-being. The lesbians was suggested to do some activities that could increase the dimensions of psychological well-being.


(3)

x DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... iii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR BAGAN... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah ... 1

1.2 Identifikasi masalah ... 9

1.3 Maksud dan tujuan penelitian ... 9

1.3.1 Maksud penelitian ... 9

1.3.2 Tujuan penelitian... 10

1.4 Kegunaan Penelitian ... 10

1.4.1 Kegunaan teoretis ... 10

1.4.2 Kegunaan praktis... 10

1.5 Kerangka pemikiran ... 11

1.6 Asumsi penelitian ... 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1PSYCHOLOGICAL WELL-BEING ... 23

2.1.1 Definisi psychological well-being ... 23

2.1.2 Dimensi-dimensi psychological well-being ... 24

2.1.3Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being ... 29


(4)

xi

2.2.1 Pengertian Lesbian ... 34

2.3PERKEMBANGAN DEWASA AWAL ... 35

2.3.1 Pengertian Dewasa Awal ... 35

2.3.2 Tugas Perkembangan Dewasa Awal ... 35

2.3.3 Ciri-ciri individu yang beranjak Dewasa ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1Rancangan dan prosedur penelitian ... 39

3.2Bagan prosedur penelitian ... 39

3.3Variabel penelitian dan definisi operasional ... 40

3.3.1 Variabel penelitian ... 40

3.3.2 Definisi operasional ... 40

3.4Alat ukur ... 41

3.4.1 Alat Ukur Psychological well-being ... 41

3.4.2 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 44

3.5Validitas dan reliabilitas alat ukur ... 45

3.5.1Validitas ... 45

3.5.2 Reliabilitas... 46

3.6Populasi dan teknik penarikan sampel ... 47

3.6.1Populasi sasaran ... 47

3.6.2Karakteristik sampel... 47

3.6.3Teknik penarikan sampel ... 48

3.7 Teknik analisis data ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1Gambaran Subjek Penelitian ... 49

4.1.1 Gambaran Berdasarkan Usia ... 49

4.1.2 Gambaran Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 50

4.1.3Gambaran Berdasarkan Status Sosial... 50

4.2Hasil Penelitian ... 51

4.2.1Gambaran Psychological Well-Being Subjek dan Dimensinya ... 51 4.2.2Gambaran Tabulasi Silang dimensi PWB terhadap


(5)

xii

derajat PWB Subjek ... 52

4.3Pembahasan ... 55

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 69

5.2 Saran ... 70

5.2.1Saran teoretis ... 70

5.2.2Saran praktis ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72

DAFTAR RUJUKAN ... 73


(6)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur ... 42

Tabel 3.2 Penilaian Kuesioner ... 43

Tabel 3.3 Kategori Skor ... 44

Tabel 3.4 Kisi-kisi data penunjang ... 44

Tabel 3.5 Kriteria Validitas………..45

Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 49

Tabel 4.2 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pendidikan Terakhir . 50 Tabel 4.3 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Status Sosial ... 50

Tabel 4.4 Gambaran PWB Subjek Penelitian ... 51

Tabel 4.5 Gambaran Psychological Well-Being Berdasarkan Dimensinya ... 51

Tabel 4.6 Tabulasi Silang Self-Acceptance terhadap Derajat PWB ... 52

Tabel 4.7 Tabulasi Silang Positive Relations With Others terhadap Derajat PWB ... 53

Tabel 4.8 Tabulasi Silang Autonomy terhadap Derajat PWB ... 53

Tabel 4.9 Tabulasi Silang Environmental Mastery terhadap Derajat PWB 54 Tabel4.10 Tabulasi Silang Purpose in Life terhadap Derajat PWB ... 54


(7)

(8)

xv

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Skema Kerangka Pikir ... 21 Bagan 3.1 Bagan Prosedur Penelitian ... 39


(9)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Alat Ukur (Data Utama dan Data Penunjang)

Lampiran 1.1. Pengantar ... xvii

Lampiran 1.2. Data Penunjang 1 ... xviii

Lampiran 1.3. Data Penunjang 2 ... xx

Lampiran 1.4. Alat Ukur Data Utama ... xxi

LAMPIRAN 2 Kisi-Kisi Alat Ukur ... xxviii

LAMPIRAN 3 Validitas dan Reliabilitas Lampiran 3.1. Validitas ... xxix

Lampiran 3.2. Reliabilitas ... xxxii

LAMPIRAN 4 Data Mentah dan Data Hasil Penelitian Lampiran 4.1 Data Mentah ... xxxiii Lampiran 4.2 Data Hasil Penelitian ... xl LAMPIRAN 5 Gambaran Dukungan Sosial ... xlii LAMPIRAN 6 Gambaran Faktor Kepribadian ... xliii LAMPIRAN 7 Crosstabulation Pendidikan Terakhir ... xliv LAMPIRAN 8 Crosstabulation Status Sosial ... xlv LAMPIRAN 9 Crosstabulation Dukungan Sosial

Lampiran 9.1. Dukungan Sosial*PWB ... xlvi Lampiran 9.2. Dukungan Sosial*Dimensi-Dimensi PWB ... xlvi LAMPIRAN 10


(10)

xvii

Lampiran 10.2. Faktor Kepribadian*Dimensi-Dimensi PWB ... xlviii Lampiran 10.2.1. Extraversion ... xlviii Lampiran 10.2.2. Neuroticism ... xlviii Lampiran 10.2.3. Openes to Experience ... xlix Lampiran 10.2.4. Conscienciousness ... xlix Lampiran 10.2.5. Agreeableness ... l LAMPIRAN 11 Biodata Peneliti ... li


(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Di zaman modern dan era globalisasi ini, sangat mudah untuk menemukan individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual yang menyimpang itu sendiri salah satunya adalah homoseksual. Homoseksual adalah hasrat atau aktivitas seksual yang ditunjukkan terhadap orang yang memiliki jenis kelamin yang sama (Neale, Davison, & Haaga, 1996).

Dalam dunia psikologi, hingga tahun 1973 homoseksualitas tercantum dalam DSM sebagai salah satu bentuk penyimpangan seksual yang hanya ada sampai di DSM-III. Namun, dalam edisi DSM selanjutnya, secara bertahap homoseksualitas dihapuskan dari daftar gangguan jiwa oleh American Psychiatric Association (APA). Alasan dikemukakannya keputusan tersebut sebagian karena tekanan dari berbagai kelompok kaum homoseksual dan banyaknya debat, serta kontroversi dari kelompok professional psikiatri mengenai pola emosi, perilaku dan penyebab dari homoseksual (Davison, G.C, Neale, J.M, Kring, A.M, 2006). Keputusan tersebut juga dilanjutkan oleh WHO yang kemudian di Indonesia Departemen Kesehatan Indonesia telah mencoret homoseksualitas dari gangguan jiwa.


(12)

2

Di Indonesia, keberadaan homoseksual sudah ada sejak lama, terutama di kota-kota besar yang salah satunya adalah kota Jakarta. Berdasarkan hasil survey tahun 2003 dari Yayasan Pelangi Kasih Nusantara (YPKN) menunjukkan bahwa terdapat sekitar 4000 hingga 5000 penyuka sesama jenis di kota Jakarta. Homoseksual atau penyuka sesama jenis yang pada umumnya dikenal oleh sebagian besar masyarakat terbagi menjadi dua, yaitu homoseksual antar sesama laki-laki yang biasa disebut gay dan homoseksual antar sesama perempuan disebut dengan lesbian. Lesbian adalah perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan atau perempuan yang mencintai sesama jenis baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual (Matlin, 2004). Para lesbian biasanya lebih tertutup dibandingkan dengan kaum gay yang lebih teramati dan terlihat dalam kehidupan sehari-hari (Bonan, 2003 & Pace, 2002).

Meski lesbian lebih tertutup, tetapi mereka tetap dapat menjalin hubungan komunikasi antar sesama lesbian, mulai dari media sosial bahkan hingga terdapat tempat tertentu dimana banyaknya kaum lesbian berkumpul atau sebagai tempat bertemu para sesama lesbian, seperti di salah satu komunitas “X” di kota Jakarta.

Komunitas “X” sendiri bukan merupakan komunitas yang berdiri secara resmi. Komunitas ini merupakan suatu perkumpulan para kaum lesbian yang sudah memiliki satu tempat tertentu dimana mereka biasa saling berkumpul atau bertemu. Meski terdapat tempat dimana mereka saling berkumpul, sulit membedakan kaum lesbian secara kasat mata, karena sudah merupakan hal yang umum untuk sesama wanita berpegangan tangan maupun berpelukan di tempat umum. Kehidupan lesbian pun di tempat umum memang tidak mencolok, berbeda


(13)

3

dengan gay yang apabila bermesraan di tempat umum masyarakat langsung dapat berasumsi bahwa mereka adalah homoseksual (Eko Prasetya, 2013).

Para lesbian di komunitas “X” sendiri tidak wajib hadir dalam berbagai kegiatan yang dilakukan bersama-sama dengan anggota komunitas seperti pergi berlibur bersama ataupun hanya sekedar bertemu dan berbagi cerita dari masing-masing anggota mengenai kehidupan yang mereka alami. Mereka dapat datang sesuai dengan kemauan mereka sendiri, sehingga tidak ada keterikatan yang erat terhadap masing-masing anggotanya. Lesbian tersebut juga melakukan aktivitas masing-masing pada kehidupan sehari-harinya. Kehidupan mereka sama saja dengan individu heteroseksual. Sebagai sesama manusia, mereka tetap melakukan aktivitasnya seperti menempuh pendidikan, mencari nafkah, bersosialisasi dengan masyarakat lainnya karena mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan individu heteroseksual, hanya saja orientasi seksualnya yang berbeda.

Komunitas “X” ini semata-mata hanya untuk berkumpulnya para lesbian.

Mereka tidak memiliki maksud lain di balik komunitas mereka. Mereka juga tidak memiliki maksud untuk memperjuangkan hak-hak lesbian yang banyak dilakukan oleh komunitas lain atau yayasan maupun lembaga yang terkait dengan homoseksual. Selama ini kehadiran kaum lesbian sendiri belum sepenuhnya dapat diterima oleh masyarakat, sehingga seringkali sindiran, cacian hingga perlakuan kurang mengenakkan menjadi bagian yang harus diterima oleh kaum lesbian dari masyarakat. Tak hanya dari orang lain, namun juga dari saudara serta orang tua sendiri. Keluarga malah menekan mereka bahwa menjadi wanita lesbian adalah aib dan sesuatu yang bertentangan dengan agama.


(14)

4

Wanita lesbian juga dituntut untuk memenuhi tugas-tugas perkembangan yang sama sesuai dengan usianya, termasuk pada usia dewasa awal yang berada dalam rentang usia 18-25 tahun Arnett, 2006, 2007, dalam Santrock, 2012). Pada usia dewasa awal ini merupakan masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru dan memanfaatkan kebebasan yang diperolehnya, sehingga individu mempunyai hak untuk memilih jalan hidup yang sesuai dengan apa yang dia kehendaki, yaitu memilih apakah dirinya menjadi heteroseksual atau homoseksual (lesbian).

Dalam menentukan pilihan tersebut tidaklah mudah, karena untuk memilih menjadi wanita lesbian terdapat resiko yang akan dihadapi. Namun, setiap individu akan memiliki penghayatan yang berbeda-beda terhadap apa yang di alaminya. Ada wanita yang menilai dirinya menjadi lesbian bukan merupakan hal yang membebani dirinya. Mereka tetap menilai dirinya secara positif dengan menerima kekurangan yang dimilikinya dan menikmati aktivitas sehari-harinya sama seperti individu pada umumnya. Mereka juga tetap memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan dengan sebaik mungkin untuk dapat menunjang masa depannya, dapat mandiri dan mengembangkan potensi yang dimiliki tanpa banyak memikirkan mengenai dirinya sebagai seorang lesbian, serta tetap terbuka dengan lingkungan masyarakat dengan menjalin hubungan positif dengan orang lain tidak hanya dalam lingkungan lesbian saja.

Sedangkan, lesbian yang menilai dirinya secara negatif, mereka merasa resah, denial atau mengingkari diri sebagai lesbian, kecewa, marah, serta putus asa dengan masa depannya jika mereka tetap menjadi seorang lesbian. Berbagai perilaku yang timbul pun beragam, ada yang menggunakan obat terlarang bahkan


(15)

5

mengambil keputusan untuk bunuh diri. Mereka juga memberi batasan ke lingkungannya dan lebih memilih untuk menutup diri sehingga tidak mampu untuk berelasi dengan baik, tidak percaya diri sehingga kurang dapat memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan.

Penilaian tersebut dipengaruhi oleh psychological well-being individu itu sendiri. Menurut Ryff, (1989, 1995, dalam Vázquez, dkk., 2009; Ryff& Keyes, 1995; Ryan & Deci, 2001) psychological well-being didefinisikan sebagai keadaan perkembangan potensi nyata seseorang yang merupakan hasil evaluasi mengenai dirinya sendiri, pengalaman positif dan negatif yang dihayati selama hidupnya, dan juga kualitas mengenai hidupnya secara keseluruhan. Untuk bisa mencapai kesejahteraan psikologis tersebut, individu mengevaluasi enam dimensi dari psychological well-being , yaitu kemampuan individu dalam menerima diri apa adanya (self-acceptance), kemampuan individu membina hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), kemampuan individu mampu mengarahkan dirinya sendiri (autonomy), kemampuan individu dalam mengatur dan menguasai lingkungan (environmental mastery), kemampuan individu dalam merumuskan tujuan hidup (purpose in life), dan kemampuan individu dalam menumbuhkan serta mengembangkan potensi pribadi (personal growth) (Ryff, 1989).

Selain keenam dimensi diatas, psychological well-being seseorang juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor sosio-ekonomi (status sosial), faktor pendidikan, faktor dukungan sosial dan faktor kepribadian (big five personality).


(16)

6

Berdasarkan pemaparan diatas, telah dilakukan wawancara terhadap 10 wanita lesbian di komunitas “X” sebagai survey awal. 7 orang diantaranya merasa menerima dirinya sebagai seorang lesbian. Meski awalnya mereka merasa tidak percaya dengan dirinya yang menjadi seorang lesbian, namun seiring berjalannya waktu mereka dapat menerima diri dan menganggap bahwa hal tersebut memang jalan yang harus mereka terima. Mereka juga mengetahui bahwa dengan dirinya sebagai lesbian merupakan hal yang di anggap menyimpang dan sulit untuk diterima di lingkungan masyarakat heteroseksual. Sedangkan, 3 orang lainnya merasa masih sering memikirkan dan mempertanyakan mengapa diri mereka menjadi lesbian. Bahkan sering terlintas di pikiran mereka untuk mencari cara bagaimana kembali menjadi normal dan keluar dari lingkungan komunitas lesbian tersebut. Mereka masih berharap untuk kembali menjadi normal dan dapat memiliki pasangan lawan jenis.

Ke-10 lesbian yang diwawancarai merasa dapat memiliki hubungan positif dengan orang lain. Mereka menghayati dirinya masih dapat berhubungan dengan baik seperti dalam lingkungan komunitas maupun di lingkungan masyarakat secara umum. Meski 10 responden merupakan kaum lesbian, mereka masih memiliki teman heteroseksual. Kebanyakan dari mereka pun memiliki teman dekat yang justru bukan merupakan seorang lesbian. Tidak hanya dengan teman di luar komunitas saja, beberapa dari mereka pun masih memiliki hubungan yang hangat dengan orang tua maupun saudara-saudara mereka. Sehingga mereka tetap dapat terbuka tanpa menutup diri dari lingkungan karena mereka seorang lesbian.


(17)

7

Mengenai kemandirian, 7 wanita lesbian menilai dirinya masih dapat menghadapi tekanan sosial dan mengabaikan apa yang dikatakan oleh orang lain mengenai dirinya sebagai lesbian. Mereka juga tidak menggantungkan diri dengan orang lain, sehingga setiap keputusan yang mereka ambil lebih berdasarkan apa yang mereka pikirkan secara sendiri sesuai dengan standar pribadi masing-masing lesbian. Namun, keputusan yang mereka ambil masih sesuai dengan norma yang ada di lingkungan. Sedangkan, 3 orang lainnya menilai dirinya masih memiliki banyak ketergantungan dengan orang lain, seperti dalam pengambilan keputusan tertentu banyak membutuhkan pendapat dari teman-teman sekitar. Lesbian tersebut juga merasa bahwa orang lain akan membicarakan secara negatif mengenai dirinya sebagai seorang lesbian.

Dalam penguasaan lingkungan, 7 diantaranya masih melakukan kegiatan sehari-hari yang dirasa tidak memiliki banyak perubahan dari sebelum menjadi lesbian. Mereka masih mengikuti perkuliahan maupun bekerja yang menyatu dengan lingkungan heteroseksual. Mereka tetap melakukan kegiatan sehari-hari sesuai dengan kebutuhan mereka selayaknya kaum heteroseksual tanpa menarik diri dari lingkungan. Sehingga, mereka merasa tidak ada perubahan yang signifikan dalam kegiatan setelah menjadi lesbian karena masih memanfaatkan peluang yang ada di lingkungan mereka. Perbedaannya hanya pada mereka memiliki komunitas baru yang beranggotakan para lesbian. Sedangkan 3 orang lainnya menganggap diri mereka kurang mampu dalam penguasaan lingkungan. Mereka lebih memilih untuk agak menarik diri dari lingkungan masyarakat umum dan lebih memperbanyak aktifitas dengan komunitas “X”. Mereka juga


(18)

8

mengabaikan peluang yang ada, seperti berhenti menjadi atlit taekwondo dan memilih bekerja bersama dengan teman-teman sesama lesbian. Salah satu dari mereka juga memilih untuk menganggur karena merasa akan kesulitan saat mengatur situasi dirinya dalam lingkungan heteroseksual.

Dari 10 wanita lesbian yang di wawancarai, 4 orang diantaranya masih memiliki perencanaan maupun tujuan tertentu dalam hidupnya yang ingin mereka capai, seperti memiliki pekerjaan yang sesuai dengan cita-citanya. Menurut mereka, meski sebagai lesbian bukanlah suatu penghalang untuk memiliki perencanaan bahkan hingga mencapai tujuan yang mereka inginkan untuk masa depan. Mereka menganggap hal tersebut lebih memiliki kaitan dengan usaha dibandingkan statusnya sebagai wanita lesbian. Sedangkan 6 orang lainnya lebih menikmati kehidupan saat ini dan belum terlalu memikirkan untuk masa depan yang mereka anggap hal tersebut merupakan suatu beban. Masing-masing dari mereka memang masih memiliki perencanaan maupun tujuan, namun hal tersebut tidak menjadi prioritas utama bagi mereka untuk dicapai, seperti ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan.

Dalam pengembangan diri, 5 dari 10 wanita lesbian menilai dirinya masih dapat mengembangkan dirinya sesuai dengan bidang masing-masing, baik dalam pendidikan maupun pekerjaan. Mereka tidak membatasi diri dalam mencoba hal-hal baru yang dirasanya menarik, maupun yang mereka sukai meskipun dirinya adalah seorang lesbian. Seperti masih mengikuti latihan-latihan untuk kejuaraan taekwondo, mengikuti kursus desain dan tetap mengikuti perkuliahan sesuai dengan bidang yang diminati. Sedangkan 5 lainnya memilih untuk menarik diri


(19)

9

dari lingkungan dan tidak mengembangkan bakat yang dimilikinya, seperti beberapa diantara mereka merupakan atlet dan memilih untuk tidak melanjutkan kegiatannya tersebut dan hidup sebagai pengangguran.

Setelah pemaparan fakta-fakta berdasarkan survey awal di atas, menunjukkan kecenderungan yang berbeda-beda untuk setiap dimensi dari psychological well-being pada wanita lesbian di komunitas “X”. Mereka memiliki penghayatan yang berbeda terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran psychological well-being pada wanita lesbian dewasa awal usia 18-25 tahun di komunitas “X” di kota Jakarta dengan melihatnya berdasarkan keenam dimensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being wanita lesbian.

I.2. Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin mengetahui bagaimana derajat psychological well-being pada lesbian usia dewasa awal usia 18-25 tahun di komunitas “X” di kota Jakarta.

I.3. Maksud dan Tujuan Penelitian I.3.1. Maksud Penelitian

Memperoleh gambaran mengenai derajat psychological well-being pada lesbian usia dewasa awal usia 18-25 tahun di komunitas “X” di Kota Jakarta.


(20)

10

I.3.2. Tujuan Penelitian

Memperoleh gambaran mengenai derajat Psychological Well-Being dan derajat-derajat dimensi terkait faktor-faktor yang mempengaruhi kaum lesbian usia dewasa awal (18-25 tahun) di komunitas “X” Kota Jakarta.

I.4. Kegunaan Penelitian I.4.1. Kegunaan Teoritis

 Memberikan sumbangan informasi bagi pengembangan ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Positif mengenai Psychological Well-Being.

 Memberikan sumbangan informasi bagi pengembangan teori Psikologi Klinis, Sosial dan Perkembangan yang berkaitan dengan lesbian usia dewasa awal.

 Sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan psychological well-being dan lesbian pada berbagai komunitas di Kota Jakarta.

I.4.2.Kegunaan Praktis

Memberikan informasi mengenai psychological well-being kepada lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” Kota Jakarta agar mereka dapat mengetahui gambaran secara umum mengenai kesejahteraan psikologisnya dan dapat menjadi bahan evaluasi bagi mereka dalam rangka meningkatkan kesejahteraan psikologis.


(21)

11

Memberikan informasi mengenai psychological well-being pada lembaga swadaya masyarakat atau komunitas yang berfokus pada lesbian sebagai panduan pelaksanaan kegiatan terkait dengan dimensi-dimensi yang rendah agar dapat ditingkatkan.

Memberikan informasi mengenai psychological well-being pada keluarga yang memiliki anggota keluarga lesbian yang membutuhkan agar dapat mengetahui gambaran secara umum mengenai kesejahteraan psikologis seorang lesbian.

1.5. Kerangka Pikir

Lesbian adalah perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan atau perempuan yang mencintai sesama jenis baik secara fisik, seksual, emosional atau spiritual (Matlin, 2004). Lesbian yang berada pada masa dewasa awal, memiliki tuntutan perkembangan yang sama dengan kaum heteroseksual. Beberapa ahli mengatakan bahwa pada usia dewasa awal merupakan salah satu tahapan yang penting dalam hidup. Masa dewasa awal ditandai oleh eksperimen dan eksplorasi yang terjadi di usia 18 sampai 25 tahun (Arnet 2006, 2007). Dalam Santrock (2012), pada perkembangan dewasa awal banyak individu masih mengeksplorasi jalur karier yang ingin mereka ambil, ingin menjadi individu seperti apa, dan gaya hidup seperti apa yang mereka inginkan; hidup melajang, hidup bersama, atau menikah. Perkembangan terjadi pada seluruh individu yang berada di usia dewasa awal, begitu pula pada lesbian. Lesbian di usia dewasa awal juga diharapkan dapat memerankan tugas sesuai dengan tahap perkembangannya. Sehingga, para lesbian yang memiliki pasangan


(22)

12

pun perlu menemukan keseimbangan antara cinta romantis, afeksi, otonomi dan kesetaraan yang dapat diterima oleh keduanya (Kudrek, 2006).

Namun, terdapat permasalahan yang harus di hadapi oleh lesbian dewasa awal karena orientasi yang berbeda dengan heteroseksual. Konteks sosial dan hukum yang terkait dengan pernikahan, menciptakan halangan untuk memutuskan hubungan atau menceraikan pasangan yang berjenis kelamin sama (Biblarz & Savci, 2010; Green & Mitchell, 2009). Halangan tersebut menjadi salah satu perbedaan bagi kaum lesbian dengan kaum heteroseksual di usia dewasa awal. Pada teori Erikson, masa dewasa awal seringkali melibatkan upaya menyeimbangkan keintiman dan komitmen di satu sisi, serta kemandirian dan kebebasan di sisi lain Faktanya (dalam Santrock, 2012) pasangan lesbian tidak menjalin relasi terbuka seperti kaum heteroseksual.Pada akhirnya, lesbian dewasa awal yang merupakan minoritas dari masyarakat, menyeimbangkan tuntutan dari dua budaya – budaya minoritas lesbian dan budaya mayoritas heteroseksual yang dapat membantu mereka untuk beradaptasi secara efektif dengan lingkungan (Laura Brown, 1989).

Hambatan – hambatan yang di alami oleh kaum lesbian dewasa awal selama menjalani tuntutan perkembangannya berpengaruh pada kesejahteraan psikologisnya atau yang biasa disebut sebagai psychological well-being. Psychological well-being pada lesbian dapat diartikan sebagai keadaan perkembangan potensi nyata seseorang yang merupakan hasil evaluasi mengenai dirinya sendiri, pengalaman positif dan negatif yang dihayati selama hidupnya, dan juga kualitas mengenai hidupnya secara keseluruhan.Untuk mengevaluasi


(23)

13

dirinya, lesbian dapat melihatnya melalui enam dimensi psychological well-being dari Carol D. Ryff (1995) yaitu, penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), kemandirian (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan mengembangkan potensi pribadi (personal growth).

Pada dimensi penerimaan diri (self acceptance) merujuk pada kemampuan seorang lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” untuk menghargai dan menerima dirinya secara ikhlas baik yang positif maupun negatif meskipun lesbian berbeda dari individu pada umumnya baik dari pengalaman masa lalu maupun keadaan mereka sebagai lesbian saat ini. Lesbian dewasa awal pada komunitas “X” kota Jakarta yang memiliki penerimaan diri yang tinggi dapat menerima dirinya sebagai seorang lesbian, memiliki pandangan positif tentang apa yang mereka alami di masa lalu dari baik dan buruk, maupun pengaruh keadaan mereka sebagai lesbian saat ini dan tetap mampu menghargai kelebihan serta kekurangan yang dimilikinya. Sedangkan menurut Poedjati (2003) banyak lesbian yang masih ragu dengan pilihan hidupnya, merasa menyesal, tidak puas serta menganggap dirinya berbeda dengan orang lain dapat dikatakan sebagai lesbian dengan penerimaan diri rendah.

Dimensi yang kedua yaitu hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others). Dimensi ini merujuk pada bagaimana seorang lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” membina hubungan hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain. Lesbian usia dewasa awal komunitas “X” yang memiliki hubungan positif dengan orang lain yang tergolong tinggi memiliki


(24)

14

hubungan yang hangat dan kepercayaan dalam berelasi dengan orang lain baik dalam lingkungan keluarga, sesama kaum lesbian di dalam komunitas “X” maupun di kelompok sosial lainnya tanpa membedakan gender. Lesbian tersebut tidak merasa keberatan untuk bergaul dengan siapa pun sehingga tidak menarik diri dari lingkungan di luar komunitas “X” itu sendiri. Sedangkan para lesbian yang memiliki hubungan positif yang rendah berdasarkan penelitian Theresia, 2011 lesbian pun merasa tidak percaya diri dan merasa terkucilkan karena orientasi seksual mereka yang berbeda dari orang normal kebanyakan, orang-orang disekitar mereka juga banyak yang menjauhi dan mengucilkannya sehingga mereka kesulitan dalam berelasi sehingga menarik diri dari lingkungannya atau hanya berelasi dengan kaum lesbian saja yaitu dalam komunitas “X” itu sendiri.

Dimensi selanjutnya adalah kemandirian (autonomy). Dimensi ini dideskripsikan dengan bagaimana seorang lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” menampilkan sikap kemandirian, memiliki standar internal dan menolak tekanan sosial yang tidak sesuai serta regulasi emosi dalam dirinya. Lesbian yang memiliki kemandirian tinggi menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri dalam menentukan segala sesuatu seorang diri, misalnya dalam membuat keputusan secara sendiri tanpa melibatkan orang lain, seperti dalam hal kemandirian yang terkait dengan ekonomi dalam arti bekerja, karena bekerja juga merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dilalui pada usia dewasa awal (18-25 tahun). Selain itu juga lesbian tersebut memiliki prinsip yang kuat dalam arti tidak mudah terpengaruh oleh orang lain, mampu mengatasi tekanan sosial dalam berpikir dan bertingkah laku, serta mampu mengontrol diri sehingga


(25)

15

masih dalam batas norma-norma yang berlaku di masyarakat. Berbeda dengan lesbian yang memiliki kemandirian rendah, mereka sangat memusatkan ekspektasi dan evaluasi dari orang lain karena adanya rasa cemas terhadap apa yang orang lain pikirkan terhadap lesbian tersebut. Lesbian tersebut juga bergantung kepada orang terdekat dalam menentukan pengambilan keputusan serta bersikap konformis terhadap tekanan sosial dalam berpikir maupun bertindak untuk dirinya sendiri. Misalnya dalam komunitas “X”, mereka kesulitan dalam merealisasikan rencana pribadi untuk memenuhi kebutuhan yang membuat mereka kurang mandiri, sehingga akhirnya mereka pun membutuhkan orang lain dalam keputusan-keputusan yang dibuat agar sesuai dengan apa yang orang lain inginkan, bukan diri lesbian itu sendiri.

Dimensi yang keempat adalah penguasaan lingkungan (envitonmental mastery). Dimensi ini digambarkan pada kemampuan seorang lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” dalam memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai, serta mengatasi rintangan dan tekanan sosial yang memandang sebelah mata keberadaan seorang lesbian. Seorang lesbian di komunitas “X” kota Jakarta yang memiliki penguasaan lingkungan dengan derajat tinggi mampu mengikuti berbagai aktivitas, efektif menggunakan kesempatan-kesempatan yang ada dalam lingkungannya, seperti tetap menempuh pendidikan atau bahkan bekerja dalam suatu bidang tertentu dengan kaum heteroseksual tanpa merasakan maupun berpikir adanya keterbatasan karena dirinya sebagai seorang lesbian, serta mampu melakukan kegiatan sehari-hari sesuai dengan keinginan atau kebutuhan pribadinya tanpa harus menarik diri dari lingkungan. Sehingga mereka tidak


(26)

16

hanya berada dalam ruang lingkup komunitas “X” saja. Sedangkan lesbian usia

dewasa awal di komunitas “X” dengan derajat penguasaan lingkungan yang

rendah merasakan adanya keterbatasan karena dirinya adalah seorang lesbian yang mereka anggap bahwa sebagai lesbian berbeda dengan kaum heteroseksual, sehingga lesbian tersebut sulit dalam memilih kegiatan sehari-hari baik dengan komunitas “X” maupun dengan lingkungan di luar komunitas, serta tidak dapat memilih atau pun menciptakan lingkungan sesuai dengan kebutuhan dirinya, terutama sebagai lesbian usia dewasa awal dimana mereka memiliki tugas perkembangan untuk bekerja.

Dimensi berikutnya adalah tujuan hidup (purpose in life). Dimensi ini menekankan bahwa setiap lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” juga memiliki tujuan tertentu dalam hidup yang ia jalani, serta mampu memberikan makna pada hidup yang dijalani. Seorang lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” dengan derajat tujuan hidup yang tinggi digambarkan sebagai lesbian yang tetap memiliki target dan cita-cita seperti dalam bidang pekerjaan yaitu meraih atau pencapaian kesuksesan bahkan memiliki tujuan untuk menikah meskipun dirinya adalah sebagai seorang lesbian, serta tetap dapat mengevaluasi kemampuan diri dalam pencapaian tujuan hidupnya tanpa harus merasakan berbeda karena mereka adalah seorang lesbian. Sedangkan lesbian dengan derajat tujuan hidup rendah merasa kurang memiliki tujuan hidup, mereka menganggap dengan sebagai lesbian hidupnya tidak berarti lagi sehingga membuat dirinya merasa tidak memiliki keterarahan dalam hidupnya dan lebih memilih untuk


(27)

17

menjalankan kehidupannya saat ini tanpa harus memikirkan arah dan tujuan dalam hidup mereka sebagai lesbian usia dewasa awal.

Dimensi terakhir adalah potensi pribadi (personal growth). Pada dimensi ini dijelaskan sejauh mana seorang lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” terus mengembangkan potensi yang dimilikinya dan memiliki keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru. Lesbian dengan potensi pribadi tinggi digambarkan sebagai lesbian yang terus mengembangkan dirinya berdasarkan kemampuan yang dimilikinya tanpa membatasi diri dengan dasar bahwa dirinya adalah lesbian, serta terbuka terhadap pengalaman baru. Mereka dapat mengaktualisasikan potensinya dengan pengembangan karir maupun skill yang dimiliki oleh masing-masing lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” yang dapat membuat mereka bertambah pengetahuan sehingga memiliki pemikiran yang semakin luas. Lesbian dengan potensi pribadi rendah merasa dirinya mengalami stagnasi dan tidak melihat peningkatan dan pengembangan maupun potensi akan dirinya karena merasakan adanya keterbatasan dengan statusnya sebagai seorang lesbian sehingga lesbian tersebut merasa bahwa dirinya tidak dapat mengembangkan potensi yang dimiliki selayaknya kaum heteroseksual. Mereka mengetahui potensi yang dimiliki namun karena merasakan adanya keterbatasan akibat perbedaan orientasi, mereka tidak mengembangkan potensi yang dimilikinya.

Keenam dimensi diatas, dalam dinamika psychological well-being memiliki keterkaitan yang tidak dapat dilepaskan antara dimensi satu dengan


(28)

18

dimensi lainnya yang membentuk psychological well-being secara keseluruhan.

Lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” dengan derajat penerimaan diri tinggi

memiliki kecenderungan untuk memiliki derajat tinggi pada dimensi lainnya. Lesbian tersebut dapat melakukan kegiatan sehari-hari dimulai dari menjalin hubungan positif dengan orang lain sampai dengan melakukan kegiatan secara mandiri sesuai dengan kebutuhannya sehingga dapat mengembangkan potensi yang dimiliki dan terarah pada pencapaian tujuan hidup sesuai dengan kemampuan individu itu sendiri. Berbeda dengan lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” yang memiliki derajat penerimaan diri rendah, dengan tidak menerima dirinya mereka akan menarik diri dari lingkungan karena merasa berbeda dari kaum mayoritas, mereka juga akan tertutup terhadap kesempatan yang ada di lingkungan dan tidak mengembangkan potensi yang dimilikinya yang berpengaruh pada keterarahan hidup individu itu sendiri. Selain dimensi, psychologicalwell-being juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan pencapaian kesejahteraan psikologis seorang lesbian, yaitu faktor sosio-ekonomi (status sosial), faktor pendidikan, faktor dukungan sosial dan faktor kepribadian (big five personality).

Faktor sosial-ekonomi, yaitu status sosial akan mempengaruhi psychological well-being seorang lesbian. Faktor ini terkait dengan dimensi penerimaan diri (self acceptance), tujuan hidup (purpose in life), penguasaan lingkungan (environmental mastery), dan pertumbuhan pribadi (personal growth) (Ryff, et al, dalam Ryan dan Deci, 2001). Pada zaman emansipasi ini membuat banyak perempuan meniti karir nya dalam bidang pekerjaan dan memungkinkan


(29)

19

mencapai kesuksesan. Di masa dewasa awal, individu memperoleh pengetahuan menjadi mengaplikasikan pengetahuan tersebut ketika individu mulai meraih karir jangka panjang dan kesuksesan dalam pekerjaannya. Lesbian usia dewasa awal di

komunitas “X” yang sudah mendapatkan pekerjaan, menandakan bahwa dirinya

telah mengambil kesempatan yang diberikan oleh lingkungan (environmental mastery). Dalam pelaksanaan tugas-tugas pekerjaan memungkinkan lesbian untuk dapat mengembangkan potensi yang ada pada dirinya melalui pengetahuan yang di dapatnya karena keterbukaannya dengan hal-hal baru (personal growth) meskipun individu tersebut seorang lesbian, sehingga diharapkan lesbian dapat memiliki tujuan hidup yang lebih terarah dan menjadi pendorong bagi mereka untuk mewujudkan tujuannya seperti dalam pencapaian kesuksesan di bidang pekerjaan atau karir (purpose in life). Dengan pencapaian kesuksesan dalam karir tersebut, diharapkan lesbian menjadi dapat menerima dirinya (self acceptance) dengan lebih baik.

Faktor sosio-ekonomi memiliki keterikatan dengan faktor pendidikan. Karena dengan pendidikan yang tinggi maka adanya kemungkinan untuk dapat memiliki kesempatan yang lebih baik dalam bekerja, meskipun individu tersebut adalah seorang lesbian. Menurut Ryff, Magee, Kling & Wing, 1999 faktor pendidikan terkait dengan dimensi tujuan hidup. Jika seorang lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” memiliki pendidikan yang tinggi, lesbian tersebut akan mendapatkan berbagai macam pengetahuan dari pendidikan formal sehingga memungkinkan mereka untuk memiliki tujuan hidup dengan derajat yang tinggi berdasarkan pendidikan yang ditempuhnya.


(30)

20

Faktor lain yang mempengaruhi psychological well-being seseorang adalah faktor dukungan sosial. Menurut Davis, dalam Pratiwi, 2000, individu yang mendapatkan dukungan sosial, mereka akan memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi, begitu pula pada lesbian. Lesbian yang dianggap negatif dan menyimpang dari lingkungan membuat lesbian membutuhkan dukungan sosial. Lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” yang mendapatkan dukungan sosial akan merasa bahwa dirinya dipedulikan, dihargai dan dicintai sehingga merasa dapat menjadi bagian dalam jaringan sosial (keluarga, teman maupun kelompok tertentu). Dukungan sosial juga membantu meningkatkan self-esteem mereka yang dapat membuat mereka mampu memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, baik dalam ruang lingkup komunitas “X” maupun di luar komunitas. Selain itu, faktor dukungan sosial juga dapat mempengaruhi derajat penerimaan diri lesbian karena dengan adanya dukungan sosial dari lingkungan terutama orang-orang terdekat dapat membantu mereka untuk lebih menerima dirinya sebagai lesbian sehingga dapat membuat mereka lebih percaya diri dan mereka dapat mengembangkan potensi diri selayaknya kaum heteroseksual, serta lebih optimis dalam merencanakan dan meraih tujuan hidup dengan derajat yang tinggi.

Faktor lain adalah faktor kepribadian (big five personality) yang memiliki hubungan dengan dimensi-dimensi psychological well-being pada individu (Schmute dan Ryff, 1997). Seorang lesbian yang memiliki trait neuroticism cenderung mudah cemas maupun marah sehingga cenderung memiliki penerimaan diri (self-acceptance) dengan derajat yang rendah. Kecemasan


(31)

21

tersebut juga berpengaruh pada proses pengambilan keputusan mereka yang kurang mandiri (autonomy).

Sedangkan lesbian yang memiliki trait extraversion lebih memiliki kecenderungan dapat menjalin hubungan positif dengan orang lain (positif relation with others) dengan derajat tinggi karena keterbukaan mereka, baik dengan orang terdekat maupun dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu, lesbian yang memiliki trait openness to experience dapat memiliki kecenderungan derajat yang tinggi pada dimensi personal growth karena keterbukaannya terhadap pengalaman baru.Sedangkan lesbian yang memiliki trait agreeablenesscenderung ramah dan penyayang sehingga cenderung memiliki derajat tinggi pada dimensi positive relations with others. Untuk lesbian yang memiliki trait conscientiousness mereka cenderung memiliki derajat tinggi pada dimensi purpose in life karena tergolong individu yang terorganisir serta memiliki perencanaan terhadap apa yang akan mereka raih untuk pencapaian di masa yang akan datang.

Dari keenam dimensi dan faktor penunjang di atas akan menentukan derajat psychological well-being seorang wanita lesbian apakah cenderung tinggi atau pun cenderung rendah sesuai dengan hasil perhitungan skor terkait dengan evaluasi dirinya yang digambarkan secara skematik dapat dengan kerangka pemikiran sebagai berikut:

 

Tinggi Psychological

Well-being Lesbian Dewasa Awal

(18-25 tahun) di Komunitas “X” di Kota

Jakarta


(32)

22

   

1.1 Kerangka Pemikiran

I.6. Asumsi Penelitian

Derajat psychological well-being ditentukan berdasarkan dimensi self-acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life dan personal growth.

 Faktor sosio-ekonomi (status sosial), pendidikan, dukungan sosial, serta faktor kepribadian dapat mempengaruhi masing-masing dimensi psychological well-being pada lesbian usia dewasa awal di komunitas “X”.  Psychological well-being pada masing-masing lesbian di komunitas “X”

dapat berbeda-beda, mereka dapat menunjukkan psychological well-being yang tinggi ataupun rendah.

Faktor yang mem-pengaruhi :

a. Sosio-ekonomi (status sosial) b. Pendidikan c. Dukungan sosial d. Faktor

Kepribadian

1. Self acceptance 2. Positive

relations with others

3. Autonomy 4. Environmental

mastery 5. Purpose in life 6. Personal


(33)

69 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan simpulan dari analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai psychological well-being pada lesbian usia dewasa awal (18-25 tahun) di komunitas “X” Kota Jakarta, diperoleh simpulan sebagai berikut:

1. Sebagian lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” Kota Jakarta menunjukkan psychological well-being yang tinggi dan sebagian menunjukkan psychological well-being yang rendah.

2. Pada lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” yang memiliki psychological well-being tinggi, sebagian besar memiliki derajat yang tinggi pada dimensi-dimensi psychological well-being. Begitu pula pada lesbian yang memiliki psychological well-being rendah, ditunjang dengan derajat dimensi-dimensi yang rendah pula.

3. Dari faktor-faktor yang mempengaruhi dimensi-dimensi psychological well-being, yaitu status sosial, dukungan sosial dan faktor kepribadian.


(34)

70

Faktor yang paling berkaitan adalah trait openes to experience dan extraversion dari faktor kepribadian. Trait openes to experience memiliki keterkaitan dengan keenam dimensi psychological well-being dan pada trait extraversion memiliki keterkaitan dengan dimensi self-acceptance, positive relations with others, environmental mastery, purpose in life dan personal growth.

5.2. Saran

5.2.1. Saran Teoritis

1. Melakukan penelitian kualitatif agar data yang diperoleh lebih mendalam sehingga dapat lebih menjelaskan dinamika dari keenam dimensi psychological well-being.

2. Perlu dipertimbangkan melakukan penelitian untuk mengetahui kontribusi trait openes to experience yang mempengaruhi psychological well-being terhadap derajat psychological well-being secara keseluruhan.

5.2.2. Saran Praktis

1. Menginformasikan kepada lesbian dengan derajat psychological well-being yang tinggi untuk tetap mempertahankannya.

2. Menginformasikan kepada lesbian untuk melakukan usaha dalam meningkatkan dimensi-dimensi psychological well-being. Peningkatan tersebut dapat dilakukan dengan konseling, mengikuti seminar-seminar atau sharing dengan sesama lesbian terkait dengan penerimaan diri dan


(35)

71

kemandirian, mengikuti berbagai kegiatan yang dihayati sesuai dengan bakat yang dimiliki, dan mengikuti aktivitas-aktivitas maupun organisasi yang tergabung dengan masyarakat lainnya agar dapat memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, serta membuat berbagai perencanaan dalam hidup terkait dengan apa saja yang hendak dicapai.

3. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh komunitas “X” sebagai panduan penyelenggaraan kegiatan untuk meningkatkan dimensi-dimensi dari psychological well-being.

4. Memberikan dukungan dan memberikan informasi kepada orang tua maupun keluarga yang membutuhkan yang memiliki anggota keluarga seorang lesbian agar mengetahui gambaran mengenai psychological well-being pada lesbian.


(36)

72

DAFTAR PUSTAKA

Davison, G. C., Neale, J. M. dan Kring, A. M. 2006. Psikologi abnormal (9th ed.). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Hambleton, R. K., Peter, F. M., Charles, D. S. 2005. Adapting Educational And Psychological Test For Cross Culture Assesment. London : Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.

Keyes, C. L., & Ryff, C. D. 1995. The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69. 719-727. Matlin. W Margaret. 2004. The Psychological of Women : Seventh Edition. USA :

Wadsworth.

M. Natsir. 2003. Metode Penelitian Bandung : Universitas Padjadjaran Bandung Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia

Ryan, R. M, & Deci, E.D. 2001. On Happiness and Human Potential: A Review of Research on Hedonic and Eudaimonic Well-being. Annual Reviews Psychology.

Ryff, C. D. 1989. “Happiness is Everything, or Is It?Explorations on The Meaning of Psychological Well-Being”. Journal of Personality and Social Psychology, Vol.57. No.6 1069-1081.

Ryff, C. D. 1995. Psychological Well-Being in Adult Life. Current Directions in Psychological Science.

Ryff & Singer. 2006. Know Thyself and Become What You Are: A Eudamonic Approach Psychological Well-Being. “Journal of Happiness Studies”. Santrock, J. W. 2012. Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup Edisi

Ketigabelas, jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Siegel, S. 1994. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.


(37)

73

DAFTAR RUJUKAN

Eko Prasetya. (Desember, 2013). “Lika-liku kehidupan pasangan lesbian di Jakarta”. Data ini diuduh dari http://www.merdeka.com/peristiwa/lika-liku-kehidupan-pasangan-lesbian-di-jakarta.html

Pratiwi, M. 2000. Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Dewasa Muda yang Pernah Menjadi Anak Panti Asuhan (Studi Kasus SPWB pada 3 Orang Subyek). Depok : Fakultas Psikologi UI

Theresia, O. M. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri pada Lesbian Butch. Semarang : Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata


(38)

74


(1)

69 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan simpulan dari analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai psychological well-being pada lesbian usia dewasa awal (18-25 tahun) di komunitas “X” Kota Jakarta, diperoleh simpulan sebagai berikut:

1. Sebagian lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” Kota Jakarta menunjukkan psychological well-being yang tinggi dan sebagian menunjukkan psychological well-being yang rendah.

2. Pada lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” yang memiliki psychological well-being tinggi, sebagian besar memiliki derajat yang tinggi pada dimensi-dimensi psychological well-being. Begitu pula pada lesbian yang memiliki psychological well-being rendah, ditunjang dengan derajat dimensi-dimensi yang rendah pula.

3. Dari faktor-faktor yang mempengaruhi dimensi-dimensi psychological well-being, yaitu status sosial, dukungan sosial dan faktor kepribadian.


(2)

70

Faktor yang paling berkaitan adalah trait openes to experience dan extraversion dari faktor kepribadian. Trait openes to experience memiliki keterkaitan dengan keenam dimensi psychological well-being dan pada trait extraversion memiliki keterkaitan dengan dimensi self-acceptance, positive relations with others, environmental mastery, purpose in life dan personal growth.

5.2. Saran

5.2.1. Saran Teoritis

1. Melakukan penelitian kualitatif agar data yang diperoleh lebih mendalam sehingga dapat lebih menjelaskan dinamika dari keenam dimensi psychological well-being.

2. Perlu dipertimbangkan melakukan penelitian untuk mengetahui kontribusi trait openes to experience yang mempengaruhi psychological well-being terhadap derajat psychological well-being secara keseluruhan.

5.2.2. Saran Praktis

1. Menginformasikan kepada lesbian dengan derajat psychological well-being yang tinggi untuk tetap mempertahankannya.

2. Menginformasikan kepada lesbian untuk melakukan usaha dalam meningkatkan dimensi-dimensi psychological well-being. Peningkatan tersebut dapat dilakukan dengan konseling, mengikuti seminar-seminar atau sharing dengan sesama lesbian terkait dengan penerimaan diri dan


(3)

71

kemandirian, mengikuti berbagai kegiatan yang dihayati sesuai dengan bakat yang dimiliki, dan mengikuti aktivitas-aktivitas maupun organisasi yang tergabung dengan masyarakat lainnya agar dapat memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, serta membuat berbagai perencanaan dalam hidup terkait dengan apa saja yang hendak dicapai.

3. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh komunitas “X” sebagai panduan penyelenggaraan kegiatan untuk meningkatkan dimensi-dimensi dari psychological well-being.

4. Memberikan dukungan dan memberikan informasi kepada orang tua maupun keluarga yang membutuhkan yang memiliki anggota keluarga seorang lesbian agar mengetahui gambaran mengenai psychological well-being pada lesbian.


(4)

72

DAFTAR PUSTAKA

Davison, G. C., Neale, J. M. dan Kring, A. M. 2006. Psikologi abnormal (9th ed.). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Hambleton, R. K., Peter, F. M., Charles, D. S. 2005. Adapting Educational And Psychological Test For Cross Culture Assesment. London : Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.

Keyes, C. L., & Ryff, C. D. 1995. The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69. 719-727. Matlin. W Margaret. 2004. The Psychological of Women : Seventh Edition. USA :

Wadsworth.

M. Natsir. 2003. Metode Penelitian Bandung : Universitas Padjadjaran Bandung Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia

Ryan, R. M, & Deci, E.D. 2001. On Happiness and Human Potential: A Review of Research on Hedonic and Eudaimonic Well-being. Annual Reviews Psychology.

Ryff, C. D. 1989. “Happiness is Everything, or Is It?Explorations on The Meaning of Psychological Well-Being”. Journal of Personality and Social Psychology, Vol.57. No.6 1069-1081.

Ryff, C. D. 1995. Psychological Well-Being in Adult Life. Current Directions in Psychological Science.

Ryff & Singer. 2006. Know Thyself and Become What You Are: A Eudamonic Approach Psychological Well-Being. “Journal of Happiness Studies”. Santrock, J. W. 2012. Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup Edisi

Ketigabelas, jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Siegel, S. 1994. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.


(5)

73

DAFTAR RUJUKAN

Eko Prasetya. (Desember, 2013). “Lika-liku kehidupan pasangan lesbian di Jakarta”. Data ini diuduh dari http://www.merdeka.com/peristiwa/lika-liku-kehidupan-pasangan-lesbian-di-jakarta.html

Pratiwi, M. 2000. Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Dewasa Muda yang Pernah Menjadi Anak Panti Asuhan (Studi Kasus SPWB pada 3 Orang Subyek). Depok : Fakultas Psikologi UI

Theresia, O. M. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri pada Lesbian Butch. Semarang : Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata


(6)

74