Reformasi Pelayanan Kesehatan Dalam Kont (1)

REFORMASI PELAYANAN KESEHATAN
DALAM KONTEKS
PERUBAHAN PARADIGMA MANAJEMEN PUBLIK
Joash Tapiheru

Abstract
New stage in the history of governance is taking shape. Changing relationship between the state
and various groups within the society has been marking the last forty years. As the relationship
changed, so are the various arrangements in various fields in the public sphere. These changes,
however, are open-ended in its nature, determined some by our choices and some by chances
occurring as context constraining our choices. Such situation is also reflected in the field of
social policy, more specifically in the area of health-service insurance policy. The tension
between parties which, on the one hand wants the matter of health-service insurance policy to be
handed over to the private parties and on the other hand, we also have a party who wants to
state to keep this matter as their business, based on the recognition of the citizens’ right to have
the state guarantees their well-being. These two perspectives have made the discourse of public
management reform as one as their battlefield over power to give meanings over the on going
change in the discourse of governance. This article describes the root of the debate among those
two perspectives and how each perspectives and the debate between them influence the course of
change in relations between Indonesian state and various non-state actors in the area of healthservice insurance policy. This article also gives some preliminary picture about the general
challenges and opportunities in managing and maintaining social policy, particularly in the area

of health-service insurance policy, in Indonesia during this open-ended transformation process.
A. Jaman Bergerak: Pola Relasi Baru Negara dan Aktor-aktor di Luar Negara
Menjelang berakhirnya abad lalu sampai saat ini, dunia tengah menyaksikan perubahan
besar yang melanda hampir seluruh belahan bumi. Posisi sentral, dan seringkali juga sakral, dari


Tulisan ini dibuat sebagai artikel jurnal Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta, edisi II tahun 1,
Desember 2007.

Peneliti di Centre for Local Politics and Development Studies, Yogyakarta.

1

negara dikritik, digugat, dan dipertanyakan. Negara tidak lagi menempati posisi yang paling
benar dan paling otoritatif dalam menentukan suatu kebijakan. Hal ini akan nampak mencolok
jika kita memperhatikan bagaimana berbagai rejim otoritarian bertumbangan ketika publik, baik
publik nasional negara itu maupun publik internasional1, tidak lagi bisa menerima keberadaan
negara yang begitu kuat dan nyaris tanpa kontrol (relatif otonom) dalam menentukan berbagai
kebijakan yang menyangkut hajat hidup begitu banyak orang.
Proses yang sama ternyata juga terjadi di negara-negara yang selama ini dianggap sebagai

negara paling liberal, dipunggawai oleh dua kekuatan paling dominan di Anglophone-world;
yaitu Amerika Serikat dan Inggris Raya. Pada era 1970an di dua negara itu terjadi proses
liberalisasi yang begitu kuat, ditandai dengan dikeluarkannya kebijakan liberalisasi berbagai
sektor publik, yang biasa kita kenal sebagai kebijakan Reaganism di US dan Thatcherism di UK.
Jargon Thatcher yang begitu terkenal “tidak ada masyarakat, yang ada adalah individu”
menginspirasikan pentingnya self-care, yang mengacu pada kesejahteraan individu ketimbang
kesejahteraan publik (welfare).
Negara dianggap gagal memenuhi harapan untuk memberikan jaminan kesejahteraan
sosial, meskipun sejak pasca Perang Dunia (PD) II negara telah diberi kepercayaan oleh publik
untuk memegang otoritas yang lebih besar. Tetapi, hasilnya malah krisis ekonomi yang
berkepanjangan, baik di negara maju maupun berkembang, disusul berbagai permasalahan
turunannya, seperti pengangguran; goyahnya keseimbangan anggaran negara yang berujung pada
kenaikan pajak di sejumlah negara dsb. Tidak efektifnya kebijakan negara dalam memberikan
jaminan sosial selama periode itu dianggap sebagai akibat dari merebaknya penyakit korupsi,
inefisiensi, dan birokratisme dalam tubuh negara, karena negara memiliki kekuasaan yang terlalu
besar dan sentralistis. Untuk itu kekuasaan negara ini harus dikurangi dan aktor-aktor lain di luar
negara harus diberi peran dan kebebasan yang lebih besar. Selain itu, kekuasaan yang terpusat
pada negara, harus semaksimal mungkin didesentralisasikan.

1


Ada tiga pola yang mendorong demokratisasi, yaitu dorongan internal yang dimotori oleh elit maupun
masyarakat, dorongan eksternal, dan campuran ekternal dan internal. Tentang teori-teori demokratisasi lihat
misalnya Huntington, Samuel, “Democracy’s Third Wave,” Journal of Democracy, 1995; Sorensen, George,
“Democracy and Democratization: Processes and Prospects in a Changing World,” Westview Press, 1998;
Schmitter, Philipp C dan Terry Linn Karl, “What Democracy is … and is Not,” Journal of Democracy, Summer 1991
vol. 2 no. 3.

2

Proses liberalisasi dan desentralisasi ini menuntut adanya perubahan posisi dan relasi
antara aktor negara dan aktor-aktor lain di luar negara, menuju suatu pola relasi yang sifatnya
lebih non-hirarkial. Dalam proses tersebut negara juga harus mengubah model manajemen atau
administrasi terhadap sektor-sektor publik yang diadopsinya. Perubahan model manajemen atau
administrasi publik yang dilakukan negara dituntut untuk mengacu pada perubahan cakupan dan
level intervensi negara dalam sektor-sektor yang selama ini dianggap sebagai sektor publik serta
perubahan pola relasi antara negara dan aktor-aktor di luar negara, yang biasa juga disebut
sebagai stake-holders.
Perubahan pola relasi yang terjadi berlangsung dalam relasi yang sifatnya horizontal
maupun vertical. Ada istilah multilayer governance, di mana relasi antara berbagai aktor negara

dan aktor-aktor di luar negara terjadi hampir di seluruh level, baik di tingkat nasional maupun
lokal. Di Indonesia, situasi ini semakin kentara terjadi ketika kebijakan desentralisasi yang
melahirkan otonomi daerah diberlakukan. Kebijakan desentralisasi tersebut membuat aktor-aktor
negara maupun non-negara di level yang lebih tinggi tidak bisa begitu saja mengambil suatu
keputusan atau menetapkan suatu kebijakan tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan aktoraktor di level yang lebih rendah.
Multilayer governance ini juga ikut mempengaruhi multiplikasi aktor-aktor yang terlibat
dalam governance, yang biasa disebut dengan multiple actor governance. Aktor-aktor di level
yang berbeda memiliki kepentingan yang berbeda dan mereka berada dalam sebuah relasi yang
sifatnya non-hirarkis, tetapi lebih bersifat konsensual. Aktor-aktor menjadi lebih banyak lagi
ketika kita menyadari bahwa ternyata negara bukanlah sebuah entitas yang tunggal, tetapi terdiri
dari berbagai kepentingan. Fakta ini menimbulkan tantangan tersendiri. Kebijakan atau
keputusan publik yang diambil tidak hanya harus mendapatkan legitimasi serta bersambung
dengan kebutuhan publik, tetapi juga harus bisa mendapatkan kesediaan kerjasama serta
koordinasi dari berbagai sesama agen atau aktor negara.2
Pelibatan aktor-aktor di luar negara ini diharapkan bisa meningkatkan kinerja negara
dalam mengelola sektor publik. Kehadiran aktor-aktor di luar negara ini dalam pengelolaan
sektor publik juga diharapkan mampu menjadi penyeimbang bagi kekuasaan negara, sekaligus

2


Peters, B. Guy, “Managing Horizontal Governments: the Politics of Coordination,” Research Paper no. 21,
Canadian Centre for Management Development, January 1998.

3

menjadi penawar bagi penyakit korupsi, inefisiensi, dan birokratisme yang timbul sebagai efeksamping yang tidak diinginkan dari kuatnya posisi negara dalam pengelolaan sektor publik.
Tujuan lain dari perubahan paradigma dalam manajemen atau administrasi publik ini adalah
mengurangi beban anggaran negara yang selama ini muncul sebagai akibat besarnya inefektifitas
dan inefisiensi negara dalam mengelola sektor publik.
Tuntutan perubahan ini memunculkan model-model manajemen atau administrasi publik
baru. Diantaranya ada dua yang cukup dominan dalam diskursus manajemen atau administrasi
publik, yaitu model New-Public Management dan model New-Public Services. Meskipun samasama ditawarkan sebagai model baru bagi praktek administrasi publik di era baru ini, antara
kedua model tersebut terdapat berbagai perbedaan mendasar, bahkan seringkali bertentangan
satu sama lain. Pilihan terhadap model-model alternatif ini akan menentukan bagaimana negara
memosisikan dirinya dalam relasinya dengan aktor-aktor lain di luar negara, pilihan-pilihan
kebijakan yang tersedia bagi negara, cakupan serta level intervensi negara dalam sektor-sektor
publik, prosedur-prosedur yang digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan, dan standar
kebijakan yang berlaku.
Proses perubahan ini sering disebut dengan istilah reformasi manajemen publik. Untuk
sementara ini, secara sederhana mungkin kita bisa mendefinisikan reformasi manajemen publik

ini sebagai perubahan-perubahan terukur dan terarah dalam berbagai struktur dan proses
organisasi-organisasi sektor publik dengan tujuan untuk membuatnya bekerja secara lebih baik
(dalam pengertian tertentu).3
Perubahan model manajemen atau administrasi publik menimbulkan sejumlah
konsekuensi yang sangat signifikan dalam berbagai sektor yang selama ini menjadi bagian
pemerintah untuk menangani, yang biasa disebut sebagai sektor publik. Dalam tulisan ini kita
akan melihat bagaimana perubahan model manajemen atau administrasi publik menimbulkan
pengaruh yang sangat signifikan bagi dinamika dalam sektor publik, khususnya sektor
kesejahteraan sosial dan lebih spesifik lagi sektor pelayanan dan penjaminan kesehatan. Tetapi,
sebelum melangkah lebih jauh, ada beberapa pengertian dasar yang perlu kita klarifikasi lagi,
yaitu pengertian tentang perubahan manajemen publik dan kebijakan sosial, khususnya terkait

3

Pollit Christopher dan Bouckaert, Geert, “Publik Management Reform: A Comparative Analysis,” Oxford
University Press, NY, 2000: hal. 8.

4

dengan logika yang mengkerangkai pemikiran ‘kesehatan sebagai barang publik’, yang oleh

karenanya penyediaannya harus dibiayai dengan biaya publik.
B. Reformasi Manajemen Publik  Dari NPM menuju NPS
Sebagaimana telah dipaparkan secara singkat di atas, proses perubahan manajemen atau
administrasi publik yang sedang berlangsung saat ini memunculkan dua varian besar model
manajemen publik, yaitu NPM dan NPS. Tetapi, perlu diingat bahwa, pilihan untuk mengadopsi
salah satu model tersebut tidak serta merta merta merujuk pada sebuah model baku, dan
prosesnya lebih merupakan sebuah proses yang bersifat open-ended.
Proses perubahan model manajemen atau administrasi publik ini kita kenal dengan istilah
reformasi manajemen publik, atau ‘new publik-management’. Konsep ini mungkin akan lebih
tepat jika pahami sebagai sebuah medan diskursus, di mana didalamnya terjadi ‘proses perebutan
kekuasaan untuk memaknai’ sebuah penanda yang disebut sebagai ‘reformasi manajemen
publik’. Proses ini melibatkan banyak aktor, yang semuanya terlibat dalam sebuah ‘praktek
diskursif’ dalam sebuah medan diskursus yang disebut ‘reformasi manajemen publik.’ Masingmasing aktor tersebut, antara satu dan lainnya, berada dalam sebuah pola relasi yang relatif setara
dan non-hirarkis, bahkan sampai level tertentu interdependen satu sama lain.
Reformasi manajemen publik mengimplikasikan adanya perubahan dalam model atau
strutur manajemen publik. Ini berarti ditentukan oleh bagaimana memahami konsep yang disebut
sebagai manajemen publik, dan perubahan apa yang dibutuhkan oleh konsep manajemen publik
tersebut ketika dihadapkan pada situasi baru seperti saat ini. Ada definisi yang cukup beragam
tentang manajemen publik. Di bawah ini ada beberapa contoh definisi tersebut:
1. Manajemen publik terkait dengan penggabungan orientasi normatif administrasi

publik tradisional dan orientasi instrumental dari manajemen dalam pengertian yang
umum (Perry dan Kraemer, 1983)
2. “Area manajemen publik lebih mudah didefinisikan secara analitis dari pada secara
institusional. Tidak ada perbedaan institusional yang mencolok, yang bisa
diambil…Area penting dalam manajemen publik adalah manajemen interdepensi
kelembagaan, contohnya, dalam pemberian pelayanan atau dalam manajemen proses
anggaran. Manajemen publik berbicara tentang berfungsinya secara efektif seluruh
sistem lembaga-lembaga yang ada…Apa yang menjadi ciri khusus dari manajemen
publik adalah pengakuan secara eksplisit tentang tanggung jawabnya untuk
5

menangani masalah-masalah struktural pada level sistem secara keseluruhan’
(Metcalfe dan Richards, 1987, p. 73 – 75).
3. ‘Kami memahami administrasi publik sebagai output kunci yang menghubungkan
negara dan civil-society. Tetapi, keterkaitan antara administrasi publik dan civilsociety adalah hubungan yang sifatnya dua arah, termasuk implementasi kebijakan
publik dan tuntutan-tuntutan kebijakan dari agen-agen privat kepada para pembuat
kebijakan (Pierre 1995, p.ix)
4. ‘Kita berbicara tentang keadaan ‘manajerial’ karena kita ingin mengetahui letak
manajerialisme sebagai sebuah formasi kebudayaan dan seperangkat ideologi dan
praktek yang khas yang menjadi salah satu faktor penentuk dari tatanan politik yang

ada (Clarke dan Newmann, 1997, p.ix).
5. ‘Administrasi publik mungkin bisa ditafsirkan sebagai sebuah sistem sosial yang ada
dan berfungsi menurut tatanannya sendiri, tetapi, di sisi yang lain, administrasi publik
juga bergantung pada kondisi-kondisi lingkungan dalam sebuah masyarakat kompleks
dan sedang mengalami perubahan. Lebih lagi: ‘Jika dilihat dalam konteks masyarakat
modern yang terdiferensiasi secara fungsional, negara dan pasar memiliki kapasitas
dan potensi strategies, dengan karakteristik masing-masing yang berbeda, untuk
mengontrol suplai barang dan jasa. Tipe, cakupan, dan distribusi barang-barang privat
ditentukan berdasarkan upaya mengharmoniskan berbagai preferensi individual
melalui mekanisme pasar; di sisi yang lain, berbagai keputusan tentang produksi
barang-barang publik dihasilkan dari sebuah proses penentuan tujuan-tujuan yang
bersifat, dan dilakukan secara, kolektif (Konig, 1994, p. 59).
Dalam tulisan ini, sedari awal saya menggunakan terma ‘manajemen atau administrasi
publik,’ ini bukan dilakukan bukannya tanpa alasan. Dari lima contoh definisi di atas,
nampaknya ada upaya untuk memberikan penekanan tentang distingsi antara manajemen publik
dan administrasi publik. Secara singkat saya menyatakan bahwa ‘manajemen publik’ merujuk
pada upaya pengelolaan sektor publik yang berorientasi lebih dari sekadar kewajiban normatif
negara untuk menjamin penghidupan dan kehidupan warga negaranya, tetapi juga memasukan
orientasi-orientasi baru tentang efektifitas dan efisiensi yang menjadi prinsip dari manajemen
secara umum. Sementara, di sisi yang lain, administrasi publik merujuk pada konsep pengelolaan

sektor publik yang semata-mata didominasi oleh kewajiban normatif negara untuk menjamin
6

penghidupan dan kehidupan warga negaranya. Yang disebut terakhir inilah yang pada periode
sebelumnya menjadi dasar pembenaran terhadap besarnya otoritas dan kekuasaan negara untuk
mengambil keputusan dan mengeluarkan kebijakan, atas nama demi kepentingan publik,
kepentingan bersama, dsb.
Selanjutnya, melihat banyaknya kepentingan dan alasan mengapa perlu dilakukan
reformasi dalam manajemen atau administrasi sektor publik, bukanlah hal yang mengherankan
jika kita akan melihat bahwa definisi reformasi di sini juga cukup beragam. Menurut Pollitt dan
Bouckaert, kata reformasi (reform) seringkali dikontestasikan dengan kata ‘reinvention’,
‘transformation’, ‘modernization’, atau ‘improvement’. Pollit dan Bouckaert mengatakan bahwa
dua istilah yang pertama memiliki akar yang panjang dalam dunia manajemen bisnis, sementara
yang kedua lebih banyak digunakan dalam dunia manajemen sektor publik.4 Pertarungan
simbolik seperti ini merefleksikan adanya tarik menarik dalam pemaknaan reformasi manajemen
publik. Di satu pihak, ada yang ingin menarik proses reformasi manajemen atau administrasi
publik ini ke arah yang lebih beorientasi pada efektifitas dan efisiensi, sementara di pihak yang
lain ada yang ingin agar proses reformasi manajemen publik ini tetap tidak melupakan orientasi
normatif untuk memberikan layanan, jaminan, dan penyediaan kesejahteraan bagi masyarakat
warga negara.

Fakta beragamnya tafsir atas konsep manajemen reformasi publik inilah yang
menjelaskan mengapa tidak ada model baku yang menjadi rujukan dalam proses reformasi
manajemen publik. Pola relasi antar aktor yang relatif setara dalam medan diskursus manajemen
reformasi publik juga menjadikan proses perubahan manajemen atau administrasi publik sebagai
sebuah proses yang terbuka bagi berbagai kemungkinan. Di mana dalam proses itu masingmasing aktor dan tafsirnya tentang reformasi manajemen publik saling berkompetisi satu sama
lain, berebut kekuasaan atas makna reformasi manajemen publik.
Model (NPM) dan model (NPS) menjadi representasi dari dua paradigma utama yang
bertarung dalam diskursus reformasi manajemen atau administrasi publik. Meskipun, tidak serta
merta keduanya direplikasi secara mentah oleh berbagai negara yang ada, karena pilihan apapun
terhadap kedua paradigma utama itu tidak sendirian menentukan arah perubahan manajemen
atau administrasi publik di suatu negara. Banyak faktor lain yang ikut menentukan arah
4

Pollit Christopher dan Bouckaert, Geert, op.cit.: hal. 16.

7

perubahan itu, seperti alur-kesejarahan orientasi manajemen atau administrasi publik di suatu
negara, yang telah merasuk dalam kesadaran praktis atau norma-kepantasan berbagai aktor yang
terlibat dalam diskursus reformasi manajemen atau administrasi publik di suatu negara.5 Secara
singkat kita akan melihat masing-masing model tersebut guna mendapatkan pemahaman yang
lebih baik tentang gambar besar dari proses perubahan dalam manajemen atau administrasi
publik.
Secara umum model NPM bisa dikenali dari ciri khasnya dalam menekankan pentingnya
peningkatan produktifitas dan kualitas pelayanan dalam kaitannya dengan paradigma lama
administrasi publik yang dikarakterisasikan oleh birokrasi. NPM juga menekankan pentingnya
mengadopsi berbagai sistem manajerial yang lazim dipakai dalam dunia bisnis, yang berujung
pada perubahan sifat dan pola relasi antara pelayanan publik dan individu yang mengaksesnya.
Premis-premis dasar NPM di atas diturunkan dalam konsep-konsep yang menjadi panduan
prinsipil di level praktis, yaitu transparansi dan akuntabilitas, yang dibarengi dengan kebijakan
privatisasi dan contracting-out berbagai pelayanan dalam sektor publik.6
Para pengusung paradigma NPM ini berargumen bahwa dalam model ini negara tidak
mengingkari kewajiban normative dan juga konstitusionalnya untuk menjamin dan menyediakan
(to provide) kesejahteraan bagi warga negaranya. Tetapi menyediakan di sini tidak harus
diartikan bahwa negara harus memproduksi sendiri barang-barang publik yang memenuhi
kesejahteraan warga negaranya tersebut.7 ‘Kengototan’ negara untuk menangani sendiri masalah
pemenuhan kesejahteraan dan public-goods ini malah akan berujung pada inefisiensi, korupsi,
sentralisme, dan pada titik paling parah, bisa berujung pada kolapsnya perkonomian negara
akibat beban yang terlalu besar yang harus ditanggung oleh negara. Masih menurut para
pengusung paradigma NPM, negara akan lebih efektif dan efisien; dan juga ‘demokratis’, dalam
menjalankan kewajiban normatif dan konstitusionalnya jika negara melibatkan aktor-aktor di
luar negara untuk ikut berperan dalam mengelola sektor publik. Mekanisme pasar akan
menjamin bahwa tidak akan terjadi peningkatan harga barang-barang publik, karena masing5

Lihat Kurniawan, Nanang Indra, “Globalisasi, Institusi, dan Dinamika Kebijakan Sosial”, 2006, yang mengulas
bagaimana perubahan paradigma dalam manajemen atau administrasi publik tidak selalu berakhir dengan
menurunnya derajat penjaminan negara terhadap kesejahteraan warga negaranya, dengan mengambil contoh
kasus di negara-negara Skandinavia.
6

Koht, Harald (2003) 'New Publik Management in Latvia: Variations in openness to customer requests in publik agencies', Journal
of Baltic Studies, 34:2, 180 – 196.
7



8

masing agen dituntut untuk bersaing dalam hal kualitas dan harga dari pelayanan yang mereka
berikan pada publik. Artinya, warga negara yang mengakses pelayanan publik dipandang sebagai
agen-agen ekonomi yang rasional, yang akan memaksimalkan manfaat dan memperkecil
kerugian dan resiko, dan akan memilih layanan publik yang paling murah dan berkualitas dari
berbagai tawaran tersedia. Peran negara dalam model NPM ini hanya sebatas menjaga agar
mekanisme pasar ini bisa berjalan sempurna tanpa adanya intervensi yang bisa mengganggu
keseimbangan pasar.
Sementara, pada model NPS paradigma yang mendasarinya lebih menekankan pada
premis-premis yang menempatkan penjaminan pemenuhan kesejahteraan individu warga negara
sebagai tujuan utama. Logikanya juga berbeda, dalam paradigma NPS, penjaminan pemenuhan
hak warga negara adalah raison d’etre dari negara. Dalam hal ini, paradigma NPS melihat bahwa
sektor publik seharusnya merupakan sektor yang tidak dikomodifikasi. Artinya, barang dan jasa
yang dikategorikan sebagai barang publik dan pengelolaannya dimasukan dalam area manajemen
atau administrasi publik tidak seharusnya diperlakukan sebagai komoditas, yang dianggap
sebagai sesuatu yang memiliki nilai tukar dan dipertukarkan menurut mekanisme pasar.
Penyediaan, produksi maupun distribusi, barang-barang publik ini sudah seharusnya dibiayai
dengan biaya publik, yang terutama sekali diambil dari pajak yang dibayar oleh warga negara.
Tetapi, hal lain yang membedakan paradigma manajemen atau administrasi publik NPS
dan paradigma administrasi publik tradisional yang kental dengan nuansa birokrasi adalah
keharusan negara untuk memberikan ruang yang lebih besar bagi partisipasi warga negara untuk
menentukan dan merumuskan apa kebutuhannya. Pengambilan keputusan, penentuan, dan
implementasi kebijakan juga harus melibatkan aktor-aktor di luar negara, dan kesemuanya ini
harus terbuka bagi upaya monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh publik warga negara.
Dalam paradigma NPS, model manajemen atau administrasi publik yang baru harus
menempatkan negara dan seluruh aparatusnya di bawah kontrol dan pengawasan dari publik
warga negara.
Perubahan paradigma manajemen dan administrasi publik tersebut akan mempunyai efek
yang signifikan dalam berbagai aspek. Salah satu aspek yang paling banyak mendapatkan
pengaruh dari perubahan itu adalah aspek kebijakan publik, untuk lebih spesifiknya kebijakan
sosial. Dalam tulisan ini, paradigma yang dipilih adalah paradigma NPS. Tetapi bukan berarti
permasalahan selesai dengan melakukan structural-adjustment yang koheren dengan paradigma
9

NPS. Masih banyak perdebatan turunan yang harus terjadi meski kita telah mengambil pilihan
posisi dan cara pandang yang spesifik. Salah satu sentral perdebatan yang paling seru adalah
perdebatan tentang batasan antara public-goods dan private goods, antara mana yang harus
disediakan oleh negara secara cuma-cuma; terlepas dari mekanisme pasar; dan mana yang harus
penyediaannya bisa diserahkan pada mekanisme pasar. Bagian selanjutnya dari tulisan ini akan
membahas bagaimana isu jaminan dan pelayanan kesehatan menjadi salah satu medan tarik
menarik antara pihak yang memasukan kesehatan sebagai bagian dari publik goods dan pihak
yang menginginkan agar masalah jaminan dan pelayanan kesehatan diserahkan pada mekanisme
pasar.
C. Jaminan Sosial dan Kesejahteraan
Definisi tentang public-goods (atau diterjemahkan sebagai barang-barang publik) masih
merupakan medan diskursus tersendiri. Karenanya, batasan antara publik goods dan private
goods terus mengalami perubahan. Peter N. Miller melakukan studi yang menarik tentang
bagaimana diskursus tentang public-goods mengalami proses ‘mulur-mungkret’, di Inggris Raya
pada abad XVIII.8 Penentuan batasan antara public-goods dan private-goods ini menjadi sebuah
proses yang sangat kental dengan nuansa ekonomi-politik, karena hasilnya akan mempengaruhi
alokasi dana publik, besaran pajak yang akan dikenakan pada warga negara, lembaga-lembaga
yang akan dibentuk untuk menangani dsb.
Walau demikian, biasanya pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial menjadi tiga sektor
besar yang tidak pernah dikeluarkan dari kelompok public-goods.9 Tiga jenis public-goods ini
pengelolaannya dilakukan melalui instrumen kebijakan sosial yang dilakukan oleh negara.
Tetapi, derajat ‘dekomodifikasi’ terhadap ketiga jenis barang publik itu bervariasi untuk tiap-tiap
negara. Ini, terutama sekali, ditentukan oleh ‘paradigma kebijakan sosial’ yang diadopsi oleh
masing-masing negara.
Sebelum bergerak lebih jauh lagi, ada baiknya kita melihat dulu ‘benda apakah itu
kebijakan sosial?’ Spicker berargumen bahwa meskipun banyak definisi yang berlainan, bahkan
kadang saling bertentangan tentang kebijakan sosial, tetapi secara umum kita masing-masing
definisi itu menyatakan bahwa kebijakan sosial:

8

Miller, Peter N.,”Defining the Common Good: Empire, Religion and Philosophy in Eighteenth-Century Britain,”
Cambridge University Press, 2004, dipublikasikan pertama kali tahun 1994.
9
Spicker, Paul, “Social Policy: Themes and Approaches”,Prentice Hall, 1995.

10

1. Terkait dengan kebijakan. Elemen-elemen inti dari sebuah kebijakan adalah asalmula, tujuan-tujuan, proses implementasi dan hasil dari kebijakan tersebut. Kebijakan
sosial, terutama sekali berbicara tentang relasi sosial, ekonomi atau politik; serta
berbagai permasalahan dan institusi yang ada dalam relasi-relasi tersebut. Kebijakan
sosial banyak memfokuskan perhatiannya pada isu-isu tersebut karena pemahaman
terhadap isu-isu tersebut sangat penting untuk memahami kebijakan dan praktek
sosial.
2. Terkait dengan isu-isu yang bersifat sosial.
Kebijakan sosial terkait dengan berbagai isu kesejahteraan yang bersifat sosial. Ada
banyak isu yang terkait dengan kesejahteraan, tetapi tidak semua isu bisa dikatakan
bersifat sosial. Spicker mencontoh, misalnya isu-isu tentang relasi pertemanan,
cintah-kasih, pengembangan anak. Isu-isu itu terkait dengan kesejahteraan, tetapi
lebih bersifat personal. Di lain pihak, Spicker juga mencontohkan isu-isu
kesejahteraan yang melampaui cakupan dari term sosial, seperti perekonomian
nasional dan hubungan internasional.
3. Kebijakan sosial berbicara tentang kesejahteraan.
Kesejahteraan di sini biasa diartikan sebagai berbagai penyediaan secara kolektif
barang-barang publik tertentu, yang tujuanya adalah melindungi dan menjamin
penghidupan setiap orang dalam masyarakat. Kebijakan sosial cenderung berfokus
pada isu-isu seperti kemiskinan, perumahan yang buruk, dsb. Batasan kebijakan
sosial di sini juga dipengaruhi oleh apa yang dimaknai sebagai kebutuhan di satu
pihak dan apa yang bisa disediakan untuk memenuhi kebutuhan itu di pihak yang
lain.10
Sementara, McIntosh dan Tindenbebage mendefinisikan ‘kebijakan sosial’ secara umum,
sebagai mencakup tindakan publik dari pemerintah maupun aktor-aktor di luar negara untuk
menyediakan kebutuhan dasar yang bersifat sosial, seperti pendidikan dan kesehatan, termasuk
mempengaruhi dampak sosial dari distribusi barang dan jasa yang dihasilkan oleh proses pasar.11

10

Spicker, op.cit, hal. 5.
Maureen, McIntosh dan Tinbandebage, Paula, “Inequality and Redistribution in Health Care: Analytical Issues for
Develomental Social Policy,” United Nation Research Institute for Social Development (UNRISD), Jenewa, 2006.
11

11

Melihat dari fitur-fitur utama kebijakan sosial di atas, mungkin akan sangat tepat jika kita
katakana bahwa kebijakan sosial adalah sesuatu yang ‘bendanya’ mudah kita tangkap dengan
indra, tetapi batas-batasnya sukar untuk ditentukan. Tetapi, terutama dalam kaitannya dengan
kesejahteraan, batasan-batasan kebijakan sosial akan lebih mudah untuk kita identifikasi jika kita
mengetahui paradigma kebijakan sosial seperti apa yang diadopsi di sebuah negara.
Hal yang jelas, ‘kebijakan sosial’ berbicara tentang upaya pemenuhan kebutuhan dasar
individu dalam masyarakat dengan cara melakukan dekomodifikasi terhadap barang dan jasa
yang diperlukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar tersebut. Pemenuhan kebutuhan
dasar ini menjadi bersifat sosial karena jika tidak terpenuhi dalam skala yang massif, maka akan
berakibat negatif pada keseluruhan sistem sosial, ekonomi, dan politik. Kebutuhan dasar ini juga
menjadi bersifat sosial karena pemenuhannya terjadi melalui sebuah proses interaksi, di mana
para aktor didalamnya berada dalam posisi yang mutually-interdependent. Tetapi proses interaksi
ini tidak selalu menghasilkan kesetaraan pemenuhan kebutuhan dasar tersebut, sehingga untuk
itu perlu dilakukan langkah-langkah redistributif untuk menjamin bahwa semua pihak relatif
tercukupi kebutuhan dasarnya.
Kebijakan sosial memang selama ini diidentikan dengan konsep ‘Welfare-State’ atau
‘Negara-Kesejahteraan’. Tetapi bisa dipastikan bahwa setiap negara, entah yang mengaku
sebagai ‘welfare-state’ atau bukan, pasti memiliki kebijakan sosial, karena sebetulnya kebijakan
sosial merupakan bagian dari aktifitas state-making yang membuat eksistensi negara bisa
dirasakan oleh warganya.12
Gosta Esping-Andersen mengidentifikasi tiga paradigma besar dalam diskursus kebijakan
sosial. Paradigma-paradigma ini dibaca dari model umum kebijakan sosial yang diaplikasikan di
suatu negara. Model-model itu adalah model mean-tested assistance, corporatist social
insurance, dan universalistik system of social-welfare.13 Sebelumnya, Robert Titmuss juga
membuat klasifikasi model kebijakan sosial dengan mengklasifikasikan model-model negara
kesejahteraan dalam kelompok model residual dan model univeraslictic.14
Pada model residual, negara memberikan penjaminan sosial terhadap kesejahteraan
warga negaranya, ketika pasar atau masyarakat gagal. Ini bisa disejajarkan dengan model means12

Tilly, Charles, “Coercion, Capital, and European States AD 990-1992,” Blackwell Publishing Ltd., 2004,
dipublikasikan pertama kali tahun 1990.
13
Andersen, Gosta Esping, “The Three World of Welfare Capitalism,” Polity Press, Cambridge, 2004, dipublikasikan
pertama kali tahun 1991.
14
Dalam Ibid, hal. 20.

12

attested assistance dalam klasifikasi Esping-Andersen. Dalam model tersebut, negara
memberikan penjaminan sosial kepada mereka yang dianggap memenuhi kriteria tertentu sebagai
golongan yang pantas untuk mendapatkan jaminan kesejahteraan dari negara.
Dalam model ini, kebijakan sosial juga menjadi sebuah alat stratifikasi sosial. Kriteria
tertentu yang digunakan untuk menyeleksi orang-orang yang berhak mendapakan jaminan dari
negara, ternyata mengelompokan para penerima jaminan tersebut sebagai kelompok tersendiri
yang terpisah dari masyarakat yang lain. Entah kelompok ini dikonotasikan sebagai kelompok
‘pariah’; seperti kelompok ‘kurang mampu’ di Indonesia, atau kelompok ‘previlasi’; seperti
golongan birokrasi di Jerman masa Bismarch, yang jelas model ini menimbulkan dampak
munculnya pembilahan baru dalam masyarakat.
Model universalistik, baik dalam klasifikasi Titmuss maupun Esping-Andersen, di sini
negara memandang bahwa penjaminan atas pemenuhan kebutuhan dasar dan kesejahteraan
warga negara adalah tanggung jawab dan kewajiban penuh dari negara. Misalnya, di negaranegara yang mengaplikasikan model ini, tidak peduli apakah seseorang itu kaya atau miskin
pemenuhan kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan akan ditanggung sepenuhnya oleh negara,
karena asumsinya dua kebutuhan itu adalah kebutuhan dasar yang berpengaruh besar pada
kesejahteraan warga negara, maka negara wajib bertanggung jawab penuh dalam menjamin
pemenuhannya.
Sederhananya, dalam model universalistik ini, kebijakan sosial memberikan jaminan
kesejahteraan bagi warga negaranya bukan karena pasar atau keluarga gagal memberikan
jaminan tersebut, tetapi karena yang dijamin itu adalah warga negara, yang salah satu hak paling
dasarnya adalah mendapatkan jaminan kesejahteraan dari negara.
Pada klasifikasi Esping-Andersen kita menemui adanya model corporatism social
insurance. Model ini melihat bahwa proses kebijakan sosial melibatkan berbagai aktor dan
sumber kesejahteraan – negara; pasar; dan masyarakat – yang satu sama lain saling terikat dalam
sebuah relasi yang sifatnya interdependen. Penjaminan sosial di negara manapun pasti
melibatkan berbagai aktor dan sumber daya yang ada di tiga area tersebut. Tetapi, pemegang
peran sentral dalam fungsi penjaminan sosial di berbagai negara tidaklah sama, karena
paradigma, kapasitas, kultur, dan alur kesejarahan proses kebijakan sosial yang bervariasi di tiap
negara.

13

Variasi yang muncul bisa kita lihat sebagai berikut. Di negara Skandinavia, negara
memegang peran sentral dalam memberikan jaminan kesejahteraan bagi warga negaranya,
pertama karena faktor alur kesejarahan kuatnya peran negara di area-area kebijakan ini; kedua,
sebagai turunannya, aktor-aktor lain baru mulai berkembang belakangan, yang akhirnya
kemunculan mereka sebagai partner negara dalam memberikan jaminan sosial terjadi lebih
lambat daripada yang terjadi di sebagian negara lain. Di Italia, negara harus memberikan porsi
peran yang lebih besar pada aktor-aktor dalam masyarakat, dalam hal ini gereja dan keluarga,
dalam menjalankan fungsi penjaminan sosial, karena gereja dan keluarga menjadi lembaga yang
paling menyejarah dalam kehidupan masyarakat Italia. Di Inggris, negara memberikan peran
yang besar pada mekanisme pasar dan aktor-aktor di dalamnya dalam menjalankan fungsi
penjaminan kesejahteraan bagi warga negara, karena sejak awal, di Inggris, negara telah
mengambil posisi hanya sebagai penjaga bahwa mekanisme pasar akan berjalan bebas dan
negara yang akan menangani residu – masalah kemiskinan, pengangguran – yang
ditimbulkannya atau wilayah-wilayah yang tidak terjangkau oleh pasar karena dianggap tidak
memiliki nilai ekonomis.
Model yang terakhir dipaparkan di atas, dalam konteks perubahan tata-pemerintahan
yang semakin non-hirarkis, menyediakan berbagai peluang inovasi skema dan model penjaminan
sosial yang masih bisa terus dielaborasi. Model corporatism social insurance juga menyediakan
ruang inovasi bagi munculnya alternatif-alternatif skema pembiayaan program jaminan sosial,
yang mana merupakan sebuah tawaran menarik bagi pemerintah berbagai negara yang
mengalami kelebihan beban anggaran, sehingga harus memikirkan skema pembiayaan program
penjaminan sosial alternatif.
Selanjutnya, kita akan melihat bagaimana jaminan dan pelayanan kesehatan sosial di
Indonesia bergerak dalam sebuah proses transformasi tata-pemerintahan. Ke arah manakah
kecenderungan gerak perubahan itu? Paradigma apakah yang muncul dalam berbagai kebijakan
sosial di Indonesia, terutama sekali dalam sektor kesehatan? Serta bagaimana aplikasi praktisnya
selama ini?
D. Pelayanan Kesehatan dalam Model New Public Services
Jaminan dan pelayanan kesehatan telah menjadi salah satu isu dominan dalam
diskursus kebijakan sosial sejak diskursus ini mulai muncul di Eropa pada abad XIX, dan
nampaknya posisi itu tidak akan berubah sepanjang diskursus kebijakan sosial masih tetap ada.
14

McIntosh dan Tinbandebage, mengutip Mkandiware (2000), mengajukan argumen sebagai
berikut, yang menjelaskan mengapa pelayanan kesehatan, dan juga pendidikan, merupakan isu
kesejahteraan yang bersifat sosial:


Kesehatan dan pendidikan adalah prasyarat utama untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi.



Kebijakan sosial yang efektif bisa mencegal berkembangnya konflik dan
ketidaksetaraan disfungsional dalam masyarakat.



Kita perlu memahami bagaimana caranya agar isu-isu kesehatan dan pendidikan bisa
masuk dalam agenda politik rezim otoritarian maupun demokratis dengan argumentargumen fungsionalis, tetapi tanpa mengorbankan pentingnya nilai solidaritas sosial
sebagai tujuan etis dari kebijakan sosial.15

Pelayanan kesehatan menjadi isu sosial yang karena kesehatan ternyata menjadi salah satu
prasyarat utama bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, dan tidak terpenuhinya
kebutuhan akan kesehatan ternyata membawa dampak yang negatif

bagi keseluruhan

masyarakat.
Saya berikan contoh yang drastik tentang dimensi sosial dari kesehatan. Dimensi sosial
dari kesehatan ini akan nampak nyata bila kita melihat sejarah berbagai peradaban besar yang
pernah ada di muka bumi ini, seperti peradaban Mesir, Yunani – Romawi, Maya dan Inca, atau
China dan India. Peradaban-peradaban ini pernah menghadapi krisis bahkan keruntuhan ketika
ternyata sistem politik, sosial, dan ekonomi yang ada tidak siap berhadapan dengan krisis yang
ditimbulkan oleh masalah kesehatan. Peradaban Maya dan Inca di benua Amerika runtuh akibat
wabah cacah air yang menghabiskan akhirnya menggerogoti seluruh kapasitas politik, ekonomi,
sosial yang sebelumnya begitu hebat. Negara-negara di Eropa, sebagai pionir gagasan kebijakan
sosial; terutama terkait dengan masalah kesehatan, menarik pengalaman berharga dari wabah
‘Black-Death’ yang mengambil korban sepertiga populasi Eropa.
Kesehatan menjadi semakin penting di era modern, karena kesehatan masyarakat secara
keseluruhan berpengaruh besar pada proses perputara dan akumulasi modal. Bekerjanya sistem
ekonomi kapitalisme sangat bergantung pada ketersediaan dan kelangsungan ketersediaan pasar
15

Maureen, McIntosh dan Tinbandebage, Paula, op.cit.

15

tenaga kerja. Orang yang tidak sehat tidak akan bekerja secara maksimal, dan jika jumlah orang
yang tidak sehat semakin banyak, maka ini akan berpengaruh pada upah (harga) tenaga kerja
yang meningkat karena sisi supply dari pasar tenaga kerja mengalami kelangkaan (scarcity).
Selain itu, karena jumlah tenaga kerja sedikit, maka kesejahteraan yang terdistribusi di
masyarakat juga sedikit, dan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat secara keseluruhan.
Padahal, modal hanya akan terakumulasi jika ada perputaran modal melalui aktifitas konsumsi.
Dengan, demikian lingkaran perputaran modal menjadi tidak sempurna dan modal yang
diinvestasikan akan mandeg, dan bisa berujung pada runtuhnya sistem ekonomi secara
keseluruhan. Karena itu, demi kebaikannya sendiri, para dunia usaha berkepentingan juga
dengan terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan kesehatan. Seperti halnya negara juga
berkepentingan dengan kelangsungan perputaran ekonomi, demi meningkatkan pendapatan
nasionalnya. Paparan tentang relasi antara aktor-aktor dalam negara, pasar, dan masyarakat yang
terjadi dalam diskursus kebijakan sosial di atas rasanya akan cukup memberikan gambaran yang
jelas bagi kita, mengapa kebijakan sosial menjadi urusan banyak pihak, dan negara merasa perlu
untuk ikut campur tangan, memastikan bahwa kebutuhan dasar warga negara akan relatif
tercukupi melalui kebijakan sosial yang diambilnya.
Kebijakan sosial yang diambil oleh suatu negara sangat dipengaruhi oleh relasi antara
negara, pasar, dan masyarakat yang ada di negara tersebut. Relasi tersebut pada gilirannya akan
menjadi pertimbangan utama bagi negara dalam menentukan posisinya dalam proses
pengambilan kebijakan public, termasuk kebijakan sosial. Paradigma yang dipilih tersebut pada
akhirnya akan menentukan model kebijakan sosial seperti apa yang akan dihasilkan.
Dalam tulisan saya yang lain, saya berargumen bahwa carut marut kebijakan sosial di
Indonesia, termasuk kebijakan jaminan pelayanan kesehatan, terutama sekali disebabkan oleh
ketidakjelasan paradigma kebijakan sosial yang diadopsi di Indonesia.16 Hal ini nampak jelas
bukan hanya dari kebijakan sosial yang dikeluarkan dari waktu ke waktu, tetapi juga dari
berbagai kebijakan sosial dalam kurun waktu yang sama untuk sektor-sektor yang ada.
Pada tahun 2004 dikeluarkan UU no. 20 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). UU ini terutama sekali ingin memperluas jangkuan kebijakan sosial di
Indonesia agar bisa menjangkau lebih banyak orang, karena hingga diberlakukanya UU ini hanya
16

Tapiheru, Joash, “Mengarusutamakan Kebijakan Sosial di Indonesia,” 2006.

16

10% warga negara Indonesia usia kerja yang memiliki jaminan kesejahteraan hari tua atau
pension. Angka 10% ini didominasi oleh warga negara yang bekerja di sektor formal, terutama
sekali mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri, baik sipil maupun militer. 17
Seperti di Jerman Prusia era Bismarck, skema penjaminan sosial yang dikususkan
bagi apparatus negara ini menjadikan mereka sebagai kelas dengan hak istimewa dalam struktur
masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Sementara, pada saat yang sama 90% warga negara
usia kerja yang bekerja di luar sektor negara, baik formal maupun informal tidak menikmati
jaminan sosial apapun.
Fenomena yang sama, tetapi bergerak di atas arah yang berkebalikan juga muncul
dalam kebijakan sosial asurasi kesehatan untuk masyarakat miskin (ASKESKIN). Skema seperti
ini mengharuskan warga negara yang ingin mengakses jaminan kesehatan ini harus memenuhi
kriteria, yang ditetapkan oleh negara, sebagai orang miskin sehingga mereka berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibiayai oleh negara. Sekali lagi kebijakan sosial,
disadari atau tidak, menjadi instrument untuk ikut membentuk stratifikasi sosial, dengan
menciptakan kelompok baru yang disebut ‘orang miskin’.
Jika kita melihat dua contoh kasus di atas, kita akan bisa menggolongkan model
kebijakan sosial seperti apa yang diadopsi oleh Indonesia, yaitu means-attested assistance.
Tetapi, pada saat yang sama tidak ada mekanisme lain melalui aktor-aktor lain dalam pasar atau
masyarakat yang bisa menjamin pemenuhan kesejahteraan bagi anggota masyarakat yang lain,
sehingga mereka menjadi kelompok masyarakat yang kesejahteraannya berada pada posisi yang
rawan.
Kondisi seperti ini menjadi semakin kompleks ketika terjadi perubahan paradigma
manajemen atau administrasi publik. Dilema memilih model NPM atau NPS nakmpaknya secara
politik maupun ekonomi lebih cenderung mendorong publik dan juga pemerintah ke arah NPS.
Tetapi, seperti telah dikatakan di atas masih banyak proses penyesuaian dengan paradigma baru
ini yang harus dilakukan.
Dalam proses NPS, jaminan pemenuhan terhadap pelayanan kesehatan dipandang
sebagai hak warga negara, di mana negara wajib memenuhinya. Tetapi, dalam kondisi
perekonomian seperti saat ini, nampaknya pemerintah Indonesia harus berkreasi dengan
menciptakan model pembiayaan baru, yang tidak sepenuhnya mengandalkan sumber daya yang
17

Ikhwan, Hakimul, “Strategi Pengembangan Jaminan Sosial di Indonesia,” 2006.

17

dimiliki oleh negara. Karena itu model corporatism social insurance, seperti dijelaskan di atas,
akan memberikan ruang kreasi yang dibutuhkan oleh pemerintah Indonesia saat ini. Dengan
model demikian, pemerintah diharapkan tetap bisa menjalankan kewajibannya menjamin
terpenuhinya kebutuhan warga negara terhadap pelayanan kesehatan, tetapi tanpa terlalu
membebani anggaran negara yang sedang ‘cekak’.
Selain itu model NPS juga mensyaratkan adanya ruang yang luas bagi warga negara
untuk ikut berperan aktif dalam proses kebijakan, termasuk kebijakan sosial. Kebijakan
desentralisasi yang diadopsi oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1999 nampaknya membuat
upaya pengembangan kebijakan sosial, terutama terkait dengan jaminan pelayanan kesehatan
telah menempuh jalan yang benar. Dengan dasar pemikiran untuk mendekatkan pelayanan
public, termasuk kesehatan, kepada warga negara; nampaknya kebijakan ini telah secara relatif
meningkatkan kualitas dan performa pelayanan publik di Indonesia. Terutama sekali karena
kebijakan desentralisasi ini memberikan kebebasan sekaligus stimulus bagi pemerintah daerah di
Indonesia untuk berkreasi secara lebih inovatif untuk mengembangkan berbagai model kebijakan
pelayanan public, termasuk kesehatan.
Menempuh arah yang benar belum berarti telah melakukan yang benar. Kebijakan
jaminan pelayanan kesehatan, terkait dengan proses desentralisasi ini, masih belum sepenuhnya
menciptakan skema yang memungkinkan bagi warga negara untuk ikut berpartisipasi aktif dalam
proses kebijakan. Kebijakan asuransi kesehatan bagi warga miskin (ASKESKIN) masih dirasa
belum terimplementasikan secara maksimal di banyak daerah, baik secara substantif maupun
secara teknis.
Secara substantif, kebijakan ASKESKIN ini masih bersifat teknokratis, di mana
warga negara, dalam hal ini yang digolongkan miskin, masih tetap dipandang sekedar menjadi
obyek dari kebijakan. Manfaat kesehatan bagi warga negara yang digolongkan miskin ini
cenderung dipandang sebagai ‘kedermawanan’ dari negara dan warga negara yang tidaktergolong-miskin, bukan sebagai hak golongan ini sebagai warga negara yang berhak
mendapatkan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar, dalam hal ini kesehatan.
Proses pemilihan kriteria miskin pun cenderung dilakukan secara teknokratis tanpa
memberikan ruang bagi masyarakat untuk menawarkan rumusan mereka sendiri. Sehingga yang
terjadi adalah sebuah proses birokratis-teknokratis yang berjalan dengan logika top-down,

18

menghianati logika NPS yang menginginkan adanya proses kebijakan yang juga berjalan secara
bottom-up.
Problem substantif yang paling signifikan, dan keberadaannya meluas dalam seluruh
sektor kebijakan sosial adalah masih kuatnya logika sektoral yang memandang permasalahan
sosial sebagai permasalahan yang terlepas dari berbagai permasalahan yang lain, baik yang
dimasukan dalam kategori permasalahan sosial maupun tidak. Ini adalah penyakit bawaan dari
logika kebijakan birokratis-teknokratis yang mengikuti logika top-down. Contoh sederhananya,
permasalahan kesehatan tidak bisa dilepaskan dari permasalahan kemiskinan, permasalahan
kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi nasional secara keseluruhan. Kebijakan
sosial seharusnya dirancang sebagai suatu kesatuan yang komprehensif dengan kebijakankebijakan di sektor lain, sehingga dampak yang dihasilkan juga bersifat komprehensif.
Dari problem substantif yang terakhir, kita akan masuk dalam problem yang lebih
bersifat teknis. Logika sektoral dan administratif yang mendominasi paradigma seluruh
kebijakan di Indonesia membuat kebijakan yang diambil seringkali tidak efektif karena
kurangnya koordinasi dan conflict-of-interest di antara berbagai lembaga yang bertanggung
jawab untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan yang ada.
Ada contoh kasus menarik untuk kasus ini. Dalam workshop kebijakan sosial yang
diadakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, sekitar bulan Desember 2006, muncul
banyak lontaran mengapa pihak Rumah Sakit seringkali menolak untuk melayani warga negara
yang ingin mengakses layanan kesehatan dengan ASKESKIN. Alasan utamanya adalah karena
pihak RS seringkali merasa kesulitan dalam mengajukan klaim pembayaran ASKESKIN kepada
pihak asuransi yang ditunjuk untuk mengelola dana ASKESKIN, dalam hal ini PT. Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Alasan-alasan yang diajukan umumnya terkait dengan
tidak terpenuhinya prosedur administratif. Ini menarik karena, pihak RS maupun PT. Jamsostek
sama-sama ditunjuk oleh negara, yang satu sebagai pemberi layanan kesehatan yang satu sebagai
pihak yang memberikan jaminan pendanaan bagi layanan tersebut, tetapi keduanya terlibat dalam
sebuah konflik ‘kepentingan’ dengan menjadikan hak warga negara sebagai taruhannya.
Lebih jauh lagi, dalam kasus kebijakan ASKESKIN dan juga kasus lain seperti
kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT), muncul problem klasik, yaitu problem pendataan
yang membuat kebijakan-kebijakan, terutama yang mengemban fungsi redistribusi, sering tidak
efektif karena salah sasaran. Dampak yang ditimbulkan seringkali berujung pada konflik
19

horisontal di dalam masyarakat. Alih-alih terpenuhi haknya sebagai warga negara, masyarakat
malah harus mengalami pertikaian antar sesama warga negara, sebuah aib bagi negara yang
mengaku mewarisi semangat republikanisme.
Sebenarnya, selain negara, banyak aktor-aktor lain di luar negara yang selama ini
telah memberikan peran yang sangat besar dalam menjamin kesejahteraan masyarakat Indonesia,
dalam kasus ini pelayanan kesehatan. Misalnya, Muhammadiyah dengan PKU-nya yang
memiliki jaringan yang tersebar luas di berbagai wilayah di Indonesia, atau Gereja Bala
Keselamatan dengan jaringan globalnya. Masih banyak aktor-aktor lain di luar negara yang
sangat mungkin bisa diajak bekerja sama oleh negara dalam menyelenggarakan jaminan
pelayanan kesehatan bagi warga negara.
Negara juga bisa mendorong para aktor dari kalangan bisnis dan industri untuk ikut
berperan serta dalam usaha penyelenggaraan jaminan pelayanan kesehatan. Misalnya, dengan
instrumen insentif/disinsentif yang memberikan keringanan pajak bagi perusahaan yang
mengalokasikan sebagian keuntungannya untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
sifatnya non-profit. Kebijakan seperti ini menjadi kebijakan yang jamak dilakukan di berbagai
negara, dan tidak ada salahnya bagi Indonesia untuk menjajagi kemungkinan mengaplikasikan
kebijakan yang serupa dengan melihat konteks relasi negara, pasar, dan masyarakat yang ada di
Indonesia.
Kebijakan jaminan pelayanan kesehatan di Indonesia masih terus mencari bentuknya.
Dalam konteks perubahan paradigma manajemen atau administrasi publik, telah banyak langkah
maju dan inovatif yang telah dilakukan, tetapi masih banyak pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan. Kebijakan desentralisasi dan perubahan tata-pemerintahan yang lebih partisipatif
merupakan langkah besar yang telah diambil. Tetapi, desain kelembagaan yang dibentuk untuk
menurunkan paradigma baru tersebut masih perlu disempurnakan terus, sampai mencapai bentuk
yang paling sesuai dengan paradigma yang dipakai.
Selain problem substantif dan teknis penyelenggaraan jaminan pelayanan kesehatan
yang telah dipaparkan melalui contoh-contoh di atas, masih ada proses institusionalisasi nilainilai desentralisasi dan tata-pemerintahan baru yang belum selesai. Bisa dikatakan bahwa
sebagian besar proses pembangunan lembaga-lembaga serta prosedur yang mendukung
pengembangan kebijakan sosial, termasuk jaminan pelayanan kesehatan d