PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBEKALAN PEDAGOGICAL CONTENT KNOWLEDGE ( PCK) BIOTEKNOLOGI MELALUI PERKULIAHAN KAPITA SELEKTA BIOLOGI SMA.

(1)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ii

PERNYATAAN iii

KATA PENGANTAR iv

UCAPAN TERIMA KASIH vi

ABSTRAK viii

ABSTRACT ix

DAFTAR ISI x

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 13

C. Pertanyaan Penelitian 13

D. Batasan Masalah 14

E. Penjelasan Istilah 15

F. Tujuan Penelitian 16

G. Manfaat Penelitian 16

BAB II. PEMBEKALAN PEDAGOGICAL CONTENT KNOWLEDGE ( PCK) BIOTEKNOLOGI MELALUI PERKULIAHAN KAPITA SELEKTA BIOLOGI SMA. A. Paedagogical Content Knowledge (PCK) 18

B. Pembekalan PCK bagi Calon Guru 22 C. Hubungan Pengetahuan Konten Pedagogi dengan


(2)

Halaman

Pengetahuan Dasar Mengajar 27

D. Pentingnya Pengetahuan Pedagogical Content Knowledge Dalam Pendidikan Guru Sains 30

E. Bioteknologi dan Pembelajarannya 35

F. Peta Konsep sebagai salah satu Alat Ukur Penguasaan Konsep 40

G. Perkuliahan Kapita Selekta Biologi SMA 42

H. Hasil-hasil Penelitian yang Relevan 45

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian 51

B. Lokasi, Subyek dan Obyek Penelitian 51

C. Prosedur dan Langkah-langkah Penelitian 53

1. Studi Pendahuluan 53 2. Perancangan dan Pengembangan Program 54 3. Uji coba & Revisi Program 56 4. Validasi/Implementasi Program 57

D. Instrumen Penelitian 59

E. Teknik Pengumpulan Data 67

F. Teknik Pengolahan Data 68

G. Paradigma Penelitian 74

H. Alur Penelitian 74

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 77

1. Pengembangan Struktur Program P2CKBiotek 77

2. Implementasi Program P2CKBiotek 81

3. Hasil pengukuran Efektivitas Program P2CKBiotek 89


(3)

Halaman

B. Pembahasan 111

1. Struktur Program P2CKBiotek 111 2. Efektivitas Program Pembekalan P2CKBiotek 132 3. Analisis hasil-hasil Penugasan pada Program P2CKBiotek 143 4. Dampak Program P2CKBiotek melalui Kapsel Bio SMA 151

5. Temuan Penelitian 161

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 162

B. Saran 164

DAFTAR PUSTAKA 167


(4)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

Bioteknologi merupakan salah satu ilmu yang berkembang pesat saat ini. Penggunaan bioteknologi sebagai ilmu dan sebagai alat, bertanggungjawab dalam meningkatkan kemajuan secara cepat dalam berbagai bidang kehidupan. Penggunaan bioteknologi menghasilkan banyak keuntungan, meskipun tetap harus memperhatikan potensi resiko yang dapat muncul dari penggunaan teknologi tersebut. Sebagai contoh manipulasi genetik dan kloning individu seringkali mengundang pro dan kontra karena dampak positif maupun negatifnya sangat terkait erat dengan aspek moral. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan pemahaman yang benar dan baik terhadap bidang bioteknologi, sehingga pada akhirnya diperoleh kemampuan untuk dapat melakukan pengambilan keputusan tentang bioteknologi yang baik dan bioteknologi yang dapat menghasilkan resiko yang kurang menguntungkan. Sebagai suatu ilmu, bioteknologi mempunyai beberapa karakteristik diantaranya merupakan ilmu yang bersifat multidisipliner, lebih banyak bersifat aplikatif sehingga membutuhkan penguasaan konsep-konsep dasar yang benar; banyak menimbulkan kontroversi (terutama produk-produk bioteknologi yang bersifat transgenik) dan berkembang sangat pesat karena manfaatnya bersentuhan langsung dengan peningkatan taraf hidup manusia

Menurut Sohan, et al. (2003) siswa-siswa sekolah saat ini perlu memiliki pemahaman yang baik terhadap resiko dan keuntungan dari bioteknologi untuk dapat memutuskan secara cerdas penggunaan pengetahuan tersebut dengan benar. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan positif antara peningkatan penguasaan konsep dan sikap serta persepsi positif siswa terhadap bioteknologi (Sohan, 2003; Dawson &


(5)

Schibeci, 2003; Bal, et al., 2007). Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa apabila seorang siswa telah menguasai dengan benar dan mampu memutuskan secara kritis tentang bioteknologi, maka mereka akan dapat bersikap secara benar terhadap bioteknologi. Oleh karena itu kemampuan memahami konsep bioteknologi haruslah menjadi bagian dari unsur yang harus dibekalkan pada siswa. Sebagai generasi penerus dan anggota masyarakat, siswa merupakan komponen penting yang harus menguasai dan mengikuti perkembangan ilmu tersebut, karena mereka dapat berperan sebagai pengguna sekaligus pengembang yang diharapkan dapat berkontribusi secara aktif di kemudian hari.

Dawson & Schibeci (2003) menyatakan bahwa dari sejumlah siswa yang diteliti di Australia sepertiganya mempunyai pemahaman yang rendah atau tidak memahami sama sekali tentang bioteknologi dan sepertiga lagi tidak dapat memberikan satu contoh pun tentang hasil bioteknologi dengan benar. Penguasaan yang rendah dari siswa dan masyarakat umum terhadap ilmu tersebut, sangat mungkin disebabkan karena kurangnya kemampuan guru dalam membelajarkan bioteknologi di sekolah, sehingga diperlukan penyiapan guru yang lebih matang di bidang ini.

Seorang guru haruslah mempunyai pengetahuan tentang bagaimana mengajarkan bahan ajar pada siswanya. Guru yang ingin mengajar sains secara efektif harus lebih dari sekedar mengetahui tentang isi (konten) yang akan diajarkan dan beberapa cara pengajarannya, lebih dari itu guru harus memahami dan mampu mengintegrasikan pengetahuan konten ke dalam pengetahuan tentang kurikulum, pembelajaran, mengajar dan siswa. Pengetahuan-pengetahuan tersebut akhirnya dapat menuntun guru untuk merangkai situasi pembelajaran sesuai kebutuhan individual dan kelompok siswa. Pengetahuan seperti ini dinyatakan sebagai pengetahuan konten pedagogi/pedagogical


(6)

kelak bertanggung jawab membelajarkan materi bioteknologi dengan baik dan benar, perlu dibekali dengan penguasaan konsep-konsep dasar (konten) yang kuat sekaligus kemampuan untuk membelajarkan konsep-konsep (pedagogi) tersebut dengan baik dan benar. Hal tersebut berarti calon guru harus mempunyai kemampuan Pedagogical Content Knowledge (PCK) bioteknologi yang memadai, dengan demikian diharapkan kelak mereka dapat melakukan pembelajaran materi tersebut terhadap siswanya dengan baik dan benar pula.

Cochran, et al. (1993) merumuskan PCK sebagai berikut :

Concern the manner in which teachers relate their subject matter knowledge (what they know about what they teach) to their pedagogical knowledge (what they know about teaching) and how subject matter knowledge is a part of the process of pedagogical reasoning.

PCK dalam hal ini ditekankan pada aspek konten yang berhubungan erat dengan bagaimana cara agar mencapai teachability. PCK ini juga meliputi bentuk-bentuk terbaik yang digunakan untuk merepresentasikan suatu ide, usaha terbaik untuk melakukan analogi, mengilustrasi, mengeksplanasi, dan mendemonstrasikan atau dengan kata lain membuat suatu cara terbaik merepresentasikan dan memformulasi suatu subjek sehingga membuatnya menjadi sesuatu yang dapat difahami secara menyeluruh (comprehensive). PCK juga meliputi pemahaman tentang apa yang dapat dilakukan dalam pembelajaran suatu konsep spesifik yang mudah maupun sulit terhadap para siswa (dengan berbagai umur dan latarbelakang) yang mempunyai konsepsi dan miskonsepsi agar mereka belajar (Shulman 1987 dalam Cochran, et al., 1993).

Pada awalnya pendidikan guru lebih banyak menekankan pada pengetahuan guru tentang materi subjek (Shulman 1987 dalam Cochran, et al., 1993). Namun dekade belakangan ini, pendidikan guru mulai menekankan pada efektivitas pedagogi secara


(7)

umum yang meliputi penggunaan pertanyaan, desain suatu penugasan dan kurikulum serta asesmen kinerja independen siswa pada tiap materi subjek (Ball & Mc.Diarmid, 1990). Para ahli pendidikan kini menyadari bahwa baik pengetahuan materi subjek maupun pengetahuan pedagogi merupakan suatu hal yang krusial dalam suatu pengajaran yang baik dan dalam meningkatkan pemahaman siswa (Cochran, et al., 1993). Seorang guru yang baik harus dapat menguasai konten (bahan pelajaran/materi subjek) dan menguasai ilmu mengajar (pedagogi). Konten merupakan pengetahuan sains yang semestinya dikuasai oleh pengajar, mencakup fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori (Dahar & Siregar, 2000), sedangkan pedagogi berhubungan dengan cara-cara yang dapat dilakukan untuk membantu siswa belajar dan memecahkan problem-problem dalam sains (Enfield, 2007).

Berdasarkan beberapa penelitian (Rothhaar, et al. 2006; Bal, et al., 2007 dan Diefes-Dux, et al. 2007) penguasaan tentang konsep bioteknologi baik pada siswa maupun masyarakat umum, saat ini masih rendah, sehingga mempengaruhi pada penerimaan mereka akan teknologi ini. Michael, Grinyer & Turner (1997) menyatakan bioteknologi sebagai suatu bidang ilmu sangat kompleks, bersifat multidimensi, sangat scientific, teknologis, bersifat sosiologis dan sangat berkaitan dengan etika. Oleh karenanya guru harus mampu mencari cara dan pendekatan tersendiri dalam mengajarkan subjek tersebut dan cara bagaimana menghadapi respons siswa terhadap subjek tersebut. Mungkin dengan karakteristik-karakteristik tersebut, saat ini bioteknologi menjadi salah satu bidang teknologi yang paling sulit diajarkan (Moreland, Jones & Cowie, 2006). Sejalan dengan itu, Tood & Murphy (2003) juga menyatakan bahwa bioteknologi merupakan salah satu disiplin ilmu yang relatif sulit tetapi juga merupakan ilmu yang


(8)

berkembang sangat kompleks dan menimbulkan perdebatan di berbagai area seperti etika, politik dan moral.

Bioteknologi meskipun merupakan bidang yang dianggap sulit, tetapi sekaligus juga merupakan bidang yang sangat berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan manusia, sehingga tetap dibutuhkan penguasaan di bidang ini. Penguasaan masyarakat dalam bidang tersebut tidak terlepas dari peran guru sebagai salah satu sumber pengetahuan. Guna menyiapkan guru di masa yang akan datang, calon guru juga harus memiliki bekal yang memadai dalam bidang ini. Pengetahuan guru, khususnya guru pemula merupakan hal utama yang diidentifikasi sebagai suatu faktor penting yang akan mempengaruhi kemudahan dalam penyediaan pengalaman di bidang teknologi (Moreland, Jones & Cowie, 2006). Mengenai pentingnya pengetahuan konten (subject matter), Harlen & Holroyd (1997) menyatakan bahwa pengetahuan konten yang kuat dari seorang guru, akan memberikan pengaruh yang positif pada pembuatan keputusan yang berhubungan dengan perubahan strategi mengajar untuk menciptakan kesempatan belajar yang lebih baik. Carr, et al. (2000) juga menyatakan bahwa guru dan calon guru membutuhkan pengetahuan yang luas mengenai bidang-bidang yang berhubungan dengan bioteknologi serta kemampuann untuk mengaitkannya, sehingga memungkinkan mereka mengajar secara efektif dan membuat situasi belajar yang lebih baik.

Sering muncul pertanyaan, mengapa banyak guru menghadapi masalah terkait pengajaran, padahal pembekalan subject matter knowledge (SMK) sudah cukup banyak mereka peroleh di bangku kuliah. Permasalahan ini kemungkinan terjadi karena ketika mereka masih menjadi calon guru, mereka belum menerima pengetahuan dalam suatu unit transformasi, yaitu pengetahuan yang dapat mentransformasikan suatu konten ke dalam


(9)

bentuk pembelajaran yang dapat memberikan pemahaman pada siswa (Nilsson 2008). Guna mengatasi permasalahan di atas, dapat digunakan suatu pendekatan pembekalan PCK dengan model transformatif.

Gess-Newsome (1999) dan Rollnick, et al., (2008) menyatakan terdapat dua model berkaitan dengan pengetahuan guru. Model pertama adalah integrative model dan yang kedua adalah transformative model. Transformative model merupakan gambaran dari suatu sintesis seluruh pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjadi guru yang efektif. Pengetahuan tentang materi subjek, pedagogi dan konteks yang berkembang secara terintegrasi, akan ditransformasikan kedalam suatu bentuk pengetahuan baru yang lebih ’powerful’ daripada gabungan antara pengetahuan-pengetahuan tersebut tanpa integrasi. Jadi dengan cara semacam ini, ketiga pengetahuan dasar di atas menjadi lebih berguna ketika ditransformasikan dalam bentuk PCK. Kelemahan model ini adalah pengembangan dari kemampuan guru dalam keterampilan mengambil keputusan, kemampuan personal dan kreativitas guru, mungkin tidak terkembangkan.

Calon guru yang kurang dalam pengalaman mengajar di kelas yang kurang, tentu akan kurang pula dalam kemampuan PCKnya. Untuk dapat mengkatalisis pengembangan PCK mereka, dapat dilakukan pembekalan untuk mengenali bagian-bagian dari PCK yang pada akhirnya dapat menguatkan kemampuan PCK mereka secara menyeluruh. Hal ini dilakukan karena pada dasarnya PCK merupakan hubungan dinamis antara pengetahuan konten (SMK), pengetahuan pedagogi (PK) dan pengetahuan kontekstual (CK) dan sangat berkaitan dengan segi praktek (Nilsson, 2008). Dengan demikian kemampuan PCK paling baik dibekalkan dengan strategi mengkombinasikan analisis teori dengan praktek yang diwujudkan dalam praktek di kelas (Marks, 1990).


(10)

Menurut Kapyla, et al. (2009) pembekalan PCK sebaiknya lebih banyak ditekankan pada pembekalan aspek konten yang spesifik, karena kebanyakan guru memiliki keterbatasan dalam mentransfer konten tersebut akibat keterbatasan penguasaan konsep mereka. Hasil penelitian ini juga menyatakan bahwa calon guru atau guru-guru pemula (primary student-teachers) mempunyai kendala utama dalam hal penguasaan konten ketika mereka harus menyusun rencana pembelajarannya.

Guru dengan penguasaan konten yang kuat mempunyai beberapa kelebihan. Pertama, mereka lebih peduli terhadap kesulitan-kesulitan konseptual yang dihadapi siswanya (Halim & Meerah, 2002). Kedua, mereka mempunyai pemahaman yang lebih baik terhadap apa yang paling penting diberikan dalam kurikulum (Sanders, Borko, & Lockard, 1993). Disamping itu guru dengan penguasaan konten yang baik, memiliki koleksi yang lebih luas dalam hal metode-metode mengajar alternatif (Gess-Newsome & Lederman, 1995; Halim & Meerah, 2002).

Pemahaman secara utuh terhadap suatu bidang ilmu, dapat dimulai dengan pemahaman dan penguasaan terhadap konsep-konsep dasar yang membangun keseluruhan ilmu tersebut. Konsep yang merupakan abstraksi dari satu kelas objek, kejadian, dan kegiatan, atau hubungan yang memiliki atribut yang sama dan merupakan abstraksi yang berdasarkan pengalaman (Rosser & Nicholson, 1984; Dahar, 1996) tidaklah dapat berdiri sendiri. Pemahaman konsep-konsep ini semestinya diwujudkan dalam suatu kerangka konseptual dan konsep-konsep tersebut dapat dimaknai dan dikuasai dalam suatu kerangka yang utuh. Penguasaan seseorang terhadap suatu konsep, dapat dideteksi dari cara dia membuat hubungan antara konsep dan bagaimana menerapkannya dengan tepat. Hal ini


(11)

dapat diperoleh dengan membuat hubungan yang logis antar konsep dengan pengalaman yang terorganisir (Pring, 2000). Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengukur kerangka konseptual yang telah dikuasai seseorang adalah dengan menggunakan peta konsep atau pemetaan konsep. Menurut Novak & Gowin (1985), dalam hal penguasaan konsep, seringkali seseorang cukup mudah memahami konsep-konsep baru yang diajarkan, tetapi belum dapat memaknainya dengan baik karena mereka tak dapat secara aktif mengintegrasikan pengetahuan-pengetahuan baru tersebut ke dalam kerangka konseptual yang telah mereka miliki sebelumnya. Mengkonstruksi suatu peta konsep yang bersifat hirarkis, dapat menjadi sarana mengintegrasikan konsep secara aktif.

Beberapa penelitian terkait dengan pembelajaran bioteknologi telah dilakukan di Indonesia. Zulfiani (2006) menyatakan bahwa program pembelajaran bioteknologi yang dikembangkan melalui inkuiri, dapat meningkatkan penguasaan konsep sekaligus meningkatkan kemampuan inkuiri calon guru. Rustaman (2007) dalam penelitiannya, mengembangkan pembelajaran bioteknologi untuk meningkatkan Kemampuan Dasar Bekerja Ilmiah (KDBI) yang mencakup kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, melalui berbagai metode (eksperimen, demonstrasi, bermain peran dan diskusi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa komponen yang termasuk kecerdasan emosional tidak secara otomatis dapat dikembangkan melalui pembelajaran yang berbasis inkuiri sebagaimana sikap ilmiah, melainkan perlu direncanakan dan dapat dikembangkan melalui metode non eksperimen.

Anggraeni (2004) menyatakan bahwa untuk membelajarkan bioteknologi, guru tidak selalu harus menggunakan metode ceramah dan tanya jawab yang padat dengan materi, tetapi dapat menggunakan pembelajaran yang berorientasi inkuiri. Melalui pendekatan pembelajaran tersebut, diharapkan siswa dapat mengembangkan kemampuan


(12)

menggunakan konsep, pengetahuan dan keterampilan untuk memecahkan masalah, menganalisis hasil penelitian, membuat laporan dan mempresentasikannya serta dapat menilai, mengoreksi dan memberikan masukan terhadap hasil kerja orang lain.

Hasil studi pendahuluan (Purwianingsih, 2008) terhadap sejumlah mahasiswa Pendidikan Biologi yang mengikuti perkuliahan Kapita Selekta Biologi SMA II (n=96), menunjukkan bahwa penguasaan konsep-konsep dasar Bioteknologi mahasiswa calon guru Biologi masih rendah. Rendahnya penguasaan konsep-konsep dasar bioteknologi juga ditemukan pada sejumlah guru SLTA yang mengajar Biologi (n=92). Dari hasil penelitian tersebut diketahui terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi guru dalam membelajarkan bioteknologi karena beberapa alasan. Pertama, bioteknologi bersifat multidisipliner dan membutuhkan penguasaan konsep-konsep dasar yang banyak, sulit dan banyak yang bersifat abstrak. Kedua, guru mengalami banyak kendala dalam membelajarkannya terutama keterbatasan menguasai konsep-konsep dasar penunjang bioteknologi seperti biologi sel, materi genetika dan hereditas. Ketiga, guru juga sulit mengaplikasikan konsep-konsep dasar untuk menguasai materi bioteknologi dan menuangkannya dalam bentuk materi pembelajaran bioteknologi yang memadai. Keempat guru kurang mempunyai bekal untuk mencari sumber bahan pembelajaran yang up to date, padahal perkembangan penemuan-penemuan bioteknologi sangat cepat. Kelima , guru juga mengalami kesulitan untuk menemukan model pembelajaran yang tepat yang dapat mengakomodasi karakteristik bioteknologi seperti dijelaskan di atas. Kendala-kendala tersebut kadang-kadang dapat mengurangi kepercayaan diri guru dalam membelajarkan bioteknologi, sehingga mengurangi keberhasilan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Berdasarkan permasalahan di atas, maka perlu ada penyiapan guru dan calon


(13)

guru dalam membelajarkan bioteknologi dengan membekali mereka kemampuan PCK dalam bidang bioteknologi.

Penelitian-penelitian di bidang pembelajaran bioteknologi untuk meningkatkan pemahaman konsep bioteknologi telah banyak dilakukan (Tood & Murphy, 2003; Montgomery, 2004; Rothaar, et al. 2006; Fritz, et al., 2004; Snyder, et al.,2008). Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penguasaan konsep memang pada umumnya dapat ditingkatkan dengan memberikan pembelajaran dengan metode-metode baru yang inovatif.

Menurut Arwood (2004) peningkatan kemampuan penguasaan konsep siswa atau mahasiswa dapat dilakukan melalui pendekatan pedagogi berupa inquiry based-learning, cooperative learning, dan problem based-learning. Ketiga model pembelajaran di atas kemungkinan dapat difasilitasi melalui project based-learning atau kombinasi metode penugasan dan metode lainnya. Metode penugasan seperti yang disarankan Arwood dapat digunakan untuk mendorong mahasiswa calon guru berpikir seperti yang dilakukan pada beberapa mata kuliah di Jurusan Pendidikan Biologi antara lain pada perkuliahan Kapita Selekta Biologi.

Kapita Selekta Biologi merupakan mata kuliah wajib bagi mahasiswa calon guru di Jurusan Pendidikan Biologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang diberikan pada semester V ( Kapita Selekta Biologi 1) dan semester VI (Kapita Selekta Biologi 2). Perkuliahan ini pada awalnya dinamakan Kajian Kurikulum Sekolah, tetapi selanjutnya mengalami perkembangan selain berisi kajian kurikulum, mata kuliah Kapita Selekta Biologi, juga mengkaji materi-materi terpilih (dianggap sulit) di SMA disertai cara membelajarkan materi-materi yang ada dalam kurikulum SMA. Dalam perkuliahan Kapita


(14)

kaitan antar konsep tersebut dalam membangun konsep yang lebih besar. Dengan demikian diharapkan mahasiswa dapat lebih meningkatkan penguasaan terhadap suatu materi secara lebih komprehensif.

Selama ini pembelajaran Kapita Selekta Biologi, tidak secara terstruktur mengajarkan cara pembelajaran suatu materi, meskipun hal tersebut dapat saja diberikan secara informal berdasarkan pertanyaan dari mahasiswa. Dengan karakteristik seperti di atas, maka dapat dikatakan bahwa perkuliahan Kapita Selekta Biologi dapat digunakan sebagai wahana untuk membekali calon guru dalam tiga dimensi pengetahuan profesional guru yang menurut Shulman (NSTA & AETS, 1998) meliputi pengetahuan konten atau materi subjek (Content or Subject Matter Knowledge), pengetahuan konten pedagogi (Paedagogical Content Knowledge atau PCK), dan pengetahuan kurikulum (Curricular Knowledge). Dalam aspek pengetahuan konten, perkuliahan ini membekali mahasiswa dengan materi-materi tertentu yang diantaranya banyak berkaitan dengan materi-materi yang mendasari bioteknologi, sehingga perkuliahan ini memungkinkan untuk digunakan sebagai salah satu wahana untuk memperkuat penguasaan materi-materi dasar bioteknologi.

Selain mata kuliah Kapita Selekta Biologi SMA, sebenarnya mahasiswa program pendidikan (prodi) Biologi juga mendapat pembekalan mata kuliah Bioteknologi pada semester tujuh yang diberikan juga untuk prodi non-kependidikan Biologi. Namun pembekalan PCK Bioteknologi tidak menggunakan mata kuliah ini, karena mata kuliah Bioteknologi diberikan dengan nomor kode yang sama untuk prodi pendidikan Biologi dan prodi non kependidikan Biologi, sehingga berarti metode pembelajarannya tidak boleh berbeda antara kedua prodi tersebut. Oleh karena pada Kapita Selekta Biologi SMA juga dipelajari materi-materi penunjang Bioteknologi dan mata kuliah ini hanya diperuntukkan


(15)

bagi Prodi Pendidikan Biologi, maka pembekalan PCK bioteknologi paling tepat diberikan melalui perkuliahan Kapita Selekta Biologi SMA.

Bioteknologi merupakan ilmu yang untuk mempelajarinya diperlukan pengetahuan/konsep-konsep dasar penunjang tertentu. Konsep-konsep dasar/ilmu-ilmu penunjang tersebut juga dapat dipelajari, dikaji dan direkonstruksi dalam mata kuliah Kapita Selekta Biologi melalui topik-topik: virus dan monera, biologi sel, materi genetik, hereditas, dan bioteknologi.

Guna melakukan pembelajaran bioteknologi dengan baik, calon guru harus menguasai dan mampu merekonstruksi pemahamannya tentang konsep-konsep yang ada dalam topik-topik tersebut. Merekonstruksi yang dimaksud disini mencakup menata dan menghubung-hubungkan kembali konsep-konsep dasar penunjang bioteknologi yang telah mereka pelajari dalam perkuliahan (Biologi Umum, Biokimia, Biologi Sel), maupun yang sedang mereka pelajari (Mikrobiologi dan Genetika) dan yang akan dipelajari (Bioteknologi). Penguasaan dan kemampuan merekonstruksi yang baik tentang konsep-konsep dasar tersebut, pada gilirannya dapat digunakan untuk mengembangkan dan menunjang kemampuan mahasiswa untuk menguasai Pedagogical Content Knowledge/PCK nya. Kapita Selekta Biologi 1 mengkaji materi-materi yang ada di kelas 1 & 2 SMA. Materi yang terkait bioteknologi: Virus & Monera dan biologi sel. Kapita Selekta Biologi 2 mengkaji materi yang ada di kelas 3 SMA. Materi yang terkait bioteknologi: Materi genetik, hereditas, dan bioteknologi sebagai materi terakhir. Oleh karena materi yang terkait dengan Bioteknologi berada pada Kapita Selekta Biologi 1 dan Kapita Selekta Biologi 2, maka untuk melihat dan mempelajari kemampuan PCK Bioteknologi mahasiswa calon guru, penelitian ini dilakukan pada perkuliahan Kapita


(16)

B. Rumusan Masalah

Sebagai suatu disiplin ilmu yang relatif sulit Bioteknologi berkembang sangat kompleks dan menimbulkan perdebatan di berbagai aspeknya. Rendahnya penguasaan siswa tentang bioteknologi, diduga akibat kekurang-mampuan guru dalam membelajarkan bioteknologi di sekolah sehingga diperlukan penyiapan guru yang lebih matang di bidang ini. Penguasaan konsep-konsep dasar yang menunjang Bioteknologi dan kemampuan membelajarkannya sebagai perwujudan dari kemampuan Pedagogical Content Knowledge (PCK) Bioteknologi perlu dibekalkan pada calon guru biologi dalam bentuk penelitian pengembangan program pembekalan. Rumusan masalah penelitian ini adalah: “Bagaimana pengembangan program yang efektif untuk membekali PCK Bioteknologi melalui perkuliahan Kapita Selekta Biologi SMA bagi calon guru Biologi?

C. Pertanyaan Penelitian

Untuk memudahkan proses analisis dan sekaligus memecahkan masalah, maka rumusan masalah dirinci dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah struktur program Pembekalan Pedagogical Content Knowledge (PCK) Bioteknologi (P2CKBiotek) yang efektif untuk membekalkan kemampuan PCK Bioteknologi melalui perkuliahan Kapita Selekta Biologi SMA bagi calon guru biologi?

2. Bagaimana efektivitas Program P2CKBiotek yang dikembangkan dalam membekalkan kemampuan PCK bioteknologi melalui perkuliahan Kapita Selekta Biologi SMA bagi calon guru biologi?


(17)

3. Apakah keunggulan dan kelemahan program dalam membekali kemampuan PCK Bioteknologi calon guru Biologi?

4. Faktor-faktor apa yang mendukung dan menghambat keberhasilan implementasi program pembekalan kemampuan PCK Bioteknologi?

5. Bagaimana tanggapan mahasiswa terhadap program pembekalan kemampuan PCK Bioteknologi?

D. Batasan Masalah

Batasan masalah dari penelitian ini adalah:

1. Efektivitas program P2CKBiotek diukur berdasarkan nilai rata-rata N-gain tes PCK Bioteknologi dan nilai rata-rata N-gain tes konsep Bioteknologi mahasiswa, yang dibandingkan dengan nilai rata-rata N-gain tes PCK dan nilai rata-rata N-gain konsep-konsep penunjang Bioteknologi yaitu Virus & Monera, Biologi sel, Materi Genetik dan Hereditas, yang diberikan sebelum pemberian konsep Bioteknologi. 2. Pembekalan aspek SMK selain dengan perkuliahan juga dibekalkan melalui

kemampuan mengkonstruksi Peta Konsep (PtK) secara berkelompok. Hasil pembekalan PtK diukur berdasarkan peningkatan skor tiap-tiap PtK dari konsep-konsep dasar penunjang sampai konsep-konsep Bioteknologi secara berurutan, yang dibandingkan dengan PtK rujukan.

3. Pembekalan aspek PK & PCK dibekalkan melalui kemampuan menyusun Pra RPP beserta argumentasinya secara berkelompok. Hasil pembekalan diukur berdasarkan kecenderungan peningkatan nilai PraRPP beserta argumentasinya untuk setiap konsep dasar penunjang sampai konsep Bioteknologi secara berurutan.


(18)

4. Kemampuan menerapkan PCK dalam bentuk simulasi pembelajaran sebagai tugas kelompok, diukur berdasarkan peningkatan nilai simulasi pembelajaran dari tiap-tiap konsep dasar penunjang sampai konsep bioteknologi secara berurutan.

E. Penjelasan Istilah

Penjelasan istilah dari pertanyaan penelitian yang diajukan di atas adalah:

1. Pengetahuan konten pedagogi atau Pedagogical Content Knowledge (PCK) adalah kemampuan dalam mengintegrasikan pengetahuan konten (SMK) ke dalam pengetahuan tentang kurikulum, pembelajaran, mengajar dan karakteristik siswa (Pedagogical Knowledge/PK) yang dapat menuntun guru untuk merangkai situasi pembelajaran pada kebutuhan individual dan kelompok siswa. (NRC,1996).

2. Struktur program Pembekalan Pedagogical Content Knowledge (PCK) Bioteknologi (P2CKBiotek) dalam perkuliahan Kapita Selekta Biologi SMA tersusun atas urutan materi perkuliahan, alokasi waktu pembelajaran, strategi dan pendekatan perkuliahan serta pengalaman belajar yang diharapkan.

3. Program Pembekalan Pedagogical Content Knowledge Bioteknologi (P2CKBiotek) melalui perkuliahan Kapita Selekta Biologi SMA bagi calon guru biologi meliputi pembekalan kemampuan penguasaan konsep-konsep dasar yang melandasi bioteknologi melalui perkuliahan dan pembuatan Peta Konsep (PtK), sebagai aspek SMK, pembekalan kemampuan menyusun Pra RPP beserta argumentasinya, menyusun skenario pembelajaran dan menerapkannya dalam simulasi pembelajaran sebagai aspek PK sekaligus PCK.

4. Pra RPP adalah pra Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran, yaitu suatu alat yang dikembangkan sebagai gambaran awal tentang rencana pembelajaran suatu materi


(19)

secara umum dan menyeluruh. Pra RPP dibuat sebelum RPP untuk memberi gambaran umum tentang konsep-konsep, model, metode, media dan asesmen yang akan digunakan untuk membelajarkan suatu konsep/materi sekaligus mengarahkan pembuatan RPP yang merupakan rincian dari pra RPP untuk tiap pertemuan.

5. Argumentasi pra RPP adalah alasan yang dikemukakan mahasiswa tentang pengajuan konsep, model, metode, media dan asesmen yang diusulkan dalam pra RPP. Argumentasi disusun mahasiswa berdasarkan pertanyaan pengarah yang dirancang peneliti.

F. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah: mengembangkan dan menemukan program yang efektif untuk membekalkan Pedagogical Content Knowledge/PCK Bioteknologi melalui perkuliahan Kapita Selekta Biologi SMA bagi calon guru Biologi.

G. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan berupa:

1. Program yang efektif untuk membekali calon guru Biologi dengan kemampuan PCK Bioteknologi.

2. Desain perkuliahan Kapita Selekta Biologi SMA yang dapat digunakan sebagai wahana untuk membekali kemampuan PCK bukan saja bioteknologi, tetapi juga materi lain dalam biologi.

3. Pemodelan dalam perkuliahan Kapita Selekta Biologi SMA khususnya dan perkuliahan-perkuliahan lain umumnya, untuk membekalkan kemampuan PCK di bidang lain selain Bioteknologi.


(20)

4. Masukan bagi Program Pendidikan Biologi khususnya dan LPTK umumnya mengenai pembekalan calon guru dalam kemampuan PCK, dalam rangka upaya menghasilkan calon guru professional.


(21)

BAB II

PEMBEKALAN PEDAGOGICAL CONTENT KNOWLEDGE ( PCK) BIOTEKNOLOGI MELALUI PERKULIAHAN KAPITA SELEKTA BIOLOGI

SMA

A. Paedagogical Content Knowledge (PCK)

Sebagai seseorang yang selalu belajar untuk mengajar, guru haruslah secara terus menerus mengintegrasikan pengalamannya dengan segala hal yang mereka pahami, termasuk pemahaman tentang mengajar. Hal ini berarti bahwa apapun yang diketahui seorang guru tentang mengajar adalah suatu kelengkapan penting dan akan memberikan pengalaman baru dan berpengaruh pada seluruh pemahamannya (Cochran, et al.,1993).

Mengajar merupakan suatu proses yang kompleks. Mengajar tidak hanya sekedar proses menyampaikan informasi dari guru ke siswa, melainkan meliputi banyak kegiatan dan tindakan yang harus dilakukan (Hermawan, dkk., 2007). Bagi kaum konstruktivis, mengajar merupakan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya, bahkan mengajar berarti berpartisipasi dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan, melakukan pemaknaan, mencari kejelasan, bersikap kritis dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar mencakup bentuk belajar itu sendiri (Bettencourt,1989; Suparno, 1997). Mengajar dalam konteks ini berarti membantu seseorang berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri (von Glalsersfeld, 1995).

Atas dasar pemahaman inilah, seharusnya seorang guru mempunyai suatu pengetahuan tentang bagaimana mengajarkan suatu bahan ajar kepada siswanya. Guru yang ingin mengajar sains secara efektif harus lebih dari sekedar mengetahui tentang isi (konten) yang akan diajarkan dan beberapa cara pembelajarannya. Guru tersebut juga harus memahami dan mampu mengintegrasikan pengetahuan konten ke dalam


(22)

pengetahuan tentang kurikulum, pembelajaran, dan karakteristik siswa. Pengetahuan-pengetahuan tersebut akhirnya dapat menuntun guru untuk merangkai situasi pembelajaran pada kebutuhan individual dan kelompok siswa. Pengetahuan seperti ini dinyatakan sebagai pengetahuan konten pedagogi atau pedagogical content knowledge (PCK). (NRC,1996).

Menurut Loughran, et al. (2006), PCK merupakan suatu konstruksi akademik yang menggambarkan suatu ide yang dapat membangkitkan minat untuk mempelajari sesuatu. PCK dikembangkan oleh guru dari waktu ke waktu dan melalui pengalaman tentang bagaimana mengajarkan konten tertentu dengan cara tertentu untuk meningkatkan pemahaman siswa. Secara sederhana PCK dapat diartikan sebagai gambaran tentang bagaimana seorang guru mengajarkan suatu subjek dengan mengakses apa yang dia ketahui tentang subjek tersebut, apa yang dia ketahui tentang pebelajar yang diajarnya, apa yang dia ketahui tentang kurikulum terkait dengan subjek tersebut dan apa yang dia yakini sebagai cara mengajar yang baik pada konteks tersebut (Rollnick, et al. 2008). Pengertian lain menunjukkan bahwa PCK merupakan suatu cara untuk memahami hubungan yang kompleks antara mengajar dan konten yang diajarkan melalui penggunaan pendekatan mengajar yang spesifik dan hal tersebut dikembangkan melalui proses yang berlandaskan praktek di kelas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PCK juga merupakan suatu integrasi antara pengetahuan materi subjek (subject matter knowledge/SMK) dengan pedagogical knowledge (PK) yang dimiliki guru sebagai cara meningkatkan pembelajaran siswa (Loughran, et al., 1998). Dengan demikian dalam PCK akan terkandung pengetahuan tentang pengetahuan awal siswa, penyajian materi subjek/ subject matter, strategi pembelajaran, materi kurikulum dan fokus kurikulum. PCK juga berarti representasi seluruh pengetahuan yaitu hasil amalgamasi dari pengetahuan materi subjek


(23)

dengan pengetahuan pedagogi (Geddis & Wood, 1997 dalam Rollnick, et al. 2008). Gess-Newsome (1999) dalam studinya menyatakan bahwa ada tiga pengetahuan dasar yang harus dikuasai guru yaitu pengetahuan konseptual, pengetahuan tentang struktur materi dan pengetahuan tentang orientasi konten-spesifik dalam mengajar.

Gess-Newsome (1999) dan Rollnick, et al., (2008) menyatakan terdapat dua model berkaitan dengan pengetahuan guru. Model pertama adalah integrative model dan yang kedua adalah transformative model. Pada integrative model, PCK belum terstruktur dalam pengetahuan guru dan pengetahuan guru dijelaskan sebagai suatu interseksi dari materi subjek, pedagogi dan konteks. Ketika guru mengajar di kelas, ketiga domain pengetahuan tersebut baru diintegrasikan karena adanya kebutuhan untuk menciptakan pembelajaran yang efektif di kelas. Kelebihan model ini adalah ketiga domain pengetahuan dapat berkembang secara independen dan dapat diintegrasikan pada tahap berikutnya. Akan tetapi kelemahan model ini, adalah bahwa guru mungkin tidak pernah melihat pentingnya suatu integrasi dari pengetahuan-pengetahuan tersebut dan kurang menyiapkan cara mengintegrasikan pengetahuan-pengetahuan ini dalam bentuk perencanaan yang matang sebelum melakukan pembelajaran.

Transformative model merupakan gambaran dari suatu sintesis seluruh pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjadi guru yang efektif. Pengetahuan tentang materi subjek, pedagogi dan konteks yang berkembang secara terpisah atau terintegrasi, akan ditransformasikan kedalam suatu bentuk pengetahuan baru yang lebih ’powerful’ daripada gabungan antara pengetahuan-pengetahuan tersebut tanpa integrasi. Jadi dengan cara semacam ini, ketiga pengetahuan dasar di atas menjadi lebih berguna ketika ditransformasikan dalam bentuk PCK. Kelemahan model ini adalah pengembangan dari


(24)

kemampuan guru dalam keterampilan mengambil keputusan, kemampuan personal dan kreativitas guru , mungkin terabaikan.

PCK dari seorang guru bisa sama dengan guru lain, tetapi juga bisa berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh konteks mengajar, penguasaan konten dan pengalaman guru. Untuk mengenali dan menilai perkembangan PCKnya, seorang guru membutuhkan pemahaman konseptual yang kaya dari konten subjek tertentu yang mereka ajarkan. Pemahaman konseptual yang kaya yang dipadukan dengan keahlian dalam menggunakan prosedur pembelajran, strategi dan pendekatan untuk digunakan di dalam kelas, menciptakan suatu pencampuran dari pengetahuan konten dan pengetahuan pedagogi yang oleh Shulman (1986 &1987 dalam Loghran, et al., 2006) disebut PCK.

Seorang guru yang baik harus menguasai konten (bahan pelajaran/materi subjek) dan menguasai ilmu mengajar (pedagogi). Konten merupakan pengetahuan sains yang semestinya dikuasai oleh pengajar mencakup fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori (Dahar & Siregar, 2000). Pedagogi berarti cara-cara yang dapat dilakukan untuk membantu siswa belajar dan memecahkan problem-problem dalam sains (Enfield, 2007).

Hubungan antara konten dan pedagogi dapat dijelaskan sebagai berikut : pengetahuan konten membekali untuk guru dapat menghubungkan dan melihat hubungan antara konsep-konsep, sedangkan pengetahuan pedagogi membekali guru untuk menguasai cara-cara yang dapat membantu siswa belajar tentang problem-problem sains. Pada aspek pengetahuan konten diharapkan guru dapat belajar dan mengajar tentang proses inkuiri, sedangkan pada aspek pedagogi diharapkan guru dapat memberi pengalaman pada siswa untuk membuat atau melakukan proses inkuiri. Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan bahwa ada interseksi atau irisan antara konten dengan pedagogi. Irisan inilah


(25)

yang kemudian dikenal dengan pengetahuan konten pedagogi atau pedagogical content knowledge/PCK (Enfield, 2007).

Pengetahuan Konten Pedagogi atau PCK yang diusulkan Shulman, oleh banyak peneliti dianggap sebagai jawaban yang memuaskan terhadap transformasi konten/materi subjek menjadi suatu bentuk penyajian di dalam kelas (Dahar & Siregar, 2000). Cochran, et al. (1993) merumuskan pedagogical content knowledge (PCK) sebagai: concern the manner in which teachers relate their subject matter knowledge (what they know about what they teach) to their pedagogical knowledge (what they know about teaching) and how subject matter knowledge is a part of the process of pedagogical reasoning. PCK dalam hal ini ditekankan pada aspek konten yang berhubungan erat dengan bagaimana cara mengajarkan agar mencapai teachability. PCK ini juga meliputi bentuk-bentuk terbaik yang digunakan untuk merepresentasikan suatu ide, usaha terbaik untuk melakukan analogi, mengilustrasi, mengeksplanasi, dan mendemonstrasikan atau dengan kata lain membuat suatu cara terbaik merepresentasikan dan memformulasi suatu subjek sehingga membuatnya menjadi sesuatu yang dapat difahami secara menyeluruh (comprehensive). PCK juga meliputi pemahaman tentang apa yang dapat dilakukan dalam pembelajaran suatu konsep spesifik yang mudah maupun sulit terhadap para siswa (dengan berbagai umur dan latarbelakang) yang mempunyai konsepsi dan miskonsepsi agar mereka belajar (Shulman, 1997 dalam Cochran, et al., 1993).

B. Pembekalan PCK bagi Calon Guru

Para pengajar calon guru (teacher educators) seringkali menghadapi kesulitan dalam mempersiapkan calon guru untuk menjadi guru yang baik. Mereka harus dapat


(26)

melihat apa-apa yang dibutuhkan calon guru dalam belajar tentang mengajar. Para teacher educators juga harus dapat membekalkan keterampilan mengelola kelas, aktivitas dalam mentransformasi informasi dan bagaimana merencanakan langkah-langkah pembelajaran serta hal–hal lain yang berkaitan dengan pengelolaan kelas yang mereka ajar. Bagi para calon guru, sering dirasakan adanya kesenjangan yang besar antara praktek mengajar dan teori yang mereka peroleh (Holt-Reynolds, 2000). Salah satu kendala yang dihadapi para pengajar calon guru adalah calon guru cenderung bersikap underestimate terhadap aspek kognitif dari mengajar (Munby, Russell, & Martin, 2001). Problem lain adalah kesulitan tentang bagaimana mengajarkan calon guru untuk dapat mengintegrasikan pedagogical knowledge (PK) dengan pengetahuan materi subjek. Beberapa studi menunjukkan bahwa calon guru seringkali sangat kurang dalam pemahaman konseptual dari konten yang akan mereka ajarkan. Para calon guru seringkali memahami subjek matter knowledge (SMK) secara terpisah-pisah dan sangat tak terorganisasi sehingga mengakibatkan kesulitan untuk mengakses pengetahuan tersebut ketika mereka harus mengajarkannya (Gess-Newsome, 1999). Banyak calon guru yang berpandangan bahwa mengajar hanyalah menyampaikan informasi, sehingga sangat penting untuk memberikan pembekalan pada calon guru tentang bagaimana mengajarkan suatu materi subjek dengan menciptakan kesadaran bahwa mereka membutuhkan hal-hal yang berkaitan dengan belajar mengajar dan implikasi hal tersebut pada proses belajar untuk mengajar. Disamping itu calon guru juga harus diberi pemahaman bahwa mereka juga harus mengembangkan wawasan yang lebih mendalam tentang bagaimana belajar mengajar sains (Nilsson, 2008).

Problem lain yang sering dihadapi guru pemula atau calon guru adalah kurangnya kemampuan mereka dalam membuat rencana pembelajaran yang berdampak timbulnya kesulitan dalam praktek mengajar di kelas. Disamping itu, mereka juga mengalami


(27)

kesulitan dalam mengidentifikasi kemampuan siswa terhadap suatu materi tertentu, padahal hal ini sangat dibutuhkan sebagai penuntun dalam memilih dan menentukan konsep-konsep penting yang harus diberikan dalam pembelajaran yang akan dilakukannya (Kapyla, et al., 2009).

Menurut Nilsson (2008) struktur pendidikan calon guru diharapkan juga tidak hanya menyiapkan kesempatan bagi calon guru untuk mentransformasi pengetahuan yang mereka dapatkan selama pendidikan tetapi juga harus membekalkan pengetahuan-pengetahuan dasar lainnya seperti pengetahuan-pengetahuan materi subjek (Subject Matter Knowledge/SMK), pengetahuan pedagogi (PK), dan Contextual Knowledge (CK),yang seringkali dianggap sebagai sesuatu yang terpisah. SMK, menunjukkan kuantitas, kualitas dan kemampuan seorang guru dalam pengaorganisasian informasi, konseptualisasi dan kemampuan mengkonstruksi sains (Zeidler, 2002). Gess-Newsome (1999) menambahkan bahwa SMK juga meliputi scientific literacy, partisipasi dalam dunia ilmiah dan pemahaman tentang struktur dan hakekat sains.

Penelitian menunjukkan bahwa guru dengan penguasaan SMK yang baik, akan mempunyai pengetahuan yang lebih tentang hubungan antar konsep dan metode-metode menghubungkan suatu konsep dengan konsep lainnya (Gess-Newsome, & Lederman, 1999). Disamping itu, Kapyla, et al. (2009) yang menyatakan bahwa penguasaan konten yang kuat memberi dampak positif pada pengusaan PCK calon guru. Dengan penguasaan konten yang baik, guru juga dapat mengetahui atau mengenali miskonsepsi yang terjadi pada siswa, dapat memilih konten-konten mana saja yang paling penting diajrakan dan tak akan mentransfer miskonsepsinya pada siswa. Dengan demikian, keterbatasan kemampuan SMK seorang guru dapat berakibat pada rendahnya kepercayaan diri dalam mengajar sains (Appleton, 2006; Harlen, 1997; Harlen & Holryod, 1997). Jadi tingkat kemampuan


(28)

seseorang dalam menguasai kompleksitas struktur SMK merupakan suatu faktor kritis yang berpengaruh dalam mempermudah penjelasan struktur pengetahuan dalam praktek di kelas dan pembentukan dasar konten dalam pengembangan PCK (Nilsson, 2008).

PK mengandung elemen-elemen umum yang terkait dengan mengajar, pengorganisasian kelas, strategi dan model-model pembelajaran, serta komunikasi kelas. Morine-Deshimer & Kent (1999) beranggapan bahwa PK harus diadaptasi sesuai konteks mengajar di kelas dan kemampuan mengadaptasinya dapat menunjukkan adanya pemahaman mengenai kemampuan mengaplikasikan strategi di dalam situasi kelas yang nyata. CK, sangat berkaitan erat dengan PK dan menggambarkan pengetahuan tentang sekolah, karakter atau kebiasaan siswa, iklim kelas dan hubungan antar individu dalam kelas serta konteks yang terjadi dalam mengajar.

Penguatan pengetahuan-pengetahuan dasar yang telah dijelaskan di atas diharapkan akan memicu kreativitas untuk menemukan suatu cara mentransformasi berbagai pengetahuan yang guru/calon guru miliki dalam bentuk yang lebih berguna dan bermakna dalam konteks mengajar mereka. Dengan demikian diharapkan calon guru dapat mengenali dan memahami kompleksitas dalam mengajar dan melihat pentingnya mentransformasi pengetahuan mereka ke dalam suatu bentuk yang lebih berguna dan membantu didalam mempertajam pengajaran sains mereka di kelas.

Calon guru dengan pengalaman mengajar di kelas yang kurang, tak pelak lagi akan mempengaruhi dalam pengetahuan pedagogical content knowledge mereka dibandingkan guru berpengalaman. Akan tetapi untuk dapat mengkatalisis pengembangan PCK mereka, dapat dilakukan pembekalan untuk mengenali bagian-bagian dari PCK yang pada akhirnya dapat menguatkan kemampuan PCK mereka secara menyeluruh. Hal ini dilakukan karena pada dasarnya PCK merupakan hubungan dinamis antara bagian-bagian tersebut dan


(29)

sangat berkaitan dengan segi praktek (Nilsson, 2008). Dengan demikian kemampuan PCK paling baik dibekalkan dengan strategi mengkombinasikan analisis teori dengan praktek yang diwujudkan dalam praktek di kelas (Marks, 1990).

Magnusson, et al. (1999) menekankan bahwa perkembangan PCK dapat dideterminasi dengan melihat konten apa yang akan dibahas, konteks yang terkait dengan konten yang akan dibahas dan cara guru merefleksikan pengalaman mengajarnya. Dalam hal ini refleksi menjadi salah satu elemen penting bagi calon guru untuk mengembangkan keahlian mereka dalam hal praktek dan merupakan bentuk pertanggungjawaban mereka dalam melakukan tindakan mengajarnya (Nilsson, 2008).

Pada awalnya pendidikan guru lebih banyak menekankan pada pengetahuan guru tentang materi subjek (Shulman, 1997 dalam Cochran, et al., 1993). Namun melihat betapa pentingnya PCK sebagai alat utama guru dalam mengajarkan suatu subjek seperti diuraikan di atas, maka pada dekade belakangan ini, PCK dapat dijadikan sebagai salah satu target area yang harus dikembangkan dalam pendidikan guru (Rollnick, et al. 2008). Saat ini pendidikan guru mulai menekankan pada efektivitas metode pedagogi secara umum yang meliputi penggunaan pertanyaan, desain suatu penugasan dan kurikulum serta asesmen performa independen siswa pada tiap materi subjek (Ball & Mc.Diarmid, 1990). Para ahli kini menyadari bahwa baik pengetahuan tentang materi subjek maupun pengetahuan pedagogi merupakan hal yang krusial dalam suatu pengajaran yang baik dan dalam meningkatkan pemahaman siswa (Cochran, et al., 1993), sehingga hal tersebut sangat perlu dibekalkan kepada calon guru yang sedang menempuh pendidikan guru di universitas atau LPTK.


(30)

C. Hubungan Pengetahuan Konten Pedagogi dengan Pengetahuan Dasar Mengajar

Transformasi suatu konten (materi subjek) selama mengajar dapat terjadi sebagai suatu refleksi yang kritis dan sebagai interpretasi suatu materi subjek yang meliputi penemuan berbagai cara untuk merepresentasikan informasi dalam bentuk analogi, metafora, contoh, problem, demonstrasi dan berbagai aktivitas kelas. Selain itu juga terjadi adaptasi materi yang diberikan dengan aspek-aspek kemampuan (abillity), gender, pengetahuan awal dan prekonsepsi dan pada akhirnya meramu materi yang diberikan dalam bentuk suatu bahan yang siap disajikan pada siswa (Cochran, et al.,1993). Gudmundsdottir (1987) menggambarkan bahwa proses transformasi merupakan suatu restrukturisasi terus menerus terhadap pengetahuan materi subjek untuk tujuan mengajar.

Seorang pendidik yang konstruktivis akan berpandangan pengetahuan sebagai sesuatu yang dikreasi (created) dan bukan sesuatu yang diberikan atau ditransformasikan, dan guru harus memahami bagaimana siswa mengkonstruksi dan menggunakan pemahamannya (Cochran, et al., 1993). Tugas guru adalah membantu agar siswa mampu mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasi konkret. Oleh karenanya strategi mengajar seorang guru juga harus disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi siswa (Suparno, 2000).

Shulman (Dahar & Siregar, 2000) memetakan komponen pengetahuan dasar dari tugas mengajar seperti tertera pada gambar 2.1. Gambar 2.1 tersebut mengidentifikasi tujuh pengetahuan dasar tugas mengajar yang diperlukan untuk meningkatkan pemahaman pengajar terhadap materi subjek . Pengetahuan dasar ini mencakup: pengetahuan materi subjek, pengetahuan pedagogi umum, pengetahuan konten pedagogi, pengetahuan kurikulum, pengetahuan pembelajar dan karakteristiknya, pengetahuan strategi mengajar


(31)

dan pengetahuan konteks pembelajaran. Berikut ini diuraikan secara ringkas ke tujuh pengetahuan dasar mengajar tersebut.

Gambar 2.1 Totalitas Pengetahuan Guru (Shulman, 1997; Dahar & Siregar, 2000)

1. Pengetahuan materi subjek

Pengetahuan materi subjek merujuk pada organisasi pengetahuan guru yang terdiri dari: pengetahuan konten, mencakup fakta dan konsep dalam suatu disiplin; struktur sintaktikal, mencakup merumuskan dan cara validasi pengetahuan; struktur substantif mencakup organisasi konten ilmu.

2. Pengetahuan pedagogi umum 1 3 5 6 4 7 Struktur sintaktik

Konten Struktur substantif Kurikulum pengajaran Pengelolaan Kelas Pembelajar & belajar

Pengetahuan Konten Pedagogi

Konsepsi tujuan pengajaran materi subyek Pengetahuan kurikulum Pengetahuan strategi mengajar Pengetahuan ttg pemahaman siswa Pengetahuan konteks pembelajaran

Pengetahuan Pedagogi umum 2


(32)

Pengetahuan pedagogi umum merujuk pada prinsip-prinsip dan strategi pengelolaan dan oganisasi kelas yang menyangkut pengetahuan umum. Prinsip dan strategi mengajar juga dikendalikan oleh keyakinan, dan pengetahuan praktis guru.

3. Pengetahuan konten pedagogi

Pengetahuan konten pedagogi merupakan pengetahuan dalam mengorganisasikan konten, yang cocok untuk tugas mengajar. Ini mencakup representasinya dalam bentuk yang bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman pembelajar.

4. Pengetahuan kurikulum

Pengetahuan kurikulum merujuk pada materi dan program yang berfungsi sebagai alat khusus bagi guru dalam menentukan tujuan pengajaran pada berbagai jenjang kelas.

5. Pengetahuan pebelajar dan karakteristiknya

Pengetahuan ini digunakan untuk mengembangkan pengajaran. 6. Pengetahuan strategi mengajar

Pengetahuan ini berkaitan dengan cara bekerjanya kelompok kecil di sekolah hingga pada bagaimana organisasi sekolah dan pembiayaan sekolah.

7. Pengetahuan konteks pembelajaran

Pengetahuan ini berhubungan dengan konteks yang mengendalikan bentuk-bentuk interaksi kelas.

Gambar 2.1 memperlihatkan bahwa pengetahuan konten pedagogi merupakan bagian dari pengetahuan dasar mengajar dan menduduki peran sentral. Terlihat bahwa semua aspek yang terkait dengan mengajar seperti pengetahuan materi subjek,


(33)

pengetahuan pedagogi umum dan pengetahuan konteks pembelajaran, semua diarahkan untuk membentuk pengetahuan konten pedagogi.

Secara lebih menyeluruh bila pengetahuan konten pedagogi dikaitkan dengan komponen-komponen yang harus dimiliki guru sebagai pendidik, digambarkan oleh Enfield (2007), pada Gambar 2.2. Gambar 2.2 merangkum tentang hal-hal yang perlu/seyogyanya dimiliki seorang guru profesional dan hubungan antara komponen-komponennya. Bila diperhatikan letak PCK berada pada irisan antara aspek konten dan aspek pedagogi. Dari gambar anak panah yang menghubungkan komponen pedagogi dan konten, dapat diartikan bahwa komponen pedagogi harus dapat menterjemahkan konten melalui PCK. Selain itu PCK dibutuhkan bila guru akan mengajar seluruh siswa dengan menerapkan inkuiri agar memperoleh pemahaman dan dapat mengaplikasikannya. Sebaliknya dalam menerapkan PCKnya, guru seyogyanya memperhatikan komponen pengajaran melalui inkuiri pada seluruh siswanya.

D. Pentingnya Pengetahuan Konten Pedagogi (PCK) dalam Pendidikan Guru Sains Mengapa kita menyatakan bahwa PCK memiliki arti penting dalam pendidikan guru khususnya guru sains? Penjelasannya akan dikemukakan dalam uraian di bawah ini.

Shulman (1997 dalam Enfield, 2007) mengembangkan PCK sebagai konstruksi, untuk merespons beberapa masalah yang ditemukan dalam proses mengajar dan pendidikan guru. Standar –standar guru yang selama ini dikemukakan dalam NSTA, menunjukkan bahwa hubungan antara pengetahuan konten dan pengetahuan pedagogi hanya terlihat secara implisit. Apabila dibaca lebih hati-hati tampak bahwa hubungan antara kedua domain tersebut sedikit diabaikan. Sebagai contoh standar pedagogi dalam NSTA mengusulkan bahwa guru harus punya pengalaman mengorganisasi


(34)

kelas/organization of classroom experiences (National Science Teacher Association,1998). Akan tetapi untuk mendisain ‘organization’ tersebut dibutuhkan suatu pemahaman mendalam tentang konten. Hal inilah yang menurut Shulman (1997, dalam Enfield,2007) harus ada suatu kunci yang dapat merinci dengan jelas pengetahuan konten pedagogi (PCK) yang diletakkan sebagai irisan antara pengetahuan konten dan pengetahuan pedagogi. Persiapan tentang pemahaman aspek konten secara lebih mendalam, yang dibutuhkan untuk mengorganisasi kelas tersebut, seringkali tidak dapat dilakukan seorang calon guru hanya di kampus tempat ia belajar ilmu pendidikan (di LPTK atau universitas penyedia calon guru). Selama ini seringkali guru mempunyai pengalaman belajar kedua domain tersebut secara terpisah-pisah. Untuk belajar konten atau materi subjek secara lebih mendalam dia belajar dalam konteks materi subjek, untuk belajar cara mengajar dia belajar dalam konteks metodologi. Akibat dari hal tersebut, hanya sedikit kecocokan yang terjadi antara kebutuhan pembelajar dengan metode mengajar. Seharusnya seorang guru sains memiliki pendekatan yang berbeda dengan seorang ilmuwan dalam mempelajari suatu materi subyek. Seorang guru sains tidak boleh hanya mengerti tentang materi subyek tetapi juga harus mengetahui bagaimana implikasi pedagoginya dalam pembelajaran sains. Pengetahuan konten pedagogi mengintegrasikan kedua domain tersebut dengan memberi penekanan bahwa ia mempelajari suatu materi subyek sekaligus memikirkan bagaimana cara mengajarkannya. Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan bahwa untuk membelajarkan suatu konten dengan baik, bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan koordinasi yang lebih mendalam antara ahli konten atau sainstis dengan ahli pedagogi atau pendidik. Namun hal ini dapat menghasilkan keuntungan yang banyak yaitu menjadikan guru lebih ‘knowledgeable’, fleksibel dan ‘capable’( Enfield, 2007).


(35)

Gambar 2.2. Pengetahuan Konten Pedagogi dikaitkan dengan Komponen-komponen yang harus dimiliki Guru (Enfield, 2007).

Sering muncul pertanyaan tentang, mengapa calon guru masih banyak menghadapi masalah terkait pengajaran ketika mereka sudah menjadi guru, padahal pembekalan subject matter knowledge (SMK), sudah cukup banyak mereka peroleh di bangku kuliah? Menurut Nilsson (2008), permasalahan ini kemungkinan terjadi karena calon guru belum menerima pengetahuan dalam suatu unit transformasi, yaitu pengetahuan yang dapat mentransformasikan suatu konten ke dalam bentuk pembelajaran yang dapat memberikan


(36)

pemahaman kepada siswa. Penyebab lain adalah kesulitan dalam melakukan verbalisasi pengetahuan konten yang diperoleh, menghubungkan pengetahuan ke dalam kehidupan sehari-hari, menghubungkan teori ke dalam kehidupan sehari-hari dan kekurangmampuan dalam memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan siswa (Appleton, 2006; Harlen, 1997 & Harlen & Holroyd, 1997).

Alasan lain adalah bahwa, subject matter knowledge (SMK) merupakan sesuatu yang bersifat eksplisit sehingga mudah dibelajarkan, sementara PCK relatif bersifat abstrak dan sulit untuk dieksplisitkan. Hal ini berarti sangat sulit bagi guru mengeksplisitkan kedalaman PCKnya tanpa menunjukkannya dalam bentuk aktivitas mengajar (Loughran, et al., 2001). Dengan demikian, dibutuhkan beberapa kombinasi metode dalam pembekalan PCK, yang dapat menjawab permasalah tersebut, misalnya dengan mengukur kemampuan guru atau calon guru dalam praktek mengajar di kelas.

Pembekalan PCK bagi calon guru menghasilkan beberapa keuntungan diantaranya, calon guru menjadi lebih mampu menyiapkan suatu kerangka kerja yang jelas selama mereka menyiapkan pembelajaran. Selain itu calon guru menjadi lebih mampu mengenali dan meningkatkan rasa percaya diri dalam mengajar. Hal lain yang menguntungkan adalah dengan cara-cara pembekalan PCK yang tepat, PCK bukan lagi dianggap sekedar teori pendidikan melainkan menjadi suatu bentuk representasi tentang bagaimana mereka dapat mengembangkan pengetahuan professional dalam praktek mengajar mereka (Loughran, et al., 2008). Johnston & Ahtee (2006) menyatakan bahwa pembekalan PCK yang kuat pada calon guru akan menyebabkan calon guru untuk terus menerus berupaya meluruskan, memperbaiki atau memahami lebih baik tentang suatu materi subjek yang akan diajarkan, sehingga materi atau konten tersebut menjadi lebih mudah dipahami oleh siswa, sehingga pembelajaran yang mereka berikan menjadi lebih bermakna.


(37)

Namun upaya pembekalan PCK juga bukan berarti tanpa kendala. Penguatan PCK dalam pendidikan guru merupakan bagian dari tradisi mempelajari keterampilan dan pengetahuan guru secara menyeluruh (Loughran, et al., 2001). PCK merupakan sesuatu yang sangat potensial dibekalkan dalam pendidikan guru, akan tetapi analisis dan cara pengukuran yang sederhana tentang sejauh mana pengetahuan tersebut telah dicapai, masih sulit ditemukan (Kapyla, et al., 2009). Oleh karena itu masih perlu dicari cara-cara praktis dan sederhana untuk melakukan pengukurannya.

PCK juga penting dalam proses pengembangan ‘scientific literacy’ dan kemampuan mentransformasi pengetahuan guru ke dalam proses pembelajaran. Untuk kepentingan ini, guru membutuhkan pengetahuan konten, pengetahuan pedagogi, dan juga pemahaman tentang interseksi antara keduanya, yaitu pengetahuan konten pedagogi (PCK).

Adanya variasi di antara siswa, menyebabkan perlu dipikirkan tentang bagaimana konten dan pedagogi secara bersama-sama memberikan pengalaman belajar yang cocok dengan kebutuhan siswa. Selain itu pedagogi yang tepat pada konten dapat membantu menunjukkan masalah-masalah dalam kelompok siswa, mendorong kelompok untuk berpartisipasi, membawa fleksibilitas yang lebih baik dalam kelas atas dasar kemampuan dan interes dari masing-masing siswa (Enfield, 2007). Dalam NSES (1996) dinyatakan bahwa guru sains juga harus memahami tentang bagaimana perbedaan latar belakang siswanya/konteks sosial dalam hal pengalaman, motivasi, gaya belajar, kemampuan dan interesnya terhadap pembelajaran sains. Guru harus menggunakan semua pengetahuannya untuk membuat keputusan yang efektif tentang learning objective, teaching strategy, assessment task dan materi kurikulum. Sebagai contoh : pada pembelajaran sains bagi


(38)

warga negara asing di Amerika yang berasal dari belahan dunia, guru dapat memodifikasi pembelajarannya berdasarkan sudut pandang siswa yang berbeda-beda latar belakangnya tersebut. Hal ini adalah contoh hasil seorang guru dalam menerapkan PCK (Kawagley, et al., 2000)

Pengetahuan konten pedagogi dalam pembelajaran sains sangat penting ditinjau dari konteks awal wacana para saintis hingga menjadi eksplanasi pedagogik. Wacana yang merupakan hasil kegiatan ilmiah para saintis yang ditransformasikan ke model teoritis atau matematik hanya dapat dengan mudah dimengerti oleh rekan sejawat para ahli sains. Model ini sangat sulit dipahami oleh siswa tanpa ada keterlibatan aspek psikologi dan pedagogi (Dahar & Siregar, 2000). Dengan demikian berarti bahwa guru harus menerapkan PCKnya. Salah satu contoh dalam biologi tentang bagaimana mengeksplanasi suatu materi pembelajaran menjadi sesuatu yang lebih mudah dipahami adalah tentang penggambaran struktur lipid bilayer dari membran sel dan komponen-komponen penyusunnya sekaligus proses keluar masuknya oksigen. Pada Gambar 2.3, akan lebih mudah dipahami oleh siswa dan lebih bermanfaat untuk digunakan guru dalam merepresentasikan materi terkait yaitu tentang membran sel, dibanding dengan menggambarkan struktur protein integral secara narasi dan penggambaran tanpa modifikasi.

E. Bioteknologi dan Pembelajarannya

Bioteknologi dalam arti luas adalah beberapa teknik yang menggunakan organisme hidup atau prosesnya untuk membuat atau memodifikasi produk, guna meningkatkan pemanfaatan tumbuhan atau hewan, atau untuk mengembangkan mikroorganisme untuk


(39)

tujuan khusus (Acquaah, 2004). Bioteknologi juga berarti penggunaan teknologi atau teknik-teknik yang berbasis pada sistem kehidupan baik tumbuhan, hewan atau mikroba untuk menghasilkan suatu produk atau menghasilkan spesies-spesies lain (Acquaah, 2004).

Bioteknologi sendiri merupakan disiplin atau bidang ilmu yang bukan saja secara teknis relatif sulit, dan juga merupakan bidang yang berkembang sangat pesat dan kompleks serta menimbulkan perdebatan terus menerus di masyarakat baik dari segi komersil, etika dan politis (Polkinghorne, 2000). Kemajuan yang pesat dalam aplikasi biologi molekuler dan bioteknologi (misalnya dalam mengatasi masalah kelaparan dan malnutrisi, termasuk bagaimana meningkatkan nilai tambah suatu produksi makanan), menjadi isu yang masih sering ditanggapi secara skeptis oleh masyarakat. Perdebatan paling banyak berkisar pada penggunaan bioteknologi pada organisme yang dimodifikasi secara genetic (GMOs/”Genetically Modified Organism”). Para peneliti menyimpulkan bahwa kesetujuan konsumen terhadap bioteknologi dapat dihambat karena pemahaman yang terbatas terhadap bidang tersebut (Fritz, et al., 2004). Untuk meluruskan segala permasalahan yang terkait dengan hal tersebut, publik perlu memiliki pemahaman dan pengetahuan yang benar tentang dasar saintifik dan prospek dari aplikasi bioteknologi yang menjadi permasalahan tersebut (Montgomery, 2004). Selain itu peningkatan pemahaman tentang bioteknologi, dapat membantu masyarakat membuat suatu keputusan yang tepat tentang teknologi tersebut (Cavanagh, et al., 2005).

Guna meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dalam bidang ini, diperlukan peran saintis dan pengajar sains, dalam hal ini para guru dan dosen dalam membelajarkan masyarakat tentang hal-hal terkait dengan bioteknologi (Montgomery, 2004). Kondisi/sifat bioteknologi yang demikian, tentunya membutuhkan kemampuan untuk memunculkan


(40)

pemikiran yang kritis dan penguasaan yang benar dan baik terhadap bidang tersebut, agar pada akhirnya diperoleh kemampuan untuk dapat melakukan pengambilan keputusan yang tepat tentang mana bioteknologi yang baik dan mana yang dapat menghasilkan resiko yang kurang menguntungkan.

Gambar 2.3. Struktur membran sel dan komponen-komponen penyusunnya (Encarta Encyclopedia, Microsoft Corporation, 2008).

Generasi muda saat ini perlu mendapat informasi yang tepat tidak saja tentang aplikasi praktis bioteknologi, tetapi mereka juga membutuhkan apresiasi terhadap implikasi sosial dan etika bioteknologi sehingga diharapkan mereka dapat membuat keputusan yang bijaksana dan berkontribusi dalam perdebatan publik di masa datang. Masih banyak pemahaman yang keliru tentang bioteknologi yang dapat mempengaruhi sikap siswa terhadap topik tersebut (Dawson & Schibeci, 2003). Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa masih dibutuhkan secara luas pembelajaran yang lebih baik tentang bioteknologi dan aspek-aspek yang terkait di dalamnya seperti genetika. Pembelajaran


(41)

yang baik dalam bidang bioteknologi, dapat meningkatkan minat masyarakat untuk berpartisipasi menambah pengetahuannya di bidang sains dan teknologi. Sayangnya para siswa di sekolah masih banyak yang belum memiliki pemahaman yang benar tentang topik tersebut (Rothhaar, et al., 2006). Banyak siswa sekolah menengah atas (16-19 th) tidak memahami proses pembuatan produk bioteknologi atau implikasi bioteknologi modern (Chen & Raffen,1999). Lock, et al. (1995) menemukan bahwa setelah mendapat pembelajaran tentang bioteknologi dan rekayasa genetik siswa berumur 16 tahun lebih di United Kingdom (UK) dapat ditingkatkan pengetahuannya dan sikapnya menjadi lebih suka dan menurunkan sikap ketidakpastian. Sebaliknya Olsher & Dreyful (1999) melaporkan 105 siswa (15 tahun) yang diberi pertanyaan tentang penggunaan hormon dalam rekayasa genetik, menunjukkan tidak terjadi perbedaan sikap positif yang signifikan antara siswa yang diberi pembelajaran bioteknologi dengan yang tidak. Akan tetapi siswa yang belajar bioteknologi lebih dapat memberikan argumen yang baik dalam Bioteknologi.

Bal, et al (2007)dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa pembelajaran genetika sebagai salah satu ilmu dasar untuk mempelajari bioteknologi yang selama ini dilakukan, masih kurang fokus pada rekayasa genetik dan implikasinya. Berdasarkan hal tersebut, untuk membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna dan untuk menyediakan pendidikan yang lebih efektif, maka harus lebih sering digunakan metode dan strategi pembelajaran alternatif disamping harus dilakukan pula restrukturisasi kurikulum untuk meningkatkan cakupan prinsip-prinsip dasar dan aplikasi dari rekayasa genetik sebagai bagian dari bioteknologi. Selain itu dinyatakan pula bahwa persepsi tentang resiko dan prasangka negatif terhadap bioteknologi akan menurun seiring dengan peningkatan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang bioteknologi. Situasi ini jelas menunjukkan pentingnya pembelajaran yang dapat menyediakan kesadaran sosial. Disamping itu ,karena perlu


(42)

disampaikannya dasar-dasar pengetahuan yang kuat untuk mempelajari bioteknologi, kurikulum harus direstrukturisasi untuk lebih banyak mengandung pembahasan mengenai keuntungan, kerugian dan resiko-resiko yang mungkin terjadi akibat aplikasi di bidang ini. Diperlukan pula program-program yang mengandung aktivitas-aktivitas yang dapat meningkatkan kemampuan siswa/mahasiswa untuk membuat suatu keputusan tentang suatu isu terkait etika.

Metode pembelajaran alternatif dapat membantu meningkatkan pemahaman konsep-konsep sulit pada semua aspek persekolahan, termasuk matematika, sains, genetika dan bioteknologi (Rothhaar,et al., 2006). Beberapa pendekatan yang dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang bioteknologi, meliputi penggunaan studi kasus, yaitu dengan mengetengahkan suatu kasus bioteknologi untuk dipecahkan (Calavito, 2000 dan Dori, et al., 2003), pendekatan “service- learning”, yaitu pembelajaran dengan mengerjakan suatu tugas proyek terkait bioteknologi (Montgomery, 2004) menugaskan proyek penelitian kelompok misalnya dengan pemberian tugas pengamatan tentang pembuatan produk-produk bioteknologi (Thomas, et al.,2001) penggunaan student debate (Lindell & Milckzarek 1997), penggunaan University Masterclasses & School visit, yaitu dua pendekatan yang bertujuan lebih meningkatkan motivasi dan keaktifan mahasiswa dalam mencari sumber belajar yang bervariasi (Tood & Murphy, 2003) penggunaan model GAME atau Genomic Analogy Model for Educators (Rothaar, et al., 2004) penggunaan metode seminar (yang terdiri dari perkuliahan dari para ahli, membaca artikel terkait dan hands-on demonstration) (Diefes-Dux, et al., 2007) dan pendekatan diskusi berbasis skenario (Snyder, et al., 2008).

Melihat pengertian tentang Bioteknologi seperti telah dijelaskan di atas, dapat dikatakan bahwa bidang ilmu ini merupakan bidang ilmu yang lebih bersifat aplikatif.


(43)

Sebagai suatu ilmu yang bersifat aplikatif, untuk menguasai Bioteknologi, diperlukan pengetahuan dan penguasaan yang kuat tentang konsep-konsep dasar yang menunjang penguasaan di bidang tersebut .Konsep-konsep dasar tersebut diantaranya adalah tentang mikroba seperti virus dan monera, biologi sel, materi genetika, hereditas, dan konsep-konsep dasar yang ada di dalam bioteknologi sendiri. Guna melakukan pembelajaran bioteknologi dengan baik, calon guru harus menguasai dan mampu merekonstruksi pemahamannya tentang konsep-konsep yang ada dalam topik-topik tersebut. Guna mengukur penguasaan konsep-konsep dasar yang menunjang penguasaan bioteknologi, maka dapat diterapkan suatu metode yang dapat melatihkan mereka dalam memahami secara komprehensif suatu materi tertentu dan salah satu alat yang dapat digunakan adalah peta konsep.

F. Peta Konsep sebagai salah satu Alat Ukur Penguasaan Konsep

Seperti telah dijelaskan di atas, salah satu komponen utama dalam Pedagogical Content Knowledge (PCK), adalah SMK (Subject Matter Knowledge). SMK memegang peranan penting dalam mengembangkan PCK seorang guru atau calon guru. Guna mengetahui seberapa jauh penguasaan SMK calon guru, dapat digunakan adalah Peta Konsep (PtK).

Pemahaman secara utuh terhadap suatu bidang ilmu, salah satu dimulai dengan pemahaman dan penguasaan terhadap konsep-konsep dasar yang membangun keseluruhan ilmu tersebut. Guna membelajarkan suatu konsep dengan baik, tentunya seorang guru atau calon guru pertama-tama harus mampu menguasai konsep yang diajarkan tersebut secara utuh. Konsep yang merupakan abstraksi dari satu kelas objek, kejadian, kegiatan, atau hubungan yang memiliki atribut yang sama dan merupakan abstraksi yang berdasarkan


(1)

Daftar Pustaka

Acquaah, G. ( 2004). Understanding Biotechnology, an Integrated and Cyber-Based Approach. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Anggraeni, S. (2004). “ Pembelajaran Bioteknologi Berorientasi Inkuiri: Mengapa tidak?”. Mimbar Pendidikan. 2. 11-16.

Appleton, K. (2006). Science pedagogical content knowledge and elementary school teachers. In K. Appleton (Ed.), Elementary science teacher education (pp. 31-54). Mahwah, NJ: Lawrwnce Elbraum.

Arwood L. (2004). “Teaching Cell Biology to Nonscience Majors Through Forensics, or How to Design a Killer Course”. Journal of Cell Biology Education. 3. 131-138. Bal, S., Samanci, N.K., & Bozkurt, O. (2007). “University Student Knowledge and

Attitude about Genetic Engineering”. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education. 3 (2). 119-126.

Ball, D.L., Mc.Diarmid, G.W. (1990). “The subject matter preparation of teachers”. In W.R., Houston, M. Haberman, & J. Sikula (Eds.), Handbook of research on teacher education. New York: Macmillan.

Blumenfeld, P.C. (1991). ”Motivating Project based Learning : Sustaining the doing, supporting the Learning”. Educational Psychologist. 26. 369-398.

Campbell, N.A., J.B. Reece & L.G. Mitchell. (2000). Biologi. Alih bahasa, Lestari, R. dkk. Jakarta. Penerbit Erlangga.

Colavito, M.C. (2000) “Integrating biotechnology into a non-majors biology curriculum”. Journal of Industrial Microbiology & Biotechnology, 24, 308-309.

Carr, M., McGee, C., Jones, A., McKinley, E., Bell, B., Barr, H., & Simpson, T. (2000). The effects of curricula and assessment on pedagogical approaches and on education outcomes. Report prepared for the New Zealand Ministry of Education, University of Waikato.

Chen, S.Y. and Raffan, J. (1999) Biotechnology: Student’s knowledge and attitudes in the UK and Taiwan. Journal of Biological Education, 34, 17-23.

Chularut, P. & DeBacker, T. (2004). “The influence of concept mapping on achievement, self regulation, and self efficacy in students of English as a second language”. Contemporary Educational Psychology, 29(3), 248-263.

Cochran, K.F., DeRuiter, J.A. & King, R.A. (1993). “Pedagogical Content Knowing: An Integrative Model for Teacher Preparation”. Journal of Teacher Education, 44 (4). 263-272.


(2)

Dahar, R.W & N. Siregar (2000). “Pedagogi Materi Subyek: Meletakkan Dasar Keilmuan dari PBM”. Makalah pada Seminar Staf Dosen FPMIPA dalam Rangka Mensosialisasikan Pedagogi Materi Subyek. UPI, Bandung .

Dawson, V. & Scibeci, R. (2003). “Western Australian High School Students Attitudes towards Biotecnology Processes”. Journal of Biological Education. 38 (1). 1-6. De Bono. (1991). Teaching Thinking. London. Penguin Books.

Diefus-Dux, H.A., Dyehouse, M., Bennett, D., & Imbrie, P.K. (2007). “Nanotechnology Awareness of First-Year Food and Agriculture Student following a Brief Exposure”. Journal of Natural Resources & Life Sciences Education. 36. 58-65. Dori, Y.J., Tal, R.T. and Tsaushu, M. (2003) “ Teaching biotechnology through case

studies- Can we improve higher order thingking skills of nonscience majors?”. Science Education, 87, 767-793.

Enfield, M. (2007). Content and Pedagogy: Intersection in the NSTA a Standards for Science Teacher Education.[Online].Tersedia: http://www.enfieldm@msu.edu. [21 September 2007]

Fritz, S.M., Ward, S.M., Byrne, P.F., Namuth, D.M., & Egger, V.A. (2004). “Short and Long-Term Impacts of Biotechnology Education of Professionals Who Cummunicate Science to The Public”. J.Nat.Resour.Life.Sci.Educ. 33. 111-115. Gall, M.D., Gall, J.P., & Borg, W.R. (2003). Educational Research: An Introduction. .

7th.ed. Boston: Pearson Education, Inc.

Gess-Newsome, J. (1999). “ Secondary teachers knowledge and beliefs about subject matter and their impact on instruction. In J. Gess-Newsome & N.G. Lederman (Eds.), Examining pedagogical content knowledge (pp. 51-94). Dordrecht, The Netherlands: Kluwer.

Gess-Newsome, J. & Lederman (1999). Examining Pedagogical Content Knowledge. Dordrecht, The Netherlands: Kluwer.

Gess-Newsome, J. & Lederman (1995). “ Biology teachers’ perception of subject matter structure and its relationship to classroom practice”. Journal of Research in Science Teaching, 32 (3), 301-325.

Gudmundsdottir, S., & Shulman, L. (1987). Pedagogical content knowledge in social studies. Scandinavian Jornal of Educational Research, 31, 59-70.

Hake, R.D. (1998).”Interactive engagement versus traditional methods: A six-thousand-student survey of mechanics test data for introductory physics courses”. Am. J. Phys. 66, 64-74. Tersedia : http://www.physics.indiana.edu/~sdi/. [12 Oktober 2010].


(3)

Halim, L., & Meerah, S.M. (2002). “Science trainee teachers’ pedagogical content knowledge and its influence on physics teaching”. Research in Science & Technological Education, 20 (2), 215-225.

Harlen, W. (1997). Primary teachers’ understanding in science and its impact in the classroom. Research in Science Education, 27, 323-337.

Harlen, W., & Holroyd, C. (1997). Primary teachers’ understanding of concept of science: Impact on confidence and teaching. International Journal of science Education, 19, 93-105.

Hauser, S., Nuckles, M., dan Renkl, A. (2006). Supporting Concept Mapping for Learning from Text. ICLS [Online], 243-249. Tersedia: http://portal.acm.org [24 Juni 2010] Henze, I., Driel, J.H., & Verloop, N. (2008). “ Development of experienced science

teachers pedagogical content knowledge of models of the solar system and the universe”. International Journal of Science Education, 30 (10), 1321-1342.

Hermawan, H., Darmawan, D., Supriadie, D., & Wahyudin, D. (2007). “Teori Mengajar” . Dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, penyunting : Ali, M.,Sukmadinata, N.S., Sudjana, D.,& Rasyidin, W. Bandung: Pedagogiana, Press.

Holt-Reynolds, D. (2000). “What does the teachers do?Constructivist pedagogical and prospective teachers beliefs about the role of a teacher”. Teaching & Teacher Education, 16, 21-32.

Horton, B., McConney, A., Gallo, M., Woods, A., Senn, G.L., & Hamelin, D. (1993). “ An investigation of the effectiveness of concept mapping as an instructional tool”. Science Education, 77 (1), 95-111.

Johnston, J., Ahtee, M. (2006). Comparing primary student teachers’ attitudes, subject knowledge and pedagogical content knowledge needs in a physics activity. Teaching and Taecher Education, 22 (4), 503-512.

Kapyla, M., Heikkinen, JP., & Asunta, T. (2009). “Influence of content knowledge on Pedagogical Content Knowledge: The case teaching photosynthesis and plant growth”. International Journal of Science Education, 31 (10), 1395-1415.

Karno To dan Yudi Wibisono. (2004). ANATES Program Khusus Analisis Tes Pilihan Ganda Versi 4.0. untuk Window. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia. Kawagley, A.O., Norris-Tull, D.,& Norris-Tull, R.A. (1998). The indigenous worldview of

Yupiaq culture: Its scientific nature and relevance to the practice of teaching science. Journal of Research in Science Teaching. 35(2), 133-144.

King, C. (2007) ."Cell (biology)." Microsoft® Student 2008 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation.


(4)

Lestari. E.S. & Idun Kistinah. (2008). Biologi, Mahluk Hidup dan Lingkungannya. Buku Sekolah Elektronik (BSE). Jakarta. Pusat Perbukuan Depdiknas.

Lindell, T.J. and Milczarek, G.J. (1997) “Ethical, legal and social issues in the undergraduate biology curriculum: Encouragingstudent debate on the social implications of biotechnology. Journal of College Science Teaching, 26, 345-349. Lock, R., Miles, C. and Hughes, S. (1995). The influence of teaching on knowledge and

attitudes in biotechnology and genetic engineering contexts: Implications for teaching controversial issues and the public understanding of science. School Science Review, 76, 47-59.

Loughran, J.J., Milroy, P., Berry, A., Gunstone, R.F., & Mulhall, P. (2001). Documenting science teachers Pedagogical Content Knowledge through PaP-eRs”. Research in Science Education, 31, 289-307.

Loughran, J.J, Berry, A., & Mulhall, P. (2006). Understanding and Developing Science Teachers Pedagogical Content Knowledge. Rotterdam/Taipei: Sense Publishers. Marks, R. (1990). Pedagogical content knowledge: From a mathematical case to a

modified conception. Journal of Teacher Education, 41, 3-11.

Magnusson, S., Krajcik, J., & Borko, H. (1999). Nature, sources and development of pedagogical content knowledge. In J. Gess-Newsome & N.G. Lederman (Eds.), Examining pedagogical content knowledge (pp. 95-132). Dordrecht, The Neteherlands: Kluwer.

Meltzer, D.E. ( 2002). The relationship between mathematics preparation and conceptual learning gains in physics: a possible .hidden variable. in diagnostic pretest scores. [Online]. Tersedia: http://www.jps.alp.org/ajp. [12 Oktober, 2010)

Michael, M., Grinyer, A., & Turner, J. (1977). Teaching biotechnology: Identify in the context of ignorance and knowledgeabillity. Public Understanding of Science, 6, 1-17.

Montgomery, B.L. (2004). “Teaching The Nature of Biotechnology Using Service-Learning Instruction” . J.Nat.Resour.Life.Sci.Educ. 34. 32-38.

Moreland, J., Jones, A., Cowie, B. (2006). “Developing Pedagogical Content Knowledge for the New Sciences: The example of biotechnology”. Teaching Education. 17 (2). 143-155.

Morine-Deshimer, G. & Kent, T. (1999). The complexnature and sources of teachers pedagogical knowledge. In J. Gess-Newsome & N.G. Lederman (Eds.), Examining pedagogical content knowledge (pp.21-50). Dordrecht, The Neteherlands: Kluwer.


(5)

Munby, P., Russell, T., & Martin, A.K. (2001). ” Teachers’ knowledge and how it develops. In V. Richardson (Ed.), Handbook of Research on Teaching ( pp.877-904). Washington, D.C.: American Educational Research Assosiation.

National Research Council (1996). National Science Education Standards (NSES). Washington DC:National Academy Press.

Nilsson, P. (2008). “Teaching for Understanding: The complex nature of pedagogical content knowledge in pre-service education”. International Journal of Science Education. 30 (10). 1281-1299.

Novak, J.D., & Gowin, D.B. (1985). Learning how to Learn. Cambridge, London, New York, Melbourne, Sidney. Cambridge University Press.

NSTA & AETS (1998). Standard for Science Teacher Preparation.

Olsher, G. and Dreyful, A. (1999) “The ostention-teaching approach as a means to develop junior-high student attitudes towards biotechnologies”. Journal of Biological Education, 34, 24-30.

Polkinghorne, J.C. (2000). Ethical issues in biotechnology. Trends in Biotechnology, 18, 8-10.

Pring R. (2000). Philosophy of Educational Research. London: Creative Print and Design Wales.

Purwianingsih, W. (2008). Hasil Studi Pendahuluan tentang Bioteknologi terhadap Guru-guru Peserta PLPG. Laporan Kajian Mandiri. Tidak diterbitkan.

Rollnick, M., Bennett, J., Rhemtula, M., Dharsey, N., & Ndlovu, T. (2008). “The place of subject matter knowledge in pedagogical content knowledge: a case study of South African teachers teaching the amount of substance and chemical equilibrium”. International Journal of Science Education. 30 (10). 1365-1387.

Rothaar, R., Pittendirgh B.R., & Orvis K.S. (2006). “The Lego Analogy Model for Teaching Gene Sequencing and Biotechnology”. J.Biological Education. 40 (4). 25-30.

Ruseffendi, E.T. & Ahmad Sanusi. (1994). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang non Eksakta lainnya. Semarang : IKIP Semarang Press.

Rustaman, N. (2007). “ Kemampuan Dasar Bekerja Ilmiah dalam Pendidikan Sains dan Assesmennya”. Makalah pada The 1st International Seminar on Science Education. UPI Bandung.

Sanders, L., Borko, H., & Lockard, J. (1993). “Secondary science teachers’ knowledge base when teaching science courses in and out of their area of certification”. Journal of Research in Science Teaching, 30 (7), 723-736.


(6)

Snyder,L.U., Gallo, M., Fulford, S.G., Irani, T., Rudd, R., DiFino, S.M., & Durham, T.C. (2008). “European Union’s Moratorium Impact on Food Biotechnology : A Discussion –Based Scenario”. Journal of Natural Resources & Life Sciences Education. 37. 27-31.

Sohan, D.E., Waliczeck, T.M., & Briers, G.E. (2003). “Knowledge, Attitudes and Perception Regarding Biotechnology among College Students”. J.Nat.Resour.Life.Sci.Educ. 31 (5). 5-11.

Sukmadinata, N.S. (2006). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Thomas, M., Hughes, S.G., Hart, P.M., Schollar, J., Keirie, K. and Griffith, G.W. (2001)

“Group project work in biotechnology and its impact on key skills. Journal of Biological Education, 35, 133-140.

Tood, A. & Murphy, D.J. (2003) “Evaluating University Masterclasses and School Visits as Mechanisms for Enhanching Teaching and Learning Experiences for Undergraduate and school Pupils. A Pilot Study Involving Biotechnology student”. Bioscience Education e Journal. 1-10.

Van Driel, Verloop, N. & De Vos, W. (1998) “Developing science teachers pedagogical content knowledge. Journal of Research in Science Teaching, 35 (6),673-695. Von Glasersfeld, E. (1995). Radical Constructivism: A way to knowing and learning.

Washington DC: Falmer Press.

Zeidler, D.L.(2002). ”Dancing with maggots and saints: Vision for subject matter knowledge, pedagogical knowledge and pedagogical content knowledge in science teacher education reform”. Journal of Science Teacher Education, 13(1),27-42. (2002)....

Zulfiani. (2006). Pengembangan Program Pembelajaran Bioteknologi untuk Meningkatkan Kemampuan Inkuiri Calon Guru. Disertasi Doktor pada FPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.