Selanjutnya

PERSETUJ'UAN
ANTARA

PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
DAN

PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRASI

JERMAN

MENGENAI
KERJASAMA DI

BIDANG PELAYARAN

NIAGA

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik
Demokrasi Jerman (untuk selanjutnya disebut sebagai para
Pihak) •
Berkeinginan untuk lebih mempererat ィオ「


セァ。

ョ@

ー・イウ。ィ「

。エセ@

」NセQ@

diantara Republik Indonesia dan Republik Demokrasi
Jerman,
dan dengan tujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan
kerjasama antara Republik Indonesia dan Republik Demokrasi
Jerman di bidang pelayaran niaga dengan memperhatikan

ーイゥセ@

sip-prinsip hukum internasional, terutama prinsip persamaan derajat diantara negara-negara merdeka dan berdaulat

dan prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri masingmasing negara;

TELAH MENYETUJUI SEBAGAI BERIKUT
Pasal

1

Kedua P ihak setuju untuk bekerjasama atas dasar keuntungan
bersama dan prinsip kebebasan navigasi maritim dalam rangka mengembangkan hubungan antara Republik Indonesia

dan

Republik Demokrasi Jerman di bidang pelayaran niaga.
Pasal

2

(1) Para Pihak akan mengembangkan kerjasama di bidang navi
gasi maritim diantara instansi-instansi yang berwenang
dari masing-masing negara.


Untuk maksud tersebut,

2

jika diperlukan, instansi-instansi Pemerintah yang berwenang dari para Pihak akan mengadakan konsultasi.
(2) Instansi-instansi Pemerintah yang berwenang dari

para

Pihak dalam hal ini adalah :
- Di pihak Republik Indonesia, ialah :
Departemen Perhubungan Republik Indonesia.
- Di pihak Republik Demokrasi Jerman,ialah :
Ministerium fur Verkerswesen der Deutschen Demokra tischen Republik.
Pasal

3

Dalam persetujuan ini :

a) - istilah "Indonesia"

meliputi wilayah Republik

Indonesia sebagai mana ditentukan dalam
nya dan daerah yang berbatasan

atas

オョ、。ァMセ@

mana

Republik

Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat atau yurisdiksi
menurut ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Tentang Hukum Laut, 1982;
- istilah"Republik Demokrasi Jerman"berarti wilayah
Republik Demokrasi Jerman termasuk laut wilayah dan

daerah-daerah laut yang berbatasan atas mana Republik
Demokrasi Jerman mempunyai hak-hak berdaulat atau
yurisdiksi menurut ketentuan-ketentuan Konvensi Per serikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, 1982.
b) istilah "kapal"
nakan

berarti setiap kapal niaga yang menggu-

bendera dari salah satu Pihak dan didaftarkan di-

negara tersebut atau dicharter menurut waktu oleh suatu
perusahaan pelayaran dari Negara para Pihak.

3

Persetujuan ini tidak berlaku terhadap kapal-kapal
perang, kapal-kapal perang bantu dan kapal-kapal rnilik
セ・イョゥエ。ィ@

lainnya yang dipergunakan bukan untuk kegi-


atan kornersial atau terhadap kapal-kapal penangkap
ikan;
c)

istilah "awak kapal" berarti sernua orang yang dipekerjakan untuk rnelakukan tugas-tugas di atas kapal selarna
suatu pelayaran,dalarn hubungan dengan pengoperasian
kapal atau yang rnernberikan pelayanan di atas kapal,
dan yang narna-narnanya tercantum di dalam daf tar

awak

kapal sesuai dengan peraturan yang berlaku di negara
masing-masing Pihak yang berkepentingan;
d)

istilah "perusahaan pelayaran" berarti setiap

ー・イオウ。ィセ@


an pelayaran yang terdaftar di salah satu negara para
Pihak.
Pasal

4

(1) Masing-masing Pihak akan :
a) memberikan jaminan kebebasan kepada kapal-kapal
dari masing-masing Pihak terlepas dari pengaturan
cara-cara pengiriman, hak yang sarna didalam keikut
sertaan pengangkutan barang-barang yang berasal
dari hubungan perdagangan diantara kedua Pihak;
b) bekerjasama untuk rnemperkecil rintangan-rintangan
yang dapat menghambat kelancaran pelayaran diantara
para Pihak;
c) untuk kepentingan efektifitas penggunaan kapalkapal rnereka, sejauh mungkin akan memberikan

、オォョセ@

an untuk menggunakan kapal-kapal kedua belah :Pihak

secara timbal balik juga untuk pengangkutan barangbarang

perdagangan dengan Negara ketiga sesuai

dengan perjanjian pelayaran yang ada antara Eropa
dan Indonesia.

4
(2) Ketentuan Pasal ini tidak mempengaruhi hak dari kapalkapal berbendera Negara ketiga, yang dicharter atau d!
operasikan oleh perusahaan pelayaran dari para Pihak
untuk ikut serta dalam pengangkutan barang-barang perdagangan diantara para Pihak.
(3) Untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Pasal ini,

ー・イセ@

sahaan-perusahaan pelayaran berhak untuk beroperasi
sendiri atau bersama-sama termasuk juga membuat perjanj ian diantara mereka mengenai hal-hal yang bersifat
teknis organisatoris maupun komersial.
Pasal


5

(1) Kapal-kapal dari salah satu Pihak beserta awak kapal
dan muatannya harus diperlakukan secara sama sebag aimana terhadap kapal, awak kapal dan muatan dari Pihak
lainnya yang memasuki, berlayar dan dari pelabuhan
atau berlabuh di pelabuhan Pihak lainnya.
(2) Ketentuan ayat (1) khususnya berlaku terhadap :
a) setiap pembayaran dan pungutan yang dikenaka n

oleh

atau atas nama instansi-instansi Pemerintah, atau
organisasi-organisasi tertentu, termasuk tata cara
pemungutannya;
b ) menambat dan melepas, memuat dan membongkar kapalkapal di pelabuhan-pelabuhan dan di alur-alur pelabuhan;
c) pemanduan dan penundaan, penggunaan alur p elay aran,
pintu air, jembatan-jembatan, rambu-rambu dan
rambu-rambu suar;
d) penggunaan derek, jembatan timbang, gudang-gudang,
dan galangan kapal;

e) pengadaan bahan bakar, minyak pelumas, air tawar
dan makanan;

5
f) pelayanan kesehatan dan kebersihan,
(3) Ketentuan ayat (1) dan (2) berlaku juga untuk kapalkapal yang dicharter rnenurut waktu oleh perusahaan pela
yaran dari negara para Pihak, dengan ketentuan sepan jang menyangkut pembayaran-pembayaran hanya sarnpai

se-

jauh pembayaran-pernbayaran tersebut merupakan pembayaran yang harus ditanggung oleh pencharter sesuai dengan
perjanjian charter.
J?asal

6

Dalam batas-batas peraturan perundang--undangan nasionalnyq. .dan ·1?2£
aturan-peraturan kepelabuhanan yang berlaku, kedua belah Pihak
akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan, bila dimungkankan, untuk mengurangi masa tunggu kapal-kapal di pelabuhan.
Pasal


7

(1) Berdasarkan dokumen-dokumen yang ada di kapal dan yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang untuk itu dari
salah satu Pihak, kebangsaan kapal-kapal harus diakui
oleh instansi yang berwenang dari Pihak yang lain.
(2) Dokumen-dokumen kapal yang ada di kapal termasuk dokumen mengenai awak kapal yang dikeluarkan atau yang diakui oleh instansi-instansi yang berwenang dari salah
satu Pihak, harus diterima oleh instansi-instansi yang
berwenang dari Pihak lainnya.
(3) Kapal-kapal yang memiliki Surat Ukur yang sah dibebaskan dari pengukuran kembali di pelabuhan-pelabuhan
masing-masing Pihak.

Perhitungan biaya pelabuhan akan

didasarkan pada ukuran kapal yang tercantum dalam Surat
Ukur.
Pasal

8

(1) Kapal, awak kapal, penumpanq dan muatannya pada saat
berada dalam laut

wilayah

dan

ー・セ。ゥイョ@

peda -

6

laman atau di pelabuhan dari salah satu Pihak harus
tunduk pada ketentuan hukum nasional dari Pihak tersebut khususnya pada peraturan-peraturan mengenai
lalu lintas dan keselamat.an kapal,

ketertiban umum dan

keamanan, penyeberangan perbatasan, bea cukai,

mata

uang asing, kesehatan, kehewanan dan pernberantasan
penyakit pes.
(2) Pengusutan oleh instansi-instansi penegak hukum dari
salah satu Pihak untuk menuntut suatu perbuatan yang
dapat dihukum yang dilakukan selama berada di atas
kapal, tidak akan dilaksanakan di atas kapal dari salah
satu Pihak pada saat kapal berada di laut wilayah, perairan pedalaman, atau pelabuhan-pelabuhan Pihak lain,
kecuali dalam hal :
a) perbuatan yang dapat dihukum itu membawa akibat
pada wilayah dan hak-hak warganegaranya;
b) perbuatan yang dapat dihukum itu melanggar ketertiban umum atau keamanan negara yang bersangkutan;
c) bantuan dari instansi penegak hukum setempat diminta
oleh Nakhoda atau pejabat diplomatik atau konsuler
negara yang benderanya 、ゥァオセ。ォョ@

oleh kapal yang 「・セ@

sangkutan;
d) tindakan-tindakan tersebut dipe.rlukan untuk menekan
arus lalu lintas gelap narkotika dan obat-obat terlarang lainnya.
Ketentuan ayat ini tidak mempengaruhi hak untuk melakukan pengawasan dan pengujian dari instansi yang

ber-

wenang dari masing-masing Pihak sesuai dengan ketentuan
hukum nasional mereka.

(3) Dalam hal-hal yang disebutkan didalam ayat (2), instansi penegak hukum dari Pihak diwilayah mana kapal dari
Pihak lainnya dioperasikan sebelum mengambil tindakantindakan atas permintaan Nakhoda diwajibkan untuk memberikan informasi kepada pejabat diplomatik atau kon suler dari negara bendera kapal dan mernberikan kesem -

7
patan kepada

ー・ェ。「エMセ@

tersebut mengadakan pem-

bicaraan dengan awak kapal.

Dalam hal-hal yang men-

desak, tindakan-tindakan dapat diambil dengan memberikan informasi kepada pejabat-pejabat yang bersangkutan tersebut.
(4) Kapal-kapal dari salah satu Pihak pada saat berada di
laut wilayah dan perairan pedalaman ataupun

ー・ャ。「オィセ@

pelabuhan Pihak lainnya harus mematuhi peraturan-peraturan mengenai peralatan, pengawakan, keselamatan
kapal, pengukuran dan kelaikan kapal yang berlaku di
Negara bendera kapal.
Pasal
(1) Masing-masing

セゥィ。ォ@

9

mengakui dokumen-dokumen identitas

pelaut yang dikeluarkan oleh instansi-instansi yang
berwenang di negara Pihak lainnya.
Dokumen-dokumen identitas yang dimaksud adalah :
- Bagi warga negara Republik Indonesia "Buku Pelaut"
- Bagi warga negara Republik Demokrasi Jerman
"Seefahrtsbuch der Deutchen Demokratischen

r・ーオ「ャゥォセ@

(2) Selama kapal berada di pelabuhan, pelaut-pelaut dari
salah satu Pihak yang membawa dokumen

identitas yang

masih berlaku seperti yang dijelaskan dalam ayat (1)
di atas diizinkan untuk turun ke darat dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan nasional Pihak
lainnya yang mengatur hal-hal tersebut.
(3) Pelaut dari salah satu Pihak yang memegang dokumen
identitas yang masih berlaku sebagaimana dijelaskan
dalam ayat (1) diizinkan untuk menyeberang ke wilayah
negara Pihak lainnya pada lintas batas yang ditentukan bagi lalu lintas penumpang, yang terdekat ke
tempat yang dituju dengan memperlihatkan surat keterangan resmi yang dikeluarkan, ditandatangani dan di
cap oleh pimpinan perusahaan pelayaran, atau seorang

8
yang mendapat kuasa darinya atau Nakhoda untuk halhal sebagai berikut
a) kerusakan kapal, kecelakaan-kecelakaan atau keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan kapal terse but tidak dapat meneruskan pelayarannya;
b) keadaan-keadaan yang disebabkan oleh alasan-alasan
profesi, keluarga atau kesehatan;
c) pengangkatan dan pemberhentian awak kapal.
(4) Ketentuan-ketentuan dalam ayat (3) harus dilaksanakan
sebagaimana mestinya juga apabila terjadi pengangkatan dan pemberhentian awak kapal yang membutuhkan tempat persinggahan di wilayah Pihak tersebut.
(5) Setiap perubahan yang menyangkut awak kapal dari
kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan salah satu
Pihak harus dicatat didalam daf tar awak kapal yang
ada dengan mencantumkan tanggal serta alasan-alasan
terjadinya perubahan tersebut.
(6) Setiap pelaut yang memegang dokumen identitas yang
masih berlaku seperti yang dijelaskan dalam ayat (1)
akan tetapi bukan warga negara salah satu P ihak akan
diberi visa yang diperlukan untuk memasuki atau
menyinggahi wilayah Pihak lainnya untuk datang kekapalnya, dengan ketentuan bahwa ia mendapat p erintah
resmi sesuai ketentuan ayat (3)dan keluarnya kembali
kenegara dari Pihak yang mengeluarkan dokumen identitas dijamin.
Pasal

10

(1) Tanpa mengurangi arti daripada ketentuan-ketentuan
yang dibuat dalam Pasal 9 Persetujuan ini, terhadap
keluar, masuk dan menetapnya orang-orang asing akan
berlaku hukum nasional dari para Pihak.

9

(2) Masing-masing Pihak mempunyai hak untuk menolak awak
kapal yang tidak ia kehendaki untuk memasuki wilayahnya.
Pasal

11

Setiap penghasilan atau keuntungan yang diperoleh perusahaan pelayaran salah satu Pihak dari penyelenggaraan angkutan barang, surat-surat dan penumpang termasuk dari

ー・セ@

charteran menurut waktu atau yang didapat dari pemberian
pelayanan-pelayanan di bidang maritim lainnya dapat dipe£
gunakan untuk pembayaran-pembayaran di dalam wilayah dari
Pihak dimana penghasilan tersebut didapat atau dipindah kan ke Negara Pihak lainnya ataupun juga ke Negara ketiga
sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional
masing-masing.
Pasal

12

Untuk kepentingan peningkatan kerjasama di bidang pelaya£
an niaga, perusahaan-perusahaan pelayaran kedua Pihak be£
dasarkan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional
nya masing-masing diberi hak untuk membuka kantor perwa kilan tetap diwilayah Pihak lainnya.
Pasal

13

Masing-masing Pihak akan memberikan izin kepada anggotaanggota misi diplomatik, dan konsulat serta kantor per wakilan perusahaan pelayaran dari Pihak lainnya untuk
tanpa hambatan memasuki pelabuhan-pelabuhan di wilayah
negaranya menurut peraturan perundang-undangan nasional
negara tersebut untuk memungkinkan mereka melakukan

エオァ。セ@

tugas resmi memeriksa kapal, awak kapal dan muatan serta
mengizinkan me reka untuk naik di atas kapal mereka atau
di kapal yang dicharter menurut waktu ole h p e rusahaan
p e layaran, y ang sedang berlabuh (berada di p e l a buhan) .

10
Pasal

14

Apabila kapal dari salah satu Pihak tenggelam atau mengalami
kerusakan di laut wilayah atau perairan pedalaman dari Pihak
lainnya, orang-orang, kapal beserta muatan di atasnya harus
mendapatkan pertolongan yang diperlukan dan menikmati perlakuan dan pelayanan yang sama dengan Pihak lainnya sesuai
ォ・ェセ@

dengan peraturan perundang-undangan nasionalnya apabila
dian yang sama menimpa kapalnya sendiri.
Pasal

15

Ketentuan-ketentuan didalam Persetujuan ini tidak akan
rangi hak-hak

ュ・ョァセ@

maupun kewajiban-kewajiban para Pihak yang

timbul dari konvensi-konvensi internasional mengenai hukum
maritim dan pelayaran yang telah diterima oleh

para

Pihak

tersebut.
Pasal

16

Setiap perselisihan yang timbul dalam hal penafsiran atau
pelaksanaan dari Persetujuan ini akan

diselesaikan melalui

suatu musyawarah diantara kedua belah Pihak.
Pasal

17

Setiap perubahan atau perbaikan dari Persetujuan ini harus
disetujui bersama secara tertulis oleh para Pihak.
Pasal

18

(1) Persetujuan ini dibuat untuk jangka waktu yang tidak
terbatas dan mulai berlaku pada saat ditandatangani.
(2) Persetujuan ini dapat dibatalkan oleh salah satu Pihak
dengan pemberitahuan tertulis 12 (dua belas) bulan
sebelumnya.

11

SEBAGAI BUKTI, kedua penandatangan

yang dikuasakan untuk

maksud ini ole h Pemerintah mereka masing-masing telah

me -

nandatangani Persetujuan ini.
pada tanggal

DIBUAT di

,16 A/aA..LZ (j' tf/

dalam bahasa Indonesia, Jerman dan Inggris, yang kesemua nya mempunyai kekuatan yang sama.

Dalam hal terdapat per-

bedaan penafsiran, maka teks dalam bahasa Inggris yang
akan berlaku.

ATAS NAMA PEMERINTAH
REPUBLIK

INDONESIA,

Signed

PROF. DR. MOCHTA.R KUSUMA-ATMA.DJ'A
Menteri Luar Negeri
Republik Indonesia

ATAS

NAMA PEMERINTAH

REPUBLIK DEMOKRASI JERMAN,
Signed

OSKAR FISCHER
Menteri Luar Negeri
Republik Demokrasi Jerman

I

I

Jakarta,

16
セ。イ・エ@

1987.

Yang Mulia,
Kami menyampaikan salam hormat kepada Yang Mulia dan
dengan hormat menunjuk kepada Neta Yang Mulia yang berbunyi
sebagai berikut :
"Dalam rangka penandatanganan Persetujuan antara Re:i:mblik
Indonesia dan Renublik Demokrasi Jerman di bidang pelayaran
niaga,

セ・イォョ。@

kami untuk menvamoaikan nenielasan dari

Republik Indonesia tentang hal-hal berikut
1. Mengenai Pasal 4 ayat 1 c,

untuk memelihara stabi-

litas perdagangan timbal balik antara Indonesia dan
eイッセ。L@

DSR harus menjadi angqota Indonesia-Europe/

Europe-Indonesia Freight Conference dalam jangka
waktu yang sesinqkat-singkatny a.
Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia akan memberikan
dukungan sepenuhnya terhadao permohonan DSR untuk
menjadi anggota conference.
2. Mengenai ketentuan-ketentuan di dalam Pasal 9 ayat 2,
Nakhoda dan para awak kapal dari kapal-kapal Republik
Demokrasi Jerman oada waktu berada di oelabuhan akan
di terankan oeraturan-peraturan khusus sebagai b erikut :

i.

Nakhoda dan

セ。イ@

awak kapal diizinkan turun ke

darat di dalam wilayah pelabuhan secara berkelompok yang minimal terdiri dari 4 orang, antara
jam 09.00 hingga jam 24.00.
ii. Nakhoda dan nara awak kaoal tidak diizinkan mernbawa masuk ke wilayah negara tersebut barang yang
dilarang menurut Undang-undang dan ryeraturan-pc r -·
aturan yang berlaku din e gar a yang hersangkutan .

Konf irmasi terhadap nenjelasan ini dari Pemerintah
Reoublik Demokrasi Jerman akan merupakan nenafsiran yang disenakati bersama mengena i kedua Pasal di atas."
Selanjutnya dengan hormat kami menyatakan atas nama
Pemerintah Republik Demokrasi Jerman pengertian dan persetujuan kami bahwa Nota Yang Mulia dan Nota ini akan berlaku sebagai
persetujuan antara kedua Pemerintah yang mulai ber l aku pada
tanggal Nota ini.

Terimalah Yang Mulia

pernyataan penghargaan kami yang

setinggi-tingginya.

Signed

Oskar Fischer
Menteri Luar Negeri
Reoublik Demokrasi Jerman.
Yang Mulia,
Prof. Dr. Mochtar Kusuma - Atmadja
Menteri Luar Negeri
Republik Indonesia.

Ab k o mme n
zwischen der Regierung der Republik Indonesien und der
Regierung der Deutschen Demokratischen Republik ilber die
Zusammenarbeit auf dem Gebiet der Handelsschiffahrt

I

Die Regierung der Republik Indonesien und die Regierung
der Deutschen Demokratischen Republik (nachfolgend als
Partner bezeichnet) haben,
gelei tet von dem Wunsch, die freundschaftl ichen Be·z iehungen zwischen der Republik Indonesien und der Deutschen Demokratischen Republik zu festigen,
mit dem Ziel, die Zusammenarbeit zwischen der Republik
Indonesien und der Deutschen Demokratischen Republik auf
dem Gebiet der Handelsschiffahrt in Ubereinstimmung mit
den Prinzipien des Volkerrfchts, insbesondere mit dem
Prinzip der souveranen Gleichheit der Staaten und dem
Prinzip der Nichteinmischung in die inneren Angelegenheiten,
zu entwickeln und zu vertiefen,

I

folgendes vereinbart:
Artikel 1
Beide Partner kommen ilberein, zur Entwicklung der Beziehungen
zwischen der Republik Indonesien und der Deutschen Demokratischen Republik auf dem Gebiet der Handelsschiffabrt auf
der Grundlage der Gleichberechtigung, des gegenseitigen Vorteils und des Prinzips der Freiheit der Seescbiffabrt zu·sammenzuarbei ten.

2

Artikel 2
(1) Die Partner werden die Zusammenarbeit ihrer zustandigen
Staatsorgane auf dem Gebiet der Handelsschiffahrt in jeder
Weise fordern. Zu diesem Zweck werden die zustandigen Staats·organe der Partner entsprechend den Erfordernissen Konsul tationen durchfUhren.

I

(2) Die zustandigen Staatsorgane der Partner sind:
- seitens der Republik Indonesien
Department of Communications of the Republic of Indonesia
- seitens der Deutschen Demokratischen Republik
Ministerium fUr Verkehrswesen der
Deutschen Demokratischen Republik.

Artikel 3
Im Sinne dieses Abkornmens bedeutet:

I

a) - die Bezeichnung "Indonesien" das Hoheitsgebiet der
Republik Indonesien, wie es in ihren Gesetzen definiert
wurde , und die angrenzenden Gebiete , Uber die die
Republik Indonesien souverane Rechte bzw. Hoheitsbe fugnisse in Dbereinstirnmung mit den Bestim.mungen der
Seerechtskonvention der Vereinten Nationen von 1982
besitzt;
- die Bezeichnung "Deutsche Demokratische Republik" das
Hobeitsgebiet der Deutscben Demokratischen Republik
einschlieBlich ibrer Territorialgewasser und die angrenzenden Seegebiete, Uber die die Deutsche Demo·-

3

kratische Republik souverane Rechte oder Hoheitsbe fugnisse in Ubereinstirnmung mit den Bestimrnungen der
Seerechtskonvention der Vereinten Nationen von 1982
inne hat.
b) "Schiff" - e in Handelssch iff , das unter der Flagge e ines
der Partner fahrt und auf dessen Hoheitsgebiet registriert
ist oder von einem Schiffahrtsunternehmen in Zeitcharter
genomrnen wurde . Auf Kriegsschiffe , Hilfskriegsschiffe und
andere Staatsschiffe , die nichtkommerziellen Zwecken die nen sowie auf Fiscbereifahrzeuge findet dieses Abkommen
keine Anwendung ;
c ) "Schiffsbesatzung" - alle Personen , die in Uberein stimmung mit den geltenden Rechtsvorschriften des be treffenden Par tners in die Musterrolle eingetragen sind
und wahrend einer Fahrt an Bord des Schiffes Tatigkeiten
ausi.iben , die mit der Betriebsflihrung des Scbiffes be ziebungsweise mit Dienst l eistungen an Bord des Schiffes
verbunden sind;
d ) "Scbiffahrtsunternebmen" - Schiffahrtsunternehmen mit
dem Sitz in einem der Partnerstaaten.

I

Artikel 4
( 1) Die Partner werden :
a ) den Schiffen des jeweiligen Partners unabhangig von den
Lieferbedingungen das Recht auf gleichberechtigte Betei ligung am Giitertransport aus dem Warenaustausch zwischen
den beiden Partnern gewahren ;

4
b) bei der Beseitigung von Hindernissen , die den Seeverkehr
zwiscben den Partnern erschweren konnten , zusammenar beiten ;
c ) zur effektiven Ausnutzung ihrer Schiffe so weit als moglich Ma.Bnabmen unterstiltzen , um die Scbiffe gegenseitig
aucb filr den Transport von Giltern im Verkebr mit dritten
Staaten in Ubereinstimmung mit den bestebenden Abmachungen
filr den Seeverkehr zwischen Europa und Indonesien zu
nutzen.
(2) Die Bestimmungen dieses Artikels beriihren nicht das Recht
von Hande l sschiffen unter der Flagge eines dritten Staates ,
die von Schiffahrtsunternebmen der Partner gechartert oder
betrieben werden , an den Giltertransporten zwischen den Part nern teilzunehmen.
(3) Zur Erfilllung der Bestimmungen dieses Artikels sind die
Schiffahrtsunternehmen berechtigt , einzeln oder gemeins chaftlich Liniendi enste zu unterhal ten sowie untereinander
Vereinbarungen zu technisch -organisatorischen und kommerziellen Angelegenheiten abzuschl i eBen.

Artikel 5
(1) Die Scbiffe des einen Partners und ihre Schiffsbe satzungen und Ladungen unterliegen beim Einlaufen, Auslaufen
und Aufenthalt in den Hafen des anderen Partners den gleichen
Bedingungen wie dessen Handelsscbiffe und deren Scbiffsbe-satzungen und Ladungen.

I

5

(2) Die Bestimmungen des Absatzes 1 finden insbesondere Anwendung hinsichtlich
a) der Abgaben und Gebtihren jeder Art, die im Namen oder ftir
Rechnung staatlicher Organe oder anderer Organisationen
erhoben werden, sowie der Art und Weise ihrer Erhebung;
b) des An·- und Ablegens, der Beladung und Loschung der
Schiffe in den Hafen und auf den Reeden ;
c) der Inanspruchnahme von Lotsen- und Bugsierdiensten,
Kanalen, Scbleusen, Brticken, Signalen und Beleuchtungseinrichtungen des Fabrwassers;
d) der Benutzung von Kranen, Waagen , Speichern, Werften,
Docks und Reparaturwerkstatten;
e) der Versorgung mit Brenn·- und Treibstoffen, Scbmiermitteln,
Wasser und Proviant;
f) der medizinischen und sanitaren Betreuung.
(3) Auf Schiffe, die von einem Schiffahrtsunternehmen in

Zeitcharter genom.men sind, werden die Bestimmungen der
Absatze 1 und 2 ebenfalls angewendet; hinsichtlicb der
f inanziellen Aufwendungen jed.och nur in dem MaBe, wie sie
auf Grund des Zeitchartervertrages vom Charterer zu tragen
sind.
Artikel 6
Beide Partner treffen im Rahmen der jeweiligen innerstaat licben Rechtsvorscbriften und Hafenbestimmungen die erforderlichen lflaBnabmen, um nacb Moglicbkeit die Scbiffsliegezeiten
in den Hafen zu verktirzen.

6
Artikel 7
(1) Die Staatszugehorigkeit der Schiffe wird auf Grund der
an Bord befindlichen Dokumente, die von den zustandigen
Organen des einen Partners ausgestellt worden sind, von den
zustandigen Organen des anderen Partners anerkannt.

I

(2) Die an Bord bef indlicben Scbiffsdokumente einschlieBlich
der Dokumente ftir die Schiffsbesatzung, die von den zustandigen Organen des einen Partners ausgestellt oder anerkannt
sind, werden von den zustandigen Organen des anderen Partners
anerkannt.
(3) Schiffe, die mit ordnungsgemaB ausgestellten SchiffsmeBbriefen versehen sind, werden in den Ha.fen des Partners von
einer nochmaligen Vermessung befreit. Der Berecbnung der
Hafengebtihren wird das im SchiffsmeBbrief angegebene Schiffsvolumen zugrunde gelegt.

Artikel 8
(1) Die Schiffe, Schiffsbesatzungen, Passagiere und Ladungen
unterliegen in den Territorialgewassern und inneren Seegewassern sowie in den Hafen des Partners den jeweiligen innerstaatlichen Rechtsvorschriften, insbesondere den Verkehrsund Sicherheitsvorschriften sowie den Vorschriften ftir offentliche Ordnung und Sicherheit, den Grenz-, Zoll-, Devisen-,
Gesundheits-, Veterinar- und Phytosanitarvorscbriften.
(2) Die Strafverfolgung durch die Rechtsorgane der Partner
wird an Bord eines Scbiffes des einen Partners wabrend dessen
Aufenthalt in den Territorialgewassern, inneren Seegewassern
oder Hafen des anderen Partners nicht ausgetibt, um eine an
Bord dieses Schiffes begangene Straftat zu verfolgen, auBer
in dem Fall, wenn:

I

7

a) sich die Folgen der Straftat auf sein Hobeitsgebiet und
die Recbte seiner Staatsbilrger erstrecken;
b) diese Straftat seine offentliche Ordnung oder seine Sicberhei t verletzt;

I

c) der Beistand seiner Rechtsorgane vom Kapitan oder einer
zustandigen diplomatiscben oder konsulariscben Amtsperson
des Staates, unter dessen Flagge das Schiff fahrt, erbeten
wird;
d) solche MaBnahmen zur Unterdrilckung des illegalen Handels
mit Rauschgiften oder psychotropen Steffen erforderlich
sind.
Die Bestimmungen dieses Absatzes berilhren nicbt das Kontrollund Untersucbungsrecht, das die zustandigen Organe der Partner
entsprechend ihren innerstaatlichen Rechtsvorschriften haben.

I

(3) in den im Absatz 2 vorgesehenen Fallen haben die Recbtsorgane des Partners, in dessen Hoheitsgebiet sich das Schiff
des anderen Partners befindet, bevor sie auf Ersuchen des
Kapitans irgendwelche MaBnahmen ergreifen, eine diplomatische
oder konsulariscbe .Amtsperson des Partners, unter dessen
Flagge das Schiff fahrt, zu benacbricbtigen und die Verbindung
zwischen dieser Amtsperson und der Schiff sbesatzung zu erleichtern. In dringenden Fallen konnen MaBnahmen ergriffen
werden, wahrend die Benachrichtigung erfolgt.
(4) Die Schiffe des einen Partners unterliegen in den Territorialgewassern und inneren Seegewassern sowie in den Hafen
des anderen Partners den Vorschriften Uber die Ausrilstung,
Schiffsbesetzung , Einrichtung en, Schiffssicherheitsvorrichtungen, Vermessungen und Seettichtigkeit, die in dem Staat des

Partners gelten, unter dessen Flagge sie fahren.

8

Artikel 9
(1) Jeder Partner erkennt die von den zustandigen Organen

des anderen Partners ausgestellten Personaldokumente der
Seeleute an.
Personaldokurnente sind:

I

- in bezug auf Staatsbtirger der Republik Indonesien
"Buku Pelaut"
- in bezug auf Staatsbtirger der Deutschen Demokratischen
Republik
" Seefahrtsbuch der DeL1tschen Demokratischen Republik".
(2) Den Seeleuten des einen Partners, die im Besitz eines
in Absatz 1 genannten gtiltigen Personaldokumentes sind, wird
wahrend des Aufenthaltes des Schiffes im Hafen Landgang entsprechend den jeweiligen innerstaatlichen Rechtsvorschriften
des anderen Partners gewahrt .
(3) Die Seeleute des einen Partners, die im Besitz eines der

I

in Absatz 1 aufgeftihrten Personaldokumente sind, konnen die
Staatsgrenze des anderen Partners Uber die ftir das Reiseziel
ョ。」ィウエァ・セ@
Grenztibergangsstelle ftir den Personenverkehr
tiberschreiten, wenn sie einen Dienstauftrag vorlegen, der vom
Leiter eines Schiffahrtsunternehmens, einem von ihm Bevollmachtigten oder vom Kapitan des Schiffes des Partnerstaates
ausgestellt, unterschrieben und gestempelt wurde im Falle von:
a) Seeunfall , anderen Vorkommnissen oder Umstanden, die eine
Weiterfahrt des Schiffes unmoglich machen ;
b) beruflichen, farniliaren oder gesundheitlichen Grlinden ;
c) An - oder Abmusterung von Mitgliedern der Schiffsbesatzung.

9

(4) Die Bestimmungen des Absatzes 3 f inden entsprechende An wendung , wenn zur An- oder Abmusterung der Mitglieder der
Schiffsbesatzung die Transitreise durch das Hoheitsgebiet des
Partners erforderlich ist.
(5) Veranderungen der Besatzung des Scbiffes, das sich in

einem Hafen des Partners befindet, sind mit Angabe des Datums
und des Grundes der Veranderung in der I·.1usterro lle zu ver merken.
(6) Seeleute, die im Besitz eines der im Absatz 1 genannten
gi.iltigen Personaldokumente sind, jedoch nicht die Staats blirgerschaft eines der Partner besitzen, erhalten , um zu
ihrem Schiff zu gelangen , die flir das Hoheitsgebiet des
anderen Partners erforderlichen Einreise - bzw. Transitvisa,
wenn sie einen Dienstauftrag gemaB Absatz 3 vorlegen und ihre
Wiederaufnahme in den Staat des Partners, der die Personaldokumente ausgestellt hat , garantiert wird .

Artikel 10

9 dieses Abkommens enthaltenen
Eestimmungen gel ten die jeweiligen innerstaatlichen Rechts vorschriften der Partner flir die Einreise , den Aufenthalt und
die Ausreise von Auslandern.
(1) Ungeachtet der im Artikel

(2) Jeder Partner behalt sich das Recht vor, Mitgliedern der
Schiffsbesatzung , die er als unerwlinscht betrachtet, die Einreise in das Hoheitsgebiet seines Staates zu untersagen.

10
Artikel 11
Einnahmen und Gewinne, die Schiffahrtsunternehmen des einen
Partners aus der Beforderung von Gtitern, Post und Personen
durch ihre Schiffe einschlieBlich Zeitcharterschiffe und aus
sonstigen Schiffahrtsle istungen erzielen, konnen ftir Zablungen
im Hoheitsgebiet des Partners, in dem sie erzielt wurden, verwendet oder in tibereinstimmung mit den jeweiligen innerstaatlichen Recbtsvorschriften in das Land des anderen Partners
oder in einen dritten Staat transferiert werden.

Artikel 12
Zur Vertiefung und Forderung der Zusammenarbeit auf dem Gebiet der Handelsscbiffahrt konnen die Scbiffahrts unternebmen
der Partner auf der Grundlage und in Ubereinstirnmung mit den
jeweiligen innerstaatlicben Rechtsvorschriften standige Vertretungen auf dem Hobeitsgebiet des anderen Partners einrichten.

Artikel 13
Die Partner gewahren den Mitarbeitern der diplomatischen Vertretungen und Konsulate des anderen Partners sowie den Mitarbeitern der Vertretungen der Scbiffabrtsunternehmen in tibereinstimmung mit den jeweiligen innerstaatlicben Rechtsvorschriften ungehinderten Zutritt zu den Seebafen zur Erftillung
ihrer dienstlichen Aufgaben im Interesse der Betreuung von
Schiff , Scbiffsbesatzung und Ladung und gestatten ibnen das
Betreten der im Hafen befindlichen Schiffe des Partners und
von Schiffen, die von einem Sch iffahrtsunternehmen in Zeitcbarter genommen sind.

11
Artikel 14
Wenn ein Schiff in den Territorialgewassern oder inneren
Seegewassern des anderen Partners strandet oder Schiffbruch
erleidet, erhalten die an Bord befindlichen Personen, das
Schiff und die Ladung die erforderliche Hilfe und die gleicbe
Behandlung und die gleichen Vorteile, die dieser Partner ent sprechend seinen innerstaatlichen Rechtsvorschriften unter
gleichen Umstanden den eigenen Schiffen, Schiffsbesatzungen,
Passagieren und Ladungen einraumt •

.A.rtikel 15
Die Bestirnmungen des vorliegenden Abkommens beri.ihren nicht
die Rechte und Pflichten der Partner, die sich aus internationalen Seerechts - und Schiffahrtskonventionen ergeben ,
die von beiden Partnern anerkannt wurden •

.A.rtikel 16
Meinungsverschiedenheiten in bezug auf die Auslegung oder
Anwendung des vorliegenden Abkornmens werden durcb freund schaftl iche Verhandlungen zwischen den Partnern geklart •

.A.rtikel 17
Dieses Abkornmen kann nur im gegenseitigen Einvernehmen der
Partner schriftlicb geandert oder erganzt werden.

12

Artikel 18
(1) Dieses Abkommen wird filr eine unbefristete Zeit abgeschlossen und tritt mit der Unterzeichnung in Kraft.
(2) Dieses Abkommen kann von jedem Partner mit einer Frist
von zwolf Monaten schriftlich gekilndigt werden.
Zu Urkund dessen haben die von ihrer jeweiligen Regierung
ordnungsgemaB Beauftragten dieses Abkommen unterzeichnet.

Unterzeichnet in Jakarta am (Jo QセZ^NM@
1qg::i...
in zwei Originalen, jedes in indonesischer, deutscher und
englischer Sprache, wobei alle Texte gleicherma.Ben authentisch sind. Lei Meinungsverschiedenheiten Uber die Auslegung
des Abkommens ist der englische Text maBgebend.

I

FUr die Regierung der
Republik Indonesien

FUr die Regierung der
Deutschen Demokratischen
Republik

Signed

Signed

PROF. DR. MOCHTAR KUSUMA-ATMADJA

OSKAR FISCHER

Minister fur Auswartige
Angelegenheiten der
Republik Indonesien

Minister fur Auswartige
Angelegenheiten der
Deutschen Demokratischen Republik

Jakarta, den (; 0

Mi f-[ 1セrヲ@

Exzellenz !
Ich habe die Ehre, den Empfang Ihres Schreibens, das wie
folgt lautet, zu bestatigen:
"Ich babe die Ehre, Ihnen anlaJ3lich der Unterzeichnung des
Abkommens zwischen der Regierung der Republik Indoneaien und
der Regierung der Deutechen Demokratischen Republik Uber die
Zusammenarbeit auf dem Gebiet der Handelsschiffahrt den Standpunkt der Regierung der Republik Indonesien zu folgendem mitzuteilen:
1. im Hinblick auf Artikel 4 Absatz 1c sollte der VEB Deutfracht/Seereederei Rostock zum frilhestmoglichen Zeitpunkt
Mitglied der Indonesien-Europa/Europa-Indonesien-Frachtkonferenzen werden, um die Stabilitat im Handelsverkehr
zwischen Indonesien und Europa und umgekehrt autrechtzuerhalten.
Zu diesem Zweck wird die indonesische Regierung den Antrag
des VEB Deutfracht/Seereederei Rostock au! Mitgliedschaft .
in den genannten Konferenzen voll unterstUtzen.

2. im Hinblick auf die Bestimmungen des Artikels 9 Absatz 2
werden die folgenden speziellen Regelungen ftir Kapitane
und Besatzungen der in den Hafen befindlichen DDR-Schiffe
angewandt:

2

i.

Der Kapitan und die Besatzung konnen in Gruppen von
nicht weniger als 4 Personen zwischen 9.00 Uhr und
24.00 Uhr in begrenzten Gebieten an Land gehen.

ii.

Der Kapitan und die Besatzung werden keine durch die
geltenden Gesetze und Vorschriften des Landes verbotenen Gtiter in das Land einftihren.

Die Bestatigung dieses Standpunktes durch die Regierung der
Deutschen Demokratischen Republik stellt eine abgestimrnte
Interpretation beider oben erwahnten Artikel dar."

Ich habe weiterhin die Ehre, im Namen der Regierung der
Deutschen Demokratischen Republik den vorstehenden Standpunkt zu bestatigen und das Einverstandnis zu erklaren, da.13
dieses Schreiben und Ihr Schreiben als zwischen beiden Regierungen getrof fene Vereinbarung betrachtet wird, die mit
dem Datum dieses Schreibens in Kraft tritt.

Nehmen Sie, Exzellenz die Versicherung meiner vorztiglichsten
Hochachtung entgegen.

Signed

Oska.r Fischer

S.E. Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja
Minister ftir Auswartige
Angelegenheiten der
Republik Indonesien

Minister ftir Auswartige
Angelegenheiten der
Deutschen Demokratischen
Republik

AGREEMENT
BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
AND
THE GOVERNMENT OF THE GERMAN DEMOCRATIC REPUBLIC
ON
CO-OPERATION IN THE FIELD OF MERCHANT SHIPPING
The Government of the Republic of Indonesia and the Government
of the German Democratic Republic (hereinafter referred to as
the Parties) •
Being desirous to strengthen the friendly relations between
the Republic of Indonesia and the German Democratic Republic,
With the aim of developing and extending co-operation
between the Republic of Indonesia and the German Democratic
Republic in the field of merchant shipping in accordance
with the principles of international law, especially the
principle of sovereign equality of States and the principle
of non-interference in internal affairs;
HAVE AGREED AS FOLLOWS
Article

1

Both Parties agree to co-operate on the basis of equality
mutual benefit and the principle of freedom of maritime



navigation in order to develop the relations between the
Republic of Indonesia and the German Democratic Republic
in the field of merchant shipping.
Article
(1)

2

The Parties shall promote in every way co-operation in

the field of maritime navigation between their competent
state authorities. For this purpose, the competent state
authorities of the
if necessary.

P a r t i e s

shall hold consultations

2

(2)

The competent state authorities of the Parties are
on the part of the Republic of Indonesia
Department of Communications of the Republic of Indonesia.
on the part of the German Democratic Republic
Ministerium fur Verkehrswesen der
Deutschen Demokratischen Republik.
Article

3

For the purpose of this Agreement :
a) - the term "Indonesia" comprises the territory of the
Republic of Indonesia as defined in its laws and
the adjacent areas over which the Republic of
Indonesia has sovereign rights or jurisdiction in
accordance with the provisions of the United Nations
Convention on the Law of the Sea, 1982;

- the term "German Democratic Republic" shall mean
the territory of the German Democratic Republic
including the territorial waters and adjoining sea
areas over which the German Democratic Republic has
sovereign rights or jurisdiction according to the
provisions of the United Nations Convention on the
Law of the Sea, 1982.
b)

the term "vessel" shall mean any merchant vessel
flying the flag of one of the

P a r t i e s

and

registered in that territory or time-chartered by
a shipping company.

This Agreement shall not apply

to warships,auxiliary warships and any other public
vessels used for non-commercial purpose or to
fishing vessels;

3

c)

the term "crew" shall mean all persons employed for
duties on board during a voyage in connection with
the operation of the vessel or the providing of
services on board of the vessel, and who are included
in the crew list in accordance with the applicable
legislation of the Party concerned;

d)

the term "shipping company" shall mean any shipping
company with its seat in one of the Parties.
Article

(1)

4

Either Party shall :
a)

grant to vessels of each

P a r t y

independent

of terms of delivery the right of equal participation
in the transport of goods originating from trade
exchange between the two Parties;
b)

co-operate in eliminating hindrances which might
complicate maritime navigation between the Parties;

c)

for the purpose of effectively utilizing their
vessels support measures as far as possible to use
their vessels mutually also for the transport of
goods in the trade with third States in accordance
with existing shipping arrangements between Europe
and Indonesia.

(2)

The provisions of this Article shall not affect the
right of vessels under the flag of a third State,
chartered or operated by shipping companies of the
Parties to participate in the transport of goods between
the Parties .

(3)

With a view to implementing the provisions of this Article
the shipping companies are entitled to operate individual
or joint liner services as well as to conclude with each
other agreements on technical-organizational and commercial
matters.

4
Article
(1)

The vessels of one

P a r t y

5
and their crews and cargoes

shall be subject to the same conditions as vessels, crews
and cargoes of the other

P a r t y

entering into,

sailing to and from or staying in the ports of the other
Party.

(2)

The provisions of paragraph (1) shall particularly
apply to :
a)

any dues and charges levied on behalf or on account
of state authorities or other organizations, as well
as the manner in which they are collected;

b)

mooring and unmooring, loading and unloading of
vessels in the ports and roadsteads;

c)

pilotage and towage, the use of canals, locks, bridges,
signals and fairways lightings;

d)

the use of cranes, weightbridges, warehouses, dockyards, docks and repair shops;

(3)

e)

the supply of fuel, lubricants, water and food;

f)

medical and sanitary care.

The provisions of paragraphs (1) and (2) shall also apply
to vessels being under time charter by a shipping company
however, in respect of expen s es only to the extent such
expenses have to be borne by the charterer in accordance
with the provisions of the charter-party.
Article

6

Both Parties shall adopt within the limits of their relevant
national legislation and port regulations appropriate measures
to reduce, if possible, laytimes of vessels in ports.

5

Article
(1)

7

On the basis of documents carried aboard and issued by
the competent authorities of one Party the nationality
of vessels shall be recognized by the competent
authorities of the other Party.

(2)

Ship's documents aboard a vessel including documents
relating to the vessel's crew and issued or recognized by
the competent authorities of one Party shall be accepted
by the competent authorities of the other Party.

(3)

Vessels provided with duly issued tonnage certificates
shall be exempt from re-measurement in the ports of either
Party.

The calculation of port dues shall be based upon

the ship's volume stated in the tonnage certificates.

Article
(1)

8

The vessels, crews, passengers and cargoes, whilst within
the territorial waters and internal waters or in ports
of either

P a r t y

shall be subject to the relevant

national legislation especially to the rules concerning
traffic and safety as well as public order and security
frontier crossing, customs, foreign exchange, health,
veterinary and phytosanitary controls.
(2)

Prosecution by legal authorities of either Party
shall not be executed aboard a vessel of one Party
when lying in the territorial waters, internal waters or
ports of the other

P a r t y

in order to prosecute a

punishable act committed during the stay aboard that
vessel, except the case if :
a)

the effects of the punishable act apply to its
territory and the rights of its citizens;

b)

the punishable act violates its public order or
its security;

6

c)

assistance on the part of its legal authorities
is asked for by the master or a competent diplomatic
or consular official of the State the flag of which
the vessel flies;

d)

such measures are necessary to repress illegal
traffic of drugs and psychotropic substances.

The provisions of the paragraph do not affect the right of
control and

examination which the

of either Party has

competent authorities

in accordance with their national

legislation.
(3)

In all instances mentioned in paragraph (2) the legal
authorities of the

P a r t y

the vessel of the other

in the territory of which

P a r t y

is operated before

taking any measures on request of the master are obliged
to inform a diplomatic or consular official of the
Party the flag of which the vessel flies and to facilitate
contact between such an official and the vessel's crew.
In urgent cases measures can be taken whilst officials are
being informed.
( 4)

Vessels of one Party while being in the territorial waters
and internal waters as well as in ports of the other Party
shall be subject to regulations on equipment, manning,
installations, ship's safety devices, measurement

1

and

seaworthyness which are in force in the country of the
Party the flag of which they fly.
Article
(1)

9

Either Party shall recognize the seamen's identity
documents issued by the competent authorities of the
other Party.
-

Identity documents shall be :

for nationals of the Republic of Indonesia "Buku
Pelaut ;

-

for nationals of the German Democratic Republic
"Seefahrtsbuch der Deutschen Demokratischen Republik" .

7
(2)

During the stay of the vessel in the port seame n of
either

P a r t y

holding a valid identity document as

specified in paragraph (1) shall be permitted to go
ashore subject to the relevant national legislation of
the other Party.

(3)

Seamen of one

P a r t y

holding a valid identity

document as specified in paragraph (1) shall be permitted
to cross the border of the State of the other

P a r t y

at the frontier crossing point for passenger traffic
nearest to their destination on producing an official
order issued, signed and stamped by the head of a shipping
company, a person authorized by him or the master of the
vessel of the

P a r t y

issued and signed in the event

of :
a)

average, other incidents or circumstances preventing
the vessel from continuing its voyage:

b)

circumstances due to professional reasons, family
affairs or reasons of health:

c)
(4)

signing on and off of crew members .

The provisions of paragraph (3) shall be applied accordingly
if in case of signing on and off of crew members the need
of transit through the territory of the Party arises.

I

(5)

Any changes with regard to the crew of a vessel lying
in the port of the

P a r t y

shall be recorded in

the relevant crew's list specifying the date of, and
the reasons for, such changes.
(6)

Any seaman holding a valid identity document as specified
in paragraph (1) but not being a national of one of the

P a r t i e s

shall be provided with a visa required to

enter or transit the territory of the other Party in order
to join

his vessel provided he holds an official

order

according to paragraph (3) and his readmittance to the
P a r t y
guaranteed.

which issued his identity documents is

8
Article

(1)

10

Notwithstanding the provisions made in Article 9 of

this Agreement the valid national legislation of the Parties
shall apply to entry, stay and departure of foreigners.
(2)

Either Party reserves the right to deny entry into the

territory of its State to crew members whom it considers
unwelcome.
Article

11

Any earnings or prof its realized by shipping companies of
one Party as a result of transport of cargo, mail and
passengers on board their vessels including time chartered
,

vessels or resulting from other maritime services may be
used for payments in the territory of that Party in which
they are realized or transferred into the country of the
other Party or a third State in accordance with the respective
national legislation.
Article
In the interest of deepening

12

and promoting co-operation in

the field of merchant shipping the shipping companies of
either Party shall be entitled on the basis of and in accordance

I

with the respective national legislation to establish permanent
representative offices in the territory of the other Party.
Article

13

Either Party shall grant to the members of diplomatic missions
and consulates of the other Party as well as members of
representative off ices of shipping companies unhindered entry
into its sea ports, according to the respective national
legislation in order to enable them to perform their official
duties when looking after the vessel, the crew and cargo and
shall permit them to board vessels of the

P a r t y

staying

in the port, or vessels time-chartered by a shipping company.

9
Article

14

If a vessel runs aground or suffers shipwreck in the
waters or internal waters of the other

P a r t y

territorial

the person

on board, the vessel and the cargo shall receive the necessary
assistance and enjoy the same treatment and advantages as are
accorded under similar circumtances by that

P a r t y

to

its own vessels, crews, passengers and cargoes according to
the national legislation.
Article

15

The provisions of the present Agreement shall not affect the
rights and obligations of the Parties arising out of international
conventions on maritime law and shipping which have been accepted
by those Parties.
Article

16

Any dispute with regard to interpretation or application of this
Agreement shall be settled through amicable negotiation between
the Parties.
Article

17

Any modification or amendment of this Agreement shall be mutually
agreed to by the Parties in writing.
Article
(1)

18

This Agreement is concluded for an unlimited period and

shall enter into force upon signature.
(2)

This Agreement may be denounced by either Party at twelve

months prior notice given in writing.

IN WITNESS WHEREOF, the undersigned duly authorized by their
respective Governments, have signed this Agreement.

10

DONE at

エAセ@

on

セ@

/6

.7

'f#/.

in two originals each in the Indonesian, German and
English languages, all texts being equally authentic.
In case of differences of opinion in the enterpretation
of the Agreement the English text shall prevail.

I
For the Government of the

For

Republic

German Democratic Republic,

of

Indonesia,

the Government of the

Signed

Signed

PROF. DR. MOCHTAR KUSUMA-ATMADJA

OSKAR FISCHER

Minister for Foreign Affairs
of the .Republic of Indonesia

Minister of Foreign Affairs
of the Ceman Dem:x:ratic Republic

I have further the honour ta confirm on behalf of the Government
of the German Democratic Republic the foregoing understanding and
to agree that Your Excellency's Note and this Note shall be regarded as constituting an agreement between the two Governments ,
which shall enter into force on the date of this Note .
Accept Excellency, the assurances of my highest consideration.

Signed

I

OSKAR FISHER
Minister of Foreign Affairs
of the German Democratic Republic

H.E. PROF. DR. MOCHTAR
kusmaセtdj@

Minister for Foreign Affairs
of the Republic of Indonesia

I

I

Jakarta,

セ@

/b;)

1Rf-

1

Excellency ,
I have the honour to refer to Your Excel l ency's Note which reads
as fol l ows
"I have the honour to convey to you, that in signing the Agreement
in the Field of Maritime Navigation between the Republic of Indonesia and the German Democratic Republic, it is the understanding
of the Republic of Indonesia that :
1. with regard to Articl e 4 paragraph 1 c, the DSR should become
a member of the Indonesia :... Europe I

Europe -

Indonesia

Freight

Conference at an earl iest date to maintain the stability in the
trade between Indonesia and Europe vice versa.
To this end the Indonesian Government will give full support

I

to DSR's application for the membership in the said conference.
2. with regard to the provisions of Article 9 paragraph 2, the
following specific rules shall apply to master and crew of GDR
ships when in port
i. Master and Crew may ashore in groups of not less than four
persons between 09.00 a.m. - 12.00 p.m. in the bounded
areas.
ii. Master and Crew shall not bring in the country goods
prohibited by the existing laws and regulations of that
country.
The confirmation of this understanding by the Government of the

I

I

Repub l ic of Indonesia wi