Beberapa Konsep Dasar Mengenai Kimia

Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru

1 Beberapa Konsep Dasar Mengenai Kimia
1.1 PENDAHULUAN
Kita memulai studi mengenai kimia fisik dengan penyataan singkat mengenai beberapa ide
dasar dan penggunaan umumnya di bidang kimia. Hal ini merupakan hal yang familiar, tetapi
akan sangat berharga untuk mengingatnya kembali.
1.2 JENIS BENDA
Dari beragam berbeda yang ada secara umum kita dapat membaginya menjadi dua: (1) zat
dan (2) campuran zat.
Pada keadaan eksperimental tertentu zat menunjukkan suatu sifat fisik dan kimia tertentu
dan tidak dipengaruhi oleh metode preparasi dari zat.
Sebaliknya campuran sangat bervariasi pada komposisi kimianya.
1.3 JENIS ZAT
Terdapat dua jenis zat: unsur dan senyawa. Unsur tidak dapat dipecah lagi menjadi zat yang
lebih sederhana dengan metode kimai yang biasa, akan tetapi senyawa dapat.Metode kimai
yang biasa merupakan metode yang melibtakan energi tidak lebih dari 1000 kJ/mol.
1.4 MASSA ATOMIK DAN MASSA MOLAR
Setiap atom atau nuklida dapat digambrakan dengan dua angka yang spesifik, Z dan A,
dimana Z merupakan nomor atom, dan jumlah proton pada inti, dan A nomor massa yang
sama dengan Z + N, dimana N merupakan jumlah proton pada inti. Atom dari unsur yang

berbeda dibedakan dengan nilai Z yang berbeda. Atom dari satu unsur memiliki nilai Z yang
sama tetapi dapat memiliki nilai A yang berbeda dan disebut isotop dari unsur.
1.5 SIMBOL; RUMUS
Rumus dari senyawa dapat diinterpretasikan dengan banyak cara, tetapi biasanya
merupakan komposisi relatif dari senyawa. Pada zat seperti quartz dan garam, tidak terdapat
molekul diskrit. Sehingga rumus untuk SiO2 dan NACl hanya diberikan dalam bentuk empiris;
rumus ini hnaya menggambrakan jumlah relatif dari atom unsur yang terdapat dalam
molekul dan tidak lebih dari itu.
1.6 MOL
Satuan SI untuk jumlah zat adalah mol. Mol didefinisikan sebagai jumlah zat pada 0,012 kg
karbon-12. Satu mol dari sebarang zat mengandung jumlah unsur yang entitasnya tepat
dengan 0,012 kg karbon-12. Angka ini merupakan konstanta Avogadro, NA = 6,022045 x
1023mol-1.
2 Sifat-sifat Empiris dari Gas
2.1 Hukum Boyle; Hukum Charles
Dari ketiga keadaan agregasi, hanya keadaan gas yang memberikan sifat –sifat dengan
gambaran yang sederhana. Untuk saat ini kita akan membatasi gambaran ini terhadap
hubungannya dengan bebrapa sifat seperti massa, tekanan, volume dan tekanan. Kita harus
mengasumsikan bahwa sistem berada dalam kesetimbangan sehingga nilai dari sifat-sifat
tersebut tidak berubah seiring dengan waktu, selama batasan eksternal dari sistem tidak

berubah.
Persamaan keadaan dari sistem merupakan hubungan matematis antara nilai-nilai dari
keempat sifat diatas. Hanya diperlukan tiga nilai untuk menetapkan keadaan yang ada; nilai
kempat dapat dihitung dari persamaan keadaan, yang diperoleh adri pengetahuan yang
didapat dari perilaku eksperimental dari sistem.
Pengukuran kuantitatif yang pertama perilaku tekanan-volume dari gas dilakukan oleh
Robert Boyle pada tahun 1662. data yang diperolehnya menunjukkan bahwa volume
berhubungan terbalik dengan tekanan; V =C/p, dimana p adalah tekanan, V volume, dan C
Page 1 of 64

Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru

merupakan konstanta. Gambar 2.1 menunjukan V
dapat ditulis dalam bentuk

sebagai fungsi dari p.

Hukum Boyle

pV C

(2.1)
persamaan ini hanya berlaku untuk gas dengan massa tetap pada temperatur konstan.

Eksperimen selanjutnya oleh Charles menunjukan bahwa konstanta C merupakan
fungsi dari temperatur. Hal ini merupakan bentuk kasar dari hukum Charles.
Gay Lussac melakukan pengukuran volume gas dengan massa tetap dan menemukan
bahwa volume merupakan suatu fungsi yang linier dengan temperatur. Hal ini diungkapkan
dengan persamaan
(2.2)
V a  bt
dimana t merupakan temperatur dan a serta b merupakan tetapan. Plot volume sebagai
fungsi dari temperatur ditunjukkan pada Gambar 2.2. Intersep pada sumbu vertikal adalah a
= V0, volume pada 0OC.

Slope dari kurva merupakan turunan dari



b  V


t



p

sehingga

persamaan 2.2 dapat ditulis dalam bentuk
 V 
V V0  
 t
(2.3)
 t  p
Eksperimen yang dilakukan Charles menunjukan bahwa untuk suatu gas dengan
massa tetap di bawah tekanan tetap, peningkatan relatif pada volume per derajat
peningkatan temperatur sama untuk semua gas yang dia ukur. Pada tekanan tetap
peningkatan volume per derajat adalah peningkatan volume per derajat adalah (∂V/∂t)p;
sehingga peningkatan relatif volume perderajat pada 0oC adalah (1/Vo)(∂V/∂t)p. Kuantitas ini
merupakan koefisien ekspansi termal pada 0oC, dimana kita gunakan simbol α0:

1  V 
0  
 .
(2.4)
V0  t  p
Kemudian persamaan (2.3) dapat dituliskan dalam bentuk α0;
 1

V V0 (1   0 t ) V0 0 
 t ,
(2.5)
 0

yang telah memadai, karena persamaan ini menunjukkan volume gas dalam bentuk
volumenya pada nol derajat dan suatu konstanta α0, yang sama untuk semua gas, sehingga
hampir tidak dipengaruhi oleh tekanan pada saat dilakukan pengukuran. Jika kita mengukur
α0 pada tekanan yang berlainan kita akan mendapatkan untuk semua gas α0 mendekati nilai
pembatas yang sama pada p = 0. Bentuk dari pers. (2.5) menunjukkan koordinat perubahan
yang akan sangat berguna.; yang dinamakan sebagai T, suatu ukuran temperatur baru,
yanag didapatkan dari temperatur sebelumnya melalui persamaan

1
T 
 t.
(2.6)

0

Persamaan (2.6) mendefinisikan sebuah skala temperatur yang baru, yang disebut
temperatur dengan skala gas, atau lebih tepatnya temperatur dengan skala gas ideal. Hal
penting dari skala ini adalah fakta bahwa nilai pembatas α0 dan juga 1/ α0 memiliki nilai yang
sama untuk semua gas. Sebaliknya, α0 bergantung pada skala temperatur yang
dipergunakan untuk t. Jika t dalam derajat Celsius (oC), maka 1/ α0 =273,15 oC. Skala T yang
dihasilkan secra numerik identik dengan skala temperatur termodinamik, yang akan kita
bahas secara mendetail pada bab 8. Satuan SI untuk temperatur termodinamik adalah kelvin
(K). Temperatur pada skala termodinamik seringkali disebut sebagai temperatur absolut atau
temperatur kelvin. Menurut pers. (2.6)
T 273,15  t .
(2.7)
Persamaan (2.5) dan (2.6) digabungkan untuk menghasilkan
V  0V0 T ,

(2.8)
yang menyatakan volume dari gas pada tekanan tetap sebanding dengan temperatur
termodinamik.

Page 2 of 64

Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru

2.2 MASSA MOLAR GAS. HUKUM AVOGADRO; HUKUM GAS IDEAL
Pers. (2.1) dan (2.8) dapat digabungkan menjadi
C  T
V  0 0 (massa tetap)
(2.9)
p
Karena C0 = Bw, dimana B adalah konstanta dan w adalah massa dari gas,. Dengan
mempergunaka hasil ini untuk pers (2.9) kita mendapatkan
B 0 wT
V
,
(2.10)

p
yang merupakan hubungan umum antara empat variabel V, w, T, dan p. Masing-masing gas
memiliki nilai yang berbeda untuk konstanta B.
Untuk gas pada keadaan standar massa gas , M dinyatakan sebagai

 1  p 0 V0 

.
M 
B

T
0 
0 


(2.11)

Karena keadaan standar sulit untuk dicapai, rasio R = p0 V0 /T0 memiliki nilai yang tetap dan
sama untuk semua gas dan disebut konstanta gas. Pers. (2.11) dapat ditulis dalam bentuk

R
R
M 
atau B 
.
B 0
M 0
Mempergunakan nilai B ini kta mendapatkan
 w  RT
V  
.
(2.12)
M p
Anggaplah jumlah massa karakteristik dari gas yang terdapat dalam massa w adalah n =
w/M. Maka V = nRT/p, atau
pV nRT
(2.13)
Pers. (2.13) merupakan hukum gas ideal, yang sangat penting untuk studi semua gas.
Hukum ini tidak mengandung suatu bentuk khusus untuk suatu gas, akan tetapi dapat
dipergunakan untuk semua gas.

2.3 PERSAMAAN KEADAAN; SIFAT EKSTENSIF DAN INTENSIF
Hukum gas ideal, pV = nRT, merupakan hubungan antara empat variabel yang
menggambarkan keadaan gas. Sehingga persamaan ini disebut persamaan keadaan.
Variabel dari persamaan ini dibagi menjadi dua golongan: n dan V merupakan variabel
ekstensif (sifat ekstensif), sedangkan p dan T meruapakan variabel intensif (sifat intensif).
Nilai dari sifat ekstensif didapat dengan menjumlahkan nilai yang terukur dari keseluruhan
sistem. Sedangkan sifat internsif meiliki nilai yang sama dimanapun di dalam sistem. Rasio
dari dua variabel ekstensif selalu merupakan variabel intensif. Dengan membagi V dengan n
kita mendapatkan volume molar V :
V
RT
V  
.
(2.15)
n
p
Jika hukum gas ideal ditulis dalam bentuk
pV  RT ,
(2.16)
yang merupakan hubungan dari tiga variabel intensif: tekanan, temperatur, dan volume

molar. Hal ini sangat penting karena sekarang kita tidak perlu lagi risau apakah kita sedang
berurusan dengan 20 g atau 20 ton bahan yang sedang dipelajari.
2.4 SIFAT GAS IDEAL
Jika nilai tertentu diberikan pada kedua variabel p, V ,dan T, nilai dari ketiga variabel dapat
ditentukan dari hukum gas ideal. Sehingga, dua buah variabel adalah variabel independen;
variabel yang tersisa adalah variabel dependen.
Isoterm dari gas ideal berbentuk hiperbola persegi (Gbr 2.4) ditentukan oleh hubungan
RT
p
.
(2.17)
V
Untuk setiap kurva T memiliki nilai konstan yang berbeda.
Page 3 of 64

Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru

Pada gambar 2.5 semua titik berhubungan dengan koordinat V dan T dan dihubungkan pada
tekanan yang sama, dan dinamakan isobar. Isobar dari gas ideal digambarkan oleh
persamaan
R
V  T ,
(2.18)
 p
dimana tekanan berada pada beragam tekanan konstan.
Gambar 2.6 menunjukan hubungan antara p dan T, garisnya merupakan garis volume molar
konstan, isometrik, dan digambarkan dengan persamaan
R
p  T ,
(2.19)
V 
Jika kita mengintai dengan seksama Gbr 2.4, 2.5, dan 2.6 dan pers. (2.17), (2.28), dan (2.19)
mengarah pada suatu kesimpulan yang aneh mengenai gas ideal. Sebagai contoh, Gbr 2.5
dan pers. (2.18) menyatakan bahwa volume dari suatu gas ideal pada tekanan konstan
bernilai nol pada T = 0 K. Demikian juga pada gambar dan persamaan lainnya.
2.5 PENENTUAN MASSA MOLAR GAS DAN ZAT VOLATIL
Hukum gas ideal sangat berguna untuk menentukan massa molar dari zat volatil. Untuk
maksud ini suatu wadah yang volumenya diketahui diisi dengan gas dan tekanan serta
temperatur diukur. Massa dari gas dalam wadah diukur. Pengukuran ini dapat dipergunakan
untuk massa molar dari zat. Dari pers. (2.12) kita mendapatkan pV = (w/M)RT; maka
 w  RT   
M  
  RT ,
(2.20)
V  p
 p
dimana ρ = w/V; dimana ρ adalah densitas. Semua nilai pada sisi kanan dari pers. (2.20)
diketahui dari pengukuran; sehingga M dapat diperhitungkan.
Kenyataan bahwa perilaku dari gas real medekati perilaku gas ideal jika tekanan diturunkan
dipergunakan sebagai dasar penetapan massa molar dari gas. Menurut pers. (2.20) rasio dari
densitas terhadap tekanan seharusnya tidak bergantung dari tekanan: ρ/p = M/RT. Hal ini
benar untuk gas ideal, akan tetapi densitas dari gas real diukur pada satu temperatur pada
beragam tekanan, rasio densitas terhadap tekanan ditemukan bergantung pada tekanan.
Pada tekanan yang cukup rendah, ρ/p merupakan fungsi linier dari tekanan. Garis lurus dapat
diekstrapolasikan untuk menghasilkan satu nilai ρ/p, yang dapat dipergunakan pada pers.
(2.20) untuk memberikan nilai yang tepat dari M:

M   RT .
(2.21)
 p 0
Prosedur ini digambarkan untuk amonia pada 25oC pada Gbr. 2.7.
2.6 CAMPURAN; VARIABEL KOMPOSISI
Konsentrasi volume didapatkan dengan membagi jumlah dari masing-masing zat dengan
volume dari campuran.

ci 

ni
V

(2.22)

Rasio mol, ri , didapatkan dengan memilih salah satu jumlah mol dan membagi sisanya
dengan jumlah mol tersebut. Dengan memilih n1 sebagai pembagi kita mendapatkan

ri 

ni
.
n1

(2.23)

Fraksi mol, xi, didapatkan dengan membagi masing-masing jumlah mol dengan jumlah mol
keseluruhan dari zat yang ada, nt = n1 + n2 + …,

xi 

ni
.
nt

(2.24)

Jumlah dari fraksi mol dari keseluruhan zat dalam campuran haruslah satu
x1  x 2  x3  ... 1.
(2.25)

Page 4 of 64

Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru

2.7 PERSAMAAN KEADAAN UNTUK CAMPURAN GAS; HUKUM DALTON
Eksperimen menunjukkan bahwa untuk campuran gas, hukum gas ideal berlaku dalam
bentuk
pV nt RT .
(2.26)
Jika sistem terdiri atas campuran tiga gas dengan jumlah mol masing-masing n1, n2, dan n3
dalam suatu wadah dengan volume V pada temperatur T. Jika n1 = n1 + n2 + n3, maka
tekanan yang dikeluarkan oleh campuran diberikan oleh

p

nt RT
V

(2.27)

Tekanan parsial untuk masing-masing gas adalah

p1 

n1 RT
,
V

p2 

n 2 RT
,
V

p3 

n3 RT
V

(2.28)

Menambahkan persamaan ini, kita mendapatkan
RT
RT
p1  p 2  p3 (n1  n 2  n3 )
 nt
(2.29)
V
V
Perbandingan pers ini dengan pers. (2.27) menunjukkan bahwa
p  p1  p 2  p3 .
(2.30)
Pernyataan ini merupakan hukum tekanan parsial Dalton.
Hubungan tekanan parsial dengan fraksi mol dituliskan sebagai
p1
n RT
 1
;
(2.31)
p
pV
tetapi dengan pers. (2.27), p = ntRT/V. Mempergunakan nilai untuk p pada sisi kanan
persamaan (2.31) kita mendapatkan

p1 n1
  x1 .
p nt
Sehingga

p3  x3 p .
p1  x1 p ,
p2  x2 p ,
Persamaan ini dapat disingkat menjadi
pi  xi p
(i = 1, 2, 3, …),
(2.32)
dimana pi merupakan tekanan parsial dari gas dengan fraksi mol xi.
3 Gas Real
3.1 PENYIMPANGAN DARI PERILAKU IDEAL
Karena hukum gas ideal tidak dapat mereprensentasikan secara akurat perilaku dari gas real,
kita harus memformulasikan persamaan yang lebih realistis untuk keadaan dari gas dan
menyelidiki implikasi dari persamaan ini.
Jika pengukuran tekanan, volume molar, dan temperatur dari suatu gas tidak sesuai dengan
hubungan pV = RT, dengan pengukuran yang presisi, gas tersebut dikatakan menyimpang
dari ideal dan menujukkan perilaku yang non ideal. Untuk menujukkan penyimpangan
tersebut dengan jelas, rasio dari volume molar yang teramati terhadap volume molar ideal
diplot sebagai fungsi dari tekanan pada temperatur konstan. Rasio ini disebut faktor
kompresibilitas Z. Kemudian,

V
pV

.
(3.1)
RT
V id
Untuk gas ideal, Z = 1 dan tidak bergantung pada tekanan dan temperatur. Untuk gas real Z
= Z(T,p) fungsi dari temperatur dan tekanan.
Z 

3.2 MEMODIFIKASI PERSAMAAN GAS IDEAL: PERSAMAAN GAS REAL
Pada pendinginan gas real mencair dan sepenuhnya memadat; setelah pencairan voume
tidak banyak berubah. Kita dapat menyusun persamaan baru yang dapat memprediksikan
Page 5 of 64

Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru

suatu nilai tertentu, volume positif untuk gas pada 0 K dengan menambahkan suatu
konstanta positif b untuk volume ideal:
RT
(3.2)
p
Sesuai dengan pers. (3.2) volume molar pada 0 K adalah
b dan dapat kita dapat
mengharapkan bahwa b secara kasar bisa dibandingkan dengan volume molar dari cairan
atau padatan.
Tekanan yang dikeluarkan gas pada dinding kontainer mengarah keluar. Gaya tarik menarik
antara molekul cenderung untuk merapatkannya, yang oleh karenanya mengurangi tekanan
keluar ke arah dinding dan mengurangi tekanan dibandingkan yang dikeluarkan oleh gas
ideal. Pengurangan pada tekanan ini sebanding dengangaya tarik emnarik antara molekul
gas.
Sangatlah menarik untuk melihat betapa baiknya pers. (3.2) memperkirakan kurva pada Gbr
3.1 dan 3.2. Karena definisi Z  pV / RT , perkalian pers. (3.2) dengan pV menghasilkan
V b 

bp
.
(3.3)
RT
Anggaplah dua elemen volume kecil v1 dan v2 dalam suatu kontainer gas (Gbr 3.3).
Anggaplah bahwa setiap elemen volume terdiri dari satu molekul dan antar dua elemen kecil
adalah suatu nilai kecil f. Jika molekul lain ditambahkan pada v2, dan mempertahankan tetap
satu molekul pada v1, gaya yang terjadi antara kedua elemen haruslah 2f; penambahan
molekul ketiga da v2 haruslah meningkatkan gaya menjadi 3f, dan seterusnya. Gaya tarik
menarik antara dua elemen volume oleh karenanya sebanding dengan č2, konsentrasi dari
molekul pada v2. Jika pada sebarang titik pada ungkapan, jumlah molekul pada v2
dipertahankan konstan dan molekul ditambahkan pada v1, maka gayanya haruslah menjadi
dua kali, tiga kali lipat dan seterusnya. Gaya tersebut proporsional dengan č1, konsentrasi
molekul pada v1. Oleh karenanya, gaya yang terjadi antara dua elemen dapat ditulis sebagai:
gaya ∞ č1 č2. Karena konsentrasi dalam gas sam untuk semua titik, č1 = č2 = č, maka gaya ∞
č2. Akan tetapi č = n/V = 1/ V ; dengan demikian, gaya ∞ 1/ V 2 .
Kita menulis kembali pers. 3.2 bentuk
Z 1 

RT
.
(3.4)
V b
Karena gaya tarik menarik molekul-molekul, tekanan menjadi kurang dari yang diberikan oleh
persamaan (3.4) denngan jumlah yang sebanding dengan 1/V2, kemudian satu variabel baru
ditambahkan pada sisi kanan persamaan untuk menghasilkan
p

RT
a
 2 ,
(3.5)
V b V
dimana a merupakan suatu konstanta positif yang secara kasar berbanding lurus dengan
energi penguapan dari cairan. Terdapat dua hal yang harus diingat mengenai penggunaan
variabel baru a/ V 2 .
rjadi pada sembarang elemen volume pada bagian dalam menyeimbangkan mendekati nol,
hanya elemen volume didekat dinding kontainer mengalami ketidaksetimbangan gaya dan
membuat kecenderungan menarik molekul tersebut ke arah tengah. Oleh karenanya efek
karena tarik menarik hanya dirasakan pada dinding bejana. Kedua, penurunan rumus dibuat
dengan asumsi jangkauan efektif dari gaya tarik menarik ada pada orde sentimeter;
kenyataannya jangkauan dari gaya ini ada dalam orde nanometer.
Persamaan (3.5) merupakan persamaan van der Waals, yang diajukan oleh van der Waals,
yang merupakan orang pertama yang menemukan pengaruh dari ukuran molekuler dan gaya
antar molekul pada tekanan dari suatu gas. Gaya lemah ini disebut gaya van der Waals.
Konstanta van derWaals a dan b untuk beberapa gas diberikan pada Tabel 3.1. Persamaan
van der Waals seringkali ditulis dalam bentuk
p

Page 6 of 64

Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru


n2a 
 p  2 V  nb  nRT ,
V 


a 

 p  2  V  b  RT atau
V 






(3.6)

dimana V =n V dipergunakan untuk bentuk kedua.
3.3 IMPLIKASI DARI PERSAMAAN VAN DER WAALS
Persamaan van der Waals memperhitungkan dua hal: pertama, efek dari ukuran molekular,
pers (3.2),
RT
.
(V  b)
Karena penyebut pada persamaan diatas lebih kecil dari penyebut pada persamaan gas
ideal, efek dari ukuran itu sendiri meningkatkan tekanan di atas nilai yang ideal. Menurut
persamaan ini terdapat ruang kosong antara molekul, volume “bebas”, yang mengikuti
hukum gas ideal. Kedua efek dari gaya antar molekul, pers. (3.5),
p

RT
a
 2 ,
V b V
juga diperhitungkan. Efek dari gaya tarik menarik dengan sendirinya mengurangi tekanan
dibawah nilai dan diperhitungkan dengan mengeluarkan satu bentuk dari tekanan.
Untuk memperhitungkan Z untuk persamaan van der Waals kita mengalikan pers. (3.5)
dengan V dan membagi dengan RT; hal ini menghasilkan
p

Z 

pV
V
a


.
RT
V  b RT V

Penyebut dan pembilang pada sisi kanan dibagi dengan V:

1
a
Z 

.
1  b /V
RT V
Pada tekanan rendah b/V lebih kecil dari satu, jadi bentuk pertama pada sisi kanan diubah
menjadi serangkaian pangkat dari 1/V; oleh karenanya 1/(1 – b/V)= 1 + (b/V) + (b/V)2 + …,
kita mendapatkan
2

3

a 1 b

b
(3.7)
Z 1   b 
        ... ,
RT  V  V 

V 
yang mengungkapkan Z sebagai fungsi dari temperatur dan volume molar. Lebih disukai jika
Z berada sebagai fungsi temperatur dan tekanan; sehingga menghasilkan penyelesaian
untuk V sebagai fungsi dari T dan p, kemudian mengalikan hasilnya dengan p/RT untuk
mendapatkan Z sebagai fungsi dari p dan T menjadi hal yang penting. Karena persamaan
van der Waals merupakan persamaan pangkat tiga dalam V, penyelasaiannya menjadi
sangat sulit walaupun sangat informatif. Kita menitik beratkan pada pendekatan ungkapan
untuk Z(T,p) yang kita dapatkan dari pers. (3.7) dengan menetapkan p 0. (1/V) 0, dan Z = 1.
Ekspansi dari Z ini, mengubah bentuk menjadi p2,

Z 1 

1 
a 
a 
a  2
2b 
b 
p 
 p  ... .
3 
RT 
RT 
RT 
RT 

(3.8)

Koefisien yang benar untuk p dapat diperoleh dengan menggantikan 1/ V dengan nilai ideal
pada pers. (3.7); namun demikian hal ini akan menghasilkan nilai koefisien yang salah pada
tekanan yang lebih tinggi.
Persamaan (3.8) menujukkan bahwa bentuk yang bertanggung jawab untuk perilaku tidak
ideal menghilang tidak hanya ketika tekanan mendekati nol tetapi juga ketika temperatur
sangat tinggi. Oleh karenanya, sebagai suatu aturan umum, gas real mendekati perilaku
ideal ketika berada pada tekanan yang lebih rendah dan temperatur ditinggikan.
Bentuk kedua pada sisi kanan pers (3.8) haruslah dibandingkan dengan bentuk kedua pada
sisi kanan pers. (3.3), yang disadari sebagai akibat dari jumlah molekul yang tertentu. Slope
Page 7 of 64

Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru

dari kurva Z versus p didapatkan dengan mendeferesiasikan pers. (3.8) terhadap tekanan,
dengan temperatur konstan:
 Z 
1 
a 
a 
a  2

 
2b 
b 
p 
 p  ... .
3 

p
RT
RT
RT
RT





T
Pada p = 0, semua bentuk yang lebih tinggi dihilangkan dan penurunan ini dirubah menjadi
lebih sederhana
 Z 
1 
a 

 
b 
p,
p = 0,
(3.9)

p
RT
RT



T
dimana turunan tersebut merupakan slope awal dari kurva Z versusu p. Jika b > a/RT, slope
bernilai positif; efek dari ukuran mendominasi perilaku dari gas. Sebaliknya, jika b < a/RT,
slope awalnya menjadi negatif; efek dari gaya tarik menarik mendominasi perilaku dari gas.
Pada temperatur tertentu TB, temperatur Boyle, slope awal haruslah nol. Persyaratan untuk
hal ini diberikan oleh pers. (3.9) dimana b – a/RT = 0. Hal ini menghasilkan

a
.
(3.10)
Rb
Pada temperatur Boyle kurva Z terhadap p meruapakan tangent dari kurva untuk gas ideal
pada p = 0 dan naik diatas kurva gas ideal dengan perlahanTemperatur Boyle untuk
beberapa gas diberikan pada Tabel 3.2.
TB 

3.4 ISOTERM GAS REAL
Jika hubungan tekanan-volume untuk gas real diukur pada temperatur yang berbeda-beda,
diperoleh sejumlah isoterm seperti yang ditunjukan pada Gbr.3.5. Pada temperatur yang
tinggi isotermnya terlihat mirip dengan gas ideal, sementara pada temperatur rendah terlihat
cukup berbeda. Bagian horizontal dari kurva temperatur rendah sebagian membelok.
Anggaplah suatu kontainer gas pada keadaan yang digambarkan oleh titik A pada Gbr. 3.5.
Bayangkan bahwa salah satu bagian dinding dapat digerakkan (piston); dengan
mempertahankan temperatur pada T1, kita perlahan-lahan menekan dinding ini yang akan
menurunkan volume. Ketika volume menjadi lebih kecil, tekanan perlahan meningkat
sepanjang kurva hingga dicapai volume V2. Pengurangan volume hingga V2 tidak
menghasilkan perubahan tekanan hingga V3 tercapai. Sedikit pengurangan volume dari V3
hingga V4 menghasilkan peningkatan besar pada tekanan dari pe menjadi p’. Ini merupakan
rangkaian yang sangat penting dari serangkaian kejadian; khususnya penurunan volume
pada suatu rentang volume yang besar dimana tekanan bertahan pada nilai konstan pe.
Jika kita melihat kontainer pada saat hal ini berlangsung, kita menemukan bahwa pada V2
terbentuk tetesan pertama cairan. Ketika volume berubah dari V2 menjadi V3 lebih banyak
lagi cairan yang terbentuk; tekanan konstan pe merupakan kesetimbangan tekanan uap dari
dari cairan pada T1. Pada V3 runutan terkahir gas menghilang. Pengurangan volume
selanjutnya akan menekan cairan; dan tekanan naik dengan sangat tajam, karena cairan
hampir-hampir tidak dapat ditekan. Garis kenaikan pada kiri diagram oleh karenanya
merupakan isoterm dari cairan. Pada temperatur tertentu yang lebih tinggi perilakunya
secara kualitatif tetaplah sama, akan tetapi rentang dari volume dimana kondensasi terjadi
lebih kecil dan tekanan uap lebih besar. Jika kita teus menerus menaikkan temperatur,
bagian datarnya akhirnya menyempit menjadi suatu titik pada temperatur Tc, temperatur
kritis. Jika temperatur dinaikkan di atas Tc, isoterm terus menerus akan lebih mendekati
isoterm gas ideal; tidak terdapat daerah datar diatas Tc.
3.6 ISOTERM DARI PERSAMAAN VAN DER WAALS
Ingatlah persamaan van der Waals dalam bentuk
RT
a
p
 2
(3.12)
V b V
Saat V sangat besar persamaan ini mendekati persamaan gas ideal, karena V sangat
besar jika dibandingkan dengan b dan a/ V 2. Pernyataan ini benar pada semua temperatur.
Pada temperatur tinggi, bagian a/ V 2 dapat diabaikan, karena sangat kecil jika dibandingkan
Page 8 of 64

Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru

dengan RT/( V – b). Plot dari isoterm, p versus V , yang diperhitungkan dari persamaan van
der Waals, ditunjukan pada Gbr. 3.7.
Pada temperatur dan volume yang lebih rendah, tidak ada bagian dari persamaan yang
dapat diabaikan. Hasilnya lebih menarik. Pada temperatur Tc isoterm membentuk titik
defleksi, yaitu titik E. Pada temperatur yang lebih, isotermnya menunjukkan nilai maksimum
dan minimum.
Perbandingan dari isoterm van der Waals dengan isoterm gas ideal menunjukkan kesamaan
dalam beberapa hal. Kurva Tc pada Gbr. 3.7 mengingatkan kita pada kurva temperatur kritis
pada Gbr 3.5. Kurva T2 pada Gbr 3.7 memprediksikan tiga nilai volume V ’, V ’’, V ’’’, pada
tekanan pe. bagian datar yang berhubungan pada Gbr. 3.5 memprediksikan dengan tepat
banyak volume pada sistem pada tekanan pe. Sangat penting untuk menyadari bahwa
bahkan jika suatu fungsi yang rumit telah dituliskan, maka bagian kanan tetap menunjukkan
bagian datar seperti pada Gbr. 3.5. Osilasi dari persamaan van der Waals pada bagian ini
sebesar dari yang dapat diharapkan dari fungsi kontinyu sederhana.
Bagian AB dan DC dari kurva van der Waals pada T2 dapat dilihat secara eksperimental. Jika
volume dari gas pada temperatur T2 dikurangi secara bertahap, tekanan naik sepanjang
isoterm hingga titik D, saat tekanan pe tercapai. Pada titik ini kondensasi dapat terjadi, akan
tetapi dapat juga terjadi bahwa tidak terbentuk cairan, dan penurunan volume lebih lanjut
menghasilkan kenaikan tekanan sepanjang garis DC. Pada daerah (DC) tekanan gas melebihi
kesetimbangan tekanan uap dari cairan, pe, pada temperatur T2; titik ini karenanya
merupakan titik-titik uap super jenuh (atau super dingin). Sama halnya jika volume cairan
pada temperatur T2 dinaikkan, tekanan turun hingga titik A, saat tekanan pe dicapai. Pada
titik ini seharusnya terbentuk uap, akan tetapi dapat juga tidak tebentuk, sehingga
peningkatan volume selanjutnya akan menghasilkan penurunan tekanan sepanjang garis AB.
Sepanjang garis AB cairan berada dibawah tekanan yang berhubungan dengan
kesetimbangan tekanan uap dari cairan pada temperatur di bawah T2. Cairan berada di T2
sehingga cairan tersebut merupakan cairan super panas.
3.7 KEADAAN KRITIS
Jika persamaan van der Waals diambil dalam bentuk yang diberikan oleh pers. (3.6), bagian
tambahannya dihilangkan, dan hasilnya dikalikan dengan V 2/p, persamaan dapat disusun
dalam bentuk
3

RT  2 a
ab
V  V 
V   b 
0.
(3.13)
p 
p
p

Karena pers.(3.13) merupakan persamaan pangkat tiga, persaman tersebut dapat memiliki
tiga akar real untuk nilai tekanan dan temperatur tertentu. Pada Gbr. 3.7 ketiga akar untuk T2
dan pe merupakan persinggungan dari garis horizontal pada pe dengan isoterm pada T2.
Ketiga akar tersebut terdapat pada batas dari atau didalam daerah dua fase. Seperti yang
telah kita lihat pada Gbr. 3.6 dan 3.7 daerah dua fase menyempit dan akhirnya menutup
pada bagian atas. Hal ini berarti bahwa terdapat suatu tekanan maksimum tertentu pc dan
temperatur maksimum tertentu Tc dimana baik cairan maupun uap dapat ada bersamasama. Temperatur dan tekanan ini merupakan titik kritis dan volume yang berhubungan
disebut volume kritis Vc. Ketika daerah dua fase menyempit, ketiga akar dari persamaan van
der Waals saling mendekati satu sama lain, karena akar-akar tersebut harus berada pada
batas atau dalam daerah dua fase. Pada titik kritis ketiga akar sama dengan V c. Persamaan
pangkat tiga tersebut dapat ditulis dalam bentuk akar-akarnya V ’, V ’’, V V’’’:

(V  V ' )(V  V ' ' )(V  V ' ' ' ) 0.

Pada titik kritis V ’ = V ’’ = V ’’’ = V c, sehingga persamaan menjadi ( V – V c)3 = 0.
Dengan mengekspansikannya kita peroleh
3
2
2
3
(3.14)
V  3V c V  3V V c  V 0.
Pada kondisi yang sama, pers (3.13) menjadi

Page 9 of 64

Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru


RT
V 3   b  c
pc


 2 a
ab
V  V 
0.
pc
pc


Persamaan (3.14) dan (3.15) merupakan cara sederhana yang berbeda untuk menuliskan
persamaan yang sama; oleh karenanya koefisien dari tiap pangkat V harus sama pada kedua
persamaan. Dengan menetapakan kedua koefisien bernilai sama, kita mendapatkan tiga
persamaan:

RTc
,
pc

3
a
ab
Vc 
,
.
(3.16)
pc
pc
Persamaan (3.16) dapat dilihat dalam dua bentuk. Pertama, rangkaian persamaan dapat
diselesaikan untuk Vc, pc, dan Tc dalam bentuk a, b dan R; oleh karenanya

3V c b 

2

3V c 

a
,
27b 2

8a
(3.17)
27 Rb
Jika nilai a dan b diketahui, pers. (3.17) dapat dipergunakan untuk memperhitungkan V c, pc,
dan Tc.
Dengan mempergunakan sudut pandang kedua, kita menyelesaikan persamaan untuk a, b,
dan R dalam bentuk pc, V c, dan Tc. Maka,

V c 3b ,

pc 

Tc 

8 pc V c
(3.18)
3Tc
Mempergunakan persamaan (3.18) kita dapat memperhitungkan nilai konstanta a, b, dan R
dari data kritis. Namun demikian, nilai dari R yang didapat tidak sesuai dengan nilai R yang
diketahui, dan didapat beberapa kesulitan.
Karena V c sulit untuk ditentukan secara akurat dengan eksperimen, akan lebih baik jika a
dan b didapat hanya dari pc dan Tc. hal ini dilakukan dengan mengambil anggota ketiga dari
persamaan (3.18) dan menyelesaikannya untuk V c. Hal ini menghasilkan

b

Vc
,
3

a 3 p cVV2c ,

Vc 

R

3RTc
.
8 pc

Nilai pc yang diperoleh diletakkan pada persamaan kedua dari pers (3.18) untuk
menghasilkan

b

RTc
,
8 pc

a

27( RTc ) 2
.
64 p c

(3.19)

Mempergunakan pers. (3.19) dan nilai R yang biasa, kita dapat memperhitungkan a dan b
dari pc, dan tc saja. Hal ini merupakan prosedur yang lebih umum. Bagaimanpun juga,
sejujurnya kita harus membandingkan nilai V c = 3RTc/8pc, dengan nilai Vc yang terukur.
Hasilnya sekali lagi akan sangat buruk. Nilai yang diperoleh dan diperhitungkan dari Vc tidak
sesuai lebih dari yang dapat diperhitungkan oleh kesulitan eksperimental.
Keseluruhan permasalahannya adalah persamaan van der Waals tidak begitu akurat didekat
titik kritis. Kenyataan ini, bersama-sama dengan kenyataan bahwa nilai konstanta ini selalu
hampir diperhitungkan (satu cara atau lainnya) dari data kritis, berarti bahwa persamaan van
der Waals tidak dapat dipergunakan untuk perhitungan sifat gas secara presisi- walaupun
persamaan ini merupakan pengembangan dari persamaan gas ideal. Manfaat yang besar
dari persamaan van der Waals adalah bahwa studi mengenai prediksinya memberikan
pandangan yang baik mengenai perilaku dari gas dan hubungannya dengan fenomemna
pencairan. Hal yang penting adalah bahwa persamaan tersebut telah memprediksikan
keadaan kritis; sayangnya persamaan tersebut tidak menggambarkan enam sifat-sifat gas.
Persamaan lain yang lebih tepat juga ada. Data kritis untuk beberapa gas diberikan pada
Tabel 3.3.

Page 10 of 64

Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru

3.8 HUKUM KEADAAN-KEADAAN YANG BERHUBUNGAN
Mempergunakan nilai dari a, b, dan R yang diberikan oleh persamaan (3.18), kita dapat
menuliskan persamaan van der Waals dalam bentuk yang sama

p

8 pc V cT

3Tc (V  V c / 3)
Yang dapat disusun kembali dalam bentuk

2



3 pc V c
V

2

.

8T / Tc
p
3


.
p c 3(V / V c )  1 (V / V c ) 2

(3.20)

Persamaan (3.20) hanya melibatkan rasio dari p/pc, T/Tc, dan V / V c. Hal ini menunjukan
bahwa rasio p, T dan V merupakan variabel yang penting untuk karakterisasi gas. Rasio ini
disebut variabel keadaan yang tereduksi π, τ, dan  .:

  p / pc ,

 T // Tc ,

 V / V c
Menuliskan dalam bentuk variabel-variabel tsb., persaman van der Waals berubah menjadi

8
3
 2
(3.21)
3  1 
Hal penting mengenai pers. (3.21) adalah bahwa persaman ini tidak mengandung konstanta
yang asing untuk setiap gas; oleh karenanya persamaan ini harus dapat menggambarkan
semua gas. Dengan ini, hilangnya pengumuman yang didapat ketika mempergunakan
persamaan van der Waals, dibandingkan dengan persamaan gas ideal sehingga dapat
diperoleh kembali. Persamaan seperti pers. (3.21) yang mengungkapakan variabel yang
terduksi sebagai fungsi dari variabel tereduksi yang lain merupakan bentuk dari hukum
keadaan yang berhubungan.
Dua gas pada temperatur tereduksi yang sama dan tekanan tereduksi yang sama berada
dalam keadaan berhubungan. Dengan hukum keadaan berhubungan, keduanya seharusnya
berada pada volume tereduksi yang sama, Sebagai contoh, argon pada 320 K dan tekanan
16 atm, dan etana pada 381 K dan tekanan 18 atm berada dalam keadaan berhubungan,
karena masing-masing memiliki nilai τ = 2 dan π = 1/3.

 

3.9 PERSAMAAN KEADAAN LAIN
Persaman van der Waals hanya merupakan satu dari sekian banyak persamaan yang telah
diajukan selama bertahun-tahun untuk memperhitungkan nilai data pVT untuk gas. Beberapa
dari persaman ini ditabelkan pada Tabel 3.4, bersama-sama dengan ungkapan untuk hukum
keadan berhubungan untuk persamaan dua konstanta, dan prediksi nilai rasio kritis dari
RTc/pcVc. Dari persamaan ini, baik persaman Beattie Bridgeman maupun persamaan virial
merupakan persaman yang bekerja paling baik. Persamaan Beattie-Bridgemann melibatkan
lima konstanta tambahan selain R: Ao, a, Bo b, dan c. Nilai untuk konstanta BeattieBridgemann untuk beberapa gas diberikan pada Tabel 3.5.
Akhirnya , haruslah diingat bahwa semua persaman keadaan untuk gas didasarkan pada dua
ide dasar yang pertama kali diajukan oleh van der Waals: (1) molekul memiliki ukuran, dan
(2) terjadi gaya antara molekul. Persamaan yang lebih modern melibatkan efek dari
kebergantungan terhadap gaya antarmolekul pada jarak pemisahan molekul.
4 Struktur Gas
Teori Kinetik Gas: Asumsi Dasar
Model yang dipergunakan pada teori kinetik gas dapat digambarkan dengan tiga asumsi
dasar mengenai struktur gas.
1. Gas tersusun dari sejumlah sangat besar partikel kecil (atom atau molekul).
2. Tanpa adanya medan gaya, partikel-partikel ini bergerak dalam garis lurus. (sesuai
dengan hukum Newton pertama).
3. Partikel-partikel ini jarang berinteraksi (bertumbukan) satu dengan yang lainnya.
Page 11 of 64

Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru

Sebagai tambahan untuk asumsi-asumsi ini kita menetapkan bahwa pada sembarang
tumbukan energi kinetik total dari dua molekul sama sebelum dan sesudah tumbukan.
Tumbukan jenis ini merupakan suatu tumbukan elastis.
PERHITUNGAN TEKANAN SUATU GAS
Jika suatu partikel bertumbukan dengan dinding dan akan memantul, suatu gaya akan
dihasilkan pada dinding pada saat tumbukan.
Pada faktanya pengukur tekanan yang merespon benturan dari satu molekul tidak tersedia.
Pada keadaan laboratorium, pegukur tekanan mengukur tekanan tetap, nilai rata-rata dari
gaya per satuan luas yang dihasilkan oleh benturan dari sejumlah besar molekul; hal ini
ditunjukkan dengan garis putus-putus pada Gbr. 4.2(b).
Untuk menghitung nilai rat-rat dari tekanan kita mulai dengan hukum kedua Newton
mengenai gerak:

F ma m

du d  mu 

,
dt
dt

(4.1)

dimana F adalah gaya yang bekerja pada partikel dengan massa m, a adalah percepatan,
dan u adalah laju dari partikel. Menurut pers. (4.1) gaya yang bekerja pada partikel sama
dengan momentum per satuan waktu. Gaya yang bekerja pada dinding sama dengan dan
berlawanan tanda dengan ini. Untuk partikel pada Gbr. 4.1, momentum sebelum tumbukan
adalah mu1, sedangkan momentum sesudah tumbukan adalah – mu1. Selanjutnya perubahan
momentum dalam tumbukan sama dengan selisih momentum akhir dan momentum awal.
Oleh karenanya kita mendapatkan (–mu1) – mu1 = - 2mu1. Perubahan momentum dalam
satuan waktu merupakan perubahan momentum dalam satu tumbukan dikalikan dengan
jumlah tumbukan partikel dengan dinding per detik. Karena waktu antar tumbukan sama
dengan waktu yang diperlukan untuk bergerak sejauh 2l, t = 2l/u1. Kemudian jumlah
tumbukan perdetik adalah u1/2l. Oleh karenanya perubahan momentum per detik sama
dengan – 2mu1(u1/2l). Maka gaya yang terjadi pada satu partikel diberikan oleh F = – mu21/l,
dan gaya yang bekerja pada dinding diberikan oleh Fw = + mu21/l. Akan tetapi tekanan p’
adalah Fw/A; maka

p' 

m12 m12

,
Al
V

(4.2)

dimana Al = V volume dari kotak.
Persamaan (4.2) hanya memberikan nilai tekanan untuk satu partikel saja; untuk partikelpartikel dengan kecepatan u2, u3,…,gaya keseluruhan, dan juga tekanan total p merupakan
penjumlahan dari gaya yang dihasilkan oleh setiap partikel:

Page 12 of 64

Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru

p

m(u12  u 22  u 32  ...)
,
V

(4.3)

Rata-rata dari kuadrat kecepatan, , didefinisikan dengan

u2 

(u12  u 22  u 32  ...)
,
N

(4.4)

Nm  u 2 
p
,
V

(4.5)

dimana N adalah jumlah partikel dalam kotak. Mempergunakan pers. (4.4) dalam pers. (4.3)
kita mendapatkan

persamaan akhir untuk tekanan dari gas satu dimensi. Sebelum mempergunakan pers. (4.5),
kita harus menguji penurunannya untuk melihat apakah akibat dari tumbukan dan arah yang
beragam dari tumbukan terhadap hasilnya.
Kenyataan bahwa molekul cenderung bergerak dengan arah yang berbeda dibandingkan
dengan arah yang sama memberikan pengaruh yang penting pada hasil. Akibatnya faktor N
pada persamaan (4.5) harus digantikan dengan ⅓ N, karena hanya sepertiga dari molekul
yang bergerak ketiga arah. Penggantian ini menghasilkan
1

p 3

Nm  u 2 
.
V

(4.6)

Tebakan sederhana ini memberikan hasil yang benar, akan tetapi alasannya jauh lebih
kompleks dibandingkan dengan apa yang telah dikemukakan sebelumnya. Untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih baik pers. (4.6) akan diturunkan dengan cara yang
berbeda.
Vektor kecepatan c dari partikel dapat dibagi menjadi komponen normal terhadap dinding, u,
dan dua komponen tangensial v dan w. Anggaplah suatu partikel menumbuk dinding dengan
sudut tertentu dan dipantulkan (Gbr. 4.4). Satu-satunya komponen kecepatan yang
dibalikkan pada tumbukan adalah komponen normal, u. Komponen tangensial v dan w
memiliki arah dan besar yang sama sebelum dan sesudah tumbukan. Hal ini juga berlaku
untuk komponen tangensial kedua w, tidak ditunjukkan pada Gbr 4.4. Karena hanya
pembalikan komponen normal yang bermakna, perubahan momentum pertumbukan dengan
dinding adalah –2mu; jumlah benturan per detik sama dengan u/2l. Sehingga pers. (4.5)
harus dibaca sebagai

Nm  u 2
p
V

(4.7)

Jika komponen diambil sepanjang tiga sumbu x, y, z, sebagaimana pada Gbr. 4.5, kemudian
kuadrat dari vektor kecepatan dihubungkan dengan kuadrat dari komponen melalui
c 2 u 2  v 2  w 2 ,
(4.8)
Untuk sebarang molekul individual, komponen kecepatan seluruhnya berlainan, sehingga
setiap suku pada sisi kanan pers. (4.8) memiliki nilai yang berbeda. Akan tetapi jika pers.
(4.8) merupakan rata-rata dari keseluruhan molekul, kita mendapatkan
c2

 u 2  v 2  w2

(4.9)
Tidaklah beralasan untuk mengharapkan salah satu dari ketiga arah lebih utama setelah kita
merata-ratakan dari keseluruhan molekul. Oleh karenanya kita mengharapkan bahwa =
= . Mempergunakan hasil ini untuk pers. (4.9), kita mendapatkan

u 2  13 c 2 .

(4.10)

Arah x dianggap sebagai arah normal terhadap dinding; maka, dengan memasukkan
dari pers (4.10), kita mendapatkan persamaan eksak untuk tekanan:

Page 13 of 64

Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
1

p 3

Nm  c 2 
.
V

(4.11)

sama dengan yang diperoleh dari perkiraan dengan pers. (4.6) u = c, karena v dan w bernilai
nol pada penurunan dari pers. (4.6).
Anggaplah energi kinetik dari sebarang molekul ε = ½ mc2. Jika kedua sisi dari persamaan ini
dirata-ratakan untuk semua molekul, mkaka < ε > = ½ m2. Mempergunakan hasil ini
untuk pers. (4.11), menghasilkan p = ⅔ N< ε >/V, atau

pV  23 N    .

(4.12)

Jika wadah dalam Gbr. 4.1 sedikit diperpanjang, volume sedikit meningkat. Jika kelajuan dari
partikel tetap sama, diperlukan waktu lebih oleh satu untuk partikel untuk bergerak diantara
dinding, sehingga menurunkan jumlah tumbukan partikel dengan dinding per detik, dan
menguragi tekanan pada dinding. Sehingga peningkatan volume menurunkan tekanan
sebagai akibat lebih sedikitnya tumbukan dalam rentang waktu tertentu.
Kita sekarang membandingkan pers. (4.12) dengan hukum gas ideal,
pV nRT
Jika pers. (4.12) menggambarkan gas ideal, maka pastilah bahwa

nRT  23 N    .
Sekarang n dan N dihubungkan oleh n = N/NA dimana NA merupakan konstanta Avogadro.
Sehingga

RT  23 N A   

(4.13)

Anggaplah U sebagai keseluruhan energi kinetik yang berhubungan dengan gerakan acak
molekul satu mol gas. Maka U = NA , dan

U  23 RT .

(4.14)

Persamaan (4.14) menyatakan bahwa energi kinetik dari gerakan acak sebanding dengan
temperatur absolut. Untuk alasan ini, gerakan acak atau gerakan chaos seingkali disebut
gerakan termal molekul. Pada temperatur nol mutlak gerakan ini terhenti sepenuhnya. Oleh
karenanya temperatur merupakan ukuran dari energi kinetik rata-rata dari gerakan acak.
Sangatlah penting untuk menyadari temperatur tidak berhubungan dengan enrgi kinetik dari
satu molekul, tetapi dengan rata-rata dari energi kinetik dari sejumlah besar molekul;
sehingga merupakan sebuah konsep statistik. Sistem yang tersusun dari satu molekul atau
sedikit molekul tidak akan menghasilkan temperatur seperti yang sedang dibicarakan.
Kenyataan bahwa hukum gas ideal tidak memuat karakteristik khusus dari suatu gas tertentu
berakibat bahwa pada suatu temperatur tertentu semua gas memilki energi kinetik rata-rata
yang sama. Dengan mempergunakan pers (4.13) untuk dua gas yang berbeda, kita
mendapatkan 3/2RT = NA, dan 3/2RT = NB; maka =, atau
2
2
1
1
. Kecepatan rms (root mean square)nya, crms didefinisikan sebagai
1
2
2 1
2 2

m  c  m  c 

(4.15)
Rasio dari crms dari dua molekul dengan massa yang berbeda sama dengan kebalikan akar
kuadrat perbandingan massanya:
c rms 

c2 .

(c rms )1
m
M2
 2 
,
(c rms ) 2
m1
M1

(4.16)

dimana M = NAm merupakan massa molar. Gas yang lebih berat memiliki crms yang lebih kecil.
Nilai numerik untuk laju rms dari sebarang gas dihitung dengan menggabungkan pers. (4.13)
2
2
2
1
dan
; maka, RT  23 N A 12 m  c , atau  c 3RT / M , dan
2

   m  c 

c rms 

3RT
.
M

(4.17)

Page 14 of 64

Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru

HUKUM TEKANAN PARSIAL DALTON
Dalam suatu campuran gas tekanan total merupakan penjumlahan dari gaya per satuan luas
yang dihasilkan oleh benturan pada dinding dari wadah. Setiap jenis molekul berkontribusi
pada satu suku pada pers. (4.11) mengenai tekanan. Untuk suatu campuran gas kita
mendapatkan

N1m1  c12  N 2m2  c22  N3m3  c32 
p


. .
3V
3V
3V

(4.18)

atau

p  p1  p 2  p3  ...,

(4.19)

EVALUASI DARI A DAN β
Konstanta A dan β ditentukan dengan distribusi yang menghasilkan nilai yang benar dari
keseluruhan molekul dan enrgi kinetik rata-rata. Nilai keseluruhan dari molekul didapatkan
dengan menjumlahkan dnc pada keseluruhan nilai yang mungkin untuk c diantara nol dan tak
hingga:
c 

N 

(4.48)

dnc .

c 0

Energi kinetik rata-rata dihitung dengan mengalikan energi kinetik, ½ mc , dengan jumlah
molekul dnc, yang memiliki energi kinetik, menjumlahkan untuk keseluruhan nilai c dan
membagi dengan jumlah molekul keseluruhan N.
2

c 

1
c 0 2


  

mc 2 dnc
N

(4.49)

.

Pers. (4.48) dan (4.49) menentukan A dan β.
Menggantikan dnc dalam pers. (4.48) dengan nilai yang diberikan oleh pers. (4.49)
memberikan
3

c 

2

4πNA e  βc c 2 dc.

N 

c 0

membagi keseluruhan pers. Dengan N dan mengeluarkan konstanta dari tanda integral
menghasilkan
c 

1 4A 3 

c 0

2

c 2 e  c dc.
c 

Dari Tabel 4.1 kita mendapatkan



c 0

2

c 2 e  c dc 

1

2

/ 4

3

2

. Sehingga,

1

3

1 4A 3 2 / 4 2 .

Sehingga akhirnya
3

  2
(4.50)
A 3   ,
 
yang memberikan nilai A dalam bentuk β.
Dalam keadaan kedua, pers. (4.49), kita mempergunakan nilai untuk nilai dnc dari pers.
(4.34):
c 

1
c 0 2


  

2

mc 2 4πNA 3 e  βc c 2 dc
N

mempergunakan pers. (4.50) kita mendapatkan
 
  2m   c 4 e  c dc.
  0
3

Dari Tabel 4.1, kita mendapatkan

2



c
0

2

4

2

e  c dc 3

3

2

/ 8

5

2

. Sehingga menjadi =

3m/4β, dan sehingga



3m
,
4 

(4.51)
Page 15 of 64

Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru

yang menyatakan β dalam bentuk energi rata-rata per molekul . Persamaan (4.13)
meenghubungkan energi rata-rata per molekul dengan temperatur:

3 R 
T  32 kT ,
   
(4.13a)
2  N A 
Konstanta gas per molekul merupakan konstanta Boltzmann, k = R/NA = 1,3807 x 10-23 J/K.
Mempergunakan hubungan dalam pers. Memberikan β secara eksplisit dalam bentuk m dan
T.
m
 
.
(4.52)
2kT
Mempergunakan pers. (4.52) dalam pers. (4.50), kita mendapatkan
3

1

2
2
 m 
 m 
(4.53)
A 
A 
 ,
 .
 2kT 
 2kT 
Mempergunakan pers. (4.52) dan (4.53) untuk β dan A3 dalam pers. (4.34), kita mendapatkan
distribusi Maxwell dalam bentuk eksplisit:

3

3

2
 m 
2  mc 2 / 2 kT
(4.54)
dnc 4N 
dc.
 c e
2

kT


Distribusi Maxwell menyatakan jumlah molekul dengan kecepatan antara c hingga c + dc
dalam bentuk jumlah keseluruhan molekul yang ada, massa molekul, temperatur, dan
kecepatan. (untuk menyederhanakan perhitungan yang melibatkan distribusi Maxwell,
ingatlah bahwa rasio m/k = M/R, dimana M merupakan massa molar.) Distribusi Maxwell
diplot dengan fungsi (1/N)(dnc/dc) sebagai ordinat dan c sebagai absis. Fraksi dari molekul
dalam rentang kecepatan c hingga dc adalah dnc/N; membagi nilai ini dengan dc memberikan
fraksi molekul dalam rentang kecepatan ini per satuan lebar interval.

3

2
1 dnc
 m 
2  mc 2 / 2 kT
4 
.
 c e
N dc
 2kT 

(4.55)

Plot fungsi untuk nitrogen pada dua temperatur diberikan pada Gambar 4.9.
Fungsi yang ditunjukkan pada Gbr. 4.9 merupakan probabilitas untuk menemukan molekul
dengan kecepatan antara c dan c + dc, dibagi dengan lebar dc dari rentang. Ordinatnya
merupakan probabilitas untuk menemukan satu molekul dengan kecepatan c dan (c + 1)
m/s. Kurvanya berbentuk parabolik didekat awalnya, dan fungsi eksponensialnya mendekati
satu; pada nilai c yang besar, fungsi eksponensial mendominasi perilaku dari fungsi, dan
menyebabkan penurunan nilainya dengan cepat. Sebagai akibat dari perilaku yang kontras
dari kedua faktor ini, fungsi yang dihasilkan memiliki nilai maksimum pada cmp. Kecepatan ini
disebut sebagai kecepatan yang paling mungkin (most probable), cmp dapat dihitung dengan
menurunkan fungsi pada sebelah kanan pers. (4.55) dan menolkan turunannya sehingga
mendapatkan lokasi dari tangen horisontal. Prosedur ini menghasilkan
2

mc 2 
 0.
ce  mc / 2 kT  2 
kT 

Kurva ini memilki tiga tangen horisontal: pada c = 0; pada c
∞, ketika exp(- ½ mc2/kT) =
0; dan ketika 2 – mc2kT = 0. Kondisi terkahir ini memberikan cmp.
2kT
2 RT
c mp 

.
m
M
(4.56)
PERHITUNGAN NILAI RATA-RATA MEMPERGUNAKAN DISTRIBUSI MAXWELL
Dari distiubusi Maxwell, nilai rata-rata dari kuantitas yang bergantung pada kecepatan dapat
diperhitungkan. Jika kita ingin menghitung nilai rata-rata dari dari sebarang fungsi
kecepatan , kita mengalikan fungsi g(c) dengan dnc, jumlah molekul yang memiliki
kecepatan c; kemudian kita menjumlahkan pada semua nilai c dari nol hingga tak hingga dan
membagi dengan jumlah keseluruhan molekul dalam gas.

Page 16 of 64

Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
c 

 g 



c 0

g (c)dnc
N

(4.57)

.

CONTOH
Sebagai suatu contoh untuk penggunaan pers. (4.57), kita dapat menghitung energi kinetik
rata-rata untuk molekul gas; untuk kasus ini g(c) = e = ½ mc2. Sehingga pers. (4.57) menjadi
c 

mc 2 dnc

1
c 0 2


 e 

N

,

yang identik dengan pers (4.49). Jika kita memasukkan nilai dnc dan mengintegrasikannya,
kita tentu saja akan mendapatkan bahwa = 3/2 kT, karena kita mempergunakan
hubungan ini untuk menentukan konstanta β pada fungsi distribusi.
CONTOH
Nilai rata-rata lain yang penting adalah kecepatan rata-rata . Mempergunakan pers.
(4.57), kita mendapatkan
c 


 e 

c 0

cdnc

.

N

Mempergunakan nilai dnc yang didapatkan dari pers (4.54), kita mendapatkan

 m 
 c 4 
c 3 e  mc / 2 kT dc.
 
0
 2kT 
Integralnya dapat didapatkan dari Tabel 4.1 atau dapat dievaluasi dengan metode dasar
melalui perubahan pada variabel: x = ½ mc2/kT. Substitusi ini menghasilkan
8kT   x
 c 
xe dx.
0
m 
3

Akan tetapi



 xe
0

 x

2

2

dx = 1; sehingga

8kT
8 RT
(4.58)

.
m
m
Haruslah diingat bahwa kecepatan rata-rata tidak sama dengan crms akan tetapi biasanya
memiliki nilai yang lebih kecil.
 c 

NILAI RATA-RATA DARI KOMPONEN INDIVIDUAL; EKUIPARTISI ENERGI
Sangatlah memudahkan jika kita dapat menghitung dari masing-masing komponen
kecepatan. Untuk maksud ini, bentuk distribusi Maxwell yang paling biasa adalah yang ada
pada pers. (4.30). Nilai rata-rata dari u diberikan oleh persamaan yang analog dengan pers.
(4.57):













 u