Studi Deskriptif Mengenai Strategi Akulturasi pada Suku Batak Toba Dewasa Awal di Gereja "X" Purwakarta.

(1)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Study Deskriftif Mengenai Strategi Akulturasi Pada Suku

Batak Toba Dewasa Awal di Gereja “X” Purwakarta. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan

untuk mengetahui gambaran mengenai strategi akulturasi Suku Batak Toba dewasa awal pada aspek Kompetensi Bahasa, Identitas Budaya, dan Perilaku atau Aktivitas Budaya.

Responden dalam penelitian ini adalah individu suku Batak Toba dewasa awal di Gereja

“X” Purwakarta sebanyak 30 orang. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner yang dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan teori The Language, Identity, and Behavioral Acculturation Scale oleh Birman & Trickett (2001). Validitasnya dites mengunakan teori Construct Validity dan didapat validitas dengan kiteria tinggi yang berkisar antara 0,434 - 0,955, sedangkan reliabilitas adalah sebesar 0,928 dengan menggunakan metode Alpha Cronbach pada program SPSS 21.0.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi akulturasi yang dominan diterapkan pada aspek Kompetensi Bahasa adalah Separasi; pada apek Identitas Budaya adalah Separasi; dan pada aspek Aktivitas Budaya adalah Separasi.

Berdasarkan hasil penelitian ini, saran yang diberikan pada penelitian ini adalah bagi

penasehat Gereja “X” di Purwakarta untuk memasukkan pengenalan mengenai budaya

Sunda khususnya dalam bidang bahasa ke dalam progam formasinya. Sedangkan bagi responden tetap melestarikan budaya mereka dan membuka diri untuk mengenal budaya setempat, seperti mengikuti IMBP (Ikatan Masyarakat Batak Purwakarta). Peneliti juga menyarankan agar dilakukan penelitian mengenai strategi akulturasi pada suku Batak Toba dewasa awal yang menikah dengan suku lain, hasil penelitian ini dapat menjadi acuan untuk melakukan penelitian kontribusi antar faktor-faktor yang mempengaruhi strategi akulturasi.


(2)

Abstract

This research is titled descriptive studies on Acculturation Strategy on Young Adulthood of Batak Toba Ethnic in “X” Church at Purwakarta. This research is done to find a visualization on Young Adulthood of Batak Toba Ethnic on languange competency, culture identity, and culture activity or behavior.

The research respondents is 30 young adulthood of Batak Toba Ethnic at “X” church at Puwakarta. The measuring instrument used to measure is questioner that modified by the researcher based on The Language, Identity, and Behavioral Acculturation Scale by Birman & Trickett Theory (2001). The validity is tested using construct validity and the result is validity on high criteria of 0,434 - 0,955, while the reliability is 0,928 using Apha Cronbach method on SPSS 21.00 program.

The research result showed that the most dominant acculturation strategy applied on languange competency aspect is separation; on cultural identity is separation; and on cultural activity is separation.

Based on these result, advise given by this research to church advisor in”X” Church at Purwakarta is to put lesson about Sundanesee cultural on churh formation program, especially about language. Meanwhile the advise to respondents is to conserve their own culture and to be open-mind to get to know other culture, like joining IMBP (Ikatan Masyarakat Batak Purwakarta). The researcher also advise to do reaserch about acculturation Strategy on Young Adulthood of Batak Toba Ethnic that marriage with other ethnic, also the result of this study can be a reference to condust a research about contributions among the factors that influence acculturation strategy.


(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.. ... ii

KATA PENGANTAR .. ... iii

ABSTRACT .. ... vi

ABSTRAK.. ... vii

DAFTAR ISI .. ... viii

DAFTAR TABEL .. ... xiv

DAFTAR BAGAN .. ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah .. ... 1

1.2 Identifikasi Masalah .. ... 11

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian .. ... 11

1.4Kegunaan penelitian .. ... 11

1.4.1 Kegunaan Ilmiah .. ... 11

1.4.2 Kegunaan praktis .. ... 12

1.5Kerangka Pikir .. ... 12

1.6Asumsi .. ... 25

BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Akulturasi .. ... 26

2.1.1 Definisi Akulturasi .. ... 26

2.1.2 Aspek-aspek dalam Strategi Akulturasi .. ... 27


(4)

2.1.4 Faktor Ekternal yang Mempengaruhi Penerapan Strategi Akulturasi .. .... 30

2.1.5 Faktor Internal yang Mempengaruhi Penerapan Strategi Akulturasi ... 32

2.1.6 Stres Akulturasi... ... 33

2.1.6.1 Batasan Stres Akulturasi .. ... 33

2.1.6.2 Hubungan antara Strategi Akulturasi dan Stres Akulturasi .. ... 35

2.2. Perilaku Sosial .. ... 35

2.2.1 Konteks Budaya .. ... 35

2.2.2 Hal-hal Universal dalam Perilaku Sosial .. ... 36

2.3 Etnosentrisme dalam Psikologi .. ... 37

2.4 Pewarisan Budaya.. ... 38

2.5 Kontak Interkultural .. ... 38

2.5.1 Kontak outcomes .. ... 38

2.6 Suku Batak .. ... 39

2.6.1 Sejarah Singkat Suku Batak Toba .. ... 39

2.6.2 Sistem Kemasyarakatan Batak Toba ... 40

2.6.3 Karakteristik Umum Suku Batak Toba .. ... 43

2.6.4 Makanan Khas pada Masyarakat Batak Toba .. ... 44

2.7 Kebudayaan Sunda .. ... 45

2.7.1 Definisi Kebudayaan Sunda .. ... 45

2.7.2 Karakteristik Orang Sunda .. ... 45

2.7.3 Adat Pengajaran .. ... 46

2.7.4 Adat-Adat lain .. ... 47


(5)

2.8 Perkembangan Dewasa .. ... 52

2.8.1 Dewasa Awal .. ... 52

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian .. ... 54

3.2 Bagan Rancangan Penelitian .. ... 54

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional .. ... 55

3.3.1 Variabel Penelitian .. ... 55

3.3.3 Definisi Operasional .. ... 55

3.4 Alat Ukur .. ... 57

3.4.1 Alat Ukur Strategi Akulturasi .. ... 57

3.4.2 Sistem Penilaian Alat Ukur .. ... 58

3.4.3 Data Pribadi dan Data Penunjang .. ... 60

3.4.3.1 Data Pribadi .. ... 60

3.4.3.2 Data Penunjang .. ... 60

3.5 Uji Coba Alat Ukur .. ... 60

3.5.1 Validitas Alat Ukur .. ... 60

3.5.2 Reabilitas Alat Ukur ... 61

3.6 Populasi Sasaran dan Teknik Sampling .. ... 61

3.6.1 Populasi Sasaran .. ... 61

3.6.2 Karakteristik Sampel .. ... 62

3.6.3 Teknik Penarikan Sampel .. ... 62


(6)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Responden .. ... 64

4.1.1 Lama Tinggalnya .. ... 64

4.1.2 Jenis Kelamin .. ... 64

4.2 Hasil Penelitian .. ... 65

4.2.1 Gambaran Kompetnsi Bahasa .. ... 65

4.2.2 Gambaran Identitas Budaya .. ... 65

4.2.3 Gambaran Perilaku atau Aktivitas Budaya .. ... 66

4.3 Pembahasan .. ... 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan .. ... 72

5.2 Saran .. ... 72

5.2.1 Saran Teoritis .. ... 72

5.2.2 Saran Praktis .. ... 73

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RUJUKAN LAMPIRAN


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-kisi The language, Identity, and Behavioral Acculturation Scale.. .... 58

Tabel 3.2 Tabel Sistem Penilaian Alat Ukur .. ... 59

Tabel 4.1 Persentase Lamanya tinggal menetap di Purwakarta.. ... 64

Tabel 4.2 Persentase responden berdasarkan Jenis Kelamin .. ... 64

Tabel 4.4 Gambaran Kompetensi Bahasa .. ... 65

Tabel 4.5 Gambaran Identitas Budaya .. ... 66


(8)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran ... 24 Bagan 3.2 Prosedur Penelitian .. ... 54


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Lembar Pengesahan Pengambilan Data

Lampiran 2 : Alat Ukur The Identity, The Language, and Behavioral Scale Lampiran 3 : Data Mentah

Lampiran 4 : Hasil Crostab Lampiran 5 : Biodata Peneliti


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multikultural, hal ini terbukti dengan banyaknya suku bangsa di Indonesia yang mempunyai budaya berbeda-beda. Perbedaan ini dapat terlihat dari adanya perbedaan bahasa, adat istiadat, kepercayaan, dan kesenian.

Menurut hasil penelitian Badan Pusat Statistik jumlah suku bangsa yang mendiami seluruh wilayah Indonesia yang terdiri atas 34 propinsi menurut hasil sensus penduduk tahun 2010 adalah sekitar 1.300 suku bangsa. (BPS, 2011). Data ini sudah menunjukkan betapa beragamnya kebudayaan yang ada di Indonesia yang dihasilkan dari kebiasaan dari masing-masing suku-suku tersebut.

Keberagaman kebudayaan ataupun banyaknya suku-suku bangsa tersebut terbentuk sedemikian rupa karena ditopang oleh luasnya wilayah nusantara dan adanya pemisahan-pemisahan geografis wilayah Indonesia yang terdiri atas 17.504 pulau besar dan kecil serta kondisi geografis dari masing-masing pulau.Keanekaragaman budaya juga disebabkan oleh pengaruh kebudayaan darinegara luar yang memasuki wilayah Indonesia. Hal ini selaras dengan pendapat Koentjaraningrat (2002) menyatakan bahwa kebudayaan adalah merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.


(11)

2

Koentjaraningrat juga menyatakan bahwa ada tujuh unsur pembentuk suatu kebudayaan yakni unsur bahasa, unsur sistem pengetahuan, unsur organisasi sosial, unsur sistem peralatan hidup dan teknologi, unsur sistem mata pencaharian hidup, unsur sistem religi, dan unsur kesenian.

Koentjaraningrat (2002) mendefinisikan suku bangsa sebagai kelompok sosial yang terdiri atas kesatuan hidup manusia yang mempunyai sistem interaksi dan sistem norma yang mengatur interaksi tersebut, adanya kontinuitas serta rasa identitas yang mempersatukan semua anggotanya serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri.

Salah satu suku tersebut adalah Suku Batak. Dari data BPS (2011) sesuai dengan hasil sensus penduduk tahun 2010 ditemukan bahwa suku Batak merupakan suku terbesar ketiga di Indonesia jika dilihat dari jumlahnya yakni sebanyak 8.466.969 orang (3,58 % dari jumlah penduduk Indonesia). Suku Batak menganut sistem keturunan “Patrilineal”, yang berarti mengikut garis laki-laki (ayah). Hal ini dicirikan lewat marga yang mereka miliki. Seorang anak akan mengikuti marga ayahnya. Marga memiliki tiga fungsi dalam hubungan bermasyarakat di tengah-tengah masyarakat Batak, yaitu: (1) Mencegah agar tidak terjadi perkawinan bersaudara, (2) Merupakan sikap sopan santun bagi masyarakat Batak untuk tidak menyebutkan seseorang dengan namanya langsung, tetapi dengan marganya, dan (3) untuk mengetahui hubungan kekerabatan.

Suku Batak terdiri atas sub etnis Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing. Walaupun masih dalam


(12)

3

satu suku namun ada beberapa perbedaan dari masing-masing sub etnis terutama dalam bahasa dan pelaksanaan kebudayaan.

Dalam tatanan keseharian suku Batak maupun dalam pelaksanaan adat istiadat suku Batak dikenal falsafah Dalihan Na Tolu (Tungku Yang Tiga). Falsafah ini menganut tiga unsur kekerabatan yakni hula-hula (keluarga dari Ibu atau Isteri), dongan tubu (keluarga dari pihak Bapak atau yang semarga dengan kita) dan boru (keluarga dari saudara perempuan Bapak atau saudara perempuan kita). Falsafah adat Dalihan Na Tolu tersebut adalah Somba Marhula-hula (hormat pada pihak keluarga ibu/istri) Elek Marboru (ramah pada keluarga saudara perempuan) dan Manat Mardongan Tubu (kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan merupakan landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Batak.

Pada masyarakat suku Batak, siklus kehidupan seseorang dari lahir kemudian dewasa, berketurunan sampai meninggal, melalui beberapa masa dan peristiwa yang dianggap penting. Karenanya pada saat-saat atau peristiwa penting tersebut perlu dilakukan upacara-upacara yang bersifat adat, kepercayaan dan agama. Upacara-upacara tersebut antara lain upacara turun mandi, pemberian nama, potong rambut dan sebagainya pada masa anak-anak, upacara mengasah gigi, upacara perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Kesemua upacara ini memerlukan kehadiran ketiga unsur dalam dalihan na tolu tersebut.

Dalam struktur tatanan kehidupan sehari-hari orang Batak tidak dikenal penggolongan kaum bangsawan dan jelata. Semua orang Batak mempunyai level


(13)

4

yang sama dalam kehidupannya. Pengaturan tentang kaum elite tidak dikenal dalam budaya Batak. Filosofi Dalihan Na Tolu membuat seseorang Batak Toba akan mengalami ketiga posisi dalam hirarki tersebut. Seseorang bisa saja merupakan hula-hula dalam suatu kekerabatan tapi dia juga merupakan posisi

boru dalam kekerabatan yang lain.

Menurut Brunner (1982), Suku Batak yang telah pindah ke kota lain (merantau) akan tetap berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai Bataknya secara utuh. Untuk itu, mereka tetap mempertahankan hubungan yang erat dengan sanak saudaranya baik yang ada di kampung halaman maupun kerabat yang ada di lingkungan sekitar khususnya yang sesuku. Itulah sebabnya Suku Batak Toba yang telah merantau ke suatu daerah akan berusaha untuk membuat perkumpulan baik perkumpulan kaum semarga maupun perkumpulan sesuku yang berdiam dalam satu lingkungan tertentu.

Secara umum, pelaksanaan kegiatan organisasi tersebut dibuat dalam bentuk arisan-arisan keluarga. Walaupun dalam bentuk arisan, pada dasarnya bukanlah bertujuan secara profit namun lebih ditujukan untuk meningkatkan tali persaudaraan sesama anggota organisasi. Untuk itu dibuat pertemuan rutin semua anggota di mana yang menjadi tuan rumah dari pertemuan tersebut dibuat secara bergilir di semua rumah anggota yang disebut sebagai arisan. Dalam pertemuan-pertemuan arisan inilah selalu dibicarakan hal-hal apa yang diperlukan oleh semua anggota yang menyangkut pelaksaan kegiatan kebudayaan (adat istiadat) dari para anggota.


(14)

5

Demikian juga halnya dengan perantau suku Batak yang datang ke daerah Purwakarta. Saat ini perantau dari Suku Batak yang bermukim di daerah Purwakarta sudah semakin banyak. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya perkumpulan-perkumpulan marga yang terbentuk di Purwakarta. Di Purwakarta pun telah berdiri satu gereja “X” yang tata ibadahnya menggunakan bahasa Batak Toba yang didirikan oleh para perantau dari suku Batak. Tidak hanya bergabung dalam arisan, Suku Batak Toba dewasa awal pun masuk dalam sebuah organisasi yang ada di Gereja tersebut. Aktivitas yang mereka lakukan dalam organisasi gereja tidak hanya yang berhubungan dengan religius saja, namun dalam kegiatan lain. Misalnya: melakukan olahraga bersama dihari yang telah ditentukan, liburan bersama, atau berkumpul sambil bernyanyi dan bercakap-cakap di gereja berhubungan dengan budaya Batak Toba.

Daerah Purwakarta yang merupakan bagian dari Propinsi Jawa Barat dihuni oleh penduduk mayoritas asli suku Sunda. Tentu saja mayoritas penduduknya adalah bersuku Sunda yang beragama Islam. Dengan penduduk mayoritas suku Sunda tersebut maka dapat dikatakan budaya asli daerah Purwakarta adalah budaya Sunda.

Perantau dari suku Batak yang datang ke daerah Purwakarta tentu dihadapkan dengan budaya yang berbeda dengan budaya asal mereka. Di daerah Purwakarta ini tentu mereka akan mengahadapi benturan kebudayaan atau kebiasaan antara kebiasaan di daerah asal (Budaya Batak Toba) dengan daerah baru (Budaya Sunda). Mereka tentunya harus dapat menyesuaikan diri dan kebiasaannya di aderah asal ke daerah baru. Interaksi sosial dengan masyarakat


(15)

6

yang didatangi haruslah dibangun dengan baik agar didapat harmoni yang baik dalam hubungan dengan masyarakat sekitar. Bagaimanapun sebagai warga pendatang, perantau Batak Toba akan berusaha untuk bisa berbaur dengan masyarakat Purwakarta yang berbudaya Sunda dengan baik.

Pengetahuan akan budaya dan bahasa Sunda akan sangat membantu perantau Batak Toba dalam kehidupan kesehariannya di Purwakarta. Suku Batak Toba dewasa awal, melakukan cara agar dapat diterima menjadi bagian dari Suku Sunda, misalnya: mereka tinggal dilingkungan yang bersuku Sunda; mereka mengikuti kegiatan siskamling yang dilakukan oleh warga sekitar; ikut bergabung bersama warga untuk menonton pertunjukan wayang yang diselenggarakan oleh warga; dalam lingkungan kerja mereka bekerja sama tanpa melihat suku maupun agama, berkumpul dengan teman-teman yang bersuku Sunda maupun bersuku Batak Toba untuk bercakap-cakap mengenai politik maupun ekonomi, atau hal yang sedang terjadi di Indonesia; saat mereka pertama kali pindah ke Purwakarta mereka, meskipun pertama kali akan mencari teman yang sesama marga, mereka pun mulai berinteraksi dengan suku Sunda misalnya: dalam mencari tempat tinggal, menanyakan RT/RW sekitar; mengikuti acara yang diadakan oleh perusahaan, misalnya: liburan bersama; melakukan kerja bakti bersama tetangga di lingkungan sekitar; menghadiri pesta pernikahan tetangga, teman bersuku Sunda maupun bersuku Batak Toba. Hal tersebut yang dialami oleh Suku Batak Toba yang berada di wilayah Suku Sunda.

Berdasarkan survei awal yang dilakukan terhadap 10 orang Suku Batak Toba dewasa awal yang bergereja di gereja “X” Purwakarta di ketahui bahwa


(16)

7

alasan mereka merantau ke daerah jawa barat (Purwakarta) dengan berbagai macam alasan. Misal: sebanyak 100% orang memiliki alasan untuk mencari pekerjaan, sebanyak 80% orang melanjutkan pendidikan dengan kuliah di perguruan tinggi, 20% tinggal bersama dengan saudara demi mencari pengalaman dan kegiatan. Hal ini disebabkan sedikitnya peluang untuk bekerja yang lebih baik disamping kampung di wilayah asal mereka tergolong tandus. Meskipun mereka selama ±1 tahun berada di Purwakarta, mereka masih merasakan fase crisis, Suku Batak Toba dewasa awal mengalami homesick pada kampung halamannya, suasananya, dan mereka ingin pulang ke kampung halamannya.

Suku Batak Toba dewasa awal merasa saat berada di Purwakarta, sebanyak 80% dari mereka mengalami rasa takut, minder, sulit berinteraksi dikarenakan tidak mengerti bahasa yang digunakan sehingga mereka memilih diam jika berkumpul dengan teman dari Suku Sunda. Mereka mengalami hal tersebut selama ± 1 tahun. Hingga saat ini, mereka pun tidak dapat mempelajari bahasa sunda, sehingga dalam berkomunikasi mereka menggunakan Bahasa Indonesia. Disamping kesulitan diatas, dalam hal melakukan upacara adat pun, mereka sudah dipengaruhi oleh budaya Sunda. Misalnya: dalam melakukan acara pernikahan jika di kampung halaman, upacara adat biasanya diadakan dirumah, sedangkan di Purwakarta ketika melakukan acara pernikahan dilakukan ditempat tertentu (gedung serbaguna); ketika Suku Batak Toba dewasa awal berada dikampung, mereka tidak kesulitan saat menghadiri acara perkawinan, namun ketika berada di Purwakarta, mereka kesulitan karena mereka diharuskan bekerja. Akibat dari kesulitan diatas, Suku Batak Toba dewasa awal merasa khawatir akan


(17)

8

kehilangan jati diri disebabkan oleh batasan yang ada dalam Suku Sunda. Suku Batak Toba dewasa awal menyadari perbedaan tersebut dikarenakan hal tersebut merupakan dampak dari kontak antar budaya.

Individu yang melakukan kontak dan interaksi dengan budaya lain akan mengalami kesulitan, sehingga individu tersebut akan melakukan adaptasi terhadap budaya tersebut. Akulturasi dapat membantu Suku Batak Toba dewasa awal untuk membaur dengan budaya Sunda dalam hal kompetensi bahasa, identitas budaya dan perilaku atau aktivitas budaya (Birman & Tricket, 2001). Cara beradaptasi (strategi akulturasi) adalah cara-cara individu (kelompok) yang sedang berakulturasi dalam membangun hubungan dengan masyarakat mayoritas (Berry,1999). Strategi akulturasi diakibatkan karena meleburnya dua atau lebih budaya yang berbeda dan menghasilkan empat jenis strategi, yaitu: asimilasi terjadi ketika individu menolak budaya aslinya dan menerima budaya baru; separasi terjadi ketika individu menerima budaya aslinya dan menolak budaya baru; integrasi terjadi ketika individu menerima kedua budaya tersebut; marjinalisasi terjadi ketika individu menolok kedua budaya tersebut (Oberg, 1960 dalam Ward, 2001).

Berdasarkan wawancara mengenai penyesuaian diri mereka ketika menjadi Suku minoritas yang harus menyesuaikan budaya mereka dengan budaya Sunda yang mereka temui dalam kehidupan mereka. Dari 10 orang yang diwawancarai peneliti, mereka mengaku pada awalnya sulit untuk menyesuaikan diri mereka dengan budaya Sunda yang mereka temui di lingkungan tempat tinggal dan di lingkungan tempat kerja mereka. Peneliti mengelompokkan penyesuaian apa yang


(18)

9

dirasakan paling sulit dan didapatlah aspek-aspek kebudayaan seperti kompetensi bahasa, aktivitas/perilaku budaya, dan identitas budaya.

Berdasarkan wawancara tersebut, 20% dari 10 orang Suku Batak Toba dewasa awal yang diwawancarai mengaku mampu mempelajari budaya Sunda dan mampu menggunakan bahasa Sunda ketika berkomunikasi dengan orang yang bersuku Sunda. Mereka juga mengaku setiap hari melakukan kontak langsung dengan orang yang bersuku Sunda, sehingga melatih tata bahasa Sunda yang semakin hari semakin baik. Mereka juga tetap menggunakan bahasa daerah mereka yaitu Bahasa Batak Toba ketika mereka berada dalam diperkumpulan orang-orang Batak Toba. Dalam hal ini, Suku Batak Toba dewasa awal memilih strategi akulturasi integrasi. Suku Batak Toba dewasa awal yang mengaku kurang mampu mempelajari bahasa Sunda ada sebanyak 80%. Mereka tidak tertarik untuk mempelajari bahasa Sunda sehingga menggunakan Bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dan menggunakan bahasa Batak Toba ketika berkomunikasi dengan orang yang sesuku dengan mereka. Dalam hal ini mereka menggunakan strategi akulturasi separasi.

Peneliti juga mewawancarai Suku Batak Toba dewasa awal mengenai kegiatan yang mereka lakukan yang berhubungan dengan budaya Batak Toba meskipun berada dilingkungan budaya Sunda. Sebanyak 80% dari 10 orang mengaku bahwa mereka mengikuti acara-acara kebudayaan Batak Toba yang diadakan di Purwakarta, ikut berperan dalam pentas seni budaya Batak Toba seperti: tarian daerah dan menyanyikan lagu daerah. Mereka ikut terlibat dalam kegiatan tersebut agar mereka tetap melestarikan budaya Batak Toba meskipun


(19)

10

berada sebagai dalam kaum minoritas di Purwakarta dan agar mereka mengetahui informasi yang berhubungan dengan perkembangan budaya Batak Toba di Purwakarta. Dalam hal ini Suku Batak Toba dewasa awal memilih strategi akulturasi separasi. Suku Batak Toba dewasa awal yang mengaku mengikuti acara-acara kebudayaan Batak Toba yang diadakan di Purwakarta, mereka juga tertarik untuk mengikuti acara-acara kebudayaan Sunda seperti: menghadiri pesta pernikahan Suku Sunda ada sebanyak 20% dari 10 orang. Dalam hal ini Suku Batak Toba dewasa awal memilih strategi akulturasi integrasi.

Berdasarkan wawancara ini juga, 100% dari 10 orang, Suku Batak Toba dewasa awal tetap merasa nyaman dan sesuai dengan jati dirinya sebagai Suku Batak Toba meski mereka berkumpul di tengah-tengah teman mereka yang bersuku Sunda.

Setiap individu memiliki cara yang berbeda-beda ketika melakukan akulturasi dengan budaya setempat, demikian pula dengan Suku Batak Toba dewasa awal. Individu yang mengalami kontak interkultural, jika tidak diperlengkapi dengan kemampuan untuk mengatasi tuntutan situasi dari lingkungan yang baru, akan mengalami stres akulturasi. Situasi ini menyebabkan individu tersebut berusaha melakukan adaptasi. Salah satu bentuk adaptasi tersebut adalah strategi akulturasi.

Berdasarkan data dan pemaparan diatas, dapat dipahami bagaimana pentingnya strategi akulturasi oleh Suku Batak Toba dewasa awal untuk dapat berinteraksi dengan Suku Sunda. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat


(20)

11

jenis strategi akulturasi pada Suku Batak Toba dewasa awal di gereja “X” Purwakarta.

1.2. Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui seperti apakah gambaran strategi akulturasi pada Suku Batak Toba dewasa awal gereja “X” di kota Purwakarta.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran strategi akulturasi yang diterapkan oleh Suku Batak Toba dewasa awal gereja “X” di kota Purwakarta.

1.3.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah:

 Untuk memperoleh gambaran mengenai strategi akulturasi yang diterapkan oleh Suku Batak Toba dewasa awal di gereja “X” Purwakarta pada aspek Kompetensi Bahasa, Identitas Budaya, dan Aktivitas Budaya dan faktor-faktor yang melatarbelakangi strategi akulturasi.

1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Ilmiah

a. Memberikan informasi bagi ilmu Psikologi Sosial khususnya kajian Lintas Budaya mengenai strategi akulturasi pada Suku Batak Toba dewasa awal di gereja “X” di Purwakarta.

b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat mendorong peneliti lain untuk mengembangkan dan mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai


(21)

12

strategi akulturasi pada Suku Batak Toba yang menetap dan besar di daerah asal.

1.4.2. Kegunaan Praktis

a. Memberikan gambaran diri kepada Suku Batak Toba dewasa awal di Gereja “X” mengenai strategi akulturasi yang diterapkan oleh dirinya, dengan harapan mereka dapat melihat apakah strategi akulturasi yang diterapkan sudah sesuai atau belum dengan strategi akulturasi yang dapat memudahkan mereka untuk menyesuaikan diri dengan baik.

1.5. Kerangka Pemikiran

Suku Batak Toba di gereja “X’ Purwakarta berada pada tahap perkembangan dewasa awal. Tahap perkembangan dewasa awal ditandai dengan kemampuan kognitif dan menunjukkan adaptasi dari kehidupan individu, dan perubahan-perubahan penting tentang cara berpikir individu (William Perry, (1970) dalam Santrock, (1995)). Adapun tugas-tugas perkembangan masa dewasa awal, adalah: mulai bekerja, memilih pasangan, belajar hidup dengan pasangannya, mulai membina keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab sebagai warga negara, mencari kelompok sosial yang menyenangkan.

Suku Batak Toba dewasa awal yang pindah menuju tempat lain untuk mencari pekerjaan atau menimba ilmu akan mengalami kontak multikultural dengan masyarakat mayoritas. Suku Batak Toba dewasa awal dan tinggal di Purwakarta merupakan kaum minoritas. Mereka bertemu dengan masyarakat dengan budaya yang berbeda dengan budaya asal mereka dan akan melakukan


(22)

13

kontak dan interaksi secara langsung dengan budaya setempat dalam budaya ini adalah Budaya Sunda yang telah dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, atau yang lebih dikenal dengan budaya urban.

Ketika kelompok minoritas masuk ke masyarakat mayoritas, maka terjadilah kontak sosial yang kemudian mendorong terjadinya proses akulturasi antar budaya mereka yang berbeda untuk dapat menyesuaikan diri. Dalam hal ini Suku Batak Toba dewasa awal sebagai kelompok minoritas melakukan kontak dengan budaya Sunda yang berbeda seperti mengikuti kerja bakti di lingkungan tempat tinggal, menghadiri acara pernikahan atau syukuran Khitanan yang dilakukan di lingkungan sekitar, berkomunikasi dengan tetangga sehingga terjadilah proses akulturasi. Dalam proses akulturasi tersebut Suku Batak Toba dewasa awal akan mengalami krisis karena adanya perbedaan nilai budaya yang dimiliki oleh Suku Batak Toba dewasa awal.

Proses akulturasi akan terjadi pada aspek kompetensi bahasa, identitas budaya, dan perilaku atau aktivitas budaya yang merupakan hasil kontak langsung antar budaya yang berbeda secara berkesinambungan (Birman dan Tricket, 2001). Mereka kemudian beradaptasi dengan menerapkan cara-cara tertentu, seperti seorang imigran yang telah tinggal lama dalam sebuah masyarakat dominan, mungkin lebih banyak mengalami akulturasi daripada imigran yang tinggal dalam jangka waktu lebih pendek (Berry, 1999). Cara-cara yang dilakukan oleh Suku Batak Toba dewasa awal ketika melakukan kontak dengan budaya Sunda disebut strategi akulturasi.Menurut Berry (1999), terdapat empat jenis strategi akulturasi yaitu asimilasi, separasi, marjinalisasi, integrasi.


(23)

14

Pada aspek Kompetensi bahasa, dapat terjadi empat cara yang dilakukan oleh Suku Batak Toba dewasa awal untuk beradaptasi pada Suku Sunda, yaitu: asimilasi, separasi, integrasi, dan marjinalisasi. Strategi asimilasi adalah ketika individu-individu dalam kelompok yang mengalami akulturasi sudah tidak memelihara budaya asli dan jati dirinya, sehingga melakukan interaksi sehari-hari dengan penduduk setempat. Terjadi ketika Suku Batak Toba dewasa awal tidak lagi menggunakan bahasa Batak Toba sebagai alat komunikasi sesama Suku Batak Toba dan lebih menggunakan bahasa Sunda dalam berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Misalnya Suku Batak Toba dewasa awal menggunakan bahasa Sunda yang sederhana dalam percakapan, dicampur dengan Bahasa Indonesia, selain itu mampu memahami percakapan teman yang sedang berbincang dengan Bahasa Sunda.

Strategi separasi adalah internalisasi values (nilai-nilai) dan tradisi budaya aslinya sangat kuat tertanam dalam dirinya dan adanya keinginan untuk menghindari interaksi dengan penduduk setempat. Terjadi ketika Suku Batak Toba dewasa awal tidak tertarik untuk menggunakan dan mempelajari bahasa Sunda dan lebih menggunakan bahasa Batak Toba dalam berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Misal Suku Batak Toba dewasa awal yang kurang mampu berbahasa Sunda sehingga menggunakan bahasa Indonesia dalam berinteraksi dengan Suku Sunda. Selain itu juga, Suku Batak Toba dewasa awal menggunakan bahasa Batak Toba dalam berinteraksi dengan Suku Batak Toba.

Strategi integrasi adalah suatu minat untuk mempertahankan budaya aslinya sekaligus memperlihatkan minat yang kuat untuk berinteraksi dengan


(24)

15

penduduk setempat (berhasil menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat beranekaragamnya budaya yang ada mendorong individu untuk menyesuaikan diri dengan perbedaan yang ada). Terjadi ketika Suku Batak Toba dewasa awal mampu menggunakan Bahasa Batak Toba sebagai bahasa yang sesuai dengan jati dirinya dan mampu juga untuk menggunakan bahasa Sunda untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitar secara lisan maupun tulisan. Misal Suku Batak Toba dewasa awal menggunakan bahasa Batak Toba ketika berkomunikasi dengan Suku Batak Toba dan menggunakan bahasa Sunda ketika berkomunikasi dengan Suku Sunda.

Strategi marjinalisasi adalah kecilnya minat untuk melestarikan budaya aslinya dan minat yang kecil untuk melakukan interaksi dengan penduduk setempat. Terjadi ketika Suku Batak Toba dewasa awal tidak lagi menggunakan bahasa Batak Toba yang sesuai dengan jati dirinya baik secara lisan maupun tulisan dan menolak untuk mempelajari dan menggunakan bahasa Sunda dalam berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Misal Suku Batak Toba dewasa awal hanya menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan Suku Batak Toba dan Suku Sunda.

Pada aspek identitas budaya, dapat terjadi empat cara yang dilakukan oleh Suku Batak Toba dewasa awal untuk beradaptasi pada Suku Sunda, yaitu: asimilasi, separasi, integrasi, dan marjinalisasi. Strategi asimilasi adalah ketika individu-individu dalam kelompok yang mengalami akulturasi sudah tidak memelihara budaya asli dan jati dirinya, sehingga karenanya melakukan interaksi sehari-hari dengan penduduk setempat. Terjadi ketika Suku Batak Toba


(25)

16

menghayati bahwa dirinya adalah Suku Sunda dan menghilangkan jati diri sebagai Suku Batak Toba. Misalnya ketika Suku Batak toba lebih tertarik untuk menghadiri acara teman Sunda daripada teman Batak.

Strategi separasi adalah internalisasi values (nilai-nilai) dan tradisi budaya aslinya sangat kuat tertanam dalam dirinya dan adanya keinginan untuk menghindari interaksi dengan penduduk setempat. Terjadi ketika Suku Batak Toba tetap menerima dan menghayati jati dirinya sebagai Suku Batak Toba dan menolak untuk menerima dan menghayati Suku Sunda. Misal ketika Suku Sunda mengadakan acara Tahlilan maka Suku Batak Toba dewasa awal tidak menghadiri acara tersebut.

Strategi integrasi adalah suatu minat untuk mempertahankan budaya aslinya sekaligus memperlihatkan minat yang kuat untuk berinteraksi dengan penduduk setempat (berhasil menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat beraneka ragamnya budaya yang ada mendorong individu untuk menyesuaikan diri dengan perbedaan yang ada). Terjadi ketika Suku Batak Toba dewasa awal tetap mempertahankan jati dirinya sebagai Suku batak Toba, namun tidak menutup kemungkinan untuk menerima dan mempelajari Suku Sunda. Misal Suku Batak Toba dewasa awal yang mempertahan ketegasannya ketika mengungkapkan sesuatu yang merupakan ciri Batak Toba dan menggunakan cara bicara orang Sunda yang lembut sehingga tidak terkesan frontal dalam menyampaikan atau mengekpresikan perasaannya

Strategi marjinalisasi adalah kecilnya minat untuk melestarikan budaya aslinya dan minat yang kecil untuk melakukan interaksi dengan penduduk


(26)

17

setempat. Terjadi ketika Suku Batak Toba dewasa awal tidak hanya menghilangkan Suku Batak Toba yang ada dalam jati dirinya namun juga menolak suku Sunda yang ada dalam lingkungan sekitar. Misal Suku Batak Toba dewasa awal merasa tidak nyaman dan merasa bahwa Suku Batak Toba maupun Suku Sunda tidak sesuai dengan dirinya. Misal Suku Batak Toba dewasa awal tidak masuk dalam suatu komunitas perkumpulan di gereja, tetapi Suku Batak Toba juga tidak mengadiri acara yang dilakukan oleh Suku Sunda.

Pada aspek aktivitas atau perilaku budaya, dapat terjadi empat cara yang dilakukan oleh Suku Batak Toba dewasa awal untuk beradaptasi pada Suku Sunda, yaitu: asimilasi, separasi, integrasi, dan marjinalisasi. Strategi asimilasi adalah ketika individu-individu dalam kelompok yang mengalami akulturasi sudah tidak memelihara budaya asli dan jati dirinya, sehingga karenanya melakukan interaksi sehari-hari dengan penduduk setempat. Terjadi ketika Suku Batak Toba dewasa awal melakukan kegiatan seperti penggunaaan bahasa, hiburan, musik, dan makanan Suku Sunda dan tidak melakukan kegiatan Suku Batak Toba. Misal ketika Suku batak Toba mengadakan acara pernikahan, tidak lagi menggunakan tarian Tortor melainkan menggunakan tarian Jaipongan.

Strategi separasi adalah internalisasi values (nilai-nilai) dan tradisi budaya aslinya sangat kuat tertanam dalam dirinya dan adanya keinginan untuk menghindari interaksi dengan penduduk setempat. Terjadi ketika Suku Batak Toba dewasa awal melakukan kegiatan Suku Batak Toba dan menolak untuk melakukan kegiatan Suku Sunda. Misal tidak menghadiri acara yang dilakukan


(27)

18

oleh Suku Sunda, seperti: acara pernikahan, acara syukuran, dan juga acara lain yang berhubungan dengan Suku Sunda.

Strategi integrasi suatu minat untuk mempertahankan budaya aslinya sekaligus memperlihatkan minat yang kuat untuk berinteraksi dengan penduduk setempat (berhasil menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat beranekaragamnya budaya yang ada mendorong individu untuk menyesuaikan diri dengan perbedaan yang ada). Terjadi ketika Suku Batak Toba dewasa awal tidak hanya melakukan kegiatan yang berhubungan dengan Suku Batak Toba, tetapi melakukan kegiatan yang berhubungan dengan Suku Sunda juga seperti penggunaan bahasa Batak Toba dan Sunda, makan makanan Batak Toba dan Sunda, mendengarkan musik Batak Toba dan Sunda, dan menghadiri pesta penikahan suku Batak Toba dan Suku Sunda.

Strategi marjinalisasi adalah kecilnya minat untuk melestarikan budaya aslinya dan minat yang kecil untuk melakukan interaksi dengan penduduk setempat. Terjadi ketika Suku Batak Toba dewasa awal tidak melakukan kegiatan yang berhubungan dengan Suku Batak Toba maupun Suku Sunda. Misal Suku Batak Toba dewasa awal yang berinteraksi dengan orang Sunda dengan menggunakan bahasa Sunda, Suku batak Toba dewasa awal ditertawakan maka akan menghindari penggunaan bahasa Sunda, di sisi lain saat berinteraksi dengan sesama Batak Toba juga kurang mampu menggunakan bahasa Batak Toba. Akibatnya, Suku Batak Toba dewasa awal tersebut diperlakukan seperti orang asing baik budaya Sunda maupun Batak. Dampak dari marjinalisasi ini terhadap


(28)

19

pemuda-pemudi etnis Batak Toba tersebut adalah kebingungan atau konflik mengenai budaya yang ada di sekitarnya.

Dalam strategi akulturasi akan ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu: Faktor-faktor eksternal dan Faktor-faktor internal. Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi strategi akulturasi adalah lama kontak budaya, jarak kultural, kualitas interaksi, dan dukungan sosial (Ward, 2001).

Lama kontak budaya antar Suku Batak dan Sunda memberikan pengaruh terhadap pemilihan strategi akulturasi. Semakin lama kontak budaya, maka semakin tinggi pengenalan Suku Batak Toba dewasa awal terhadap budaya Sunda. Jika berdasarkan pengalaman atau pengetahuan Suku Batak Toba dewasa awal mengenali budaya Sunda sebagai budaya yang sama baiknya dengan budaya Batak maka integrasi diterapkan. Jika Suku Batak Toba dewasa awal mengenal budaya Sunda sebagai budaya yang kurang baik daripada budaya Batak maka Suku Batak Toba dewasa awal tersebut menerapkan separasi. Jika Suku Batak Toba dewasa awal mengenal budaya Sunda sebagai budaya yang lebih baik daripada budaya Batak maka Suku Batak Toba dewasa awal tersebut menerapkan

asimilasi. Jika Suku Batak Toba dewasa awal mengenal budaya Sunda dan

budaya Batak Toba tidak lebih baik maka besar kemungkinan pemuda tersebut menerapkan marjinalisasi.

Pengenalan terhadap budaya Sunda memungkinkan munculnya konflik dalam diri individu. Jika interaksi antar budaya Batak Toba dengan Sunda ini terus berlanjut maka konflik tersebut dapat berubah menjadi krisis. Agar krisis


(29)

20

berhenti maka Suku Batak Toba dewasa awal harus beradaptasi dengan budaya Sunda dengan cara menerapkan suatu strategi akulturasi. Jika suatu strategi akulturasi yang diterapkan berhasil mengatasi krisis yang dialami maka proses adaptasi budaya akan berhenti, namun ada juga kemungkinan dengan berjalannya waktu, strategi akulturasi yang diterapkan oleh Suku Batak Toba dewasa awal menjadi tidak adekuat atau menimbulkan konflik baru. Ketika hal ini terjadi, maka Suku Batak Toba dewasa awal akan memasuki fase konflik lalu krisis lagi dan setelah itu memasuki fase adaptasi dengan memilih strategi akluturasi lain yang sesuai.

Faktor eksternal lainnya adalah jarak kultural. Semakin Suku batak toba dewasa awal menghayati budaya Batak memiliki banyak kemiripan dengan budaya Sunda atau jarak kultural yang semakin kecil, maka semakin besar kemungkinan Suku Batak Toba dewasa awal menerima budaya Sunda dan menerapkan integrasi atau asimilasi. Semakin Suku batak toba dewasa awal menghayati budaya Batak Toba dan Sunda memiliki sedikit kemiripan atau jarak kultural yang semakin besar, maka semakin kecil kemungkinan individu menerima budaya Sunda dan menerapkan separasi atau mengalami marjinalisasi.

Faktor eksternal berikutnya adalah kualitas interaksi intra dan inter group. Interaksi antara Suku Batak Toba dewasa awal dengan budaya Batak Toba disebut interaksi intra-group. Sedangkan kualitas interaksi antara Suku Batak Toba dewasa awal dengan budaya Sunda disebut interaksi inter-group. Kualitas interaksi inter-group inilah yang akan menjadi faktor utama yang mempengaruhi penerapan strategi akulturasi. Semakin kualitas interaksi intra dan inter-group


(30)

21

mendalam, semakin besar kemungkinan diterapkannya integrasi. Jika kualitas interaksi intra-group mendalam dan kualitas interaksi inter-group kurang mendalam maka semakin kemungkinan diterapkannya separasi. Jika kualitas

intra-group kurang mendalam dan kualitas inter-group mendalam maka semakin

besar kemungkinan diterapkannya asimilasi. Jika kualitas interaksi intra-group dan interaksi inter-group kurang mendalam maka semakin besar kemungkinan terjadinya marjinalisasi.

Dukungan sosial yang diberikan juga mempengaruhi penerapan strategi akulturasi seseorang. Jika dukungan sosial yang diberikan oleh lingkungan budaya Batak Toba dan lingkungan budaya Sunda sama–sama baik, semakin besar kemungkinan diterapkannya integrasi. Jika dukungan sosial yang diberikan oleh lingkungan budaya Batak Toba baik tetapi lingkungan budaya Sunda kurang memberikan dukungan maka semakin besar kemungkinan diterapkannya separasi. Jika dukungan sosial yang diberikan oleh budaya Batak Toba kurang baik tetapi lingkungan budaya Sunda memberikan dukungan sosial maka semakin besar kemungkinan diterapkannya asimilasi. Jika lingkungan budaya Batak Toba yang dimiliki Suku batak Toba dewasa awal dan lingkungan budaya Sunda kurang memberikan dukungan sosial maka semakin besar kemungkinan terjadinya marjinalisasi.

Selain faktor eksternal, terdapat juga faktor internal. Faktor internal terdiri atas persepsi, identitas budaya dan nilai-nilai tradisional, serta latihan dan pengalaman (Ward, 2001). Jika Suku Batak Toba dewasa awal mempersepsi bahwa budaya yang ada dalam dirinya dan budaya Sunda sesuai dengan dirinya


(31)

22

maka kemungkinan besar Suku Batak Toba dewasa awal akan melakukan integrasi. Jika Suku Batak Toba dewasa awal mempersepsi bahwa budaya yang ada dalam dirinya lebih sesuai dengan dirinya daripada Sunda maka kemungkinan besar Suku Batak Toba dewasa awal akan menerapkan separasi. Jika Suku Batak Toba dewasa awal mempersepsi bahwa budaya Sunda lebih sesuai dengan dirinya daripada budaya Batak yang ada dalam dirinya maka kemungkinan Suku Batak Toba dewasa awal tersebut menerapkan asimilasi dan jika Suku Batak Toba dewasa awal mempersepsi baik budaya Batak yang ada dalam dirinya dan budaya Sunda tidak sesuai dengan dirinya maka kemungkinan besar akan terjadi marjinalisasi.

Selain faktor diatas, terdapat faktor identitas budaya dan nilai-nilai tradisonal. Semakin seorang Suku Batak Toba dewasa awal menganggap bahwa nilai-nilai Batak Toba lebih sesuai dengan dirinya, maka semakin besar kemungkinan Suku Batak Toba dewasa awal itu melakukan separasi. Semakin Suku Batak Toba dewasa awal menganggap bahwa nilai-nilai Sunda lebih banyak memiliki kesesuaian dengan dirinya maka semakin besar kemungkinan Suku Batak Toba dewasa awal tersebut melakukan asimilasi. Jika Suku Batak Toba dewasa awal menganggap bahwa nilai-nilai dari Sunda dan Batak Toba memiliki kesesuaian dengan dirinya maka semakin besar kemungkinan Suku Batak Toba dewasa awal tersebut melakukan integrasi. Jika Suku Batak Toba dewasa awal menganggap bahwa hanya sedikit atau bahkan tidak ada nilai-nilai Batak maupun Sunda yang memiliki kesesuaian dengan dirinya maka semakin besar kemungkinan Suku Batak Toba dewasa awal tersebut mengalami marjinalisasi.


(32)

23

Faktor internal lainnya yaitu latihan dan pengalaman. Apabila Suku Batak Toba dewasa awal sudah terlatih dalam menghadapi budaya Sunda yang berbeda dengan budaya asalnya, semakin mempermudah mereka untuk menerima budaya budaya Sunda tersebut, sebab mereka sudah terbiasa dengan perbedaan antar budaya yang ada dan mereka dapat mentoleransi perbedaan tersebut. Semakin banyak pengalaman positif yang didapat dalam berinteraksi dengan budaya Sunda yang berbeda dengan budaya asalnya, semakin besar kemungkinan Suku Batak Toba dewasa awal menerima budaya Sunda tersebut.

Seperti yang telah dipaparkan di atas mengenai penerapan strategi akulturasi pada aspek-aspek identitas budaya, kompetensi bahasa, dan perilaku aktivitas budaya. Penerapan strategi akulturasi untuk setiap aspek tersebut dapat sama, tetapi dapat juga berbeda-beda, misalnya mungkin saja Suku Batak Toba dewasa awal menerapkan strategi integrasi dalam kompetensi bahasa, strategi separasi, dalam identitas budaya, dan strategi asimilasi dalam perilaku atau aktivitas budaya.


(33)

24

Pemuda etnis Batak dari Sumatera Utara di Gereja “X”

Purwakarta

Kontak dengan budaya Sunda Strategi Akulturasi Budaya Kompetensi Bahasa Identitas Budaya Aktivitas/perilaku Budaya Asimilasi Separasi Integrasi Marjinalisasi Asimilasi Separasi Integrasi Marjinalisasi Asimilasi Separasi Integrasi Identitas

Budaya Batak Toba

Faktor Eksternal: - Lama kontak Budaya - Kualitas Interaksi - Jarak Kultural - Dukungan Sosial

Faktor Internal: - Persepsi

- Identitas dan Nilai-nilai Budaya


(34)

25

1.6. Asumsi

1. Suku Batak Toba dewasa awal di Gereja “X” Purwakarta sebagai kaum minoritas dituntut untuk melakukan kontak dengan budaya mayoritas, yaitu Budaya Sunda, sehingga mendorong terjadinya proses akulturasi. 2. Suku Batak Toba dewasa awal di Gereja “X” Purwakarta berupaya

melakukan interaksi dengan Budaya Sunda dalam hal kompetensi bahasa, identitas budaya, dan perilaku/aktivitas budaya merupakan proses akulturasi.

3. Strategi akulturasi yang dilakukan oleh Suku Batak Toba dewasa awal di Gereja “X” Purwakarta berbeda-beda, yaitu: asimilasi, integrasi, separasi, atau marjinalisasi.

4. Strategi akulturasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendukung, yaitu faktor eksternal yang terdiri dari lama kontak budaya, jarak kultural, kualitas interaksi intra-group (interaksi sesama Batak Toba) dan

inter-group (dengan masyarakat Sunda), dan dukungan sosial, dan faktor

internal yang terdiri dari persepsi, identitas budaya, dan nilai-nilai tradisional, dan latihan dan pengalaman.


(35)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian mengenai “Strategi Akulturasi pada Suku Batak Toba dewasa awal di Gereja “X” Purwakarta”. Maka peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1) Strategi akulturasi yang sebagian besar digunakan pada setiap aspek adalah strategi separasi.

2) Strategi akulturasi yang dominan digunakan oleh Suku Batak Toba dewasa awal pada aspek Kompetensi Bahasa, Identitas Budaya, dan Aktivitas atau Perilaku Budaya adalah strategi separasi. Faktor-faktor yang menggambarkan penerapan strategi separasi adalah dukungan sosial, jarak kultural, lama kontak, identitas dan nilai-nilai tradisional,pengalaman, dan kualitas interaksi.

5.2Saran

5.2.1 Saran Teoritiis

 Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini dengan melakukan penelitian terhadap strategi akulturasi pada Suku Batak Toba yang lahir dan menetap di kota asal.

 Bagi peneliti lain yang berminat meneliti mengenai strategi akulturasi disarankan untuk memperhitungkan faktor penerapan stategi akulturasi,


(36)

73

yaitu faktor lama kontak, kualitas interaksi, jarak kultural, dukungan sosial, persepsi, identitas budaya dan nilai-nilai tradisional, serta latihan dan pengalaman pada setiap aspeknya.

5.2.2 Saran Praktis

 Diharapkan mereka dapat tetap melestarikan budaya mereka dan membuka diri untuk mengenal budaya setempat, seperti mengikuti IMBP (Ikatan Masyarakat Batak Purwakarta). IMBP dibentuk pada tahun 1996 dan kegiatannya seminggu satu kali. Tujuan dari IMBP adalah dalam rangka pembinaan kepada masyarakat Batak agar masyarakat Batak tetap melestarikan budayanya dimanapun mereka berada.


(37)

DAFTAR PUSTAKA

Berry, John W., Poortinga, Ype H., Segall, Marshall H., & Deasen, Pierre R. 1999. Psikologi Lintas Budaya, Riset dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

____. 2002. Cross-Cultural Psychology: Research and Applications. Cambridge: Cambridge University Press

Brunner, Edward. 1982. Pokok-Pokok Antropologi. Jakarta. Gramedia

Ekadji, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah), Jakarta: Pustaka Jaya

Friedenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing: Design, Analysis, and Use. Massachusetts: Allyn and Bacon

Guilford, J.P., 1979. Psychometric Methods, Tata McGraw-Hill.Publishing. Company Limited

Gultom, H. 2002. Imanmu Menyelamatkanmu. Jakarta: Yayasan Pembangunan Bona Pasogit

Kaplan, Robert.M. 2005. Psychological Testing: Principles, Applications, and

Issues. USA: Wadsworth Thompson Learning Inc.

Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Aksara Baru Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia

Santrock, JW. 2011. Life-Span development 13thed: Perkembangan Masa Hidup jilid 2. Penerjemah: Benedictine Widyasinta. Jakarta: Erlangga.

Tambunan, E.H. 1982. Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan

Kebudayaannya Sebagai Sarana Pembangunan, Bandung: Tarsito.

Ward, C. Bochner, &Furham, A. 2001. The Psychology of Culture Shock, USA and Canada: Routledge


(38)

DAFTAR RUJUKAN

Birman, Dina.2005. A Tale Of two Cities: Replication of a Study the Acculturation and Adaption of Immigrant Adolescent From the Former Soviet Union in a Different Community Context. Miami: American Journal of Community Psychology-March 2005.

Islamiah, Yuli Nuri. 2012. Kebudayaan dan Adat Istiadat Suku Sunda. (online).

(https://yulinuriislamiah.wordpress.com, diakses pada tanggal 16 Juli

2013).

http://www.depdagri.go.id/basis-data/2010/01/28/daftar-provinsi diakses pada tanggal 10 Mei 2014

http://www.jpnn.com/index.php?id=57455&mib=berita.detail – 10 Mei 2014 Sintauli, TheresiaAnggreini. Studi Deskriptif Mengenai Strategi Akulturasi Pada

Mahasiswa Etnis Batak Toba Di Universitas “X” Bandung. Skripsi: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Tim Dosen Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Pedoman penulisan Skripsi Sarjana. Edisi Revisi III. 2009. Bandung” Fakultas Psikologi Maranatha.


(1)

Bagan 1.1. Kerangka Pikir Universitas Kristen Maranatha

Pemuda etnis Batak dari Sumatera Utara di Gereja “X”

Purwakarta

Kontak dengan budaya Sunda Strategi Akulturasi Budaya Kompetensi Bahasa Identitas Budaya Aktivitas/perilaku Budaya Separasi Integrasi Marjinalisasi Asimilasi Separasi Integrasi Marjinalisasi Asimilasi Separasi Integrasi Marjinalisasi Identitas

Budaya Batak Toba

Faktor Eksternal: - Lama kontak Budaya - Kualitas Interaksi - Jarak Kultural - Dukungan Sosial

Faktor Internal: - Persepsi

- Identitas dan Nilai-nilai Budaya


(2)

25

1.6. Asumsi

1. Suku Batak Toba dewasa awal di Gereja “X” Purwakarta sebagai kaum minoritas dituntut untuk melakukan kontak dengan budaya mayoritas, yaitu Budaya Sunda, sehingga mendorong terjadinya proses akulturasi. 2. Suku Batak Toba dewasa awal di Gereja “X” Purwakarta berupaya

melakukan interaksi dengan Budaya Sunda dalam hal kompetensi bahasa, identitas budaya, dan perilaku/aktivitas budaya merupakan proses akulturasi.

3. Strategi akulturasi yang dilakukan oleh Suku Batak Toba dewasa awal di Gereja “X” Purwakarta berbeda-beda, yaitu: asimilasi, integrasi, separasi, atau marjinalisasi.

4. Strategi akulturasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendukung, yaitu faktor eksternal yang terdiri dari lama kontak budaya, jarak kultural, kualitas interaksi intra-group (interaksi sesama Batak Toba) dan

inter-group (dengan masyarakat Sunda), dan dukungan sosial, dan faktor

internal yang terdiri dari persepsi, identitas budaya, dan nilai-nilai tradisional, dan latihan dan pengalaman.


(3)

72

Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian mengenai “Strategi Akulturasi pada Suku Batak Toba dewasa awal di Gereja “X” Purwakarta”. Maka peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1) Strategi akulturasi yang sebagian besar digunakan pada setiap aspek adalah strategi separasi.

2) Strategi akulturasi yang dominan digunakan oleh Suku Batak Toba dewasa awal pada aspek Kompetensi Bahasa, Identitas Budaya, dan Aktivitas atau Perilaku Budaya adalah strategi separasi. Faktor-faktor yang menggambarkan penerapan strategi separasi adalah dukungan sosial, jarak kultural, lama kontak, identitas dan nilai-nilai tradisional,pengalaman, dan kualitas interaksi.

5.2Saran

5.2.1 Saran Teoritiis

 Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini dengan melakukan penelitian terhadap strategi akulturasi pada Suku Batak Toba yang lahir dan menetap di kota asal.

 Bagi peneliti lain yang berminat meneliti mengenai strategi akulturasi disarankan untuk memperhitungkan faktor penerapan stategi akulturasi,


(4)

73

yaitu faktor lama kontak, kualitas interaksi, jarak kultural, dukungan sosial, persepsi, identitas budaya dan nilai-nilai tradisional, serta latihan dan pengalaman pada setiap aspeknya.

5.2.2 Saran Praktis

 Diharapkan mereka dapat tetap melestarikan budaya mereka dan membuka diri untuk mengenal budaya setempat, seperti mengikuti IMBP (Ikatan Masyarakat Batak Purwakarta). IMBP dibentuk pada tahun 1996 dan kegiatannya seminggu satu kali. Tujuan dari IMBP adalah dalam rangka pembinaan kepada masyarakat Batak agar masyarakat Batak tetap melestarikan budayanya dimanapun mereka berada.


(5)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Berry, John W., Poortinga, Ype H., Segall, Marshall H., & Deasen, Pierre R. 1999. Psikologi Lintas Budaya, Riset dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

____. 2002. Cross-Cultural Psychology: Research and Applications. Cambridge: Cambridge University Press

Brunner, Edward. 1982. Pokok-Pokok Antropologi. Jakarta. Gramedia

Ekadji, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah), Jakarta: Pustaka Jaya

Friedenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing: Design, Analysis, and Use. Massachusetts: Allyn and Bacon

Guilford, J.P., 1979. Psychometric Methods, Tata McGraw-Hill.Publishing. Company Limited

Gultom, H. 2002. Imanmu Menyelamatkanmu. Jakarta: Yayasan Pembangunan Bona Pasogit

Kaplan, Robert.M. 2005. Psychological Testing: Principles, Applications, and

Issues. USA: Wadsworth Thompson Learning Inc.

Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Aksara Baru Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia

Santrock, JW. 2011. Life-Span development 13thed: Perkembangan Masa Hidup jilid 2. Penerjemah: Benedictine Widyasinta. Jakarta: Erlangga.

Tambunan, E.H. 1982. Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan

Kebudayaannya Sebagai Sarana Pembangunan, Bandung: Tarsito.

Ward, C. Bochner, &Furham, A. 2001. The Psychology of Culture Shock, USA and Canada: Routledge


(6)

DAFTAR RUJUKAN

Birman, Dina.2005. A Tale Of two Cities: Replication of a Study the Acculturation and Adaption of Immigrant Adolescent From the Former Soviet Union in a Different Community Context. Miami: American Journal of Community Psychology-March 2005.

Islamiah, Yuli Nuri. 2012. Kebudayaan dan Adat Istiadat Suku Sunda. (online).

(https://yulinuriislamiah.wordpress.com, diakses pada tanggal 16 Juli

2013).

http://www.depdagri.go.id/basis-data/2010/01/28/daftar-provinsi diakses pada tanggal 10 Mei 2014

http://www.jpnn.com/index.php?id=57455&mib=berita.detail – 10 Mei 2014 Sintauli, TheresiaAnggreini. Studi Deskriptif Mengenai Strategi Akulturasi Pada

Mahasiswa Etnis Batak Toba Di Universitas “X” Bandung. Skripsi: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Tim Dosen Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Pedoman penulisan Skripsi Sarjana. Edisi Revisi III. 2009. Bandung” Fakultas Psikologi Maranatha.