Pengaruh Gender, Usia, Tingkat Pendidikan, dan Status Sosial Ekonomi terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi.

(1)

PENGARUH GENDER, USIA, TINGKAT PENDIDIKAN, DAN STATUS SOSIAL EKONOMI TERHADAP PERSEPSI ETIS MAHASISWA

AKUNTANSI

SKRIPSI

Oleh:

NI KETUT AYU PURNAMANINGSIH NIM: 1215351135

PROGRAM EKSTENSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(2)

i

PENGARUH GENDER, USIA, TINGKAT PENDIDIKAN, DAN STATUS SOSIAL EKONOMI TERHADAP PERSEPSI ETIS MAHASISWA

AKUNTANSI

SKRIPSI

Oleh:

NI KETUT AYU PURNAMANINGSIH NIM: 1215351135

Skripsi ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

di Program Ekstensi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

Denpasar 2016


(3)

ii

Skripsi ini telah diuji oleh tim penguji dan disetujui oleh Pembimbing, serta diuji pada tanggal : 4 Maret 2016

Tim Penguji: Tanda tangan

1. Ketua : Dr. A. A. G. P. Widanaputra, S.E., M.Si., Ak. …………...

2. Sekretaris : Dr. Dodik Ariyanto, S.E., M.Si., Ak. …………...

3. Anggota : Dr. Maria M. Ratna Sari, S.E., M.Si., Ak. …………...

Mengetahui,

Ketua Jurusan Akuntansi Pembimbing

Dr. A. A. G. P. Widanaputra, S.E., M.Si., Ak. Dr. Dodik Ariyanto, S.E., M.Si., Ak. NIP. 19650323 199103 1 004 NIP. 19670410 199303 1 002


(4)

iii

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam Naskah Skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar rujukan.

Apabila ternyata di dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur plagiasi, saya bersedia diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 22 Februari 2016

Mahasiswa,

Ni Ketut Ayu Purnamaningsih NIM. 1215351135


(5)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pengaruh Gender, Usia, Tingkat Pendidikan, dan Status Sosial Ekonomi terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi ”, dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang direncanakan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. I Nyoman Mahendra Yasa, S.E., M.Si., Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

2. Prof. Dr. Ni Nyoman Kerti Yasa, S.E., M.S., Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

3. Dr. A. A. G. P. Widanaputra, S.E., M.Si., Ak., dan Dr. I Dewa Nyoman Badera, S.E., M.Si., masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

4. Drs. Ketut Suardhika Natha, M.Si., dan Drs. I Made Jember, M.Si., masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Program Ekstensi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

5. Ni Gusti Putu Wirawati, S.E., M.Si., Ketua Koordinator Jurusan Akuntansi Program Ekstensi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana. 6. Putu Agus Ardiana, S.E., M.M., M.Acc & Fin., Ak., sebagai Pembimbing

Akademik.

7. Dr. Dodik Ariyanto, S.E., M.Si., Ak., Dosen Pembimbing Skripsi atas waktu, bimbingan, masukan serta motivasinya selama penyelesaian skripsi ini.

8. Dr. A. A. G. P. Widanaputra, S.E., M.Si., Ak., dan Dr. Maria M. Ratna Sari, S.E., M.Si., Ak., Dosen Penguji atas bimbingan dan masukannya terhadap skripsi ini.

9. Keluarga tercinta, yaitu kedua Orang Tua saya, Bapak (alm.) I Nyoman L. Daduarsa, S.H., M.M., dan Ibu Ni Luh Merta Adnyani, S.Pd., serta kakak kandung saya, Ni Luh Ratnawati, S.H.; I Made Susila Darma, S.E., S.H.,


(6)

v

Ak.; dan Ni Nyoman Suryaningsih, S.E., M.Si., atas dukungan dan doanya yang tulus dan tiada hentinya selama menempuh studi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

10. Para sahabat seperjuangan Mbok Ampri, Ratna Kusumayanti, Dian Kusuma, Dian Irmayani, Anggar, Desi, Diah, Sidney, Werdhi, Mirah, Lisna, Yuli, Tika Widy, Dewi S. YS, Meli, Santika, Kak May, Kak Lia, Widya, Ana, Tut Ayu, Pebri, Arin, Rizka, Citra, Ary Pande, Josh Ananta dkk yang telah banyak memberikan kritik saran, semangat, motivasi, dan dukungannya bagi penulis.

11. Teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberi dukungan dan motivasi.

12. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Meskipun demikian, penulis tetap bertanggung jawab terhadap semua isi skripsi. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan.

Denpasar, 22 Februari 2016


(7)

vi

Judul : Pengaruh Gender, Usia, Tingkat Pendidikan, dan Status Sosial Ekonomi terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi

Nama : Ni Ketut Ayu Purnamaningsih NIM : 1215351135

ABSTRAK

Pentingnya etika dalam suatu profesi menyebabkan profesi akuntansi memfokuskan perhatiannya pada persepsi etis para mahasiswa akuntansi sebagai titik awal dalam meningkatkan persepsi etis terhadap profesi akuntansi. Penelitian ini dilakukan karena adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntansi dan untuk mendeteksi kembali apakah faktor gender, usia, tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi mampu mempengaruhi persepsi etis mahasiswa akuntansi sebagai calon akuntan profesional.

Penelitian ini dilakukan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana. Data diperoleh melalui penyebaran kuesioner kepada para mahasiswa akuntansi. Metode penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode non probability sampling dengan teknik purposive sampling. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa S1 akuntansi, mahasiswa PPAk, dan mahasiswa S2 akuntansi di Universitas Udayana dengan status aktif yang telah menempuh mata kuliah Etika Bisnis dan mata kuliah Pengauditan I. Penentuan sampel minimal yang digunakan dalam penelitian ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin. Jumlah sampel yang digunakan berjumlah 110 responden. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gender tidak berpengaruh terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi. Sedangkan usia dan tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi, serta status sosial ekonomi berpengaruh negatif terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi.

Kata kunci: Gender, Usia, Tingkat Pendidikan, Status Sosial Ekonomi, Persepsi


(8)

vii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... . vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ...11

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Kegunaan Penelitian ... 12

1.5 Sistematika Penulisan ... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS 2.1 Teori dan Konsep yang Relevan... 15

2.1.1 Theory Planned Behavior (TPB) ... 15

2.1.2 Teori Perkembangan Moral Kognitif ... 17

2.1.3 Teori Motivasi ... 21

2.1.4 Etika ... 23

2.1.5 Persepsi ... 25

2.1.6 Gender ... 28

2.1.7 Usia... 32

2.1.8 Tingkat Pendidikan ... 33

2.1.9 Status Sosial Ekonomi ... 34

2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian ... 35

2.2.1 Pengaruh Gender terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi... 35

2.2.2 Pengaruh Usia terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi ... 36

2.2.3 Pengaruh Tingkat Pendidikan terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi ... 37

2.2.4 Pengaruh Status Sosial Ekonomi terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi ... 39

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 40

3.2 Lokasi Penelitian ... 41

3.3 Subyek dan Obyek Penelitian ... 41

3.4 Identifikasi Variabel ... 41

3.5 Definisi Operasional Variabel ... 42


(9)

viii

3.6.1 Jenis Data ... 47

3.6.2 Sumber Data ... 47

3.7 Populasi, Sampel dan Metode Penentuan Sampel ... 48

3.7.1 Populasi ... 48

3.7.2 Sampel ... 49

3.7.3 Metode Penentuan Sampel ... 51

3.8 Metode Pengumpulan Data ... 53

3.9 Analisis Statistik Deskriptif ... 53

3.10 Intervalisasi Data ... 55

3.11 Pengujian Kualitas Data ... 56

3.11.1 Uji Validitas ... ... 56

3.11.2 Uji Reliabilitas ... 56

3.12 Uji Asumsi Klasik ... 57

3.13 Teknik Analisis Data ... 59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 62

4.1.1 Deskripsi Responden ... 62

4.1.2 Karakteristik Responden ... 63

4.1.3 Hasil Analisis Statistik Deskriptif ... 65

4.1.4 Hasil Intervalisasi Data ... 71

4.1.5 Hasil Uji Kualitas Data ... 71

4.1.5.1 Hasil Uji Validitas ... 71

4.1.5.2 Hasil Uji Reliabilitas ... 72

4.1.6 Hasil Uji Asumsi Klasik ... 73

4.1.7 Hasil Analisis Regresi Linier Berganda ... 75

4.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 80

4.2.1 Pengaruh Gender terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi ... 80

4.2.2 Pengaruh Usia terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi ... 82

4.2.3 Pengaruh Tingkat Pendidikan terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi ... 84

4.2.4 Pengaruh Status Sosial Ekonomi terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi ... 86

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 90

5.2 Saran ... 92

DAFTAR RUJUKAN ... 94


(10)

ix

DAFTAR TABEL

No. Tabel Halaman

2.1 Karakteristik Maskulin dan Feminin dalam Budaya Organisasi ... 31

3.1 Daftar Populasi Mahasiswa Akuntansi dengan Status Aktif ... 48

3.2 Daftar Sampel Mahasiswa Akuntansi dengan Status Aktif ... 50

3.3 Daftar Mahasiswa Akuntansi dengan Status Aktif Berdasarkan Gender yang Memenuhi Kriteria Sampel ... 51

4.1 Rincian Penyebaran dan Pengembalian Kuesioner ... 63

4.2 Karakteristik Responden ... 64

4.3 Hasil Uji Statistik Deskriptif Variabel Usia, Tingkat Pendidikan, dan Status Sosial Ekonomi ... 65

4.4 Angka Indeks Variabel Gender (Maskulin-Feminin) ... 68

4.5 Deskripsi Indeks Variabel Gender (Maskulin-Feminin)... 69

4.6 Angka Indeks Variabel Persepsi Etis ... 69

4.7 Deskripsi Indeks Variabel Persepsi Etis ... 69

4.8 Hasil Uji Validitas ... 72

4.9 Hasil Uji Reliabilitas ... 72

4.10 Hasil Uji Normalitas (Kolmogorov-Smirnov Test) ... 73

4.11 Hasil Uji Multikolinearitas ... 74

4.12 Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 75


(11)

x

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Halaman

2.1 Bagan Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Persepsi ... 27 3.1 Bagan Desain Penelitian ... 40


(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Halaman


(13)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perkembangan era globalisasi menyebabkan profesi akuntan menghadapi tantangan yang semakin sulit, sehingga dalam menjalankan pekerjaannya akuntan dituntut untuk profesional. Selain itu, akuntan juga harus menjaga harkat dan martabatnya serta menghindari segala tindakan yang mencoreng nama baik profesi. Keahlian maupun keterampilan memang diperlukan oleh suatu profesi agar profesi tersebut mampu bersaing di dunia usaha dan bekerja secara profesional. Namun, selain keahlian dan keterampilan, suatu profesi juga memerlukan etika yang harus dimiliki oleh pihak yang menjalankan profesi (Julianto, 2013).

Akuntan merupakan profesi yang keberadaannya sangat tergantung pada kepercayaan masyarakat. Sebagai sebuah profesi, seorang akuntan dalam menjalankan tugasnya harus menjunjung tinggi etikanya (Lubis, 2010: 334). Tanpa etika, profesi akuntansi tidak akan ada karena fungsi akuntansi adalah penyedia informasi untuk proses pembuatan keputusan bisnis oleh para pelaku bisnis. Di samping itu, profesi akuntansi mendapat sorotan yang cukup tajam dari masyarakat. Hal ini seiring dengan terjadinya beberapa pelanggaran etika yang dilakukan oleh akuntan, baik akuntan publik, akuntan intern perusahaan maupun akuntan pemerintah (Martadi dan Suranta, 2006). Akuntan dalam melaksanakan pekerjaannya, dituntut untuk memiliki obyektifitas yang tinggi supaya dapat bertindak adil. Selain itu, independensi seorang akuntan juga dinilai penting agar


(14)

2

akuntan tidak mudah dipengaruhi oleh pihak lain dan tidak berpihak kepada siapapun dalam mengambil keputusan sehingga dapat terhindar dari perbuatan curang. Dengan begitu akuntan akan mendapatkan kepercayaan dari publik yang akan memakai jasanya (Sipayung, 2015).

Beberapa kasus skandal perusahaan-perusahaan besar di Amerika, seperti kasus Enron Corp, WorldCom, dan Xerox Corp telah menarik perhatian banyak pihak. Enron Corp merupakan perusahaan terbesar ke tujuh di Amerika Serikat yang bergerak di bidang industri energi, di mana para manajernya memanipulasi angka yang menjadi dasar untuk memperoleh kompensasi moneter yang besar. Kasus ini diperparah dengan praktik akuntansi yang meragukan dan tidak independennya audit yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Arthur Andersen terhadap Enron. Arthur Anderson tidak hanya melakukan manipulasi laporan keuangan Enron, tetapi juga telah melakukan tindakan yang tidak etis dengan menghancurkan dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan kasus Enron. Kasus Enron merupakan kebangkrutan terbesar dalam sejarah Amerika Serikat dan menyebabkan 4000 pegawai kehilangan pekerjaan mereka (Hutahahean, 2015).

Widiastuti (2003) mengungkapkan bahwa semenjak merebaknya kasus Bank Duta tahun 1990, kemudian berturut-turut kasus Golden Key, Kanindotex, dan maraknya praktik mark-up seperti disinyalir Menteri Keuangan pada saat pembukaan Kongres Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) VII di Bandung tahun 1994, profesi akuntan khususnya akuntan publik banyak mendapat sorotan dari masyarakat. Kelemahan akuntan lokal dalam hal etika juga diungkapkan oleh


(15)

3

Hadibroto (1998) yang menyatakan keraguannya terhadap keteguhan para akuntan Indonesia dalam mempertahankan etika profesi. Hal ini dibuktikan dengan adanya pandangan kurang baik akan reputasi profesi akuntan Indonesia di mata internasional yang tentu merupakan penghambat bagi berkiprahnya akuntan Indonesia di dunia internasional (Media Akuntansi dalam Islahuddin dan Soesi, 2002). Pengamat ekonomi Sri Mulyani juga menyatakan bahwa krisis moneter yang terjadi tidak terlepas dari keterlibatan para akuntan lokal, yang mana para akuntan tersebut sudah terbiasa dengan kondisi hitungan seimbang, mereka dipaksa melindungi perusahan klien dari kebobrokan keuangan (Media Akuntansi dalam Islahuddin dan Soesi, 2002).

Kasus-kasus skandal akuntansi yang terjadi telah mencoreng profesi akuntansi sehingga berdampak pada kepercayaan masyarakat. Selain itu, dengan mencuatnya kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh profesi akuntansi, yaitu kasus Gayus Tambunan (2010) dan kasus Dhana Widyatmika (2012) yang merupakan konsultan pajak telah menjadi sorotan dunia pendidikan dan menyadarkan bahwa pendidikan etika pada akuntansi sangatlah penting (Basri, 2015). Ketika kecurangan adalah salah satu langkah untuk memenuhi kebutuhan akan uang, orang-orang cenderung untuk merasionalisasikan dan membenarkan ketidakjujuran mereka dengan mudah. Orang-orang yang tunduk pada segala macam godaan memicu mereka untuk berperilaku etis ataupun tidak etis (Ariely, 2008 dalam Yeltsinta, 2013).

Sebuah profesi harus memiliki komitmen moral yang tinggi yang dituangkan dalam bentuk aturan khusus. Aturan ini merupakan aturan main dalam


(16)

4

menjalankan atau mengemban profesi tersebut, yang biasa disebut sebagai kode etik (Lubis, 2010: 334). Etika profesional dikeluarkan oleh organisasi profesi untuk mengatur perilaku anggotanya dalam menjalankan profesinya di masyarakat. Etika profesional bagi praktik akuntan di Indonesia disebut dengan istilah kode etik dan dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia sebagai organisasi profesi akuntan. Dalam kongresnya tahun 1973 Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk pertama kalinya menetapkan kode etik bagi profesi akuntan di Indonesia. Kode etik ini kemudian disempurnakan dalam kongres IAI tahun 1981 dan tahun 1986, dan kemudian diubah lagi dalam kongres IAI tahun 1990, 1994, 1998. Pembahasan mengenai kode etik profesi akuntan didasarkan pada Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia yang ditetapkan dalam Kongres VIII tahun 1998 (Mulyadi, 2014: 50). Prinsip etika profesi IAI yang diputuskan dalam Kongres VIII tahun 1998, yaitu meliputi tanggung jawab profesi, kepentingan publik, integritas, obyektivitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan, perilaku profesional, dan standar teknis. Delapan prinsip etika tersebut sangat diperlukan sebagai pedoman kerja seorang akuntan profesional (Mulyadi, 2014: 53-60).

Machfoedz (1997) dalam Winarna dan Retnowati (2004) menjelaskan bahwa profesional akuntansi mengandalkan kode etik untuk menyampaikan tanggung jawab mereka kepada masyarakat. Karakter menunjukkan personalitas seorang profesionalisme yang diwujudkan dalam sikap profesional dan tindakan etisnya. Menurut Fine et al. (1988) dalam Husein (2004), analisis terhadap sikap etis dalam profesi akuntansi menunjukkan bahwa akuntan mempunyai


(17)

5

kesempatan untuk melakukan tindakan tidak etis dalam profesi mereka. Selanjutnya, Chan dan Leung (2006) menyatakan bahwa profesi akuntansi rentan terhadap pelanggaran etika, oleh karena itu, etika harus dimiliki oleh seorang akuntan. Perilaku etis seorang akuntan profesional sangatlah penting dalam penentuan status dan kredibilitas profesi di bidang akuntansi.

Accounting Education Change Commission (AECC, 1990) menyebutkan

bahwa salah satu keahlian intelektual yang harus dimiliki oleh lulusan akuntansi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi masalah-masalah etika dan mengaplikasikan value-based reasoning system pada pertanyaan-pertanyaan etis yang berkaitan dengan profesi akuntansi (Charismawati, 2011). Profesi akuntansi menekankan pentingnya para profesional dalam mengembangkan perilaku etis yang dimulai dari awal karirnya, bahkan sebelum mereka menggeluti profesi tersebut (Elias, 2008).

Penelitian Hunt dan Vitell (1986) menyebutkan kemampuan seorang profesional untuk dapat mengerti dan sensitif akan adanya masalah-masalah etika dalam profesinya dipengaruhi oleh lingkungan budaya atau masyarakat di mana profesi itu berada, lingkungan profesi, lingkungan organisasi dan pengalaman pribadi. Di samping lingkungan bisnis, hal yang dapat mempengaruhi seseorang berperilaku etis adalah lingkungan dunia pendidikan (Sudibyo, 1995 dalam Murtanto dan Marini, 2003). Pendidikan akuntan yang profesional tidak hanya menekankan pada skills dan knowledge saja, akan tetapi juga memerlukan adanya standar etis dan komitmen profesional(Mintz, 1995 dalam Indarto, 2011).


(18)

6

Kasus pelanggaran etika seharusnya tidak akan terjadi apabila setiap akuntan mempunyai pengetahuan, pemahaman, dan kemauan untuk menerapkan nilai-nilai moral dan etika secara memadai dalam pelaksanaan pekerjaan profesionalnya (Ludigdo, 1999). Oleh karena itu, terjadinya berbagai kasus sebagaimana disebutkan di atas, seharusnya memberi kesadaran untuk lebih memperhatikan etika dalam melaksanakan pekerjaan profesi akuntansi. Sudibyo (1995) dalam Khomsiyah dan Indriantoro (1998) mengemukakan bahwa dunia pendidikan akuntansi mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku etika auditor. Ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa sikap dan perilaku moral auditor dapat terbentuk melalui proses pendidikan yang terjadi dalam lembaga pendidikan akuntansi, di mana mahasiswa sebagai input, sedikit banyaknya akan memiliki keterkaitan dengan akuntan yang dihasilkan sebagai output.

Penelitian terhadap perilaku etis dalam akuntansi telah mendapatkan perhatian. Pada tahun 1986, American Accounting Association (AAA) melalui

The Bedford Committee telah menekankan tentang pentingnya technical expertise

dan moral expertise bagi akuntan untuk memenuhi peranannya terhadap

masyarakat (Indarto, 2011). Huss dan Patterson (1993) dalam Ludigdo dan Machfoedz (1999) mengungkapkan bahwa the National Commission on

Fraudulent Financial Reporting melalui Treadway Commission (1987)

merekomendasikan untuk lebih diperluasnya cakupan etika dalam pendidikan akuntansi. Selanjutnya, pada tahun 1988, AAA membentuk “Project on

Professionalism and Ethics”, yang bertujuan untuk mempromosikan pendidikan


(19)

7

Berdasarkan penjelasan di atas, maka sangatlah beralasan apabila pendidikan tinggi akuntansi merespon dengan berusaha memasukkan atau mengintegrasikan etika dalam kurikulum. Di Indonesia, keberadaan mata kuliah yang mengandung muatan etika tidak terlepas dari misi yang diemban oleh pendidikan tinggi akuntansi sebagai subsistem pendidikan tinggi, yang tidak saja bertanggungjawab pada pengajaran ilmu pengetahuan bisnis dan akuntansi, tetapi juga bertanggungjawab mendidik mahasiswa agar mempunyai kepribadian

(personality) yang utuh sebagai manusia (Ludigdo dan Machfoedz, 1999).

Sudibyo (1995) dalam Khomsiyah dan Indriantoro (1998), menyatakan bahwa dunia pendidikan akuntansi mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku etika auditor. Borkowski dan Ugras (1998) juga menyatakan bahwa penelitian empiris tentang pengembangan etika dalam komunitas bisnis ditujukan kepada tiga sektor yaitu: mahasiswa (students), akademisi (academics), dan profesional

(professionals).

Perilaku etis yang dilakukan oleh mahasiswa terkadang bukan berasal dari kesadaran mereka sendiri, namun karena adanya keterpaksaan demi mematuhi peraturan hukum yang berlaku (O'leary dan Cotter, 2000). Penelitian lain menemukan hasil bahwa motivasi mendasar bagi mahasiswa ataupun profesional dalam mengikuti kode etik ialah ketakutannya akan ketahuan melakukan tindakan tidak etis, bukan dari kesadarannya akan pentingnya berperilaku etis (O’leary dan Pangemanan, 2007). Oleh karena itu, masih banyak ditemukan kecurangan yang dilakukan oleh mahasiswa ataupun profesional.


(20)

8

The Bedford Committee menyebutkan dalam pernyataannya bahwa salah

satu tujuan dari pendidikan akuntansi adalah untuk mengenalkan mahasiswa kepada nilai-nilai dan standar-standar etik dalam profesi akuntan (Clikemen dan Henning, 2000). Mastracchio (2005) menyatakan bahwa kepedulian terhadap etika harus diawali dari kurikulum akuntansi, jauh sebelum mahasiswa akuntansi masuk di dunia profesi akuntansi. Salah satu esensi yang harus dimiliki oleh mahasiswa lulusan akuntansi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi isu-isu seputar pertanyaan-pertanyaan etis. Untuk itu dibutuhkan pendidikan etika sejak dini bagi mahasiswa akuntansi fungsinya adalah untuk tindakan antisipatif atas kemungkinan pelanggaran etika yang akan terjadi. Elias (2006) menemukan bahwa mahasiswa akuntansi dengan komitmen profesional yang lebih tinggi dan sosialisasi antisipasi lebih mungkin untuk mempertanyakan tindakan tidak etis dibandingkan dengan mahasiswa lain.

Madison (2002) dalam Elias (2010) berpendapat bahwa mahasiswa akuntansi adalah para profesional di masa depan dan dengan pendidikan etika yang baik diharapkan dapat menguntungkan profesinya dalam jangka panjang. Karena begitu pentingnya etika dalam suatu profesi, membuat profesi akuntansi memfokuskan perhatiannya pada persepsi etis para mahasiswa akuntansi sebagai titik awal dalam meningkatkan persepsi etis terhadap profesi akuntansi. Elias (2007) menyatakan bahwa masih sangat dibutuhkan penelitian mengenai sosialisasi mengenai etika pada mahasiswa akuntansi.

Persepsi yang dimiliki seseorang berbeda satu sama lain. Hal ini disebabkan karena setiap individu memiliki penafsiran yang berbeda satu sama


(21)

9

lain dari sesuatu yang diterimanya (Sipayung, 2015). Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang, di antaranya aspek demografi yang dimiliki setiap individu, seperti jenis kelamin atau gender, usia, tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi.

Penelitian mengenai etika dari perspektif gender menunjukkan hasil yang beragam. Hasil penelitian Arlow (1991) dan Crow et al. (1991) menemukan bahwa wanita lebih etis dibanding pria. Selanjutnya, pada penelitian Henry (2013) menyatakan bahwa dosen akuntansi perempuan lebih memiliki orientasi etis yang tinggi dibandingkan dosen akuntansi laki-laki. Sedangkan, pada penelitian Hidayat dan Handayani (2010), menyatakan bahwa dalam menghadapi situasi konflik audit, auditor pria mempunyai sikap dan perilaku yang lebih etis dengan tetap mengedepankan pemikiran-pemikiran yang rasional serta proses pengambilan keputusan melibatkan logika dan pertimbangan etis mereka. Namun, pada penelitian Derry (1987, 1989), Kidwell et al. (1987), dan Trevino (1992) dalam Gadjali (2014), menemukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan terhadap persepsi etis mereka, kemudian selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2010) menyatakan bahwa gender tidak berpengaruh terhadap persepsi mahasiswa atas perilaku tidak etis akuntan.

Hofstede (1983) dalam Putri (2011), membedakan secara umum dimensi budaya yang berpengaruh pada nilai-nilai kerja suatu organisasi, salah satunya adalah masculinity-feminity, di mana dimensi ini berkaitan dengan perbedaan peran gender. Budaya yang cenderung bersifat maskulin memiliki ciri lebih mementingkan harta milik, kompetisi, dan kinerja, sedangkan budaya yang


(22)

10

cenderung bersifat feminin lebih mementingkan kesetaraan, solidaritas, dan kualitas kehidupan kerja. Hastuti (2007) berpendapat bahwa perbedaan nilai dan sifat berdasarkan gender biasanya akan mempengaruhi laki-laki dan perempuan dalam membuat keputusan.

Penelitian mengenai etika yang dilihat dari perbedaan usia pada penelitian Romawi dan Munuera (2005) dalam Widyaningrum (2014), menyimpulkan bahwa usia memiliki pengaruh yang signifikan dalam etika, sikap orang yang lebih tua didapati lebih etis dari rekan-rekan mereka yang lebih muda. Menurut Kohlberg (1981) usia menyebabkan penalaran etis individu akan menjadi lebih etis. Usia seseorang dinyatakan mempunyai dampak terhadap pertimbangan etisnya (Nugroho, 2008).

Penelitian Lopez et al. (2005) dalam Widyaningrum (2014), menguji efek dari tingkat pendidikan dalam sekolah bisnis dan faktor individu lain, seperti kebudayaan internasional, spesialisasi dalam pendidikan, dan jenis kelamin pada persepsi etis. Hasil penelitian menunjukkan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan, kebudayaan internasional, dan jenis kelamin berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi etis. Selanjutnya, mereka menemukan bahwa perilaku etis cenderung tinggi pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Menurut Noe et al. (1994) dalam Ginting (2003), setiap individu di dalam melakukan suatu pekerjaan pada dasarnya memiliki motivasi yang berbeda-beda dalam bekerja. Namun, motif yang utama adalah imbalan dan status yang lebih tinggi. Kemudian apabila memiliki tujuan yang sama, maka akan melahirkan kompetisi dalam pencapaiannya. Oleh karena itu, kemungkinan seseorang dalam


(23)

11

melakukan perilaku yang tidak etis dalam keadaan status sosial ekonomi yang berbeda dapat terjadi.

Penelitian ini menganalisis mengenai pengaruh gender, usia, tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi. Penekanan penelitian ini adalah pada dimensi aspek demografi yang meliputi gender, usia, tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi sebagai bagian dari aspek individual yang mempengaruhi sikap etis mahasiswa akuntansi. Penelitian ini dilakukan karena adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntansi dan untuk mendeteksi kembali apakah faktor gender, usia, tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi mampu mempengaruhi persepsi etis seseorang, terutama terhadap para mahasiswa akuntansi sebagai calon akuntan profesional.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Apakah gender berpengaruh terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi?

2) Apakah usia berpengaruh terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi? 3) Apakah tingkat pendidikan berpengaruh terhadap persepsi etis

mahasiswa akuntansi?

4) Apakah status sosial ekonomi berpengaruh terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi?


(24)

12 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menjawab rumusan masalah yang telah dirumuskan di atas adalah sebagai berikut.

1) Untuk mengetahui pengaruh gender terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi.

2) Untuk mengetahui pengaruh usia terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi.

3) Untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi.

4) Untuk mengetahui pengaruh status sosial ekonomi terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi.

1.4 Kegunaan Penelitian

Melalui penelitian ini, diharapkan akan diperoleh informasi yang bermanfaat, yaitu sebagai berikut.

1) Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan studi empiris yang membahas pemahaman mengenai etika. Dapat memberikan kontribusi bagi tenaga pendidik, yang diharapkan untuk dapat menambah perhatian lebih mengenai masalah etika yang penting untuk ditanamkan sejak dini, dalam hal ini pada saat duduk di bangku perguruan tinggi. Pendidik diharapkan mampu memantau proses perkembangan pendidikan etika dan pendidikan moral mahasiswa.


(25)

13 2) Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan, referensi, dan wawasan berupa tambahan bukti empiris berkaitan dengan pengaruh gender, usia, tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi terhadap persepsi etis. Selain itu, diharapkan mahasiswa akuntansi yang akan terjun ke dunia profesional dapat memahami lebih jauh mengenai etika. Dengan adanya pemahaman etika yang baik, diharapkan dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran etika dalam akuntansi.

1.5 Sistematika Penulisan

Skripsi ini dibagi menjadi lima bab, di mana antara satu bab dengan bab lainnya mempunyai hubungan yang saling berkaitan. Uraian masing-masing bab adalah sebagai berikut.

Bab I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II : Kajian Pustaka dan Rumusan Hipotesis

Bab ini menguraikan berbagai landasan teori yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan, yaitu mengenai persepsi etis, gender, usia, tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi. Serta menguraikan mengenai perumusan hipotesis.


(26)

14 Bab III : Metode Penelitian

Bab ini terdiri atas desain penelitian, lokasi penelitian, subyek dan obyek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, populasi, sampel dan metode penentuan sampel, metode pengumpulan data, analisis statistik deskriptif, intervalisasi data, uji kualitas data, uji asumsi klasik, dan teknik analisis data.

Bab IV : Pembahasan Hasil Penelitian

Bab ini menguraikan mengenai deskripsi responden, karakteristik responden, hasil analisis statistik deskriptif, hasil intervalisasi data, hasil uji kualitas data, hasil uji asumsi klasik, hasil uji analisis regresi linier berganda, dan pembahasan hasil penelitian.

Bab V : Simpulan dan Saran

Bab ini menguraikan tentang simpulan yang dibuat berdasarkan uraian pada bab sebelumnya serta saran-saran yang nantinya diharapkan dapat berguna bagi penelitian berikutnya.


(27)

15 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

2.1 Teori dan Konsep yang Relevan 2.1.1 Theory Planned Behavior (TPB)

Theory Planned Behavior atau teori perilaku yang direncanakan adalah

teori yang menghubungkan keyakinan dan perilaku. Theory of Planned Behavior (TPB) merupakan perluasan dari Theory of Reasoned Action (TRA). Dalam TRA dijelaskan bahwa niat seseorang terhadap perilaku dibentuk oleh dua faktor utama yaitu attitude toward the behavior dan subjective norms (Ajzen dan Fishbein, 1975). Sedangkan dalam TPB ditambahkan satu faktor lagi, yaitu perceived

behavioral control (Ajzen, 1991). Konsep ini diusulkan oleh Ajzen (1985) untuk

memperbaiki kekuatan prediksi dari teori tindakan beralasan dengan memasukkan kontrol perilaku yang dirasakan. Tujuan dan manfaat dari teori ini adalah untuk meramalkan dan memahami pengaruh-pengaruh motivasi perilaku, baik kemauan individu itu sendiri maupun bukan kemauan dari individu tersebut. Theory of

Planned Behavior (TPB) membagi macam alasan yang dapat mempengaruhi

tindakan yang diambil oleh individu, yaitu:

1) Behavioral belief, yaitu kepercayaan-kepercayaan mengenai kemungkinan

akan terjadinya suatu perilaku. Pada TRA, hal ini disebut dengan sikap

(attitude) terhadap perilaku.

Sikap (attitude) dalam hal ini mengacu pada sejauh mana seseorang memiliki evaluasi menguntungkan atau tidak menguntungkan dari perilaku yang menarik. Hal ini memerlukan pertimbangan hasil dari melakukan


(28)

16

perilaku. Contohnya adalah sikap seorang terhadap intuisi, terhadap orang lain, atau terhadap suatu obyek. Dalam profesi akuntansi, sebagai contoh, sikap auditor terhadap lingkungan di mana ia bekerja (kantor) terhadap atasannya atau terhadap penjelasan dari kliennya, dan tentunya terhadap pemberian opininya atas laporan keuangan.

2) Normative beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normatif yang muncul

akibat pengaruh orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut

(normatif belief and motivation to comply). Pada TRA, hal ini disebut dengan

norma subyektif (subyective norm) terhadap perilaku.

Ajzen dan Fishbein (1975) dalam Krehastuti (2014) mendefinisikan norma subyektif sebagai persepsi individu mengenai apakah orang-orang yang penting baginya akan mendukung atau tidak untuk melakukan suatu perilaku tertentu dalam kehidupannya. Norma subyektif ini mengacu pada keyakinan tentang apakah kebanyakan orang menyetujui atau menolak perilaku. Hal ini terkait dengan keyakinan seseorang tentang apakah rekan-rekan dan orang-orang yang penting bagi orang-orang berpikir dia harus terlibat dalam perilaku. Contohnya adalah etika profesi seorang auditor yang menyangkut keyakinan pada kode etik atau standar yang telah berlaku selama melakukan pemeriksaan.

3) Control beliefs, yaitu keyakinan atas keberadaan hal-hal yang mendukung

atau menghambat perilaku yang ditampilkan dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal tersebut mendukung atau menghambat perilakunya (perceived


(29)

17

berasal dari diri pribadi maupun dari eksternal, faktor lingkungan. Dalam TRA, variabel ini belum ada, maka ditambahkan pada TPB, disebut dengan

perceived behavioral control (kontrol perilaku). Kontrol keperilakuan yang

dirasakan dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu dan perkiraan seseorang mengenai sulit atau tidaknya untuk melakukan perilaku tertentu (Azwar, 2003).

Secara beruntun, behavioral belief menghasilkan sikap positif atau negatif terhadap suatu obyek, normative belief menghasilkan tekanan sosial yang dipersepsikan (perceived social pressure) atau norma subjektif (subjektive norm),

dan control belief menimbulkan perceived behavioral control atau kontrol

keperilakuan yang dipersepsikan (Ajzen, 2002). Putri (2013) dalam Rachmadi (2014), mengungkapkan bahwa niat perilaku (behavioral intention) yang mengakibatkan individu berperilaku (behavioral). Jadi, dapat disimpulkan bahwa dengan semakin baik sikap dan perilaku individu yang sejalan dengan persepsi etis yang dirasakan dalam menjalankan profesinya, seperti menjalankan etika atau standar yang berlaku dalam profesi akuntansi, maka tindakan pelanggaran yang dapat terjadi akan semakin rendah.

2.1.2 Teori Perkembangan Moral Kognitif

Kohlberg melakukan penelusuran perkembangan pemikiran remaja dan

young adults pada tahun 1969. Dalam penelitiannya, Kohlberg meneliti cara

berpikir anak-anak melalui pengalaman mereka yang meliputi pemahaman konsep moral, misalnya konsep justice, rights, equality, dan human welfare. Pada tahun 1963, Kohlberg melakukan riset awal yang dilakukan pada anak-anak usia 10-16


(30)

18

tahun. Berdasarkan riset tersebut Kohlberg mengemukakan teori perkembangan moral kognitif (Cognitive Moral Development). Perkembangan moral individu menurut Kohlberg (1969), didasarkan pada konsep bahwa individu akan berada pada tingkat perkembangan moral yang lebih tinggi sejalan dengan perkembangan umur serta pendidikannya.

Menurut prospektif perkembangan moral kognitif, kapasitas moral individu menjadi lebih sophisticated dan kompleks jika individu tersebut mendapatkan tambahan struktur moral kognitif pada setiap peningkatan level pertumbuhan perkembangan moral. Pertumbuhan eksternal berasal dari rewards

dan punishment yang diberikan, sedangkan pertumbuhan internal mengarah pada

principle dan universal fairness (Kohlberg,1969). Kohlberg mengidentifikasi tiga

level perkembangan moral yang terdiri atas: Pre-Conventional, Conventional dan

Post-Conventional atau Principled.

Menurut Ponemon (1992) terdapat enam tingkatan dalam Teori Kohlberg. Tingkat satu dan dua dari perkembangan moral, disebut dengan Pre-convetional, orang-orang (biasanya anak-anak) membuat keputusan-keputusan moral berdasarkan pada imbalan dan hukuman. Pada tingkat tiga dan empat disebut

Convetional, dalam tahap ini sesorang sudah memperhatikan aturan-aturan sosial

dan kebutuhan-kebutuhan sesama. Tingkat terakhir, yaitu lima dan enam disebut

Post-Conventional, di mana kebaikan bagi masyarakat telah dimasukkan dalam


(31)

19

1) Pre-Conventional

Terdiri atas tingkat pertama yang berorientasi pada hukum dan ketaatan. Pada tahap ini konsekuensi fisik sebuah tindakan sepenuhnya ditentukan oleh kebaikan atau keburukan tindakan itu sendiri. Alasan anak untuk melakukan hal yang baik adalah untuk menghindari hukuman atau menghormati kekuatan otoritas fisik yang lebih besar. Selanjutnya pada tingkat kedua, berorientasi pada instrumen dan relativitas. Pada tahap ini, tindakan yang benar adalah yang dapat berfungsi sebagai instrumen untuk memuaskan kebutuhan anak itu sendiri atau kebutuhan mereka yang dipedulikan anak itu (Nugroho, 2008 dalam Widyaningrum, 2014).

2) Conventional

Terdiri atas tingkat ketiga yang berorientasi pada kesesuaian interpersonal. Perilaku yang baik pada tahap konvensional ini adalah memenuhi ekspetasi mereka dari mana dia merasakan loyalitas, afeksi, dan kepercayaan, seperti keluarga dan teman. Tindakan yang benar merupakan penyesuaian terhadap apa yang diharapkan secara umum dan perannya sebagai anak, saudara, teman yang baik, dan sebagainya. Melakukan apa yang baik dimotivasi oleh kebutuhan untuk dapat dilihat sebagai pelaku yang baik dalam pandangannya sendiri dan pandangan orang lain. Tingkat keempat berorientasi pada hukum dan keteraturan. Benar dan salah pada tahap konvensional yang lebih dewasa kini ditentukan oleh loyalitas terhadap negara atau masyarakat sekitarnya yang lebih besar. Seseorang sekarang dapat melihat orang lain sebagai bagian dari sistem sosial yang lebih besar


(32)

20

yang mendefinisikan peran dan kewajiban individu, dan dia dapat memisahkan norma-norma yang berasal dari site mini, relasi interpersonal dan motif-motif pribadi (Nugroho, 2008 dalam Widyaningrum, 2014).

3) Post-Conventional atau Principled

Terdiri atas tingkat kelima yang berorientasi pada kontrak sosial. Seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai hubungan beragam pandangan dan pendapat personal yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk mencapai konsensus dalam kesepahaman, kontrak, dan proses matang. Dia percaya bahwa nilai dan norma bersifat relatif, dan terlepas dari konsekuensi demokratis, semua hendaknya diberi toleransi. Tingkat keenam, berorientasi pada prinsip etis universal. Pada tahap terakhir ini, tindakan yang benar didefinisikan dalam pengertian prinsip moral yang dipilih karena komprehensivitas, universalitas, dan konsistensinya. Prinsip etis ini merupakan prinsip umum yang abstrak yang berkaitan dengan keadilan, kesejahteraan masyarakat, kesetaraan hak asasi manusia, rasa hormat terhadap martabat manusia individual, dan ide bahwa manusia bernilai pada dirinya dan harus diperlakukan demikian. Alasan seseorang untuk melakukan apa yang benar berdasarkan pada komitmen terhadap prinsip-prinsip moral tersebut dan dia melihatnya sebagai kriteria untuk mengevaluasi semua aturan dan tatanan moral yang lain (Nugroho, 2008 dalam Widyaningrum, 2014).

Perkembangan moral merupakan karakteristik personal yang dipengaruhi faktor kondisional, hal ini terlihat bahwa perkembangan moral berkembang


(33)

21

selaras dengan bertambahnya usia, di mana diasumsikan bahwa seseorang semakin banyak mendapatkan pengalaman dengan bertambahnya usia. Semakin baik perkembangan moral seseorang, maka semakin dapat berperilaku etis (Trevino dan Youngblood, 1990 dalam Widyaningrum, 2014).

2.1.3 Teori Motivasi

Menurut Handoko (2001: 135) dalam Suprihatiningrum dan Bodroastuti (2012), motivasi adalah suatu daya pendorong yang menyebabkan orang berbuat sesuatu atau hal yang diperbuat dikarenakan takut akan sesuatu. Sedangkan menurut Sardiman (2003: 198) motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Ada beberapa teori terkait dengan motivasi, salah satu di antaranya adalah Teori Hierarki Kebutuhan Maslow. Sari (2009) memaparkan bahwa dalam teori hierarki kebutuhan maslow, manusia akan terdorong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang terdiri atas.

1) Fisiologis atau kebutuhan dasar, seperti kebutuhan akan sandang (pakaian), pangan (makan dan minum), dan papan (tempat tinggal). 2) Rasa aman atau kebutuhan akan perlindungan dan bebas dari ancaman

dan kekhawatiran diri.

3) Kebutuhan sosial atau kebutuhan untuk berinteraksi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar.

4) Penghargaan adalah kebutuhan untuk dihargai atau dipuji atas hasil kerja atau usahanya.


(34)

22

5) Aktualisasi diri adalah kebutuhan akan pengakuan dari orang lain akan kompetensi yang dimilikinya.

Berdasarkan penjelasan mengenai teori hierarki kebutuhan maslow, dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan individu didasari karena adanya motivasi untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini dapat berkaitan dengan keputusan atau tindakan etis individu. Beberapa faktor yang berpengaruh pada keputusan atau tindakan tidak etis dalam sebuah perusahaan, menurut Jan Hoesada (2002) dalam Yeltsinta (2013), yaitu kebutuhan individu, tidak adanya pedoman dalam diri individu, perilaku serta kebiasaan yang dilakukan oleh individu, lingkungan tidak etis di sekitar individu, perilaku atasan yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tidak etis atau mengambil keputusan tidak etis.

Vroom (1964) mengajukan teori lain yang disebut dengan Teori Harapan

(Expectancy Theory). Konsep utama dari teori ini menitikberatkan pada perilaku

tenaga kerja akan imbalan yang diharapkan akan diperolehnya. Istilah yang harus dimengerti sebelum memahami teori ini adalah Hasil Tingkat Pertama dan Hasil Tingkat Kedua. Hasil tingkat pertama adalah pandangan atau perilaku yang muncul sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan itu sendiri. Sedangkan hasil tingkat kedua adalah peristiwa yang mungkin ditimbulkan oleh hasil tingkat pertama (Supriyanto dan Mahfudz, 2010).

Teori harapan berpegang pada motivasi untuk berperilaku yang menghasilkan kombinasi keinginan yang diharapakan sebagai hasil. Persepsi memainkan peran inti dalam teori harapan karena persepsi menekankan


(35)

23

kemampuan kognitif untuk mengantisipasi konsekuensi perilaku yang cenderung terjadi. Teori harapan mendasari prinsip hedonisme. Orang yang berprinsip hedonis berjuang memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan rasa sakit (Kreitner dan Kinicki, 2003).

Secara umum, teori harapan dapat digunakan untuk memperkirakan perilaku setiap situasi di mana ada dua pilihan alternatif atau lebih yang harus dibuat (Kreitner dan Kinicki, 2003). Sebagai contoh, teori harapan dapat digunakan untuk memperkirakan persepsi etis mahasiswa akuntansi dengan cara mengidentifikasi hal-hal apa yang akan diperoleh apabila mengutamakan tindakan etis yang diambil dalam menjalankan pekerjaannya, dan apakah hasil yang diperoleh telah memenuhi kebutuhan individu tersebut.

2.1.4 Etika

Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata ethos (bentuk tunggal) yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Bentuk jamaknya adalah ta etha, yang berarti adat istiadat. Dalam hal ini, kata etika sama pengertiannya dengan moral. Moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos (bentuk tunggal) dan mores (bentuk jamak) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, watak, tabiat, akhlak, cara hidup (Kanter, 2001 dalam Agoes dan Ardana, 2009: 26).

Etika merupakan pedoman, patokan, atau ukuran berperilaku yang tercipta melalui konsensus atau keagamaan atau kebiasaan yang didasarkan pada nilai baik dan buruk (Desriani, 1993 dalam Ustadi, 2005). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), etika diartikan sebagai nilai mengenai benar dan salah yang


(36)

24

dianut suatu golongan atau masyarakat. Bertenz (1994) dalam Pradanti (2014), mengasumsikan etika sebagai sesuatu yang absolut atau tidak bisa ditawar-tawar lagi, yang benar akan mendapat pujian dan jika salah maka harus mendapatkan hukuman.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa ternyata etika mempunyai banyak arti. Namun demikian, menurut Agoes dan Ardana (2009:27), setidaknya arti etika dapat dilihat dari dua hal berikut.

a) Etika sebagai praksis; sama dengan moral atau moralitas yang berarti adat istiadat, kebiasaan, nilai-nilai, dan norma-norma yang berlaku dalam kelompok atau masyarakat.

b) Etika sebagai ilmu atau tata susila adalah pemikiran/penilaian moral. Etika sebagai pemikiran moral bisa saja mencapai taraf ilmiah bila proses penalaran terhadap moralitas tersebut bersifat kritis, metodis, dan sistematis. Dalam taraf ini ilmu etika dapat saja mencoba merumuskan suatu teori, konsep, asas, atau prinsip-prinsip tentang perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik, mengapa perilaku tersebut dianggap baik atau tidak baik, mengapa menjadi baik itu sangat bermanfaat, dan sebagainya.

Menurut Siagian (1996) dalam Utami dan Indriawati (2006) menyebutkan bahwa ada empat alasan mengapa mempelajari etika sangat penting. Pertama, etika memandu manusia dalam memilih berbagai keputusan yang dihadapi dalam kehidupan. Kedua, etika merupakan pola perilaku yang didasarkan pada kesepakatan nilai-nilai sehingga kehidupan yang harmonis dapat tercapai. Ketiga,


(37)

25

dinamika dalam kehidupan manusia menyebabkan perubahan nilai-nilai moral sehingga perlu dilakukan analisa dan ditinjau ulang. Keempat, etika mendorong tumbuhnya naluri moralitas dan mengilhami manusia untuk sama-sama mencari, menentukan dan menerapkan nilai-nilai hidup yang hakiki.

Etika berhubungan langsung dengan kode etik profesi. Dalam kode etik profesi akuntan yang tertuang dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang mengatur tentang etika yang harus dipatuhi oleh akuntan. Peraturan yang harus dipatuhi yang menyangkut tentang tanggung jawab kepada karyawan, pemegang saham, pelanggan, dan lingkungan sekitar (Langlois dan Schlegelmilch, 1990 dalam Mcdonald, 2009). Menurut Keraf (1998) dalam Hutahahean (2015), ada dua sasaran pokok dari kode etik, yaitu pertama, kode etik ini bermaksud untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh kelalaian, baik secara sengaja maupun tidak sengaja dari para professional yang mengerjakan tugasnya. Kedua, kode etik ini bertujuan untuk melindungi keluhuran profesi tersebut dari perilaku-perilaku buruk orang-orang tertentu yang mengaku dirinya profesional

2.1.5 Persepsi

Persepsi berasal dari kata perception (Inggris) yang berasal dari bahasa Latin percipare yang artinya menerima atau mengambil (Sobur, 2003:445). Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) mendefinisikan persepsi adalah: (1) tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu, serapan dan (2) proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancainderanya. Sementara itu, dalam lingkup yang lebih luas, persepsi merupakan suatu proses yang melibatkan


(38)

pengetahuan-26

pengetahuan sebelumnya dalam menginterpretasikan stimulus yang ditunjukkan oleh pancaindra (Lubis, 2010: 93).

Persepsi adalah bagaimana orang-orang melihat atau menginterprestasikan peristiwa, obyek, serta manusia (Siegel, 1989). Persepi etis dalam penelitian ini diartikan sebagai pandangan seseorang dalam melihat kecurangan akuntansi yang terjadi. Robbins dan Judge (2008:175) dalam Hutajulu (2012) menyatakan bahwa setiap individu menunjukkan perbedaan pandangan akan suatu hal yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi persepsi terdiri dari 3 faktor yaitu: faktor pemersepsi, faktor situasi, dan faktor obyek. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang dapat berada pada pihak pelaku persepsi, pada obyek yang dipersepsikan, juga dalam konteks situasi di mana persepsi itu dilakukan. Berikut disajikan bagan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi menurut Robbins dan Judge (2008) pada Gambar 2.1, yaitu.


(39)

27

Faktor Obyek : 1. Sesuatu yang baru 2. Gerakan

3. Suara 4. Ukuran

5. Latar belakang 6. Kedekatan 7. Kemiripan

Faktor pemersepsi : 1. Sikap 2. Motif 3. Minat 4. Pengalaman 5. Harapan

Gambar 2.1 Bagan Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Sumber: Robbins dan Judge (2008)

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Robbins dan Judge (2008:176) faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi di dalam penelitian ini berkaitan dengan variabel indenpenden yang meliputi gender, usia, tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi. Variabel usia, dan gender masuk dalam kategori keadaan sosial yang termasuk dalam faktor situasi. Variabel tingkat pendidikan masuk dalam kategori pengalaman yang termasuk faktor pemersepsi. Variabel status sosial ekonomi masuk dalam kategori latar belakang yang termasuk faktor obyek.

Faktor situasi : 1. Waktu

2. Keadaan kerja 3. Keadaan sosial


(40)

28 2.1.6 Gender

Menurut Bukhari (2006) dalam Al-Fitrie (2015), kata “gender” berasal dari bahasa Inggris, yang berarti “jenis kelamin”, namun sebenarnya arti tersebut kurang tepat, dengan demikian gender disamakan pengertiannya dengan sex yang berarti jenis kelamin. Santrock (2002) mengemukakan bahwa istilah gender dan sex memiliki perbedaan dari segi dimensi. Istilah sex (jenis kelamin) mengacu pada dimensi biologis seorang laki-laki dan perempuan, sedangkan gender mengacu pada dimensi sosial-budaya seorang laki-laki dan perempuan, apa artinya menjadi laki-laki atau perempuan.

Narwoko dan Suyanto (2004: 334) menyebutkan bahwa gender adalah konsep hubungan sosial yang membedakan (memilahkan atau memisahkan) fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Pembedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara pria dan wanita dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Menurut Ika (2011), gender adalah perbedaan perilaku antara pria dan wanita yang dikonstruksi secara sosial, yaitu perbedaan yang bukan ketentuan dari


(41)

29

Tuhan, melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Hastuti (2007) berpendapat bahwa gender merupakan suatu konsep kultural yang membedakan antara pria dan wanita dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional di kalangan masyarakat. Perbedaan inilah yang mengakibatkan antara pria dan wanita memiliki penilaiannya sendiri dalam mengelola, mencatat, dan mengkomunikasikan hal atau informasi menjadi suatu hasil. Perbedaan nilai dan sifat berdasarkan gender biasanya akan mempengaruhi laki-laki dan perempuan dalam membuat keputusan. Laki-laki akan bersaing untuk mencapai kesuksesan dan lebih cenderung untuk mengabaikan aturan-aturan yang ada karena mereka memandang pencapaian prestasi sebagai suatu persaingan, sedangkan perempuan lebih menitikberatkan pada pelaksanaan tugas dengan baik sesuai aturan-aturan yang berlaku dan menjaga hubungan kerja yang harmonis.

Adapun konsep gender yang dikemukakan oleh Fakih (2008: 8) menyatakan bahwa pengertian konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat yang lain. Jadi, dalam hal pengetahuan, pengalaman, independensi dan lain sebagainya, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai potensi yang sama sesuai dengan usaha yang dilakukan. Karena hal


(42)

30

ini tidak berkenaan dengan kodrat manusia, namun lebih kepada kemampuan berdasarkan sifat seseorang baik laki-laki maupun perempuan.

Pandangan mengenai gender juga dihubungkan dengan maskulinitas dan feminitas. Sifat-sifat maskulin diidentifikasi sebagai sifat-sifat pria yaitu sifat superioritas, keras serta sifat kuat yang cenderung mempunyai konotasi positif dalam dunia kerja. Sifat-sifat seorang pemimpin sering diidentifikasi sebagai sifat maskulin. Hal ini berkebalikan dengan sifat-sifat feminin. Beberapa hasil riset membuktikan bahwa pada umumnya suatu organisasi atau instituti dipimpin oleh laki-laki sebab secara psikologis laki-laki dalam menghadapi suatu permasalahan atau konflik mereka akan cenderung mengedepankan sikap dan perilaku lebih rasional daripada wanita. Semua tindakan dan keputusan yang diambil selalu dipertimbangkan secara rasional dan sedikit sekali menggunakan sifat emosional. Dalam menghadapi situasi konflik audit, auditor pria mempunyai sikap dan perilaku yang lebih etis dengan tetap mengedepankan pemikiran-pemikiran yang rasional serta proses pengambilan keputusan melibatkan logika dan pertimbangan etis mereka (Hidayat dan Handayani, 2010 dalam Arianti, 2012).

Hofstede (1983) membedakan secara umum dimensi budaya yang berpengaruh pada nilai-nilai kerja suatu organisasi, salah satunya adalah

masculinity-feminity, di mana dimensi ini berkaitan dengan perbedaan peran

gender. Budaya yang cenderung maskulin memiliki ciri lebih mementingkan harta milik, kompetensi, dan kinerja, sedangkan feminin lebih mementingkan kesetaraan, solidaritas, dan kualitas kehidupan kerja (Putri, 2011).


(43)

31

Berikut ini disajikan dalam Tabel 2.1 ciri-ciri yang menggambarkan

masculinity-feminity dari dimensi budaya yang dimaksudkan oleh Hofstede (1983).

Tabel 2.1 Karakteristik Maskulin dan Feminin dalam Budaya Organisasi

Maskuline Feminine

1) Orang hidup untuk kerja.

2) Manajer diharapkan seorang yang tegas dalam mengambil keputusan dan asertif.

3) Menekankan harta milik, kompetensi, dan kinerja.

4) Cara menyelesaikan konflik dengan adu argumentasi.

1) Orang bekerja agar bisa hidup. 2) Manajer adalah orang yang intuitif

dan mengambil keputusan berdasarkan konsesus.

3) Menekankan pentingnya kesetaraan, solidaritas, dan kualitas kehidupan kerja.

4) Cara menyelesaikan konflik dengan kompromi dan negosiasi.

Sumber: Hofstede et al. (1983) dalam Putri (2011)

Maskulinitas vs femininitas, merupakan dimensi kebudayaan yang menunjukkan bahwa dalam tiap masyarakat terdapat peran yang berbeda-beda tergantung perbedaan jenis para anggotanya. Pada masyarakat maskulin, menganggap pria harus lebih berambisi, suka bersaing, dan berani menyatakan pendapatnya, dan cenderung berusaha mencapai keberhasilan material. Dalam masyarakat feminin, kaum pria diharapkan untuk lebih memperhatikan kualitas kehidupan dibandingkan dengan keberhasilan materalitas. Lebih jauh dijelaskan bahwa masyarakat dari sudut pandang maskulinitas adalah masyarakat yang lebih menggambarkan sifat kelaki-lakian, sedangkan masyarakat femininitas lebih menggambarkan sifat kewanitaan. Jadi, sudut pandangnya bukan dari sudut jenis kelamin (Hofstede, 1980 dalam Armia, 2002).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan pula bahwa perbedaan sifat maskulin dan feminin mampu mempengaruhi persepsi etis seseorang, di mana pada masyarakat maskulin cenderung dapat memiliki perilaku yang tidak


(44)

32

etis karena dalam sifat maskulin memiliki karakter yang mementingkan karir, harta milik, kompetensi, maupun kinerja, lebih berambisi, suka bersaing, dan cenderung berusaha mencapai keberhasilan material. Sehingga dengan adanya karakter tersebut, maka pada masyarakat yang maskulin cenderung dapat merasionalkan perilaku tidak etis sebagai tindakan etis.

2.1.7 Usia

Usia atau umur dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan). Usia adalah salah satu aspek demografi yang berdampak pada tingkat pemikiran etisnya. Menurut Coombe dan Newman (1997) dalam Comunale et al. (2006), individu yang usianya lebih muda cenderung kurang fokus terhadap isu etis dibandingkan rekan kerja mereka yang lebih tua. Hal ini terjadi karena bertambahnya usia seseorang, mereka menjadi lebih moralistik (Sankaran dan Bui, 2003). Usia seseorang akan meningkat pada suatu langkah yang lebih tinggi dalam pengembangan moral (Lawrence dan Shaub, 1997). Maksudnya seseorang yang memiliki usia yang lebih tua akan mempunyai perilaku dan nilai-nilai etis yang lebih tinggi dibanding yang usianya jauh lebih muda. Dengan bertambahnya usia maka pengalaman hidup akan semakin tinggi sehingga dapat mempengaruhi pola pikir seseorang. Hal ini selaras dengan perkembangan moral yang terjadi. Semakin baik perkembangan moral seseorang, maka semakin dapat berperilaku etis (Trevino L., 1992). Artinya, orang-orang cenderung lebih etis saat mereka tumbuh dewasa.

Penelitian Thoma (1984) dalam Chan dan Leung (2006), menyatakan bahwa usia berhubungan dengan pertimbangan etika individu. Comunale et al.


(45)

33

(2006) meneliti tentang pengaruh usia terhadap reaksi mahasiswa dalam rencana karirnya di bidang akuntansi setelah mengetahui skandal akuntansi yang terjadi dan hasilnya menunjukkan bahwa usia secara signifikan mempengaruhi opini mahasiswa akuntansi terhadap akuntan dalam skandal keuangan.

2.1.8 Tingkat Pendidikan

Pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) adalah proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Definisi tingkat pendidikan atau jenjang pendidikan dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Dalam penelitian ini menggunakan mahasiswa akuntansi sebagai subyek penelitian, dengan demikian penelitian ini menggunakan jenjang pendidikan tinggi dalam pendidikan formal.


(46)

34

Penelitian Normadewi (2012) dan Widyaningrum (2014) menemukan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi. Hal ini dapat dikarenakan semakin tinggi tingkat pendidikan, maka pengetahuan yang dimiliki juga akan semakin meningkat. Semakin banyak pengetahuan yang mereka ketahui, maka akan dapat mempengaruhi persepsi etis mereka.

2.1.9 Status Sosial Ekonomi

W.S. Winke (1991) dalam Basrowi (2010) menyatakan bahwa status sosial ekonomi mempunyai makna suatu keadaan yang menunjukkan pada kemampuan finansial keluarga dan perlengkapan material yang dimiliki. Gerungan (1983: 181) dalam Salmah (2013) menyatakan bahwa status sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan seseorang atau suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial dan ekonomi, gambaran itu seperti tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan sebagainya.

Menurut Noe et al. (1994) dalam Ginting (2003), setiap individu di dalam melakukan suatu pekerjaan pada dasarnya memiliki motivasi yang berbeda-beda. Namun, motif yang utama adalah imbalan dan status yang lebih tinggi. Tujuan yang sama ini akan melahirkan kompetisi dalam pencapaiannya. Oleh karena itu, kemungkinan seseorang dalam melakukan perilaku yang tidak etis dalam keadaan status sosial ekonomi yang berbeda dapat terjadi.

Prasastianta (2011) dalam Sipayung (2015), menguji faktor yang mendorong perilaku ekonomi, salah satu faktornya adalah status sosial ekonomi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi status sosial


(47)

35

ekonomi seseorang maka ia condong untuk berperilaku konsumtif. Status sosial ekonomi seseorang juga berhubungan dengan perilaku etisnya. Biasanya seseorang yang memiliki status sosial ekonomi yang tinggi cenderung berperilaku tidak etis karena status sosial yang dimiliki membuatnya hanya memikirkan kepentingannya sendiri.

2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh gender terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi

Hofstede (1983) dalam Putri (2011) membedakan secara umum dimensi budaya yang berpengaruh pada nilai-nilai kerja suatu organisasi, salah satunya adalah masculinity-feminity, di mana dimensi ini berkaitan dengan perbedaan peran gender. Budaya yang cenderung maskulin memiliki ciri lebih mementingkan harta milik, kompetensi, dan kinerja, sedangkan feminin lebih mementingkan kesetaraan, solidaritas, dan kualitas kehidupan kerja. Sifat-sifat maskulin diidentifikasi sebagai sifat-sifat pria yaitu sifat superioritas, keras serta sifat kuat yang cenderung mempunyai konotasi positif dalam dunia kerja. Hal ini berkebalikan dengan sifat-sifat feminin, yang diidentifikasikan sebagai sifat wanita.

Hidayat dan Handayani (2010), menjelaskan bahwa dalam menghadapi situasi konflik audit, auditor pria mempunyai sikap dan perilaku yang lebih etis dengan tetap mengedepankan pemikiran-pemikiran yang rasional serta proses pengambilan keputusan melibatkan logika dan pertimbangan etis mereka. Sedangkan pada penelitian Hamzah dan Paramitha (2008), tentang efek dari perbedaan faktor-faktor individual dalam kemampuan menerima perilaku etis atau


(48)

36

tidak etis, di mana salah satu hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih etis dibanding laki-laki. Ini dikarenakan perempuan cenderung mempunyai perasaan yang kuat sehubungan dengan masalah-masalah etis dibanding laki-laki.

Hastuti (2007) berpendapat bahwa gender merupakan suatu konsep kultural yang membedakan antara pria dan wanita dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional di kalangan masyarakat. Perbedaan inilah yang mengakibatkan antara pria dan wanita memiliki penilaiannya sendiri dalam mengelola, mencatat, dan mengkomunikasikan hal atau informasi menjadi suatu hasil. Perbedaan nilai dan sifat berdasarkan gender biasanya akan mempengaruhi laki-laki dan perempuan dalam membuat keputusan.

Berdasarkan penjelasan di atas dan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, bahwa perbedaan peran gender memiliki pengaruh terhadap persepsi etis, maka dibentuklah hipotesis sebagai berikut.

H1: Perbedaan peran gender (maskulin-feminin) berpengaruh terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi

2.2.2 Pengaruh usia terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi

Usia seseorang dinyatakan mempunyai dampak terhadap pemikiran etisnya. Individu yang lebih muda cenderung kurang fokus terhadap isu etis dibandingkan rekan kerja mereka yang lebih tua (Coombe dan Newman, 1997). Dengan bertambahnya umur seseorang, mereka akan menjadi lebih moralistik (Sankaran dan Bui, 2003). Penelitian Comunale et al. (2006) yang meneliti tentang pengaruh umur untuk mengetahui reaksi mahasiswa serta rencana berkarir mereka di bidang akuntansi setelah mengetahui skandal akuntansi yang terjadi,


(49)

37

menemukan hasil bahwa umur mempengaruhi opini mahasiswa akuntansi terhadap akuntan dalam skandal keuangan. Hal ini didukung oleh penelitian Thoma (1984) dalam Chan dan Leung (2006) yang menyatakan bahwa variabel umur berhubungan dengan pertimbangan etika individu.

Perkembangan moral merupakan karakteristik personal yang dipengaruhi faktor kondisional, hal ini terlihat bahwa perkembangan moral berkembang selaras dengan bertambahnya usia, di mana diasumsikan bahwa seseorang semakin banyak mendapatkan pengalaman dengan bertambahnya usia. Semakin baik perkembangan moral seseorang, maka semakin dapat berperilaku etis (Trevino dan Youngblood, 1990). Artinya, orang-orang cenderung lebih etis saat mereka tumbuh dewasa. Dalam penelitian Widyaningrum (2014), menyatakan bahwa usia berpengaruh signifikan terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi dengan arah yang positif. Artinya mahasiswa akuntansi yang berusia lebih tua memiliki persepsi yang lebih etis.

Berdasarkan penjelasan di atas dan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, bahwa usia memiliki pengaruh positif terhadap persepsi etis, maka dibentuklah hipotesis sebagai berikut.

H2: Usia berpengaruh positif terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi.

2.2.3 Pengaruh tingkat pendidikan terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi

Teori Kohlberg (1981) menyatakan bahwa orang-orang yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dapat memahami masalah yang lebih kompleks sehingga akan menyebabkan tingkat penalaran moral lebih baik. Berdasarkan teori


(50)

38

tersebut, para peneliti sering menghubungkan ke arah positif antara tingkat pendidikan dan persepsi etika. Penelitian Normadewi (2012) dan Widyaningrum (2014) menemukan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi persepsi etis mahasiswa akuntansi, hal ini dikarenakan semakin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan yang dimiliki juga akan meningkat. Semakin banyak pengetahuan yang mereka ketahui maka akan membantu mereka untuk bisa memberikan persepsi maupun tanggapan terhadap krisis etika yang melibatkan profesi akuntan. Pengetahuan yang didapatkan selama menempuh pendidikan yang dimiliki oleh mahasiswa akuntansi akan mempengaruhi persepsi etis mereka. Seseorang yang berpendidikan tinggi dianggap memiliki etika yang tinggi serta penalaran moral yang tinggi.

Dellaportas (2006) dalam Elias (2010) menemukan bahwa pendidikan etika memiliki dampak positif yang signifikan terhadap etika mahasiswa akuntansi. Hal ini berarti mahasiswa dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan cenderung berperilaku lebih etis dibandingkan mahasiswa dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah.

Berdasarkan penjelasan di atas dan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, bahwa tingkat pendidikan memiliki pengaruh posistif terhadap persepsi etis, maka dibentuklah hipotesis sebagai berikut.

H3: Tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi.


(51)

39

2.2.4 Pengaruh status sosial ekonomi terhadap persepsi etis mahasiwa akuntansi

Menurut Noe et al. (1994) dalam Ginting (2003: 13), setiap individu dalam melakukan suatu pekerjaan pada dasarnya memiliki motivasi yang berbeda-beda. Kemungkinan seseorang dalam melakukan perilaku yang tidak etis dalam keadaan status sosial ekonomi yang berbeda dapat terjadi.

Penelitian yang dilakukan oleh Erni (2013) menyatakan bahwa seseorang dengan penghasilan yang tinggi akan memiliki tingkat konsumsi yang tinggi pula, sedangkan seseorang dengan penghasilan rendah cenderung memiliki tingkat konsumsi yang rendah pula. Prasastianta (2011) dalam Sipayung (2015) menguji faktor yang mendorong perilaku ekonomi, salah satu faktornya adalah status sosial ekonomi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi status sosial ekonomi seseorang, maka ia condong untuk berperilaku konsumtif. Hal ini dapat berhubungan dengan perilaku etisnya, karena biasanya seseorang yang memiliki status sosial ekonomi yang tinggi dan berperilaku konsumtif, cenderung dapat berperilaku tidak etis.

Berdasarkan penjelasan di atas dan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, bahwa status sosial ekonomi memiliki pengaruh negatif terhadap persepsi etis, maka dibentuklah hipotesis sebagai berikut.

H4: Status sosial ekonomi berpengaruh negatif terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi.


(1)

34

Penelitian Normadewi (2012) dan Widyaningrum (2014) menemukan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi. Hal ini dapat dikarenakan semakin tinggi tingkat pendidikan, maka pengetahuan yang dimiliki juga akan semakin meningkat. Semakin banyak pengetahuan yang mereka ketahui, maka akan dapat mempengaruhi persepsi etis mereka.

2.1.9 Status Sosial Ekonomi

W.S. Winke (1991) dalam Basrowi (2010) menyatakan bahwa status sosial ekonomi mempunyai makna suatu keadaan yang menunjukkan pada kemampuan finansial keluarga dan perlengkapan material yang dimiliki. Gerungan (1983: 181) dalam Salmah (2013) menyatakan bahwa status sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan seseorang atau suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial dan ekonomi, gambaran itu seperti tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan sebagainya.

Menurut Noe et al. (1994) dalam Ginting (2003), setiap individu di dalam melakukan suatu pekerjaan pada dasarnya memiliki motivasi yang berbeda-beda. Namun, motif yang utama adalah imbalan dan status yang lebih tinggi. Tujuan yang sama ini akan melahirkan kompetisi dalam pencapaiannya. Oleh karena itu, kemungkinan seseorang dalam melakukan perilaku yang tidak etis dalam keadaan status sosial ekonomi yang berbeda dapat terjadi.

Prasastianta (2011) dalam Sipayung (2015), menguji faktor yang mendorong perilaku ekonomi, salah satu faktornya adalah status sosial ekonomi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi status sosial


(2)

35

ekonomi seseorang maka ia condong untuk berperilaku konsumtif. Status sosial ekonomi seseorang juga berhubungan dengan perilaku etisnya. Biasanya seseorang yang memiliki status sosial ekonomi yang tinggi cenderung berperilaku tidak etis karena status sosial yang dimiliki membuatnya hanya memikirkan kepentingannya sendiri.

2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh gender terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi

Hofstede (1983) dalam Putri (2011) membedakan secara umum dimensi budaya yang berpengaruh pada nilai-nilai kerja suatu organisasi, salah satunya adalah masculinity-feminity, di mana dimensi ini berkaitan dengan perbedaan peran gender. Budaya yang cenderung maskulin memiliki ciri lebih mementingkan harta milik, kompetensi, dan kinerja, sedangkan feminin lebih mementingkan kesetaraan, solidaritas, dan kualitas kehidupan kerja. Sifat-sifat maskulin diidentifikasi sebagai sifat-sifat pria yaitu sifat superioritas, keras serta sifat kuat yang cenderung mempunyai konotasi positif dalam dunia kerja. Hal ini berkebalikan dengan sifat-sifat feminin, yang diidentifikasikan sebagai sifat wanita.

Hidayat dan Handayani (2010), menjelaskan bahwa dalam menghadapi situasi konflik audit, auditor pria mempunyai sikap dan perilaku yang lebih etis dengan tetap mengedepankan pemikiran-pemikiran yang rasional serta proses pengambilan keputusan melibatkan logika dan pertimbangan etis mereka. Sedangkan pada penelitian Hamzah dan Paramitha (2008), tentang efek dari perbedaan faktor-faktor individual dalam kemampuan menerima perilaku etis atau


(3)

36

tidak etis, di mana salah satu hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih etis dibanding laki-laki. Ini dikarenakan perempuan cenderung mempunyai perasaan yang kuat sehubungan dengan masalah-masalah etis dibanding laki-laki.

Hastuti (2007) berpendapat bahwa gender merupakan suatu konsep kultural yang membedakan antara pria dan wanita dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional di kalangan masyarakat. Perbedaan inilah yang mengakibatkan antara pria dan wanita memiliki penilaiannya sendiri dalam mengelola, mencatat, dan mengkomunikasikan hal atau informasi menjadi suatu hasil. Perbedaan nilai dan sifat berdasarkan gender biasanya akan mempengaruhi laki-laki dan perempuan dalam membuat keputusan.

Berdasarkan penjelasan di atas dan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, bahwa perbedaan peran gender memiliki pengaruh terhadap persepsi etis, maka dibentuklah hipotesis sebagai berikut.

H1: Perbedaan peran gender (maskulin-feminin) berpengaruh terhadap persepsi

etis mahasiswa akuntansi

2.2.2 Pengaruh usia terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi

Usia seseorang dinyatakan mempunyai dampak terhadap pemikiran etisnya. Individu yang lebih muda cenderung kurang fokus terhadap isu etis dibandingkan rekan kerja mereka yang lebih tua (Coombe dan Newman, 1997). Dengan bertambahnya umur seseorang, mereka akan menjadi lebih moralistik (Sankaran dan Bui, 2003). Penelitian Comunale et al. (2006) yang meneliti tentang pengaruh umur untuk mengetahui reaksi mahasiswa serta rencana berkarir mereka di bidang akuntansi setelah mengetahui skandal akuntansi yang terjadi,


(4)

37

menemukan hasil bahwa umur mempengaruhi opini mahasiswa akuntansi terhadap akuntan dalam skandal keuangan. Hal ini didukung oleh penelitian Thoma (1984) dalam Chan dan Leung (2006) yang menyatakan bahwa variabel umur berhubungan dengan pertimbangan etika individu.

Perkembangan moral merupakan karakteristik personal yang dipengaruhi faktor kondisional, hal ini terlihat bahwa perkembangan moral berkembang selaras dengan bertambahnya usia, di mana diasumsikan bahwa seseorang semakin banyak mendapatkan pengalaman dengan bertambahnya usia. Semakin baik perkembangan moral seseorang, maka semakin dapat berperilaku etis (Trevino dan Youngblood, 1990). Artinya, orang-orang cenderung lebih etis saat mereka tumbuh dewasa. Dalam penelitian Widyaningrum (2014), menyatakan bahwa usia berpengaruh signifikan terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi dengan arah yang positif. Artinya mahasiswa akuntansi yang berusia lebih tua memiliki persepsi yang lebih etis.

Berdasarkan penjelasan di atas dan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, bahwa usia memiliki pengaruh positif terhadap persepsi etis, maka dibentuklah hipotesis sebagai berikut.

H2: Usia berpengaruh positif terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi.

2.2.3 Pengaruh tingkat pendidikan terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi

Teori Kohlberg (1981) menyatakan bahwa orang-orang yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dapat memahami masalah yang lebih kompleks sehingga akan menyebabkan tingkat penalaran moral lebih baik. Berdasarkan teori


(5)

38

tersebut, para peneliti sering menghubungkan ke arah positif antara tingkat pendidikan dan persepsi etika. Penelitian Normadewi (2012) dan Widyaningrum (2014) menemukan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi persepsi etis mahasiswa akuntansi, hal ini dikarenakan semakin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan yang dimiliki juga akan meningkat. Semakin banyak pengetahuan yang mereka ketahui maka akan membantu mereka untuk bisa memberikan persepsi maupun tanggapan terhadap krisis etika yang melibatkan profesi akuntan. Pengetahuan yang didapatkan selama menempuh pendidikan yang dimiliki oleh mahasiswa akuntansi akan mempengaruhi persepsi etis mereka. Seseorang yang berpendidikan tinggi dianggap memiliki etika yang tinggi serta penalaran moral yang tinggi.

Dellaportas (2006) dalam Elias (2010) menemukan bahwa pendidikan etika memiliki dampak positif yang signifikan terhadap etika mahasiswa akuntansi. Hal ini berarti mahasiswa dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan cenderung berperilaku lebih etis dibandingkan mahasiswa dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah.

Berdasarkan penjelasan di atas dan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, bahwa tingkat pendidikan memiliki pengaruh posistif terhadap persepsi etis, maka dibentuklah hipotesis sebagai berikut.

H3: Tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap persepsi etis mahasiswa


(6)

39

2.2.4 Pengaruh status sosial ekonomi terhadap persepsi etis mahasiwa akuntansi

Menurut Noe et al. (1994) dalam Ginting (2003: 13), setiap individu dalam melakukan suatu pekerjaan pada dasarnya memiliki motivasi yang berbeda-beda. Kemungkinan seseorang dalam melakukan perilaku yang tidak etis dalam keadaan status sosial ekonomi yang berbeda dapat terjadi.

Penelitian yang dilakukan oleh Erni (2013) menyatakan bahwa seseorang dengan penghasilan yang tinggi akan memiliki tingkat konsumsi yang tinggi pula, sedangkan seseorang dengan penghasilan rendah cenderung memiliki tingkat konsumsi yang rendah pula. Prasastianta (2011) dalam Sipayung (2015) menguji faktor yang mendorong perilaku ekonomi, salah satu faktornya adalah status sosial ekonomi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi status sosial ekonomi seseorang, maka ia condong untuk berperilaku konsumtif. Hal ini dapat berhubungan dengan perilaku etisnya, karena biasanya seseorang yang memiliki status sosial ekonomi yang tinggi dan berperilaku konsumtif, cenderung dapat berperilaku tidak etis.

Berdasarkan penjelasan di atas dan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, bahwa status sosial ekonomi memiliki pengaruh negatif terhadap persepsi etis, maka dibentuklah hipotesis sebagai berikut.

H4: Status sosial ekonomi berpengaruh negatif terhadap persepsi etis mahasiswa


Dokumen yang terkait

PENGARUH MORAL REASONING DAN ETHICAL SENSITIVITY TERHADAP PERSEPSI ETIS MAHASISWA AKUNTANSI DENGAN GENDER SEBAGAI VARIABEL MODERASI

1 4 26

PENGARUH MORAL REASONING DAN ETHICAL SENSITIVITY TERHADAP PERSEPSI ETIS MAHASISWA AKUNTANSI DENGAN GENDER SEBAGAI VARIABEL MODERASI

6 37 139

PENGARUH USIA, GENDER, STATUS SOSIAL EKONOMI, DAN PENGALAMAN KERJA TERHADAP PERSEPSI ETIS MAHASISWA AKUNTANSI DENGAN LOVE OF MONEY SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (Studi Empiris Pada Universitas Islam di Yogyakata)

29 123 142

PENGARUH GENDER, PRESTASI BELAJAR, STATUS SOSIAL EKONOMI, DAN ETHNIC BACKGROUND TERHADAP PERSEPSI Pengaruh Gender, Prestasi Belajar, Status Sosial Ekonomi, dan Ethnic Background Terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi Dengan Love Of Money Sebagai Va

3 11 19

PENGARUH GENDER, PRESTASI BELAJAR, STATUS SOSIAL EKONOMI, DAN ETHNIC BACKGROUND TERHADAP PERSEPSI Pengaruh Gender, Prestasi Belajar, Status Sosial Ekonomi, dan Ethnic Background Terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi Dengan Love Of Money Sebagai Va

0 3 17

BAB 1 PENDAHULUAN Pengaruh Gender, Prestasi Belajar, Status Sosial Ekonomi, dan Ethnic Background Terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi Dengan Love Of Money Sebagai Variabel Intervening (Studi Empiris Pada Mahasiswa Akuntansi Universitas Muhammadi

0 5 12

PENGARUH ORIENTASI ETIS, TINGKAT PENGETAHUAN AKUNTANSI DAN JENIS PERGURUAN TINGGI TERHADAP PERSEPSI ETIS MAHASISWA AKUNTANSI MENGENAI PRAKTIK CREATIVE ACCOUNTING.

0 5 218

PENGARUH ORIENTASI ETIS, GENDER, DAN JENIS PERGURUAN TINGGI TERHADAP PERSEPSI MAHASISWA AKUNTANSI MENGENAI PRAKTIK CREATIVE ACCOUNTING.

11 49 149

PENGARUH ORIENTASI ETIS DAN GENDER TERHADAP PERSEPSI MAHASISWA MENGENAI PERILAKU TIDAK ETIS AKUNTAN (Studi pada Mahasiswa S1 Akuntansi Universitas Negeri Yogyakarta).

0 1 145

PERSEPSI MAHASISWA PENDIDIKAN AKUNTANSI TERHADAP STATUS SOSIAL EKONOMI GURU SETELAH ADANYA PROGRAM SERTIFIKASI

0 0 109