KAJIAN MAKNA BANGUNAN ADAT SITUS KABUYUTAN CIBURUY GARUT JAWA BARAT.

(1)

LEMBAR PENGESAHAN... i

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR SKEMA ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan dan Batasan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Telaah/Kajian Pustaka ... 10

F. Kerangka Berpikir/Model Penelitian ... 11

G. Metode Penelitian ... 12

H. Pendekatan Metode Penelitian ... 15

I. Teknik Pengumpulan Data ... 16

J. Teknik Pengolahan Data ... 19

K. Teknik Analisis Data ... 20

BAB II NILAI-NILAI FILSAFAT BUDAYA LAMA ... 23

A. Kerangka Konseptual/Teoretis ... 23

B. Filsafat Indonesia ... 24

C. Simbol-simbol Artefak Budaya ... 25

D. Pola Pikir Masyarakat Sunda Lama ... 27

E. Konsep Kebudayaan dan Kesenian ... 29


(2)

B. Perkampungan dan Arsitektur Rumah Tradisional Sunda ... 37

C. Bentuk, Struktur dan Fungsi Bangunan Rumah Tinggal Tradisional Sunda (Jawa Barat) ... 40

D. Makna Simbolik Bangunan Tradisional Sunda (Jawa Barat).... 56

E. Kondisi Umum Kabupaten Garut ... 60

BAB IV BANGUNAN ADAT SITUS KABUYUTAN CIBURUY ... 73

A. Kampung Kabuyutan di Kecamatan Bayongbong... 73

B. Situs Kabuyutan Ciburuy ... 83

C. Susunan Bangunan Situs Kabuyutan Ciburuy ... 88

D. Stuktur Bangunan Situs Kabuyutan Ciburuy ... 109

E. Struktur Bangunan Patamon... ... 118

F. Struktur Bangunan Leuit ... 126

G. Struktur Bngunan Lisung ... 134

H. Struktur Bangunan Padaleman ... 138

I. Struktur Bangunan Pangalihan ... 154

J. Bentuk Bangunan Adat Situs Kabuyutan Ciburuy ... 157

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 178

A. Kesimpulan ... 178

B. Saran ... 183

DAFTAR PUSTAKA ... 184

DAFTAR ISTILAH (GLOSARIUM)... 186

LAMPIRAN-LAMPIRAN: A. Matriks Pertanyaan Penelitian ... 191

B. Surat Rekomendasi Penelitian dari Kepala Kantor KESBANG Kabupaten Garut RIWAYAT HIDUP ... 215


(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang secara geografis letaknya sangat strategis karena berbatasan dengan ibu kota Negara Republik Indonesia. Selain itu, mudah dijangkau dari daerah lain karena jalur transportasinya sangat terbuka dari berbagai arah. Seperti daerah-daerah tingkat I lainnya di Indonesia, Provinsi ini terdiri dari berbagai daerah tingkat II (kabupaten/kota). Dari daerah-daerah inilah sumber kekayaan yang membangun Jawa Barat, baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun sumber budayanya.

Disadari atau tidak, budaya-budaya yang tersebar di belahan daerah ikut memberikan kontribusi yang cukup besar nilainya. Dalam hal ini yang sangat berharga bukan kontribusi ekonomi, tetapi peran nilai-nilai budaya itu sendiri di dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya itu tidak bisa diukur dengan angka atau rupiah. Kita mengetahui bahwa pada masa sekarang baik di kalangan masyarakat bawah maupun di kalangan masyarakat atas, bahkan kalangan birokrat atau pemerintah pun seolah-olah tidak peduli dengan budaya-budaya yang ada di daerahnya. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman terhadap makna budaya lama yang sangat kental dengan makna spiritual (sakral). Sehingga masyarakat kita sangat mudah terpengaruh, menerima budaya modern dari luar yang lebih bersifat profan atau keduniawian.


(4)

Hal tersebut terbukti dengan banyak artefak budaya yang tersebar di daerah-daerah yang terlantar, tidak terpelihara, bahkan musnah, karena dimakan usia ataupun akibat ulah manusia.

Dampak negatif yang timbul dari transpormasi budaya luar terhadap keberadaan artefak peninggalan leluhur, diantaranya akan mengubah pola pikir manusianya, dari pola pikir lokal kepada pola pikir modern, dari spiritual kepada profan yang hanya mempertimbangkan segi duniawi. Tidak heran kalau masyarakat modern sekarang ini kurang peduli bahkan melupakan terhadap budaya lamanya. Mereka hanya memahami tentang budaya sekarang yang pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh budaya luar (modern) sebagai dampak dari proses globalisasi sehingga hanya melirik, memperhatikan, memperjuangkan bahkan memperebutkan komoditi yang menghasilkan nilai ekonomi (rupiah) saja. Kalau ditelusuri dari arti kata budaya itu, baik secara etimologis maupun pengertian yang sudah dibakukan di dalam kamus bahasa, kebudayaan itu sangat luas pengertiannya. Pada intinya segala macam hasil kegiatan dan penciptaan batin manusia itu adalah budaya. Dengan demikian, ternyata budaya itu banyak memberi warna, bentuk dan menjadikan jati diri bangsa, (Moeliono, 1988, 170 ).

Jati diri bangsa kita mestinya merupakan perwujudan budaya kita sendiri yang berdasarkan kepada pola pikir dan keadaan alam lingkungannya sendiri. Mengadopsi budaya luar yang belum tentu lebih bermakna dari budaya sendiri, justru akan menghilangkan atau mematikan budaya sendiri.

Suatu upaya pemerintah dalam pembinaan dan pengembangan budaya nasional berdasar kepada pengkajian dan pelestarian budaya daerah. Hal ini sesuai


(5)

dengan pernyataan dalam penjelasan pasal 32 UUD 1945, “bahwa budaya nasional berakar dari budaya daerah”. Demikian juga dalam rumusan pasal tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan nasional bersifat dinamis, berkembang sebagaimana perkembangan peradaban manusia pada umumnya. Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam semestinya mampu meningkatkan kesatuan bangsa dan bukan sebaliknya membangun sikap kedaerahan yang sempit.

Pada kenyataannya budaya masyarakat lama itu jauh lebih bermakna dari pada kebudayaan luar yang dianggap modern. Hal tersebut disebabkan kebudayaan luar diciptakan berdasarkan pola pikir mereka, bukan berdasarkan pola pikir masyarakat Indonesia yang tentunya akan lebih bermakna dan cocok untuk mereka juga, (Warjita, 2000, 1). Maka dari itu untuk menanamkan rasa cinta dan bangga terhadap budaya bangsa, harus ada penjelasan tentang makna budaya lama oleh pemerintah, melalui intansi terkait kepada masyarakat umum.

Pada umumnya di masyarakat berkembang menganggap bahwa budaya hanya berorientasi pada seni dan adat istiadat saja. Mungkin hal inilah salah satu penyebab sehingga artefak yang merupakan bukti sejarah hasil budaya tidak terpelihara, bahkan dibiarkan musnah begitu saja.

Kabupaten Garut merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang juga memiliki artefak-artefak budaya peninggalan masyarakat zaman dahulu, di antaranya: Candi Cangkuang, Batik Garutan, Kampung Dukuh, Kampung Pulo, Situs Kabuyutan Ciburuy dan masih banyak yang lainnya. Berdasarkan artefak-artefak budaya inilah kita (khususnya para ahli budaya) bisa mengetahui pola pikir masyarakat Garut zaman dahulu, atau kita dapat mengetahui latar belakang


(6)

masyarakat dan budayanya yang secara langsung akan menjadi dasar atau mempengaruhi perkembangan masyarakat dan kebudayaan Garut berikutnya, termasuk sifat dan kebudayaan masyarakatnya sekarang ini.

Artefak-artefak budaya yang tersebar di wilayah Kabupaten Garut ini, satu diantaranya yang akan menjadi objek penelitian, yaitu: “Artefak di Situs Kabuyutan Ciburuy”, (Kabuyutan adalah peninggalan leluhur atau nenek moyang Suku Sunda). Lokasi situs kabuyutan Ciburuy tepatnya terdapat di Kampung Ciburuy, Desa Pamalayan, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut. Daerah ini berada di kaki Gunung Cikuray, yang masa dahulu diapit oleh dua sungai, yaitu sebelah timur Sungai Cisaat dan sebelah barat Sungai Cikeruh, kedua sungai tersebut bermuara di Sungai Cimanuk, (Suryana, 2008, wawancara). Sungai Cimanuk merupakan sungai terbesar di Kabupaten Garut yang mengalir ke laut Utara. Diperkirakan jarak dari Kota Garut ke lokasi Situs ini sekitar 25 km ke arah selatan, kalau di tempuh dengan kendaraan bermotor memakan waktu sekitar 45 - 60 menit.

Artefak budaya yang terdapat di Situs Kabuyutan Ciburuy diperkirakan berasal dari abad ke-16 Masehi atau pada masa akhir Kerajaan Pajajaran. Peninggalan itu berupa bangunan adat yang di dalamnya terdapat senjata dan manuskrip naskah-naskah kuno yang di tulis pada daun lontar dan nipah. Dari jumlah sekitar 57 naskah yang ada, baru tiga naskah yang sudah bisa di baca dan diterjemahkan untuk masyarakat umum. Naskah yang sudah bisa dibaca itu adalah: “Amanat Galunggung, Carita Ratu Pakuan, dan Swaka Darma”. (Suryana, 2008, wawancara).


(7)

Situs Kabuyutan Ciburuy selain menyimpan naskah-naskah kuno, juga diperkirakan dulunya sebagai tempat pertemuan dan belajar ilmu kanuragan atau disebut sebagai padepokan. Bagian tempat latihan ilmu kanuragan itu adalah berada pada lingkungan pagar kikis sebelum masuk ke wilayah bangunan padaleman, (Suryana, 2008, wawancara).

Artefak-artefak yang ada di situs Ciburuy disimpan dalam bangunan tradisional yang mirip dengan bangunan-bangunan panggung tradisional lainnya di Jawa Barat. Bangunan tersebut didirikan di atas areal tanah seluas 1.550 meter persegi dan terdiri dari enam bagian bangunan, yaitu: Bangunan Saung Lisung, Leuit, Patamon, Padaleman, Pangalihan dan Pangsolatan atau Pangsujudan. Di dalam bangunan Patamon tersimpan benda sejarah berupa: keris eluk, keris badik, peso, bedog, salendang rante dan cupu keramik. Sedangkan artefak budaya yang terdapat di dalam bangunan Padaleman disimpan dalam tiga buah peti yang diletakan berjejer ke samping di atas pago yang terletak di bagian belakang sebelah kanan ruangan bangunan. Dari masing-masing peti tersebut berisi artefak-artefak sebagai berikut: peti ke satu berukuran paling besar dan diletakkan di sebelah selatan berisi manuskrip yang ditulis pada daun lontar, peti yang kedua berada di tengah dan berisi manuskrip yang ditulis pada daun lontar dan nipah sedangkan peti yang ketiga berukuran paling kecil terletak di sebelah utara berisi senjata pusaka termasuk peso pangot serta sebuah bingkai kacamata yang terbuat dari batok kalapa, selain itu juga pada peti ini terdapat manuskrip yang ditulis pada daun lontar. Peti-peti tersebut tidak sembarangan bisa dibuka karena sampai saat ini masih dikeramatkan. (Suryana, 2010, wawancara).


(8)

Ada beberapa bagian ruangan situs kabuyutan Ciburuy yang tidak bisa dimasuki sembarang orang dan waktu. Waktu yang tidak bisa didatangi pengunjung ialah hari Selasa dan Jumat. Waktu tersebut merupakan hari pantangan bagi para kuncen untuk menerima pengunjung. Pengunjung hanya bisa diterima di bangunan Patamon, sedangkan untuk memasuki bangunan Padaleman pengunjung hanya diperbolehkan memasukinya pada saat pelaksanaan upacara Seba yang biasanya dilaksanakan pada hari Rabu minggu terakhir bulan Muharam. (Suryana, 2010, wawancara).

Upacara seba diisi dengan kegiatan membersihkan barang (senjata) keramat yang terdapat pada bangunan patamon. Barang-barang itu berupa keris eluk, keris badik, peso, bedog, salendang rante dan cupu keramik. Setelah dibersihkan atau dimandian barang keramat itu lalu digosok menggunakan minyak yang terbuat dari bahan buah kaliki. Selain itu, dalam upacara seba ini harus disiapkan tiga macam penganan khas daerah setempat, yaitu berupa: ladu, ulen dan wajit yang terbuat dari beras ketan hasil daerah itu sendiri. (Suryana, 2009, wawancara).

Sebagai mana dituliskan pada papan pengumuman yang dipasang oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Garut dan Kepolisisan Wilayah Priangan, bahwa setiap benda yang ada dilingkungan Situs Kabuyutan Ciburuy adalah benda cagar budaya yang dilindung oleh hukum. Benda-benda tersebut berupa bangunan dan segala macam isi yang terdapat di dalamnya.

Maka dengan demikian, benda-benda cagar budaya yang ada di Situs Kabuyutan Ciburuy, layak untuk diteliti. Sebagai penggalian makna dari artefak


(9)

budaya yang ada. Saya sebagai peneliti tertarik untuk meneliti bangunan-bangunan yang ada di Situs Kabuyutan Ciburuy untuk memaknainya. Baik secara susunan, struktur maupun bentuknya. Karena berdasarkan teori tentang rumah Kabuyutan segala sesuatunya penuh makna. Hal ini bermanfaat bukan hanya untuk peneliti sendiri tetapi melainkan juga untuk masyarakat umum terutama masyarakat lingkungan pendidikan sebagai bahan kajian sejarah budaya.

B. Rumusan dan Batasan Masalah 1. Rumusan Masalah

Masalah dari penelitian ini adalah: Bagaimana makna bangunan adat Situs Kabuyutan Ciburuy Garut- Jawa-Barat? Yang dirinci ke dalam tiga masalah: a. Bagaimana makna susunan bangunan adat Situs Kabuyutan Ciburuy Garut? b. Bagaimana makna struktur bangunan adat Situs Kabuyutan Ciburuy Garut? c. Bagaimana makna bentuk bangunan adat Situs Kabuyutan Ciburuy Garut? 2. Batasan Masalah

Dari permasalahan-permasalahan yang dirumuskan di atas, penulis membatasi permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut dan lebih fokus hanya kepada “makna estetis, praktis dan spiritual dari susunan bangunan, struktur banguanan dan bentuk bangunannya”.

Sebagaimana bangunan kabuyutan lainnya yang terdapat di Tatar Sunda, situs Kabuyutan Ciburuy memiliki makna tersendiri, baik makna dari susunan, struktur maupun bentuk bangunannya. Bedasarkan hal itulah penulis tertarik untuk membatasi permasalahan yang akan dikaji hanya kepada makna dari wujud


(10)

artefak yang terdiri dari susunan bangunan, struktur bangunan dan bentuk banungunan Situs Kabuyutan Ciburuy.

Bahwasannya bentuk dari suatu karya akan selalu mengikuti fungsi, maka karya seni/artefak peninggalan masyarakat pra-modern harus dikembalikan kepada konteks budaya masyarakatnya. Fungsi seni pra-modern Indonesia adalah bertujuan untuk religi dan kehidupan sehari-hari, karena karya seni tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Pada karya seni pra-modern prinsipnya penyatuan dalam praksis kehidupan, (Sumardjo, 2006, 12).

C. Tujuan Penelitian

Kebudayaan hakekatnya adalah perwujudan dari pola pikir manusia berdasarkan kemampuannya sebagai bukti penyesuaian diri secara aktif terhadap alam lingkungannya dimana mereka berada. Oleh karena itu hasil kebudayaan masyarakat lama yang berupa benda (artefak) merupakan suatu perwujudan pola pikir yang nyata yang mempunyai makna berdasarkan gagasan dan nilai-nilai budaya sebagai hasil abstraksi warisan budaya bagi generasi manusia berikutnya. (Sumardjo, 2006, 13).

Untuk memahami pola pikir masyarakat lama tersebut di atas, salah satu caranya dengan memaknai dan mengkaji hasil peninggalannya yang berupa artefak-artefak budaya yang masih tersisa pada saat ini. Artefak-artefak budaya tersebut, termasuk Situs Kabuyutan Ciburuy, merupakan bukti sejarah yang bisa dipakai sebagai objek kajian budaya lama. Agar lebih spesifik penelitian terfokus


(11)

kepada pengkajian makna bangunan adatnya saja, baik susunan, struktur dan bentuk bangunannya.

Penelitian ini memiliki orientasi yang jelas, objektif dan terarah sehingga menghasilkan kajian yang spesifik. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mendeskripsikan makna-makna yang terdapat pada susunan bangunan adat

Situs Kabuyutan Ciburuy Garut- Jawa-Barat.

2. Menganalisis makna dari masing-masing struktur bangunan adat Situs Kabuyutan Ciburuy Garut- Jawa-Barat.

3. Menganalisis bentuk bangunan adat Situs Kabuyutan Ciburuy Garut, Jawa-Barat.

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa: 1. Manfaat Teoretis

a. Mengetahui makna spiritual dari susunan bangunan adat di Situs Kabuyutan Ciburuy, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

b. Mengetahui makna spiritual dari struktur bangunan adat di Situs Kabuyutan Ciburuy, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

c. Mengetahui makna spiritual dari bentuk bangunan adat di Situs Kabuyutan Ciburuy, Kabupaten Garut, Jawa Barat.


(12)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti menjadi pengalaman yang sangat berharga dan berarti dalam tata cara melakukan penelitian di lapangan, sehingga menambah wawasan tentang kajian makana dari artefak budaya Sunda Lama khususnya artefak budaya Situs Kabuyutan Ciburuy Garut – Jawa Barat.

b. Bagi pemerintah setempat dan masyarakat sekitarnya, menjadi bahan kajian lebih lanjut terhadap keberadaan, kelestarian dan pengelolaan, artefak di Situs Kabuyutan Ciburuy.

c. Bagi Lembaga Pendidikan, menjadi bahan pengajaran dan pembelajaran untuk mata-mata pelajaran yang terkait.

E. Telaah/Kajian Pustaka

Dari keterangan yang diperoleh penulis di lapangan (Situs Kabuyutan Ciburuy), di tempat ini pada tahun 2006 pernah ada yang melakukan penelitian serupa dengan yang dilakukan peneliti. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya sebagai bahan untuk penulisan Skripsi S-1.

Sebagai bahan kajian/telaah pustaka bagi peneliti, penelitian sebelumnya dilakukan oleh : Rini Sri Indriani, Nomor Induk Mahasiswa. 011323, tahun 2006, Bidang Studi Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia. Dengan judul: Rekontruksi Carita Rakyat Situs Ciburuy di Kacamatan Bayongbong Kabupaten Garut Pikeun Bahan Pangajaran Ngaregepkeun di SMP.


(13)

F. Kerangka Berpikir/Model Penelitian

Skema 1.1.Kerangka Pemikiran/Model Penelitian (Sumber: Dokumentasi Penulis)

KAJIAN MAKNA BANGUNAN ADAT SITUS KABUYUTAN CIBURUY KABUPATEN GARUT

JAWA BARAT

Batasan Masalah

1. Makna susunan bangunan adat Situs Kabuyutan Ciburuy Garut. 2. Makna struktur bangunan adat Situs Kabuyutan Ciburuy Garut. 3. Makna bentuk bangunan adat Situs Kabuyutan Ciburuy Garut Rumusan Masalah Bagaimana makna bangunan adat Situs Kabuyutan Ciburuy Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan makna-makna yang terdapat pada susunan bangunan adat Situs Kabuyutan Ciburuy Garut Jawa Barat.

2. Menganalisa makna dari struktur bangunan adat Situs Kabuyutan Ciburuy Garut Jawa Barat

3. Menganalisa bentuk bangunan adat Sutus Kabuyutan Ciburuy Garut Jawa Barat.

TEKNIK PENGUMPULAN DATA 1. Teknik Pengumpulan Data Secara

Primer:

2. a. Survei langsung ke lapangan b.Observasi atau pengamatan langsung pada objek (artefak)

3. Wawancara dengan juru kunci (Kuncen) atau tokoh budaya setempat.

4. Pendokumentasian berupa foto dan gambar illustrasi.

5. Tekhnik Pengumpulan Data Secara Skunder, adalah Hasil pustaka berupa :

Buku, Jurnal, Artikel, Majalah, Buletin, Skripsi, Ensiklopedi Naskah Kuno, Data berdasarkan media Internet.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: “metode kualitatif,deskriftif, analitik ”.

SIMPULAN DAN SARAN

ANALISIS DATA


(14)

G. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan bagian yang sangat penting dari proses penelitian untuk lebih terarah kepada objek yang akan diteliti. Selain itu juga untuk bahan acuan dan pertimbangan terhadap sejumlah data yang terkumpul untuk dipaparkan dalam kerangka berpikir. Jadi di dalam proses penelitian, ada beberapa yang harus diperhatikan, baik itu dari teknik maupun dari prosesnya.

Adapun metode yang digunakan adalah metode kualitatif, deskriptif, analitif yaitu metode untuk memecahkan masalah aktual dengan cara mengumpulkan, menyusun, menjelaskan kemudian menganalisis data yang ada di lapangan. Cara yang dilakukan adalah melakukan observasi, pengumpulan data, studi pustaka, studi data visual, selanjutnya studi perbandingan dari sejumlah data yang terkumpul. Ditambah dengan kegiatan wawancara tidak terstruktur, informal, spontan, tanpa pola dan tujuan untuk memperoleh keterangan secara rinci dan mendalam tentang peninggalan-peninggalan budaya yang ada di situs Kabuyutan Ciburuy.

Agar dalam proses penelitian berjalan dengan efektif dan mendapatkan hasil yang memuaskan, maka penulis menggunakan analisis data kualitatif. Langkah yang ditempuh dalam penelitian kualitatif ini adalah membuat rancangan yang mendukung dalam tahapan penelitian.

Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan peran utama sebagai pengumpul data yang sangat berpengaruh dan penting sekali keberadaannya dalam keberhasilan proses penelitian. Untuk mendapatkan data yang sebenarnya


(15)

(valid) harus bersikap objektif dan terbuka sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Hal ini bertujuan agar dalam proses analisis data bisa berjalan dengan baik

Dalam penelitian kualitatif, data bersifat deskriptif yang dikumpulkan berupa data tertulis, data lisan, dokumentasi resmi (literatur), gambar, foto, kutipan-kutipan dan catatan hasil wawancara baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, fungsi pendekatan kualitatif jika dihubungkan dengan rumusan masalah penelitian, berfungsi memberikan gambaran mengenai objek yang diteliti yang bersifat menyeluruh, sistematik, dan interpretatif sesuai dengan kajian penelitian, dalam hal ini adalah visualisasi estetik dan makna simbolik yang terkandung pada susunan, struktur dan bentuk bangunan di Situs Kabuyutan Ciburuy.

Pada tahapan pengumpulan data sudah dijelaskan langkah-langkah pengumpulan data penelitian. Menurut sumber dan jenisnya data penelitian digolongkan sebagai data primer dan sekunder.

1. Data Primer

Data primer atau data pokok adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian. Pada sumber data primer, penulis melakukan survei langsung ke lapangan, dengan cara observasi atau pengamatan langsung pada objek artefaknya dan wawancara langsung dengan orang yang menjadi juru pelihara atau kuncen di Situs Kabuyutan Ciburuy. Dari hasil pengumpulan data ini dilakukan pendokumentasian berupa foto dan gambar.


(16)

2. Data Sekunder

Untuk melengkapi sumber data primer dilakukan juga pengambilan data sekunder. Data sekunder atau data tambahan adalah data yang diperoleh secara tidak langsung oleh peneliti dari objek penelitian, yang berfungsi sebagai pelengkap data primer. Data sekunder ini berupa hasil pustaka, di antaranya: buku, jurnal, artikel, majalah, buletin, skripsi, tesis, disertasi, ensiklopedi naskah kuno, kamus dan data dari internet.

Dari teknik pengumpulan data di atas, teknik pengumpulan data yang paling banyak dipakai adalah teknik pengamatan langsung. Teknik pengumpulan data langsung ini dilakukan dengan cara observasi langsung datang ke objek penelitian. Dengan terjun langsung ke lapangan diharapkan akan terkumpul data selengkap-lengkapnya dan seobjektif mungkin. Hal ini agar terbentuk suatu keakraban antara peneliti dan objek yang diteliti. Untuk mencapai penelitian itu maka yang akan dilakukan peneliti pada garis besarnya ada empat, yaitu: (1) membangun keakraban dengan responden, (2) penentuan sampel, (3) pengumpulan data, dan (4) analisis data. Juga tidak kalah penting dalam penelitian kualitatif yakni kulo nuwun dan silaturahmi terhadap responden di lokasi penelitian, (Alwasilah, 2008,144). Hal demikian menjadi penting karena peneliti menjadi instrumen utama dalam penelitian, tanpa hubungan ini proses penelitian tidak akan terlaksana. Hubungan ini berpengaruh bukan hanya pada peneliti dan objek yang diteliti, melainkan juga pada desain penelitian secara keseluruhan, (Alwasilah, 2003:144).


(17)

H. Pendekatan Metode Penelitian

Metode adalah suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian. Untuk mencapai tujuan penelitian tentang kebudayaan ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif yang ditinjau dari unsur filosofis estetis.

Menurut A. Chaedar Alwasilah (2008: 143 -144) bahwa dalam penelitian kualitatif, peneliti hanya berfokus pada fenomena yang memiliki internal validity dan contextual understanding. Yang akan dilakukan (action) peneliti untuk mencapai tujuan penelitian ini pada garis besarnya ada empat langkah, yaitu:

a. Membangun keakraban dengan respoden b. Menentuka sampel penelitian

c. Mengumpulkan data yang ditemukan d. Menganalisa data hasil penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti mengharapkan banyak informasi atau keterangan yang diperoleh dari responden untuk mencapai tujuan penelitian. Maka dari itu dalam proses pengumpulan data dengan cara wawancara, interviu, observasi dan survai, selalu menjaga hubungan harmonis antara peneliti dengan respoden dan lingkungan penelitian. Sebab dalam hal ini peneliti juga berperan sebagai instrumen penelitian yang akan berpengaruh pada desain penelitian secara keseluruhan. Selain itu juga salalu berusaha untuk membangun kepercayaan responden dengan menunjukkan minat dan kesungguhan terhadap apa yang dikatakan responden secara kulo nuwun. Hal ini diharapkan responden dapat memberikan informasi sebanyak mungkin (boleker) tentang hal ihwal kebudayaannya. Karena itu seorang peneliti etnografis profesional, sewaktu wawancara harus bersifat sebagai berikut:


(18)

Sensitif, sabar, cerdik, tidak menghakimi (judgmental), bersahabat, tidak meyerang (inoffensive), menunjukkan toleransi terhadap kemenduaan (ambiguity), memilikki selera humor, ingin menguasai bahasa asing (bahasa ibu responden), mampu menjaga kerahasiaan responden, dan berbudaya lokal responden. Dengan demikian peneliti akan mendapatkan data secara terus-menerus sampai penelitian selesai, (Alwasilah, 2008: 145).

Metode penelitian wacana kebudayaan secara umum dapat dipayungkan dalam metodologi penelitian kualitatif, atas dasar pertimbangan sebagai berikut:

a. Data disikapi sebagai gejala verbal ataupun sesuatu yang dapat diubah menjadi gejala verbal.

b. Diorientasikan pada usaha memahami makna yang hakiki berdasarkan sesuatu yang dijadikan sasaran kajian.

c. Mengutamakan hubungan secara langsung antara peneliti dengan objek atau fakta yang diteliti.

d. Mengutamakan peran peneliti sebagai instrumen utama maupun sebagai perekonstruksi makna (Siti Wahidah Hayati, 2008: 15).

I. Teknik Pengumpulan Data

Salah satu kegiatan pokok dan terus menerus yang harus dilakukan dalam penelitian adalah kegiatan mengumpulkan data dan menganalisis data yang diperoleh sesuai dengan tujuan penelitian.

1. Teknik Observasi/Pengamatan

Observasi atau pengamatan langsung ke lapangan adalah suatu kegiatan yang sangat penting, dan secara sadar dengan penuh persiapan untuk dilakukan peneliti. Hal ini dilakukan sebagai pengumpulan data melalui pancaindra khususnya dengan menggunakan penglihatan mata, untuk mengetahui secara pasti objek-objek atau artefak budaya yang akan diteliti. Teknik ini memungkinkan peneliti dapat menarik interfrensi (kesimpulan) ihwal makna dari bangunan adat Situs Kabuyutan Ciburuy sebagai objek kajian penelitian.


(19)

Selain itu pula observasi dapat memaknai sudut pandang responden, kejadian, atau peristiwa atau proses yang diamati. Lewat observasi ini, peneliti akan melihat sendiri pemahaman yang tidak terucapkan (tacit understanding), bagaimana teori digunakan langsung (theory-inuse), dan sudut pandang responden yang mungkin tidak tercungkil lewat wawancara atau survei.

Meskipun demikian dalam proses observasi ini ada kecenderungan terganggunya suasana, sehingga latar tidak lagi alami yang memungkinkan responden merasa terganggu karena prilakunya terdokumentasikan. Maka dari itu peneliti harus berhati-hati betul dan menjaga kepercayaan dari responden sehingga responden merasa aman, dan kepentingannya tidak merasa terancam oleh kegiatan observasi, (Alwasilah, 2008: 155).

2. Teknik Interviu/Wawancara

Teknik interviu atau wawancara, merupakan suatu cara untuk pengumpulan data yang dilakukan dengan cara percakapan atau tanya jawab. Pengumpulan data dengan teknik wawancara ini peneliti banyak melakukan wawancara kepada juru pelihara Situs Kabuyuta Ciburuy (Ujang Nana Suryana), tokoh masyarakat di lingkungan kecamatan yang memahami dan peduli terhadap keberadaan benda budaya di antaranya Dedi Mulyadi 55 tahun (Sekwilmat Kecamatan Bayongbong), Cecep Suparman (staf Disbudpar Kb. Garut), Warjita (staf Disbudpar Kab. Garut).

Interviu dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi yang tidak mungkin diperoleh lewat observasi, (Alwasilah, 2008: 154). Melalui interviu


(20)

peneliti bisa mendapatkan informasi yang mendalam (in-depth information) karena beberapa hal, antara lain:

a. Peneliti dapat menjelaskan atau mem-parafrase pertanyaan yang tidak dimengerti responden.

b. Peneliti dapat mengajukan pertanyaan susulan (follow-up questions). c. Responden cenderung menjawab apa bila diberi pertanyaan.

d. Responden dapat menceritakan sesuatu yang terjadi di masa silam dan masa mendatang.

3. Teknik Dokumentasi

Dalam proses penelitian, peneliti mendokumentasikan segala apa yang diperoleh yang berhubungan dan diperlukan sebagai bahan untuk tercapainya tujuan penelitian. Adapun cara yang dilakukan di antaranya mencatat segala informasi dari hasil observasi dan interviu, mendokumentasikan artefak budaya terutama bangunan adat di Situs Kabuyutan Ciburuy sebagai objek kajian penelitan, dengan cara difoto dan digambar. Hasil dokumentasi ini sebagai bukti pendukung dari proses penelitian di lapangan.

Tidak cukup sampai dengan mendokumentasikan, tetapi segala macam dokumen tersebut perlu dianalisis kembali, dengan alasan sebagai berikut:

a. Dokumen merupakan sumber informasi yang lestari, sekalipun dokumen itu tidak lagi berlaku.

b. Dokumen merupakan bukti yang dapat dijadikan dasar untuk mempertahankan diri terhadap tuduhan atau kekeliruaan interprestasi. c. Dokumen sebagai sumber data yang alami, bukan hanya muncul dari

konteksnya, tapi juga menjelaskan konteks itu sendiri.

d. Dokumen relatif mudah dan murah dan terkadang dapat diperoleh dengan cuma-cuma.

e. Dokumen sebagai sumber data yang non-reaktif. Tatkala responden reaktif dan tidak bersahabat peneliti dapat beralih kepada dokumen sebagai solusi. f. Dokumen berperan sebagai sumber pelengkap dan memperkaya bagi

informasi yang diperoleh lewat interviu dan observasi. (Alwasilah, 2008: 157).


(21)

J. Teknik Pengolahan Data

Data yang diperoleh dan didokumentasikan dari hasil observasi dan interviu di lapangan, baik berupa gambar (visual) maupun berupa tulisan (Verbal), selain perlu dianalisis juga harus diolah kembali, karena masih bersifat mentah.

Ada beberapa langkah atau cara dalam pengolah data: 1. Kategorisasi Data

Langkah awal untuk mengklasifikasikan data yang sudah diperoleh adalah pemberian kode (koding) pada data tersebut utuk setiap katagori. Hal ini dilakukan untuk mempertajam kepekaan terhadap data yang akan diperoleh kemudian, sehingga akan memudahkan dalam melakukan kategorisasi. Dan juga sekaligus sebagai langkah memaknai data.

Sebagaimana diungkapkan oleh Alwasilah (2008: 231-232), hal-hal yang perlu dilakukan dalam melakukan koding, sebagai berikut:

a. Semakin banyak data yang diperoleh, semakin besar kemungkinan ada rekoding.

b. Dari koding bisa juga ada subkoding.

c. Beberapa kode terus dipergunakan sampai analisis selesai, sebaliknya beberapa kode berguguran, tidak termanfaatkan malah mungkin beberapa kode bermunculan.

d. Koding dihentikan karena kejenuhan dan keteraturan kategori.

Hasil pengkategorian data mengarah semakin mendekati ujung penelitian, bahkan kategori-kategori itu berubah menjadi analitis untuk memunculkan teori-teori. Karena kategorisasi merupakan sebuah proses intuitif, sistematik dan bernalar berdasarkan tujuan penelitian, (Alwasilah, 2008: 236).

Pada garis besarnya, analisis data berlangsung dalam tiga tahapan. Pertama, pengkodean (koding), kedua, kategorisasi (tingkatannya lebih abstrak dari pada yang pertama), dan ketiga, mengembangkan teori; dan


(22)

ini jauh lebih abstrak lagi. Kategori sesungguhnya mendeskripsikan dan juga memaknai (meginterpretasi) data. Kategori-kategori itu kemudian dihubungkan satu sama lain untuk membentuk teori.

2. Reduksi Data

Langkah berikutnya setelah katagorisasi data adalah melakukan “reduksi data”, langkah ini dilakukan untuk memilih dan memilah data-data yang terkumpul. Dari sekian banyak data yang terkumpul dimungkinkan ada beberapa yang tidak relevan dengan tujuan penelitian. Maka dengan demikian diharapkan hasil penelitian akan lebih relevan dan kualitatif.

3. Display Data

Display atau pajangan data termasuk strategi dalam mengolah dan menginterpretasi data. Mendisplay data suatu usaha mempermudah dan memperjelas untuk menginterpretasi data dalam pelaksanaan penelitian, sehingga dapat mempermudah berpikir dan menafsirkan makna dari data tersebut. Kemudahan memaknai data dari display ini bukan hanya untuk peneliti saja melainkan juga untuk orang lain, baik pembimbing, penguji, maupun masyarakat umum.

K. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap studi pendahuluan dan studi implementasi. Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip wawancara, transkrip dokumen,


(23)

dan catatan hasil pengamatan. Data-data yang diperoleh di lapangan selanjutnya diolah untuk dianalisa dan jangan dibiarkan menumpuk. Selanjutnya dilakukan pekerjaan analisis meliputi kegiatan mengerjakan data dengan membuat memo menatanya menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, mencari pola, menemukan apa yang penting dan apa yang akan dipelajari serta memutuskan apa yang akan peneliti laporkan. (Alwasilah, 2008, 158).

Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara berulang-ulang dan berkesinambungan antara pengumpulan dan analisis data, baik selama pengumpulan data di lapangan maupun sesudah data terkumpul. Ada beberapa langkah dalam pengolahan data untuk tahapan pekerjaan awal, yaitu: (l) checking (2) organizing dan (3) coding.

Checking, dimaksudkan untuk menentukan data yang diragukan, data yang perlu dicek lebih lanjut, data yang kurang lengkap, sumber informasi yang diragukan dan diragukan kejujurannya, sumber informasi yang masih diperlukan, waktu dan tempat yang tepat untuk mengumpulkan data. Checking dimaksudkan untuk mengetahui apakah teknik pengumpulan data yang digunakan sudah tepat untuk mendapatkan data yang diharapkan dan tidak mengganggu subjek, dan data apa saja yang perlu diambil dengan teknik triangulasi.

Organizing, dimaksudkan untuk mengelompokkan data ke dalanm bentuk yang memudahkan pengecekan sumber datanya, tempat dan tanggal data diambil, teknik pengumpulan dan jenis data, memberi tanda pada data yang sudah dicek kelengkapan akurasinya. Pengelompokan data dibuat dalam file/map yang berbeda antara hasil pengamatan, studi dokumen, dan hasil wawancara.


(24)

Coding, dimaksudkan untuk mengurangi jumlah data menjadi bagian kecil, unit-unit analisis untuk memudahkan peneliti memfokuskan pengumpulan data berikutnya. Pengkodean data dilakukan dengan menciptakan skema umum yang tidak hanya terbatas pada konten, tetapi mengacu kepada domain-domain umum yang menampung kode yang dikembangkan secara inklusif. Setelah data disederhanakan melalui analisis data.

Pemberian coding, dilakukan sewaktu melakukan interviu atau menganalisis data yang sudah terkumpul secara konsisten. Hal ini dilakukan untuk membantu dan memberi kemudahan-kemudahan pada peneliti, diantaranya: (1) memudahkan identifikasi fenomena, (2) memudahkan penghitungan frekwensi kemunculan fenomena, (3) frekwensi kemunculan kode menunjukkan kecenderungan temuan, dan (4) membantu menyusun kategorisasi dan sub kategorisasi data. (Alwasilah, 2008, 159).

Penerapan model analisis interaktif terasa sangat sesuai untuk menjelaskan alur penelitian ini. Artinya alur siklus dapat kembali ke pengumpulan data tambahan yang dirasa diperlukan setelah data tersimpan sementara pasca reduksi data. Reduksi data dilakukan dengan pencarian hubungan, perbandingan dan pengelompokkan hingga dapat diketahui tingkat pentingnya data tersebut.

Analisis data fisik hasil obeservasi didukung dengan sejarah dan kajian budaya. Data dilakukan secara menyeluruh dan menjadi pijakan utama menuju analisis maknanya, sedangkan kesimpulan akhir hanyalah salah satu bentuk simpulan bebas dari simpulan-simpulan kecil yang dilakukan selama penelitian berlangsung.


(25)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Situs Kabuyutan Ciburuy, terletak di Desa Pamalayan Kecamatan Bayongbong Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Di dalam lingkungan situs ini terdapat artefak-artefak budaya Sunda lama sebagai peninggalan zaman kerajaan Pajajaran. Artefak budaya yang terdapat di sini adalah berupa manuskrip-manuskrip yang ditulis pada daun lontar dan nipah ditambah dengan senjata-senjata yang disimpan di dalam ruangan bangunan.

Bangunan-bangunan adat yang terdapat di Situs Kabuyutan Ciburuy adalah berupa bangunan panggung, yang pada umumnya terbuat dari bahan alami di antaranya: batu padas untuk kaki bangunan (batu tatapakan), kayu untuk rangka bangunan, bambu untuk dinding dan lantai bangunan serta ijuk untuk atap bangunan. Hampir semua bahan baku bangunan ini diperoleh dari hasil yang ditanam di area tanah lingkungan situs dan selama ini dipergunakan untuk renovasi ringan.

Berkaitan dengan judul penelitian yaitu:”Kajian Makna Bangunan Adat Situs Kabuyutan Ciburuy, Garut, Jawa Barat” setelah dilakukan penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut:


(26)

1. Makna Susunan Bangunan

Susunan bangunan adat Situs Kabuyutan Ciburuy, Garut, Jawa Barat sampai saat ini keberadaanya masih utuh seperti semula, yaitu terbagi dalam dua pasangan tritangtu, yaitu tritangtu yang bersifat propan dan tritangtu yang bersifat sakral. Untuk bagian tritangtu propan terdiri dari tiga buah bangunan, yaitu bangunan saung lisung, leuit dan patemon. Makna simbolik dari bangunan saung lisung adalah sebagai bangunan laki-laki, bangunan leuit bermakna sebagai bangunan perempuan sedangkan bangunan patamon bermakna sebagai bangunan paradoks dari bangunan saung lisung dan leuit.

Sedangkan yang termasuk bagian tritangtu sakral adalah komplek padaleman yang terdiri dari tiga bagian, yaitu dua bagian berupa halaman kosong dan satu bagian tempat dibangunnya bangunan padaleman. Makna sakral dari bagian ini adalah terlihat dari letaknya yang terdapat pada daerah yang lebih tinggi, membujur dari selatan ke utara, tertutup dengan pagar kikis yang rapat dan terjaga untuk tidak dimasuki tanpa seijin juru pelihara. Dengan sifat seperti ini maka bangunan ini memiliki makna sebagai bangunan perempuan.

Berdasarkan letak dan susunannya ternyata untuk bangunan-bangunan yang sangat sakral semuanya membujur dari arah hulu ke arah hilir atau arah utara dan selatan. Bangunan-bangunan sakral tersebut yaitu bangunan leuit, padaleman, dan pangalihan. Sebagai arah hulu dari bangunan-bangunan tersebut adalah Gunung Cikuray, sedangkan arah hilir adalah Sungai Cimanuk. Adapun dua bangunan yang memiliki denah dan atap bangunan yang berlawanan arah dengan bangunan tadi, yaitu bangunan patamon dan bangunan saung lisung.


(27)

Berdasarakan kosmologi budaya Sunda lama bangunan-bangunan yang membujur dari hulu ke hilir (bersifat vertikal) adalah bangunan perempuan, sedangkan bangunan yang memiliki arah denah bersifat horizontal adalah bangunan laki-laki. Bangunan perempuan lebih bersifat sakral, tertutup, suci. Sedangkan bangunan laki-laki lebih bersifat profan, terbuka dan kotor.

Susunan bangunan adat di Situs Kabuyutan Ciburuy secara keseluruhan menggunakan konsep pembanguan Kampung Kabuyutan Sunda yaitu menggunakan pola tiga atau konsep “tritangtu”, yaitu satu dalam tiga, tiga dalam satu”. Pola pikir ini didasari oleh letak geografis daerah Sunda (khususnya Garut) yang tergolong kepada daerah ladang. Konsep tritangtu susunannya membujur dari arah hulu ke hilir.

2. Makna Struktur Bangunan

Struktur bangunan adat di Situs Kabuyutan Ciburuy, Garut, Jawa Barat, secara vertikal terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian kaki, badan dan atap. Kaki bangunan melambangkan dunia bawah yang bersifat keduniawian, badan melambangkan dunia tengah simbol paradoks dari polatiga dan atap sebagai simbol dunia atas yang lebih bersifat sakral.

Dunia bawah lebih bersifat terbuka, kotor, profan sebagai simbol laki-laki. Sebagaimana halnya kaki bangunan adat ini, karena bangunan ini berupa bangunan panggung maka yang dimaksud dengan kaki bangunannya adalah kolong bangunan. Kolong itu terbuka, tanpa dinding, kotor, kering, tempat menyimpan peralatan praktis laki-laki.


(28)

Dunia tengah adalah badan bangunan yang di dalamnya terdiri dari ruangan-ruangan, ada ruangan laki-laki, ruangan perempuan, ruangan laki-laki dan perempuan, dan ruangan perempuan saja. laki-laki hanya memakai tapi tidak memilikinya. Bagian tengah ini dinamakan bagian paradoks, perpaduan dua bagian yang berbeda yaitu kaki dan atap. Ruangan di dalamnya ada ruangan paradoks ruangan untuk laki-laki dan perempuan.

Dunia atas adalah bagian atap bangunan, lebih sakral, lebih tinggi lebih suci, basah, tertutup, sebagai lambang perempuan.

Struktur bangunan adat Situs Kabuyutan Ciburuy, menggunaan pola tiga, pola pikirnya masyarakat peladang. Sebagaimana halnya masyarakat Sunda pada umumnya, masyarakat Garut pada khususnya. Pola tiga dalampembangunan rumah adat ini dinamakan tritangtu.

3. Makna Bentuk Bangunan

Memaknai bentuk bangunan adat yang ada di Situs Kabuyutan Ciburuy, secara keseluruhan memiliki makna tersendiri, baik makna spiritual maupun makna praktis sebagai perwujudan dari kearifan lokal budaya Sunda lama.

Bagian atap banguan yang berfungsi sebagai pelindung bangunan itu sendiri, juga memmiliki bentuk tersendiri yaitu bentuk atap perahu. Berdasarkan bentuknya, atap ini bukan mencontoh bentuk perahu, melainkan karena menyesuaikan dengan tujuan simboliknya. Bentuk perahu itu sebagai lambang dunia atas, alam langit. Langit atau alam atas adalah merupakan asal mula turunnya hujan yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat kaum peladang. Arah


(29)

atas sama dengan hulu yang memiliki arti sebagai buritan atau sangkan. Hulu itu simbol dari perempuan, pihak dalam, asal kehidupan, jernih, suci, dan sakral.

Perahu memiliki simbol sebagai kendaraan untuk berlayar ke negeri arwah, tetapi bukan berarti bahwa rumah adat adalah tempat kematian (kuburan), justru rumah adat itu harus mampu melambangkan “kehidupan”. Kehidupan hanya mungkin akan terjadi kalau ada harmoni antara langit dan bumi, antara basah dan kering, antara air (hujan) dan tanah. Hal ini merupakan suatu kebutuhan yang mendasar bagi para petani di derah ladang.

Badan bangunan sebagai bagian yang sangat pokok untuk tempat perlindungan, berdasarkan bentuknya memiliki makna tersendiri. Secara umum untuk bangunan propan, bangunan laki-laki memiliki bentuk yang terbuka seperti halnya bangunan saunglisung dan patamon, sedangkan untuk bangunan sakral, bangunan perempuan lebih bersifat tertutup, terjaga, seperti halnya bangunan leuit dan padaleman.

Pada umumnya banguan-bangunan adat di Situs Kabuyutan Ciburuy, Garut Jawa Barat ini memiliki ukuran kelipatan tiga. Hal ini sebagai bukti bahwa secara pisik bangunan juga mempertimbangkan pola tiga (tritangtu). Selain dari ukuran, juga bangunan adat Situs Kabuyutan Ciburuy adalah komplek bangunan yang menggunakan pola tritangtu juga. Pola ini merupakan pola pikir masyarakat peladang. Sedangkan Situs Kabuyutan Ciburuy merupakan Resi perempuan dari pola pembangunan kampung di wilayah Bayongbong, sebagai Ratunya adalah Ciela dan sebagi Ramanya adalah Bayongbong. Pola pembangunan kampung ini juga menggunakan pola tiga (tritangtu).


(30)

B. Saran

Situs Kabuyutan Ciburuy merupakan bukti sejarah, sebagai media komunikasi antara masyarakat Sunda Pra-modern dengan masyarakat modern sekarang ini. Banyak artefak budaya yang tersimpan di tempat ini, tetapi peneliti hanya memfokuskan pada bangunannya saja. Berhubungan dengan hasil penelitian ini, maka peneliti merekomendasikan beberapa hal, yakni:

1. Kepada kalangan akdemik/ peneliti/ UPI.

Sebagai objek kajian budaya untuk study lapangan bagi mata-mata kuliah yang relefan.

2. Kepada kalangan otoritas/ Pemda/ Dinas terkait.

Untuk menjaga, melindungi, mensosialisasikan dan mengembangkan keberadaan peninggalan budaya ini sebagai komoditi wisata budaya daerah. 3. Kepada kalangan Masyarakat adat/ Garut.

Untuk merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap Situs sehingga terjaga keberadaan dan keasliannya, baik area wilayahnya maupun segala isi yang ada di dalamnya, dari sifat-sifat vandalis masyarakat sekitar maupun yang datang dari luar.

4. Calon peneliti berikutnya.

Untuk mengkaji/menggali lebih jauh setiap artefak yang ada di Situs Kabuyutan Ciburuy, sehingga dapat terungkap makna semua artefak budaya yang ada di dalamnya.


(31)

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. (2008). Pokonya Kualitatif Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitaatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Bangun, Sem. C. (2006). Kritik Seni Rupa. Bandung: ITB.

Berger, Atrhur Asa. (2000). Media Anaysis Techniques, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.

Depdikbud, (1982). Arsitektur tradisional Daerah Jawa Barat, Bandung: Depdikbud.

Dharsono, Sony K. (2007 a). Estetika. Bandung: Rekayasa Sains. (2007 b). Budaya Nusantara. Bandung: Rekayasa Sains.

Disbudpar. (2007). Dokumentasi Naskah Lontar Kabuyutan Ciburuy, Garut: Disbudpar.

(2008 a). Kisah Putra Rama dan Rawana, Garut: Disbudpar. (2008 b). Katalog Situs-situs di Jawa Barat, Jawa Barat:Disbudpar. (1980). Masyarakat Sunda dan Kebudayaanya, Jakarta: Girimukti Pasaka.

(1995). Kebudayaan Sunda, Jakarta: Pustaka Jaya.

Ekadjati, Edi S. (2005). Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran, Jakarta: Pustaka Jaya.

Hayati, S. Wahidah (2008) Kajian Bentuk dan Makna Motif Parang Pada Batik Tulis Keraton Surakarta Hadiningrat, Bandung: Tesis.

Ihromi, T.O. (1999). Pokok –Pokok Antropologi Budaya. Indonesia: Yayasan Obor.

Editor International, Grolier. (2002). Arsitektur. Indonesian Heritage.

Indriani, Rini Sri (2006) Rekontruksi Carita Rakyat Situs Ciburuy, Bandung: Skripsi.

Koentjaraningrat. (1983). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan.

Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. (1999). Keragaman dan Silang Budaya, Bandung: MSPI.


(32)

Moeliono, Anton M. (1988). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Suryana, Ujang (23-11-2008). Wawancara.

Sumardjo, Jakob. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB.

(2002). Arkeologi Budaya Indonesia, Yogyakarta: Qalam. (2003). Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda, Bandung: Kelir.

(2004). Hermeneutika Sunda, Bandung: Kelir. (2006 a). Khazanah Pantun Sunda, Bandung: Kelir.

(2006 b). Estetika Paradoks. Bandung: STSI, Sunan Ambu. (2009). Asal-usul Seni Rupa Modern Indonesia, Bandung: Kelir.

Sumaryono, E. (1999). Hermeneutik, Yogyakarta: Kanisius.

Warjita, (2000). Kabupaten Garut Dalam Dimensi Budaya. Garut: FP4G. --- Galuh-Purba. Com. All About Sundanese. Situs Ciburuy. --- Taman Kejahatan. Com. Kabuyutan Situs Ciburuy. Garut. --- http://www.mediaindonesia.com)


(33)

DAFTAR ISTILAH (GLOSARIUM)

1. Ampig (Bahasa Sunda): Penutup bagian atas dinding depan dan belakang

rumah, berbentuk segi tiga memenuhi bentuk atap rumah.

1. Badak heuay (Bahasa Sunda): Bentuk atap yang menyerupai badak sedang

menguuak

3. Balandar (Bahasa Sunda): Balok kayu yang berbentuk segi empat,

dipasang di atas kuda-kuda melintang sejajar dengan suhunan, fungsinya untuk menahan usuk pada rangka atap.

4. Balandongan (Bahasa Sunda): Ruangan rumah paling depan beratap tanpa

dinding.

5. Batok Kalapa (Bahasa Sunda): Tempurung kelapa

6. Bedog (Bahasa Sunda): Golok

7. Beluk (Bahasa Sunda): Cerita rakyat Sunda yang dinyanyikan berisi petuah

atau nasihat yang diiringi oleh alat musik tadisional.

8. Bilik (Bahasa Sunda): Dinding yang terbuat dari anyaman bambu.

9. Buka palayu (Bahasa Sunda): Bagian muka rumah yang sejajar dengan panjang atap.

10. Buka pongpok (Bahasa Sunda): bentuk rumah yang pintunya berada pada salah satu sudut dari atap, dengan bentuk atap bundar.

11. Cupu Keramik (Bahasa Sunda): Tempat tembaka, gambir,sirih dan

sebagainya yang terbuat dari keramik

12. Darurung (Bahasa Sunda): Balok kayu atau bambu untuk menahan lantai. 13. Enggon (Bahasa Sunda): Kamar

14. Golodog (Bahasa Sunda): Tangga rumah di depan pintu yang terdiri atas

beberapa anak tangga.

15. Hateup injuk (Bahasa Sunda): sirap ijuk

16. Janela Jalosi (Bahasa Sunda): Jendela yang daun pintunya terbuat dari susunan papan kayu dengan penempatan tidak rapat sebagai ventilasi udara.


(34)

17. Jobong (Bahasa Sunda): Bagian rmah untuk menyimpan perkakas pertanian (gudang).

18. Julang ngapak (Bahasa Sunda): Bentuk atap yang menyerupai bentuk

buurung julang yang sedang merentangkan sayap.

19. Kabuyutan (Bahasa Sunda): peninggalan nenek moyang/leluhur

masyarakat Sunda.

20. Kahuripan (Bahasa Sunda): Kehidupan.

21. Kanuragan (Bahasa Sunda):Ilmu bela diri/kekebalan. 22. Kawung (Bahasa Sunda): Aren

23. Keris badik (bahasa Sunda): keris yang bilahnya lurus

24. Keris eluk (Bahasa Sunda): keris yang bilahnya berbentuk tidak lurus

(berlekuk-lekuk)

25. Kolong (Bahasa Sunda): Ruangan yang terdapat di bawah lantai rumah 26. Kuda-kuda (Bahasa Sunda): Balok kayu yang dipasang miring berfungsi

untuk menahan rangka atap dan suhunan, tempat dudukan balandar. 27. Kulah (Bahasa Sunda): Bak air berukuran kecil

28. Ladu (Bahasa Sunda): Makanan ringan yang terbuat dari bahan tepung

beras ketan, dengan rasa manis.

29. Lalangit (Bahasa Sunda): Penutup ruangan bagian atas yang menempel pada dasar rangka atap.

30. Leuit (Bahasa Sunda): Tempat/gudang untuk menyimpan padi

31. Leuweung (bahasa Sunda): Hutan 32. Lisung (Bahasa Sunda): Lesung

33. Lincar (Bahasa Sunda): Papan kayu untuk menjepit dinding di sekeliling bagian bawah rumah.

34. Muruy (Bahasa Sunda): Bercermin.

35. Nangkarak (Bahaa Sunda): terlentang

36. Nangkuban (Bahasa Sunda): telungkup

37. Ngadurukan (Bahasa Sunda): membakar kayu bakar


(35)

39. Padaleman (Bahasa Sunda): Tempat tinggal para pejabat pemerintahan kerajaan

40. Padaringan (Bahasa Sunda): Ruangan tertutup khusus perempuan aau disebut juga goah.

41. Pago (Bahasa Sunda): Erak

42. Palupuh (talupuh) (Bahasa Sunda): Lantai rumah yang terbuat dari batang bambu yang di cincang.

43. Pamikul (Bahasa Sunda): Balok kayu yang di pasang sejajar dengan panjang bangunan untuk menahan kaso-kaso.

44. Pamirunan (Bahasa Sunda): Pembakaran

45. Pananggeuy (Bahasa Sunda): Balok kayu bagian bawah rumah yang

menghubungkan tiang dengan tiang.

46. Parahu kumureb (Bahasa Sunda): bentuk atap yang menyerupai bentuk

perahu telungkup

47. Paran (Bahasa Sunda): Tujuan

49. Parupuyan (Bahasa Sunda): Tempat membakar kemenyan

50. Patamon (Bahasa Sunda): Tempat menerima tamu 51. Pawon (Bahasa Sunda):Dapur

52. Patengahan (Bahasa Sunda): Tengah rumah

53. Pangalihan (Bahasa Sunda): Tempat untuk memindahkan artefak budaya

dalam waktu sementara

54. Pangcalikan (Bahasa Sunda): Tempat duduk

55. Panglari (Bahasa Sunda): Balok kayu yang dipasang antara pamikul dan suhunan berfungsi untuk menahan usuk dan rangka atap.

54. Pangheret (Bahasa Sunda):Balok kayu yang dipasang diatas pamikul. 55. Pangkeng (Bahasa Sunda): Kamar tidur orang tua

56. Pangsolatan (Bahasa Sunda):Tempat untuk melaksanakan solat

57. Panto (Bahasa Sunda): Pintu

58. Pantun (Bahasa Sunda): Puisi asli bangsa Indonesia produk karya sastra

lama.


(36)

60. Peso Pangot (Bahasa Sunda): Pisau untuk menoreh

61. Salendang Rante (Bahasa Sunda): Selendang yang terbuat dari bahan

logam berbentuk rantai

62. Saung Lisung (Bahasa Sunda): Tempat untuk menumbuk padi

63. Sangkan (Bahasa Sunda): Asal mula

64. Satangtung (Bahasa Sunda): setinggi badan

65. Sorodoy (Bahasa Sunda): Bentuk atap miring yang bagian atasnya menempel pada bagian dinding.

66. Saha anu melak kudu wani ngala (Bahasa Sunda): siapa yang menanam harus berani memanen

68. Saha anu nunda kudu wani mawa (Bahasa Sunda): siapa yang menyimpan harus berani mengambil.

69. Suhunan (Bahasa Sunda): Puncak atap

70. Seba (Bahasa Sunda): persembahan

71. Siduru (Bahasa Sunda): Menghangatkan badan di depan api

72. Tagog anjing (Bahasa Sunda): Bentuk atap yang menyerupai anjing yang

sedang menengadah

73. Talahab (Bahasa Sunda): atap yang terbuat dari belahan bambu

74. Tatapakan (Bahasa Sunda): Penahan dasar dari pada tiang rumah yang terbuat dari batu padas yang paling keras, atau dapat dibentuk dari bata yang disusun menyerupai balok

75. Tatapakan adeg (Bahasa Sunda): penahan tiang atap 76. Tihang (Bahasa Sunda): Tiang

77. Teras (Bahasa Sunda): Serambi bangunan

78. Tritangtu (Bahasa Sunda): kesatuan dari tiga hal

79. Ulen (Bahasa Sunda): makanan yang terbuat dari beras ketan dan kelapa

yang di tumbuk

80. Umpi (Bahasa Sunda): (bahasa Sunda): Kelompok keluarga

81. Usuk (Bahasa Sunda): Kaso-kaso


(37)

83. Wajit (Bahasa Sunda): Makanan ringan yang terbuat dari beras ketan dicampur kelapa dan gula merah

84. Wawacan (Bahasa Sunda): Cerita rakyat Sunda yang dinyanyikan berisi


(1)

Moeliono, Anton M. (1988). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Suryana, Ujang (23-11-2008). Wawancara.

Sumardjo, Jakob. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB.

(2002). Arkeologi Budaya Indonesia, Yogyakarta: Qalam. (2003). Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda, Bandung: Kelir.

(2004). Hermeneutika Sunda, Bandung: Kelir. (2006 a). Khazanah Pantun Sunda, Bandung: Kelir.

(2006 b). Estetika Paradoks. Bandung: STSI, Sunan Ambu. (2009). Asal-usul Seni Rupa Modern Indonesia, Bandung: Kelir.

Sumaryono, E. (1999). Hermeneutik, Yogyakarta: Kanisius.

Warjita, (2000). Kabupaten Garut Dalam Dimensi Budaya. Garut: FP4G. --- Galuh-Purba. Com. All About Sundanese. Situs Ciburuy. --- Taman Kejahatan. Com. Kabuyutan Situs Ciburuy. Garut. --- http://www.mediaindonesia.com)


(2)

DAFTAR ISTILAH (GLOSARIUM)

1. Ampig (Bahasa Sunda): Penutup bagian atas dinding depan dan belakang rumah, berbentuk segi tiga memenuhi bentuk atap rumah.

1. Badak heuay (Bahasa Sunda): Bentuk atap yang menyerupai badak sedang

menguuak

3. Balandar (Bahasa Sunda): Balok kayu yang berbentuk segi empat,

dipasang di atas kuda-kuda melintang sejajar dengan suhunan, fungsinya untuk menahan usuk pada rangka atap.

4. Balandongan (Bahasa Sunda): Ruangan rumah paling depan beratap tanpa

dinding.

5. Batok Kalapa (Bahasa Sunda): Tempurung kelapa

6. Bedog (Bahasa Sunda): Golok

7. Beluk (Bahasa Sunda): Cerita rakyat Sunda yang dinyanyikan berisi petuah

atau nasihat yang diiringi oleh alat musik tadisional.

8. Bilik (Bahasa Sunda): Dinding yang terbuat dari anyaman bambu.

9. Buka palayu (Bahasa Sunda): Bagian muka rumah yang sejajar dengan panjang atap.

10. Buka pongpok (Bahasa Sunda): bentuk rumah yang pintunya berada pada salah satu sudut dari atap, dengan bentuk atap bundar.

11. Cupu Keramik (Bahasa Sunda): Tempat tembaka, gambir,sirih dan

sebagainya yang terbuat dari keramik

12. Darurung (Bahasa Sunda): Balok kayu atau bambu untuk menahan lantai. 13. Enggon (Bahasa Sunda): Kamar

14. Golodog (Bahasa Sunda): Tangga rumah di depan pintu yang terdiri atas beberapa anak tangga.

15. Hateup injuk (Bahasa Sunda): sirap ijuk

16. Janela Jalosi (Bahasa Sunda): Jendela yang daun pintunya terbuat dari susunan papan kayu dengan penempatan tidak rapat sebagai ventilasi udara.


(3)

17. Jobong (Bahasa Sunda): Bagian rmah untuk menyimpan perkakas pertanian (gudang).

18. Julang ngapak (Bahasa Sunda): Bentuk atap yang menyerupai bentuk

buurung julang yang sedang merentangkan sayap.

19. Kabuyutan (Bahasa Sunda): peninggalan nenek moyang/leluhur

masyarakat Sunda.

20. Kahuripan (Bahasa Sunda): Kehidupan.

21. Kanuragan (Bahasa Sunda):Ilmu bela diri/kekebalan. 22. Kawung (Bahasa Sunda): Aren

23. Keris badik (bahasa Sunda): keris yang bilahnya lurus

24. Keris eluk (Bahasa Sunda): keris yang bilahnya berbentuk tidak lurus (berlekuk-lekuk)

25. Kolong (Bahasa Sunda): Ruangan yang terdapat di bawah lantai rumah 26. Kuda-kuda (Bahasa Sunda): Balok kayu yang dipasang miring berfungsi

untuk menahan rangka atap dan suhunan, tempat dudukan balandar. 27. Kulah (Bahasa Sunda): Bak air berukuran kecil

28. Ladu (Bahasa Sunda): Makanan ringan yang terbuat dari bahan tepung beras ketan, dengan rasa manis.

29. Lalangit (Bahasa Sunda): Penutup ruangan bagian atas yang menempel pada dasar rangka atap.

30. Leuit (Bahasa Sunda): Tempat/gudang untuk menyimpan padi

31. Leuweung (bahasa Sunda): Hutan 32. Lisung (Bahasa Sunda): Lesung

33. Lincar (Bahasa Sunda): Papan kayu untuk menjepit dinding di sekeliling bagian bawah rumah.

34. Muruy (Bahasa Sunda): Bercermin.

35. Nangkarak (Bahaa Sunda): terlentang

36. Nangkuban (Bahasa Sunda): telungkup

37. Ngadurukan (Bahasa Sunda): membakar kayu bakar


(4)

39. Padaleman (Bahasa Sunda): Tempat tinggal para pejabat pemerintahan kerajaan

40. Padaringan (Bahasa Sunda): Ruangan tertutup khusus perempuan aau disebut juga goah.

41. Pago (Bahasa Sunda): Erak

42. Palupuh (talupuh) (Bahasa Sunda): Lantai rumah yang terbuat dari batang bambu yang di cincang.

43. Pamikul (Bahasa Sunda): Balok kayu yang di pasang sejajar dengan panjang bangunan untuk menahan kaso-kaso.

44. Pamirunan (Bahasa Sunda): Pembakaran

45. Pananggeuy (Bahasa Sunda): Balok kayu bagian bawah rumah yang

menghubungkan tiang dengan tiang.

46. Parahu kumureb (Bahasa Sunda): bentuk atap yang menyerupai bentuk perahu telungkup

47. Paran (Bahasa Sunda): Tujuan

49. Parupuyan (Bahasa Sunda): Tempat membakar kemenyan

50. Patamon (Bahasa Sunda): Tempat menerima tamu 51. Pawon (Bahasa Sunda):Dapur

52. Patengahan (Bahasa Sunda): Tengah rumah

53. Pangalihan (Bahasa Sunda): Tempat untuk memindahkan artefak budaya dalam waktu sementara

54. Pangcalikan (Bahasa Sunda): Tempat duduk

55. Panglari (Bahasa Sunda): Balok kayu yang dipasang antara pamikul dan suhunan berfungsi untuk menahan usuk dan rangka atap.

54. Pangheret (Bahasa Sunda):Balok kayu yang dipasang diatas pamikul. 55. Pangkeng (Bahasa Sunda): Kamar tidur orang tua

56. Pangsolatan (Bahasa Sunda):Tempat untuk melaksanakan solat

57. Panto (Bahasa Sunda): Pintu

58. Pantun (Bahasa Sunda): Puisi asli bangsa Indonesia produk karya sastra lama.


(5)

60. Peso Pangot (Bahasa Sunda): Pisau untuk menoreh

61. Salendang Rante (Bahasa Sunda): Selendang yang terbuat dari bahan logam berbentuk rantai

62. Saung Lisung (Bahasa Sunda): Tempat untuk menumbuk padi

63. Sangkan (Bahasa Sunda): Asal mula

64. Satangtung (Bahasa Sunda): setinggi badan

65. Sorodoy (Bahasa Sunda): Bentuk atap miring yang bagian atasnya menempel pada bagian dinding.

66. Saha anu melak kudu wani ngala (Bahasa Sunda): siapa yang menanam harus berani memanen

68. Saha anu nunda kudu wani mawa (Bahasa Sunda): siapa yang menyimpan harus berani mengambil.

69. Suhunan (Bahasa Sunda): Puncak atap

70. Seba (Bahasa Sunda): persembahan

71. Siduru (Bahasa Sunda): Menghangatkan badan di depan api

72. Tagog anjing (Bahasa Sunda): Bentuk atap yang menyerupai anjing yang

sedang menengadah

73. Talahab (Bahasa Sunda): atap yang terbuat dari belahan bambu

74. Tatapakan (Bahasa Sunda): Penahan dasar dari pada tiang rumah yang terbuat dari batu padas yang paling keras, atau dapat dibentuk dari bata yang disusun menyerupai balok

75. Tatapakan adeg (Bahasa Sunda): penahan tiang atap 76. Tihang (Bahasa Sunda): Tiang

77. Teras (Bahasa Sunda): Serambi bangunan 78. Tritangtu (Bahasa Sunda): kesatuan dari tiga hal

79. Ulen (Bahasa Sunda): makanan yang terbuat dari beras ketan dan kelapa yang di tumbuk

80. Umpi (Bahasa Sunda): (bahasa Sunda): Kelompok keluarga

81. Usuk (Bahasa Sunda): Kaso-kaso


(6)

83. Wajit (Bahasa Sunda): Makanan ringan yang terbuat dari beras ketan dicampur kelapa dan gula merah

84. Wawacan (Bahasa Sunda): Cerita rakyat Sunda yang dinyanyikan berisi petuah atau nasihat