Mengapa Manajemen Penting dalam Pendidik

MENGAPA ILMU MANAJEMEN PENTING
Penerapan dalam Dunia Pendidikan
Oleh
Fridiyanto

1. a. Contoh Kasus mengapa Ilmu Manajemen Perlu dipelajari
Jika di lihat secara kelembagaan, lembaga pendidikan Islam meliputi
Perguruan Tinggi (UIN, IAIN, STAIN/S), Pendidikan Menengah Atas (MAN/S),
dan Pendidikan Menengah (MTsN/s), Pendidikan Dasar (MIN/s), dan Pendidikan
Anak Usia Dini (RA), juga terdapat pendidikan Islam yang merupakan ciri khas
pendidikan Islam di Indonesia, Pesantren.
Dalam penjelasan berikut, penulis akan mengambil kasus penerapan ilmu
manajemen di Madrasah tsanawiyah swasta. Kelemahan penerapan ilmu
manajemen secara benar, terutama di satuan pendidikan seperti MTs dan
Pesantren. Di Mts swasta biasanya manajemen berpusat pada pemilik yayasan,
sedangkan pesantren manajemennya berpusat pada kyai. Olehkarena itu lah sangat
menarik melihat bagaimana ilmu manajemen diaplikasikan secara baik atau tidak
di lembaga pendidikan Islam seperti MTs dan Pesantren.
Madrasah Tsanawiyah (MTs) adalah salah satu bentuk satuan pendidikan
formal dalam binaan Menteri Agama yang juga menyelenggarakan pendidikan
umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai

lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil
belajar yang diakui sama atau setara SD atau MI. Jika dilihat dari status,
madasarah terdapat dua klasifikasi, yaitu Madrasah Negeri dan Madrasah Swasta.
Status kepemilikan madrasah ini akan mempengaruhi dinamika kepemimpinan,
kekuasaan dan politik yang berlangsung di madrasah.

Berbeda dengan pesantren yang otoritas dan kekuasaan penuh dimiliki oleh
Kyai, maka di Madrasah hal itu tidak terjadi. Di sebuah madrasah yang bersatus
madrasah negeri, pola kekuasaan dan dinamika politik organisasi masih bersifat
normatif dan birokratik. Di madrasah negeri

tidak ditemukan kekuasaan

kharismatik ala Kyai di pesantren, karena pemimpin di madrasah ditentukan oleh
pemerintah. Sehingga pola yang berlangsung hanya bersifat formil, dimana guru
dan staf hanya menjalankan perintah dan menjalankan tugas pokok dan fungsi
masing-masing secara rutinitas. Pola kerja dan target kerja telah memiliki standar
yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Bedasarkan uraian singkat di atas, dapat dilihat secara umum bahwa
lembaga pendidikan Islam terutama Madrasah yang dikelola oleh masyarakat

(swasta) belum menjalankan prinsip-prinsip delegasi tugas yang baik dan berbagai
sub topik yang menjadi kajian ilmu manajemen, misalnya penerapan penghargaan
yang baik bagi anggota organisasi. Pola manajemen madrasah swasta masih
bersifat aksidental dan sentralistik kepada pemilik saja, sehingga sering
mengabaikan partisipasi dari anggota bahkan melibatkan masyarakat (stakeholder)
yang berkepentingan terhadap pendidikan yang berlangsung di madrasah.
Jika dilihat pola kepemimpinan di lembaga pendidikan Islam seperti
pesantren, hampir keseluruhan pesantren sangat tergantung pada kharisma kyai.
Sehingga pola manajemen yang berlangsung di pesantren menjadi sangat
sentralistis, kyai tidak hanya menjadi pusat kelimuan, terkadang beberapa
pesantren juga menjadikan kyai sebagai pusat keputusan administrasi. Hal ini
membuat kinerja organisasi menjadi sangat lambat dan terkesan birokratis,
semestinya jika diterapkan ilmu manajemen, maka pesantren akan mampu
menjalankan tugas-tugasnya menjadi lebih efektif dan efisien, dengan adanya
delegasi tugas.
Tinjauan Teoritis
Manajemen pendidikan adalah aplikasi prinsip, konsep, dan teori
manajemen dalam aktivitas pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan secara

efektif dan efisien. Untuk menjalankan organisasi pendidikan diperlukan

manajemen pendidikan yang efektif. Sekolah harus dikelola dengan manajemen
efektif yang mengembangkan potensi peserta didik, sehingga memiliki
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang mengakar pada karakter bangsa.
Dengan kata lain, salah satu strategi yang menentukan mutu pengembangan SDM
di sekolah untuk kepentingan bangsa di masa depan adalah peningkatan kontribusi
manajemen pendidikan yang berorientasi mutu (quality oriented).
Seorang ahli manajemen, Gibson mengemukakan dua alasan penting
mengapa harus belajar manajemen.1 Pertama, masyarakat kita tergantung pada
spesialisasi berbagai lembaga dan organisasi untuk menyediakan barang-barang
dan jasa-jasa yang kita inginkan. Kedua, individu yang tidak terlatih sebagai
manajer sering menemukan dirinya dalam posisi manajerial. Gibson mengatakan
bahwa keberhasilan Amerika, Kanada, Jepang, Perancis, dan negara industri
lainnya yaitu terletak pada pengelolaan produktivitas, penguasan terhadap
perubahan, dan pengelolaan angkatan kerja. Jika merujuk kesuksesan negara maju
tersebut, maka dapat dipastikan bahwa peran ilmu manajemen sangat penting
dalam kemajuan tersebut.
Peter F Drucker mengatakan bahwa pentingnya mempelajari manajemen
agar oganisasi dapat mencapai tujuannya efektif dan efisien. Efektif maksud
Drucker adalah doing the right things dan efisien adalah doing things right.2
Prinsip doing the right things dan doings things right sebagaimana dikemukakan

oleh Bapak Manajemen Peter F Drucker tersebut akan sangat berarti sebagai
filosofi dalam menjalankan pola manajemen yang benar di lembaga pendidikan
Islam, seperti di madrasah ataupun pesantren.

1

Gibson dkk, Manajemen (Edisi Ksembilan Jilid 1), (Jakarta: Erlangga, 1997), hlm. 5.
Peter F. Drucker dalam Ernie Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen,
(Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 7.
2

b.Contoh Kasus Ilmu Manajemen Tidak diterapkan di MTs El-Hidayah
Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara
Contoh kasus berikut dapat menjelaskan bagaimana Ilmu Manajemen belum
bekerja dengan baik di lembaga pendidikan Islam seperti di madrasah. Dalam
kasus lapangan yang penulis peroleh berdasarkan observasi dan wawancara ini
dapat dilihat belum adanya pembagian tugas yang baik, manajemen konflik, serta
kompensasi yang sehat, manajemen keuangan yang transparan.
Di MTs El-Hidayah Sunggal Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. MTs
Elhidayah merupakan salah satu MTs tertua yang didirikan oleh seorang ulama di

Kabupaten Deli Serdang. MTs El-Hidayah pernah mengalami kejayaan karena
menjadi pilihan masyarakat untuk mempelajari agama Islam. MTs El-Hidayah
juga memiliki peran sejarah dalam revolusi kemerdekaan dengan pernahnya MTs
ini menjadi markas para pejuang. Bahkan menurut ketua yayasan dan kepala MTs
El-Hidayah pernah dibakar pada peristiwa Revolusi Sosial di Sumatera Utara.
Menurut Kepala MTs El-Hidayah sebenarnya MTs El-Hidayah sudah sangat sulit
untuk dihidupkan kembali, namun tetap diupayakan untuk menghidupkan kembali
mengingat sejarah MTs El-Hidayah, sehingga kepala madrasah merasa terpanggil
dan berkewajiban untuk tetap engupayakan berbagai cara agar MTs El-Hidayah
tetap eksis.
Pola kekuasaan di MTs Elhidayah dimiliki penuh oleh pemilik yayasan.
Kepala madrasah tidak dapat bekerja secara total mengelola madrasah,
dikarenakan kekuasaan dan tugasnya sebagai kepala madrasah sering diintervensi
oleh pihak yayasan, terutama permasalahan keuangan. Di MTs El-Hidayah
Sunggal Deli Serdang kepala madrasah sering merasa ada kecurigaan yayasan,
guru mau pun staf madrasah dalam mengelola keuangan, baik itu yang bersumber
dari madrasah mau pun bantuan dari pihak luar. Sehingga komunikasi yang
berlangsung di madrasah sering berbentuk kecurigaan mulai dari yayasan, kepala
madrasah, guru dan staf. Aktifitas politik warga madrasah membuat iklim
madrasah tidak sehat, yang berdampak pada kerja yang dijalankan hanya sebagai


rutinitas dan kewajiban. Konsekwensinya adalah madrasah menjadi stagnan,
kualitas merosot, jumlah siswa yang mendaftar berkurang, konflik di madrasah
pun semakin meruncing.
Berdasarkan deskripsi singkat di atas, terdapat beberapa faktor mengapa
lembaga pendidikan Islam belum menerapkan ilmu manajemen secara benar,
diantaranya:Sumber daya manusia, Sistem manajerial, Pendidikan dan Pelatihan
yang minim, dan budaya konservatif mempertahankan status quo yang anti
perubahan. Olehkarena itu ilmu manajemen perubahan sangat diperlukan untuk
mendinamisir dan mengakselerasi perubahan manajemen di lembaga pendidikan
Islam. Sehingga Ilmu Manajemen tidak hanya berhenti dalam tataran teori saja,
namun dapat aplikatif.
2. Contoh Hubungan Perencanaan dengan Manajemen Kinerja:

Contoh Kasus Perencanaan Perekrutan Ustadz di Pesantren Al-Kautsar
Al-Akbar Kota Medan Provinsi Sumatera Utara
Perencanaan Perekrutan Tenaga Pengajar dari Pesantren Jawa
Mengingat begitu luasnya kajian perencanaan maka dalam contoh kasus ini
penulis akan fokus menganalisis perencanaan dalam aspek perencanaan sumber
daya manusia yang akan mengambil kasus di Pesantren Al-Kautsar Kota Medan.

Satu catatan penting yang telah direncanakan oleh Buya (panggilan Kyai di
Kota Medan) untuk meningkatkan kualitas, dan kualitas kinerja staf pengajar di
pesantrennya. Berdasarkan wawancara, Buya mengatakan bahwa setiap Ustadz
(pengajar) di pesantrennya direkrut langsung dari pesantren-pesantren yang ada di
Jawa. Sistem perekrutan didasarkan relasi Buya dengan kiyai-kiyai pesantren
yang ada di Jawa. Dikarenakan Buya merupakan ketua komunikasi pengelola
pesantren maka bukan hal sulit untuk memperoleh pengajar berkualitas yang
diinginkannya. Menurut Buya, bahwa jika untuk tenaga pengajar di pesantren dia
masih sangat yakin itu bisa diperoleh dari hasil didikan di pesantren-pesantren di
Pulau Jawa. Perencanaan perekrutan dan penilaian kinerja pengajar sangat jelas
masih dikendalikan oleh Buya. Setelah beberapa bulan menjalankan masa uji coba

di pesantren, maka Buya akan memberikan evaluasi apakah staf pengajar
memiliki kinerja yang baik atau tidak. Jika tidak maka tidak dilanjutkan, jika
memiliki kinerja yang baik maka akan dilanjutkan, bahkan bisa diberikan posisi
ng strategis.
Tabel berikut merupakan Keadaan Guru/ Staf pengajar Yayasan Pesantren
Al-Kautsar Al-Akbar Tahun Pelajaran 2008 – 2009.
Tabel 1
Keadaan Ustadz/ah Madrasah tsanawiyah al-Kautsar al-Akbar

JUMLAH

JENJANG
PENDIDIKAN

NO

LK

PR

JUMLAH

1.

SMA/MA

3

1


4

2.

D-3

-

-

-

3.

S-1

29

21


50

4.

S-2

3

2

5

35

24

59

JUMLAH


Dari tabel keadaan ustadz tersebut, dapat dilihat bahwa secara sumber daya
manusia, MTs Al-Akbar sudah memenuhi standar. Dapat dilihat bahwa terdapat
50 orang guru yang berkualifikasi S1, 5 orang berkualifikasi S2 dan 4 orang
berkualifikasi SMA/MA. Untuk guru yang berkualifikasi SMA/MA, mereka
adalah santri/yah yang mengabdi untuk mengajar di pesantren.Untuk masalah
rekrutmen pihak yayasan melakukan perekrutan dengan prosedur mengajukan
surat lamaran namun tetap berdaarkan keputusan Buya. Namun sistem
kekerabatan lebih menjadi hal utama dalam menentukan lulus tidaknya calon
guru. Dalam hal ini pihak Yayasan lebih cendrung merekrut guru-guru dari Jawa.
Perekrutan

ustadz

dari

Jawa,

nantinya

diharapkan

dapat

meningkatkan kualitas kinerja dan proses pembelajaran di pesantren.

Namun dalam pelaksanaannya, ustadz yang didatangkan dari Jawa
kebanyakan tidak bertahan lama mengajar di pesantren. Ustadz yang
dipilih dari Jawa tersebut kebanyakan pulang ke Jawa kembali dengan
berbagai alasan.
Data guru pada Tabel 2 merupakan data secara keseluruhan guru termasuk
di dalamnya guru tidak tetap. Pada Tabel 2 adalah nama-nama guru tetap non
pegawai negeri sipil di MTs al-Kautsar al-Akbar-Medan. Dari Tabel 2, dapat
dilihat bahwa masih terdapat enam orang guru yang masih tamatan MA. Namun
selebihnya sudah memenuhi kualifikasi Sarjana. Terdapat 2 orang guru sudah
berkualifkasi Sarjana S2, dan terdapat 16 orang guru yang berkualifikasi
pendidikan S1.
Dilihat dari masa kerja terdapat masa kerja yang sudah 2 tahun (2 orang), 3
tahun (3 orang), 4 tahun (4 orang), 5 tahun (1 orang), 7 tahun ( orang), 8 tahun (1
orang), 9 tahun (2 orang), 10 tahun (2 orang), 11 tahun (2 orang), 14 tahun (1
orang), 15 tahun (1 orang), 17 tahun (1 orang), 18 tahun (1 orang), dan 20 tahun
(1 orang). Masa kerja yang paling baru adalah 2 tahun erdapat sebanyak 2 orang.
Sedangkan masa kerja yang paling lama adalah 20 tahun.
Jenis mata pelajaran yang diampu oleh 23 orang guru tetap yayasan tersebut
adalah: Bahasa Inggris, Bahasa Arab,Bahasa Indonesia, Alqur’an, Qur’an Hadis,
Fiqih, IPS,Matematika, SKI, Nahwu, Shorof, Imla’ Akhlak, Mahfuzot. Menurut
kepala sekolah, mata pelajaran yang tidak ada gurunya, maka akan dipakai tenaga
pengajar luar yang memiliki kompetensi di bidangnya.

Tabel 2
Guru Tetap Non Pegawai Negeri Sipil Di Mts Al-Kautsar Al-Akbar
No

Nama

Pendidikan
Terakhir

Masa
Kerja

Mata Pelajaran

1

Maslathif
Purnomo

Dwi

S2

9 tahun

Bahasa Inggris

2

Abdul
AS,S.Pd.I

Wahab

S1

4 tahun

Mahfuzot

3

Abdul Wahab, S.Pd.I

S1

7 tahun

Fiqih

4

Drs. Ade Musthadi

S1

15 tahun

Qur’an Hadis

5

H.Ali Sati Nasution,
Lc,S.Pd.I

S1

18 tahun

Shorof

6

Andri Huda

MAS

3 tahun

Alqur’an

7

Ardiansyah Pratama

MAS

4 tahun

Alqur’an

8

Fazarian Pohan,S.Pd.I

S1

4 tahun

Bahasa Arab

9

Helmi Ghofar

MAS

3 tahun

Alqur’an

10

Isa Anshori,S.Pd.I

S1

10 tahun

Nahwu

11

Latifah Ummi Nadras
Nst,SS

S1

10 tahun

Bahasa indonesia

12

Mamudin,S.Pd.I

S1

7 tahun

Imla’

13

Drs.
Panjaitan

S1

11 tahun

Alqur’an

14

May Sarah Nasution

MAS

5 tahun

Bahasa Inggris

15

Muharri Kasturi

MAS

4 tahun

Alqur’an

16

Dra. Nirmanita

S1

17 tahun

IPS

17

Rahmad
S.Pd.I

S1

11 tahun

SKI

18

Dra. Rabi’ah

S1

20 tahun

Akhlak

19

Sri Maryati, S.Pd

S1

8 tahun

Matematika

Mas’ud

Nasrun,

20

Syafrina
S.Pd

Prihartini,

S1

9 tahun

Bahasa inggris

21

Tirodiah
M.Ag

Marbun,

S2

14 tahun

Bahasa Arab

22

Zulham Rafiz Zega

MAS

3 tahun

Alqur’an

23

Muhammad
Yusuf,S.Pd.I

S1

2 tahun

Shorof

24

Maisaroh, S.Pd

S1

2 tahun

Matematika

Perekrutan

ustadz

dari

Jawa,

nantinya

diharapkan

dapat

meningkatkan kualitas dan proses pembelajaran di pesantren. Namun
dalam pelaksanaannya, ustadz yang didatangkan dari Jawa kebanyakan
tidak bertahan lama mengajar di pesantren. Ustadz yang dipilih dari Jawa
tersebut kebanyakan pulang ke Jawa kembali dengan berbagai alasan.
Tinjauan Teoritis
Perencanaan merupakan penyusunan langkah-langkah kegiatan yang akan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Suatu perencanaan
dapat disusun berdasarkan jangka waktu tertentu yaitu jangka panjang, jangka
menengah, dan jangka pendek; menurut luas jangkauannya yaitu perencanaan
makro dan perencanaan mikro; perencanaan menurut wewenang pembuatnya
yaitu sentralisasi dan desentralisasi; dan menurut telaahnya yaitu perencanaan
strategis, perencanaan manajerial dan perencanaan operasional.
Jusuf Enoch mengatakan perencanaan sebagai suatu proses berlangsung
sepanjang waktu dan berulang kembali membentuk suatu lingkaran (siklus). 3
Sedangkan Gary mengemukakan:“ Educational planning must be partisipatory
planning that provides socially integrated educational experiences” artinya
bahwa perencanaan harus melibatkan banyak orang yang harus menghasilkan

3

Jusuf Enoch (Dasar-Dasar Perencanaan Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara. 1995), hlm. 33.

program-program yang berpusat pada murid.4 Secara lebih luas perencanaan oleh
Majid mendefinisikan sebagai berikut:
a.

Perencanaan dalam arti seluas-luasnya tidak lain adalah suatu proses
mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan
untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

b.

Perencanaan adalah proses penentuan tujuan, penentuan kegiatan, dan
penentuan aparat pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan.

c.

Perencanaan adalah usaha yang diorganisasikan dengan dasar perhitungan
untuk memajukan perkembangan tertentu.5
Dalam sebuah organisasi, lingkungan kerja dan budaya yang menyenangkan

mempunyai peran penting dalam meningkatkan kinerja karaywan yang paling
produktif. Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode
tertentu di dalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau
sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati
bersama.
Apabila dikaitkan dengan performance sebagai kata benda (noun), maka
pengertian performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh
sesorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang
dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan
secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral dan
etika.
Mutu kerja karyawan secara langsung mempengaruhi kinerja dari sebuah
organisasi atau perusahaan. Ukuran-ukuran dari kinerja karyawan yang dikemukakan oleh Bernadin & Russell adalah sebagai berikut :
1. Quantity of work : jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode yang
ditentukan
2. Quality of work : kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya
4

Gary Dessler, Managing Organization: In An Era of Change, (Foth Worth: The Dryden Press.
1995), hlm. 57.
5

Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2007), hlm. 58.

3. Job Knowledge : luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan
keterampilan
4. Creativeness : keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakantindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul
5. Cooperation : kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain atau sesama
anggota organisasi
6.

Dependability : kesadaran untuk dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan
penyelesaian kerja

7. Initiative : semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam
memperbesar tanggungjawabnya
8. Personal Qualities : menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramahtamahan, dan integritas pribadi.
Menurut Max Weber kinerja berkaitan dengan birokrasi. Dimana birokrasi
dimaknai sebagai mesin yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang ada di
organisasi baik pemerintah maupun swasta. Banyak penyimpangan kinerja yang
berakibat pada buruknya pelayanan birokrat terhadap masyarakat, Weber
memandang hal ini sebagai hal yang tidak rasional. Weber mengemukakan
konsepnya mengenai tipe ideal bagi sebuah otoritas legal yaitu :
1. Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan;
2. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat
otoritas dan sanksi-sanksi;
3. Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hakhak kontrol dan pengaduan (complaint)
4. Aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis
maupun secara legal dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih
menjadi diperlukan;
5. Anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagi
individu pribadi;
6. Pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;

7. Administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis.

3.

Mengapa Evaluasi Perencanaan Penting dan Dampaknya bagi

Guru/Karyawan
Pengertian evaluasi yaitu mempertanyakan validalitas aktivitas dari rencana
sesudah dilaksanakan secara teknis, hal-hal yang bersifat administatif adalah
berguna bagi pertimbangan , tetapi tidak merupakan obyek selidiki dari evaluasi.
Evaluasi lebih bersifat teknis dan berorientasi terhadap pencapaian tujuan pada
semua tingkatan dan pemecahan masalah. Kata monitoring berasal dari bahasa
Inggris ”to monitor” dalam siklus manajemen proyek monitor adalah fungsi.
Fungsi

ini

dilakukan

oleh

satu

atau

lebih

unit

organisasi

untuk

mencatat/mengetahui apa yang terjadi dalam suatu proyek, yang memonitor
hanyalah mencatat apa yang terjadi tanpa mempertanyakan mengapa suatu itu
terjadi, artinya tidak melihat hubungan sebab akibat, sedangkan evaluasi
berkepentingan untuk meneliti pencapaian hasil akhir, tujuan fungsional, tujuan
program, dan perubahan yang tidak direncanakan secara hipotesis.6
Kegiatan evaluasi
Setelah hal-hal seperti disebutkan di atas dilakukan, disamping hal-hal yang
bersifat administratif dalam rangka evaluasi maka yang utama adalah mengukur
kemajuan pada semua tingkatan yaitu Pertama apakah hasil akhir proyek telah
tercapai sesuai dengan rencana, Kedua apakah tujuan fungsional telah tercapai,
Ketiga apakah proyek akan memberi kontribusi terhadap pencapaian program?
Untuk pertanyaan tersebut perlu dicarikan data dilapangan sesuai dengan hakekat
daripada proyek, data tersebut dicocokan dengan indikator yang telah diperbuat
oleh perencana. Bila memang tercapai dan penyebabnya tidak tercapai. Selidiki
juga faktor-faktor interen dan eksteren yang erat hubunganya dengan pencapaian
6

Firman dan Martin, Perencanaan dan Evaluasi, Cet III ( Jakarta: Bumi Aksara, 1990).

tujuan tersebut, baik itu berupa asumsi-asumsi lain yang tidak terdeteksi dari
perencana.
Dalam melakukan proses evaluasi perencanaan ada beberapa etika birokrasi
yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang erat hubungannya dengan tugas
evaluasi, sebagai berikut:
1.

Semua fungsi / tanggungjawab pemberi tugas / yang menerima tugas harus
jelas.

2. Pengertian evaluasi yaitu mencari kesalahan harus dihindari.
3. Pengertian

evaluasi

adalah

untuk

membandingkan

rencana

dengan

pelaksanaan dengan melakukan pengukuran kuantitatif dan kualitatif totalitas
proyek secara tekni.
4. Tim yang melakukan evaluasi adalah pemberi saran kepada manajemen.
5. Dalam proses pengambilan keputusan yang didasarkan data penemuan teknis
perlu dikonsultasikan secermat mungkin karena menyangkut banyak hal
tentang masa depan proyek dalam kaitannya juga dengan program.
6. Hendaknya hubungan dan proses didasari oleh suasana konstruktif dan
objektif serta menghindari analisa-analisa subjektif.
Dalam konteks perencanaan dan evaluasi di sekolah saat ini sekolah
memiliki kewenangan merencanakan apa yang dibutuhkannya (school based
plan).7 Karena telah adanya kewenangan sekolah merencanakan kebutuhannya
sendiri tersebut akan membuat sekolah harus melakukan analisis kebutuhan.
Sekolah harus benar-benar mengevaluasi dari kebutuhan yang ingin diwujudkan.
Sehingga harus benar-benar bisa diklasifikasi mana kebutuhan dan mana
keinginan. setelah dilakukan beberapa tahap evaluasi perencanaan maka akan
diperoleh rencana yang benar-benar muncul dari apa yang dibutuhkan sekolah
dalam meningkatkan kinerja dan mutu sekolah.
Dampak evaluasi perencanaan bagi para guru dan karyawan (staf
administrasi) adalah adanya kesatuan sistematis dari apa yang direncanakan di top
level management sehingga dapat disosialisasikan apa yang menjadi rencana.
7

Rohiat, Manajemen Sekolah: Teori Dasar dan Praktik (dilengkapi dengan contoh rencana
strategis dan rencana operasional), (Bandung: Refika Aditama, 2009),hlm. 65.

Diharapkan dengan adanya evaluasi perencanaan ini akan memunculkan
partisipasi dan kolaborasi dari guru dan staf.
4. Pengaruh Lingkungan Global terhadap Lembaga Pendidikan Islam:
Contoh Kasus Perubahan IAIN/STAIN menjadi Universitas Islam Negeri.
Herman E. Daly mendefinisikan globalisasi “Globalisation refers to global
economic integration of many formerly national economies into one global
economy, mainly by free trade and free capital mobility, but also by easy or
uncontrolled migration. It is the effective earsure of national boundaries for
economic purposes.” Globalisasi mengacu pada integrasi ekonomi nasional
menjadi dalam satu kerangka ekonomi global, dimana terjadi pasar bebas dan
mobilitas modal. Menurut Dali tidak hanya permasalahan ekonomi, globalisasi
juga meliputi permasalahan imigrasi yang tidak terkendali dan adanya pengaburan
ikatan kebangsaan untuk tujuan ekonomi.
Globalisasi juga berdampak pada perguruan tinggi sehingga menciptakan
tantangan dan peluang baru diantaranya: tantangan pengelolaan, tantangan pada
proses belajar mengajar, tantangan pada pendidikan nilai, dan tantangan
peningkatan teknologi.8 Apa yang dikemukakan oleh Indrajit tersebut sebenarnya
lebih kompleks lagi dan pasti akan dihadapi lembaga pendidikan Islam,
khususnya perguruan tinggi keagamaan Islam.
Lembaga pendidikan Islam tidak bisa menghindari dampak globalisasi. Jika
diperkecil lagi yang dimaksud lembaga pendidikan Islam adalah perguruan tinggi
Islam (PTAIN), maka dapat dilihat bagaimana IAIN/STAIN yang telah melakukan
transformasi menjadi UIN salah satu faktornya adalah tuntutan dunia global yang
membuat perguruan tinggi Islam seperti IAIN tidak lagi hanya bisa menjadi
penonton terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
paradigma keilmuan Islam yang lama yang hanya memandang bahwa perguruan
tinggi Islam hanya mengkaji agama an sich.
8

R. Eko Indrajit dan R. Djokopranoto, Manajemen Perguruan Tinggi Modern, (Yogyakarta:
Penerbit Andi, 2006), hlm. 99-100.

Perubahan IAIN/STAIN menjadi UIN merupakan salah satu sikap dan
perbuatan para pemikir dan praktisi pendidikan tinggi Islam yang menyikapi
perubahan lingkungan global yang mempersiapkan generasi muda Islam tidak
hanya menjadi ulama, tetapi juga ulama yang ilmuwan.
Pendidikan Islam tidak sepenuhnya bisa menghindar dari perubahan. Dalam
bahasa pesantren perubahan berkelanjutan “al-muhafadhah alal qadim ash-shalih
wal alhdzu bil jadid al-ashlah.” Institusi pendidikan Islam akan terus melakukan
perubahan dan adopsi inovasi tetapi tetap mempertahankan tradisi yang baik dan
bermanfaat.9 Gagasan

transformasi

IAIN

menjadi

UIN

dilatarbelakangi

ketidakpuasan terhadap perguruan tinggi Islam umumnya dan IAIN khususnya. 10
Abuddin Natta mengemukakan lima faktor mengapa IAIN menjadi UIN, sebagai
berikut: Pertama, adanya perubahan jenis pendidikan pada Madrasah Aliyah yang
telah menjadi sekolah umum; Kedua, adanya dikotomi ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum; Ketiga, perubahan menjadi UIN akan membuka peluang bagi
alumni di lapangan kerja yang lebih luas; Keempat, perubahan menjadi UIN
memberi ruang bagi alumni IAIN melakukan mobilitas vertikal, bervariasi dan
bergengsi;

Kelima,

ummat

Islam

menghendaki

adanya

pelayanan

penyelenggaraan pendidikan yang profesional berkualitas tinggi dan menawarkan
banyak pilihan.
Dengan perubahan menjadi UIN harapan publik akan pendidikan tinggi Islam
yang menjadi pusat dakwah sekaligus lembaga akademi bisa diwujudkan. Selain
itu transformasi menjadi UIN akan membuka peluang kerja lebih luas di berbagai
depertemen.11
Perempatan pertama tahun 1998, gagasan mentransformasi IAIN menjadi UIN
telah disampaikan pada masa Dr. Tarmizi Taher menjadi Mentri Agama RI pada
9

Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas
(Jakarta: RajaGrafindo, 2013), hlm.182.
10
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 64.
11
Wisnarni, Pembaruan Sistem Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia: Telaah Konversi IAIN ke
UIN, dalam Samsul Nizar (ed.), Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di
Nusantara (Jakarta: Kencana, 2013), hlm.352-353.

tahun 1993. Tiga IAIN: Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung mengajukan proposal
ke Departemen Agama RI.12 Dalam catatan Ahmad Harris13 menyikapi keinginan
IAIN menjadi universitas, Departemen Agama memberikan tiga opsi berikut: 1)
ingin tetap dalam bentuknya yang sekarang (apa adanya); 2) melakukan
perubahan dalam konteks Wider Mandate14; 3) melakukan perubahan langsung
menjadi UIN. Ahmad Harris menyayangkan ketiga opsi tersebut tidak menjadi
kebijakan resmi tertulis Departemen Agama sehingga tidak tertuang dalam
petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.
Menurut Atho Mudzhar15 pada rencana perubahan IAIN menjadi UIN terdapat
dua pandangan, Pertama, kelompok pendapat yang menginginkan adanya
perubahan revolusioner yang kemudian disusul dengan program studi baru.
Kedua,

pendapat

konservatif

yang

menginginkan

perubahan

dilakukan

belakangan, yang terpenting adalah mempersiapkan perubahan tersebut,
diantaranya mempersiapkan tenaga pengajar untuk program studi baru yang
merupakan embrio, untuk selanjutnya barulah IAIN dirubah menjadi universitas.
Setelah dipelopori oleh IAIN Jakarta dan IAIN Yogyakarta yang telah sukses
mentransformasi diri menjadi Universitas Islam Negeri.16 Selanjutnya menyusul
diantaranya: UIN Maliki Malang, UIN Syarief Kasim Pekanbaru, UIN Alauddin
12

Perta, Vol.II,no.1 Tahun 1998, hlm.75 sebagaimana dalam Zulfa Ahmad, Reformasi Pendidikan
Tinggi Islam melalui Reformasi Kelembagaan, dalam M.Natsir Luts, Reformulasi, hlm.171.
13
Ahmad Harris, Paradigma Wider Mandate dan Perubahan IAIN menjadi UIN (Universitas
Islam Negeri): Kasus IAIN STS Jambi, dalam M.Natsir Luts, Reformulasi, hlm.106.
14
Wider Mandate atau “Mandat yang diperluas” adalah istlah yang dikembangkan oleh
Departemen Agama dan Depertemen Pendidikan Nasional untuk menyatakan pemberian
kewenangan yang diperluas bagi IAIN/STAIN guna mengembangkan institusinya dari kondisi
yang ada (sekarang).
15
Dalam artikel berjudul Kedudukan IAIN sebagai Perguruan Tinggi, dalam Komaruddin
Hidayat, Problematika, hlm. 69.
16
Perubahan IAIN Sunan Kalijaga menjadi UIN Sunan Kalijaga ditandatangani dalam Keputusan
Bersama Mentri Pendidikan dan Mentri Agama Republik Indonesia Nomor: 1/0/SKB/2004;
Nomor: ND/B.V/I/Hk.00.1/058/04 tentang Perubahan Bentuk Institut Agama Islam Negeri Sunan
Kalijaga menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ditandatangani di
Departemen Pendidikan Nasional Jakarta pada tanggal 23 Januari 2004. Menurut Amin Abdullah
dalam “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pola
Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah Integratif Interdisciplinary, dalam Zainal Abidin
Bagir,dkk, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, (Yogyakarta: Suka Press dan Mizan,
2005), hlm,235, bahwa proses perubahan melalui proses panjang, yang dimulai dari tahun
akademik 1997/1998 bersamaan dengan IAIN Jakarta. Namun IAIN Jakarta lebih dahulu menjadi
UIN Syarief Hidayatullah Jakarta dengan turunnya Keppres pada tanggal 20 Mei 2002.

Makassar. Baru-baru ini Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo meresmikan
empat IAIN menjadi UIN, diantaranya: UIN Sumatera Utara, UIN Palembang,
UIN Semarang. Sebelumnya telah lebih dahulu IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
menjadi UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Perubahan IAIN menjadi UIN memiliki catatan penting yang termaktub dalam
surat Mendiknas yang ditujukan kepada Mentri Agama tanggal 23 Januari 2004,
sebagian kutipannya sebagai berikut: “Meskipun IAIN Sunan Kalijaga dan STAIN
Malang berubah menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Malang,
tugas pokoknya tetap sebagai institusi pendidikan tinggi bidang Agama Islam,
sedangkan penyelenggaraan program non-agama Islam (umum) merupakan
tugas tambahan.”17 Kutipan surat Mendiknas ini merupakan penegasan, bahwa
IAIN yang telah berubah menjadi UIN tidak boleh meninggalkan mandat
utamanya dalam bidang agama Islam.
IAIN yang memiliki konsep “al-Jami’ah” yang maksudnya adalah di
dalamnya terintegrasi antara kampus dan mesjid, dar al’-ulum dan dar al-hikmah.
Dimana konsekwensinya atas visi tersebut adalah memperluas IAIN tidak hanya
sebagai “institut” dalam arti sempit, tetapi berwawasan “universitas.”18
Selanjutnya Nur Ahmad Fadhil Lubis mengatakan dalam perubahan IAIN bukan
sekedar pertukaran nama dan adanya bangunan fisik, tetapi memperluas visi dan
menghidupkan kembali jiwa serta fungsi lembaga-lembaga pendidikan tinggi
Islam yang dulunya telah mengantar zaman keemasan Islam.
Hingga saat ini sebagai sikap terhadap lingkungan global, di lingkup
perguruan tinggi Islam telah terdapat beberapa Universitas Islam Negeri yang
berubah dari IAIN/STAIN, diantaranya: UIN Syahid Jakarta, UIN SUKA
Yogyakarta, UIN Maliki Malang, UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Semarang,
17

Surat Mentri Pendidikan Nasional yang ditujukan kepada Mentri Agama Republik Indonesia
tanggal 23 Januari 2004 sebagaimana dikutip dalam M.Amin Abdullah, Desain, hlm.238.
18
Nur Ahmad Fadhil Lubis, Mengembangkan., hlm.41. Jika merujuk pernyataan yang
disampaikan Nur Ahmad Fadhil Lubis yang merupakan inisiator IAIN Sumatera Utara untuk
menjadi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara gagasan ini telah lama disampaikannya. Namun
visi intelektual tersebut baru terwujud pada tahun 2015 dengan perubahan IAIN SU menjadi UIN
SU.

UIN Alauddin Makassar, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, UIN SUMUT, UIN Syarif
Kasim Pekanbaru, UIN Raden Fatah Palembang.
Dapat dilihat dampak lingkungan global terhadap lembaga pendidikan Islam
tidak hanya parsial, tetapi bisa berdampak secara revolusioner. Hal ini bisa dilihat
dari kasus perubahan IAIN menjadi UIN yang berubah mulai dari paradigma
kelimuan lama menjadi paradigma kelimuan baru, dan setiap UIN memiliki
kekhasan paradigma masing-masing. Dari paradigma kelimuan inilah kemudian
berdampak secara manajemen dan kelembagaan perguruan tinggi Islam, misalnya
dengan bertambahnya Fakultas, bertambahnya keragaman kelimuan, dan semakin
gencarnya persainagan riset untuk menjawab permasalahan manusia secara global,
dan Indonesia khususnya.
5. a. Masalah jika Top Level Manajemen Melakukan Perubahan dari
Sistem tertutup ke Sistem Terbuka:
Contoh Kasus Sistem Tertutup di Pesantren Al-Kautsar al-Akbar Kota
Medan Sumatera Utara menjadi Sistem Terbuka
Dalam contoh kasus Top Level Management yang melakukan manajemen
sistem tertutup ini diambil dari kasus di pesantren. diharapkan dari deskripsi
uraian kasus di pesantren ini akan bermanfaat bagi pembenahan sistem di
pesantren yang cendrung tertutup.
Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar Medan didirikan pada tanggal 1 Februari
1985, terletak di Kota Medan, berlokasi di Jalan Pelajar Timur No. 264 Desa
Binjai Kecamatan Medan Denai Kotamadya Medan – Sumatera Utara. Pesantren
Al-Kautsar Al-Akbar adalah pesantren tertua di Kota Medan dan diikuti Pesantren
lain seperti: Pesantren Arraudhatul Hasanah, Pesantren Nurul Hakim, dan
Pesantren Darul Hikmah TPI.
Sejak berdiri, Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar mengalami dinamika yang
cukup bagus, dengan hanya berbekal 16 santri diawal berdirinya. Pesantren AlKautsar Al-Akbar mampu eksis dengan mengintegrasikan pembelajaran Ilmu
Agama dan Ilmu Umum. Sehingga pada tahun 1995 Pesantren Al-Kautsar Al-

Akbar mencapai kejayaannya dengan jumlah santri sebanyak 1100 santriwan/ wati
yang berasal dari berbagai daerah diseluruh wilayah Sumatera Aceh, dan provinsi
lain di Sumatera. Akan tetapi karena banyak faktor yang mempengaruhi, sejak
tahun 2000 Pesantren Al-Kautsar mengalami penurunan dari beberapa aspek.
Di Pesantren Al-Kautsar Al- Akbar santri mempelajari kitab-kitab kuning
seperti Fiqih, Akhlak, Tarikh, Nahwu, Sharaf, Mantiq, Balaghah, Tafsir serta AlQur’an sebagai the basic of self cognitivism bagi santri. Diharapkan Out put yang
dihasilkan adalah santri yang memiliki kedalaman ilmu, keluhuran akhlak,
keluasan pengetahuan serta kematangan professional, dengan demikian lulusan
pesantren Al-Kautsar Al-Akbar akan mampu berperan dimasyarakat, bangsa dan
negara.
Pesantren Al-Kautsar juga berdampingan dengan sekolah-sekolah umum mau
pun sekolah-sekolah Islam non pesantren. Sehingga persaingan dalam meraih
peserta didik cukup kompetitif. Jika dilihat dari namanya, Pesantren Al-Kautsar
Al-Akbar identik dengan nama Buya yang mendirikan pesantren tersebut, yaitu
Syekh Ali Akbar Marbun. Berbeda dengan pesantren kebanyakan (khususnya
Jawa) yang memanggil pemimpin pesantren dengan sebutan kyai. Di pesantren
Al-Kautsar warga pesantren, masyarakat, dan para pejabat di Sumatera Utara
memanggil pemimpin Pesantren Al-Kautsar dengan sebutan “Buya.” Hal ini
cukup unik, karena biasanya panggilan “Buya” lazim dilekatkan kepada tokoh
Muhammadiyah. Namun pada kenyataannya Buya Ali Akbar,

pemimpin

Pesantren Al-Kautsar merupakan tokoh Nahdhatul Ulama dan merupakan bagian
pengurus Nahdhatul Ulama Sumatera Utara.
Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang penulis lakukan di Pesantren
Al-Kautsar Al-Akbar. Sebagaimana hasil penelitian

terdahulu mengenai

dominannya kekuasaan kyai. Posisi Buya di Pesantren Al-Kautsar al-Akbar
masih sangat besar. Bahkan bisa dikatakan setiap hal kecil yang terjadi di
Pesantren al-Kautsar harus diketahui oleh Buya. Prinsip atau pun fungsi
manajemen bisa dikatakan tidak berjalan dengan baik, karena kuatnya otoritas
Buya.

Buya

di

Pesantren

al-Kautsar

sangat

mengandalkan

kepemimpinan

kharismatiknya. Buya tidak hanya dihormati dikalangan pesantren dan masyarakat
sekitar pesantren. Bahkan para politisi di Provinsi

Sumatera Utara seperti

memiliki kewajiban untuk mengunjungi Pesantren Al-Kautsar untuk meraih
simpati kalangan santri di Sumatera Utara, misalnya ketika terdapat momen
politik nasional atau pun lokal. Tidak jarang tokoh nasional juga menghampiri
Pesantren Al-Kautsar tidak hanya sebagai penghormatan terhadap Buya sebagai
tokoh masyarakat Sumatera Utara,tetapi tentunya juga memiliki kepentingankepentingan politis.
Kepemimpinan kharismatik dan otoritas penuh yang dikendalikan Buya di
Pesantren Al-Kautsar sangat mempengaruhi kinerja manajemen dan administratif.
Karena setiap apa pun persoalan mulai dari hal kecil sampai permasalahan besar
harus diketahui oleh Buya. Sehingga hal apa saja harus menunggu keputusan yang
diambil oleh Buya. Tidak jarang kepemimpinan kharismatik dan sentralistis ini
“menghambat” kerja-kerja administratif dan memperlambat proses kerja yang
seharusnya secara administratif bisa ada delegasi tugas. Atau pembagian tugastugas yang bisa dikerjakan oleh kepala madrasah dan stafnya. Sehingga tidak
perlu semua hal harus diketahui oleh Buya. Hal ini dilakukan karena Buya sebagai
pendiri dan pemilik pesantren dengan segala upayanya berusaha menjaga
eksistensi pesantren, sehingga merasa tidak bisa secara penuh mendelegasikan
tugas-tugas administratif mau pun hal yang bersifat strategis.
Otoritas Buya yang begitu powerfull membuat setiap elemen yang ada di
pesantren tidak berani melakukan sesuatu atau berkreasi di pesantren, walau itu
baik sekali pun. Karena jika ada hal yang diluar kehendak Buya maka mereka
yang melakukan tindakan itu akan mendapat teguran. Misalnya dalam melakukan
kegiatan workshop mengajar untuk ustad dan ustadzah, hal baik seperti itu harus
diketahui oleh Buya.
Pesantren Al-Kautsar hanya dikelola dari dana pribadi Pimpinan Pesantren
Syeh Ali Akbar Marbun, sehingga wajar jika Pesantren Al-Kautsar hanya

memiliki manajemen tunggal (apa yang dikehendaki Buya). Hal ini menjadi
kelemahan yang cukup signifikan jika dilihat dalam perspektif mengelola lembaga
pendidikan dengan pendekatan manajemen modern. Hal ini mengakibatkan tidak
adanya distribusi kerja yang pasti dan terarah
Bagi seluruh warga pesantren harus mendengar dan melaksanakan apa yang
dikehendaki oleh Buya. Kekuasaan Buya yang super power membuat peran
kepala madrasah tsanawiyah dan kepala madrasah aliyah yang ada di Pesantren
Al-Kautsar berjalan tidak dinamis atau sangat birokratis.
Berdasarkan deskripsi singkat mengenai sistem tertutup yang berlangsung di
Pesantren Al-Kautsar Kota Medan tersebut dapat dilihat sangat sulit terjadinya
transformasi ke sistem terbuka. Seluruh kendali manajemen pesantren berada di
bawah Buya yang sangat kharismatik. Sehingg hal-hal yang masuk dari luar selalu
harus diketahui oleh Buya. Masalah akan terjadi jika pengelola pesantren
melakukan aktivitas di luar sepengetahuan Buya.
Cara penyelesaian kasus sistem tertutup tersebut menjadi terbuka, haru
dimulai dari kesadaran Buya sebagai Top Level Manajemen, Pemilik, dan Sumber
Ilmu yang ada di pesantren. tanpa adanya perubahan paradigma pentingnya
mengadopsi sistem terbuka, maka pesantren yang besar tersebut akan mengalami
kemunduran kelak, ketika tidak ada Buya lagi. Buya harus membuka diri terhadap
perubahan yang telah terjadi dalam pengelolaan lembaga pendidikan Islam,
pesantren khususnya. Banyak pesantren modern yang tidak hilang tradisi
keilmuannya dengan menerapkan sistem terbuka.
Tahap selanjutnya setelah adanya keterbukaan dari Buya sebagai Top Level
Manajemen di Pesantren, maka seluruh warga pesantren, yang dimulai dari
pimpinan, ustadz, dan staf administrasi harus mengikuti program intensif tentang
pentingnya penggunaan manajemen modern yang menerapkan sistem terbuka.
Bekal dari pengetahuan dan kecakapan teknis tersebut akan secara perlahan
mengubah kultur pesantren yang menggunakan sistem tertutup akan menjadi lebih
terbuka dalam permasalahan pengelolaan.

6. Analisis Prosedur Perencanaan Strategi Mutu Pendidikan Islam
Dalam contoh analisis perencanaan strategi mutu berikut penulis mengambil
kasus rencana mutu akademik di UIN Sumatera Utara. Mengingat begitu detail
dan panjangnya uraian rencana strategi mutu di UIN Sumatera Utara, maka dalam
analsis ini penulis hanya mengambil kasus peningkatan mutu akademik saja.
ANALISIS PROSEDUR PERENCANAAN STRATEGI MUTU AKADEMIK
DI UIN SUMATERA UTARA

A. Peningkatan Kualitas Pendidikan
Dalam melahirkan keluaran yang berkualitas, maka tidak ada pilihan lain bagi
UIN Sumatera Utara (UIN SU), kecuali menjadikan core business nya berkualitas.
Sebagaimana yang telah diketahui bersama, universitas bukanlah entitas yang
mati dan beku. Universitas adalah wahana bagi masyarakat ilmiah yang
memilihnya sebagai tempat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan bagi
kemaslahatan manusia. Dengan kata lain, bidang akademik sesungguhnya
merupakan ruh bagi sebuah universitas. Tegasnya, hidup dan matinya sebuah
universitas akan sangat tergantung pada bidang akademik itu sendiri. Oleh sebab
itu, setiap sivitas akademi sebuah universitas harus terus menerus memperhatikan,
mencermati dan juga mengembangkan persoalan akademik.
1. Pengembangan Kurikulum Integratif
“Lima Prinsip Keseimbangan” dalam penyusunan kurikulum, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.

Keseimbangan antara iman, etika, dan logika;
Keseimbangan Identitas Islam dan Nasional;
Keseimbangan antara Turats Islam dengan Sains;
Keseimbangan antara kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi;
Kesimbangan pusat belajar antara dosen dan mahasiswa;
Langkah-langkah penyusunan kurikulum adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.

Langkah 1: Identifikasi misi dan kebutuhan stakeholders;
Langkah 2: Need assessment mahasiswa;
Langkah 3: Penetapan goals dan objectives kurikulum;
Langkah 4: Pemilihan strategi instruksional;

e. Langkah 5: Penilaian terhadap mahasiswa;
f. Langkah 6: Monitoring dan evaluasi kurikulum;
g. Langkah 7: Strategi implementasi kurikulum;
Dasar pertimbangan peninjauan dan penyempurnaan kurikulum UIN SU akan
mengacu pada empat faktor, yaitu perubahan pandangan filosofis. Perubahan sosialbudaya, perkembangan ilmu pengetahuan, dan perubahan kebijakan dalam bidang
pendidikan. Keempat faktor dimaksud dapat dielaborasi sebagai berikut;
1. Perubahan Pandangan Filosofis; Faktor ini berkaitan dengan pergeseran
pandangan hidup masyarakat yang fenomenal tentang nilai-nilai kehidudpan.
2. Perubahan Kemasyarakatan; Maksud perubahan kemasyakatan di sini
berkaitan erat dengan pergeseran struktur sosial, pola hidup, pekerjaan, tata
perilaku, norma, tata pergaulan dan keyakinan.
3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Kemajuan penting dalam
abad ini yang patut dicermati adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berjalan cepat di bidang ekonomi, sosial-budaya, manajemen,
komunikasi, transportasi, dan sebagainya.
4. Perubahan Kebijakan dalam Bidang Pendidikan; Seperti diketahui di dunia
ini telah banyak teori pendidikan yang ditawarkan; ada teori klasik, ada teori
modern, dan ada teori kontemporer.
Dalam rangka pengembangan kurikulum Integratif ini maka ada beberapa
langkah yang dapat dilakukan:
1. Melaksanakan Seminar dan Jajak Pemikiran tentang Integrasi Keilmuan
Islam atau ISlamisasi Ilmu Pengetahuan.
2. Mengukuhkan rumusan Integrasi Keilmuan UIN.
Impelementasi langkah yang pertama ini adalah:
a. Seminar dan Loka Karya Integrasi Epistemologi Pengembangan Keilmuan
UIN.
b. Diskusi Tim Perumus yang berlangsung secara simultan dan
berkesinambungan.
c. Melaksanakan roundtable, diskusi dengan Ahli dalam rangka uji dan
pengukuhan rumusan tersebut.
3. Perumusan Prinsif-prinsif Pengembangan kurikulum integratif.
a. Diskusi ahli tentang prinsip-prinsip pengembangan kurikulum integratif.
b. Perumusan prinsip dan panduan dalam pengembangan kurikulum .
c. Penulisan dan penerbitan buku panduan, antara lain:
1) Pedoman pendekatan integratif dan implementasinya dalam
perkuliahan.

4.

5.

2.
a.
b.
c.
d.
e.

2) Pedoman praksis penyusunan kurikulum dan silabi.
3) Pedoman praktis perkuliahan.
4) Pedoman praktis penilaian.
5) Pedoman administrasi akademik.
Workshop tentang Kurikulm Integratif.
Implementasinya dapat dilakukan dalam bentuk:
a. Penyusunan Kompetensi Program Studi.
b. Penataan mata kuliah dasar, utama, pendukung dan lainnya. Tegasnya mata
kuliah pengembangan kepribadian (MPK), mata kuliah keilmuan dan
keterampilan (MKK), mata kuliah keahlian berkarya (MKB) dan mata
kuliah prilaku berkarya (MPB), dan mata kuliah berkehidupan
bermasyarakat. (MBB).
c. Merumuskan kompetensi setiap mata kuliah.
d. Penyusunan Rencana Program kerja kegiatab perkuliahan semester.
Penulisan Modul Bahan Ajar dan Buku Ajar.
Implementasi program di atas dapat diterjemahkan ke dalam kegiatan sebagai
berikut:
a. Workshop penulisan modul dan buku ajar.
b. Pemilihan prioritas mata kuliah yang akan ditulis buku ajar.
c. Diskusi buku ajar untuk penyempurnaan materi dan metodologi.
d. Sosialisasi bahan dan buku ajar.
Peningkatan Kemampuan Dosen dan Pembelajaran Integratif
Dalam konteks ini, beberapa usaha yang dapat dilakukan adalah:
Penataan ulang peta keilmuan para dosen.
Pelatihan pembelajaran integratif di kalangan dosen UIN.
Melaksanakan studi banding ke universitas yang telah menerapkan model
pembelajaran integratif.
Membentuk tim teaching untuk mata kuliah-kuliah tertentu.
Melaksanakan evaluasi model pembelajaran integratif.

B. Peningkatan Kualitas Penelitian
1. Peningkatan Kualitas dan Diseminasi Hasil Penelitian
Dalam upaya peningkatan kualitas desiminasi hasil penelitian dosen, UIN SU
akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengikutsertakan hasil penelitian dosen dalam seminar-seminar hasil
penelitian, baik di tingkat nasional maupun internasional.

b.

Meningkatkan jumlah berkala ilmiah terakreditasi di tingkat nasional di
lingkungan IAIN SU
c. Mengupayakan tersedianya berkala ilmiah terakreditasi di tingkat
internasional di lingkungan UIN SU dan meningkatnya jumlahnya secara
bertahap dalam setiap tahun
d. Menyediakan ruang publikasi hasil penelitian dosen di dalam website dan
OCW UIN SU
e. Meningkatkan kerjasama dengan berbagai berkala ilmiah terakreditasi, baik
tingkat nasional maupun internasional, untuk mendapatkan informasi tentang
tema yang akan diterbitkan sehingga membantu para dosen dalam melakukan
publikasi hasil-hasil penelitiannya.
2. Peningkatan Kualitas Karya Ilmiah Dosen
Dalam rangka peningkatan mutu karya ilmiah dosen, UIN SU akan
melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Melakukan pendataan terhadap karya ilmiah dosen yang telah dipublikasikan.
b. Penyediaan atmostif munculnya penulisan buku-buku yang berkualitas antara
lain: penyediaan prasarana dan sarana, dana, sistem, dan sumber data
manusia.
c. Membuat SOP penulisan buku dan karya ilmiah sehingga buku dan ilmiah
yang dihasilkan memenuhi standar.
d. Mengangkat tim reviewer karya ilmiah dosen yang terdiri dari guru besar
internal dan eksternal UIN SU sesuai dengan keahliannya.
e. Menyediakan ruang publikasi hasil karya ilmiah dosen di dalam website dan
OCW UIN SU
f. Meningkatkan jumlah penerbitan buku-buku ajar dan buku teks yang
dituliskan dosen dengan menggunakan percetakan dalam dan luar negeri.
g. Menerbitkan berkala ilmiah terakreditasi di tiap jurusan/prodi
h. Menerbitkan berkala ilmiah terakreditasi nasional di tingkat fakultas dan
prodi.
i. Menerbitkan jurnal terakreditasi intenasional di tingkat institut.
Berdasarkan perencanaan mutu akademik di UIN SU di atas maka dapat
dilihat berdasarkan teori bahwa ada dua tipe utama rencana: Rencana Strategik,
dan Rencana Operasional.19 Dalam Perencanaan Strategik perlu melewati
prosedur sebagai berikut: Visi dan Misi Organisasi, melalui visi dan misi
organisasi inilah akan ditentukan dan memberikan dasar arahan bagi organisasi.
19

T. Hani Handoko, Manajemen Edisi 2 (Yogyakarta: BPFE, 2003), hlm. 85.

UIN SU telah menyesuaikan rencana mutu akademiknya dengan adanya
kesamaan antara program-program akademik yang direncanakan dengan visi dan
misi UIN SU setelah transformasi dari IAIN SU.
Tinjauan Teoritis
Menurut Bryson perencanaan strategik adalah sebuah disiplin yang
berupaya menghasilkan keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan mendasar,
yang membentuk dan membimbing organisasi untuk memahami dirinya sendiri
(what an organization is), apa yang dikerjakannya (what it does), dan kenapa
organisasi mengerjakannya (why it does it).20
Perencanaan strategik merupakan proses pemilihan tujuan-tujuan organisasi;
penentuan strategi; kebijaksanaan dan program-program strategik yang diperlukan
untuk tujuan-tujuan tersebut; dan penetapan metode yang diperlukan untuk
menjamin bahwa strategi dan kebijaksanaan telah diimplementasikan.21
Menurut Handoko perencanaan strategik merupakan proses perencanaan
jangka panjang yang disusun dan digunakan untuk menentukan dan mencapai
tujuan-tujuan

organisasi.22Handoko

mengemukakan

tiga

alasan

tentang

pentingnya perencanaan strategik, yaitu: (1) perencanaan strategik memberikan
kerangka dasar dalam mana semua bentuk-bentuk perencanaan lainnya harus
diambil; (2) pemahaman terhadap perencanaan strategik akan mempermudah
pemahaman bentuk-bentuk perencanaan lainnya; (3) perencanaan strategik sering
merupakan titik permulaan bagi pemahaman dan penilaian kegiatan manajer dan
organisasi.
Barnard Taylor23 memberikan deskripsi mengenai perencanaan strategik,
sebagaimana dapat diliha dalam tabel berikut.

20

John B. Bryson, Strategic Planning for Public and Nonprofit Organizations, (San Fransisco:
Jossey Bass, 1995)
21
George A. Steiner dan John B. Miner, Management Policy and Strategy,(New York: Macmillan,
1997), hlm. 7.
22
T. Handi Handoko, Manajemen, hlm. 92.
23
Bernard Taylor, Strategics for Planning: Long Range Planning 8 n0. 4 Agustus 1975, hlm.8.

Tabel 3
Perencanaan Strategik

Pusat bahasan

Keberlangsungan dan pengembangan
jangka panjang

Sasaran

Laba di waktu yang akan datang

Batasan

Lingkungan sumber daya waktu yang
aka