Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesenjangan Keberadaan Perempuan Dalam Kepemimpinan Kepala Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon T2 942011004 BAB IV

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Profil Pendidikan Di Ambon

Pemerintah kota Ambon dalam pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun diarahkan pada beberapa hal misalnya: pada peningkatan pemerataan dan akses pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan, manajemen dan tata kelola pendidikan, serta tingkat pencapaian Standar Pelayanan Minimal di bidang pendidikan tahun 2010. Tingkat pencapaian Standar Pelayanan Minimal pada bidang pendidikan terlihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1

Angka Partisipasi pendidikan

Sumber data: dari Dinas Pendidikan Kota Ambon Tahun 2010

Tabel 4.1 tentang Angka Partisipasi Kasar (APK) sebagai indikator utama pemerataan dan perluasan akses pendidikan di Ambon menunjukkan bahwa

NO Satuan Pendidikan Angka Partisipasi

APK APM

1 SD/Mi/ Paket A 114,79 % 100,72 % 2 SMP/MITs/ Paket B 97,75 % 99,71 % 3 SMA/ SMK/MA/ Paket C 93,51 % 77,92 %


(2)

partisipasi pendidikan pada tingkat pendidikan dasar (SD) dan menengah (SMP) relatif tinggi daripada tingkat pendidikan atas (SMA). Hal serupa juga terjadi pada Angka Partisipasi Murid.

Tabel 4.2

Jumlah Guru Yang Memiliki Standar Kualifikasi S1

NO Satuan Pendidikan

Guru Berkualifikasi

S1

1 SD/Mi 26,87%

2 SMP/MITs 28,12%

3 SMA/ SMK/MA 44,38%

Sumber Data: Dari Dinas Pendidikan Kota Ambon tahun 2011

Tabel 4.2 tentang guru yang memiliki Standar

Kualifikasi S1 menunjukkan bahwa guru

SMA/SMK/MA memiliki lebih banyak guru yang berkualifikasi S1. Posisi selanjutnya ditempati SMP/MITs, disusul oleh Guru-guru SD/Mi.

Tabel 4.3

Jumlah Guru, Kepala Sekolah Dan Jumlah Guru Peserta Seleksi Kepala Sekolah

NO Jabatan Jumlah

1 Guru 1925

2 Kepala Sekolah 54

3 Guru Peserta Seleksi Kepala Sekolah 61


(3)

Tabel 4.3 menunjukkan jumlah Guru di kota Ambon adalah 1925 orang. Selanjutnya, jumlah Kepala sekolah adalah 54 orang. Terakhir, jumlah Guru Peserta Seleksi Kepala Sekolah adalah 61 orang.

4.2.

Kesenjangan

Keberadaan

Guru

Perempuan

Dalam

Kepemimpinan

Sebagai Kepala Sekolah

.

Kesenjangan keberadaan guru perempuan dalam kepemimpinan sebagai kepala sekolah Menengah Pertama dapat dilihat berdasarkan jumlah Guru dan Kepala Sekolah yang terklasifikasikan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Sebagaimana termuat dalam tabel berikut:

Tabel 4.4

Jumlah Guru dan Kepala Sekolah Menengah Pertama

Jabatan L % P % Jumlah

Guru 484 25.14 1441 74.86 1925 KepSek 34 62.96 20 37.04 54

Sumber data: dari Dinas Pendidikan Tahun 2011

Tabel 4.4 tentang jumlah guru laki-laki dan perempuan, serta guru yang diangkat menjadi kepala sekolah, jelas memperlihatkan adanya kesenjangan gender yang mencolok. Guru pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kota Ambon didominasi oleh guru


(4)

perempuan sebanyak 74,86 % dari total jumlah guru. Tetapi, yang menjadi kepala sekolah hanya sebanyak 20 orang. Sebaliknya, guru laki-laki yang jumlahnya lebih sedikit yakni 25,14% dari total jumlah guru tetapi, yang menjadi kepala sekolah sebanyak 34 orang. Dengan demikian, jumlah guru laki-laki yang menjadi kepala sekolah lebih banyak dibandingkan guru perempuan.

Kesenjangan dalam angka pada tabel 4.4 terkuak dalam wawancara yang dilakukan peneliti. Ada berbagai asumsi dan harapan yang dapat ditemukan sebagai alasan terjadinya fenomena itu, terutama adanya prasangka dan pendapat bahwa perempuan lebih cocok untuk menjadi guru, sebagaimana yang diungkapkan oleh berbagai pihak.

Menurut Kepala Dinas Pendidikan Kota Ambon:

“Sebenarnya guru wanita banyak yang telah memiliki kompetensi menjadi kepala sekolah, tetapi banyak dari mereka yang menolak untuk menjadi kepala sekolah karena mereka lebih senang menjadi guru, bila di minta untuk mengikuti seleksi pasti banyak yang menolak atau bahkan terpaksa ikut tetapi tidak dilakukan dengan sunguh-sungguh”.

Guru perempuan memiliki kualifikasi dan kompetensi yang sama dengan guru laki-laki. Akan tetapi dalam proses seleksi kepala sekolah, guru perempuan menolak dan bahkan tidak secara


(5)

sungguh-sungguh mengikuti seleksi. Kenyataan yang terjadi di lapangan membuktikam bahwa sebenarnya perempuan sendiri yang menutup akses mereka untuk dapat mengembangkan diri menjadi pemimpin pendidikan. Padahal secara kualitas dapat dilihat bahwa guru-guru perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan guru laki-laki. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya perempuan sendiri yang telah memberikan peluang terjadinya kesenjangan dalam kepemimpinan kepala sekolah.

Berkaitan dengan itu, terdapat pula pandangan yang juga sama melalui apa disampaikan oleh kepala sekolah perempuan bahwa:

“Guru perempuan cepat merasa puas dengan apa yang didapatinya sekarang. Mereka tidak mau mengembangkan diri untuk menjadi kepala sekolah karena beban kerja sebagai seorang kepala sekolah yang berat dan tunjangan kepala sekolah yang tidak seberapa dibanding dengan guru tidak terlalu banyak”.

Dari pernyataan tersebut di atas penulis berpendapat bahwa, pemahaman guru perempuan tentang tanggungjawab dan pengabdian mereka hanya sebatas bagaimana mereka merasa puas dengan apa yang telah mereka peroleh. Keinginan untuk mengembangkan karir menjadi sesuatu yang tidak terlalu penting karena pendapatan atau gaji yang diperoleh tidaklah sepadan dengan apa yang


(6)

dikerjakannya. Sejalan dengan pernyatan di atas, pandangan dari guru senior perempuan dalam wawancara yang dilakukan, juga mengemukakan bahwa:

“Kalau mau jadi kepala sekolah, saya tidak mau, biarlah laki-laki saja. Saya lebih suka untuk mengajar, karena tangunggjawab menjadi kepala sekolah itu terlalu berat”.

Pernyataan di atas sejalan dengan pernyataan yang disampaikan oleh beberapa informan lain bahwa penolakan guru perempuan untuk menjadi kepala sekolah disebabkan oleh karena mereka merasa tanggungjawab seorang kepala sekolah terlalu berat. Dari pernyataan itu penulis berpendapat bahwa guru perempuan sendiri mengakui ketidakinginannya untuk menjadi kepala sekolah. Bukan karena guru perempuan tidak memiliki kompetensi tetapi karena guru perempuan lebih melihat tanggungjawab kepemimpinan kepala sekolah sebagai suatu tanggungjawab yang tidak mampu untuk diemban olehnya. Terhadap pernyatan tersebut di atas, ditemui pula dalam wawancara dengan kepala sekolah perempuan yang mengemukakan bahwa:

“Guru-guru di sekolah ini banyak yang menolak dengan alasan bahwa mereka tidak mau lagi disibukan dengan tugas ganda sebagai seorang kepala sekolah”.


(7)

Ungkapan kepala sekolah di atas, menambah daftar alasan yang mempertegas bahwa guru perempuan menganggap tugas ganda sebagai kepala sekolah hanya akan membebankan mereka, sebab pada saat yang sama mereka juga harus menjalankan tugas sebagai seorang guru.

4.3.

Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah

Perempuan Dalam Proses Pemilihan

Kepala Sekolah.

Mekanisme pelaksanaan pemilihan kepala sekolah yang diprakarsai oleh pihak Dinas Pendidikan Kota Ambon diatur secara bertahap. Terdapat 7 tahap pemilihan Kepala Sekolah sebagaimana terlihat pada bagan dibawah ini:

Bagan 4.1

Pentahapan Pemilihan Kepala Sekolah Di Kota Ambon

Tahap 1

Dibukanya pendaftaran oleh Pemerintah Kota

Tahap 2

Pihak sekolah melanjutkan pemberitahuan kepada guru-guru (khusus bagi yang telah memenuhi syarat-syarat).

Tahap 3

Sekolah menyerahkan nama-nama calonnya ke Dinas Pendidikan Kota


(8)

Tahap Pertama. Sejalan dengan pernyataan seorang kepala sekolah laki-laki bahwa:

“Pemerintah kota mengeluarkan surat pemberitahuan kepada sekolah-sekolah untuk dapat mengikutsertakan guru-guru yang telah memenuhi standar dan kriteria menjadi kepala sekolah”.

Pernyataan kepala sekolah di atas sama dengan apa yang disampaikan oleh beberapa guru senior yang pernah mengikuti seleksi kepala sekolah. Pemberitahuan dari pemerintah kota kepada sekolah-sekolah langsung direspon oleh kepala sekolah-sekolah sebagai penanggungjawab untuk merekrut guru-guru yang

Tahap 6

Hasil tes diserahkan ke pemerintah kota. Selanjutnya, pemerintah kota diwakili oleh Badan Kepegawaian Daerah dan Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan menentukan siapa yang layak dipilih menjadi kepala sekolah.

Tahap 7

Diterbitkannya surat keputusan dan pelantikan menjadi kepala sekolah

Tahap 5

Para calon dikirim oleh pemerintah kota mengikuti tes di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP)

Tahap 4

Nama-nama calon kepala sekolah yang telah ditetapkan diserahkan ke Pemerintah Kota


(9)

telah memenuhi standar dan kriteria seorang kepala sekolah.

Tahap Kedua. Kepala sekolah sebagai penanggungjawab memberikan kesempatan kepada setiap guru untuk dapat memasukan nama-namanya (Guru-guru senior baik laki-laki maupun perempuan) untuk mengikuti seleksi kepala sekolah. Kesempatan untuk mengikuti seleksi kepala sekolah ternyata tidak terlalu menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh guru senior khusunya guru perempuan. Ketidakantusiasan guru-guru perempuan untuk mengikuti seleksi kepala sekolah disebabkan karena mereka sudah merasa kalah sebelum mencoba, inilah yang diungkapkan oleh kepala sekolah perempuan bahwa:

“Semua guru-guru yang sudah memenuhi syarat menjadi kepala sekolah selalu saya beri motivasi dan dorongan bahkan kesempatan untuk mendaftarkan diri, baik itu guru laki-laki maupun perempuan. Tetapi para guru perempuan yang telah memenuhi syarat sesuai dengan ketetapan pemerintah, misalnya golongan, berpengalaman dalam memimpin, pernah mengikuti pelatihan-pelatihan, sudah sertifikasi, biasanya mereka tidak mau. Mereka sudah merasa kalah sebelum mencoba. Padahal perasaan itu tidak boleh, karena mereka (guru perempuan) harus bisa sama seperti laki-laki. Pada akhirnya yang sering maju adalah guru laki-laki”.

Dari pernyataan di atas penulis berpendapat bahwa kemampuan guru perempuan sama dengan guru laki-laki, hanya saja belum ada kemauan dari


(10)

guru perempuan. Kesenjangan yang terjadi dalam kepemimpinan kepala sekolah diakibatkan oleh guru perempuan sendiri belum mau mencoba untuk mengembangkan karir seperti guru laki-laki. Guru perempuan harus menyadari bahwa mereka memiliki hak yang sama dengan guru laki-laki.

Selain itu penolakan guru perempuan untuk menjadi kepala sekolah disebabkan karena mereka menganggap tugas seorang kepala sekolah terlalu berat, seperti yang di sampaikan oleh seorang guru senior perempuan bahwa:

“Saya tidak mau untuk mengikuti seleksi kepala sekolah karena bagi saya tugas seorang kepala sekolah itu terlalu berat, melaksanakan tugas sebagai guru dengan baik bagi saya sudah cukup menopang suami untuk mengisi kebutuhan keluarga. Saya tidak mau dibebani lagi dengan tugas tambahan sebagai seorang kepala sekolah”.

Pernyataan yang disampaikan oleh seorang guru senior di atas dapat disimpulkan bahwa, guru perempuan sudah menganggap tanggungjawab kepala sekolah hanya sebagai sebuah “beban”. Sehingga pada saat ditawarkan mengikuti seleksi kepala sekolah, guru-guru perempuan sudah tidak memiliki keinginan untuk mengambil bagian dalam proses tersebut. Sikap yang ditunjukkan guru perempuan ini merupakan perwujudan dari kebiasaan yang telah mereka anut selama ini tentang pembagian kerja antara laki-laki dan


(11)

perempuan. Bahwa tugas dan tanggjawabnnya adalah sebagai ibu rumah tangga. Selain tugas utama tersebut tanggungjawab sebagai seorang guru adalah bagian dari tugas tambahan dalam membantu suami mencari nafkah demi kesejahteraan kehidupan berkeluarga. Selanjutnya, terdapat juga penyataan yang menganggap bahwa guru laki-laki lebih agresif dari guru perempuan. Hal tersebut disampaikan oleh guru senior laki-laki bahwa:

“Saya kira perempuan sekarang banyak yang sudah mulai maju tetapi memang sebagian besar guru-guru perempuan ada yang bilang kalau mereka tidak mau disibukan dengan tugas ganda sebagai kepala sekolah, tidak mau membuang waktu, mereka ingin lebih fokus ke keluarga dan tidak mau mau cape (lelah). Berbeda dengan guru laki-laki yang lebih agresif untuk mengikuti proses seleksi karena bagi guru laki-laki kesempatan ini sangat baik untuk mengembangkan karier menjadi kepala sekolah”.

Pandangan guru senior laki-laki sangat melemahkan posisi perempuan, guru perempuan lebih pasrah dengan kuadratnya sedangkan guru laki-laki lebih percaya diri dan sangat berambisi untuk menduduki jabatan kepala sekolah. Pandangan guru perempuan untuk tidak ingin menjadi kepala sekolah dengan beralasan pada rasa takut, rasa tidak mampu, dan pasrah pada nasib menjadi golongan “kelas dua” akan sangat mengganggu perkembangan dari guru perempuan itu sendiri.


(12)

Tahap Ketiga. Nama-nama Calon kepala sekolah yang diusulkan oleh sekolah, diberikan ke Diknas Kota Ambon untuk selanjutnya akan dilakukan seleksi oleh dinas yang diwakili oleh tim independen. Seperti yang telah dijelaskan pada tahapan kedua bahwa sebagian guru-guru perempuan menolak untuk mengikuti seleksi kepala sekolah, pada tahap ketiga ini, ada yang ikut seleksi kepala sekolah karena dorongan dari kepala sekolah, seperti pernyataan dari seorang guru senior perempuan yang mengatakan bahwa:

“Pengalaman saya sebenarnya keinginan untuk seleksi kepala sekolah bukan karena keinginan saya. Saya tidak mau untuk mengikuti seleksi kepala sekolah, namun karena ada dorongan dari kepala sekolah makanya saya ikut saja untuk memasukan nama saya agar dapat mengikuti seleksi”.

Pernyataan yang disampaikan oleh guru senior tadi juga terjadi pada beberapa guru senior lainnya di sekolah yang lain. Terhadap itu, penulis berpendapat bahwa persoalan yang mendasari ketidakmauan guru perempuan untuk mengambil bagian dalam proses pemilihan kepala sekolah adalah karena pola pikir dari guru perempuan yang belum berubah, dan mereka masih belum sadar tentang peran dan kedudukan sebagai Kepala Sekolah. Padahal mereka memiliki kesempatan untuk bisa berkembang kearah itu. Selain itu, ungkapan di atas mengindikasikan bahwa kepala sekolah sebagai penanggungjawab di sekolah sangat


(13)

berpengaruh dan menjadi seorang motivator yang dapat mempengaruhi rekan-rekan sekerjanya untuk menjadi baik dan lebih maju.

Tahap Keempat. Merupakan awal dimulainya suatu proses pemilihan kepala sekolah, guru-guru yang telah memasukan namanya dari sekolah kemudian mengirimkan nama-nama tersebut ke Dinas Pendidikan Kota. Penentuan keikutsertaan guru-guru dalam seleksi tergantung dari kelengkapan berkas-berkas. Seperti yang diungkapkan oleh seorang guru senior perempuan ini bahwa:

“Pada tahapan ini saya tidak lulus, karena belum lengkap berkas-berkasnya. Hal ini karena pada waktu akan dilaksanakan pemberkasan saya tidak tahu informasi pelaksanaanya secara pasti, saya baru tahu pada malam harinya sebelum seleksi berkas”.

Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh seorang guru senior tadi, kepala sekolah perempuan juga mengungkapkan bahwa:

“Secara administrasi berkas-berkas mereka dapat dikatakan sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh pemerintah namun hasil yang didapat mereka dinyatakan tidak lulus”

Dari pernyataan di atas, penulis berpendapat bahwa pada tahap ini guru-guru yang akan mengikuti seleksi seharusnya mempersiapkan berkas-berkas mereka sesuai dengan yang telah ditentukan, karena


(14)

ini adalah tahapan awal dimana guru-guru dinilai dalam prestasi dan proses pelaksanaan tugas selama menjadi seorang guru. Sebaliknya, ada suara lain dari guru yang pernah mengikuti seleksi namun gagal pada tahap pemberkasan padahal mereka telah menyiapkan berkas-berkas tersebut sesuai dengan peraturan pemerintah. Itu menjadi kegelisahan yang tak ada jawababnya.

Tahap Kelima. Guru yang telah dinyatakan lulus akan dites secara lisan dan tulisan oleh tim penguji dari Universitas Pattimura dan Universitas Pelita Harapan (UPH), tim diberikan tugas untuk dapat menguji para calon-calon kepala sekolah meliputi aspek kemampuan pedagogik, IQ, emosional, dan kompetensi kepala sekolah yang meliputi: kompetensi kepribadian, Kewirausahaan, Manajerial, supervisi dan sosial. Selanjutnya calon-calon kepala sekolah ini akan menyampaikan secara lisan visi dan misi sekolah jika nantinya mereka menjadi seorang pemimpin. Selanjutnya, guru-guru yang dinyatakan lulus akan mengikuti diklat selama kurang lebih tiga bulan di LPMP.

Hasil wawancara yang dilakukan terhadap Kepala Dinas Pendidikan terungkapkan bahwa banyak aspek yang harus diketahui oleh calon kepala sekolah:


(15)

“Untuk menjadi seorang pemimpin memang tidak mudah, walaupun seseorang secara kualifikasi dikatakan mampu, belum tentu dia dapat menjadi pemimpin yang bijaksana. Oleh karena itu dalam penilaian guru-guru, ada kriteria-kriteria yang kemudian menjadi ukuran layak atau tidak, penilaian tersebut misalnya kemampuan mereka dalam memimpin, bagaimana pengendalian diri sebagai seorang kepala sekolah, kapabilitas mereka, dan perfoma mereka sebagai pemimpin”.

Pernyataan kepala dinas di atas menegaskan bawasanya untuk menjadi seorang kepala sekolah adalah hal yang sulit dan tidak cukup terukur secara intelektual. Selebihnya, bagi guru yang mengikuti seleksi kepala sekolah harus memiliki kemampuan praksis dalam memimpin suatu lembaga pendidikan. Pendapat lain disampaikan kepala sekolah perempuan tentang proses seleksi kepala sekolah pada Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan seperti demikian:

“Setelah lulus seleksi administrasi, kami mengikuti tes yang dilakukan di LPMP antara lain tes lisan dan tulisan setelah itu kami mengikuti pelatihan selama 3 bulan di LPMP”.

Proses seleksi di LPMP merupakan tahap terakhir dari segala rangkain tes yang harus dilalui oleh guru-guru yang mengikuti seleksi kepala sekolah. Pada tahapan itu, guru benar-benar dinilai, apakah guru mampu untuk menjadi seorang pemimpin yang memiliki kualitas baik dan yang mampu memberikan kontribusi baik bagi sekolah yang akan di pimpinnya nanti. Para guru diuji melalui tahapan-tahapan


(16)

tersebut agar nantinya dapat menjadi seorang pemimpin yang memberikan perubahan terhadap sekolah yang dipimpinnya kelak dan mampu menerapkan 5 kompetensi seorang kepala sekolah.

Tahap Keenam: Hasil tes LPMP diserahkan ke Pemkot, khususnya ke bagian Badan Kedinasan Daerah (BKD) kemudian dibahas oleh Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Dalam wawancara dengan Kepala Dinas Kota Ambon, beliau mengungkapkan bahwa:

“Hasil dari tes LPMP diserahkan ke Badan Kedinasan Daerah (BKD) dan bersifat rahasia. Kemudian Baperjakat yang terdiri dari 5-7 orang akan melakukan rapat untuk mempertimbangkan siapa yang bisa diputuskan menjadi kepala sekolah. Baperjakat merupakan bagian dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Baperjakat bukanlah kelompok yang permanen, mereka bertemu hanya untuk mengerjakan pekerjaan khusus untuk mempertimbangkan kelayakan seseorang untuk menjadi kepala sekolah dengan kriteria yang telah ditetapkan.

Dari pernyataan Kepala Dinas Pendidikan kota Ambon di atas, penulis berpendapat bahwa proses seleksi kepala sekolah yang dilewati oleh guru-guru relatif cukup panjang dan rumit. Banyak lembaga yang dilibatkan dalam pemilihan ini. Pada tahapan ini nama-nama guru hasil seleksi kepala sekolah kemudian diserahkan lagi ke Badan Kepegawaian Daerah (BKD), nama-nama tersebut sangat rahasia dan tak menuntup kemungkinan terjadinya kecurangan di dalamnya.


(17)

Seperti yang disampaikan oleh guru senior laki-laki bahwa:

“Pengumuman hasilnya masih kurang transparan, banyak guru-guru yang mengeluh, karena setiap tahapan seleksi sampai hasil dari LPMP kami tidak pernah tahu”.

Pernyataan guru senior laki-laki juga sama dengan pernyataan yang di sampaikan oleh beberapa guru senior yang pernah mengikuti seleksi kepala sekolah. Kekecewaan mereka terhadap transparansi hasil penilaian dari seleksi sampai pada hasil tes di LPMP menjadi pertanyaan apakah dalam proses seleksi kepala sekolah ini ada proses yang dapat dikatakan “curang”? jawaban dari pertanyaan tadi kemudian teridentifikasikan melalaui pernyataan seorang guru senior laki-laki yang mengungkapkan tentang adanya kecurangan dalam proses penilaian:

“Ya… hal itu mungkin saja terjadi. TIM yang melakukan tes memang memiliki kompeten, masalahnya adalah sesudah nama-nama kami dimasukan ke Pemkot lalu ke Badan Kepegawaian Daerah dan Badan Pertimbangan Jabatan dan kepangkatan (Bapaerjakat) tidak ada yang tahu apa yang mereka lakukan. Bisa saja ada “titipan”dari partai politik untuk jabatan kepala sekolah, banyak politik “balas budi”, dan tergantung kedekatan”.

Dari pernyataan di atas penulis berpendapat ketika proses seleksi yang dilakukan di LPMP selesai nama-nama seleksi kepala sekolah kemudian diserahkan ke Badan Kepegawaian daerah dan Baperjakat untuk selanjutnya dinilai. BKD dan


(18)

Baperjakat mempunyai peran dalam pemilihan kepala sekolah. fakta ketidaktransparan terhadap hasil tes, oleh Badan Kepagawaian Daerah dan Baperjakat dalam proses penilaian akhir yang dilakukan sangat rahasia dan tidak ada yang tahu, membuka peluang bagi dugaan adanya peranan partai politik dalam proses pemilihan.

Tahap Ketujuh. Merupakan akhir dari semua rangkaian seleksi untuk menjadi seorang kepala sekolah, ketika penentuan siapa yang menjadi kepala sekolah ditetapkan oleh Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) maka selanjutnya adalah penerbitan surat keputusan pengangkatan dan pelantikan kepala sekolah oleh walikota Ambon.

4.4

Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah

Perempuan Dalam Kompetensi Kepala

Sekolah.

Dalam pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa pemilihan kepala sekolah dan pengangkatan kepala sekolah sesungguhnya tidaklah dilakukan secara serampangan, bahkan biasanya yang diangkat adalah guru yang sudah berpengalaman, atau sudah pernah menjabat sebagai wakil kepala sekolah. Meskipun demikian, pada saat menjalankan roda kepemimpinan sekolah sehari-hari, pekerjaan kepala


(19)

sekolah merupakan pekerjaan yang berat, yang menuntut standar kompetensi tertentu agar peran yang dilakukan dapat maksimal dan profesional.

Hasil penelitian yang dilakukan kepada para kepala sekolah dapat menunjukkan penilaian kompetensi yang dimiliki oleh kepala sekolah laki-laki dan perempuan adalah sebagai berikut:

Tabel 4.5

Kompetensi Kepala Sekolah

NO Dimensi

Kompetensi

JENIS KELAMIN Perempuan Laki-laki Baik

(%)

Cukup (%)

Baik (%)

Cukup (%)

1 Kepribadian 50.00 50.00 83.33 16.67 2 Manejerial 81.25 18.75 50.00 50.00 3 Kewirausahaan 100.00 0.00 60.00 40.00 4 Supervisi 100.00 0.00 66.67 33.33 5 Sosial 66.67 33.33 66.67 33.33

Tabel 4.5 tentang Kompetensi Kepala Sekolah menunjukkan bahwa dari kelima dimensi kompetensi yang dimiliki seorang kepala sekolah, antara laki-laki dan perempuan rata-rata telah mampu diterapkan dengan baik (<50%). Bahkan pada dua kompetensi (kewirausahaan dan supervisi), perempuan terlihat lebih menonjol daripada laki-laki. Secara mendetail, fakta di atas terjelaskan melalui hasil wawancara yang


(20)

dilakukan penulis dengan informan kunci dan subjek penelitian yang teruraikan sebagai berikut:

4.4.1 Kompetensi Kepribadian

Kompetensi kepribadian kepala sekolah perempuan dan laki-laki dalam kepemimpinannya memiliki keunikan dan dapat dibedakan. Keunikan masing-masing sangat mencirikan pandangan umum tentang kelaki-lakian dan keperempuan. Hal tersebut terkuak dalam wawancara dengan seorang guru senior perempuan bahwa:

“Kepala sekolah perempuan lebih memiliki sifat keibuan, mereka sangat sabar dan peduli terhadap masalah anak-anak. Sedangkan, kepala sekolah laki-laki memang mempunyai kepribadian yang berbeda kurang sabar dan kurang begitu peduli terhadap masalah anak-anak”.

Keunikan yang melatarbelakangi perbedaan kepemimpinan kepala sekolah perempuan dan laki-laki nampak dalam kepribadian perempuan yang lebih menonjolkan kesabaran dan kepedulian. Hal tersebut terjadi karena perempuan lebih memiliki sifat keibuan.

Pendapat lain tentang perbedaan kompetensi kepribadian Kepala sekolah laki-laki dan perempuan juga disampaikan oleh seorang guru senior laki-laki bahwa:

“Kepala sekolah laki-laki biasanya memiliki sifat yang berwibawa, tegas dan dapat mengontrol diri terutama


(21)

emosi, juga berani dan tidak takut terhadap resiko. Sedangkan, perempuan pada umumnya memiliki sifat sangat berhati-hati, banyak pertimbangan. Kadang-kadang tidak berani mengambil keputusan”.

Perbedaan mencolok dalam penerapan

kompetensi kepribadian juga diungkapkan oleh seorang Kepala Sekolah perempuan yang mengatakan bahwa:

“Dari pengalaman saya sebagai guru, yang menonjol dari sikap kepala sekolah laki-laki memakai pikiran. Sedangkan perempuan lebih memakai perasaan, sangat mudah menangis dan kurang tegas dalam mengambil keputusan”.

Terhadap pernyataan diatas, penulis berpendapat bahwa kepala sekolah laki-laki lebih memakai pikiran, berani menghadapi dan mengatasi apa saja yang terjadi. Sementara perempuan lebih memakai perasaan, hal itu wajar karena pada umumnya perempuan itu mempunyai naluri perawat dan pemelihara.

Beberapa hasil wawancara dari para informan yang mengulas tentang kompetensi kepribadian dapat penulis paparkan secara singkat yakni bahwa antara laki-laki dan perempuan juga terlihat dalam cara mereka bersikap. Perempuan memiliki sikap yang lebih tertutup, sedangkan laki-laki memiliki sikap terbuka, ketertutupan itu muncul dari cara mereka berbicara yang sedikit hati-hati. Kepribadian seorang kepala sekolah laki-laki dan perempuan juga nampak dari keinginan untuk mendapatkan sesuatu. Laki-laki memang mempunyai keinginan yang sangat jelas untuk


(22)

mengembangkan kariernya sehingga menjadi kepala sekolah.

4.4.2. Kompetensi Manejerial.

Kompetensi manejerial kepala sekolah perempuan lebih baik terutama dalam aspek perencanaan, organisasi, pelaksanaan dan kontrol seperti yang diungkapkan oleh kepala sekolah laki-laki bahwa:

“Dalam aspek perencanaan, organsisi, pelaksanan dan kontrol saya lihat perempuan memang lebih baik, misalnya dalam menyusun perencanaan perempuan melakukan dengan sungguh-sungguh, mereka penuh dengan pertimbangan sehingga pada akhirnya keputusannya memang akan memakan waktu lama. Untuk aspek kontrol perempuan sangat teliti. Sedangkan, kalau kami kepala sekolah laki-laki dalam melakukan perencanaan biasanya kami bersifat umum kami tidak terlalu berbelit-belit, sehingga memang dalam keputusannya kami lebih cepat dari guru perempuan”.

Selain itu, pembahasan tentang pengelolahan administrasi, monitoring dan pelaporan pelaksanaan kegiatan sekolah, kepala sekolah perempuan menunjukkan sikap yang teliti terutama di bidang administrasi sekolah. Menurut penilaian kepala dinas pendidikan kota Ambon, pekerjaan perempuan rapi, bisa dideteksi, memudahkan orang yang datang untuk melakukan evaluasi:

“Dari hasil pengamatan saya, khususnya dalam bidang administarsi kepala sekolah perempuan itu mereka lebih


(23)

teliti. Mereka sangat rapi, sehingga dalam pelaksanaan supervisi ke sekolah-sekolah para pengawas lebih senang dengan pekerjaan perempuan dibanding kepala sekolah laki-laki”.

Pelaksanaan kompetensi manejerial dalam bidang pengelolahan keuangan terlihat bahwa perempuan sangat berhati-hati, seperti yang disampaikan oleh guru senior laki-laki:

“Saya lihat dalam aspek keuangan kepala sekolah perempuan tidak terlalu suka menghambur-haburkan uang untuk kegiatan yang tidak terlalu membutuhkan banyak biaya, mereka akan meminimalisir pengeluaran. Berbeda dengan kepala sekolah laki-laki yang tidak ragu-ragu untuk mengeluarkan uang”.

Pelaksanaan kompetensi manejerial dalam bidang administrasi dari beberapa informan mengungkapkan bahwa perempuan tidak menutup diri untuk menerima masukan bahkan diarahkan oleh orang lain. Pelaksanaan Perencanaan dilakukannya dengan baik, bahkan sampai pelaporannya dilakukan dengan penuh ketelitian.

Berkaitan dengan manejemen sarana dan prasarana, dari data yang diperoleh melalui pengamatan dan wawancara rupanya kepala sekolah laki-laki kurang memperhatikan dan menata

lingkungan dengan baik. Perempuan dalam

memperhatikan lingkungan sekolah ternyata lebih baik daripada kepala sekolah laki-laki.


(24)

4.4.3. Kompetensi Kewirausahaan

Kompetensi kewirausahaan merupakan dimensi yang sangat penting bagi pengembangan sekolah tetapi sulit untuk dilakukan oleh kepala sekolah seperti yang diungkapkan oleh kepala sekolah perempuan bahwa:

“Untuk kompetensi wirausaha saya selalu melakukan inovasi untuk pengembangan berbagai kebutuhan sekolah, misalnya seragam baru, guru-guru minta jalan-jalan, tunjangan THR harus dicari dengan jumlah karyawan dan guru yang cukup banyak”.

Lebih lanjut dalam pelaksanaan kompetensi kepala sekolah terkait dengan kewirausahaan kepala sekolah laki-laki mengungkapkan bahwa:

“Dalam mengembangkan kewirausahaan untuk

kepentingan sekolah sebenarnya pemimpin perempuan lebih baik di banding dengan laki-laki. Saya di sekolah ini hampir 3 tahun dan saya lihat dari kewirausahaan yang dilakukan seperti kantin sangat baik, ternyata pencetusnya adalah kepala sekolah perempuan sebelum saya, dan keuntungannya bagi saya adalah hanya melanjutkan usaha ini bagi kebutuhan sekolah”.

Dari pernyataan tersebut penulis berpendapat bahwa dalam penerapan kompetensi manejerial, kepala sekolah perempuan mampu untuk melakukan inovasi yang baik untuk mendukung pembiayaan kebutuhan sekolah. Kompetensi kewirausahaan tidak hanya sebatas memiliki kemampuan berinovasi melainkan dapat memberdayakan sumber daya manusia (warga


(25)

sekolah). Hal ini seperti yang diungkapkan oleh seorang guru senior bahwa:

“Dalam pelaksanaan kewirausahaan, Bapak kepala sekolah lebih mempercayakan dan memberi tanggungjawab kepada karyawan perempuan untuk mengelolah. Beliau (Kepala sekolah) nantinya akan memonitoring keuangan sebulan sekali dan meminta pelaporannya”.

Kepala sekolah laki-laki cenderung memberikan tanggungjawab kepada karyawan perempuan untuk mengelolah. Kepala sekolah laki-laki hanya akan memonitoring keuangan bulanannya. Kepala sekolah laki-laki lebih suka memberikan kepercayaan kepada orang agar dapat memonitoring dengan cepat.

4.4.4. Kompetensi Supervisi

Salah satu tugas dari kepala sekolah adalah memberikan supervisi kepada tenaga pendidik menyangkut dengan tugas mereka. Kepala sekolah laki-laki memuji kompetensi supervisi kepala sekolah perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Demikian pernyataannya:

“Saya senang melihat kemampuan Kepala sekolah perempuan dalam merencanakan program supervisi akademik untuk meningkatkan profesionalisme guru yang sangat jauh berbeda bahkan lebih baik dari pada laki-laki. mereka (kepala sekolah perempuan) perencanaannya lengkap, kepala sekolah perempuan menilai guru satu per satu”.

Dari hasil wawancara di atas dapat penulis simpulkan bahwa memang ada perbedaan dalam


(26)

perencanaan maupun pelaksanaan supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah laki-laki maupun kepala sekolah perempuan. Kepala sekolah perempuan

merencanakan supervisi akademik untuk

meningkatkan profesionalisme para guru yang dipimpin

secara komprehensif. Masing-masing guru

mendapatkan penilaian, indikator dan skoring yang jelas, demikian pula dalam melaksanakan supervisi proses belajar mengajar kepala sekolah perempuan lebih jeli dan lengkap. Seperti yang di sampaikan oleh kepala sekolah laki-laki bahwa:

“Dalam melaksanakan supervisi proses belajar mengajar ibu-ibu lebih jeli dan lengkap. Perempuan tidak suka menggampangkan sesuatu dalam melakukan tugas supervisi. Mungkin karena mempunyai pengalaman mengajar cukup lama. Lain dengan yang dilakukan oleh kepala sekolah laki-laki, tidak suka berlama-lama melakukan supervisi”.

Dari hasil wawancara di atas penulis berpendapat bahwa kepala sekolah perempuan lebih jeli dan lengkap dalam merencanakan supervisi proses belajar mengajar dibandingkan dengan kepala sekolah laki-laki. Kepala sekolah laki-laki mengakui bahwa pada umumnya mereka kurang sabar dan teliti dalam melakukan supervisi. Relasi dengan orang lain juga berbeda antara kepala sekolah laki-laki dan perempuan seperti yang di sampaikan oleh guru senior perempuan bahwa:


(27)

“Menurut saya, Dalam membangun hubungan dengan guru, staf, dan siswa saya menilai kepala sekolah perempuan biasanya memakai kata-kata yang halus dan hati-hati. Tapi pemimpin laki-laki lebih berani menegur, jika ada kesalahan atau masalah”.

Dari pernyataan di atas penulis berpendapat bahwa ciri kepribadian kepala sekolah perempuan yang feminim telah berdampak pada bagaimana mereka berkomunikasi dalam berelasi dengan warga sekolah, sedangkan kepala sekolah laki-laki dengan maskulinitasnya terpancar pada bagaimana cara komunikasi lebih memakai bahasa yang bersifat langsung, perhatian kepada masalah yang di alami guru, kadang-kadang terkesan hanya formalitas. Sedangkan kepala sekolah perempuan dalam menegur dan memotivasi guru biasanya memakai bahasa yang sederhana, halus, dan hati-hati, sehingga para guru seringkali merasa lebih dekat dan terbuka dengan kepala sekolah perempuan.

4.4.5. Kompetensi Sosial

Berelasi adalah indikator terpenting dalam implementasi kompetensi sosial. Dalam membangun hubungan dengan orang lain, kepala sekolah laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan seperti yang diungkapkan oleh guru senior perempuan bahwa:

“Dalam hubungan sosial dengan orang lain kepala sekolah laki-laki lebih memakai pikiran, berbeda dengan kepala


(28)

sekolah perempuan yang lebih memakai perasaan, lebih sensitif, dan mudah tersinggung. Kalau diperhatikan antara kepala sekolah laki-laki dan perempuan dalam rapat-rapat atau berbicara dengan orang tua murid atau guru, kepala sekolah perempuan akan lebih berhati-hati, menjaga perasaan, dan ramah dengan orang lain”.

Dari pernyataan di atas penulis berpendapat bahwa perbedaan nampak dalam pendekatannya. Laki-laki lebih logis. Sedangkan kepala sekolah perempuan akan sangat berhati-hati dalam berbicara dengan orang lain. Selain itu, kepala sekolah perempuan juga lebih peka ketika berpartisipasi dalam kegiatan sosial, seperti yang diungkapkan oleh guru senior laki-laki bahwa:

“Ibu kepala sekolah sering membangun hubungan komunikasi dengan lingkungan di sekitar sekolah untuk dapat memantau kepribadian murid-murid di luar sekolah, sehingga dalam kegiatan-kegiatan yang sering dilaksanakan di sekitar lingkungan, sekolah akan ikut berpartisipasi seperti misalnya kerja bakti untuk membersihkan lingkungan sekitar sekolah. Berbeda dengan kepala sekolah kami yang dulu laki-laki, beliau jarang melaksanakan seperti yang dilakukan oleh ibu kepala sekolah sekarang ini”.

Dari pernyataan di atas penulis berpendapat bahwa dalam melaksanakan kompetensi sosial, dalam kaitan dengan partisipasi kegiatan sosial masyarakat, kepala sekolah perempuan sering melakukan hubungan kerjasama dengan masyarakat yang berada di sekitar lingkungan sekolah. Hal tersebut dilakukan untuk dapat memonitoring kepribadian para murid di luar sekolah. Selain itu, kepala sekolah perempuan


(29)

bekerjasama dengan masyarakat melaksanakan kerja bakti untuk membersihkan lingkungan sekolah. Kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain, dalam kenyataannya kepala sekolah perempuan dianggap lebih baik karena mereka sangat peka pada kesejahteraan karyawan, guru bahkan murid-muridnya, seperti yang di sampaikan oleh kepala sekolah perempuan bahwa:

“Sebagai kepala sekolah perempuan, saya harus lebih peka dan sensitif terhadap bawahan, juga kepada murid-murid saya. Kesejahteraan guru dan karyawan itu yang paling utama bagi saya. Kalau kepala sekolah laki-laki, yah…mereka juga pasti melakukan hal yang sama, tetapi tidak seperti kami perempuan. Dari pengalaman saya sebelum menjadi kepala sekolah memang kepala sekolah laki-laki kurang begitu perhatian terhadap masalah guru, karyawan dan juga murid”.

Dari pernyataan di atas penulis berpendapat bahwa kepala sekolah perempuan memiliki perhatian pada kesejahteraan guru dan karyawan. Kepala sekolah perempuan juga lebih sensitif terhadap bawahan, terutama kepada murid-murid. Sementara kepala sekolah laki-laki dibandingkan dengan kepala sekolah perempuan kurang perhatian dengan masalah-masalah bawahan.


(30)

4.5. Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah

Perempuan Berkaitan Dengan Budaya

Patriakhal.

Kesenjangan dalam budaya orang Ambon juga telah berakar dan menjadi penghalang bagi perempuan untuk mengembangkan diri dalam bidang pendidikan. Kurangnya minat dan keinginan guru-guru perempuan untuk maju terjadi karena ada pemikiran-pemikiran yang belum modern dari guru-guru perempuan. Dari hasil wawancara dengan salah seorang guru perempuan senior :

“Menurut saya sebagai perempuan kita punya banyak kelemahan, kita berbeda dari laki. Bagi saya guru laki-laki lebih mampu dalam memimpin, sedangkan guru perempuan masih punya banyak kekurangan, tidak mampu untuk memimpin”.

Dari pernyataan tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa guru perempuan sendiri yang masih belum mengakui kemampuan dirinya sendiri. Mereka masih menganggap bahwa guru laki-laki lebih baik dari mereka. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan kurang terwakilinya guru perempuan sebagai pemimpin pendidikan. Sejalan dengan pendapat guru senior perempuan di atas, seorang guru perempuan lain juga mengungkapkan bahwa:


(31)

“Guru laki-laki lebih fokus untuk melaksanakan pekerjaan mereka. Kalau perempuan biasanya mereka tidak terlalu fokus karena harus memikirkan pekerjaan rumah tangga”.

Penilaian guru senior perempuan di atas sama dengan beberapa guru senior lainnya yang mengemukakan bahwa kemampuan yang dimiliki oleh guru laki-laki dan guru perempuan bukanlah bertolak dari sesuatu yang tidak memiliki makna, melainkan menunjukkan pada latar belakang di mana pola pikir guru-guru perempuan tentang sebuah tanggungjawab baru di luar tanggungjawab mereka sebagai seorang guru dan juga sebagai seorang ibu rumah tangga. Menanggapi pernyataan kedua guru senior perempuan di atas kepala Dinas pendidikan kota Ambon mengungkapkan bahwa:

“Karena budaya daerah yang masih ikut budaya patriakhal, budaya yang dibawa sejak masih kecil, yang mana anak perempuan yang tidak diberi kesempatan atau ruang untuk sekolah dan mengembangkan diri, ini adalah budaya-budaya dulu orang ambon, tetapi sekarang ini kan sudah ada emansipasi, pemerintah memberi ruang kepada perempuan dan laki-laki untuk berkarir, jadi tidak ada yang membeda-bedakan”.

Dari pernyataan di atas penulis berpendapat bahwa meskipun pada saat ini gerakan emansipasi sudah lama berlangsung dan banyak orang telah menerapkannya, namun rupanya hal itu tidak merubah

pandangan guru-guru perempuan untuk


(32)

Ambon peran perempuan telah terdefenisikan sebagai penanggung jawab bidang domestik, sementara laki-laki di bidang publik.

4.6. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

4.6.1.Kesenjangan Keberadaan Guru Perempuan Dalam Kepemimpinan Sebagai Kepala Sekolah

Hasil temuan penelitian tentang Kesenjangan keberadaan guru perempuan dalam kepemimpinan kepala sekolah disebabkan karena guru perempuan menganggap tanggungjawab seorang kepala sekolah sangat berat. Selain itu, guru perempuan sangat menikmati tugas mereka sebagai guru. Pengalaman langsung para kepala sekolah menjadi titik tolak mereka untuk menilai kemampuan bahkan keinginan guru perempuan dalam proses menjadi seorang pemimpin pendidikan. Guru perempuan lebih cepat merasa puas dengan apa yang telah diperolehnya, sehingga mereka tidak mau lagi disibukan dengan beban tugas yang berat apalagi jika dibandingkan dengan tunjangan kepala sekolah yang tidak terlalu besar.

Kesenjangan keberadaan perempuan sebagai kepala sekolah didasarkan pada penolakan guru perempuan, mereka kurang berkeinginan untuk


(33)

menjadi pemimpin. Pengakuan bahwa laki-laki yang lebih baik untuk menjadi seorang pemimpin dan perempuan sebagai guru dapat dirujuk pada teori streotip gender, dengan cara memberikan lebel atau penandaan yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan (Mutali’in 2001: Handayani dan Sugiarti 2002). Peran sebagai guru merepresentasikan peran perempuan di bidang domestik, sedangkan peran kepala sekolah bagi laki-laki merepresentasikan koadrat biologisnya sebagai yang memiliki kekuasaan, kekuatan, ketegaran mendominasi, superioritas, akibatnya posisi kepala sekolah dianggap lebih tepat bagi laki-laki daripada bagi perempuan.

Paradigma seperti itu merupakan suatu perwujudan dari pola pikir guru perempuan yang masih terbentuk dalam struktur gender yang mengagungkan laki-laki sebagai kaum yang lebih baik. Pandangan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan

(Schien, 1994) yang mengungkapkan dalam

penelitiannya berdasarkan pandangan guru–guru perempuan bahwa karakteristik seorang pemimpin ada pada guru laki-laki, yang memiliki kemampuan sebagai pemimpin, mempunyai rasa tanggungjawab, memiliki ketrampilan di bidang bisnis dan memiliki kemampuan analitis. Ditilik dari teori yang ada dalam teori fungsionalis, pembagian kerja antara laki-laki dan


(34)

perempuan merupakan kebutuhan masyarakat dan diciptakan untuk masyarakat secara keseluruhan (Budiman,1985). Adanya pemilahan peran ini disebabkan karena warga sekolah banyak yang masih menganut pandangan streotip gender atau peran klise dari laki-laki dan perempuan, yaitu bahwa perempuan adalah ibu rumah tangga yang harus bekerja di “dapur”. Oleh karena itu, perempuan lebih cocok untuk memelihara, mengasuh dan mendidik anak-anak.

Peran tersebut bersesuaian dengan peran sebagai seorang guru di sekolah. Sedangkan laki-laki, sebagai manusia publik, harus bekerja di luar rumah mencari nafkah, menjadi pemimpin pendidikan atau sebagai kepala sekolah lebih cocok diperankan oleh laki-laki ketimbang perempuan.

Adanya pemilihan peran laki-laki sebagai pemimpin pendidikan, sedangkan perempuan sebagai guru, sebetulnya juga bersesuaian dengan “sistem fungsionalis struktural”. Menurut pandangan ini, komunitas merupakan suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling terkait, dan masing-masing bagian akan terus menerus, mencari keseimbangan (equilibrium) dan harmoni, penyimpangan yang melanggar norma akan melahirkan suatu pergolakan (Nasikun 1995). Dapat dikatakan bahwa tampilnya perempuan di bidang kepemimpinan pendidikan dapat


(35)

menimbulkan ketidakseimbangan, mengagungkan kemampanan dan harmoni. Karena aspek fungsional mempertahankan kemapanan dan status quo, maka adanya reliata perempuan sebagai guru dan laki-laki sebagai kepala sekolah cenderung dianggap merupakan suatu pengaturan yang paling baik dan bermanfaat bagi harmoni bidang pendidikan.

Realita kesenjangan keberadaan perempuan dalam kepemimpinan kepala sekolah terjadi bukan secara alami/nature melainkan terbentuk dari pemahamanan yang dilatari oleh budaya yang pada akhirnya meragukan eksistensi perempuan. Gender di bidang kepemimpinan pendidikan, di satu sisi telah menempatkan laki-laki sebagai standar dan norma dalam kepemimpinan, pada saat yang sama menyisihkan, mendiskriminasikan dan mengorbankan perempuan yang seharusnya memang tidak boleh terjadi.

4.6.2 Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah Perempuan Dalam Proses Pemilihan Kepala Sekolah.

Pemilihan kepala sekolah memang mengikuti standar dan prosedur yang telah ditentukan. Prosesnya cukup panjang, melibatkan berbagai instansi, birokrasi


(36)

pemerintahan setempat, dan memakan waktu yang cukup lama. Sejak dari awal pencalonan dan pemilihan oleh satuan pendidikan rupanya sudah mulai kelihatan guru perempuan tidak terlalu tertarik memanfaatkan akses pemilihan kepala sekolah karena pengalaman selama ini perempuan jarang atau tidak pernah berhasil dalam mencoba menjadi kepala sekolah. Mereka merasa sudah kalah sebelum memasuki proses, adanya perasaan rendah diri dan ragu-ragu, apalagi karena proses pemilihan tidak transparan dan adanya diskriminasi yang dialami perempuan. Proses penyisihan terhadap perempuan seperti demikian yang oleh (Cliwniak,1997) disebut sebagai “individual

perspektive or meritocrasy model”. Pandangan ini

menekankan aspek psikologis, dimana yang dianggap menjadi penyebab kesenjangan gender adalah perempuan itu sendiri. Sifat, sikap, kepribadian perempuan dan asumsi perempuan tidak menginginkan kekuasan diidentifikasikan sebagai penyebab. Berkaitan dengan kekuasaan, bukan berarti perempuan tidak menginginkan kekuasaan namun cara perempuan memandang kekuasaan bukan terutama untuk menguasi orang lain, tetapi untuk memberdayakan.

Faktor lain yang dapat dilihat mempunyai peran yang signifikan dalam pemilihan kepala sekolah adalah


(37)

proses yang diduga dilakukan oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD), secara khusus dalam TIM Baperjakat dari pemerintah kota Ambon. Dugaan adanya sikap yang tidak transparan terhadap hasil tes LPMP, adanya pengalaman masa lalu yang tidak adil terhadap perempuan, prasangka negatif terhadap kepemimpinan perempuan, berperannya partai politik, adanya politik uang, kedekatan dengan pemerintah (misalnya walikota dan kepala dinas) dianggap telah menjadi penyebab perempuan selama ini tereliminasi dan didiskriminasi.

Terdapat banyak cara dan kesempatan untuk menyisihkan perempuan dan lebih memilih laki-laki dalam proses yang panjang dan melibatkan banyak pihak. Lembaga yang memiliki peran kunci penentu pemilihan ternyata tidak netral, lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan serta melakukan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Menurut (Cliwniak,1997), realita ini disebut sebagai

organizational prespective or discrimination model” di

mana lembaga yang telah ditunjuk melakukan penyisihan dan diskriminasi kepada perempuan dan kurang menyadari pentingnya kesetaraan dan keadilan gender.


(38)

4.6.3. Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah Perempuan Dalam Kompetensi Kepala Sekolah.

Berdasarkan fakta yang telah terdeskripsikan jelas terungkap bahwa penerapan kompetensi kepala sekolah di lapangan menunjukkan realita yang kompleks dan menarik. Kompetensi kepribadian yang dimiliki oleh kepala sekolah yang terimplementasi dalam kepemimpinan bernuansa gender. Pada umumnya kepribadian perempuan dikaitkan dengan mata rantai reproduksi atau peran sebagai ibu yang berhubungan erat dengan fungsi melahirkan, memelihara, mengasuh dan mendidik (Zimbalits,1984). Ciri utama ini menjadi dasar dari pengembangan sikap tanggungjawab perempuan yang mengedepankan tindakan pengasuhan, merawat, mendidik. Ciri tersebut sangat mewarnai dan terefleksikan dalam cara berpikir dan bertindak kepala sekolah perempuan dalam kepemimpinannya.

Dalam relasi dengan orang lain kepala sekolah perempuan cenderung akan mudah berempati, sensitif, sabar dan teliti, penuh kasih sayang dan komprehensif (Samtono, 2009). Di pihak lain, pada umumnya kepala sekolah laki-laki dianggap memiliki kepribadian yang mendukung kepemimpinan pendidikan, terutama yang berorientasi ke ranah publik, misalnya sikap percaya


(39)

diri, tegar, mendominasi, terbuka, berwibawa, rasional, tidak emosional, tegas bahkan dapat berbuat kekerasan. Rupanya kepribadian laki-laki tersebut yang selama ini telah mendominasi norma maupun nilai yang berkembang dalam kepemimpinan pendidikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peran gender cukup berpengaruh dalam penerapan kompetensi kepala sekolah.

Kepala sekolah perempuan dalam penerapan kompetensi manejerial jauh lebih baik dibandingkan dengan laki-laki dalam hal: perencanaan, organisasi, pelaksanaan dan kontrol. Perempuan lebih sungguh-sungguh. Sedangkan laki-laki biasanya bersifat umum. Selain itu, kepala sekolah perempuan dalam mengelola keuangan sekolah akan “berpikir dua kali” terhadap pembiayaan kegiatan-kegiatan sekolah. Selanjutnya, mengenai manajemen sarana prasarana, kepala sekolah laki-laki kurang baik dalam menata lingkungan sekolah. Hal tersebut berbeda dengan perempuan yang lebih perhatian terhadap lingkungan.

Kepala sekolah perempuan pada umumnya melaksanakan kompetensi pendidikan dengan sepenuh hati dan bertanggungjawab terhadap seluruh warga sekolah. Salah satu upaya yang dilakukan yakni: “mereka tidak mengharapkan bantuan dari pemerintah”. Para kepala sekolah perempuan pada


(40)

umumnya lebih kreatif, konstruktif, inovatif, dan

fleksibel. Mereka mengembangkan inovasi

kewirausahaan dengan sepenuh hati demi

pengembangan sekolah. Selain itu, relasi sosial dengan lingkungan sekolah dibangun dengan baik agar mendapat dukungaan moral dan material, sekaligus bisa memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar. Dengan demikian tidaklah berlebihan untuk mengakui bahwa kepala sekolah perempuan umumnya memiliki survival skill (Grove, 2005) untuk melaksanakan kompetensi pendidikan, ketrampilan ini merupakan hal yang esensial, sekaligus suatu tuntutan.

Berkaitan dengan kompetensi supervisi, dapat disimpulkan bahwa rupanya memang ada perbedaan dalam perencanaan dan pelaksanaan supervisi dan evaluasi yang dilakukan kepala sekolah laki-laki dan perempuan. Dalam perencanaan supervisi akademik untuk meningkatkan profesionalisme para guru sebagai anak buahnya, perempuan mendapat perencanaan yang lengkap, satu persatu anak buahnya mendapat penilaian, indikator dan skoring yang jelas, demikian pula dalam pelaksanaan cukup cermat, jeli dan lengkap. Pemimpin perempuan tidak menganggap mudah tugas supervisi. Sedangkan pemimpin laki-laki dalam melakukan supervisi pendidikan menekankan aspek-aspek yang bersifat global dan umum. Sehingga


(41)

guru menganggap kurang teliti, kadang-kadang terkesan kurang jelas. Bahasa yang digunakan kepala sekolah laki-laki lebih langsung dan perhatiannya kepada masalah yang dialami guru kurang. Dalam pelaksanaan supervisi kepada guru-guru, kepala sekolah laki-laki kurang sabar dan teliti atau diistilahkan sebagai “tidak betah” seperti kepala sekolah perempuan. Penelitian yang pernah dilakukan oleh (Ryder,1994) untuk para kepala sekolah perempuan juga mendukung hal itu:

Women principals are more likely to interact with their staff and spend more time in the classroom or with teachers discussing the academic or curricular areas of instruction. Womwn principals are more likely to influence teachers to use more desirable teaching methods.”

Sebagai pemimpin pendidikan perempuan pada umumnya mereka menyadari bahwa keberadaannya sebagai kepala sekolah berada di tengah-tengah organisasi pendidikan yang masih tradisional dan

otoritarian, maka pada umumnya mereka

melaksanakan kompetensi pendidikan secara sungguh-sungguh agar posisinya dapat diterima oleh orang yang dipimpinnya dan lingkungannya.


(42)

4.6.4 Kesenjangan Keberadaan Kepemimpinan Perempuan Sebagai Kepala Sekolah Berkaitan Dengan Budaya Patriakhal.

Dari hasil pengumpulan data melalui teknik wawancara kepada para informan, dapat dilihat bahwa perempuan masih belum mengakui kemampuan dirinya sendiri, mereka masih menganggap bahwa laki-laki lebih baik dari mereka, selain itu meskipun pada saat ini gerakan emansipasi sudah lama berlangsung dan banyak orang telah menerapkannya namun, rupanya budaya orang Ambon yang bias gender masih sangat kental dalam kepemimpinan pendidikan di kota Ambon. Bagi orang Ambon, peran perempuan telah terdefenisikan sebagai penanggungjawab bidang domestik, sementara laki-laki di bidang publik. Bias gender masih sangat kental terutama dalam keluarga, dimana dalam penerapan pendidikan orang tua kepada anak-anak atau proses sosialisasi rupanya masih mengikuti norma stereotip yang terefleksi pada penerapan pembagian kerja.

Masalah adanya ketidakseimbangan dan ketidaksetaraan gender dalam kepemimpinan pendidikan juga dipengaruhi oleh penerapan ideologi patriakhi, yaitu bapa atau anak laki-laki yang berkuasa terhadap perempuan atau istri dan anak-anaknya. Penerapan ideologi patriakhi ini berdampak pada


(43)

timbulnya sistim hierarkhi, struktur jenjang, realita adanya pihak yang mendominasi dan pihak yang tersubordinasi antara laki-laki dan perempuan. Ideologi patriakhi tidak hanya berlaku pada aras keluarga namun juga di aras lembaga (Russell,1995).

Pengaruh budaya orang Ambon cukup kuat pada lembaga pendidikan di kota ambon. Budaya orang ambon mengenal konsep pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan secara jelas. Zimbalits (1984)

menyimpulkan pengamatannya dari berbagai

kebudayaan bahwa hampir menjadi gejala umum perempuan perannya dihubungkan dengan mata rantai reproduksi, yaitu berkaitan dengan relasi ibu dengan anak-anaknya, serta peran sebagai istri, dan hanya sedikit sekali memberikan alokasi peran untuk urusan publik.


(1)

4.6.3. Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah

Perempuan Dalam Kompetensi Kepala

Sekolah.

Berdasarkan fakta yang telah terdeskripsikan jelas terungkap bahwa penerapan kompetensi kepala sekolah di lapangan menunjukkan realita yang kompleks dan menarik. Kompetensi kepribadian yang dimiliki oleh kepala sekolah yang terimplementasi dalam kepemimpinan bernuansa gender. Pada umumnya kepribadian perempuan dikaitkan dengan mata rantai reproduksi atau peran sebagai ibu yang berhubungan erat dengan fungsi melahirkan, memelihara, mengasuh dan mendidik (Zimbalits,1984). Ciri utama ini menjadi dasar dari pengembangan sikap tanggungjawab perempuan yang mengedepankan tindakan pengasuhan, merawat, mendidik. Ciri tersebut sangat mewarnai dan terefleksikan dalam cara berpikir dan bertindak kepala sekolah perempuan dalam kepemimpinannya.

Dalam relasi dengan orang lain kepala sekolah perempuan cenderung akan mudah berempati, sensitif, sabar dan teliti, penuh kasih sayang dan komprehensif (Samtono, 2009). Di pihak lain, pada umumnya kepala sekolah laki-laki dianggap memiliki kepribadian yang mendukung kepemimpinan pendidikan, terutama yang berorientasi ke ranah publik, misalnya sikap percaya


(2)

diri, tegar, mendominasi, terbuka, berwibawa, rasional, tidak emosional, tegas bahkan dapat berbuat kekerasan. Rupanya kepribadian laki-laki tersebut yang selama ini telah mendominasi norma maupun nilai yang berkembang dalam kepemimpinan pendidikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peran gender cukup berpengaruh dalam penerapan kompetensi kepala sekolah.

Kepala sekolah perempuan dalam penerapan kompetensi manejerial jauh lebih baik dibandingkan dengan laki-laki dalam hal: perencanaan, organisasi, pelaksanaan dan kontrol. Perempuan lebih sungguh-sungguh. Sedangkan laki-laki biasanya bersifat umum. Selain itu, kepala sekolah perempuan dalam mengelola keuangan sekolah akan “berpikir dua kali” terhadap pembiayaan kegiatan-kegiatan sekolah. Selanjutnya, mengenai manajemen sarana prasarana, kepala sekolah laki-laki kurang baik dalam menata lingkungan sekolah. Hal tersebut berbeda dengan perempuan yang lebih perhatian terhadap lingkungan.

Kepala sekolah perempuan pada umumnya melaksanakan kompetensi pendidikan dengan sepenuh hati dan bertanggungjawab terhadap seluruh warga sekolah. Salah satu upaya yang dilakukan yakni: “mereka tidak mengharapkan bantuan dari pemerintah”. Para kepala sekolah perempuan pada


(3)

umumnya lebih kreatif, konstruktif, inovatif, dan fleksibel. Mereka mengembangkan inovasi kewirausahaan dengan sepenuh hati demi pengembangan sekolah. Selain itu, relasi sosial dengan lingkungan sekolah dibangun dengan baik agar mendapat dukungaan moral dan material, sekaligus bisa memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar. Dengan demikian tidaklah berlebihan untuk mengakui bahwa kepala sekolah perempuan umumnya memiliki survival skill (Grove, 2005) untuk melaksanakan kompetensi pendidikan, ketrampilan ini merupakan hal yang esensial, sekaligus suatu tuntutan.

Berkaitan dengan kompetensi supervisi, dapat disimpulkan bahwa rupanya memang ada perbedaan dalam perencanaan dan pelaksanaan supervisi dan evaluasi yang dilakukan kepala sekolah laki-laki dan perempuan. Dalam perencanaan supervisi akademik untuk meningkatkan profesionalisme para guru sebagai anak buahnya, perempuan mendapat perencanaan yang lengkap, satu persatu anak buahnya mendapat penilaian, indikator dan skoring yang jelas, demikian pula dalam pelaksanaan cukup cermat, jeli dan lengkap. Pemimpin perempuan tidak menganggap mudah tugas supervisi. Sedangkan pemimpin laki-laki dalam melakukan supervisi pendidikan menekankan aspek-aspek yang bersifat global dan umum. Sehingga


(4)

guru menganggap kurang teliti, kadang-kadang terkesan kurang jelas. Bahasa yang digunakan kepala sekolah laki-laki lebih langsung dan perhatiannya kepada masalah yang dialami guru kurang. Dalam pelaksanaan supervisi kepada guru-guru, kepala sekolah laki-laki kurang sabar dan teliti atau diistilahkan sebagai “tidak betah” seperti kepala sekolah perempuan. Penelitian yang pernah dilakukan oleh (Ryder,1994) untuk para kepala sekolah perempuan juga mendukung hal itu:

“Women principals are more likely to interact with their staff and spend more time in the classroom or with teachers discussing the academic or curricular areas of instruction. Womwn principals are more likely to influence teachers to

use more desirable teaching methods.”

Sebagai pemimpin pendidikan perempuan pada umumnya mereka menyadari bahwa keberadaannya sebagai kepala sekolah berada di tengah-tengah organisasi pendidikan yang masih tradisional dan otoritarian, maka pada umumnya mereka melaksanakan kompetensi pendidikan secara sungguh-sungguh agar posisinya dapat diterima oleh orang yang dipimpinnya dan lingkungannya.


(5)

4.6.4 Kesenjangan Keberadaan Kepemimpinan

Perempuan Sebagai Kepala Sekolah

Berkaitan Dengan Budaya Patriakhal.

Dari hasil pengumpulan data melalui teknik wawancara kepada para informan, dapat dilihat bahwa perempuan masih belum mengakui kemampuan dirinya sendiri, mereka masih menganggap bahwa laki-laki lebih baik dari mereka, selain itu meskipun pada saat ini gerakan emansipasi sudah lama berlangsung dan banyak orang telah menerapkannya namun, rupanya budaya orang Ambon yang bias gender masih sangat kental dalam kepemimpinan pendidikan di kota Ambon. Bagi orang Ambon, peran perempuan telah terdefenisikan sebagai penanggungjawab bidang domestik, sementara laki-laki di bidang publik. Bias gender masih sangat kental terutama dalam keluarga, dimana dalam penerapan pendidikan orang tua kepada anak-anak atau proses sosialisasi rupanya masih mengikuti norma stereotip yang terefleksi pada penerapan pembagian kerja.

Masalah adanya ketidakseimbangan dan ketidaksetaraan gender dalam kepemimpinan pendidikan juga dipengaruhi oleh penerapan ideologi patriakhi, yaitu bapa atau anak laki-laki yang berkuasa terhadap perempuan atau istri dan anak-anaknya. Penerapan ideologi patriakhi ini berdampak pada


(6)

timbulnya sistim hierarkhi, struktur jenjang, realita adanya pihak yang mendominasi dan pihak yang tersubordinasi antara laki-laki dan perempuan. Ideologi patriakhi tidak hanya berlaku pada aras keluarga namun juga di aras lembaga (Russell,1995).

Pengaruh budaya orang Ambon cukup kuat pada lembaga pendidikan di kota ambon. Budaya orang ambon mengenal konsep pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan secara jelas. Zimbalits (1984) menyimpulkan pengamatannya dari berbagai kebudayaan bahwa hampir menjadi gejala umum perempuan perannya dihubungkan dengan mata rantai reproduksi, yaitu berkaitan dengan relasi ibu dengan anak-anaknya, serta peran sebagai istri, dan hanya sedikit sekali memberikan alokasi peran untuk urusan publik.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesenjangan Keberadaan Perempuan Dalam Kepemimpinan Kepala Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon T2 942011004 BAB I

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesenjangan Keberadaan Perempuan Dalam Kepemimpinan Kepala Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon T2 942011004 BAB II

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesenjangan Keberadaan Perempuan Dalam Kepemimpinan Kepala Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon T2 942011004 BAB V

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesenjangan Keberadaan Perempuan Dalam Kepemimpinan Kepala Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesenjangan Keberadaan Perempuan Dalam Kepemimpinan Kepala Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Berdasarkan Urutan Kelahiran (Birth Order) T2 942014706 BAB IV

0 0 40

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan pada Sekolah Dasar T2 BAB IV

0 0 49

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Guru SMP Negeri 9 Ambon T2 BAB IV

0 1 40

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Guru SMP Negeri 9 Ambon T2 BAB II

0 0 21

T2__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Guru SMP Negeri 9 Ambon T2 BAB I

0 0 9