Jurnal Pengaruh Corporate Governance Ter
PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP TAX
AVOIDANCE (STUDI EMPIRIS PADA PERUSAHAAN
PERTAMBANGAN YANG LISTING DI BURSA EFEK INDONESIA
TAHUN 2011-2016)
Eliyanora1, Josephine Sudiman2, Nissa Erlina3
1
Accounting Department, Politeknik Negeri Padang, Kampus Limau Manis, Padang, Indonesia
E-mail:[email protected]
2
Accounting Department, Politeknik Negeri Padang, Kampus Limau Manis, Padang, Indonesia
E-mail:[email protected]
3
Accounting Department, Politeknik Negeri Padang, Kampus Limau Manis, Padang, Indonesia
E-mail:[email protected]
Abstract− This study aims to examine the effect of of corporate governance consisting of boards of directors, independent
commissioners, audit committees, institutional ownership, managerial ownership of tax avoidance. The
population used in this study is mining company listed on the Indonesia Stock Exchange during 2011-2016. While
data used in this research is secondary data and sample selection by using purposive sampling method. There
are 162 samples in mining company that meet the criteria as the research sample. The method of analysis used
to test the hypothesis in this study using panel data regression analysis using E-Views. The result showed that
only independent commissioner variables had positive effect on tax avoidance. Meanwhile the others variables
have no effect on tax avoidance.
Keywords− corporate governance, boards of directors, independent commissioners, audit committees,
institutional ownership, managerial ownership, tax avoidance, book tax differences.
I.
PENDAHULUAN
Pajak merupakan salah satu sumber potensial dalam penerimaan
negara. Penerimaan dari sektor pajak menempati persentase
paling tinggi dibandingkan sumber penerimaan lainnya di
Indonesia. Sebagian besar pembiayaan belanja negara berasal dari
penerimaan pajak. Berdasarkan data tahun 2016 yang diperoleh
dari website Kementerian Keuangan, penerimaan negara dari sektor
pajak adalah 74,6%, penerimaan negara bukan pajak 15%,
penerimaan dari kepabeanan dan cukai 10,2%, serta penerimaan
dari hibah 0,1%. Peranan pajak yang dominan sebagai penerimaan
negara membuat pemerintah berusaha untuk mengoptimalkan
penerimaan pajak. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah
untuk mengoptimalkan penerimaan pajak ialah melakukan revisi
Undang- Undang perpajakan, serta beberapa waktu lalu juga
membuat program Tax Amnesty atau pengampunan pajak bagi
seluruh wajib pajak yang belum melaporkan seluruh kekayaannya
serta belum memenuhi kewajiban perpajakannya. Meskipun
begitu, usaha pemerintah tersebut masih belum tercapai dengan
maksimal. Hal ini disebabkan adanya praktik penghindaran pajak
(tax avoidance) yang dilakukan oleh wajib pajak.
Tax avoidance merupakan suatu strategi pajak yang
digunakan oleh perusahaan untuk meminimalkan beban pajak
dengan memanfaatkan celah dalam kebijakan perpajakan. Adanya
pertentangan antara tujuan pemerintah dan tujuan perusahaan
menyebabkan praktik tax avoidance ini dilakukan oleh perusahaan.
Pemerintah memiliki tujuan untuk memaksimalkan penerimaan
pajak sehingga pemerintah mengharapkan masyarakat taat pajak.
Sikap taat pajak ini artinya wajib pajak membayar serta melaporkan
pajak berdasarkan kondisi yang sesungguhnya. Berbeda dengan
pemerintah, perusahaan memiliki tujuan untuk memaksimalkan
laba agar meningkatkan nilai perusahaan di mata investor. Dengan
tujuan tersebut, perusahaan akan berusaha meminimalisir bebanbeban usaha termasuk beban pajak. Perbedaan tujuan tersebut
menyebabkan perusahaan berusaha untuk membayar pajak
seminimal mungkin dengan memanfaatkan celah dalam peraturan
perpajakan untuk melakukan penghindaran pajak (tax avoidance).
Berdasarkan kecenderungan perusahaan untuk melakukan
penghindaran pajak, maka diperlukan pengawasan terhadap praktik
penghindaran pajak agar cara yang dilakukan tidak bertentangan
dengan undang-undang yang berlaku. Pembentukan tata kelola
perusahaan yang baik (good corporate governance) dapat
membantu mengawasi kinerja manajemen perusahaan, termasuk
dalam hal perpajakan. GCG ialah mekanisme pengaturan dan
pengendalian perusahaan melalui hubungan antara pemegang
saham, pengurus perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan
dan para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya.
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)
mekanisme GCG meliputi kepemilikan institusional, proporsi
dewan komisaris independen, komite audit dan kualitas audit.
Menurut OECD (Organization for Economic Cooperation and
Development) corporate governance sendiri merupakan suatu
sistem untuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.
Dapat dikatakan bahwa corporate governance dan tindakan
penghindaran pajak memiliki hubungan, karena perusahaan
merupakan wajib pajak dan aturan dalam struktur corporate
governance mempengaruhi cara sebuah perusahaan memenuhi
kewajiban pajaknya, tetapi di sisi lain tindakan penghindaran pajak
juga tergantung pada dinamika corporate governance dalam suatu
perusahaan. Prinsip-prinsip dalam GCG
yaitu
kewajaran,
akuntabilitas, transparansi, kemandirian dan responsibilitas
menjadi penting karena penerapan prinsip GCG secara
konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan
(Annisa dan Kurniasih, 2012).
Realita yang mendukung maraknya tindakan penghindaran
pajak dapat dilihat pada beberapa kasus perusahaan pertambangan
seperti PT Bumi Resources Tbk, PT Kaltim Prima Coal, dan PT
Arutmin Indonesia yang diduga oleh Ditjen Pajak melakukan
1
manipulasi pajak pada tahun 2007 sebesar Rp2,1 triliun. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut piutang sektor
pertambangan di Indonesia mencapai Rp2,8 triliun. Piutang
tersebut berasal dari iuran tetap, royalti, jaminan reklamasi, dan
pajak yang belum dibayarkan perusahaan pada negara. Sektor
pertambangan juga berada di peringkat dua penyumbang suap
tertinggi, setelah sektor konstruksi yang menempati peringkat
pertama (VIVA, 2016).
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis bermaksud untuk
menganalisis pengaruh corporate governance yang diwakilkan
oleh jumlah dewan direksi, persentase jumlah dewan komisaris
independen, persentase jumlah komite audit, proporsi kepemilikan
institusional, dan proporsi kepemilikan manajerial terhadap tax
avoidance. Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu
karena sampel yang digunakan adalah perusahaan sektor
pertambangan (mining) yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
selama periode 2011 – 2016.
II. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
Hubungan antara Jumlah Dewan Direksi dengan Tax
Avoidance
Beberapa penelitian terdahulu telah melakukan uji terhadap
hubungan dewan direksi dengan tax avoidance. Seperti yang
dilakukan Khoirunnisa (2015) mengemukakan bahwa tidak terdapat
pengaruh antara dewan direksi dengan tax avoidance. Hal ini
dikarenakan dewan direksi dalam urutan manajemen merupakan
tingkatan tertinggi setelah pemegang saham. Dewan direksi
memegang peranan sentral dalam corporate governance karena
hukum perseroan memusatkan tanggung jawab legal atas urusan
perusahaan pada dewan direksi. Fungsi direksi adalah sebagai
wakil dewan komisaris untuk melakukan pengelolaan perusahaan
dalam rangka menjalankan tata kelola perusahaan yang baik. Hasil
penelitian yang tidak berpengaruh menyimpulkan adanya
manipulasi dalam menyajikan laporan keuangan untuk kepentingan
perpajakan tidak dipengaruhi oleh dewan direksi.
Jika kita lihat kembali mengenai agency theory, dan pedoman
umum good corporate governance Indonesia menurut KNKG
(2006) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka secara
otomatis hal ini akan bertolak belakang dengan penelitian
sebelumnya, karena variabel dewan direksi dianggap akan menekan
laju penghindaran pajak yang disebabkan semakin baiknya
pengawasan
yang
dilakukan
oleh dewan direksi maka
kemungkinan terjadinya penyelewengan yang dilakukan pihak
manajemen pun akan semakin kecil, karena dewan direksi
mempunyai wewenang untuk memberikan kebijakan-kebijakan
yang harus dijalankan oleh pihak manajemen sebagai pengelola
perusahaan, dan biasanya manajemen akan melakukan tindakantindakan yang bisa menjadi sebuah kecurangan baik itu demi
kepentingan perusahaan ataupun semata-mata hanya untuk
kepentingan pribadi seperti motivasi atas bonus dan reward yang
diperoleh dari hasil kinerja yang dianggap baik.
Berdasarkan teori tersebut dapat dikatakan bahwa semakin
tinggi pengawasan dari dewan direksi maka akan semakin rendah
penghindaran pajak yang dilakukan oleh pihak manajemen
perusahaan. Dengan demikian maka diajukan hipotesis sebagai
berikut:
H1 : Jumlah dewan direksi berpengaruh negatif terhadap tax
avoidance
Hubungan antara Persentase Dewan
Independen terhadap Tax Avoidance
Komisaris
Komisaris independen merupakan bagian yang tidak terafiliasi
dalam segala hal dengan pemegang saham dengan direksi atau
dewan komisaris dan tidak menjabat direktur perusahaan (Pohan,
2008). Pedoman good corporate governance tahun 2006
menjelaskan bahwa struktur dewan komisaris terdiri dari komisaris
yang tidak berasal dari pihak terafiliasi yang disebut dengan
komisaris independen dan komisaris yang berasal dari pihak
terafiliasi.
Mangel dan Singh (1993) menjelaskan bila komisaris
independen merupakan mekanisme pemeriksa dan penyeimbang
dalam meningkatkan efektivitas dewan komisaris. Perusahaan yang
memiliki komposisi anggota komisaris independen yang lebih besar
dapat mempengaruhi kinerja perusahaan (Raharjo, 2014).
Kehadiran komisaris independen dapat meningkatkan pengawasan
kinerja direksi. Semakin banyak jumlah komisaris independen
maka pengawasan terhadap manajemen akan semakin ketat.
Manajemen kadang kala bersifat oportunistik dimana mereka
memiliki motif untuk memaksimalkan laba agar meningkatkan
bonus yang diterima dengan cara mengurangi biaya-biaya termasuk
pajak yang harus dibayarkan. Diharapkan dengan semakin besar
proporsi dewan komisaris independen dapat meningkatkan
pengawasan sehingga dapat mencegah tindakan tax avoidance oleh
manajemen perusahaan.Berdasarkan latar pemikiran yang telah
dijelaskan sebelumnya, maka diajukan hipotesis sebagai berikut:
H2 : Persentase dewan komisaris independen berpengaruh negatif
terhadap Tax Avoidance
Hubungan antara Komite Audit dengan Tax Avoidance
Komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris
perusahaan, yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh
dewan komisaris serta memiliki tugas untuk
membantu
melakukan pemeriksaan atau penelitian yang dianggap perlu
terhadap pelaksanaan fungsi direksi dalam pengelolaan perusahaan
(Winata, 2014). Komite audit merupakan komponen penting yang
harus ada dalam struktur corporate governance pada perusahaan
publik. Oleh karena itu, Bursa Efek Indonesia mengharuskan setiap
emiten membentuk dan memiliki komite audit yang diketuai oleh
komisaris independen.
Penelitian yang dilakukan Fadhilah (2014) menemukan
bahwa komite audit berpengaruh terhadap tax avoidance
perusahaan. Hasil yang sama juga diperoleh oleh Sriwedari (2009)
yang menyatakan bahwa keberadaan komite audit memiliki fungsi
untuk meningkatkan integritas dan kredibilitas pelaporan
keuangan agar dapat berjalan dengan baik. Beberapa alasan
komite audit perusahaan berpengaruh terhadap tax avoidance
yaitu: pertama, jika jumlah komite audit yang dimiliki perusahaan
sedikit, maka akan meningkatkan peluang manajemen dalam
melakukan penghindaran pajak. Begitu juga sebaliknya, jika jumlah
komite audit banyak tentu pengawasan yang dilakukan semakin
ketat, sehingga menajamen tidak memiliki peluang untuk
melakukan tindakan penghindaran pajak. Kedua, perusahaan yang
memiliki komite audit yang sedikit atau kurang dari yang
ditetapkan BEI akan mempengaruhi integritas dan kredibilitas
keuangan perusahaan.
Sriwerdari (2009) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa
komite audit memiliki hubungan negatif dengan tax avoidance.
Komite audit berfungsi sebagai jembatan penghubung antara
perusahaan dengan auditor eksternal. Komite audit juga berfungsi
memberikan pandangan mengenai masalah-masalah yang
berhubungan dengan kebijakan keuangan, akuntansi, dan
pengendalian intern. Dengan demikian, adanya komite audit dapat
memperkuat pengawasan terhadap tindakan pengukuran atau
pengungkapan akuntansi yang tidak tepat sehingga akan
mengurangi tindakan kecurangan oleh manajamen, termasuk dalam
tindakan manajemen pajak (Annisa, 2012). Keberadaan komite
audit diharapkan dapat meningkatkan pengawasan internal yang
pada akhirnya akan mengurangi tindakan tax avoidance oleh
manajemen. Berdasarkan pemaparan tersebut, diajukan hipotesis
sebagai berikut:
H3 : Persentase komite audit berpengaruh negatif terhadap Tax
Avoidance
2
Hubungan antara Kepemilikan Institusional dengan Tax
Avoidance
Beberapa peneliti terdahulu menyatakan bahwa besarnya
kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap tax
avoidance. Salah satunya adalah Fadhilah (2014) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa ada beberapa alasan mengapa
kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap tax
avoidance. Alasan yang pertama dikarenakan kepemilikan
institusional
merupakan
pemegang
saham
dari
luar
lingkungan perusahaan, sehingga mereka ikut serta dalam
pengawasan perusahaan. Namun, hal ini bisa saja tidak terjadi
karena pemilik saham institusional hanya mempercayakan
pengawasan dilakukan oleh komisaris perusahaan yang
memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap
perusahaan. Sehingga, ada atau tidak kepemilikan institusional tax
avoidance tetap saja bisa terjadi.
Alasan kedua ialah bahwa pemilik saham institusi memiliki
keinginan untuk memaksimalkan kesejahteraan mereka terutama
pada keuntungan atau laba yang akan mereka peroleh dari
perusahaan. Hal tersebut membuat pemilik saham institusi akan
mendukung apapun keputusan manajer yang akan menguntungkan
perusahaan termasuk aktivitas penghindaran pajak. Sehingga besar
kecil kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap tindakan
tax avoidance.
Dalam agency theory telah dijelaskan bahwa adanya
perbedaan kepentingan antara agen dan prinsipal menimbulkan
konflik antara pihak-pihak tersebut. Oleh karena itu perlu adanya
monitor dari pihak luar yang memiliki kepentingan yang berbeda.
Pihak luar yang dimaksud adalah pemilih saham institusional.
Pemilik saham institusional adalah pemilik saham dari institusi atau
lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, dan institusi lain.
Dengan adanya pemilik saham institusional akan meningkatkan
pengawasan yang lebih optimal, karena dianggap mampu
memonitor setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Dengan
tingginya tingkat kepemilikan institusional, maka semakin besar
tingkat pengawasan ke manajer, dan mengurangi peluang terjadinya
penghindaran pajak.
H4 : Proporsi kepemilikan institusional berpengaruh negatif
terhadap Tax Avoidance
Hubungan antara Kepemilikan Manajerial dengan Tax
Avoidance
Pemegang saham terbesar mempresentasikan kelompok yang
memegang kekuatan dalam voting di dalam Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), dan memiliki perusahaan, namun
tidak mengelola perusahaan. Semakin tinggi persentase seorang
pemegang saham menunjukkan pemegang saham memiliki
pengaruh yang lebih besar untuk menentukan kebijakan perusahaan
dan dapat memastikan kebijakan tersebut dapat menguntungkan
mereka (Timothy, 2010).
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa dengan
meningkatkan kepemilikan manjerial akan menyelaraskan atau
menyatukan kepentingan manajer dengan pemegang saham
sehingga mengurangi perilaku oportunistik. Manajer akan ikut
merasakan manfaat dari keputusan yang diambil dan ikut
menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan
keputusan yang salah (Jao, 2011). Semakin besar proporsi
kepemilikan oleh manajerial, dapat dikatakan bahwa konsentrasi
kepemilikan perusahaan tersebut kuat. Konsentrasi kepemilikan
yang kuat menandakan bahwa tata kelola perusahaan tersebut
semakin kuat sebab semakin besar kekuatan
pemilik untuk
mengontrol manajer dalam pengambilan keputusan. Pemegang
saham terbesar dapat digunakan secara optimal sebagai salah
satu mekanisme pengontrol masalah agensi serta meningkatkan
kinerja perusahaan (Timothy, 2010).
Motivasi para manajer untuk mendapatkan laba sebesarbesarnya menjadikan strategi pajak yang diambil agresif. Maka
dengan semakin besar kepemilikan manajerial dalam perusahaan,
penghindaran pajak perusahaan akan semakin rendah (Timothy,
2010). Peningkatan kepemilikan manajerial untuk mensejajarkan
kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga bertindak
sesuai dengan keinginan pemegang saham. Peningkatan persentase
kepemilikan tersebut dapat membuat manajer termotivasi untuk
menigkatkan kinerja dan bertanggung jawab meningkatkan
kemakmuran pemegang saham. Sebaliknya, jika persentase
kepemilikan manjerial kecil maka manager hanya terfokus pada
pengembangan kapasitas atau ukuran perusahaan. Berdasarkan
uraian diatas, diajukan hipotesis sebagai berikut:
H5 : Proporsi kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap
Tax Avoidance
III.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yaitu
data dalam bentuk angka-angka (Sugiyono, 2014). Sumber data
dalam penelitian ini adalah laporan keuangan yang diambil dari
website Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id).
Variabel Dependen dalam penelitian ini adalah penghindaran
pajak (tax avoidance). Penghindaran pajak dihitung dengan
mengurangkan laba sebelum pajak dan bunga dengan laba kena
pajak kemudian dibagi dengan total aset. Penggunaan variabel ini
seperti yang dilakukan oleh Darmawan dan Sukarta (2014),
Wibawa, Wilopo, dan Abdillah (2016), serta Pohan (2008).
Sedangkan variabel independen dalam penelitian ini adalah
corporate governance yang diukur dengan:
a. Dewan Direksi merupakan pengurus atau pengelola
perusahaan.
b. Komisaris Independen merupakan pengawas dalam
perusahaan sebagai kekuatan penyeimbang dalam
pengambilan keputusan oleh dewan komisaris.
c. Komite Audit merupakan pengawas perusahaan dalam
bidang penyusunan laporan keuangan.
d. Kepemilikan Institusional merupakan kepemilikan saham
suatu perusahaan oleh pihak institusi atau lembaga seperti
asuransi, bank, perusahaan investasi, dan kepemilikan
institusi lainnya.
e. Kepemilikan Manajerial merupakan tingkat kepemilikan
saham oleh pihak manajemen yang secara aktif terlibat
dalam pengambilan keputusan.
Alat ukur dari masing-masing variabel independen dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1
Alat Ukur Variabel Independen
Variabel
Independen
Dewan
Direksi
Komisaris
Independen
Komite
Audit
Kepemilikan
Institusional
Kepemilikan
Manajerial
Alat Ukur
LN (
Dewan Direksi
)
Dewan komisaris Independen
X 100
Anggota dewan komisaris
Komite audit diluar komisaris independen
X 10
Komite audit dalam perusahaan
Kepemilikan saham olehinstitusi
X 100
Modal saham perusahaan
Kepemilikan saham olehmanajemen
X 100
Modal saham perusahaan
Sumber: beberapa literature pendukung
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan pertambangan
yang listing di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2011 sampai
dengan tahun 2016. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian
3
ini adalah dengan menggunakan metode purposive sampling yaitu
penentuan sampel dari populasi yang ada berdasarkan kriteria yang
dikehendaki oleh peneliti. Kriteria yang dipakai sebagai sampel
dalam penelitian ini adalah:
a. Perusahaan-perusahaan yang ada sudah terdaftar di BEI
sebelum tanggal 01 Januari 2011 atau telah IPO sebelum
tanggal 01 Januari 2011.
b. Perusahaan tidak mengalami delisting dari BEI selama
periode 2011-2016.
c. Perusahaan menyajikan informasi mengenai jumlah
dewan direksi, dewan komisaris independen, komite
audit, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial,
dan perpajakan dalam laporan tahunan maupun laporan
keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen.
Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan metode analisis regresi data panel
dengan menggunakan E-Views. Adapun model regresi yang
digunakan adalah sebagai berikut:
Y=α+
β1 X1
+
β2 X 2 + β3 X 3
β5 X 5 + e
+
β4 X 4
+
Dimana:
Y
e
α
βx
X1
X2
X3
X4
X5
: Tax Avoidance (Penghindaran Pajak)
: Konstanta
: Koefisien Regresi
: Dewan Direksi
: Dewan Komisaris Independen
: Komite Audit
: Kepemilikan Institusional
: Kepemilikan Manajerial
: Error term
Beberapa keuntungan dalam menggunakan analisis regresi
data panel adalah:
a) Dapat memberikan peneliti jumlah pengamatan yang
besar, meningkatkan degree of freedom (derajat
kebebasan), data memiliki variabilitas yang besar dan
mengurangi kolinieritas antara variabel penjelas, di mana
dapat menghasilkan estimasi ekonometri yang efisien.
b) Panel data dapat memberikan informasi lebih banyak
yang tidak dapat diberikan hanya oleh data cross section
atau time series saja.
c) Panel data dapat memberikan penyelesaian yang lebih
baik dalam inferensi perubahan dinamis dibandingkan
data cross section.
Penentuan Model Estimasi
Menurut Widarjono tahun 2007, untuk mengestimasi parameter
model dengan data panel, terdapat tiga teknik yang sering
digunakan, yaitu:
a. Common Effect Model
Teknik ini mengkombinasikan data cross section dan time
series sebagai satu kesatuan tanpa melihat adanya
perbedaan waktu dan entitas (individu).
b. Fixed Effect Model
Pendekatan model Fixed Effect mengasumsikan bahwa
intersep (konstanta) dari setiap individu adalah beberapa
sedangkan slope (koefisien regresi) antar individu adalah
tetap (sama).
c. Random Effect Model
Pendekatan yang dipakai dalam Random Effect
mengasumsikan setiap perusahaan mempunyai perbedaan
intersep, yang mana intersep tersebut adalah variabel
random atau stokastik.
Pemilihan Model (Teknik Estimasi) Regresi Data Panel
Menurut Widarjono (2007), ada beberapa cara yang dapat
digunakan untuk memilih teknik estimasi data panel, yaitu:
a. Uji Chow
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah teknik
regresi data panel dengan metode Fixed Effect lebih baik
dari regresi model data panel dengan metode Common
Effect. Hipotesis nul pada uji ini adalah bahwa intersep
sama, atau dengan kata lain model yang tepat untuk
regresi data panel adalah Common Effect, dan hipotesis
alternatifnya adalah intersep tidak sama atau model yang
tepat untuk regresi data panel adalah Fixed Effect.
Cara untuk mengetahui apakah hipotesis nul yang
diterima atau ditolak dengan melihat nilai probability
pada Cross-section F dan Cross-section Chi-square. Jika
Cross-section F dan Cross-section Chi-square lebih kecil
dari nilai signifikansi 0.05, maka Ho ditolak dan Ha
diterima, yang artinya model yang tepat digunakan untuk
melakukan uji hipotesis adalah fixed effect model.
Sehingga harus dilakukan uji kedua yaitu uji hausman.
b. Uji Hausman
Hausman telah mengembangkan suatu uji untuk memilih
apakah metode Fixed Effect dan metode Random Effect
lebih baik dari metode Common Effect. Hipotesis nul
dalam penelitian ini adalah bahwa model yang tepat
untuk regresi data panel adalah model Random Effect dan
hipotesis alternatifnya adalah model yang tepat untuk
regresi data panel adalah model Fixed Effect.
Hasil dari uji Hausman dapat dilihat dengan
membandingkan nilai probability pada cross-section
random dan nilai signifikansi. Jika nilai cross-section
random lebih kecil dari nilai signifikansi 0.05, maka Ho
ditolak dan Ha diterima, yang artinya model yang tepat
digunakan adalah fixed effect model. Jika pada uji chow
dan uji hausman terpilih fixed effect model, maka tidak
diperlukan lagi uji Lagrange Multiplier. Langkah
selanjutnya bisa langsung ke pengujian goodness of fit,
uji t, dan uji F.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, penulis mengambil populasi perusahaan mining
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama tahun 20112016. Penelitian ini akan melihat pengaruh dari corporate
governance yang diwakili oleh jumlah dewan direksi, komisaris
independen, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial,
serta jumlah komite audit terhadap tax avoidance yang diukur
dengan book tax difference (BTD). Berdasarkan data dari website
Bursa Efek Indonesia (BEI) jumlah perusahaan yang terdaftar pada
sektor mining periode 2011-2016 berjumlah 41 perusahaan.
Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan metode
purposive sampling. Dari jumlah tersebut kemudian diseleksi sesuai
kriteria sehingga diperoleh 27 perusahaan sebagai sampel.
Statistik Deskriptif
Ringkasan statistik deskriptif dari variabel-variabel penelitian
tersebut disajikan pada tabel 2.
Tabel 2
Deskripsi Variabel Penelitian Tahun 2011-2016
BTD
D_DIR
D_KO
K_INS
M
Mean
0.08916
1.49972
0.37029
0.60042
8
6
0
3
Median
0.03272
1.60943
0.33333
0.65000
4
Maximu
m
Minimu
m
Std. Dev.
1
2.72750
1
2.87300
5
0.23230
1
BTD
8
2.30258
5
0.69314
7
0.36673
6
D_DIR
3
0.66666
7
0.00000
0
0.10948
5
D_KO
M
0
0.97000
0
0.00000
0
0.22211
9
K_INS
Sumber: Data Diolah Agustus 2017
Pada tabel diatas tax avoidance yang diukur dengan book tax
difference (BTD) pada perusahaan pertambangan memiliki nilai
rata-rata 0,089168 dan standar deviasi 0,232301. Standar deviasi
lebih besar daripada nilai rata-rata menunjukkan tingginya
simpangan variabel tax avoidance selama periode pengamatan.
Nilai rata-rata dewan direksi sebesar 1,499726 dan standar
deviasinya
0,366736.
Standar
deviasi
lebih rendah
dibandingkan nilai rata-rata. Hal ini menunjukkan bahwa
rendahnya simpangan variabel dewan direksi selama periode
pengamatan. Kondisi yang sama juga terlihat pada variabel
komisaris independen yang memiliki nilai rata-rata sebesar
0.370290 yang lebih besar dari standar deviasi 0.109485. Variabel
selanjutnya yaitu kepemilikan institusional memiliki nilai ratarata 0,600423 dan standar deviasi 0,222119. Variabel ini
memiliki simpangan yang rendah selama periode pangamatan.
Berbeda dengan kepemilikan manajerial yang memiliki nilai
simpangan data yang tinggi dengan nilai standar deviasi 0,148557
sedangkan nilai rata-rata 0,064494. Variabel kelima, komite audit
memiliki simpangan data yang rendah selama periode pengamatan.
Hal ini terlihat dari nilai standar deviasi yang rendah dari nilai ratarata, yaitu 0,193164 dan 0,613727.
Pengujian Hipotesis
Setelah terpilih model fixed effect, langkah selanjutnya adalah
melakukan pengujian hipotesis untuk melihat bagaimana pengaruh
corporate governance (dewan direksi, komisaris independen,
komite audit, kepemilikan institusional, dan kepemilikan
manajerial) terhadap tax avoidance (book tax differences). Uji
hipotesis ini berguna untuk memeriksa atau menguji apakah
koefisien regresi yang didapat signifikan. Maksud dari signifikan
ini adalah suatu nilai koefisien regresi yang secara statistik tidak
sama dengan nol. Jika koefisien slope sama dengan nol, berarti
dapat dikatakan bahwa tidak cukup bukti untuk menyatakan
variabel bebas mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat.
Hasil pengujian hipotesis dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3
Hasil Persamaan Regresi Data Panel
Dependent Variable: BTD Method: Panel
Leas t Squares Date: 09/19/17 Tim e: 07:55
Sam ple: 2011 2016
Periods included: 6
Cros s -s ections included: 27
Total panel (balanced) obs ervations : 162
Dependent Variable: BTD Method: Panel
Leas t Squares Date: 09/19/17 Tim e: 07:55
Sam ple: 2011 2016
Pemilihan Model Regresi Data Panel
Dalam regresi panel data terdapat tiga alternatif model yang dapat
digunakan (Baltagi, 2002; Gujarati, 2003; Maddala, 1993; Pindyck
dan Rubinfield,1998), yaitu:Common EffectModel (CE), Fixed
Effect Model (FE), dan Random Effect Model (RE).
a. Chow Test
Chow test digunakan untuk menguji model mana yang
cocok digunakan antara Common Effect Model (CE)
dengan Fixed Effect Model (FE). Hipotesis yang dibentuk
dalam chow test adalah sebagai berikut:
HO= Model Common Effect
Ha = Model Fixed Effect
Dari hasil uji Chow di dapat bahwa probabilitas
Cross-section F dan Cross-section Chi-square adalah
0.0000 atau kecil dari 0.05. Maka Ha diterima dan H O
ditolak yang artinya fixed effect adalah model yang paling
cocok untuk digunakan dalam melakukan uji hipotesis,
sehingga dapat dilakukan uji kedua yaitu uji hausman.
b.
Hausman Test
Hausman test digunakan untuk melihat model mana yang
cocok antara Random Effect Model dan Fixed Effect
Model. Hipotesis pada uji Hausman test adalah:
HO = Menggunakan Model Random Effect
Ha = Menggunakan Model Fixed Effect
Dari hasil hausman test di dapat bahwa probabilitas
Cross-section random adalah 0.0057 atau kecil dari 0.05.
Maka Ha diterima dan HO ditolak yang artinya fixed effect
adalah model yang paling cocok untuk digunakan dalam
melakukan uji hipotesis.
Variable
D_DIR
D_KOM
K_INS
K_MEN
K_AUD
C
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
0.003694
-1.167031
-0.037910
0.081353
0.214032
0.401924
0.095650
0.224189
0.213607
0.576742
0.138396
0.238197
0.038622
-5.205570
-0.177474
0.141057
1.546521
1.687361
0.9693
0.0000
0.8594
0.8880
0.1244
0.0939
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared
Adjusted Rsquared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.372765 Mean dependent var
0.223193
S.D. dependent var
0.204742 Akaike info criterion
5.449523 Schwarz criterion
44.88949 Hannan-Quinn criter.
2.492220 Durbin-Watson stat
0.000186
0.089168
0.232301
-0.159130
0.450766
0.088497
2.154675
Sumber: Data Diolah Agustus 2017
Berdasarkan tabel diatas telah diketahui koefisien untuk
masing-masing variabel, sehingga dari angka tersebut dapat
diperoleh persamaan sebagai berikut:
BTD = 0.413701 + 0.009746 X1 – 1.207497 X2– 0.049892 X3
+ 0.087955 X4 + 0.213501 X5
5
yang menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas yang
diembannya.
Pengaruh komisaris independen terhadap tindakan
meminimalkan pajak perusahaan dapat dijelaskan bahwa
semakin banyak jumlah komisaris independen maka
semakin baik pengawasan terhadap kinerja manajemen.
Pengawasan tersebut akan meminimalisir masalah agensi
yang timbul seperti sikap oportunistik manajemen
terhadap
bonus,
sehingga
manajemen
akan
meminimalkan pembayaran pajak untuk memaksimalkan
bonus yang diterimanya. Adanya pengawasan yang kuat
dari komisaris independen membuat manajemen berhatihati dalam mengambil keputusan di dalam perusahaan,
sehingga tindakan tax avoidance dapat diminimalkan.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang
pernah dilakukan oleh Hanum (2013), Marita, Puspa, dan
Rahmawati (2013), Winata (2014), Dewi dan Jati (2014),
Sari (2014), dan
Oktofian (2015) yang menyatakan
bahwa jumlah komisaris independen berpengaruh
terhadap tax avoidance. Namun, hasil penelitian ini
bertolak belakang dengan penelitian yang pernah
dilakukan oleh Annisa (2012), Fadhilah (2014),
Khoirunnisa (2015), Sabli & Noor (2012), dan Minnick
& Noga (2010) yang tidak menemukan adanya pengaruh
signifikan komisaris independen terhadap tax avoidance.
Hasil Pengujian Signifikansi Parsial (Uji t)
Hasil pengujian pengaruh corporate governance (dewan direksi,
komisaris independen, komite audit, kepemilikan institusional,
kepemilikan manajerial) terhadap tax avoidance (book tax
differences) selama periode 2011-2016 adalah sebagai berikut:
a. Pengaruh Dewan Direksi terhadap Tax Avoidance
Berdasarkan output pengolahan data statistik, nilai
probabilitas variabel jumlah dewan direksi 0,9693 lebih
besar dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah
dewan direksi tidak berpengaruh signifikan terhadap
penghindaran pajak. Hasil pengujian yang tidak
signifikan ini disebabkan karena perusahaan atau dalam
hal ini pihak manajemen lebih mempertimbangkan faktor
- faktor yang terkait dengan sanksi administrasi
maupun
sanksi
pidana dalam perpajakan untuk
memutuskan melakukan penghindaran pajak. Atau
dengan kata lain, perusahaan lebih memikirkan dampak
yang akan ditanggung ketika melakukan tindakan
penghindaran pajak. Dampak yang akan ditanggung
seperti sanksi atau penalti dari fiskus pajak, turunnya
harga saham perusahaan, serta rusaknya reputasi
perusahaan akibat audit dari fiskus pajak.
Seperti yang dinyatakan oleh Andres (2002) dalam
Jaya (2013) bahwa faktor yang mempengaruhi wajib
pajak (perusahaan) melakukan penghindaran pajak yaitu
perasaan cemas atau takut akan ancaman sanksi pidana
jika tindakan penghindaran pajak yang dilakukan
terdeteksi oleh petugas pajak. Sebelum memutuskan
untuk melakukan penghindaran pajak perusahaan
membuat suatu perencanaan pajak, dimana jika
perencanaan pajak ini tidak dilakukan dengan benar atau
tidak hati-hati, justru akan membuat perusahaan
terjerumus ke dalam masalah hukum. Hal inilah yang
lebih mempengaruhi keputusan pihak manajemen
sebelum memutuskan melakukan penghindaran pajak.
Banyak atau sedikitnya jumlah dewan direksi dalam
suatu perusahaan bukanlah menjadi faktor yang
mempengaruhi
perusahaan
dalam melakukan
penghindaran pajak.
b.
Pengaruh Komisaris Independen terhadap Tax Avoidance
Berdasarkan hasil pengujian stastistik variabel komisaris
independen memiliki nilai probabilitas 0,0000 (p <
0,05), artinya komisaris independen memiliki
pengaruh signifikan terhadap BTD. Sedangkan nilai
koefisien bertanda negatif dengan nilai -1,167031,
artinya pengaruh dewan komisaris independen
berbanding terbalik dengan BTD, dengan demikian
H2 diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
secara parsial persentase komisaris independen
berpengaruh secara signifikan terhadap tax avoidance
yang diwakilkan oleh BTD.
Komisaris independen dapat berperan secara
efektif melalui komite audit untuk melakukan deteksi
dini (early warning) adanya potensi penyimpangan
ataupun kecurangan (fraud) di perusahaan publik karena
komisaris independen biasanya juga berperan sebagai
ketua komite audit. Komisaris independen dapat
mengambil langkah-langkah pencegahan kecurangan
atau usulan perbaikan sistem, tentu saja tetap dalam
kerangka sebagai komisaris. Melalui peran tersebut,
komisaris independen telah berfungsi efektif dalam
melindungi perusahaan publik dari risiko sekaligus
melindunginya dari potensi tuntutan hukum. Kapabilitas
komisaris independen dalam memberdayakan komite
audit yang dipimpinnya merupakan faktor kunci sukses
c.
Pengaruh Komite Audit terhadap Tax Avoidance
Berdasarkan hasil pengujian statistik variabel
komite audit memiliki nilai probabilitas 0,1244 (p <
0,05). Hal ini menunjukkan komite audit tidak memiliki
pengaruh signifikan terhadap BTD. Dengan demikian H5
ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara
parsial jumlah komite audit tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap tax avoidance yang diwakilkan oleh
BTD.
Komite audit memegang peranan yang cukup
penting dalam mewujudkan good corporate governance
(GCG) karena merupakan “mata” dan “telinga” dewan
komisaris dalam rangka mengawasi jalannya perusahaan.
Bursa Efek Indonesia (BEI) mensyaratkan bahwa emiten
harus memiliki komite audit paling sedikit tiga orang.
Jumlah komite audit yang sedikit akan memberikan
peluang kepada manajemen dalam melakukan
minimalisasi laba untuk kepentingan pajak (Pohan,
2008). Sriwedari (2009) juga menyatakan dalam
penelitiannya bahwa keberadaan komite audit
berfungsi untuk meningkatkan integritas dan kredibilitas
pelaporan keuangan agar dapat berjalan dengan baik.
Namun, pada penelitian ini jumlah komite audit tidak
berpengaruh untuk mengurangi tindakan penghindaran
pajak yang dilakukan manajemen. Hal ini menunjukkan
bahwa kinerja komite audit tidak berjalan dengan baik
meskipun jumlah komite audit telah sesuai dengan
ketentuan BEI.
Ada beberapa alasan mengapa jumlah komite audit
perusahaan belum mampu mengurangi tindakan
penghindaran pajak. Sommer (1991) dalam Effendy
(2016) berpandangan bahwa komite audit di banyak
perusahaan masih belum melakukan pengawasan dengan
baik. Menurut Sommer banyak komite audit yang hanya
sekedar melakukan tugas-tugas rutin seperti penelaahan
laporan dan seleksi auditor eksternal. Mereka tidak
mempertanyakan secara kritis ataupun menganalisis
secara mendalam kondisi pengendalian pelaksanaan
tanggung jawab oleh manajemen. Penyebabnya diduga
bukan hanya karena kurangnya kompetensi dan
independensi yang memadai, melainkan juga karena
6
banyak dari mereka yang belum memahami peran
utamanya.
Kalbers dan Fogarty (1993) dalam Effendy (2016)
telah melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi efektivitas kinerja komite audit. Hasil
penelitian mereka antara lain mengungkapkan bahwa
terdapat tiga faktor dominan yang berpengaruh terhadap
keberhasilan komite audit dalam mengemban tugasnya.
Ketiga faktor tersebut ialah kewenangan formal dan
tertulis dari komite audit, kerja sama manajemen, dan
kualitas (kompetensi) anggota komite audit. Selain itu,
efektivitas komite audit juga dipengaruhi oleh pola
hubungan
(relationship)
dan tingkat intensitas
komunikasi antara komite audit dengan berbagai pihak.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Annisa (2012), Dewi
dan Jati (2014), Fadhilah (2014), dan Oktofian (2015)
yang menyatakan bahwa persentase jumlah komite audit
berpengaruh terhadap tax avoidance. Namun, penelitian
ini tidak mendukung penelitian yang dilakukan oleh
Hanum (2013), dan Marita, dkk (2013).
d.
e.
Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Tax
Avoidance
Hasil pengujian hipotesis keempat yakni
proporsi kepemilikan institusional menunjukkan nilai
probabilitas 0,8594 (p > 0,05) dan koefisien sebesar
-0,037910 dengan arah negatif. Artinya, variabel
kepemilikan institusional tidak memiliki pengaruh
terhadap tax avoidance, dengan demikian H4 ditolak.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Oktofian (2015), Fadhilah
(2014) dan Winata (2014). Menurut Fadhilah (2014)
terdapat beberapa hal yang diduga menjadi alasan
mengapa kepemilikan isntitusional tidak berpengaruh
terhadap tax avoidance. Pertama, kepemilikan
institusional merupakan kepemilikan saham oleh institusi
di luar perusahaan, di mana diharapkan pemilik
institusional ini turut melakukan pengawasan
terhadap
operasional perusahaan. Namun, bisa saja
pemilik institusional tidak turut melakukan pengawasan,
karena mereka telah mempercayai dewan komisaris
dalam hal pengawasan keputusan manajemen. Sehingga
ada atau tidaknya kepemilikan institusional tetap saja tax
avoidance terjadi. Alasan kedua adalah karena pemilik
institusional kurang peduli dengan citra perusahaan.
Sehingga apapun keputusan manajemen asalkan hal itu
bisa memaksimalkan kesejahteraan mereka maka akan
didukung. Meskipun keputusan tersebut adalah
melakukan tax avoidance.
Hasil penelitian ini gagal mendukung penelitian
Marita, Puspa, dan Rahmawati (2013) dan Mahulae, dkk
(2015) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh
positif antara kepemilikan institusional terhadap tax
avoidance.
Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Tax
Avoidance
Hasil
uji
statistik
menunjukkan
hasil
probabilitas kepemilikan manajerial sebesar 0,8880 (p
> 0,05). Artinya, variabel kepemilikan manajerial tidak
berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa H3 ditolak.
Pemegang saham terbesar adalah kelompok yang
memegang kekuatan dalam voting Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), namun tidak ikut serta dalam
pengelolaan perusahaan. Semakin tinggi proporsi
pemegang saham menunjukkan bahwa pemegang saham
memiliki pengaruh yang lebih besar untuk menentukan
kebijakan perusahaan. Apabila proporsi kepemilikan
saham oleh manajerial besar, tentu hal ini membuat
manajer bertindak sebagai pemilik sekaligus pengelola
perusahaan. Hal ini membuat manajer juga memiliki
motivasi untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya.
Manajer juga akan mempertimbangkan kelangsungan
usahanya sehingga tidak menghendaki usahanya
diperiksa terkait masalah perpajakan.
Maka dengan
semakin besar proporsi kepemilikan manajerial,
penghindaran pajak perusahaan akan semakin rendah.
Akan tetapi, pada penelitian ini ditemukan hasil
yang bertolak belakang, dimana proporsi kepemilikan
manajerial tidak berpengaruh terhadap tindakan
penghindaran pajak. Hal ini disebabkan karena
kepemilikan saham oleh pihak manajerial jauh lebih
kecil dibanding dengan kepemilikan oleh pihak
institusional. Hal tersebut memungkinkan kepemilikan
manajerial tidak memiliki andil dan wewenang yang
cukup besar dalam pengambilan keputusan perusahaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, kepemilikan
manajerial tidak berpengaruh terhadap tax avoidance
pada perusahaan pertambangan yang menjadi sampel
pada penelitian ini (Mahulae, Pratomo, dan Nurbaiti,
2015).
Hasil Pengujian Signifikansi Simultan (Uji F)
Hasil pengujian hipotesis secara simultan dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4
Uji Hipotesis Secara Simultan
Dependent Variable: Book Tax Differences
Method: Panel Least Squares
Date: 09/03/17 Time: 12:41
Sample: 2011 2016
Periods included: 6
Cross-sections included: 27
Total panel (balanced) observations: 162
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.372765
0.223193
0.204742
5.449523
44.88949
2.492220
0.000186
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
0.089168
0.232301
-0.159130
0.450766
0.088497
2.154675
Sumber: Data Diolah Agustus 2017
Hasil uji F yang dilakukan menunjukkan nilai probabilitas sebesar
0,000186 (p < 0,05). Artinya secara simultan corporate governance
yang diwakilkan oleh variabel dewan direksi, dewan komisaris,
kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dan komite audit
mempunyai nilai yang signifikan dalam mempengaruhi tax
avoidance yang diwakilkan oleh book tax difference (BTD).
V.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat
diambil kesimpulan:
1.
Jumlah dewan direksi tidak berpengaruh terhadap tax
avoidance yang diwakilkan oleh book tax difference. Hal
ini dikarenakan perusahaan atau dalam hal ini pihak
manajemen lebih mempertimbangkan faktor - faktor
7
2.
3.
4.
5.
terkait dengan sanksi administrasi maupun pidana
perpajakan untuk kemudian memutuskan untuk
melakukan penghindaran pajak. Selain itu, direksi
biasanya cenderung mendukung segala tindakan
manajemen selama hal tersebut menguntungkan
perusahaan, termasuk dalam tindakan penghindaran
pajak.
Persentase jumlah dewan komisaris independen
berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance yang
diwakilkan oleh book tax difference. Semakin banyak
jumlah komisaris independen maka akan semakin kuat
pengawasan yang dilakukan. Adanya pengawasan
yang
kuat
dari komisaris independen membuat
manajemen berhati-hati dalam mengambil keputusan di
dalam perusahaan, sehingga tindakan tax avoidance dapat
diminimalkan.
Persentase jumlah komite audit tidak berpengaruh
signifikan terhadap tax avoidance yang diwakilkan oleh
book tax difference. Sommer (1991) dalam Effendy
(2016) berpandangan bahwa komite audit di banyak
perusahaan masih belum melakukan pengawasan dengan
baik. Menurut Sommer banyak komite audit yang hanya
sekedar melakukan tugas-tugas rutin seperti penelaahan
laporan dan seleksi auditor eksternal. Mereka tidak
mempertanyakan secara kritis ataupun menganalisis
secara mendalam kondisi pengendalian pelaksanaan
tanggung jawab oleh manajemen.
Proporsi kepemilikan institusional tidak berpengaruh
signifikan terhadap tax avoidance yang diwakilkan
oleh book tax difference. Hal ini disebabkan pemilik
institusional tidak turut melakukan pengawasan, karena
mereka telah mempercayai dewan komisaris dalam hal
pengawasan keputusan manajemen. Sehingga ada atau
tidaknya kepemilikan institusional tetap saja tax
avoidance terjadi.
Proporsi kepemilikan manajerial tidak berpengaruh
signifikan terhadap tax avoidance yang diwakilkan oleh
book tax difference. Hal ini disebabkan karena
kepemilikan saham oleh pihak manajerial pada
perusahaan pertambangan jauh lebih kecil dibanding
dengan kepemilikan oleh pihak institusional. Hal tersebut
memungkinkan kepemilikan manajerial tidak memiliki
andil dan wewenang yang cukup besar dalam
pengambilan keputusan perusahaan.
Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan setelah melakukan analisa
dari penelitian ini adalah:
1. Untuk
penelitian
selanjutnya,
sebaiknya
mempertimbangkan
untuk mengembangkan dengan
menambah variabel atau menggunakan variabel lain yang
diduga mempengaruhi tax avoidance diluar variabel yang
digunakan dalam penelitian ini.
2. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk
mempertimbangkan dan menambah rentang waktu
penelitian minimal 7 tahun untuk dapat benar- benar
melihat perilaku perusahaan terkait tingkat penghindaran
pajak yang dilakukan
3. Populasi atau sampel dalam penelitian mungkin bisa
diperluas mencakup industri lainnya selain sektor mining.
Rentang waktu yang lebih panjang dan perluasan sektor
untuk pengambilan sampel dapat memperlihatkan
perubahan yang cukup signifikan terkait reformasi
perpajakan terhadap tingkat penghindaran pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Aini, Nur Nike. dan Cahyonowati, Nur. (2011). Pengaruh
karakteristik good corporate governance terhadap
pengungkapan corporate social responsibility
(Studi
empiris pada perusahaan non keuangan yang
terdaftar
di
Bursa
Efek Indonesia). Skripsi.
Universitas Diponegoro Semarang.
Ahniar, Nur Farida. (2017). Belajar dari Karut Marut Tata Kelola
Tambang Batu Bara. Ditelusuri 20 Agustus 2017.
http://katadata.co.id/berita/2017/07/20/belajar-dari-carutmarut-tata-kelola- tambang-batu-bara
Alim, S. (2009). Manajemen laba dengan motivasi pajak pada
badan usaha manufaktur di Indonesia. Jurnal Keuangan
dan Perbankan, 13(3), 444.-461
Annisa, Nuralifmida Ayu. (2012). Pengaruh corporate governance
terhadap tax avoidance. Jurnal Akuntansi dan Auditing,
Vol. 8, No. 2, hal:123-136.
Arif, dan Bambang. (2007). Mekanisme corporate governance,
manajemen laba dan kinerja keuangan (studi pada
perusahaan go public sektor manufaktur). Simposium
Nasional Akuntansi X.
Badertscher, B., Philips, J., Pincus, M., Rego, S.
(2009).Earning management strategies and trade-off
between tax benefits and detection risk: To conform or
not to conform? The Accounting Review 84(1), 63-97.
Baltagi, B. H. 2005. Econometrics Analysis of Panel Data
(3rd ed). Chicester, England: John Wiley & Sons Ltd.
Bernard,
Sinaga. 2011. Pengaruh Karakteristik corporate
governance, kompensasi terhadap Manajemen Pajak.
Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 11, No. 1, Mei
2009: 30-41.
Budiman, Judi dan Setiyono. (2012). Pengaruh karakter eksekutif
pada penghindaran pajak (tax avoidance). Universitas
Islam Sultan Agung, Semarang.
Boediono, Gidoen SB. (2005, September). Kualitas laba: studi
pengaruh mekanisme corporate governance dan dampak
manajemen laba dengan menggunakan analisis jalur.
Dipresentasikan pada SNA VIII, Solo.
Brotodihardjo, R. Santoso. (1993). Pengantar Ilmu Hukum
Pajak. 3rd Edition. Bandung : PT Eresco.
Crocker, Keith J., Slemrod, Joel. (2003). Corporate tax evasion
with agency costs. Ross School of Business Working
Paper Series No. 917.
Dewi, Ni Nyoman Kristiana dan Jati, I Ketut. (2014). Pengaruh
karakter eksekutif, karakteristik perusahaan, dan dimensi
tata kelola perusahaan yang baik pada tax avoidance di
bursa efek Indonesia. Skripsi. Fakultas Ekonomi
Universitas Udayana, Bali.
Desai, M.A., Dharmapala, D. (2004). Corporate tax avoidance
and high-powered incentives. Journal of Financial
Economics, 79, 145-179.
Dyreng, Scott. Et. al. (2010). The effects of executives on corporate
tax avoidance. Social Science Research Network.
8
Effendy, Muh. Arief. (2016). The Power of Good Corporate
Governance (edisi ke-2). Jakarta: Salemba Empat.
Fadhillah,
Rahmi.
(2014).
Pengaruh
good
corporate
governance terhadap tax avoidance (Studi empiris pada
perusahaan manufatur yang terdaftar di BEI 2009-2011).
Jurnal Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang.
FCGI.
(2006).
Good
corporate
governance.
http://www.fcgi.or.id Diakses 30 Juni 2017.
Hanum,
HR, dan Zulaikha. (2013). Pengaruh karakteristik
corporate governance terhadap effective tax rate (studi
empiris pada bumn yang terdaftar di BEI 2009-2011).
Diponegoro Journal of Accounting, Vol. 2, 1-10.
Haruman, Tendi. (2008). Pengaruh Struktur Kepemilikan terhadap
Keputusan Keuangan Dana Nilai Perusahaan. Pontianak:
Simposium Nasional Akuntansi XI.
Irawan, Hendra P. (2012). Pengaruh kompensasi manajemen
dan corporate governance terhadap manajemen pajak
perusahaan. Skripsi. Universitas Indonesia.
Jao,
Robert.
(2011).
Corporate
Governance,
Ukuran
Perusahaan, dan Leverage terhadap Manajemen Laba
Perusahaan Manufaktur Indonesia. Jurnal Akuntansi dan
Auditing, Vol. 8 No.1.
Jaya, Tresno Eka, M. Yasser Arafat, dan Dinda Kartika. 2013.
Corporate Governance, Konservasisme Akuntansi, dan
Tax Avoidance. Prosiding Simposium Nasional
Perpajakan 4. Fakultas Ekonomi Universitas Negeri
Jakarta.
Jensen, Michael C., & Meckling, William H. (1976). Theory of the
Firm: Managerial Behavior, Agency Cost and Ownership
Structure. Journal of Financial Economics, V.3(No. 4),
pp. 305-360.
Kementerian
Keuangan
Indonesia.
www.kemenkeu.go.id/apbn2016. Ditelusuri 7 Mei 2017.
Komite Nasional Kebijakan Governance. (2006). “Pedoman Umum
Good Corporate Governance di Indonesia 2006.”
Khoirunnsia. (2015). Pengaruh corporate governance terhadap tax
avoidance pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia. Skripsi. Universitas Lampung,
Bandar Lampung, Indonesia.
Kurniasih, Tommy dan Maria M. Ratna Sari. (2013). Pengaruh
Return on Assets, Leverage, Corporate Governance,
Ukuran Perusahaan dan Kompensasi Rugi Fiskal pada
Tax Avoidance. Buletin Studi Ekonomi, Vol. 18 No.1.
Mahulae, Endang Endari, Dudi Pratomo, dan Annisa Nurbaiti.
2015. Pengaruh Kepemilikan Institusional, Kepemilikan
Manajerial, dan Komite Audit Terhadap Tax Avoidance.
(Studi of Otomotif Companies Listed in Indonesian Stock
Exchange 2010-2014). Jurnal. Prodi S1 Akuntansi,
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Telkom.
Mangel, Robert dan Singh, Harbir. (1993). Ownership structure,
board relationships and CEO Compensation in Large US
Corporations. Accounting and Business Research, Vol.
23, No. 91A, h: 339-350.
Mangoting, Yenni. (1999). Tax Planning: sebuah pengantar sebagai
alternatif meminimalkan pajak. Jurnal Akuntansi dan
Keuangan Vol. 1(1), h: 43-53.
Mardiasmo. (2011). Perpajakan. Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi.
Marita, Cherli, Puspa, Dwi Fitri dan Rahmawati, Novia.
(2013).
Pengaruh karakteristik corporate governance
terhadap effective tax rate (studi empiris pada peru
AVOIDANCE (STUDI EMPIRIS PADA PERUSAHAAN
PERTAMBANGAN YANG LISTING DI BURSA EFEK INDONESIA
TAHUN 2011-2016)
Eliyanora1, Josephine Sudiman2, Nissa Erlina3
1
Accounting Department, Politeknik Negeri Padang, Kampus Limau Manis, Padang, Indonesia
E-mail:[email protected]
2
Accounting Department, Politeknik Negeri Padang, Kampus Limau Manis, Padang, Indonesia
E-mail:[email protected]
3
Accounting Department, Politeknik Negeri Padang, Kampus Limau Manis, Padang, Indonesia
E-mail:[email protected]
Abstract− This study aims to examine the effect of of corporate governance consisting of boards of directors, independent
commissioners, audit committees, institutional ownership, managerial ownership of tax avoidance. The
population used in this study is mining company listed on the Indonesia Stock Exchange during 2011-2016. While
data used in this research is secondary data and sample selection by using purposive sampling method. There
are 162 samples in mining company that meet the criteria as the research sample. The method of analysis used
to test the hypothesis in this study using panel data regression analysis using E-Views. The result showed that
only independent commissioner variables had positive effect on tax avoidance. Meanwhile the others variables
have no effect on tax avoidance.
Keywords− corporate governance, boards of directors, independent commissioners, audit committees,
institutional ownership, managerial ownership, tax avoidance, book tax differences.
I.
PENDAHULUAN
Pajak merupakan salah satu sumber potensial dalam penerimaan
negara. Penerimaan dari sektor pajak menempati persentase
paling tinggi dibandingkan sumber penerimaan lainnya di
Indonesia. Sebagian besar pembiayaan belanja negara berasal dari
penerimaan pajak. Berdasarkan data tahun 2016 yang diperoleh
dari website Kementerian Keuangan, penerimaan negara dari sektor
pajak adalah 74,6%, penerimaan negara bukan pajak 15%,
penerimaan dari kepabeanan dan cukai 10,2%, serta penerimaan
dari hibah 0,1%. Peranan pajak yang dominan sebagai penerimaan
negara membuat pemerintah berusaha untuk mengoptimalkan
penerimaan pajak. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah
untuk mengoptimalkan penerimaan pajak ialah melakukan revisi
Undang- Undang perpajakan, serta beberapa waktu lalu juga
membuat program Tax Amnesty atau pengampunan pajak bagi
seluruh wajib pajak yang belum melaporkan seluruh kekayaannya
serta belum memenuhi kewajiban perpajakannya. Meskipun
begitu, usaha pemerintah tersebut masih belum tercapai dengan
maksimal. Hal ini disebabkan adanya praktik penghindaran pajak
(tax avoidance) yang dilakukan oleh wajib pajak.
Tax avoidance merupakan suatu strategi pajak yang
digunakan oleh perusahaan untuk meminimalkan beban pajak
dengan memanfaatkan celah dalam kebijakan perpajakan. Adanya
pertentangan antara tujuan pemerintah dan tujuan perusahaan
menyebabkan praktik tax avoidance ini dilakukan oleh perusahaan.
Pemerintah memiliki tujuan untuk memaksimalkan penerimaan
pajak sehingga pemerintah mengharapkan masyarakat taat pajak.
Sikap taat pajak ini artinya wajib pajak membayar serta melaporkan
pajak berdasarkan kondisi yang sesungguhnya. Berbeda dengan
pemerintah, perusahaan memiliki tujuan untuk memaksimalkan
laba agar meningkatkan nilai perusahaan di mata investor. Dengan
tujuan tersebut, perusahaan akan berusaha meminimalisir bebanbeban usaha termasuk beban pajak. Perbedaan tujuan tersebut
menyebabkan perusahaan berusaha untuk membayar pajak
seminimal mungkin dengan memanfaatkan celah dalam peraturan
perpajakan untuk melakukan penghindaran pajak (tax avoidance).
Berdasarkan kecenderungan perusahaan untuk melakukan
penghindaran pajak, maka diperlukan pengawasan terhadap praktik
penghindaran pajak agar cara yang dilakukan tidak bertentangan
dengan undang-undang yang berlaku. Pembentukan tata kelola
perusahaan yang baik (good corporate governance) dapat
membantu mengawasi kinerja manajemen perusahaan, termasuk
dalam hal perpajakan. GCG ialah mekanisme pengaturan dan
pengendalian perusahaan melalui hubungan antara pemegang
saham, pengurus perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan
dan para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya.
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)
mekanisme GCG meliputi kepemilikan institusional, proporsi
dewan komisaris independen, komite audit dan kualitas audit.
Menurut OECD (Organization for Economic Cooperation and
Development) corporate governance sendiri merupakan suatu
sistem untuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.
Dapat dikatakan bahwa corporate governance dan tindakan
penghindaran pajak memiliki hubungan, karena perusahaan
merupakan wajib pajak dan aturan dalam struktur corporate
governance mempengaruhi cara sebuah perusahaan memenuhi
kewajiban pajaknya, tetapi di sisi lain tindakan penghindaran pajak
juga tergantung pada dinamika corporate governance dalam suatu
perusahaan. Prinsip-prinsip dalam GCG
yaitu
kewajaran,
akuntabilitas, transparansi, kemandirian dan responsibilitas
menjadi penting karena penerapan prinsip GCG secara
konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan
(Annisa dan Kurniasih, 2012).
Realita yang mendukung maraknya tindakan penghindaran
pajak dapat dilihat pada beberapa kasus perusahaan pertambangan
seperti PT Bumi Resources Tbk, PT Kaltim Prima Coal, dan PT
Arutmin Indonesia yang diduga oleh Ditjen Pajak melakukan
1
manipulasi pajak pada tahun 2007 sebesar Rp2,1 triliun. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut piutang sektor
pertambangan di Indonesia mencapai Rp2,8 triliun. Piutang
tersebut berasal dari iuran tetap, royalti, jaminan reklamasi, dan
pajak yang belum dibayarkan perusahaan pada negara. Sektor
pertambangan juga berada di peringkat dua penyumbang suap
tertinggi, setelah sektor konstruksi yang menempati peringkat
pertama (VIVA, 2016).
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis bermaksud untuk
menganalisis pengaruh corporate governance yang diwakilkan
oleh jumlah dewan direksi, persentase jumlah dewan komisaris
independen, persentase jumlah komite audit, proporsi kepemilikan
institusional, dan proporsi kepemilikan manajerial terhadap tax
avoidance. Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu
karena sampel yang digunakan adalah perusahaan sektor
pertambangan (mining) yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
selama periode 2011 – 2016.
II. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
Hubungan antara Jumlah Dewan Direksi dengan Tax
Avoidance
Beberapa penelitian terdahulu telah melakukan uji terhadap
hubungan dewan direksi dengan tax avoidance. Seperti yang
dilakukan Khoirunnisa (2015) mengemukakan bahwa tidak terdapat
pengaruh antara dewan direksi dengan tax avoidance. Hal ini
dikarenakan dewan direksi dalam urutan manajemen merupakan
tingkatan tertinggi setelah pemegang saham. Dewan direksi
memegang peranan sentral dalam corporate governance karena
hukum perseroan memusatkan tanggung jawab legal atas urusan
perusahaan pada dewan direksi. Fungsi direksi adalah sebagai
wakil dewan komisaris untuk melakukan pengelolaan perusahaan
dalam rangka menjalankan tata kelola perusahaan yang baik. Hasil
penelitian yang tidak berpengaruh menyimpulkan adanya
manipulasi dalam menyajikan laporan keuangan untuk kepentingan
perpajakan tidak dipengaruhi oleh dewan direksi.
Jika kita lihat kembali mengenai agency theory, dan pedoman
umum good corporate governance Indonesia menurut KNKG
(2006) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka secara
otomatis hal ini akan bertolak belakang dengan penelitian
sebelumnya, karena variabel dewan direksi dianggap akan menekan
laju penghindaran pajak yang disebabkan semakin baiknya
pengawasan
yang
dilakukan
oleh dewan direksi maka
kemungkinan terjadinya penyelewengan yang dilakukan pihak
manajemen pun akan semakin kecil, karena dewan direksi
mempunyai wewenang untuk memberikan kebijakan-kebijakan
yang harus dijalankan oleh pihak manajemen sebagai pengelola
perusahaan, dan biasanya manajemen akan melakukan tindakantindakan yang bisa menjadi sebuah kecurangan baik itu demi
kepentingan perusahaan ataupun semata-mata hanya untuk
kepentingan pribadi seperti motivasi atas bonus dan reward yang
diperoleh dari hasil kinerja yang dianggap baik.
Berdasarkan teori tersebut dapat dikatakan bahwa semakin
tinggi pengawasan dari dewan direksi maka akan semakin rendah
penghindaran pajak yang dilakukan oleh pihak manajemen
perusahaan. Dengan demikian maka diajukan hipotesis sebagai
berikut:
H1 : Jumlah dewan direksi berpengaruh negatif terhadap tax
avoidance
Hubungan antara Persentase Dewan
Independen terhadap Tax Avoidance
Komisaris
Komisaris independen merupakan bagian yang tidak terafiliasi
dalam segala hal dengan pemegang saham dengan direksi atau
dewan komisaris dan tidak menjabat direktur perusahaan (Pohan,
2008). Pedoman good corporate governance tahun 2006
menjelaskan bahwa struktur dewan komisaris terdiri dari komisaris
yang tidak berasal dari pihak terafiliasi yang disebut dengan
komisaris independen dan komisaris yang berasal dari pihak
terafiliasi.
Mangel dan Singh (1993) menjelaskan bila komisaris
independen merupakan mekanisme pemeriksa dan penyeimbang
dalam meningkatkan efektivitas dewan komisaris. Perusahaan yang
memiliki komposisi anggota komisaris independen yang lebih besar
dapat mempengaruhi kinerja perusahaan (Raharjo, 2014).
Kehadiran komisaris independen dapat meningkatkan pengawasan
kinerja direksi. Semakin banyak jumlah komisaris independen
maka pengawasan terhadap manajemen akan semakin ketat.
Manajemen kadang kala bersifat oportunistik dimana mereka
memiliki motif untuk memaksimalkan laba agar meningkatkan
bonus yang diterima dengan cara mengurangi biaya-biaya termasuk
pajak yang harus dibayarkan. Diharapkan dengan semakin besar
proporsi dewan komisaris independen dapat meningkatkan
pengawasan sehingga dapat mencegah tindakan tax avoidance oleh
manajemen perusahaan.Berdasarkan latar pemikiran yang telah
dijelaskan sebelumnya, maka diajukan hipotesis sebagai berikut:
H2 : Persentase dewan komisaris independen berpengaruh negatif
terhadap Tax Avoidance
Hubungan antara Komite Audit dengan Tax Avoidance
Komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris
perusahaan, yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh
dewan komisaris serta memiliki tugas untuk
membantu
melakukan pemeriksaan atau penelitian yang dianggap perlu
terhadap pelaksanaan fungsi direksi dalam pengelolaan perusahaan
(Winata, 2014). Komite audit merupakan komponen penting yang
harus ada dalam struktur corporate governance pada perusahaan
publik. Oleh karena itu, Bursa Efek Indonesia mengharuskan setiap
emiten membentuk dan memiliki komite audit yang diketuai oleh
komisaris independen.
Penelitian yang dilakukan Fadhilah (2014) menemukan
bahwa komite audit berpengaruh terhadap tax avoidance
perusahaan. Hasil yang sama juga diperoleh oleh Sriwedari (2009)
yang menyatakan bahwa keberadaan komite audit memiliki fungsi
untuk meningkatkan integritas dan kredibilitas pelaporan
keuangan agar dapat berjalan dengan baik. Beberapa alasan
komite audit perusahaan berpengaruh terhadap tax avoidance
yaitu: pertama, jika jumlah komite audit yang dimiliki perusahaan
sedikit, maka akan meningkatkan peluang manajemen dalam
melakukan penghindaran pajak. Begitu juga sebaliknya, jika jumlah
komite audit banyak tentu pengawasan yang dilakukan semakin
ketat, sehingga menajamen tidak memiliki peluang untuk
melakukan tindakan penghindaran pajak. Kedua, perusahaan yang
memiliki komite audit yang sedikit atau kurang dari yang
ditetapkan BEI akan mempengaruhi integritas dan kredibilitas
keuangan perusahaan.
Sriwerdari (2009) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa
komite audit memiliki hubungan negatif dengan tax avoidance.
Komite audit berfungsi sebagai jembatan penghubung antara
perusahaan dengan auditor eksternal. Komite audit juga berfungsi
memberikan pandangan mengenai masalah-masalah yang
berhubungan dengan kebijakan keuangan, akuntansi, dan
pengendalian intern. Dengan demikian, adanya komite audit dapat
memperkuat pengawasan terhadap tindakan pengukuran atau
pengungkapan akuntansi yang tidak tepat sehingga akan
mengurangi tindakan kecurangan oleh manajamen, termasuk dalam
tindakan manajemen pajak (Annisa, 2012). Keberadaan komite
audit diharapkan dapat meningkatkan pengawasan internal yang
pada akhirnya akan mengurangi tindakan tax avoidance oleh
manajemen. Berdasarkan pemaparan tersebut, diajukan hipotesis
sebagai berikut:
H3 : Persentase komite audit berpengaruh negatif terhadap Tax
Avoidance
2
Hubungan antara Kepemilikan Institusional dengan Tax
Avoidance
Beberapa peneliti terdahulu menyatakan bahwa besarnya
kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap tax
avoidance. Salah satunya adalah Fadhilah (2014) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa ada beberapa alasan mengapa
kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap tax
avoidance. Alasan yang pertama dikarenakan kepemilikan
institusional
merupakan
pemegang
saham
dari
luar
lingkungan perusahaan, sehingga mereka ikut serta dalam
pengawasan perusahaan. Namun, hal ini bisa saja tidak terjadi
karena pemilik saham institusional hanya mempercayakan
pengawasan dilakukan oleh komisaris perusahaan yang
memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap
perusahaan. Sehingga, ada atau tidak kepemilikan institusional tax
avoidance tetap saja bisa terjadi.
Alasan kedua ialah bahwa pemilik saham institusi memiliki
keinginan untuk memaksimalkan kesejahteraan mereka terutama
pada keuntungan atau laba yang akan mereka peroleh dari
perusahaan. Hal tersebut membuat pemilik saham institusi akan
mendukung apapun keputusan manajer yang akan menguntungkan
perusahaan termasuk aktivitas penghindaran pajak. Sehingga besar
kecil kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap tindakan
tax avoidance.
Dalam agency theory telah dijelaskan bahwa adanya
perbedaan kepentingan antara agen dan prinsipal menimbulkan
konflik antara pihak-pihak tersebut. Oleh karena itu perlu adanya
monitor dari pihak luar yang memiliki kepentingan yang berbeda.
Pihak luar yang dimaksud adalah pemilih saham institusional.
Pemilik saham institusional adalah pemilik saham dari institusi atau
lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, dan institusi lain.
Dengan adanya pemilik saham institusional akan meningkatkan
pengawasan yang lebih optimal, karena dianggap mampu
memonitor setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Dengan
tingginya tingkat kepemilikan institusional, maka semakin besar
tingkat pengawasan ke manajer, dan mengurangi peluang terjadinya
penghindaran pajak.
H4 : Proporsi kepemilikan institusional berpengaruh negatif
terhadap Tax Avoidance
Hubungan antara Kepemilikan Manajerial dengan Tax
Avoidance
Pemegang saham terbesar mempresentasikan kelompok yang
memegang kekuatan dalam voting di dalam Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), dan memiliki perusahaan, namun
tidak mengelola perusahaan. Semakin tinggi persentase seorang
pemegang saham menunjukkan pemegang saham memiliki
pengaruh yang lebih besar untuk menentukan kebijakan perusahaan
dan dapat memastikan kebijakan tersebut dapat menguntungkan
mereka (Timothy, 2010).
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa dengan
meningkatkan kepemilikan manjerial akan menyelaraskan atau
menyatukan kepentingan manajer dengan pemegang saham
sehingga mengurangi perilaku oportunistik. Manajer akan ikut
merasakan manfaat dari keputusan yang diambil dan ikut
menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan
keputusan yang salah (Jao, 2011). Semakin besar proporsi
kepemilikan oleh manajerial, dapat dikatakan bahwa konsentrasi
kepemilikan perusahaan tersebut kuat. Konsentrasi kepemilikan
yang kuat menandakan bahwa tata kelola perusahaan tersebut
semakin kuat sebab semakin besar kekuatan
pemilik untuk
mengontrol manajer dalam pengambilan keputusan. Pemegang
saham terbesar dapat digunakan secara optimal sebagai salah
satu mekanisme pengontrol masalah agensi serta meningkatkan
kinerja perusahaan (Timothy, 2010).
Motivasi para manajer untuk mendapatkan laba sebesarbesarnya menjadikan strategi pajak yang diambil agresif. Maka
dengan semakin besar kepemilikan manajerial dalam perusahaan,
penghindaran pajak perusahaan akan semakin rendah (Timothy,
2010). Peningkatan kepemilikan manajerial untuk mensejajarkan
kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga bertindak
sesuai dengan keinginan pemegang saham. Peningkatan persentase
kepemilikan tersebut dapat membuat manajer termotivasi untuk
menigkatkan kinerja dan bertanggung jawab meningkatkan
kemakmuran pemegang saham. Sebaliknya, jika persentase
kepemilikan manjerial kecil maka manager hanya terfokus pada
pengembangan kapasitas atau ukuran perusahaan. Berdasarkan
uraian diatas, diajukan hipotesis sebagai berikut:
H5 : Proporsi kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap
Tax Avoidance
III.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yaitu
data dalam bentuk angka-angka (Sugiyono, 2014). Sumber data
dalam penelitian ini adalah laporan keuangan yang diambil dari
website Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id).
Variabel Dependen dalam penelitian ini adalah penghindaran
pajak (tax avoidance). Penghindaran pajak dihitung dengan
mengurangkan laba sebelum pajak dan bunga dengan laba kena
pajak kemudian dibagi dengan total aset. Penggunaan variabel ini
seperti yang dilakukan oleh Darmawan dan Sukarta (2014),
Wibawa, Wilopo, dan Abdillah (2016), serta Pohan (2008).
Sedangkan variabel independen dalam penelitian ini adalah
corporate governance yang diukur dengan:
a. Dewan Direksi merupakan pengurus atau pengelola
perusahaan.
b. Komisaris Independen merupakan pengawas dalam
perusahaan sebagai kekuatan penyeimbang dalam
pengambilan keputusan oleh dewan komisaris.
c. Komite Audit merupakan pengawas perusahaan dalam
bidang penyusunan laporan keuangan.
d. Kepemilikan Institusional merupakan kepemilikan saham
suatu perusahaan oleh pihak institusi atau lembaga seperti
asuransi, bank, perusahaan investasi, dan kepemilikan
institusi lainnya.
e. Kepemilikan Manajerial merupakan tingkat kepemilikan
saham oleh pihak manajemen yang secara aktif terlibat
dalam pengambilan keputusan.
Alat ukur dari masing-masing variabel independen dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1
Alat Ukur Variabel Independen
Variabel
Independen
Dewan
Direksi
Komisaris
Independen
Komite
Audit
Kepemilikan
Institusional
Kepemilikan
Manajerial
Alat Ukur
LN (
Dewan Direksi
)
Dewan komisaris Independen
X 100
Anggota dewan komisaris
Komite audit diluar komisaris independen
X 10
Komite audit dalam perusahaan
Kepemilikan saham olehinstitusi
X 100
Modal saham perusahaan
Kepemilikan saham olehmanajemen
X 100
Modal saham perusahaan
Sumber: beberapa literature pendukung
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan pertambangan
yang listing di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2011 sampai
dengan tahun 2016. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian
3
ini adalah dengan menggunakan metode purposive sampling yaitu
penentuan sampel dari populasi yang ada berdasarkan kriteria yang
dikehendaki oleh peneliti. Kriteria yang dipakai sebagai sampel
dalam penelitian ini adalah:
a. Perusahaan-perusahaan yang ada sudah terdaftar di BEI
sebelum tanggal 01 Januari 2011 atau telah IPO sebelum
tanggal 01 Januari 2011.
b. Perusahaan tidak mengalami delisting dari BEI selama
periode 2011-2016.
c. Perusahaan menyajikan informasi mengenai jumlah
dewan direksi, dewan komisaris independen, komite
audit, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial,
dan perpajakan dalam laporan tahunan maupun laporan
keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen.
Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan metode analisis regresi data panel
dengan menggunakan E-Views. Adapun model regresi yang
digunakan adalah sebagai berikut:
Y=α+
β1 X1
+
β2 X 2 + β3 X 3
β5 X 5 + e
+
β4 X 4
+
Dimana:
Y
e
α
βx
X1
X2
X3
X4
X5
: Tax Avoidance (Penghindaran Pajak)
: Konstanta
: Koefisien Regresi
: Dewan Direksi
: Dewan Komisaris Independen
: Komite Audit
: Kepemilikan Institusional
: Kepemilikan Manajerial
: Error term
Beberapa keuntungan dalam menggunakan analisis regresi
data panel adalah:
a) Dapat memberikan peneliti jumlah pengamatan yang
besar, meningkatkan degree of freedom (derajat
kebebasan), data memiliki variabilitas yang besar dan
mengurangi kolinieritas antara variabel penjelas, di mana
dapat menghasilkan estimasi ekonometri yang efisien.
b) Panel data dapat memberikan informasi lebih banyak
yang tidak dapat diberikan hanya oleh data cross section
atau time series saja.
c) Panel data dapat memberikan penyelesaian yang lebih
baik dalam inferensi perubahan dinamis dibandingkan
data cross section.
Penentuan Model Estimasi
Menurut Widarjono tahun 2007, untuk mengestimasi parameter
model dengan data panel, terdapat tiga teknik yang sering
digunakan, yaitu:
a. Common Effect Model
Teknik ini mengkombinasikan data cross section dan time
series sebagai satu kesatuan tanpa melihat adanya
perbedaan waktu dan entitas (individu).
b. Fixed Effect Model
Pendekatan model Fixed Effect mengasumsikan bahwa
intersep (konstanta) dari setiap individu adalah beberapa
sedangkan slope (koefisien regresi) antar individu adalah
tetap (sama).
c. Random Effect Model
Pendekatan yang dipakai dalam Random Effect
mengasumsikan setiap perusahaan mempunyai perbedaan
intersep, yang mana intersep tersebut adalah variabel
random atau stokastik.
Pemilihan Model (Teknik Estimasi) Regresi Data Panel
Menurut Widarjono (2007), ada beberapa cara yang dapat
digunakan untuk memilih teknik estimasi data panel, yaitu:
a. Uji Chow
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah teknik
regresi data panel dengan metode Fixed Effect lebih baik
dari regresi model data panel dengan metode Common
Effect. Hipotesis nul pada uji ini adalah bahwa intersep
sama, atau dengan kata lain model yang tepat untuk
regresi data panel adalah Common Effect, dan hipotesis
alternatifnya adalah intersep tidak sama atau model yang
tepat untuk regresi data panel adalah Fixed Effect.
Cara untuk mengetahui apakah hipotesis nul yang
diterima atau ditolak dengan melihat nilai probability
pada Cross-section F dan Cross-section Chi-square. Jika
Cross-section F dan Cross-section Chi-square lebih kecil
dari nilai signifikansi 0.05, maka Ho ditolak dan Ha
diterima, yang artinya model yang tepat digunakan untuk
melakukan uji hipotesis adalah fixed effect model.
Sehingga harus dilakukan uji kedua yaitu uji hausman.
b. Uji Hausman
Hausman telah mengembangkan suatu uji untuk memilih
apakah metode Fixed Effect dan metode Random Effect
lebih baik dari metode Common Effect. Hipotesis nul
dalam penelitian ini adalah bahwa model yang tepat
untuk regresi data panel adalah model Random Effect dan
hipotesis alternatifnya adalah model yang tepat untuk
regresi data panel adalah model Fixed Effect.
Hasil dari uji Hausman dapat dilihat dengan
membandingkan nilai probability pada cross-section
random dan nilai signifikansi. Jika nilai cross-section
random lebih kecil dari nilai signifikansi 0.05, maka Ho
ditolak dan Ha diterima, yang artinya model yang tepat
digunakan adalah fixed effect model. Jika pada uji chow
dan uji hausman terpilih fixed effect model, maka tidak
diperlukan lagi uji Lagrange Multiplier. Langkah
selanjutnya bisa langsung ke pengujian goodness of fit,
uji t, dan uji F.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, penulis mengambil populasi perusahaan mining
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama tahun 20112016. Penelitian ini akan melihat pengaruh dari corporate
governance yang diwakili oleh jumlah dewan direksi, komisaris
independen, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial,
serta jumlah komite audit terhadap tax avoidance yang diukur
dengan book tax difference (BTD). Berdasarkan data dari website
Bursa Efek Indonesia (BEI) jumlah perusahaan yang terdaftar pada
sektor mining periode 2011-2016 berjumlah 41 perusahaan.
Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan metode
purposive sampling. Dari jumlah tersebut kemudian diseleksi sesuai
kriteria sehingga diperoleh 27 perusahaan sebagai sampel.
Statistik Deskriptif
Ringkasan statistik deskriptif dari variabel-variabel penelitian
tersebut disajikan pada tabel 2.
Tabel 2
Deskripsi Variabel Penelitian Tahun 2011-2016
BTD
D_DIR
D_KO
K_INS
M
Mean
0.08916
1.49972
0.37029
0.60042
8
6
0
3
Median
0.03272
1.60943
0.33333
0.65000
4
Maximu
m
Minimu
m
Std. Dev.
1
2.72750
1
2.87300
5
0.23230
1
BTD
8
2.30258
5
0.69314
7
0.36673
6
D_DIR
3
0.66666
7
0.00000
0
0.10948
5
D_KO
M
0
0.97000
0
0.00000
0
0.22211
9
K_INS
Sumber: Data Diolah Agustus 2017
Pada tabel diatas tax avoidance yang diukur dengan book tax
difference (BTD) pada perusahaan pertambangan memiliki nilai
rata-rata 0,089168 dan standar deviasi 0,232301. Standar deviasi
lebih besar daripada nilai rata-rata menunjukkan tingginya
simpangan variabel tax avoidance selama periode pengamatan.
Nilai rata-rata dewan direksi sebesar 1,499726 dan standar
deviasinya
0,366736.
Standar
deviasi
lebih rendah
dibandingkan nilai rata-rata. Hal ini menunjukkan bahwa
rendahnya simpangan variabel dewan direksi selama periode
pengamatan. Kondisi yang sama juga terlihat pada variabel
komisaris independen yang memiliki nilai rata-rata sebesar
0.370290 yang lebih besar dari standar deviasi 0.109485. Variabel
selanjutnya yaitu kepemilikan institusional memiliki nilai ratarata 0,600423 dan standar deviasi 0,222119. Variabel ini
memiliki simpangan yang rendah selama periode pangamatan.
Berbeda dengan kepemilikan manajerial yang memiliki nilai
simpangan data yang tinggi dengan nilai standar deviasi 0,148557
sedangkan nilai rata-rata 0,064494. Variabel kelima, komite audit
memiliki simpangan data yang rendah selama periode pengamatan.
Hal ini terlihat dari nilai standar deviasi yang rendah dari nilai ratarata, yaitu 0,193164 dan 0,613727.
Pengujian Hipotesis
Setelah terpilih model fixed effect, langkah selanjutnya adalah
melakukan pengujian hipotesis untuk melihat bagaimana pengaruh
corporate governance (dewan direksi, komisaris independen,
komite audit, kepemilikan institusional, dan kepemilikan
manajerial) terhadap tax avoidance (book tax differences). Uji
hipotesis ini berguna untuk memeriksa atau menguji apakah
koefisien regresi yang didapat signifikan. Maksud dari signifikan
ini adalah suatu nilai koefisien regresi yang secara statistik tidak
sama dengan nol. Jika koefisien slope sama dengan nol, berarti
dapat dikatakan bahwa tidak cukup bukti untuk menyatakan
variabel bebas mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat.
Hasil pengujian hipotesis dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3
Hasil Persamaan Regresi Data Panel
Dependent Variable: BTD Method: Panel
Leas t Squares Date: 09/19/17 Tim e: 07:55
Sam ple: 2011 2016
Periods included: 6
Cros s -s ections included: 27
Total panel (balanced) obs ervations : 162
Dependent Variable: BTD Method: Panel
Leas t Squares Date: 09/19/17 Tim e: 07:55
Sam ple: 2011 2016
Pemilihan Model Regresi Data Panel
Dalam regresi panel data terdapat tiga alternatif model yang dapat
digunakan (Baltagi, 2002; Gujarati, 2003; Maddala, 1993; Pindyck
dan Rubinfield,1998), yaitu:Common EffectModel (CE), Fixed
Effect Model (FE), dan Random Effect Model (RE).
a. Chow Test
Chow test digunakan untuk menguji model mana yang
cocok digunakan antara Common Effect Model (CE)
dengan Fixed Effect Model (FE). Hipotesis yang dibentuk
dalam chow test adalah sebagai berikut:
HO= Model Common Effect
Ha = Model Fixed Effect
Dari hasil uji Chow di dapat bahwa probabilitas
Cross-section F dan Cross-section Chi-square adalah
0.0000 atau kecil dari 0.05. Maka Ha diterima dan H O
ditolak yang artinya fixed effect adalah model yang paling
cocok untuk digunakan dalam melakukan uji hipotesis,
sehingga dapat dilakukan uji kedua yaitu uji hausman.
b.
Hausman Test
Hausman test digunakan untuk melihat model mana yang
cocok antara Random Effect Model dan Fixed Effect
Model. Hipotesis pada uji Hausman test adalah:
HO = Menggunakan Model Random Effect
Ha = Menggunakan Model Fixed Effect
Dari hasil hausman test di dapat bahwa probabilitas
Cross-section random adalah 0.0057 atau kecil dari 0.05.
Maka Ha diterima dan HO ditolak yang artinya fixed effect
adalah model yang paling cocok untuk digunakan dalam
melakukan uji hipotesis.
Variable
D_DIR
D_KOM
K_INS
K_MEN
K_AUD
C
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
0.003694
-1.167031
-0.037910
0.081353
0.214032
0.401924
0.095650
0.224189
0.213607
0.576742
0.138396
0.238197
0.038622
-5.205570
-0.177474
0.141057
1.546521
1.687361
0.9693
0.0000
0.8594
0.8880
0.1244
0.0939
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared
Adjusted Rsquared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.372765 Mean dependent var
0.223193
S.D. dependent var
0.204742 Akaike info criterion
5.449523 Schwarz criterion
44.88949 Hannan-Quinn criter.
2.492220 Durbin-Watson stat
0.000186
0.089168
0.232301
-0.159130
0.450766
0.088497
2.154675
Sumber: Data Diolah Agustus 2017
Berdasarkan tabel diatas telah diketahui koefisien untuk
masing-masing variabel, sehingga dari angka tersebut dapat
diperoleh persamaan sebagai berikut:
BTD = 0.413701 + 0.009746 X1 – 1.207497 X2– 0.049892 X3
+ 0.087955 X4 + 0.213501 X5
5
yang menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas yang
diembannya.
Pengaruh komisaris independen terhadap tindakan
meminimalkan pajak perusahaan dapat dijelaskan bahwa
semakin banyak jumlah komisaris independen maka
semakin baik pengawasan terhadap kinerja manajemen.
Pengawasan tersebut akan meminimalisir masalah agensi
yang timbul seperti sikap oportunistik manajemen
terhadap
bonus,
sehingga
manajemen
akan
meminimalkan pembayaran pajak untuk memaksimalkan
bonus yang diterimanya. Adanya pengawasan yang kuat
dari komisaris independen membuat manajemen berhatihati dalam mengambil keputusan di dalam perusahaan,
sehingga tindakan tax avoidance dapat diminimalkan.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang
pernah dilakukan oleh Hanum (2013), Marita, Puspa, dan
Rahmawati (2013), Winata (2014), Dewi dan Jati (2014),
Sari (2014), dan
Oktofian (2015) yang menyatakan
bahwa jumlah komisaris independen berpengaruh
terhadap tax avoidance. Namun, hasil penelitian ini
bertolak belakang dengan penelitian yang pernah
dilakukan oleh Annisa (2012), Fadhilah (2014),
Khoirunnisa (2015), Sabli & Noor (2012), dan Minnick
& Noga (2010) yang tidak menemukan adanya pengaruh
signifikan komisaris independen terhadap tax avoidance.
Hasil Pengujian Signifikansi Parsial (Uji t)
Hasil pengujian pengaruh corporate governance (dewan direksi,
komisaris independen, komite audit, kepemilikan institusional,
kepemilikan manajerial) terhadap tax avoidance (book tax
differences) selama periode 2011-2016 adalah sebagai berikut:
a. Pengaruh Dewan Direksi terhadap Tax Avoidance
Berdasarkan output pengolahan data statistik, nilai
probabilitas variabel jumlah dewan direksi 0,9693 lebih
besar dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah
dewan direksi tidak berpengaruh signifikan terhadap
penghindaran pajak. Hasil pengujian yang tidak
signifikan ini disebabkan karena perusahaan atau dalam
hal ini pihak manajemen lebih mempertimbangkan faktor
- faktor yang terkait dengan sanksi administrasi
maupun
sanksi
pidana dalam perpajakan untuk
memutuskan melakukan penghindaran pajak. Atau
dengan kata lain, perusahaan lebih memikirkan dampak
yang akan ditanggung ketika melakukan tindakan
penghindaran pajak. Dampak yang akan ditanggung
seperti sanksi atau penalti dari fiskus pajak, turunnya
harga saham perusahaan, serta rusaknya reputasi
perusahaan akibat audit dari fiskus pajak.
Seperti yang dinyatakan oleh Andres (2002) dalam
Jaya (2013) bahwa faktor yang mempengaruhi wajib
pajak (perusahaan) melakukan penghindaran pajak yaitu
perasaan cemas atau takut akan ancaman sanksi pidana
jika tindakan penghindaran pajak yang dilakukan
terdeteksi oleh petugas pajak. Sebelum memutuskan
untuk melakukan penghindaran pajak perusahaan
membuat suatu perencanaan pajak, dimana jika
perencanaan pajak ini tidak dilakukan dengan benar atau
tidak hati-hati, justru akan membuat perusahaan
terjerumus ke dalam masalah hukum. Hal inilah yang
lebih mempengaruhi keputusan pihak manajemen
sebelum memutuskan melakukan penghindaran pajak.
Banyak atau sedikitnya jumlah dewan direksi dalam
suatu perusahaan bukanlah menjadi faktor yang
mempengaruhi
perusahaan
dalam melakukan
penghindaran pajak.
b.
Pengaruh Komisaris Independen terhadap Tax Avoidance
Berdasarkan hasil pengujian stastistik variabel komisaris
independen memiliki nilai probabilitas 0,0000 (p <
0,05), artinya komisaris independen memiliki
pengaruh signifikan terhadap BTD. Sedangkan nilai
koefisien bertanda negatif dengan nilai -1,167031,
artinya pengaruh dewan komisaris independen
berbanding terbalik dengan BTD, dengan demikian
H2 diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
secara parsial persentase komisaris independen
berpengaruh secara signifikan terhadap tax avoidance
yang diwakilkan oleh BTD.
Komisaris independen dapat berperan secara
efektif melalui komite audit untuk melakukan deteksi
dini (early warning) adanya potensi penyimpangan
ataupun kecurangan (fraud) di perusahaan publik karena
komisaris independen biasanya juga berperan sebagai
ketua komite audit. Komisaris independen dapat
mengambil langkah-langkah pencegahan kecurangan
atau usulan perbaikan sistem, tentu saja tetap dalam
kerangka sebagai komisaris. Melalui peran tersebut,
komisaris independen telah berfungsi efektif dalam
melindungi perusahaan publik dari risiko sekaligus
melindunginya dari potensi tuntutan hukum. Kapabilitas
komisaris independen dalam memberdayakan komite
audit yang dipimpinnya merupakan faktor kunci sukses
c.
Pengaruh Komite Audit terhadap Tax Avoidance
Berdasarkan hasil pengujian statistik variabel
komite audit memiliki nilai probabilitas 0,1244 (p <
0,05). Hal ini menunjukkan komite audit tidak memiliki
pengaruh signifikan terhadap BTD. Dengan demikian H5
ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara
parsial jumlah komite audit tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap tax avoidance yang diwakilkan oleh
BTD.
Komite audit memegang peranan yang cukup
penting dalam mewujudkan good corporate governance
(GCG) karena merupakan “mata” dan “telinga” dewan
komisaris dalam rangka mengawasi jalannya perusahaan.
Bursa Efek Indonesia (BEI) mensyaratkan bahwa emiten
harus memiliki komite audit paling sedikit tiga orang.
Jumlah komite audit yang sedikit akan memberikan
peluang kepada manajemen dalam melakukan
minimalisasi laba untuk kepentingan pajak (Pohan,
2008). Sriwedari (2009) juga menyatakan dalam
penelitiannya bahwa keberadaan komite audit
berfungsi untuk meningkatkan integritas dan kredibilitas
pelaporan keuangan agar dapat berjalan dengan baik.
Namun, pada penelitian ini jumlah komite audit tidak
berpengaruh untuk mengurangi tindakan penghindaran
pajak yang dilakukan manajemen. Hal ini menunjukkan
bahwa kinerja komite audit tidak berjalan dengan baik
meskipun jumlah komite audit telah sesuai dengan
ketentuan BEI.
Ada beberapa alasan mengapa jumlah komite audit
perusahaan belum mampu mengurangi tindakan
penghindaran pajak. Sommer (1991) dalam Effendy
(2016) berpandangan bahwa komite audit di banyak
perusahaan masih belum melakukan pengawasan dengan
baik. Menurut Sommer banyak komite audit yang hanya
sekedar melakukan tugas-tugas rutin seperti penelaahan
laporan dan seleksi auditor eksternal. Mereka tidak
mempertanyakan secara kritis ataupun menganalisis
secara mendalam kondisi pengendalian pelaksanaan
tanggung jawab oleh manajemen. Penyebabnya diduga
bukan hanya karena kurangnya kompetensi dan
independensi yang memadai, melainkan juga karena
6
banyak dari mereka yang belum memahami peran
utamanya.
Kalbers dan Fogarty (1993) dalam Effendy (2016)
telah melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi efektivitas kinerja komite audit. Hasil
penelitian mereka antara lain mengungkapkan bahwa
terdapat tiga faktor dominan yang berpengaruh terhadap
keberhasilan komite audit dalam mengemban tugasnya.
Ketiga faktor tersebut ialah kewenangan formal dan
tertulis dari komite audit, kerja sama manajemen, dan
kualitas (kompetensi) anggota komite audit. Selain itu,
efektivitas komite audit juga dipengaruhi oleh pola
hubungan
(relationship)
dan tingkat intensitas
komunikasi antara komite audit dengan berbagai pihak.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Annisa (2012), Dewi
dan Jati (2014), Fadhilah (2014), dan Oktofian (2015)
yang menyatakan bahwa persentase jumlah komite audit
berpengaruh terhadap tax avoidance. Namun, penelitian
ini tidak mendukung penelitian yang dilakukan oleh
Hanum (2013), dan Marita, dkk (2013).
d.
e.
Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Tax
Avoidance
Hasil pengujian hipotesis keempat yakni
proporsi kepemilikan institusional menunjukkan nilai
probabilitas 0,8594 (p > 0,05) dan koefisien sebesar
-0,037910 dengan arah negatif. Artinya, variabel
kepemilikan institusional tidak memiliki pengaruh
terhadap tax avoidance, dengan demikian H4 ditolak.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Oktofian (2015), Fadhilah
(2014) dan Winata (2014). Menurut Fadhilah (2014)
terdapat beberapa hal yang diduga menjadi alasan
mengapa kepemilikan isntitusional tidak berpengaruh
terhadap tax avoidance. Pertama, kepemilikan
institusional merupakan kepemilikan saham oleh institusi
di luar perusahaan, di mana diharapkan pemilik
institusional ini turut melakukan pengawasan
terhadap
operasional perusahaan. Namun, bisa saja
pemilik institusional tidak turut melakukan pengawasan,
karena mereka telah mempercayai dewan komisaris
dalam hal pengawasan keputusan manajemen. Sehingga
ada atau tidaknya kepemilikan institusional tetap saja tax
avoidance terjadi. Alasan kedua adalah karena pemilik
institusional kurang peduli dengan citra perusahaan.
Sehingga apapun keputusan manajemen asalkan hal itu
bisa memaksimalkan kesejahteraan mereka maka akan
didukung. Meskipun keputusan tersebut adalah
melakukan tax avoidance.
Hasil penelitian ini gagal mendukung penelitian
Marita, Puspa, dan Rahmawati (2013) dan Mahulae, dkk
(2015) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh
positif antara kepemilikan institusional terhadap tax
avoidance.
Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Tax
Avoidance
Hasil
uji
statistik
menunjukkan
hasil
probabilitas kepemilikan manajerial sebesar 0,8880 (p
> 0,05). Artinya, variabel kepemilikan manajerial tidak
berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa H3 ditolak.
Pemegang saham terbesar adalah kelompok yang
memegang kekuatan dalam voting Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), namun tidak ikut serta dalam
pengelolaan perusahaan. Semakin tinggi proporsi
pemegang saham menunjukkan bahwa pemegang saham
memiliki pengaruh yang lebih besar untuk menentukan
kebijakan perusahaan. Apabila proporsi kepemilikan
saham oleh manajerial besar, tentu hal ini membuat
manajer bertindak sebagai pemilik sekaligus pengelola
perusahaan. Hal ini membuat manajer juga memiliki
motivasi untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya.
Manajer juga akan mempertimbangkan kelangsungan
usahanya sehingga tidak menghendaki usahanya
diperiksa terkait masalah perpajakan.
Maka dengan
semakin besar proporsi kepemilikan manajerial,
penghindaran pajak perusahaan akan semakin rendah.
Akan tetapi, pada penelitian ini ditemukan hasil
yang bertolak belakang, dimana proporsi kepemilikan
manajerial tidak berpengaruh terhadap tindakan
penghindaran pajak. Hal ini disebabkan karena
kepemilikan saham oleh pihak manajerial jauh lebih
kecil dibanding dengan kepemilikan oleh pihak
institusional. Hal tersebut memungkinkan kepemilikan
manajerial tidak memiliki andil dan wewenang yang
cukup besar dalam pengambilan keputusan perusahaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, kepemilikan
manajerial tidak berpengaruh terhadap tax avoidance
pada perusahaan pertambangan yang menjadi sampel
pada penelitian ini (Mahulae, Pratomo, dan Nurbaiti,
2015).
Hasil Pengujian Signifikansi Simultan (Uji F)
Hasil pengujian hipotesis secara simultan dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4
Uji Hipotesis Secara Simultan
Dependent Variable: Book Tax Differences
Method: Panel Least Squares
Date: 09/03/17 Time: 12:41
Sample: 2011 2016
Periods included: 6
Cross-sections included: 27
Total panel (balanced) observations: 162
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.372765
0.223193
0.204742
5.449523
44.88949
2.492220
0.000186
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
0.089168
0.232301
-0.159130
0.450766
0.088497
2.154675
Sumber: Data Diolah Agustus 2017
Hasil uji F yang dilakukan menunjukkan nilai probabilitas sebesar
0,000186 (p < 0,05). Artinya secara simultan corporate governance
yang diwakilkan oleh variabel dewan direksi, dewan komisaris,
kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dan komite audit
mempunyai nilai yang signifikan dalam mempengaruhi tax
avoidance yang diwakilkan oleh book tax difference (BTD).
V.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat
diambil kesimpulan:
1.
Jumlah dewan direksi tidak berpengaruh terhadap tax
avoidance yang diwakilkan oleh book tax difference. Hal
ini dikarenakan perusahaan atau dalam hal ini pihak
manajemen lebih mempertimbangkan faktor - faktor
7
2.
3.
4.
5.
terkait dengan sanksi administrasi maupun pidana
perpajakan untuk kemudian memutuskan untuk
melakukan penghindaran pajak. Selain itu, direksi
biasanya cenderung mendukung segala tindakan
manajemen selama hal tersebut menguntungkan
perusahaan, termasuk dalam tindakan penghindaran
pajak.
Persentase jumlah dewan komisaris independen
berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance yang
diwakilkan oleh book tax difference. Semakin banyak
jumlah komisaris independen maka akan semakin kuat
pengawasan yang dilakukan. Adanya pengawasan
yang
kuat
dari komisaris independen membuat
manajemen berhati-hati dalam mengambil keputusan di
dalam perusahaan, sehingga tindakan tax avoidance dapat
diminimalkan.
Persentase jumlah komite audit tidak berpengaruh
signifikan terhadap tax avoidance yang diwakilkan oleh
book tax difference. Sommer (1991) dalam Effendy
(2016) berpandangan bahwa komite audit di banyak
perusahaan masih belum melakukan pengawasan dengan
baik. Menurut Sommer banyak komite audit yang hanya
sekedar melakukan tugas-tugas rutin seperti penelaahan
laporan dan seleksi auditor eksternal. Mereka tidak
mempertanyakan secara kritis ataupun menganalisis
secara mendalam kondisi pengendalian pelaksanaan
tanggung jawab oleh manajemen.
Proporsi kepemilikan institusional tidak berpengaruh
signifikan terhadap tax avoidance yang diwakilkan
oleh book tax difference. Hal ini disebabkan pemilik
institusional tidak turut melakukan pengawasan, karena
mereka telah mempercayai dewan komisaris dalam hal
pengawasan keputusan manajemen. Sehingga ada atau
tidaknya kepemilikan institusional tetap saja tax
avoidance terjadi.
Proporsi kepemilikan manajerial tidak berpengaruh
signifikan terhadap tax avoidance yang diwakilkan oleh
book tax difference. Hal ini disebabkan karena
kepemilikan saham oleh pihak manajerial pada
perusahaan pertambangan jauh lebih kecil dibanding
dengan kepemilikan oleh pihak institusional. Hal tersebut
memungkinkan kepemilikan manajerial tidak memiliki
andil dan wewenang yang cukup besar dalam
pengambilan keputusan perusahaan.
Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan setelah melakukan analisa
dari penelitian ini adalah:
1. Untuk
penelitian
selanjutnya,
sebaiknya
mempertimbangkan
untuk mengembangkan dengan
menambah variabel atau menggunakan variabel lain yang
diduga mempengaruhi tax avoidance diluar variabel yang
digunakan dalam penelitian ini.
2. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk
mempertimbangkan dan menambah rentang waktu
penelitian minimal 7 tahun untuk dapat benar- benar
melihat perilaku perusahaan terkait tingkat penghindaran
pajak yang dilakukan
3. Populasi atau sampel dalam penelitian mungkin bisa
diperluas mencakup industri lainnya selain sektor mining.
Rentang waktu yang lebih panjang dan perluasan sektor
untuk pengambilan sampel dapat memperlihatkan
perubahan yang cukup signifikan terkait reformasi
perpajakan terhadap tingkat penghindaran pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Aini, Nur Nike. dan Cahyonowati, Nur. (2011). Pengaruh
karakteristik good corporate governance terhadap
pengungkapan corporate social responsibility
(Studi
empiris pada perusahaan non keuangan yang
terdaftar
di
Bursa
Efek Indonesia). Skripsi.
Universitas Diponegoro Semarang.
Ahniar, Nur Farida. (2017). Belajar dari Karut Marut Tata Kelola
Tambang Batu Bara. Ditelusuri 20 Agustus 2017.
http://katadata.co.id/berita/2017/07/20/belajar-dari-carutmarut-tata-kelola- tambang-batu-bara
Alim, S. (2009). Manajemen laba dengan motivasi pajak pada
badan usaha manufaktur di Indonesia. Jurnal Keuangan
dan Perbankan, 13(3), 444.-461
Annisa, Nuralifmida Ayu. (2012). Pengaruh corporate governance
terhadap tax avoidance. Jurnal Akuntansi dan Auditing,
Vol. 8, No. 2, hal:123-136.
Arif, dan Bambang. (2007). Mekanisme corporate governance,
manajemen laba dan kinerja keuangan (studi pada
perusahaan go public sektor manufaktur). Simposium
Nasional Akuntansi X.
Badertscher, B., Philips, J., Pincus, M., Rego, S.
(2009).Earning management strategies and trade-off
between tax benefits and detection risk: To conform or
not to conform? The Accounting Review 84(1), 63-97.
Baltagi, B. H. 2005. Econometrics Analysis of Panel Data
(3rd ed). Chicester, England: John Wiley & Sons Ltd.
Bernard,
Sinaga. 2011. Pengaruh Karakteristik corporate
governance, kompensasi terhadap Manajemen Pajak.
Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 11, No. 1, Mei
2009: 30-41.
Budiman, Judi dan Setiyono. (2012). Pengaruh karakter eksekutif
pada penghindaran pajak (tax avoidance). Universitas
Islam Sultan Agung, Semarang.
Boediono, Gidoen SB. (2005, September). Kualitas laba: studi
pengaruh mekanisme corporate governance dan dampak
manajemen laba dengan menggunakan analisis jalur.
Dipresentasikan pada SNA VIII, Solo.
Brotodihardjo, R. Santoso. (1993). Pengantar Ilmu Hukum
Pajak. 3rd Edition. Bandung : PT Eresco.
Crocker, Keith J., Slemrod, Joel. (2003). Corporate tax evasion
with agency costs. Ross School of Business Working
Paper Series No. 917.
Dewi, Ni Nyoman Kristiana dan Jati, I Ketut. (2014). Pengaruh
karakter eksekutif, karakteristik perusahaan, dan dimensi
tata kelola perusahaan yang baik pada tax avoidance di
bursa efek Indonesia. Skripsi. Fakultas Ekonomi
Universitas Udayana, Bali.
Desai, M.A., Dharmapala, D. (2004). Corporate tax avoidance
and high-powered incentives. Journal of Financial
Economics, 79, 145-179.
Dyreng, Scott. Et. al. (2010). The effects of executives on corporate
tax avoidance. Social Science Research Network.
8
Effendy, Muh. Arief. (2016). The Power of Good Corporate
Governance (edisi ke-2). Jakarta: Salemba Empat.
Fadhillah,
Rahmi.
(2014).
Pengaruh
good
corporate
governance terhadap tax avoidance (Studi empiris pada
perusahaan manufatur yang terdaftar di BEI 2009-2011).
Jurnal Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang.
FCGI.
(2006).
Good
corporate
governance.
http://www.fcgi.or.id Diakses 30 Juni 2017.
Hanum,
HR, dan Zulaikha. (2013). Pengaruh karakteristik
corporate governance terhadap effective tax rate (studi
empiris pada bumn yang terdaftar di BEI 2009-2011).
Diponegoro Journal of Accounting, Vol. 2, 1-10.
Haruman, Tendi. (2008). Pengaruh Struktur Kepemilikan terhadap
Keputusan Keuangan Dana Nilai Perusahaan. Pontianak:
Simposium Nasional Akuntansi XI.
Irawan, Hendra P. (2012). Pengaruh kompensasi manajemen
dan corporate governance terhadap manajemen pajak
perusahaan. Skripsi. Universitas Indonesia.
Jao,
Robert.
(2011).
Corporate
Governance,
Ukuran
Perusahaan, dan Leverage terhadap Manajemen Laba
Perusahaan Manufaktur Indonesia. Jurnal Akuntansi dan
Auditing, Vol. 8 No.1.
Jaya, Tresno Eka, M. Yasser Arafat, dan Dinda Kartika. 2013.
Corporate Governance, Konservasisme Akuntansi, dan
Tax Avoidance. Prosiding Simposium Nasional
Perpajakan 4. Fakultas Ekonomi Universitas Negeri
Jakarta.
Jensen, Michael C., & Meckling, William H. (1976). Theory of the
Firm: Managerial Behavior, Agency Cost and Ownership
Structure. Journal of Financial Economics, V.3(No. 4),
pp. 305-360.
Kementerian
Keuangan
Indonesia.
www.kemenkeu.go.id/apbn2016. Ditelusuri 7 Mei 2017.
Komite Nasional Kebijakan Governance. (2006). “Pedoman Umum
Good Corporate Governance di Indonesia 2006.”
Khoirunnsia. (2015). Pengaruh corporate governance terhadap tax
avoidance pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia. Skripsi. Universitas Lampung,
Bandar Lampung, Indonesia.
Kurniasih, Tommy dan Maria M. Ratna Sari. (2013). Pengaruh
Return on Assets, Leverage, Corporate Governance,
Ukuran Perusahaan dan Kompensasi Rugi Fiskal pada
Tax Avoidance. Buletin Studi Ekonomi, Vol. 18 No.1.
Mahulae, Endang Endari, Dudi Pratomo, dan Annisa Nurbaiti.
2015. Pengaruh Kepemilikan Institusional, Kepemilikan
Manajerial, dan Komite Audit Terhadap Tax Avoidance.
(Studi of Otomotif Companies Listed in Indonesian Stock
Exchange 2010-2014). Jurnal. Prodi S1 Akuntansi,
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Telkom.
Mangel, Robert dan Singh, Harbir. (1993). Ownership structure,
board relationships and CEO Compensation in Large US
Corporations. Accounting and Business Research, Vol.
23, No. 91A, h: 339-350.
Mangoting, Yenni. (1999). Tax Planning: sebuah pengantar sebagai
alternatif meminimalkan pajak. Jurnal Akuntansi dan
Keuangan Vol. 1(1), h: 43-53.
Mardiasmo. (2011). Perpajakan. Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi.
Marita, Cherli, Puspa, Dwi Fitri dan Rahmawati, Novia.
(2013).
Pengaruh karakteristik corporate governance
terhadap effective tax rate (studi empiris pada peru