23 Budaya Mutu Sekolah Dasar

(1)

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

BUDAYA MUTU SEKOLAH DASAR

DIREKTORAT TENAGA KEPENDIDIKAN DIREKTORAT JENDERAL

PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

TAHUN 2007


(2)

PENGANTAR

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah telah ditetapkan bahwa ada 5 (lima) dimensi kompetensi yaitu: Kepribadian, Manajerial, Kewirausahaan, Supervisi dan Sosial. Dalam rangka pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah untuk menguasai lima dimensi kompetensi tersebut, Direktorat Tenaga Kependidikan telah berupaya menyusun naskah materi diklat pembinaan kompetensi untuk calon kepala sekolah/kepala sekolah.

Naskah materi diklat pembinaan kompetensi ini disusun bertujuan untuk memberikan acuan bagi stakeholder di daerah dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/kepala sekolah agar dapat dihasilkan standar lulusan diklat yang sama di setiap daerah.

Kami mengucapkan terimakasih kepada tim penyusun materi diklat pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah ini atas dedikasi dan kerja kerasnya sehingga naskah ini dapat diselesaikan.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa meridhoi upaya-upaya kita dalam meningkatkan mutu tenaga kependidikan.

Jakarta, November 2007 Direktur Tenaga Kependidikan

Surya Dharma, MPA, Ph.D NIP. 130 783 511


(3)

DAFTAR ISI

PENGANTAR... ... i

DAFTAR ISI... ... ii

DAFTAR GAMBAR... ... iii

DAFTAR TABEL... ... iv

BAB I PENDAHULUAN... ... 1

A. Latar Belakang... ... 1

B. Dimensi Kompetensi... ... 3

C. Kompetensi Yang Diharapkan Dicapai... ... 3

D. Indikator Pencapaian Kompetensi... ... 3

E. Alokasi Waktu... ... 3

F. Skenario... ... 4


(4)

BAB II KONSEP BUDAYA ORGANISASI... ... 5

BAB III PENGEMBANGAN BUDAYA MUTU SEKOLAH... ... 12

A. Pengertian... ... 12

B. Pengembangan Budaya Mutu Sekolah... ... 13

BAB IV KARAKTERISTIK SEKOLAH UNGGUL... ... 17

BAB V PENGEMBANGAN BUDAYA MUTU DI SEKOLAH MENUJU SEKOLAH UNGGUL... ... 24

A. Pengertian... ... 24

B. Identifikasi Spirit Dan Nilai-Nilai Sebagau Sumberdaya Mutu Sekolah Unggul... ... 27

C. Wujud Budaya Mutu Sekolah Dasar Unggul... ... 28

DAFTAR RUJUKAN... ... 45

LAMPIRAN... ... 48


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.2 Visi dan misi sekolah... ... 29

Gambar 5.3 Pembagian tugas dan garis instruktif/ koordinatif. . . ... 31

Gambar 5.4 Budaya mutu dalam mengembangkan sekolah unggul... ... 44


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Tahap Pengembangan Budaya Mutu Sekolah... ... 25

Tabel 5.2 Sistem dan prosedur kerja sekolah... ... 33

Tabel 5.3 Kebijakan dan aturan sekolah unggul... ... 34

Tabel 5.4 Tata tertib sekolah unggul... ... 36

Tabel 5.5 Fasilitas sekolah dan budaya mutu sekolah unggul.... ... 37

Tabel 5.6 Budaya mutu sekolah unggul... ... 39

Tabel 5.7 Acuan sikap dan perilaku Budaya mutu... ... 40


(7)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini telah menjadi perhatian dari berbagai kalangan, tidak hanya pada kalangan pendidikan, tetapi juga masyarakat. Mereka menginginkan munculnya perubahan dalam hal usaha meningkatkan kualitas pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kita belum sebagaimana diharapkan.

Tuntutan terhadap peningkatan kualitas pendidikan semakin meningkat. Hal ini dikarenakan adanya (1) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (2) persaingan global yang semakin ketat, dan (3) kesadaran masyarakat (orang tua siswa) akan pendidikan yang berkualitas semakin tinggi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi pada akhir-akhir ini telah membawa dampak perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, sehingga permasalahan dapat dipecahkan dengan mengupayakan penguasaan serta peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, seseorang kurang bisa mengantisipasi perubahan-perubahan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan hidup yang selalu berkembang dengan pesat.

Persaingan global dalam era pasar bebas, menyebabkan adanya kompetisi yang sangat ketat. Untuk dapat berpartisipasi dalam persaingan global tersebut, seseorang dituntut memiliki kemampuan yang lebih/berkualitas, yaitu memiliki kecakapan berkomunikasi, memiliki kemampuan menjalin kerjasama, memiliki keterampilan atau


(8)

skill tertentu, individu yang ulet, disiplin, beretos kerja yang tinggi, pandai menangkap peluang, dan memiliki semangat untuk maju.

Budaya sekolah merupakan faktor yang paling penting dalam membentuk siswa menjadi manusia yang penuh optimis, berani, tampil, berperilaku kooperatif, dan kecakapan personal dan akademik. Sekolah-sekolah yang memiliki keunggulan atau keberhasilan pendidikan tertentu biasanya dapat dilihat dari beberapa variabel yang mempengaruhinya seperti perolehan nilai dan kondisi fisik, akan tetapi kurang memperhatikan hal lain yang tidak tampak yang justru lebih berpengaruh terhadap kinerja individu dan organisasi itu sendiri yang mencakup nilai-nilai (values), keyakinan (beliefs), budaya, dan norma perilaku yang disebut sebagai the human side of organization (sisi/aspek manusia dan organisasi).

Para kepala sekolah, guru, warga sekolah, stakeholder sekolah atau yang terkait termasuk pengawas, dan pengelola/pembina pendidikan perlu dibekali pemahaman konsep yang benar tentang budaya organisasi, budaya mutu sekolah dan pengembangannya, serta konsep sekolah yang baik atau unggul. Dengan memiliki pemahaman konsep yang baik para kepala sekolah dan guru selaku pelaksana penyelenggara pendidikan yang didukung oleh warga sekolah, stakeholder sekolah atau yang terkait lainnya akan dapat mengembangkan budaya mutu sekolah dalam rangka pengembangan sekolah yang unggul, termasuk pengawas, dan pengelola/pembina pendidikan akan dapat membinanya dengan efektif dan efisien.

Oleh karena itu, dipandang perlu adanya kerangka acuan bagaimana kepala sekolah dapat mengembangkan budaya mutu di sekolah dalam rangka mengembangkan penyelenggaraan sekolah


(9)

yang baik. Untuk itu perlu disusun pedoman atau panduan pengembangan budaya mutu sekolah

Dalam rangka peningkatan profesionalisme guru khususnya peningkatan kompetensi kewirausahaan seorang guru yang berkeinginan menjadi kepala sekolah perlu mengikuti program peserta pendidikan dan pelatihan (diklat) tentang kewirausahaan sekolah.

B. Dimensi Kompetensi

Dimensi kompetensi yang diharapkan pada akhir diklat adalah dimensi kewirausahaan.

C. Kompetensi Yang Diharapkan Dicapai

Pada akhir pendidikan dan pelatihan ini diharapkan peserta:

Mampu menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran siswa

D. Indikator Pencapaian Kompetensi

Pada akhir pendidikan dan pelatihan ini diharapkan peserta:

1. Mampu mendeskripsikan konsep budaya organisasi

2. Mampu menjelaskan pengertian budaya mutu Sekolah 3. Mampu melakukan pengembangan budaya mutu sekolah 4. Mampu menjelaskan karakteristik sekolah unggul

5. Mampu melakukan pengembangan budaya mutu sekolah menuju sekolah unggul


(10)

F. Skenario

Secara tentatif (dapat dikembangkan oleh fasilitator diklat), skenario diklat ini sebagai berikut:

1. Perkenalan

2. Penjelasan singkat, jelas, dan terarah tentang dimensi kompetensi, kompetensi,

3. indikator pencapaian kompetensi, alokasi waktu dan skenario diklat.

4. Pre- test

5. Eksplorasi pemahaman peserta berkenaan dengan seluk beluk budaya mutu melalui pendekatan andragogi.

6. Presentasi materi: konsep budaya organisasi, budaya mutu,

sekolah unggul, pengembangan budaya mutu sekolah menuju

sekolah unggul denganpendekatan

7. interaktif dan multimedia teknologi, minimal tayangan power point yang menarik dan penuh dengan diagram, gambar, tayangan sosok sekolah unggul, bilamana perlu diputarkan sekolah yang sudah mempraktekkan budaya mutu yang baik dan yang kurang baik.

8. Diskusi tentang: pengembangan budaya mutu sekolah menuju sekolah unggul.

9. Post-test 10. Penutup


(11)

BAB II

KONSEP BUDAYA ORGANISASI

Menurut Robbin (1991:572), budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu; suatu sistem dari makna bersama. Budaya organisasi memiliki kepribadian yang menunjukkan ciri suasana psikologis organisasi, yang memiliki arti penting bagi kehidupan organisasi, kenyamanan, kelancaran, dan keefektifan organisasi. Suasana psikologis terbangun pola-pola kepercayaan, ritual, mitos, serta praktek-praktek yang telah berkembang sejak lama, yang pada gilirannya menciptakan pemahaman yang sama diantara para anggota organisasi mengenai bagaimana sebenarnya organisasi itu dan bagaimana para anggota harus berperilaku. Dalam hal ini sebagaimana yang dinyatakan Peterson (1994), bahwa budaya organisasi itu mencakup keyakinan, ideologi, bahasa, ritual, dan mitos dan pada akhirnya Creemers dan Reynold (1993) menyimpulkan bahwa budaya organisasi adalah keseluruhan norma, nilai, keyakinan, dan asumsi yang dimiliki oleh anggota di dalam organisasi.

Oleh karena itu, budaya organisasi itu berwujud dalam filosofi, ideologi, nilai-nilai, asumsi-asumsi, keyakinan, serta sikap dan norma bersama anggota organisasi tersebut dalam memandang berbagai realitas, terutama berkaitan dengan permasalahan internal maupun eksternal organisasi.

Senada dengan itu, Owens (1995) mendefinisikan budaya organisasi sebagai

“… the body of solution to external and internal problems that has worked consistenly for a group and that is therefore


(12)

taught to new members as the correct way to perceive, think about and feel in relation to those problem …”.

Budaya organisasi didefinisikan sebagai pola pemecahan masalah eksternal dan internal yang diterapkan secara konsisten bagi suatu kelompok, dan oleh karenanya diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar dalam memandang, memikirkan, dan memecahkan masalah yang dihadapi tersebut.

Dengan demikian budaya atau kultur organisasi dapat didefinisikan sebagai kualitas kehidupan (the quality of life) dalam sebuah organisasi, termanifestasikan dalam aturan-aturan atau norma, tatakerja, kebiasaan kerja (work habits), gaya kepemimpinan (operating styles of principals) seorang atasan maupun bawahan (Hodge & Anthony, 1988). Kualitas kehidupan organisasi, baik yang terwujud dalam kebiasaan kerja maupun kepemimpinan dan hubungan tersebut tumbuh dan berkembang berdasarkan spirit dan keyakinan tertentu yang dianut organisasi. Karena itu, budaya organisasi banyak didefinisikan juga sebagai spirit dan keyakinan sebuah organisasi yang mendasari lahirnya aturan-aturan, norma-narma dan nilai-nilai yang mengatur bagaimana seseorang harus bekerja, struktur yang mengatur bagaimana seorang anggota organisasi berhubungan secara formal maupun informal dengan orang lain, sistem dan prosedur kerja yang mengatur bagaimana kebiasaan kerja seharusnya dimiliki seorang pemimpin maupun anggota organisasi (Torrington & Weightman, dalam Preedy, 1993).

Berdasarkan pengertian budaya atau kultur organisasi di atas, sebenarnya konsep budaya atau kultur dapat dipahami dari dua sisi, yaitu (1) memahami ditinjau dari sudut sumbernya, (2) dan memahami dari sisi manifestasi atau tampilannya. Budaya atau kultur


(13)

bersumber dari spirit dan nilai-nilai kualitas kehidupan. Beberapa spirit dan nilai-nilai yang patut dianut sebuah organisasi, sebagaimana disarankan oleh Torrington & Weightman, dalam Preedy (1993) diantaranya adalah spirit dan nilai-nilai disiplin, spirit dan nilai-nilai tanggung jawab, spirit dan nilai-nilai kebersamaan, spirit dan nilai-nilai keterbukaan, spirit dan nilai-nilai kejujuran, spirit dan nilai-nilai semangat hidup, spirit dan nilai-nilai sosial dan menghargai orang lain, serta persatuan dan kesatuan. Sedangkan budaya atau kultur dipahami dari sisi manifestasi atau tampilannya yaitu dengan cara merasakan atau mengamati manifestasi atau tampilan yang tercermin dalam aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang mengatur bagaimana pemimpin dan anggota organisasi seharusnya bekerja, struktur organisasi yang mengatur bagaimana seorang anggota organisasi seharusnya berhubungan secara formal maupun informal dengan orang lain, sistem dan prosedur kerja seharusnya diikuti, dan kebiasaan kerja dimiliki seorang pemimpin maupun anggota organisasi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, budaya atau kultur organisasi mengikat anggota menjadi suatu kesatuan yang utuh dan senantiasa diajarkan/disampaikan kepada setiap anggota baru organisasi atau dengan kata lain bahwa budaya organisasi merupakan perpaduan nilai-nilai, keyakinan, asumsi, pemahaman, dan harapan-harapan yang diyakini oleh anggota organisasi atau kelompok serta dijadikan sebagai pedoman bagi perilaku dan pemecahan masalah yang dihadapi (Hodge & Anthony, 1988) dan merupakan proses sosialisasi anggota organisasi untuk mengembangkan persepsi, nilai, dan keyakinan terhadap organisasi


(14)

(Sonhadji, 1991) berdasarkan spirit dan keyakinan tertentu yang dianut organisasi.

Ada seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi. Riset yang paling baru mengemukakan tujuh karakteristik primer berikut yang menangkap hakikat dari budaya suatu organisasi. Tujuh karakteristik budaya organisasi tersebut, yaitu: (1) inovasi dan pengambilan risiko, sejauh mana para karyawan didorong untuk inovatif dan mengambil risiko, (2) perhatian ke rincian, sejauh mana para karyawan diharapkan mem-perlihatkan presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian kepada rincian, (3) orientasi hasil, sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu, (4) orientasi orang, sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu, (5) orientasi tim, sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, bukannya individu-individu, (6) keagresifan, sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai, dan (7) kemantapan, sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo daripada pertumbuhan (Robbin, 2003).

Sehubungan dengan itu, Harris (1998) mengemukakan ciri-ciri budaya dalam organisasi yang disebut sebagai dimensi dari organisasi. Ciri-ciri tersebut, yaitu:

“…..(1) tujuan dan misi, (2) sikap, keyakinan, prinsip-prinsip, dan philosophi, (3) perioritas, nilai, etika, status, dan system hadiah, (4) norma dan peraturan, (5) desain struktur organisasi, dan teknologi, (6) kebijakan, prosedur, dan proses-proses, (7) system komunikasi, bahasa, dan terminologi, (8) pengawasan, pelaporan, dan praktik personal, (9) membuat keputusan, memecahkan masalah, dan resolusi konflik, (10) kompensasi, pengakuan, dan


(15)

promosi, (11) ruang dan lingkungan kerja, dan (12) kepemimpinan”.

DeRoche (1987) mengemukakan empat ciri budaya organisasi yang efektif sebagai berikut: (1) struktur dan perintah, (2) dukungan bagi interaksi social, (3) dukungan bagi kegiatan-kegiatan intelektual atau belajar, dan (4) komitmen yang kuat terhadap visi dan misi organisasi. Sedangkan hasil penelitian Soetopo (2001) ada dua belas karakteristik budaya organisasi, yaitu: nilai-nilai keteladanan, tanggung jawab, kebersamaan, otonomi individu, tata aturan/norma, dukungan, identitas, hadiah, performansi, toleransi konflik, toleransi resiko, dan upacara simbolik.

Budaya organisasi muncul dalam dua dimensi, yaitu dimensi yang tidak tampak (intangiable) dan dimensi yang tampak (tangiable). Dimensi yang tidak tampak yaitu meliputi: spirit/nilai-nilai, keyakinan, dan idiologi yang dimanifestasikan dalam dimensi yang tampak, meliputi: kalimat, baik tertulis maupun lisan yang digunakan, perilaku yang ditampilkan, bangunan, fasilitas, serta benda yang digunakan di sekolah (Calldwell dan Spinks, 1993).

Sedangkan Sergiovanni (1987:128) mengutip pendapat Lundberg menyebutkan bahwa budaya organisasi muncul dalam empat tingkatan, yaitu (1) artifacts, (2) perspectives, (3) values, dan (4) assumption. Pada tingkatan artifacts, budaya organisasi terwujud dalam cerita/kisah, mitos, ritual, seremoni, serta produk-produk yang merupakan yang merupakan simbolisasi nilai-nilai. Wujud budaya

organisasi pada tingkatan perspectives adalah peraturan-peraturan

dan norma yang dijadikan acuan dalam menyelesaikan problema yang dihadapi oleh organisasi dan menjadi pedoman bersikap dan berperilaku anggota.


(16)

Wujud budaya organisasi pada tingkatan values adalah nilai yang dijadikan acuan dalam segala keputusan dan tindakan anggota organisasi serta yang mencerminkan tujuan, identitas, dan standar penilaian terhadap segala sesuatu. Sedang wujud budaya organisasi

pada tingkatan assumption merupakan pandangan anggota

organisasi mengenai dirinya dan orang lain yang mengarahkan pada hubungan antara dirinya dengan orang lain tempat ia berada.

Budaya organisasi menjalankan sejumlah fungsi di dalam sebuah organisasi. Fungsi-fungsi budaya organisasi, yaitu: (1) berperan menetapkan tapal batas; artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain, (2) membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi, (3) mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri pribadi seseorang, dan (4) meningkatkan kemantapan sistem sosial organisasi (Robbin, 2003). Senada pendapat tersebut di atas, Greemers & Reynold (1993) mengemukakan bahwa fungsi budaya organisasi adalah (1) memberikan rasa identitas kepada anggota organisasi, (2) memunculkan komitmen terhadap visi dan misi organisasi, (3) membimbing dan membentuk standart perilaku anggota organisasi, dan (4) meningkatkan stabilitas sistem sosial.

Khususnya fungsi keempat, baik yang dikemukakan oleh Robbin maupun Greemers & Reynold tersebut di atas, budaya organisasi merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh anggota-anggota organisasi. Budaya organisasi berfungsi sebagai mekanisme pembuat


(17)

makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku anggota-anggota organisasi.

Berdasarkan paparan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap anggota organisasi merupakan bagian dari organisasi, yang secara psikologis dan emosional terhadap organisasinya akan menyatu dan melebur dengan komponen lainnya. Semakin kuat ikatan psikologis dan emosional antara anggota organisasi, maka semakin kuat komitmen, rasa identitas, memegang standar perilaku dan mantapnya stabilitas sistem sosial organisasi.


(18)

BAB III

PENGEMBANGAN BUDAYA MUTU SEKOLAH A. Pengertian

Sekolah-sekolah yang memiliki keunggulan atau keberhasilan pendidikan oleh Owens, (1995: 81) lebih dipengaruhi dari kinerja individu dan organisasi itu sendiri yang mencakup nilai-nilai (values), keyakinan (beliefs), budaya, dan norma perilaku yang disebut sebagai the human side of organization (sisi/aspek manusia dan organisasi). Hal tersebut sesuai apa yang telah dilakukan oleh Frymier dan kawan-kawan (1984) dalam melakukan penelitian One Hundred Good Schools, yang dalam penelitiannya mereka menyimpulkan bahwa iklim atau atmosphere sekolah, seperti hubungan interpersonal, lingkungan belajar yang kondusif, lingkungan yang menyenangkan, moral dan spirit sekolah berkorelasi secara positif dan signifikan dengan kepribadian dan prestasi akademik lulusan.

Dengan demikian, budaya sekolah dapat dikatakan bermutu bilamana memungkinkan bertumbuhkembangnya sekolah dalam mencapai suatu keberhasilan pendidikan. Budaya mutu sekolah adalah keseluruhan latar fisik, lingkungan, suasana, rasa, sifat, dan iklim sekolah secara produktif mampu memeberikan pengalaman dan bertumbuhkembangnya sekolah untuk mencapai keberhasilan pendidikan berdasarkan spirit dan nilai-nilai yang dianut oleh sekolah. Dalam hal ini, Depdiknas (2000) telah merumuskan beberapa elemen budaya mutu sekolah sebagai berikut: (1) informasi kualitas untuk perbaikan, bukan untuk mengontrol, (2) kewenangan harus sebatas tanggungjawab, (3) hasil diikuti rewards atau punishment, (4) kolaborasi, sinergi, bukan persaingan sebagai dasar kerjasama, (5)


(19)

warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya, (6) atmorfir keadilan, (7) imbal jasa sepadan dengan nilai pekerjaan, dan (8) warga sekolah merasa memiliki sekolah.

Sedangkan Peter dan Waterman (Hanson, 1996) menemukan nilai-nilai budaya yang secara konsisten dilaksanakan di sekolah yang baik, yaitu mutu dan pelayanan merupakan hal yang harus diutamakan, selalu berupaya menjadi yang terbaik, mem-berikan perhatian penuh pada hal-hal yang nampak kecil, tidak membuat jarak dengan klien, melakukan sesuatu sebaik mungkin, bekerja melalui orang (bukan sekedar bekerjasama atau memerintahnya), memacu inovasi, dan toleransi terhadap usaha yang berhasil.

B. Pengembangan Budaya Mutu Sekolah

Pengembangan budaya mutu sekolah merupakan tugas dan tanggung jawab kepala sekolah, selaku pemimpin pendidikan. Namun demikian, pengembangan budaya mutu sekolah mempersyaratkan adanya partisipasi seluruh personil sekolah dan stakeholder, termasuk orang tua siswa, dan oleh karena itu, secara manajerial pengembangan budaya mutu sekolah menjadi tanggung jawab kepala sekolah, sedangkan secara operasional sehari-hari menjadi tugas seluruh personil sekolah dan stakeholder terkait.

Proses pengembangan budaya mutu sekolah dapat dilakukan melalui tiga tataran, yaitu (1) pengembangan pada tataran spirit dan nilai-nilai; (2) pengembangan pada tataran teknis; dan (3) pengembangan pada tataran sosial. Pada tataran pertama, proses pengembangan budaya mutu sekolah dapat dimulai dengan pengembangan pada tataran spirit dan nilai-nilai, yaitu dengan cara mengidentifikasi berbagai spirit dan nilai-nilai kualitas kehidupan


(20)

sekolah yang dianut sekolah, misalnya spirit dan nilai-nilai disiplin, spirit dan nilai-nilai tanggung jawab, spirit dan nilai-nilai kebersamaan, spirit dan nilai-nilai keterbukaan, spirit dan nilai-nilai kejujuran, spirit dan nilai-nilai semangat hidup, Spirit dan nilai-nilai sosial dan menghargai orang lain, serta persatuan dan kesatuan (Torrington & Weightman, dalam Preedy, 1993). Oleh karena itu, tidak ada pengembangan budaya mutu sekolah secara sistematik tanpa identifikasi berbagai spirit dan nilai-nilai yang dapat dijadikan landasan.

Dalam rangka pengembangan budaya mutu sekolah ada tiga langkah yang harus ditempuh oleh kepala sekolah, yaitu:

1. Identifikasi spirit dan nilai-nilai sebagai sumber budaya mutu sekolah, yang dilakukan bersama dengan seluruh stakholder, dan ditetapkan sebagai sebuah kebijakan resmi sekolah dalam bentuk surat keputusan kepala sekolah.

2. Sosialisasi secara kontinyu spirit dan nilai-nilai kepada seluruh stakholder, baik melalui pertemuan-pertemuan, majalah sekolah, buku penghubung sekolah, majalah dinding sekolah, diperagakan pada dinding kelas, maupun dalam bentuk surat edaran.

3. Kepala sekolah selalu menumbuhkan komitmen seluruh stakeholder agar memegang teguh spirit dan nilai-nilai yang telah ditetapkan bersama.

Pada tataran kedua, adalah pengembangan tataran teknis. Pengembangan pada tataran teknis tersebut dilakukan setelah kepala sekolah bersama stakeholder telah ber-hasil mengidentifikasi spirit dan nilai-nilai, yaitu dengan cara mengembangan berbagai prosedur kerja manajemen (management work procedures), sarana manajemen (management toolkit), dan kebiasaan kerja (management


(21)

work habits) berbasis sekolah yang betul-betul merefleksikan spirit dan nilai-nilai yang akan dibudayakan di sekolah.

Dalam rangka pengembangan tataran teknis budaya mutu sekolah dapat ditempuh oleh kepala sekolah melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1. Kepala sekolah bersama seluruh stakeholder terkait mengevaluasi sejauh mana keseluruhan komponen sistem sekolah, seperti struktur organisasi sekolah, deskripsi tugas sekolah, sistem dan posedur kerja sekolah, kebijakan dan aturan-aturan sekolah, tatatertib sekolah, hubungan formal maupun informal, telah merefleksikan spirit dan nilai-nilai dasar yang sangat fungsional bagi tumbuh dan berkembangnya sekolah. 2. Selanjutnya, kepala sekolah dengan stakeholder terkait

mengembangkan berbagai ke-bijakan teknis pada setiap komponen sistem yang betul-betul merefleksikan spirit dan nilai-nilai dasar yang sangat fungsional bagi tumbuh dan berkembangnya sekolah. Bagi komponen sistem sekolah yang telah merefleksikan spirit dan nilai-nilai yang sangat fungsional bagi tumbuh dan berkembangnya sekolah sebaiknya tetap dipertahankan dan diimplementasikan, dan bilamana tidak hendaknya terlebih dahulu dilakukan berbagai perubahan dan pembaharuan seperlunya, dan setelah itu kepala sekolah selaku manajer sekolah berkewenangan untuk segera membuat berbagai kebijakan teknis.

Sedangkan pada tataran ketiga adalah pengembangan tataran

sosial. Pengembangan tataran sosial dalam konteks pengembangan kultur sekolah adalah proses implementasi dan institusionalisasi


(22)

sehingga menjadi sebagai suatu kebiasaan (work habits) di sekolah dan di luar sekolah.


(23)

BAB IV

KARAKTERISTIK SEKOLAH UNGGUL

Telah banyak dilakukan penelitian oleh pakar manajemen pendidikan mengenai sekolah yang baik. Dalam penelitian sekolah yang baik sering disebut sekolah yang efektif atau sekolah yang excellent (Sergiovanni, 1987), atau sekolah yang unggul (Newman, 1988). Sebenarnya ada dua model pendekatan yang sangat berguna dalam menetapkan sekolah baik atau sekolah efektif (Hoy & Ferguson, 1985), yaitu model pendekatan pencapaian tujuan dan model pendekatan proses. Pada model pendekatan pencapaian tujuan, model ini berdasarkan pandangan tradisional organisasi dikatakan efektif apabila mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Sergiovanni, 1987). Di sekolah biasanya dilihat tingkat pencapaiannya yang ditandai dengan prestasi lulusan sekolah. Dengan demikian model pendekatan tujuan ini, prestasi siswa merupakan peranan penting yang digunakan dalam menetapkan baik atau tidaknya sekolah.

Sedangkan model pendekatan proses, model ini memandang organisasi sebagai sebuah system yang terbuka yang terdiri dari masukan transformasi, dan keluaran (Hoy & Miskel, 1982). Model sistem keefektivan organisasi ini dilihat bukan dari tingkat pencapaian tujuan melainkan konsistensi internal, efisiensi penggunaan semua sumber yang ada, dan kesuksesan dalam mekanisme kerjanya (Hoy & Ferguson, 1985). Ada dua asumsi yang melandasinya, yaitu (1) organisasi merupakan sebuah sistem terbuka yang harus mampu memanfaatkan dan merefleksikan lingkungan sekitarnya, (2) organisasi merupakan sistem yang dinamis dan begitu besar, maka


(24)

kebutuhannya semakin kompleks, sehingga tidak mungkin didefinisikan hanya melalui sejumlah kecil tujuan organisasi yang bermakna.

Sehubungan dengan itu, untuk memberikan gambaran tentang sekolah yang efektif atau sekolah unggul, perlu disajikan beberapa kajian atau hasil penelitian dari pakar manajemen pendidikan tentang sekolah efektif atau sekolah unggul. Sekolah efektif atau sekolah unggul memiliki kriteria, ciri-ciri atau karakteristik tertentu. Ukuran dasar yang dapat dijadikan pedoman untuk melihat apakah sekolah efektif itu atau tidak, sekolah itu unggul atau tidak, Danim (2006) memberikan kriteria tentang sekolah tersebut sebagai berikut: (1) mempunyai standar kerja yang tinggi dan jelas bagi siswa, (2) mendorong aktifitas, pemahaman multibudaya, kesetaran gender, dan mengembangkan secara tepat pembelajaran menurut standar potensi yang dimiliki oleh para pelajar, (3) mengharapkan para siswa untuk mengambil peran tanggung jawab dalam belajar dan perilaku dirinya, (4) mempunyai instrumen evaluasi dan penilaian prestasi belajar, (5) menggunakan metode pembelajaran yang berakar pada penelitian pendidikan dan suara praktik profesional, (6) mengorganisasikan sekolah dan kelas untuk mengkreasi lingkungan yang bersifat memberi dukungan bagi kegiatan pembelajaan, (7) pembuatan keputusan secara demokratis dan akuntabilitas, (8) menciptakan rasa aman, sifat saling menghargai, dan mengakomodasikan lingkungan secara efektif, (9) mempunyai harapan yang tinggi kepada semua staf, (10) secara aktif melibatkan keluarga di dalam membantu siswa untuk mencapai sukses, dan (11) bekerja sama atau berpartner dengan masyarakat dan pihak-pihak lain.


(25)

Hampir serupa apa yang dikemukakan oleh Danim tentang kriteria sekolah efektif di atas, Sammons (Macbeath & Mortimore, 2005) menganalisis tentang sekolah yang efektif itu ditentukan 11 faktor penting, yaitu: kepemimpinan profesional, visi dan tujuan bersama, suatu lingkungan pembelajaran, konsentrasi pada belajar dan mengajar, harapan tinggi, dorongan positif, meminitor kemajuan, hak dan kewajiban murid, pengajaran yang mempunyai tujuan, suatu organisasi pembelajaran, dan kemitraan sekolah rumah.

Sedang Suyanto dalam Elfahmi (2006) menegaskan bahwa sekolah unggul memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu: (1) memiliki budaya akademik yang kuat, (2) memiliki kurikulum yang selalu relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, (3) memiliki komunitas sekolah yang selalu menciptakan cara-cara atau teknik belajar untuk belajar yang inovatif, (4) berorientasi pada pengembangan hard knowlegde dan soft knowlegde secara seimbang, (5) proses belajar untuk mengembangkan potensi siswa secara holistik, dan (6) mengembangkan proses pengembangan kemampuan dan kompetensi ber-komunikasi siswa secara global.

Lezotte (1983) menemukan dalam penelitiannya bahwa sekolah-sekolah yang unggul itu memiliki karakteristik-karakteristik, yaitu: (1) lingkungan sekolah yang aman dan tertib; (2) iklim serta harapan yang tinggi; (3) kepeminpinan instruksional yang logis; (4) misi yang jelas dan terfokuskan; (5) kesempatan untuk belajar dan mengerjakan tugas bagi siswa; dan (6) pemantauan yang sering dilakukan terhadap kemajuan siswa, dan hubungan rumah-sekolah yang bersifat mendukung. Dalam penelitian ini, tidak disebut-sebut perihal keefektivan guru secara khusus, demikianpun perihal ganjaran


(26)

insentif, yang pada penelitian lain cukup memberikan sumbangan terhadap prestasi siswa di sekolah.

Sedang Austin (Moedjiarto, 2002) dalam penelitian menemukan bahwa sekolah-sekolah yang sukses menunjukkan saling ketergantungan sehubungan praktek-praktek tertentu dalam organisasi sekolah. Dalam kaitan ini, karakteristik-karakteristik yang ditemukan dalam sekolah-sekolah unggul, adalah (1) kepemimpinan instruksional yang kuat; (2) pengembangan program, perencanaan pengajaran; (3) harapan-harapan performansi yang tinggi; (4) kepercayaan bahwa semua siswa dapat mempelajari keterampilan-keterampilan dasar; (5) iklim yang positif; (6) pengawasan terhadap fungsi-fungsi sekolah, kurikulum dan program pengembangan staf; (7) dukungan staf yang kuat; (8) pemberian semangat; serta (9) tanggung jawab dan partisipasi siswa.

Dengan demikian sekolah dapat disebut sebagai sekolah unggul bila memiliki karakteristik keefektivan yang tinggi, yaitu: iklim sekolah yang positif, proses perencanaan sekolah yang melibatkan seluruh warga sekolah, harapan yang tinggi terhadap prestasi akademik, pemantauan yang efektif terhadap kemajuan siswa, keefektivan guru, kepemimpinan instruksional yang berorientasi pada prestasi akademik, pelibatan orang tua yang aktif dalam kegiatan sekolah, kesempatan, tanggung jawab, dan partisipasi siswa yang tinggi di sekolah, ganjaran dan insentif di sekolah, yang didasarkan pada keberhasilan, tata tertib dan disiplin yang baik di sekolah, dan pelaksanaan kurikulum yang jelas.

Pendidikan mencakup semua aktifitas, mulai konsep, visi, misi, institusi, kurikulum, metodologi, proses belajar mengajar, SDM kependidikan, lingkungan pen-didikan dan lain sebagiainya, yang


(27)

disemangati dan bersumber pada ajaran dan nilai-nilai yang dibangun dalam proses semua aktiftas tersebut. Kelembagaan pendidikan yang efektif tersebut adalah lembaga pendidikan atau sekolah yang merefleksikan konsep-konsep sekolah yang baik (the good school), sekolah yang efektif (the effective school), sekolah yang unggul (the exellent school). Menurut Hasan (2005) ada empat persyaratan yang dapat dikategorikan sebagai kelembagaan pendidikan yang baik “sekolah unggul”, yaitu: (1) SDM kependidikan yang professional, (2) manajemen yang efektif dan professional, (3) lingkungan pendidikan yang kondusif, dan (4) mampu membangun kepercayaan kepada masyarakat.

Persyaratan pertama, SDM kependidikan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan berdasarkan seleksi yang memenuhi syarat kompetensi personal, kompetensi professional, kompetensi moral dan kompetensi sosial, yang mampu berperan sebagai pengajar, pendidik, dan sekaligus pemimpin ditengah-tengah peserta didiknya. Selain itu, tenaga kependidikan tersebut memiliki pengalaman dan ditunjang oleh adanya keunggulan dalam kemampuan intelektual, moral, keilmuan, ketaqwaan, disiplin dan tanggung jawab, keluasan wawasan kepndidikan, kemampuan pengelolaan, terampil, kreatif, memiliki keterbukaan profesional dalam memahami profesi, karakteristik dan masalah perkembangan peserta didik, mampu mengembangkan rencana studi dan karir peserta didik serta memiliki kemampuan meneliti dan mengembangkan kurikulum, juga menguasai bidang agama islam dan ketaatan dalam beribadah maupun amaliyahnya.

Manajemen pendidikan diharapkan dapat berperan menjadi perberdayaan organisasi (empowering organization). Dalam hal


(28)

pemberdayaan organisasi, komponen-komponen yang harus didayagunakan sehingga secara bersinergi mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Diantara komponen-komponen tersebut adalah kurikulum atau pembelajaran, siswa, pegawai, sarana prasarana, keuangan, dan lingkungan masyarakat (De Roche, 1985). Dalam pelaksanaan keseluruhan proses manajemen tersebut diupayakan dengan bertumpu pada spirit manajemen pendidikan keunggulan sebagaimana temuan teoritik pada berbagai hasil penelitian yaitu berwawasan mutu, kemandirian, partisipasi, dan keterbukaan.

Ada empat langkah proses manajemen pendidikan yang professional, yaitu: perencanaan, pengorganisasian, pengerahan (kepemimpinan), dan pengendalian. Perencanaan pendidikan dilakukan dalam bentuk pengembangan arah organisasional-visi, misi, tujuan, dan target-kelembagaan pendidikan, penyusunan rencana strategis jangka panjang, rencana strategis jangka menengah, dan rencana strategis jangka pendek yang dilanjutkan dengan penyusunan rencana operasional. Prinsip dasarnya adalah perencanaan yang baik, futuristic namun tetap realistic, sesuai dengan prinsip utama (Bafadal, 2002).

Pengorganisasian pendidikan diupayakan dalam formula pengembangan struktur organisasi yang menganut prinsip ramping struktur namun gemuk fungsi, perumusan deskripsi tugas yang jelas, dan penempatan tenaga kependidikan sesuai dengan keahliannya. Kepemimpinan pendidikan diwujudkan dalam bentuk upaya pimpinan lembaga pendidikan dalam menggerakkan seluruh tenaga kependidikan melalui pendekatan uswatun hasanah dan mauidhah hasanah (contoh yang baik dan petuah/nasehat yang baik). Sedangkan pengawasan pendidikan direalisasikan dalam bentuk


(29)

melakukan refleksi diri atas seluruh implementasi program dalam suatu kurun waktu tertentu (Dit Dikmenum, 2002).

Dalam membentuk budaya mutu sekolah, lembaga pendidikan merupakan sebuah organisasi. Kultur lembaga pendidikan merupakan kultur organisasi dalam konteks satuan pendidikan. Dengan demikian kultur lembaga pendidikan dapat diartikan sebagai kualitas kehidupan sebuah lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang berdasarkan spirit dan nilai-nilai tertentu yang dianutnya. Kultur lembaga pendidikan tersebut akan dapat dikembangkan dengan melalui tenaga kependidikan yang unggul sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Persyaratan yang ketiga, lembaga pendidikan harus mampu menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif, yang memberikan suasana damai, bersih, tertib, aman, indah dan penuh kekeluargaan. Lingkungan yang memberikan kebebasan peserta didik untuk berekspresi, mengembangkan minat dan bakatnya, berinteraksi sosial dengan sehat dan saling menghormati,, dalam atmosfir yang mencitrakan suasana religius, etis, dan humanis.

Membangun kepercayaan kepada masyarakat merupakan persyaratan yang terakhir. Dalam hal ini, lembaga pendidikan harus mampu membangun kepercayaan kepada masyarakat atas program-programnya sehingga memperoleh dukungan dan partisipasi masyarakat dalam bentuk pemikiran dan pembiayaan. Sekolah diharapkan mampu melakukan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dengan masyarakat di lingkungan sekolah.


(30)

BAB V

PENGEMBANGAN BUDAYA MUTU DI SEKOLAH MENUJU SEKOLAH UNGGUL

A. Pengertian

Pengembangan budaya mutu yang dilakukan oleh sekolah unggul dalam rangka mencapai keefektifan pendidikan di sekolah tentunya dijiwai oleh spirit dan nilai-nilai hasil identifikasi. Pengembangan budaya mutu tersebut melalui tim khusus dan melibatkan semua warga sekolah, kemudian ditetapkan dengan kebijakan sekolah. Kebijakan-kebijakan pengembangan budaya mutu yang telah diambil dan telah disepakati tersebut yang disosialisasikan kepada semua warga sekolah baik melalui papan pengumuman, surat, edaran, atau dilakukan komunikasi secara terbuka untuk dan agar dimengerti, dipahami, disetujui, diikuti, dan dapat diterima sebagai kebijakan atau aturan sekolah. Disamping itu juga dilakukan sosialisasi kepada orang tua siswa. Setelah itu diimplementasi atau dilaksanakan bersama-sama. Selanjutnya dilakukan evaluasi bersama melalui rapat rutin sekolah dan pertemuan-pertemuan dengan wali siswa, yang didalamnya termasuk menerima masukan-masukan yang berarti dalam rangka perbaikan sebagai tindak lanjut dalam keefektifan pendidikan di sekolah.

Pengembangan budaya mutu yang telah dilakukan sekolah unggul dapat dilihat pada tabel berikut.


(31)

Tabel 5.1 Tahap Pengembangan Budaya Mutu Sekolah Tahap-tahap

pengembangan

Kegiatan dalam pengembangan budaya mutu sekolah

Merumuskan tujuan pengembangan yang dijiwai

spirit dan nilai-nilai & Penetapan kebijakan

 mencapai keefektifan pendidikan di sekolah

 melalui tim khusus

 melibatkan semua warga sekolah

 kebijakan yang bersifat mikro/operasional

 penetapan kebijakan-kebijakan pengembangan budaya mutu berdasarkan kesepakatan bersama Sosialisasi &

implementasi

 kepada semua warga sekolah

 orang tua siswa

 melalui ditempel pada papan pengumuman

 surat

 edaran

 dilakukan komunikasi secara terbuka (untuk dan agar dimengerti, dipahami,

disetujui, diikuti dan dapat diterima sebagai kebijakan atau aturan sekolah)

 Dilaksanakan bersama-sama dengan baik Evaluasi & follow up  dilakukan evaluasi bersama

 melalui rapat rutin sekolah

 pertemuan-pertemuan dengan wali siswa,

 perbaikan sebagai tindak lanjut

Pengembangan budaya mutu sekolah unggul tersebut di atas merupakan pengembangan yang dilakukan secara sistematik dengan dimulai dari perancangan melalui perumusan tujuan termasuk identifikasi spirit dan nilai-nilai yang dijadikan landasan, penetapan kebijakan, sosialisasi dan implementasi sampai dengan evaluasi terhadap implementasi serta dilakukan perbaikan sebagai follow up nya. Hal ini seperti apa yang telah dilakukan oleh Torrington & Weightman, dalam Preedy, 1993 dalam melakukan proses pengembangan budaya mutu sekolah yang dilakukan melalui tiga


(32)

tataran, yaitu (1) pengembangan pada tataran spirit dan nilai-nilai; (2) pengembangan pada tataran teknis; dan (3) pengembangan pada tataran sosial. Pada tataran pertama, dengan cara mengidentifikasi berbagai spirit dan nilai-nilai kualitas kehidupan sekolah yang dianut sekolah. Pada tataran kedua, dengan cara mengem-bangan berbagai prosedur kerja manajemen (management work procedures), sarana manajemen (management toolkit), dan kebiasaan kerja (management work habits) berbasis sekolah yang betul-betul merefleksikan spirit dan nilai-nilai yang akan dibudayakan di sekolah. Sedangkan pada tataran ketiga, pengembangan tataran sosial dalam konteks pengembangan kultur sekolah adalah proses implementasi dan institusionalisasi sehingga menjadi sebagai suatu kebiasaan (work habits) di sekolah dan di luar sekolah.

Dengan pengembangan budaya mutu yang dilakukan oleh sekolah unggul melalui tahap-tahap pengembangan tersebut di atas, maka perlu diuraikan gambaran: (1) bagaimana identifikasi spirit dan nilai-nilai yang telah dilakukan oleh sekolah unggul, yang dijadikan sebagai acuan atau dasar pengembangan budaya mutu sekolah unggul, dan (2) bagaimana cerminan atau wujud budaya mutu nampak pada: (a) visi dan misi sekolah, (b) struktur organisasi dan deskripsi tugas sekolah, (c) sistem dan prosedur kerja sekolah, (d) kebijakan dan aturan sekolah, (e) tata tertib sekolah, (f) penampilan fisik (fasilitas) sekolah, (g) suasana dan hubungan formal dan informal, sikap dan perilaku kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya, yang juga dapat dijadikan acuan dalam pengembangan budaya mutu sekolah.


(33)

G. Identifikasi Spirit Dan Nilai-Nilai Sebagau Sumberdaya Mutu Sekolah Unggul

Spirit dan nilai-nilai yang dijadikan sebagai sumber budaya mutu pada sekolah unggul antara lain: (1) spirit dan nilai-nilai perjuangan, (2) spirit dan nilai-nilai ibadah, (3) spirit dan nilai-nilai amanah, (4) spirit dan nilai-nilai kebersamaan, (5) spirit dan nilai-nilai disiplin, (6) spirit dan nilai-nilai profesionalisme, dan (7) spirit dan nilai-nilai menjaga eksistensi sekolah. Spirit dan nilai-nilai tersebut, dijadikan landasan dan sumber oleh sekolah ini yang tercermin dalam setiap kegiatan, dalam mengambil keputusan, sikap dan perilaku warga sekolah, pola-pola manajemen yang dilakukan, dan lain sebagainya.

Spirit dan nilai-nilai budaya mutu mewarnai dan nampak dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.

Gambar 5.1 Spirit dan nilai-nilai budaya mutu

Kalau dilihat dari konsep budaya, spirit dan nilai-nilai budaya mutu sekolah unggul tersebut di atas dapat dipahami dari sudut sumbernya. Spirit dan nilai-nilai budaya ini merupakan kualitas


(34)

kehidupan sebuah sekolah/organisasi, sehingga Creemers dan Reynold (1993) menyimpulkan bahwa budaya organisasi adalah keseluruhan norma, nilai, keyakinan, dan asumsi yang dimiliki oleh anggota di dalam organisasi. Spirit dan nilai-nilai budaya mutu tersebut seiring dengan beberapa spirit dan nilai-nilai yang patut dianut sebuah organisasi, yang disarankan oleh Torrington & Weightman, dalam Preedy (1993) yang di antaranya adalah spirit dan nilai disiplin, spirit dan nilai tanggung jawab, spirit dan nilai kebersamaan, spirit dan nilai keterbukaan, spirit dan nilai-nilai kejujuran, spirit dan nilai-nilai-nilai-nilai semangat hidup, spirit dan nilai-nilai-nilai-nilai sosial dan menghargai orang lain, serta persatuan dan kesatuan.

H. Wujud Budaya Mutu Sekolah Dasar Unggul

Sebenarnya budaya organisasi tersebut muncul dalam dua dimensi, yaitu dimensi yang tidak tampak (intangiable) dan dimensi yang tampak (tangiable), sebagaimana yang dikemukakan Calldwell dan Spinks (1993) bahwa dimensi yang tidak tampak yaitu meliputi: spirit/nilai-nilai, keyakinan, dan ideologi dan dimensi yang tampak, meliputi: kalimat, baik tertulis maupun lisan yang digunakan, perilaku yang ditampilkan, bangunan, fasilitas, serta benda yang digunakan di sekolah.

1. Visi dan misi sekolah

Visi dan misi sekolah unggul tercermin budaya mutu yang nampak pada: (1) kegiatan dan praktek-praktek, pembiasaan-pembiasaan, kegiatan-kegiatan ilimiah, pembiasaan bersikap dengan guru, orang tua, dan teman, (2) program kunjungan ke tempat-tempat bersejarah, musium, candi, ke instansi pemerintah (wali kota, DPRD); dan


(35)

pementasan budaya-budaya Indonesia yang dikemas dengan metode project based learning (PBL), dan (3) penggunaan strategi pembelajaran antar kelas yang berbeda-beda: pembelajaran di luar kelas, pem-belajaran melalui pengamatan, praktek di laboratorium, pembelajaran dengan diskusi kelompok pembelajaran, menggunakan metode pembelajaran CTL, PBL, bilingual, pembelajaran berbasis ITC, dan lain sebagainya.

Visi dan misi sekolah unggul nampak dijadikan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan sebagaimana pada gambar dibawah ini

Gambar 5.2 Visi dan misi sekolah

Visi dan misi sekolah dijadikan pedoman oleh setiap guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas maupun kegiatan-kegiatan sekolah lainnya, termasuk orang tua siswa dalam mengarahkan dan bimbingan di rumah. Karena visi dan misi sekolah ini dianggap sebagai salah satu budaya mutu sekolah yang merupakan perpaduan nilai-nilai, keyakinan, asumsi, pemahaman, dan harapan-harapan yang diyakini oleh warga sekolah atau kelompok serta dijadikan


(36)

sebagai pedoman bagi perilaku dan pemecahan masalah yang dihadapi (Hodge & Anthony, 1988).

Kalau dilihat dari segi keefektifan visi dan misi sekolah yang dapat mengarahkan semua warga sekolah dalam melaksanakan tugas-tugasnya di sekolah sehingga dapat menumbuhkan adanya interaksi yang dari semua warga sekolah untuk mencapai cita-cita yang terkandung dalam visi dan misi sekolah tersebut, hal ini sesuai apa yang dikemukakan DeRoche (1987), beberapa ciri budaya organisasi yang efektif antara lain: (1) adanya dukungan bagi interaksi social, (2) dukungan bagi kegiatan-kegiatan intelektual atau belajar, dan (3) komitmen yang kuat terhadap visi dan misi organisasi.

2. Struktur Organisasi dan Deskripsi Tugas

Penyelenggaraan pendidikan di sekolah unggul dikelompokkan menjadi dua organ, yaitu (1) organ pengelola yang mempunyai tugas dan wewenang bersifat makro, yang meliputi rekrutmen tenaga, pengembangan makro sekolah, pembangunan gedung/pengadaan barang skala besar dan (2) sekolah sebagai organ pelaksana pendidikan yang mempunyai tugas dan wewenang yang bersifat mikro/operasional. Dengan demikian semua kebijakan operasional harus mengacu pada kebijakan makro yang telah ditetapkan oleh organ pengelola dan merupakan garis instruktif.

Sekolah sebagai pelaksana operasional, dalam penyelenggaraannya dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang dibantu oleh guru dan tenaga tata usaha. Pembagian tugas diantara kepala sekolah, guru, dan tenaga tata uhasa selalu dilakukan evaluasi keefektifannya, sehingga pola-pola manajemen yang dilakukan secara dinamis disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan riil


(37)

di sekolah. Garis instruktif kepala sekolah secara langsung kepada unsur akademik, unsur administratif, dan unsur penunjang dan garis koordinatif dengan BP3/komite sekolah/forum orang tua siswa. Sedang garis koordinatif diantara ketuga unsur tersebut dalam rangka keefektifan penyelenggaraan sekolah.

Pembagian tugas dan garis instruktif/koordinatif dapat dilukiskan pada gambar di bawah ini.

Gambar 5.3 Pembagian tugas dan garis instruktif/koordinatif

Penyelenggaraan pendidikan sekolah unggul tersebut di atas dapat berjalan dengan baik, dikarenakan (1) adanya pembagian yang


(38)

jelas dan tegas (tidak tumpang tindih), (2) adanya garis koordinasi dan garis instruksi yang jelas dan fungsional, (3) adanya pola-pola manajemen yang dilakukan secara dinamis disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan riil di sekolah. Dengan penyelenggaraan yang didasari ketiga tersebut di atas, pelaksanakan tugas-tugas pendidikan di sekolah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien.

3. Sistem dan Prosedur Kerja

Sistem dan prosedur kerja di sekolah unggul adalah: (1) sistem dan prosedur yang bersifat makro ditetapkan oleh organ pengelola sebagai pedoman umum pelaksanaan operasional di sekolah, meliputi: sistem dan prosedur rekrutmen tenaga baru, sistem pembinaan kepangkatan, ketentuan cuti, peraturan disiplin kepegawaian, sistem seleksi penerimaan siswa baru, penetapan kurikulum dan lain sebagainya yang bersifat makro, (2) sistem dan prosedur yang bersifat operasional ditetapkan oleh sekolah dalam rangka mempertegas, memperjelas, dan meng-konkritkan kebijakan makro, meliputi: sistem reward bagi siswa dan guru, upaya meningkatkan profesional dengan sistem pengumpulan media yang dibuat sendiri oleh guru, penyiapan rancangan pembelajaran dengan baik, melakukan pembinaan, pengiriman dan mengikutkan guru/pegawai dalam kegiatan pelatihan/diklat/ lokakarya baik yang diselenggarakan oleh organ pengelola sekolah maupun pihak luar, dan lain sebagainya.

Budaya mutu nampak pada sistem dan prosedur kerja sekolah unggul sebagai berikut :


(39)

Tabel 5.2 Sistem dan prosedur kerja sekolah

Sistem dan prosedur kerja bersifat

makro Sistem dan prosedur kerja bersifatmikro (operasional)

1. sistem dan prosedur rekrutmen tenaga baru

2. sistem pembinaan kepangkatan 3. ketentuan cuti

4. peraturan disiplin kepegawaian 5. sistem sleksi penerimaan

siswa baru

6. penetapan kurikulum 7. dan lain sebagainya yang

bersifat makro

1. sistem reward bagi siswa dan guru 2. upaya meningkatkan profesional

dengan sistem pengumpulan media yang dibuat sendiri oleh guru

3. penyiapan rancangan pembelajaran dengan baik

4. melakukan pembinaan 5. pengiriman dan mengikutkan

guru/pegawai dalam kegiatan pelatihan/diklat/lokakarya baik yang diselenggarakan oleh

yayasan/diknas atau pihak luar Budaya mutu tersebut di atas, selaras dengan rumusan Depdiknas (2000) tentang elemen budaya mutu sekolah khususnya pada elemen yang ketiga dan keempat, yaitu ”hasil diikuti rewards atau punishment” dan ”kolaborasi, sinergi, bukan persaingan se-bagai dasar kerjasama”. Disamping itu, berarti sekolah ini telah memiliki budaya akademik yang kuat dan komunitas sekolah selalu menciptakan cara-cara yang inovatif, yang merupakan diantaranya ciri-ciri yang dimiliki oleh sekolah unggul (Suyanto dalam Elfahmi, 2006).

4. Kebijakan dan Aturan Sekolah

Kebijakan dan aturan sekolah unggul adalah sebagai strategi dalam mencapai tujuan sekolah yaitu dalam rangka peningkatan mutu dan keefektifan sekolah. Pembuatan kebijakan dan aturan sekolah dibuat dengan melibatkan semua unsur sekolah. Pembuatan kebijakan dan aturan sekolah tersebut dapat dikategorikan menjadi 3 yaitu: (1) pembuatan kebijakan dan aturan sekolah ditetapkan oleh pimpinan sekolah pada hal-hal yang sudah jelas dan memang


(40)

menjadi kewenangan seorang kepala sekolah untuk mengambil suatu keputusan, dan meskipun terlebih dahulu meminta pendapat dari warga sekolah, (2) kebijakan yang bersifat krusial digodok melalui tim khusus yang diberi wewenang oleh sekolah kemudian dilakukan sosialisasi sebelum ditetapkan oleh sekolah, misalnya: masalah kedisiplinan, PBM, pelayanan kepada siswa, dan lain sebagainya dan (3) kebijakan dan aturan sekolah yang bersifat teknis, misalnya: peringatan hari besar nasional dan Islam, teknis layanan makan siang, kunjungan wisata dan lain sebagainya dapat muncul dari warga sekolah, sekolah mengkaji, menyetujui dan menetapkannya.

Disamping hal tersebut di atas, kebijakan mengenai kebiasaan-kebiasaan dalam sehari-hari di bahas melalui kesepakatan semua warga sekolah. Hal ini dilakukan dibuat dalam rangka peningkatan mutu atau keefektifan sekolah, sebab dengan pelibatan dan partisipasi semua unsur sekolah (warga sekolah) akan tumbuh rasa memiliki dan menjadi milik bersama.

Kebijakan dan aturan sekolah unggul dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.

Tabel 5.3 Kebijakan dan aturan sekolah unggul

Sifat/tipe Proses Hasil

Kebijakan untuk memtegas,

memperjelas kebijakan makro

yayasan/lembaga

kebijakan ditetapkan oleh kepala sekolah dan pata terlebih dahulu meminta pendapat dari warga sekolah

Hal-hal yang secara jelas dan tegas menjadi kewenangan kepala sekolah

Kebijakan khusus dibentuk tim khusus dan disosialisasikan sebelum disahkan oleh kepala sekolah

 masalah kedisplinan  PBM

 pelayanan kepada siswa

 dan lain-lain kebijakan teknis dapat muncul dari waga

sekolah, sekolah mengkaji, menyetujui dan selanjutnya menetapkannya

 teknis PHBI/N

 teknis layanan makan siang


(41)

Sifat/tipe Proses Hasil

 dan lain-lain kebijakan mengenai

kultur/kebiasaan-kebiasaan

berdasarkan kesepakatan  kegiatan istighotsah  bersalaman

 menyapa

 mengucapkan salam  dan lain-lain

Wujud budaya mutu sekolah

Dengan demikian budaya mutu sekolah yang nampak dalam pengambilan suatu kebijakan sekolah adalah (1) mengarah pada peningkatan mutu dan keefektifan sekolah, (2) melibatkan semua warga sekolah sehingga menumbuhkan rasa memiliki yang tinggi karena terakomodirnya masukan-masukan, dan menjadi harapan semua staf, dan (3) keputusan melalui kesepakatan dan demokratis. Ketiga wujud budaya mutu sekolah tersebut, kalau dikaji lebih mendalam merupakan kriteria-kriteria yang digunakan sebagai pedoman untuk melihat apakah sekolah itu efektif atau tidak, sekolah itu unggul atau tidak sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Danim (2006) tepatnya pada kriteria 7, 8, dan 9, yang masing-masing kriteria tersebut adalah pembuatan keputusan secara demokratis dan akuntabilitas, menciptakan rasa aman, sifat saling menghormati, dan mengakomodasikan lingkungan secara efektif serta mempunyai harapan yang tinggi kepada semua staf.


(42)

5. Tata Tertib Sekolah

Tata tertib sekolah dapat dibagi menjadi dua, yaitu tata tertib untuk guru, pegawai, dan warga sekolah dan tata tertib sekolah khusus untuk siswa, yang mengatur akan keteraturan sekolah. Tata tertib sekolah berisi kewajiban yang harus dilaksanakan, larangan yang harus dihindari, dan sanksi yang akan diberikan bagi yang melanggar kewajiban dan melakukan larangan sekolah.

Tata tertib sekolah unggul dirasakan sudah baik dan mapan, karena dirasakan tidak memberatkan, proses pembuatan melalui dibentuknya tim khusus atau melibatkan pihak-pihak warga sekolah yang tidak hanya pimpinan saja, tata tertib diterapkan tidak kaku dan bersifat reward. Disamping itu tata tertib yang dibuat tidak hanya mengatur ketentuan umum tetapi juga ada tata tertib yang mengatur ketentuan khusus.

Budaya mutu nampak pada tata tertib sekolah unggul dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 5.4 Tata tertib sekolah unggul

Tata tertib siswa Budaya mutu yang nampak

 kewajiban yang harus dilaksanakan oleh siswa  larangan yang harus dihindari

oleh siswa

 sanksi yang akan diberikan kepada siswa bagi yang melanggar kewajiban dan melakukan larangan sekolah.  kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh guru/pegawai  larangan yang harus dihindari

oleh guru/pegawai

 sanksi yang akan diberikan kepada guru/pegawai bagi yang melanggar kewajiban dan melakukan larangan sekolah.

 disusun oleh tim tertib (tim work yang solid)

 melibatkan warga sekolah, tidak hanya pimpinan saja

 diterapkan tidak kaku

 dirasakan tidak memberatkan  mengedepankan reward dari pada

hukuman

 dapat diterima dan dirasakan dengan baik

 disusun oleh tim khusus (tim work yang solid)

 melibatkan warga sekolah, tidak hanya pimpinan saja

 diterapkan tidak kaku

 dirasakan tidak memberatkan  sudah baik dan mapan

 dapat diterima dan dirasakan dengan baik


(43)

6. Fasilitas Sekolah

Fasilitas yang dimiliki oleh sekolah unggul adalah sarana dan prasarana atau fasilitas sekolah cukup lengkap dan memadahi untuk menunjang proses pembelajaran yang baik termasuk pemberian pengalaman belajar bagi siswa. Sarana prasarana dan fasilitas sekolah yang dimiliki antara lain: gedung yang representatif, ruang kelas yang luas dan representatif, laboratorium IPA, laboratorium bahasa, laboratorium komputer, pusat sumber belajar, perpustakaan sekolah, tempat ibadah sebagai pusat pengembangan dan pusat kegiatan ibadah siswa, halaman dan lapangan olah raga dan lain sebagainya.

Dalam rangka optimalisasi dalam menunjang keefektifan pembelajaran usaha-usaha yang dilakukan oleh sekolah adalam melakukan perawatan dan pemanfaatan fasilitas sekolah seefektif dan efisien mungkin, yang teknisnya diatur mekanisme pemakaian yang diatur oleh masing-masing koordinator laboratorium atau koordinator unit, sedang sekolah akan melakukan pemantauan, dan melakukan evaluasi keefektifan pemanfaatan fasilitas sekolah tersebut.

Tabel 5.5 Fasilitas sekolah dan budaya mutu sekolah unggul Fasilitas yang dimiliki Kondisi riil Budaya mutu yang nampak  gedung berlantai 3

 ruang kelas yang luas dan representatif  laboratorium IPA  laboratorium bahasa  laboratorium komputer  pusat sumber belajar  perpustakaan sekolah  tempat ibadah sebagai

pusat pengembangan dan pusat kegiatan ibadah siswa

 halaman dan lapangan olah raga dan lain

cukup lengkap dan memadahi untuk menunjang proses pembelajaran yang baik termasuk pemberian pengalaman belajar bagi siswa

 Usaha-usaha optimalisasi

 Usaha perawatan dan pemanfaatan fasilitas sekolah seefektif dan efisien mungkin  adanya mekanisme

pemakaian yang diatur oleh masing-masing koordinator laboratorium atau koordinator unit  pemantauan dan

evaluasi keefektifan oleh sekolah.


(44)

sebagainya.

Dengan demikian budaya mutu yang nampak pada pemberdayaan fasilitas sekolah adalah adanya usaha-usaha optimalisasi, usaha perawatan dan pemanfaatan keefektifan dan efisiensi, adanya mekanisme pemakaian yang baik, dan adanya pemantauan dan evaluasi oleh pimpinan sekolah. Dengan budaya mutu tersebut keefektifan penyelenggaraan pendidikan di sekolah, misalnya siswa-siswa lebih nyaman belajar di sekolah, suasana belajar yang menyenangkan, memudahkan belajar dan mengerjakan tugas bagi siswa, dan lain sebagainya, dan oleh Lezotte (1983) sekolah ini dapat dikategorikan sebagai sekolah yang unggul. Dapat dikatakan sebagai sekolah yang unggul itu karena memiliki karakteristik-karakteristik, antara lain: lingkungan sekolah yang aman dan tertib, iklim serta harapan yang tinggi, kesempatan untuk belajar dan mengerjakan tugas bagi siswa, dan lain sebagainya.

7. Suasana dan Hubungan Formal maupun Informal

Suasana dan hubungan formal dan informal dibangun dalam rangka memperlancar dan memperkokoh komitmen dari semua warga sekolah, dan sekolah sangat memperhatikan hubungan tersebut dengan wali siswa. Suasana kondusif yang dibangun tersebut melalui: (a) adanya komunikasi pimpinan dengan guru/warga sekolah dan melalui koordinasi yang kontinyu, (b) pemberian pengakuan bagi yang berprestasi oleh sekolah, (c) tidak diatur hubungan yang kaku tetapi saling menghormati dan akrab, dan (d) suasana yang dibangun oleh sekolah adalah suasana maju, kreatif, inovatif, berbuat yang terbaik, tuntutan kerja keras, koordinasi yang baik, mempunyai struktur


(45)

kepegawaian yang jelas, hubungan antar individu dan antara bawahan pimpinan baik, serta perhatian secara individu siswa oleh guru; (3) meskipun demikian tetap diterapkan mekanisme yang jelas bagi warga sekolah yang melakukan pelanggaran sekolah.

Budaya mutu sekolah unggul nampak pada suasana dan hubungan formal maupun informal

Tabel 5.6 Budaya mutu sekolah unggul

Suasana yang

dibangun Budaya mutu yang nampak pada suasana danhubungan formal dan informal

Suasana dan

hubungan formal dan hubungan informal dibangun dalam rangka memperlancar dan memperkokoh komitmen dari semua warga sekolah termasuk orang tua siswa

 komunikasi melalui koordinasi yang kontinyu  pengakuan bagi yang berprestasi

 tidak diatur hubungan yang kaku  saling menghormati

 akrab  tidak takut  anjang sana

 suasana maju, kreatif, inovatif  berbuat yang terbaik

 tuntutan kerja keras  koordinasi yang baik

 mempunyai struktur kepegawaian yang jelas  hubungan antar individu dan antara bawahan

pimpinan baik

 perhatian secara individu siswa oleh guru

 tetap diterapkan mekanisme yang jelas bagi warga sekolah yang melakukan pelanggaran sekolah. Wujud budaya mutu tersebut di atas, senada dengan apa yang dikatakan oleh Peter dan Waterman (Hanson, 1996) tentang nilai-nilai budaya yang secara konsisten dilaksanakan di sekolah yang baik dan sebagian indikator/elemen rumusan Depdiknas (2000) tentang beberapa elemen budaya mutu sekolah. Nilai-nilai budaya yang secara konsisten dilaksanakan di sekolah yang baik, oleh Peter dan Waterman (Hanson, 1996) adalah mutu dan pelayanan merupakan


(46)

hal yang harus diutamakan, selalu berupaya menjadi yang terbaik, memberikan perhatian penuh pada hal-hal yang nampak kecil, tidak membuat jarak dengan klien, melakukan sesuatu sebaik mungkin, bekerja melalui orang (bukan sekedar bekerjasama atau memerintahnya), memacu inovasi, dan toleransi terhadap usaha yang berhasil.

8. Sikap dan Perilaku Kepala Sekolah, Guru dan Tenaga Kependidikan Lainnya

Sikap dan perilaku kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya pada sekolah unggul dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) acuan, yaitu: (1) sikap dan perilaku mengacu pada tuntunan agama dan norma-norma umum, yaitu bersikap adil, bertegur sapa, penyambutan siswa dipintu gerbang sekolah oleh guru, bersalaman, memberi salam, berdo’a sebelum dan selesai beraktifitas di sekolah, saling menghormati, (2) sikap dan perilaku yang dibangun memberikan motivasi dan berprestasi, selalu belajar dari pengalaman, selalu melakukan evaluasi dan selalu memperbaiki untuk mencapai yang terbaik, (3) sikap dan perilaku dalam memberikan keteladanan dan jiwa sosial bagi siswa, yaitu sopan santun, ramah, senyum, memberikan layanan yang terbaik, sabar, bersodaqoh, dan lain-lain. Budaya mutu sekolah unggul nampak pada sikap dan perilaku.

Tabel 5.7 Acuan sikap dan perilaku Budaya mutu Acuan sikap dan

perilaku

Budaya mutu nampak pada sikap dan perilaku

`

Sikap dan perilaku mengacu pada tuntunan agama dan norma-norma umum

 bersikap adil

 bertegur sapa

 penyambutan siswa di pintu gerbang sekolah oleh guru


(47)

Acuan sikap dan perilaku

Budaya mutu nampak pada sikap dan perilaku

`  memberi salam

 berdo’a sebelum dan selesai beraktifitas di sekolah

 saling menghormati Sikap dan perilaku

yang dibangun memberikan motivasi dan berprestasi

 selalu belajar dari pengalaman

 selalu melakukan evaluasi

 dan selalu memperbaiki untuk mencapai yang terbaik

Sikap dan perilaku dalam memberikan keteladanan dan jiwa sosial bagi siswa

 sopan santun

 ramah

 senyum

 memberikan layanan yang terbaik

 sabar

 bersodaqoh, dan lain-lain

Indikator-indikator budaya mutu yang tampak pada sikap dan perilaku tersebut di atas nampaknya selaras dengan apa yang telah dikemukakan oleh Hasan (2006) tentang syarat ketiga kelembagaan pendidikan islam yang efektif yaitu membentuk lingkungan pendidikan yang kondusif yang mampu menciptakan iklim dan kultur sekolah yang Islami (school climate and school culture) yang memberikan suasana damai, bersih, tertib, aman, indah dan penuh kekeluargaan, lingkungan yang memberikan kebebasan peserta didik untuk berekspresi, mengem-bangkan minat dan bakatnya, berinteraksi sosial dengan sehat dan saling menghormati, dalam atmosfir yang mencitrakan suasana religius, etis, dan humanis.

Dari paparan pada bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan bahwa para kepala sekolah, guru, warga sekolah, stakeholder sekolah atau yang terkait termasuk pengawas, dan pengelola/pembina pendidikan perlu dibekali pemahaman konsep yang benar tentang budaya organisasi, budaya mutu sekolah dan


(48)

pengembangannya, serta konsep sekolah yang baik atau unggul. Dengan memiliki pemahaman konsep yang baik para kepala sekolah dan guru selaku pelaksana penyelenggara pendidikan yang didukung oleh warga sekolah, stakeholder sekolah atau yang terkait lainnya akan dapat mengembangkan budaya mutu sekolah dalam rangka pengembangan sekolah yang unggul, termasuk pengawas, dan pengelola/pembina pendidikan akan dapat membinanya dengan efektif dan efisien.

Dengan demikian, para kepala sekolah dan guru selaku pelaksana penyelenggara pendidikan yang didukung oleh warga sekolah, stakeholder sekolah atau yang terkait lainnya akan mampu mengembangkan budaya mutu sekolah secara sistematis melalui tahap-tahap pengembangan, yaitu: (a) tahap perumusan tujuan pengembangan yang dijiwai spirit dan nilai-nilai yang dilanjutkan dengan penetapan kebijakan, (b) tahap sosialisasi dan implementasi, dan (c) tahap evaluasi dan follow up. Dalam melakukan pengembangan budaya mutu tersebut, sekolah terlebih dahulu harus mengidentifikasi spirit dan nilai-nilai budaya mutu yang dijadikan sebagai landasan dan sumber dalam penyelenggaraan pendidikan pada sekolah, misalnya: spirit dan nilai-nilai perjuangan, spirit dan nilai-nilai ibadah, spirit dan nilai-nilai amanah, spirit dan nilai-nilai kebersamaan, spirit dan nilai-nilai disiplin, spirit dan nilai-nilai profesionalisme, spirit dan nilai-nilai menjaga eksistensi sekolah dan lain sebagainya. Spirit dan nilai-nilai tersebut, tercermin dalam setiap kegiatan, dalam mengambil keputusan, sikap dan perilaku warga sekolah, pola-pola manajemen yang dilakukan di sekolah.

Sebagai gambaran yang dapat membantu kita dalam melihat wujud budaya mutu sekolah unggul yang tercermin di sekolah,


(49)

misalnya yang nampak pada: (a) visi dan misi sekolah tercermin dalam program atau kegiatan sekolah, dan strategi pembelajaran yang diterapkan, (b) struktur organisasi dan deskripsi tugas sekolah tercermin dengan pembagian tugas yang jelas, garis instruktif dan koordinatif yang fungsional, (c) sistem dan prosedur kerja sekolah tercermin dengan sistem reward bagi siswa dan guru, dan upaya-upaya peningkatan profesional guru, (d) kebijakan dan aturan sekolah tercermin dalam proses pengambilan kebijakan atau keputusan sekolah yang melibatkan warga sekolah, (e) tata tertib sekolah tercermin dalam proses pembuatan tata tertib sekolah melalui team work yang solid, implementasi yang mengedepankan reward, dapat diterima dan dirasakan oleh warga sekolah dengan baik, (f) penampilan fisik (fasilitas) sekolah tercermin dengan usaha-usaha optimalisasi pemanfaatan fasilitas sekolah, perawatan, pemantauan dan evaluasi, (g) suasana dan hubungan formal dan informal tercermin dengan komunikasi melalui kooodinasi yang kontinyu, pengakuan bagi yang berprestasi, suasana saling menghormati, akrab, suasana maju, kreatif, inovatif, hubungan antar individu dan antara bawahan pimpinan yang baik, perhatian secara individu siswa oleh guru, serta pemberian tindakan yang jelas bagi warga sekolah yang melakukan pelanggaran di sekolah, dan (h) budaya mutu pada sekolah unggul yang nampak pada sikap dan perilaku kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya adalah tercermin dengan sikap dan perilaku dan norma-norma umum (bersikap adil, bertegur sapa, memberi salam, bersalaman, berdo’a sebelum dan selesai beraktifitas di sekolah, dan saling menghormati), sikap-sikap motivasi dan berprestasi, sikap keteladanan dan berjiwa sosial.


(50)

Berdasarkan pengembangan budaya mutu dalam rangka mengembangkan sekolah unggul tersebut diatas, dapat digambarkan dalam diagram konteks pada gambar berikut.

Gambar 5.4 Budaya mutu dalam mengembangkan sekolah unggul


(51)

DAFTAR RUJUKAN

Bafadal, I. 2002. Akselerasi Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar. Artikel diterbitkan di Jurnal FIP Universitas Negeri Malang.

Caldweel. B.J. & J.M. Spinks. 1993. Leading the Self Managing School. London, Washington: The Falmer Press.

Danim, S. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah: dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Departemen Pendidikan Nasional. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Buku 1. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan menengah Umum.

Direktorat Pendidikan menengah Umum, Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Pengembangan Kultur Sekolah. Jakarta: Dit Dikmenum

DeRoche, F.E. 1985. How School Administrators Solve Problem. Engelwood Cliffs. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Elfahmi, H.S., 2006. Sekolah Unggul: Menciptakan Sekolah sebagai Sumber Solusi dan Rumah yang Menyenangkan bagi Setiap Penghuninya. Makalah disajikan dalam National Congress & Business Forum 2006 diselenggarakan Magistra Utama, Surabaya, 4 Maret 2006.

Greemers, B.P.M., & Reynold, D. (ed). 1993. School Effectiveness and School Improvement. An. International Journal of Research, Pollicy and Practice. Lisse: Sweets & Zietlinger.

Frymier. J. Cornbleth, C., Donmoyer, R. Gansneder, B.M., Jeter, J.T., Klein, M.F., Schwab, M., dan Alexander, W.M. 1984. One Hundred Good Schools, Indiana: Phidelta Kappa Publication. Hanson, E.M. 1996. Educational Administration and Organizational


(52)

Harris, Philip R. 1998. The New Work Culture. Amherst: HRD Press. Hasan, M. Tholchah. 2005. Pendidikan Islam Sebagai Upaya Sadar

Penyelematan dan Pengembangan Fitrah Manusia: Pidato ilmiah pada Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) Dalam Bidang Pendidikan Islam pada 30 April 2005 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Hodge, B.J., & W.P. Anthony. 1988. Organizational Theory (3 rd. ed.). Boston, Massa-Chusetts: Allyn and Bacon, Inc.

Hoy, W.K. dan Ferguson, J. “A. Theoretical Framework and Explanation of Organizational Effectiveness of School” Administration Quarterly, Volume XXI, no. 2 Spring 1985, halaman 117-132.

Hoy, W.K. dan Miskel C.G. 1982. Educational Administration Theory, Research, and Practice. Second Edition. New York: Random House, Inc.

Lezotte, Lawrence, Bancroft, Baverley A. 1985. Effective Schools: What Works and Doesn’t Work.. New York: NYT News Letter March.

Macbeath, J. & Mortimore, P. 2005. Improving School Effectiveness. Jakarta: PT. Grasindo.

Moedjiarto, 2002. Sekolah Unggul. Jakarta: CV. Duta Graha Pustaka. Owens, R.G. 1987. Organizational Behavior In Education. New

Jersey: Engelwood Cliffs Prentice Hall, Inc.

Owens, R.G. 1995. Organizational Behavior In Education. Boston: Allyn and Bacon.

Peters, T.J., & Waterman, R.H. Jr. 1982. In Search of Excellent: lesson from America’s Best Run Companies. New York: Harper and Row Publisher, Inc.

Peterson, M.W. (ed). 1986. Organizational Culture in The Study of Higher Education, ASHE Reader on Organization and


(53)

Gabvermance in Higher Education: (3 rd ed.). Lexington: Ginn Press.

Robbins, S.P. 1991. Organizational Behavior (5 th ed.). New Jersey: Engelwood Cliffs Prentice Hall, Inc.

Robbins, S.P. 2003. Perilaku Organsasi. Edisi Indonesia. Jakarta: PT. INDEKS Kelompok GRAMEDIA.

Sergiovanni. T.J. 1987. The Principalship: A. Reflective Practice Perspective. Bonton: Allyn and Bacon Inc.

Sergiovanni. T.J., M. Burlingame, F.S. Coombs, & P.W. Thurson. 1987. Educational Goverrance and Administration. (2 rd. ed.). New York: Prentice Hall, Inc.

Soetopo, H. 2001. Hubungan Karakteristik Bawahan, Kontrol Situasi, Gaya Kepe-mimpinan, Budaya Organisasi, dan iklim Organisasi dengan Keefektifan Organisasi pada Universitas Swasta. Disertasi Tidak Dipublikasikan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Sonhadji, K.H. A. 1991. Birokrasi Hubungan Manusia dan Budaya dalam Organisasi. Malang: PPS IKIP Malang.


(54)

LAMPIRAN

BAHAN DISKUSI

1. Sebagai kepala sekolah langkah-langkah apa yang Anda lakukan untuk menerapkan budaya

organisasi di sekolah Anda dan bagaimana cara Anda mengingatkan guru ’anak buah’ yang belum atau tidak melakukannya.

2. Bagaimana cara Anda untuk menentukan bahwa suatu sekolah sudah menerapkan budaya mutu

atau belum?

3. Menurut pendapat Anda apakah yang dimaksud dengan sekolah unggul? Apa sama maksudnya

dengan sekolah unggulan atau kelas unggulan? Jelaskan.

4. Bagaimana kaitan antara budaya mutu dan sekolah unggul? Jelaskan.

5. Bagaimana konsep atau langkah-langkah Anda sebagai kepala sekolah untuk mewujudkan


(1)

misalnya yang nampak pada: (a) visi dan misi sekolah tercermin dalam program atau kegiatan sekolah, dan strategi pembelajaran yang diterapkan, (b) struktur organisasi dan deskripsi tugas sekolah tercermin dengan pembagian tugas yang jelas, garis instruktif dan koordinatif yang fungsional, (c) sistem dan prosedur kerja sekolah tercermin dengan sistem reward bagi siswa dan guru, dan upaya-upaya peningkatan profesional guru, (d) kebijakan dan aturan sekolah tercermin dalam proses pengambilan kebijakan atau keputusan sekolah yang melibatkan warga sekolah, (e) tata tertib sekolah tercermin dalam proses pembuatan tata tertib sekolah melalui team work yang solid, implementasi yang mengedepankan reward, dapat diterima dan dirasakan oleh warga sekolah dengan baik, (f) penampilan fisik (fasilitas) sekolah tercermin dengan usaha-usaha optimalisasi pemanfaatan fasilitas sekolah, perawatan, pemantauan dan evaluasi, (g) suasana dan hubungan formal dan informal tercermin dengan komunikasi melalui kooodinasi yang kontinyu, pengakuan bagi yang berprestasi, suasana saling menghormati, akrab, suasana maju, kreatif, inovatif, hubungan antar individu dan antara bawahan pimpinan yang baik, perhatian secara individu siswa oleh guru, serta pemberian tindakan yang jelas bagi warga sekolah yang melakukan pelanggaran di sekolah, dan (h) budaya mutu pada sekolah unggul yang nampak pada sikap dan perilaku kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya adalah tercermin dengan sikap dan perilaku dan norma-norma umum (bersikap adil, bertegur sapa, memberi salam, bersalaman, berdo’a sebelum dan selesai beraktifitas di sekolah, dan saling menghormati), sikap-sikap motivasi dan berprestasi, sikap keteladanan dan berjiwa sosial.


(2)

Berdasarkan pengembangan budaya mutu dalam rangka mengembangkan sekolah unggul tersebut diatas, dapat digambarkan dalam diagram konteks pada gambar berikut.

Gambar 5.4 Budaya mutu dalam mengembangkan sekolah unggul


(3)

DAFTAR RUJUKAN

Bafadal, I. 2002. Akselerasi Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar. Artikel diterbitkan di Jurnal FIP Universitas Negeri Malang.

Caldweel. B.J. & J.M. Spinks. 1993. Leading the Self Managing School. London, Washington: The Falmer Press.

Danim, S. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah: dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Departemen Pendidikan Nasional. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Buku 1. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan menengah Umum.

Direktorat Pendidikan menengah Umum, Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Pengembangan Kultur Sekolah. Jakarta: Dit Dikmenum

DeRoche, F.E. 1985. How School Administrators Solve Problem. Engelwood Cliffs. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Elfahmi, H.S., 2006. Sekolah Unggul: Menciptakan Sekolah sebagai Sumber Solusi dan Rumah yang Menyenangkan bagi Setiap Penghuninya. Makalah disajikan dalam National Congress & Business Forum 2006 diselenggarakan Magistra Utama, Surabaya, 4 Maret 2006.

Greemers, B.P.M., & Reynold, D. (ed). 1993. School Effectiveness and School Improvement. An. International Journal of Research, Pollicy and Practice. Lisse: Sweets & Zietlinger.

Frymier. J. Cornbleth, C., Donmoyer, R. Gansneder, B.M., Jeter, J.T., Klein, M.F., Schwab, M., dan Alexander, W.M. 1984. One Hundred Good Schools, Indiana: Phidelta Kappa Publication. Hanson, E.M. 1996. Educational Administration and Organizational


(4)

Harris, Philip R. 1998. The New Work Culture. Amherst: HRD Press. Hasan, M. Tholchah. 2005. Pendidikan Islam Sebagai Upaya Sadar

Penyelematan dan Pengembangan Fitrah Manusia: Pidato ilmiah pada Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) Dalam Bidang Pendidikan Islam pada 30 April 2005 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Hodge, B.J., & W.P. Anthony. 1988. Organizational Theory (3 rd. ed.). Boston, Massa-Chusetts: Allyn and Bacon, Inc.

Hoy, W.K. dan Ferguson, J. “A. Theoretical Framework and Explanation of Organizational Effectiveness of School” Administration Quarterly, Volume XXI, no. 2 Spring 1985, halaman 117-132.

Hoy, W.K. dan Miskel C.G. 1982. Educational Administration Theory, Research, and Practice. Second Edition. New York: Random House, Inc.

Lezotte, Lawrence, Bancroft, Baverley A. 1985. Effective Schools: What Works and Doesn’t Work.. New York: NYT News Letter March.

Macbeath, J. & Mortimore, P. 2005. Improving School Effectiveness. Jakarta: PT. Grasindo.

Moedjiarto, 2002. Sekolah Unggul. Jakarta: CV. Duta Graha Pustaka. Owens, R.G. 1987. Organizational Behavior In Education. New

Jersey: Engelwood Cliffs Prentice Hall, Inc.

Owens, R.G. 1995. Organizational Behavior In Education. Boston: Allyn and Bacon.

Peters, T.J., & Waterman, R.H. Jr. 1982. In Search of Excellent: lesson from America’s Best Run Companies. New York: Harper and Row Publisher, Inc.


(5)

Gabvermance in Higher Education: (3 rd ed.). Lexington: Ginn

Press.

Robbins, S.P. 1991. Organizational Behavior (5 th ed.). New Jersey: Engelwood Cliffs Prentice Hall, Inc.

Robbins, S.P. 2003. Perilaku Organsasi. Edisi Indonesia. Jakarta: PT. INDEKS Kelompok GRAMEDIA.

Sergiovanni. T.J. 1987. The Principalship: A. Reflective Practice Perspective. Bonton: Allyn and Bacon Inc.

Sergiovanni. T.J., M. Burlingame, F.S. Coombs, & P.W. Thurson. 1987. Educational Goverrance and Administration. (2 rd. ed.). New York: Prentice Hall, Inc.

Soetopo, H. 2001. Hubungan Karakteristik Bawahan, Kontrol Situasi, Gaya Kepe-mimpinan, Budaya Organisasi, dan iklim Organisasi dengan Keefektifan Organisasi pada Universitas Swasta. Disertasi Tidak Dipublikasikan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Sonhadji, K.H. A. 1991. Birokrasi Hubungan Manusia dan Budaya dalam Organisasi. Malang: PPS IKIP Malang.


(6)

LAMPIRAN

BAHAN DISKUSI

1. Sebagai kepala sekolah langkah-langkah apa yang Anda lakukan untuk menerapkan budaya

organisasi di sekolah Anda dan bagaimana cara Anda mengingatkan guru ’anak buah’ yang belum atau tidak melakukannya.

2. Bagaimana cara Anda untuk menentukan bahwa suatu sekolah sudah menerapkan budaya mutu

atau belum?

3. Menurut pendapat Anda apakah yang dimaksud dengan sekolah unggul? Apa sama maksudnya

dengan sekolah unggulan atau kelas unggulan? Jelaskan.

4. Bagaimana kaitan antara budaya mutu dan sekolah unggul? Jelaskan.

5. Bagaimana konsep atau langkah-langkah Anda sebagai kepala sekolah untuk mewujudkan