Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesenjangan Keberadaan Perempuan Dalam Kepemimpinan Kepala Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon T2 942011004 BAB V
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
5.1.1. Kesenjangan Keberadaan Guru Perempuan
Dalam
Kepemimpinan
Sebagai
Kepala
Sekolah
Realita kesenjangan keberadaan kepala sekolah
perempuan di kota Ambon terjadi karena mereka
sendiri
(guru
perempuan)
tidak
terbuka
bagi
pengembangan diri mereka. Perempuan lebih merasa
puas menjalankan peran sebatas menjadi guru, melihat
peran kepala sekolah sebagai “beban” kerja yang berat.
5.1.2.
Kesenjangan
Keberadaan
Kepala
Sekolah
Perempuan Dalam Proses Pemilihan Kepala
Sekolah
Realita kesenjangan kepala sekolah perempuan
dalam seluruh rangkai proses pemilihan kepala sekolah
di kota Ambon dapat dilihat dalam dua aspek, yakni:
Pertama. Internal, Guru perempuan sendirilah yang
telah
merasa
kalah
sebelum
memasuki
proses
pencalonan karena perasaan rendah diri dan ragu-
87
ragu;
adanya pengalaman masa lalu yang tidak adil
terhadap
perempuan,
kepemimpinan
perempuan;
ketidaktransparan
berperannya
prasangka
Kedua.
terhadap
partai
politik,
negatif
hasil
adanya
terhadap
Eksternal,
tes
LPMP;
politik
uang,
kedekatan dengan pemerintah (misalnya walikota dan
kepala dinas). Kedua aspek tersebut saling berkaitan
ditenggarai sebagai penyebab perempuan selama ini
terpinggirkan dan didiskriminasi.
5.1.3.
Kesenjangan
Keberadaan
Kepala
Sekolah
Perempuan
Dalam
Kompetensi
Kepala
Sekolah
Kompetensi
kualitas
antara
kepala
seseorang
kepala
sekolah
dalam
sekolah
sebagai
penerapannya
laki-laki
dan
ukuran
ternyata
perempuan
memiliki perbedaan.
5.1.3.1. Kompetensi Kepribadian
Kepala sekolah perempuan dalam penerapan
kompetensi kepribadian lebih memiliki sifat keibuan,
sabar
dan
telaten,
lebih
berhati-hati,
banyak
pertimbangan, kurang berani mengambil keputusan,
dalam
mengatasi
perasaan,
masalah
bersikap
berkeinginan
untuk
lebih
lebih
tertutup
menggunakan
dan
mengembangkan
kurang
karirnya.
Sedangkan, kepala sekolah laki-laki kurang sabar,
88
kurang telaten, lebih berwibawah, berani mengambil
resiko, dalam mengambil keputusan lebih rasional,
lebih terbuka dansangat memiliki keinginan untuk
mengembangkan karirnya.
5.1.3.2. Kompetensi Manajerial
Kepala sekolah perempuan dalam penerapan
kompetensi
manajerial
jauh
lebih
baik
dalam
menyusun perencanaan, pengorganisasian dan kontrol.
Akan tetapi perempuan membutuhkan waktu yang
relative lama karena banyak pertimbangan, Sedangkan,
kepala sekolah laki-laki dalam membuat perencanaan
lebih bersifat umum namun lebih cepat daripada
perempuan.
Selain
itu
dalam
pengelolahan
administrasi, monitoring dan pelaporan pelaksanaan
kegiatan sekolah perempuan lebih rapi dan mudah
dideteksi pekerjaannya oleh pengawas. dalam bidang
manajemen sarana dan prasarana kepala sekolah
perempuan lebih memperhatikan lingkungan sekolah di
banding dengan kepala sekolah laki-laki.
perempuan
dalam pelaksanaaan Manajemen keuangan dianggap
lebih baik teliti, berhati-hati dalam pengecekan dan
persetujuan pembiayaan kegiatan. Sebaliknya, kepala
sekolah laki-laki kurang teliti, kurang mau mengecek
ulang dan cenderung lebih cepat dalam memberikan
persetujuan.
89
5.1.3.3. Kompetensi Kewirausahaan
Kepala sekolah perempuan dalam penerapan
kompetensi
kewirausahan
lebih
inovatif
dalam
pengembangan dan pengelolahan sumberdaya demi
menunjang kebutuhan sekolah dibandingkan dengan
laki-laki yang merasa sulit berinovasi. Kepala sekolah
laki-laki
lebih
mempercayakan
pengelolahan
kewirausahaan sekolah kepada bawahannya.
5.1.3.4. Kompetensi Supervisi
Kepala sekolah perempuan dalam penerapan
kompetensi
supervisi
terkait
dengan
perencanaan
akademik untuk meningkatkan profesionalisme para
guru sebagai anak buahnya lebih memiliki perencanaan
yang
menyeluruh,
satu
persatu
anak
buahnya
mendapat penilaian, indikator dan skoring yang jelas,
demikian pula dalam pelaksanaan cukup cermat, jeli
dan lengkap. Sedangkan, laki-laki dalam melakukan
supervisi pendidikan menekankan aspek-aspek yang
bersifat global dan umum, kurang teliti, kurang jelas.
Kepala sekolah perempuan dalam hal menegur lebih
halus dan berhati-hati. Sedangkan, laki-laki lebih
berani dan lebih tegas.
90
5.1.3.5. Kompetensi Sosial
Kepala sekolah perempuan dalam penerapan
kompetensi
sosial:
berperasaan,
relasi
mudah
dengan
tesinggung
bawahan
dan
lebih
sensitif.
Sedangkan kepala sekolah laki-laki lebih memakai
pikiran. Selain itu, dalam partisipasi sosial dengan
lingkungan sekitar sekolah, kepala sekolah perempuan
lebih sering melibatkan dirinya di bandingkan dengan
kepala sekolah laki-laki.
5.1.4.
Kesenjangan
Keberadaan
Perempuan
Sebagai
Kepemimpinan
Kepala
Sekolah
Berkaitan Dengan Budaya Patriakhal.
Kesenjangan
keberadaan
kepala
sekolah
perempuan mengerucut dalam anggapan bahwa guru
laki-laki lebih pantas dan tepat untuk menjadi kepala
sekolah (posisi utama/ruang publik) dibandingkan
dengan guru perempuan yang hanya tepat untuk
menjadi seorang guru (Subordinatif/”kelas dua”/ruang
domestik).
Asumsi
tersebut
mengindikasikan
telah
terbentuknya pola pikir patriakhi yang masih melekat
dalam masyarakat secara khusus berimplikasi pada
dunia pendidikan.
91
5.2. SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka beberapa
saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Penyebab kesenjangan keberadaan perempuan
dalam kepemimpinan kepala sekolah terletak
pada dirinya sendiri. Atas dasar itu maka,
penting jika guru-guru perempuan harus bisa
membuka diri dan lebih mengikuti perkembangan
zaman yang sudah semakin berubah dan lebih
menyadari bahwa dirinya adalah manusia yang
bermartabat dan haknya sama dengan guru lakilaki sehingga guru perempuan juga memiliki
kesempatan
yang
sama
dan
dapat
diperhitungkan posisi dan perannya dalam dunia
pendidikan di kota Ambon.
2.
Peran dan tanggungjawab seorang kepala sekolah
sebagai pemimpin bagi guru-guru yang lain dapat
menjadi sarana tak langsung sebagai upaya
pengkaderan
dipandang
bagi
guru
memiliki
dikembangkan
dalam
perempuan
potensi
memenuhi
yang
yang
dapat
kompetensi
untuk menjadi kepala sekolah. Dengan demikian,
peran kepala sekolah dapat memainkan fungsi
92
Kontrol terhadap proses pemilihan yang akan
berjalan.
3.
Keterwakilan kepala sekolah perempuan dan lakilaki
dalam
didukung
kepemimpinan
oleh
kinerja
pendidikan
Badan
mesti
Kepegawaian
Daerah (BKD) dan Baperjakat dari pemerintah
kota Ambon untuk secara konkrit memediasi cara
kerja proses pemilihan kepala sekolah dengan
sistim
yang
transparan
dugaan-dugaan
adanya
agar
terhindar
penyimpangan
dari
bagi
kepentingan instansi atau organisasi-organisasi
tertentu.
5.3. KETERBATASAN
Penelitian Kesenjangan Keberadaan Perempuan
Dalam
Kepemimpinan
Kepala
Sekolah
Menengah
Pertama Di Kota Ambon ditekankan tentang penyebab
kesenjangan
keberadaan
perempuan
dalam
kepemimpinan kepala sekolah, kesenjangan dalam
proses
pemilihan,
kepala
sekolah,
kesenjangan
dan
dalam
kesenjangan
kompetensi
dalam
budaya
patriakhal. Penulis menyadari masih ada hal lain yang
dapat dituangkan dalam penulisan tesis ini dan dapat
diperdalam lagi yaitu mengenai dukungan keluarga dan
lingkungan sebagai suatu bentuk dukungan bagi guru
perempuan untuk mengembangkan karir. Keterbatasan
lain dalam penelitian ini yaitu penulis belum mengkaji
93
tentang kesenjangan proses pemilihan kepala sekolah
secara khusus mengenai kinerja TIM dan Baperjakat
sebagai
penanggung-jawab
pelaksana
seleksi
yang
belum transparan dalam proses penentuan hasil seleksi
dari guru-guru.
Kekurangan ini dapat menjadi penelitian lanjutan
untuk melengkapi penelitian awal ini terkait dengan
Kesenjangan
Kepemimpinan
Perempuan
Dalam
Kepemimpinan Kepala Sekolah di Sekolah Menengah
Pertama Di Kota Ambon.
94
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
5.1.1. Kesenjangan Keberadaan Guru Perempuan
Dalam
Kepemimpinan
Sebagai
Kepala
Sekolah
Realita kesenjangan keberadaan kepala sekolah
perempuan di kota Ambon terjadi karena mereka
sendiri
(guru
perempuan)
tidak
terbuka
bagi
pengembangan diri mereka. Perempuan lebih merasa
puas menjalankan peran sebatas menjadi guru, melihat
peran kepala sekolah sebagai “beban” kerja yang berat.
5.1.2.
Kesenjangan
Keberadaan
Kepala
Sekolah
Perempuan Dalam Proses Pemilihan Kepala
Sekolah
Realita kesenjangan kepala sekolah perempuan
dalam seluruh rangkai proses pemilihan kepala sekolah
di kota Ambon dapat dilihat dalam dua aspek, yakni:
Pertama. Internal, Guru perempuan sendirilah yang
telah
merasa
kalah
sebelum
memasuki
proses
pencalonan karena perasaan rendah diri dan ragu-
87
ragu;
adanya pengalaman masa lalu yang tidak adil
terhadap
perempuan,
kepemimpinan
perempuan;
ketidaktransparan
berperannya
prasangka
Kedua.
terhadap
partai
politik,
negatif
hasil
adanya
terhadap
Eksternal,
tes
LPMP;
politik
uang,
kedekatan dengan pemerintah (misalnya walikota dan
kepala dinas). Kedua aspek tersebut saling berkaitan
ditenggarai sebagai penyebab perempuan selama ini
terpinggirkan dan didiskriminasi.
5.1.3.
Kesenjangan
Keberadaan
Kepala
Sekolah
Perempuan
Dalam
Kompetensi
Kepala
Sekolah
Kompetensi
kualitas
antara
kepala
seseorang
kepala
sekolah
dalam
sekolah
sebagai
penerapannya
laki-laki
dan
ukuran
ternyata
perempuan
memiliki perbedaan.
5.1.3.1. Kompetensi Kepribadian
Kepala sekolah perempuan dalam penerapan
kompetensi kepribadian lebih memiliki sifat keibuan,
sabar
dan
telaten,
lebih
berhati-hati,
banyak
pertimbangan, kurang berani mengambil keputusan,
dalam
mengatasi
perasaan,
masalah
bersikap
berkeinginan
untuk
lebih
lebih
tertutup
menggunakan
dan
mengembangkan
kurang
karirnya.
Sedangkan, kepala sekolah laki-laki kurang sabar,
88
kurang telaten, lebih berwibawah, berani mengambil
resiko, dalam mengambil keputusan lebih rasional,
lebih terbuka dansangat memiliki keinginan untuk
mengembangkan karirnya.
5.1.3.2. Kompetensi Manajerial
Kepala sekolah perempuan dalam penerapan
kompetensi
manajerial
jauh
lebih
baik
dalam
menyusun perencanaan, pengorganisasian dan kontrol.
Akan tetapi perempuan membutuhkan waktu yang
relative lama karena banyak pertimbangan, Sedangkan,
kepala sekolah laki-laki dalam membuat perencanaan
lebih bersifat umum namun lebih cepat daripada
perempuan.
Selain
itu
dalam
pengelolahan
administrasi, monitoring dan pelaporan pelaksanaan
kegiatan sekolah perempuan lebih rapi dan mudah
dideteksi pekerjaannya oleh pengawas. dalam bidang
manajemen sarana dan prasarana kepala sekolah
perempuan lebih memperhatikan lingkungan sekolah di
banding dengan kepala sekolah laki-laki.
perempuan
dalam pelaksanaaan Manajemen keuangan dianggap
lebih baik teliti, berhati-hati dalam pengecekan dan
persetujuan pembiayaan kegiatan. Sebaliknya, kepala
sekolah laki-laki kurang teliti, kurang mau mengecek
ulang dan cenderung lebih cepat dalam memberikan
persetujuan.
89
5.1.3.3. Kompetensi Kewirausahaan
Kepala sekolah perempuan dalam penerapan
kompetensi
kewirausahan
lebih
inovatif
dalam
pengembangan dan pengelolahan sumberdaya demi
menunjang kebutuhan sekolah dibandingkan dengan
laki-laki yang merasa sulit berinovasi. Kepala sekolah
laki-laki
lebih
mempercayakan
pengelolahan
kewirausahaan sekolah kepada bawahannya.
5.1.3.4. Kompetensi Supervisi
Kepala sekolah perempuan dalam penerapan
kompetensi
supervisi
terkait
dengan
perencanaan
akademik untuk meningkatkan profesionalisme para
guru sebagai anak buahnya lebih memiliki perencanaan
yang
menyeluruh,
satu
persatu
anak
buahnya
mendapat penilaian, indikator dan skoring yang jelas,
demikian pula dalam pelaksanaan cukup cermat, jeli
dan lengkap. Sedangkan, laki-laki dalam melakukan
supervisi pendidikan menekankan aspek-aspek yang
bersifat global dan umum, kurang teliti, kurang jelas.
Kepala sekolah perempuan dalam hal menegur lebih
halus dan berhati-hati. Sedangkan, laki-laki lebih
berani dan lebih tegas.
90
5.1.3.5. Kompetensi Sosial
Kepala sekolah perempuan dalam penerapan
kompetensi
sosial:
berperasaan,
relasi
mudah
dengan
tesinggung
bawahan
dan
lebih
sensitif.
Sedangkan kepala sekolah laki-laki lebih memakai
pikiran. Selain itu, dalam partisipasi sosial dengan
lingkungan sekitar sekolah, kepala sekolah perempuan
lebih sering melibatkan dirinya di bandingkan dengan
kepala sekolah laki-laki.
5.1.4.
Kesenjangan
Keberadaan
Perempuan
Sebagai
Kepemimpinan
Kepala
Sekolah
Berkaitan Dengan Budaya Patriakhal.
Kesenjangan
keberadaan
kepala
sekolah
perempuan mengerucut dalam anggapan bahwa guru
laki-laki lebih pantas dan tepat untuk menjadi kepala
sekolah (posisi utama/ruang publik) dibandingkan
dengan guru perempuan yang hanya tepat untuk
menjadi seorang guru (Subordinatif/”kelas dua”/ruang
domestik).
Asumsi
tersebut
mengindikasikan
telah
terbentuknya pola pikir patriakhi yang masih melekat
dalam masyarakat secara khusus berimplikasi pada
dunia pendidikan.
91
5.2. SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka beberapa
saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Penyebab kesenjangan keberadaan perempuan
dalam kepemimpinan kepala sekolah terletak
pada dirinya sendiri. Atas dasar itu maka,
penting jika guru-guru perempuan harus bisa
membuka diri dan lebih mengikuti perkembangan
zaman yang sudah semakin berubah dan lebih
menyadari bahwa dirinya adalah manusia yang
bermartabat dan haknya sama dengan guru lakilaki sehingga guru perempuan juga memiliki
kesempatan
yang
sama
dan
dapat
diperhitungkan posisi dan perannya dalam dunia
pendidikan di kota Ambon.
2.
Peran dan tanggungjawab seorang kepala sekolah
sebagai pemimpin bagi guru-guru yang lain dapat
menjadi sarana tak langsung sebagai upaya
pengkaderan
dipandang
bagi
guru
memiliki
dikembangkan
dalam
perempuan
potensi
memenuhi
yang
yang
dapat
kompetensi
untuk menjadi kepala sekolah. Dengan demikian,
peran kepala sekolah dapat memainkan fungsi
92
Kontrol terhadap proses pemilihan yang akan
berjalan.
3.
Keterwakilan kepala sekolah perempuan dan lakilaki
dalam
didukung
kepemimpinan
oleh
kinerja
pendidikan
Badan
mesti
Kepegawaian
Daerah (BKD) dan Baperjakat dari pemerintah
kota Ambon untuk secara konkrit memediasi cara
kerja proses pemilihan kepala sekolah dengan
sistim
yang
transparan
dugaan-dugaan
adanya
agar
terhindar
penyimpangan
dari
bagi
kepentingan instansi atau organisasi-organisasi
tertentu.
5.3. KETERBATASAN
Penelitian Kesenjangan Keberadaan Perempuan
Dalam
Kepemimpinan
Kepala
Sekolah
Menengah
Pertama Di Kota Ambon ditekankan tentang penyebab
kesenjangan
keberadaan
perempuan
dalam
kepemimpinan kepala sekolah, kesenjangan dalam
proses
pemilihan,
kepala
sekolah,
kesenjangan
dan
dalam
kesenjangan
kompetensi
dalam
budaya
patriakhal. Penulis menyadari masih ada hal lain yang
dapat dituangkan dalam penulisan tesis ini dan dapat
diperdalam lagi yaitu mengenai dukungan keluarga dan
lingkungan sebagai suatu bentuk dukungan bagi guru
perempuan untuk mengembangkan karir. Keterbatasan
lain dalam penelitian ini yaitu penulis belum mengkaji
93
tentang kesenjangan proses pemilihan kepala sekolah
secara khusus mengenai kinerja TIM dan Baperjakat
sebagai
penanggung-jawab
pelaksana
seleksi
yang
belum transparan dalam proses penentuan hasil seleksi
dari guru-guru.
Kekurangan ini dapat menjadi penelitian lanjutan
untuk melengkapi penelitian awal ini terkait dengan
Kesenjangan
Kepemimpinan
Perempuan
Dalam
Kepemimpinan Kepala Sekolah di Sekolah Menengah
Pertama Di Kota Ambon.
94