Proceeding Seminar Nasional Profesionali. pdf

Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012

ISBN: 978-602-18235-0-7

PENDIDIKAN ANAK BERBASIS QUANTUM LEARNING:
KRISTALISASI PROFESIONALISME GURU
DAN PERAN ORANG TUA DALAM PRESPEKTIF GLOBAL
Asef Umar Fakhruddin* dan Fifti Istikhlaili*
*Dosen Jurusan PG-PAUD FIP IKIP Veteran Semarang

Pendahuluan
Pendidikan anak akan senantiasa berada di titik fundamentalitasnya setiap kali ia dikaji dan
didalami. Hal ini karena pendidikan bagi anak usia akan memengaruhi pertumbuhan dan
perkembangannya, sampai ia tua dan bahkan sampai anak turunnya. Sebabnya, tidak lain lantaran
konsepsi yang diperoleh sang anak ketika dia masih kecil memberinya kemampuan dan semangat
untuk pula memberikannya kepada para generasi setelahnya.
Dengan demikian, stimulasi dan “asupan gizi” yang diberikan kepada anak harus
memberikan implikasi yang baik bagi kehidupannya. Orangtua dan pendidik, yang bergerak di
ranah institusional, memiliki kelabudan untuk senantiasa memberikan yang terbaik bagi anak.
Pasalnya, mereka adalah pihak-pihak yang sangat dekat dengan anak, yang tentu saja akan
memengaruhi pola pikir dan pola sikap anak (sebab bukankah anak memiliki sifat meniru?).

Oleh karenanya harus ada strategi yang tepat yang digunakan untuk mendekati dan
memberikan yang terbaik bagi anak. Di antara strategi tersebut adalah Quantum Learning.
Quantum Learning mengajak anak untuk mengaktifkan dan memaksimalkan semua potensi yang
dimilikinya, sehingga hal ini menjadikan anak sebagai pribadi dengan daya juang tinggi namun
dengan basis kekuatan diri yang kuat pula.
Pada ranah institusional, dalam hal ini yang terlingkup dalam PAUD, entah formal atau
informal, konsep Quantum Learning akan bisa mengajak anak untuk memiliki kemauan dan
kemampuan meningkatkan dan bahkan memunculkan bakat-bakat luar biasanya. Hal ini karena,
konsep ini memang memprovokasi anak, pendidik, dan orangtua untuk ikut berperan dalam
“lingkaran edukasi”, dengan pendar-pendar cahaya yang selalu benderang: dan hal ini bisa
termanifestasi dengan kemampuan anak dalam mengenali serta memaksimalkan kejerdasan
majemuknya.

Tentang Quantum Learning
Quantum Learning berakar dari upaya Dr. Georgi Lozanov, seorang pendidik
berkebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai ”suggestology”
atau ”suggestopedia”. Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti memengaruhi hasil situasi
belajar, dan setiap detail apa pun memberikan sugesti positif maupun negatif.
Beberapa teknik yang digunakannya untuk memberikan sugesti positif adalah
mendudukkan murid secara nyaman, memasang musik latar di dalam kelas, meningkatkan

partisipasi individu, menggunakan poster-poste untuk memberi kesan besar sambil menonjolkan
informasi, dan menyediakan guru-guru yang terlatih baik dalam seni pengajaran sugestif.
Istilah yang hampir dapat dipertukarkan dengan suggestology adalah ”pemercepatan
belajar” (accelerated learning). Pemercepatan belajar didefiniskan sebagai ”memungkinkan siswa
dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal, dan dibarengi kegembiraan”.
Cara ini menyatukan unsur-unsur yang secara sekilas tampak tidak mempunyai

Univet Bantara
Sukoharjo

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

31

ISBN: 978-602-18235-0-7

Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012

persamaan: hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik, dan kesehatan
emosional. Namun senyatanya, semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman

belajar yang efektif.
Quantum Learning mencakup aspek-aspek penting dalam program neurolinguistik, yaitu
suatu penelitian tentang bagaimana otak mengatur informasi. Program ini meneliti hubungan
antara bahasa dan perilaku dan dapat digunakan untuk menciptakan jalinan pengertian antara
siswa dan guru, pun dengan orangtua, serta masyarakat sekitar.
Para pendidik dengan pengetahuan neurolinguistik mengetahui bagaimana menggunakan
bahasa yang positif untuk meningkatkan tindakan-tindakan positif, faktor penting untuk
merangsang fungsi otak yang paling efektif. Semua ini dapat pula menunjukkan dan menciptakan
gaya belajar terbaik dari setiap orang, dan menciptakan pegangan dari saat keberhasilan yang
meyakinkan.
Bobbi DePorter dan Mike Hernacki sendiri mendefinisikan Quantum Learning sebagai
”interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya”. Semua kehidupan adalah energi.
Rumus yang terkenal dalam fisika quantum adalah massa kali kecepatan cahaya kuadrat sama
dengan energi. Persamaan ini tentu saja sudah pernah dilihat, sebuah penemuan monumental
Albert Einstein, dengan rumus E = mc2.
Tubuh manusia secara fisik adalah materi. Sebagai makhluk dengan kemampuan otak yang
begitu luar biasa, tujuan manusia adalah meraih sebanyak mungkin cahaya: interaksi, hubungan,
inspirasi, dan aksi-aksi positif demi menghasilkan energi cahaya. Pada titik ini, Quantum
Learning menjadi alas yang begitu kuat nan indah sebab dia mengajak untuk menjangkau aspek
terdalam dari diri manusia, untuk kemudian memaksimalkannya menjadi energi bagi

kehidupannya.
Quantum Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar, dan
neurolinguistik dengan teori, keyekinan, dan teori-teori lain. Kemudian, pendaran isi dalam
Quantum Learning akan bermuarakan bagaimana mengkaji hal-hal berikut ini:
a. teori otak kanan/kiri
b. teori otak triune (3 in 1)
c. pilihan modalitas
d. teori kecerdasan ganda
e. pendidikan holistik
f. belajar berdasarkan pengalaman
g. belajar dengan simbol (metaphoric learning)
h. simulasi/permainan1
Kajian tersebut sangat mungkin bertambah. Kenapa demikian? Sebab, hasil kajian tersebut
sangat dinamis. Apabila ada hal-hal baru yang ternyata saat diujicobakan memiliki kelebihan dan
atau nilai baru, maka kajian tersebut bisa saja dihapuskan, atau pula mendapatkan
penyempurnaan-penyempurnaan.
Artinya, sangat mungkin terdapat kajian-kajian lain yang serupa. Tetapi, selama itu baik
dan demi kebaikan semua, terkhusus untuk anak, maka hasil penelitian tersebut patut untuk
diapresiasi. Penelitian tersebut merupakan sebuah usaha mulia, karenanya perlu didukung, pun
dikembangkan menjadi sebuah bangunan teori demi kemaslahatan umat manusia.

Quantum Learning membingkai semua kecenderungan anak. Yang dibingkai terkhusus
lebih pada hal-hal yang bersifat positif. Kenapa? Sebab, tujuan dari Quantum Learning adalah
1

Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, terj. Alwiyah
Abdurrahman (Bandung: Kaifa, 2007), hlm. 14-16.

32
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Univet Bantara
Sukoharjo

Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012

ISBN: 978-602-18235-0-7

memunculkan, mengembangkan, dan memaksimalkan potensi anak. Potensi-potensi ini sendiri
pada hakikatnya adalah hal-hal yang terdapat dalam diri anak, dan itu adalah hal-hal yang baik.
Sehingga, jika pun di kemudian hari ada anak atau seseorang yang kemudian menjadikan potensi

tersebut untuk aksi-aksi negatif, sangat mungkin hal itu karena pengaruh lingkungan.
Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa quantum dapat dipahami sebagai “interaksi yang
mengubah energi menjadi pancaran cahaya yang dahsyat”, maka sepuhan pihak-pihak di sekitar
anak memberikan pengaruh yang sungguh signifikan dan langsung.
Oleh karenanya, dalam konteks belajar, Quantum Learning dapat dimaknai sebagai atau
bahwa interaksi yang terjadi dalam proses belajar niscaya mampu mengubah pelbagai potensi
yang ada di dalam diri manusia menjadi pancaran atau ledakan gairah (dalam memperoleh hal-hal
baru) yang dapat ditularkan (ditunjukkan) kepada orang lain. 2 Bahkan, sebenarnya, tidak hanya
kepada orang lain saja pancaran (kebaikan) ini tertuju, melainkan kepada semua penghuni
semesta.
Karena memiliki kemampuan untuk mengajak anak memberikan dan mempraktikkan
kepada semua penghuni semesta, sebagai hasil interaksi positif, maka anak anak selalu diajak
bersama-sama dan dengan menyenangkan memberikan kemanfaatan untuk semua pula.

Karena Semua Berpotensi Menjadi Pribadi Sukses dan Bahagia
Rene Descartes, ahli filsafat dan matematika dari Perancis, pada tahun 1619 mengatakan,
”Saya mulai memahami dasar dari suatu penemuan yang luar biasa...semua ilmu pengetahuan
saling berkaitan seperti sebuah rantai; tak satu pun di antaranya dapat dipahami secara
menyeluruh tanpa mengetahui seluruh ensiklopedia tentang hal itu secara bersamaan.” (Yang
dimaksudkan dengan ensiklopedia bukanlah serangkaian buku-buku, tetapi totalitas pengetahuan

manusia).
Kalau manusia ragu bahwa dia memiliki perangkat mental penting untuk menjadi pelajar
atau manusia quantum, harus diingat bahwa otak yang dimiliki manusia sejak lahir secara
fisiologis sama dengan otak orang-orang terkenal dengan kejeniusannya, semisal Ibnu Haitsam,
Ibnu Batutah, Habibi, Aristoteles, Plato, Albert Einstein, Wolfgang Amadeus Mozart, Leonardo
da Vinci, Van Gogh, Galileo Galilei, Michael Angelo, ataupun Thomas Alva Edison, dan orangorang besar lainnya.
Ini berarti bahwa otak manusia mampu mencapai kebesaran dan sama dengan otak orangorang yang mempunyai kemampuan mental yang tinggi tersebut; dan semuanya hanya perlu
belajar bagaimana membimbingnya menuju kebesarannya sendiri, dan bagaimana berjuang
mengoptimalkan potensi otak yang luar biasa tersebut.
Menciptakan hubungan-hubungan memori yang baru juga meningkatkan kreativitas
pribadi. Seperti yang dikatakan oleh Peter Kline dalam bukunya The Everyday Genius bahwa
untuk menjadi orang yang mampu memecahkan masalah secara kreatif dan pemikir konstruktif,
”kita harus mampu meraih sebebas-bebasnya dan sebanyak-banyaknya seluruh pengalaman kita,
yang merupakan konteks memori kita.”
Untuk menjadi pelajar quantum, yang harus dilakukan adalah kemampuan mengolah
informasi dengan dua cara: dengan mengasimilasikan potongan-potongan materi sekaligus. Dan,
dengan mengembangkan pemahaman kita tentang satuan-satuan kecil ini untuk mengetahui
bagaimana satuan-satuan ini beroperasi dalam skala besar dalam kaitan-kaitannya dengan faktor-

2


Hernowo (editor), Quantum Writing (Bandung: Mizan Learning Center, 2004), hlm. 10.

Univet Bantara
Sukoharjo

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

33

ISBN: 978-602-18235-0-7

Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012

faktor lainnya. Biasanya, orang lebih mudah belajar dengan satu atau lain cara (inilah fungsi cara
belajar), tetapi adalah penting untuk melakukan kedua-duanya.
Kemampuan untuk menikmati belajar dan belajar dengan gembira akan membawa anak
pada berbagai kegairahan wilayah minat-minat baru. Dan dalam setiap wilayah, anak akan
menemukan begitu banyak kesempatan untuk ditelusuri sehingga anak akan sibuk selamanya,
belajar selamanya, dan terangsang selamanya dengan kerumitan-kerumitan dunia yang sedang

berlangsung.3
Sebuah kritik seringkali dilontarkan oleh para trainer dan psikolog bahwa semua manusia
dilahirkan untuk merengkuh kesuksesan dan kebahagiaan. Pertanyaannya, apakah dia mau atau
tidak? Hal ini mendedahkan bahwa siapa pun dia, dan dari latar belakang yang bagaimanapun,
bisa meraih kesuksesan. Tanpa ada pertanyaan dan kritik di atas, sebenarnya manusia memang
pribadi-pribadi dengan potensi sukses itu.
Quantum Learning sebagai sebuah metode mengarahkan semua pribadi untuk menyadari
bahwa mereka memiliki kelebihan. Kelebihan tersebut bisa dimaksimalkan, sehingga
membuatnya menjadi pribadi yang bahagia. Orang tua dan guru yang bijak akan berada pada
wilayah ini, wilayah di mana dia berkarya dan berjuang untuk mengarahkan anak mencapai
kecermelangannya.
Maka, interaksi yang terjadi antara orangtua dan anak menjadi motivasi bagi anak untuk
memberikan yang terbaik, minimal, bagi orangtuanya tersebut. Apabila hal ini terus
dikembangkan dan dilakukan, anak tersebut memiliki kepribadian dan empati yang kuat.

Quantum Learning dan Kecerdasan Anak
Sebagai sebuah metode, Quantum Learning sangat besar potensi untuk menjadikan anak
semakin cerdas (karena memang anak sejak dalam kandungan memiliki potensi tersebut).
Kecerdasan yang akan bisa dimaksimalkan anak bisa beraneka keceradasan. Tidak hanya satu
kecerdasan saja yang bisa dimiliki anak, melainkan juga dua, tiga, dan seterusnya.

Kemampuan anak memiliki banyak kecerdasan ini sebab di dalam diri anak memang
tersimpan potensi tersebut. Hal ini pula yang membuat Howard Gardner menegaskan bahwa di
dalam diri manusia terdapat multiple intelligence (kecerdasan majemuk, kecerdasan yang tidak
hanya satu jenis saja).
Howard Gardner tidak menyebut “jumlah” dalam kecerdasan yang bisa dipunyai manusia
tersebut. Tetapi, dia langsung menyebut dengan kata “banyak atau majemuk”. Kenapa? Sebab,
sangat mungkin kecerdasan yang terbaca sekarang (oleh banyak peneliti, sekarang ditemukan
bahwa ada sembilan kecerdasan) bisa bertambah dan bertambah terus seiring dengan perjalanan
hidup manusia dan seiring penelitian yang dilakukan.
Meski demikian, ada persiapan yang perlu dilakukan untuk mempersiapkan agar anak
menjadi cerdas, atau lebih cerdas. Untuk menciptakan anak cerdas, setidaknya adalah lima hal
yang harus diperhatikan dengan saksama. Lima hal tersebut adalah:
1. makanan yang tepat
2. lingkungan yang sesuai
3. pengalaman emosional
4. stimulasi rasional yang tepat
5. aktivitas fisik yang sesuai.

3


Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning, hlm. 330.

34
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Univet Bantara
Sukoharjo

Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012

ISBN: 978-602-18235-0-7

Makanan. Ini amunisi otak yang sangat penting. Anak-anak yang kekurangan gizi
umumnya memiliki otak yang kurang berkembang. Konsumsi ikan yang cukup, ASI, vitamin, dan
mineral merupakan amunisi yang tepat bagi otak. Apa pun kursus yang Anda berikan untuk anak
Anda tanpa memberinya makanan yang tepat, samalah artinya dengan mengisi ruangan tanpa
memperkuat dinding-dindingnya. Gizi adalah bahan baku proses-proses seluler, terutama untuk
pembangunan struktur otak.
Lingkungan. Makin bervariasi lingkungan hidup anak Anda, makin baik perkembangan
otaknya. Warna, bentuk, orang-orang yang berbeda, suasana yang bervariasi, dan lain-lain lebih
mudah menstimulasi otak dibandingkan yang homogen. Jika Anda menciptakan lingkungan yang
kaya dengan permainan, otak anak Anda berkembang dengan sangat pesat. Karena itu, sebisa
mungkin, tempat tidur, tempat belajar (terutama di sekolah-sekolah), dan ruangan keluarga dapat
diubah setiap jangka waktu tertentu. Anda juga perlu mengajaknya ke tempat-tempat yang penuh
hal-hal baru, seperti di pantai, gunung, dan lain-lain. Semakin bervariasi lingkungan, semakin
cepat koneksi sel saraf terjadi.
Pengalaman emosional. Sistem limbik lebih dulu matang dibandingkan dengan kulit otak.
Akibatnya, anak-anak menjadi sangat peka terhadap rangsangan dan pengalaman emosinal.
Semua pengalaman emosional yang diberikan kepada rentang usia 0-7 tahun ini akan sangat
berpengaruh dalam membentuk jalinan antarsel saraf. Pada usia ini, kontrol diri, kesabaran, kerja
sama, empati, dan lain-lain lebih mudah dilatih dan tertanam kuat dalam otak dibanding
berhitung, membaca, atau kegiatan-kegiatan kalkulatif lainnya. Jangan lupa, kematangan
emosional ini lebih menentukan kesukesan anak Anda di masa depan ketimbang kemampuan
berhitung dan main computer.
Stimulasi rasional. Hal-hal yang baru (novelty), menantang (challenge), padu (coherent),
dan penuh makna (meaningfull) lebih cepat memengaruhi otak ketimbang hal-hal yang lazim dan
biasa. Jika setiap hari Anda memperkenalkan kata-kata baru kepada anak Anda, teknik-teknik
baru dalam berhitung, tugas-tugas yang menantang dan penuh makna (misalnya, membuat
percobaan-percobaan fisika yang berkenaan dengan hal sehari-hari), otaknya akan cepat
berkembang.
Aktivitas fisik. Aktivitas fisik memengaruhi otak dengan tiga cara: 1. meningkatkan
sirkulasi darah ke otak. Artinya, oksigen, gula, dan zat gizi juga bertambah. 2. memengaruhi
hormon NGF (Nerve Growth Factor), dan 3. merangsang produksi dopamine. Zat ini berfungsi
penting dalam menata perasaan (mood) anak. Semakin sering dan terampil ia melakukan kegiatan
fisik, semakin baik perkembangan otaknya.
Lima hal di atas tidak berdiri sendiri. Semuanya saling melengkapi dan saling
memengaruhi. Orangtua dan guru tidak boleh mengedepankan dan memprioritaskan satu di antara
yang lain. Jika harus memiliki yang utama, Taufik Pasiak menyarankan untuk melatih emosi anak
lebih dulu. Kematangan emosi memerlukan waktu tertentu untuk berkembang. Sedangkan,
kecerdasan rasional dapat ditingkatkan kapan saja orangtua dan guru mau.4

Dan Belajar Pun Punya Cara
Seringkali dipahami bahwa belajar adalah proses satu arah, yaitu dari narasumber kepada
audiennya. Bisa pula disebutkan, dari guru kepada anak-anak didiknya. Padahal, sebenarnya yang
dimaksud belajar adalah proses mencari, menelaah, merenungkan, dan melakukan evaluasi atas
apa yang akan, sedang, dan dilakukan.

4

Taufik Pasiak, Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan Hidup (Bandung: Mizan, 2007), hlm.
98-100.

Univet Bantara
Sukoharjo

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

35

ISBN: 978-602-18235-0-7

Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012

Dengan demikian, seorang pendidik dan orangtua sebelum memberikan model
pembelajaran kepada anak hendaknya lebih memahami bagaimana cara agar belajar itu bisa
menyenangkan. Adapun di antara cara agar belajar bisa nyaman dan menyenangkan adalah
sebagai berikut:
1. menciptakan lingkungan tanpa stress (rileks), lingkungan yang aman untuk melakukan
kesalahan, namun harapan untuk sukses tinggi menjulang,
2. menjamin bahwa subjek pelajaran adalah relevan; karena harus dipahami bahwa belajar akan
berjalan dengan efektif jika yang bersangkutan paham manfaat dan pentingnya pelajaran
tersebut,
3. melibatkan secara sadar semua indera dan juga pikiran, baik yang terdapat dalam otak kiri
dan kanan,
4. menantang otak untuk dapat berpikir jauh ke depan dan mengeksplorasi apa yang sedang
dipelajari dengan sebanyak mungkin,
5. dan menggabungkan semua bahan yang dipelajari dengan tetap tenang dan nyaman.5
Kenapa dalam belajar harus ada cara yang harus ditempuh? Pasalnya, cara belajar masingmasing anak berbeda. Pun demikian dengan cara mengajar yang seharusnya dilakukan. Jika
pendidik terhadap para anak didiknya atau orangtua terhadap anak-anaknya menyamakan model
dan strategi pembelajaran yang diberikan, sejatinya mereka telah melakukan pemaksaan kepada
anak, dan ini sangat tidak baik bagi perkembangan dan pertumbuhan anak.
Maka dari itu, pendidikan atau pembelajaran kepada anak haruslah dengan konsep dan
dasar yang benar. Dalam konteks keluarga, jika orangtua memaksakan anak untuk mengikuti
semua aturan yang diberikan dengan alasan aturan tersebut demi kebaikan dan kesuksesan anak,
dapat disimpulkan bahwa hal itu tidaklah terlalu benar. Sebab sangat mungkin pola yang
diberikan tidak cocok dengan potensi dan kecenderungan anak.
Adapun dalam konteks institusi pendidikan formal semisal sekolah (apa pun nama dan
karakter yang dibawanya), para pendidik harus menyesuaikan cara mengajar mereka dengan cara
belajar anak didik. Harus disadari bahwa dalam ranah pengajaran, ada yang disebut dengan
wewenang mengajar dan hak mengajar. Kedua hal ini berbeda.
Apabila seorang guru berhasil masuk ke dalam dunia siswa lewat penyesuaian gaya belajar
siswa, siswa akan rela memberikan hak mengajarnya kepada guru. Mungkin, setiap guru yang
memiliki lisensi mengajar punya wewenang untuk mengajar. Akan tetapi, hak mengajar adalah
sesuatu yang harus diraih guru dengan kerja keras, dan hak tersebut ada dalam keinginan para
siswa.6
Cara mengajar yang baik akan membuat anak nyaman dengan apa yang diberikan.
Sebaliknya, jika cara mengajarnya tidak baik, maka anak akan takut dan tertekan dengan model
pembelajaran tersebut. Kenapa pula seorang guru dan orangtua harus memerhatikan gaya dan
cara belajar anak? Anak adalah pribadi dengan pelbagai kelebihan dan potensi. Masing-masing
anak, kembar sekalipun, memiliki kecenderungan yang berbeda. Perbedaan ini tentu saja
memerlukan pendekatan yang berbeda.
Tidak hanya itu, pendekatan yang berbeda ini bertujuan untuk memaksimalkan potensipotensi luar biasa anak. Ini karena sebenarnya kecenderungan tersebut menunjukkan jenis
kecerdasan anak. Sehingga bisa diberikan simpulan “ringan” (karena butuh penelusuran lebih
mendalam selanjutnya), bahwa gaya belajar anak berbanding lurus dengan kecerdasannya. Oleh
karenanya, gaya mengajar tentu saja harus dibedakan antara satu anak dengan anak yang lain.

5

Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning for the 21st Century: Cara Belajar Cepat Abad 21, terj. Dedy Ahimsa
(Bandung: Nuansa, 2002), hlm. 93.
6
Munif Chatib, Sekolahnya Manusia (Bandung: Kaifa, 2009), hlm. 102.

36
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Univet Bantara
Sukoharjo

Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012

ISBN: 978-602-18235-0-7

Cara belajar dan cara mengajar yang benar menghasilkan dan meningkatkan kepercayaan
diri anak, yang ini sangat berguna bagi masa depannya. Sangat sering terjadi, orangtua atau guru
menghancurkan masa depan anak dengan sikap atau ungkapan yang menyepelekan kepercayaan
diri anak. Ini adalah di antara bentuk cara mengajar atau cara mendidik yang tidak tepat, dan
harus dihindari sekarang juga.
Pada tahun 1982, Jack canfield, pakar masalah kepercayaan diri, melaporkan hasil
penelitian di mana seratus anak ditunjuk untuk seorang periset selama sehari. Tugas periset
adalah mencatat berapa banyak komentar positif dan negatif yang terima seorang anak dalams
sehari. Penemuan Canfield ternyata menjelaskan bahwa setiap anak rata-rata menerima 460
komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif atau yang bersifat mendukung. Jadi,
komentar negatif enam kali lebih banyak dibandingkan komentar positif.
Komentar dan tanggapan ini sangat berpengaruh pada perkembangan anak selanjutnya.
Umpan balik ini akan membekas dalam benak setiap anak, atau siswa dalam dunia pendidikan,
dan akan mengendon di dalam alam bawah sadarnya. Umpan balik negatif yang kontinu ini
sangat berbahaya. Setelah beberapa tahun bersekolah, kemandekan belajar yang sesungguhnya
pun benar-benar terjadi, dan anak-anak akan menghalangi dan menutupi pengalaman belajar
mereka secara tidak sadar.
Saat lulus dari sekolah dasar, kata ”belajar” itu sendiri bisa membuat murid merasa tegang
dan terbebani. Hal ini karena komentar dan umpan balik tersebut telah menjadi bahan-pijakan
anak dalam merespon semua hal. Selain itu, di dalam sekolah atau ketika merasa sedang belajar di
sebuah sekolah atau bahkan di tanah lapang atau pula di masyarakat, mereka menjadi sangat tidak
nyaman dan tidak menikmati semua itu. Sebaliknya, yang mengelilingi mereka adalah perasaan
tertekan dan terbebani.
Jika pun para siswa sering mendapatkan komentar negatif, umpan balik yang tidak
diharapkan, dan cemoohan dari orang lain, guru dan juga orangtua memiliki kewajiban untuk
berada di samping para siswa untuk memotivasi dan memberikan dukungan kepada mereka.
Di antara bentuk penghargaan dan motivasi tersebut yaitu menghargai setiap pilihan dan
sikap yang dipilih anak. Meskipun pilihan tersebut terkesan negatif, seorang guru dan orangtua
tidak sepantasnya memberikan penghukuman langsung kepada mereka, sebab bisa jadi pilihan
tersebut berdasar ketidaktahuan dan ketidakpahaman mereka. Maka dari itu, seorang guru dan
orangtua yang baik akan mencoba menanyakan kepada para siswa, atau siswa yang memlilih
sikap tidak bajik tersebut dengan pertanyaan, ”Apa manfaatnya sikap dan pilihan tersebut?”

Aplikasi Quantum Learning dalam PAUD
Di atas telah dijelaskan bahwa quantum adalah interaksi yang terjadi dalam proses belajar
meniscayakan untuk mampu mengubah prlbagai potensi yang ada di dalam diri manusia menjadi
pancaran atau ledakan gairah yang dapat ditularkan kepada orang lain, sebabnya semakin baik
interaksi akan semakin pula bagi perkembangan dan pertumbuhan anak.
Nah, dalam konteks pendidikan bagi anak usia dini (PAUD), dengan karakter dan
kecenderungan anak, interaksi yang baik, positif, dan mencerahkan harus menjadi acuan dan
tujuan bersama: orangtua, guru, dan masyarakat. Karena mewujud dalam interaksi, yang paling
memberikan nilai tambah adalah bagaimana kesan terhadap interaksi tersebut.
Sebagai aplikasi dari Quantum Learning, yang bisa dilakukan adalah bertanya (yang ini
pun bisa termanifestasikan dalam sikap) kepada anak tentang apa kesukaan atau apa yang
membuatnya bahagia. Hal ini sama halnya dengan seseorang yang ditawari pekerjaan di luar
negeri. Mendengar pertanyaan tersebut, dia menunjamkan dalam hatinya tentang jumlah gaji,

Univet Bantara
Sukoharjo

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

37

ISBN: 978-602-18235-0-7

Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012

kemungkinan kenaikan pangkat, biaya rumah di tempat baru, cuaca, tingkat kriminalitas, kualitas
sekolah, berapa jauh dari sanak keluarga, apakah ada fasilitas rekreasi yang memadai, dan banyak
lagi faktor lainnya.
Orang tersebut sejatinya mengajukan sebuah tanya, ”Apa manfaat pekerjaan itu bagiku?
Apa sih enaknya pekerjaan itu? Dan seterusnya.” pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat wajar.
Pertanyaan yang diajukan tersebut menunjukkan sebuah karakter dan kecenderungan.
Hal ini pula yang dilakukan kepada anak usia dini. Dengan pertanyaan ini, dia akan bisa
menimbang apa yang seharusnya dipilih dan dilakukan. Pertanyaan ini tidak hanya akan
membuatnya semakin kritis, namun juga membuat memiliki penyembang atas apa-apa yang
menyapanya. Harus dipahami di sini bahwa anak usia dini telah memiliki kemampuan memiliki:
mana yang menyenangkan baginya dan mana yang tidak membuatnya gembira.
Oleh Mike Hernacki dan Bobbi DePorter, cara atau metode bertanya ini disebut dengan
konsep ”Ambak atau Apa manfaatnya bagiku?”7 Dengan pertanyaan ini, diharapkan akan
didapatkan sebuah simpulan atas langkah yang akan ditempuh, yang itu dilakukan secara sadar
dan ikhlas, tidak ada paksaan di dalamnya. Lebih dari itu, ”Ambak” juga memungkinkan anak
untuk melakukan penyelaman ke dalam diri-terdalamnya, dan ini sangat bermanfaat bagi usaha
yang dilakukan untuk mendapatkan jawaban atas semua rasa ingin tahu.
Kedua praktisi dan pemerhati masalah pendidikan di atas mendedahkan bahwa kadangkadang konsepsi ”Ambak” sangat jelas dalam benak, dan di lain waktu harus dicari, atau bahkan
bisa menemukannya begitu saja. Meski begitu, dengan metode ”Ambak”, maka anak akan
terbawa sebab dia yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan atau dipilih.
Kemauan anak inilah sejatinya yang menjadi ukuran pendidikan atau pembelajaran.
Lantaran yang mau, karena dia paham apa manfaat yang akan diperoleh, dia pun begitu
menikmati proses tersebut. Rasa senang, nyaman, dan bahagia atas apa yang dilakukan ini
merupakan pesan dalam Quantum Learning, sebuah ajakan untuk mempraktikkan interaksi positif
dengan tujuan agar anak memiliki semangat untuk terus belajar dan berkarya.
Meskipun demikian, sekali lagi, karena bertumpu pada bahwa interaksi akan memberikan
pengaruh dalam kehidupan anak, maka orangtua dan seorang guru memiliki kewajiban memiliki
sikap-sifat dasar yang harus bertumpu kebaikan dan kemanfaatan. Bagi orangtua, sikap dan sifat
penuh kasih sayang dan bahasa cinta mutlak untuk dipunya.
Dengan bahasa cinta dan kasih sayang, pendidikan yang berlangsung di rumah akan
berjalan dengan begitu menyenangkan, membahagiakan, dan sangat berkesan bagi. Dengan
bahasa cinta, anak menjadi pribadi dengan semangat yang selalu berdegar. Dengan kasih sayang
yang salah satunya terbungkus dalam doa, anak akan merasakan pelukan kedamaian dan
ketenangan. Perasaan ini adalah bekal yang sangat penting bagi proses dalam memaknai setiap
renik yang bergelayut dalam kehidupannya.
Bagi seorang pendidik, perlu pula memiliki sikap-sikap dasar semisal sabar, bisa menjadi
sahabat, konsisten dan komitmen, dan memiliki kerendahan hati.8 Sikap dan sifat dasar menjadi
penting karena daya dalar dan kecenderungan anak yang berbeda dengan orang dewasa. Dengan
sikap-skap dan sifat-sifat tersebut, setidaknya, guru bisa berinteraksi secara nyaman dengan anak,
dan anak pun tenang berdekatan dengan guru.
Banyak terjadi anak didik yang justru merasa tidak nyaman apabila berdekatan dengan
gurunya. Banyak anak yang ketika melihat wajah gurunya, maka kontan saja semangat belajarnya
7
8

Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning, hlm. 45.
Untuk lebih lengkapnya, bisa dibaca dalam Asef Umar Fakhruddin, Menjadi Guru Favorit (Yogyakarta: Diva Press, 2009).

38
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Univet Bantara
Sukoharjo

Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012

ISBN: 978-602-18235-0-7

meredup, padahal awalnya semangat tersebut demikian bergelora. Hal ini banyak terjadi karena
tidak terjalinnya komunikasi dan interaksi yang baik dengan anak didik tersebut.
Quantum Learning membingkai setiap interaksi tersebut agar menjadi baik satu sama lain.
Sehingga, ketika seorang anak berada pada kegelisahan, maka dia akan bisa segera berada pada
titik kebahagiaan dan kenyamanannya. Seorang guru yang telah memahami bahwa semua anak
memiliki potensi besar untuk sukses maka dia akan mendekati anak yang sedang dirundung
gelisah tersebut, kemudian mengajaknya berdiskusi, atau berusaha berempati dengan apa yang
dialami tersebut, kemudian masuk di dunianya, lantas memberikan sugesti tentang kebaikan dan
apa pula yang seharusnya dilakukan.
Dengan metode semacam ini, kedekatakan emosional dan spiritual antara murid (baca:
anak) dengan guru akan terjalin dengan begitu erat-memesona. Dalam Quantum Learning,
terdapat prinsip bahwa dengan menemukan manfaat pada salah satu sikap atau kecenderungan
yang dipilih, bisa meningkatkan semangat belajar.
Tidak hanya itu, ada pula prisnsip-prinsip lain yang membuat anak menjadi pribadi
quantum. Prinsip-prinsip tersebut adalah bagaimana ajakan memberikan pujian kepada diri
sendiri, bagaimana menciptakan tempat yang aman untuk belajar dan bekerja, bagaimana
mengetahui cara belajar, bagaimana memaksimalkan kedahsyatan pikiran, dan bagaimana cara
meningkatkan kreativitas dalam segala situasi.
Bagi seorang pendidik, dengan semangat Quantum Learning ini, terkhusus pada ranah
pendidikan anak usia dini, dalam strategi pembelajarannya, guru mengajar dan siswa belajar
adalah dua proses atau jalan yang berbeda. Maka dari itu, tidak tepat apabila seorang guru
kemudian meyakinkan diri bahwa pengajaran yang dia berikan disukai anak, tanpa adanya
evaluasi pada bagaimana anak merespon cara pengajaran tersebut.
Dengan Quantum Learning, pun demikian metode pengembangan multiple intelligence
dalam pendidikan anak usia dini, anak dilibatkan secara langsung pada proses pembelajaran.
Alhasil, anak mendapatkan penghargaan dan pengakuan bahwa dia “ada” dan “bisa”. Pengakuan
dan penghargaan ini membuat anak fun, nyaman, dan bahagia dalam proses pembelajaran
tersebut. Lebih dari itu, anak berhasil mendapatkan hal-hal baru dalam setiap pembelajaran yang
dilakukannya: yang hal ini berlangsung setiap hari, jika sebelum berangkat menuju tempat
pendidikan dia belum mengetahui, setelah keluar dari tempat tersebut dia mendapatkan ilmu dan
nilai-nilai baru.
Apabila ini pula yang terjadi di dalam keluarga, rumah akan menjadi tempat yang begitu
menyenangkan bagi anak. Anak selalu kerasan di rumah. Orang tua pun menjadi idola anak.
Interaksi yang terjadi di dalam keluarga menjadi tenaga sekaligus pembelajaran yang senantiasa
dirindukan oleh anak, di mana pun dan kapan pun itu. Bahkan, ketika sang anak telah menginjak
dewasa, interaksi, pembelajaran, dan keteladanan yang diberikan akan terus membekas dalam
benaknya, membekas begitu kuat dan menyatu dalam aliran darah dan napasnya.
Oleh karena itu, potensi-potensi luar biasa anak jangan sampai terabaikan, apalagi sampai
terbunuh, dengan sikap-sikap orang-orang di sekitarnya. Quantum Learning, sebuah strategi
mendekati semua potensi dan kecenderungan anak untuk kemudian memaksimalkan potensipotensi tersebut, bisa menjadi salah satu cara untuk menjaga, memelihara, dan mendorong anak
untuk maju. Strategi ini pun bisa dilakukan di rumah atau di institusi-isntitusi pendidikan.

Bermain sebagai Refleksi, Kristalisasi, dan Tunjaman Eksistensi Anak Usia Dini:
Aktualisasi Quantum Learning

Univet Bantara
Sukoharjo

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

39

ISBN: 978-602-18235-0-7

Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012

Apa yang dimaksud dengan bermain? James Sully di dalam bukunya, Essay of Laughter
(dalam Mayke S. Tedjasaputra) menjelaskan bahwa tertawa adalah tanda dari kegiatan bermain
dan tertawa ada di dalam aktivitas sosial yang dilakukan bersama sekelompok teman atau orang.9
Masih menurut Sully, bermain memang mempunyai manfaat tertentu. Yang penting di
dalam kegiatan bermain adalah rasa senang, riang, dan gembira, yang ditandai dengan tertawa,
atau ekspresi-ekspresi kebahagiaan lainnya, semisal senyum atau juga perasaan lega dan nyaman.
Dengan demikian, dapat diberikan sebuah tanggapan pasti bahwa bermain dan permainan
merupakan sesuatu yang penting, apalagi bagi anak. Anak-anak tidak akan terlepas dari
permainan. Dengan kata lain dapat diberikan juga sebuah simpulan bahwa dunia anak adalah
permainan. Oleh karenanya, memaksakan anak untuk menerima pelajaran sebagaimana orang
dewasa tentu tidak tepat dan tidak bisa dibenarkan. Mengharapkan anak bisa menyikapi semua
hal dengan hitungan kalkulatif juga merupakan harapan yang tidak akan sampai pada titik
muaranya.
Anak memberikan respon pada setiap hal yang diterima dan dialami dengan gaya,
karakteristik, dan kecakapannya masing-masing. Sebagai bentuk ekspresinya, tidak jarang
seorang anak mewujudkan dengan aktivitas-aktivitas sugestif-informastif, dengan harapan
memberikan nilai bahagia bagi dirinya.
Terkait dengan aktivitas sugestif-informatif, senyatanya hal itu ditujukan kepada orangtua
dan guru. Agar mereka menyaksikan apa yang menjadi harapan dan keinginan anak, yaitu bisa
bermain, mendapatkan kenyamanan dan kebahagiaan, dan merupakan bentuk apresiasi atas segala
dinamika yang berkembang. Seorang anak tentu tidak akan bisa memberikan simpulan tanggapan
sebagai orang dewasa kala sedang menumpai dinamika unik bagi dirinya.
Masalahnya, tidak semua guru bisa merespon harapan dan keinginan anak semacam ini.
Untuk itu, sudah saatnya seorang guru dan orangtua mengubah paradigmanya dalam melihat anak
dan dunianya. Bermain sendiri merupakan kegiatan utama yang mulai tampak sejak bayi berusia
3 (tiga) atau 4 (empat) bulan. Secara umum, permainan atau bermain penting bagi perkembangan
kognitif, sosial, afektif, dan perkembangan anak.
Artinya, bermain, selain berfungsi begitu mendasar bagi perkembangan pribadi anak, juga
memiliki fungsi sosial dan emosional. Melalui bermain, seorang anak juga akan merasakan
berbagai pengalaman emosi; senang, sedih, bergairah, kecewa, bangga, marah, dan sebagainya.10
Perkembangan dan pengalaman emosional ini sangat penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak.
Jika disebutkan bahwa muara dalam sebuah permainan adalah rasa senang dan bahagia, tapi
pada tesis di atas disebutkan bahwa pengalaman emosi semisal sedih juga terjadi. Maksudnya,
memang tujuan bermain adalah mendapatkan kebahagiaan, tetapi tidak menutup kemungkinan di
dalam permainan ada hal-hal yang tidak diinginkan. Menangis, marah, dan sedih merupakan di
antara hal-hal tersebut.
Meski demikian, rasa-rasa tersebut, marah, menangis, dan sedih, tetap urgen bagi
perkembangan anak. Pasalnya, semua rasa tersebut memberikan ransuman nilai dan pengalaman
kepada anak. Tidak jarang, dengan rasa tersebut, anak kemudian sudah bisa memberikan
balancing atas semua aktivitas yang dilakukan.
Sekali lagi, pada titik ketika seorang anak tidak mendapatkan kebahagiaan ketika sedang
bermain, peran orangtua dan guru menemukan titik aksentuasinya. Mereka dituntut untuk bisa
memberikan ketenangan kepada anak. Selain itu, meraka juga memiliki kewajiban untuk
9

Mayke S. Tedjasaputra, Bermain, Mainan, dan Permainan untuk Anak Usia Dini (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 15
Ibid., hlm. 20.

10

40
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Univet Bantara
Sukoharjo

Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012

ISBN: 978-602-18235-0-7

menjelaskan apa hikmah atau pelajaran dari permainan yang tekah dilakukan tersebut, entah yang
membuat bahagia dan riang atau yang justru menjadikan seorang anak bersedih.
Kebutuhan anak sesungguhnya adalah kebutuhan kasih sayang dan beberapa unsur yang
melekat-erat dalam diri anak seperti keterampilan dalam menggunakan pancaindera, konsep diri
yang positif, kebutuhan untuk memiliki kesempatan bereksplorasi, belajar dengan teman, mampu
menilai diri, dan interaksi dengan lingkungan sekitar yang semakin berkualitas.11
Alat peraga dengan demikian menjadi pentinga untuk digunakan dalam setiap aktivitas
anak. Sebab, sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa seorang anak belum mampu menyikapi
dan merespon semua hal sebagaimana orang dewasa. Alat peraga ini berfungsi untuk
menjembatani daya-respon tersebut. Tujuannya, supaya apa yang disapa anak tersebut bernilai
positif.
Walaupun begitu, terkadang alat peraga yang digunakan belum bisa memberikan pengaruh
signifikan bagi anak. Apabila itu yang terjadi, maka harus ada cara atau strategi lain agar kelindah
nilai bisa diterima anak. Nah, permainan pada titik ini menemukan titik konfirmasinya. Sebab,
seperti dijelaskan di atas, anak sangat menggemari permainan, atau bahwa dunia anak adalah
dunia bermaian.
Kalau menggunakan tesis Vygotsky tentang permainan, ada penjelasan menarik bahwa
permainan merupakan contoh sosial atau keteladan sosial untuk membantu perkembangan awal
anak.12 Maksudnya, permainan merupakan produk kebudayaan (termasuk karena diciptakan
sebagai respon) yang membawa implikasi bagi perkembangan anak.
Alat peraga dengan nilai-nilai pendidikan di dalamnya, agar memberikan tetap memberikan
kesan positif pula, maka perlu diberi sepuhan ”pendekatan” lain, supaya tetap berada pada
wilayah yang menjadi titik pijak sebuah transformasi dalam diri anak. Pendekatan yang dimaksud
adalah permainan. Karena di dalamnya, seorang guru atau orangtua, bisa dengan mudah
memasukkan nilai-nilai positif, sebab perkembangan emosi anak usia dini memang labil.
Labilitas tersebut memang menunjukkan sebuah gejala bahwa seorang anak sedang
berjuang memaknai semua hal. Pola perkembangan emosi, sejatinya telah ada sejak anak lahir.
Gejala emosional pertama yang muncul adalah ketarangsangan yang umum terhadap stimulus
atau rangsangan yang kuat. Reaksi emosional ini memang belum tampak jelas sebagai reaksi
emosional pada umumnya, akan tetapi hanya memberikan kesan sederhana berupa kesenangan
dan ketidaksenangan.13
Dengan demikian, permainan yang diberikan pun hendaknya merupakan permainan yang
benar-benar aman, memiliki nilai edukasi, dan membantu perkembangan anak. Tidak bisa tidak,
peran guru dan khususnya orangtua, menjadi suatu hal yang subtil. Sebab, seorang anak belum
bisa melakukan netralisasi atas gelayut fenomena yang sedang dan akan terjadi.
Pemahaman yang benar terhadap anak akan membuat pola dan aksi dalam pendidikan anak
usia dini bisa maksimal dan optimal. Mengajak anak untuk senantiasa berpikir juga bisa menjadi
media bagi perkembangan anak selanjutnya. Memperlakukan anak sebagai manusia dan juga
membiarkan anak tampil sebagai dirinya sendiri pun merupakan pranata pengembangan potensi
dan kepribadian anak.14
Di antara tujuan permainan adalah agar anak begitu asyik terhadap dunia atau
kecenderungannya. Hal ini sangat penting bagi perkembangan selanjutnya. Anak akan dengan
11

Anggani Sudono, Sumber Belajar dan Alat Permainan (Jakarta: Grasindo, 2006), hlm. vii.
Laura E. Beck, Development Throught the Lifespan (New York: Paerson, 2007, fourth edition), hlm. 234.
13
Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, terj. Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih (Jakarta: Erlangga, 1978, edisi
keenam), hlm. 210.
14
Mohamed A. Khalfan, Anakku Bahagia Anakku Sukses, terj: Taufiqurrahman (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), hlm. 1 dan 31.
12

Univet Bantara
Sukoharjo

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

41

ISBN: 978-602-18235-0-7

Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012

mantap bisa menyambut masa depan jika sejak kecil ia dibimbing untuk memberikan respon
terhadap semua hal. Respon yang dilakukan seorang anak juga bisa disebut sebagai bentuk sikap
aktif. Apabila menjadikan permainan sebagai bahan kritisasi, maka permainan edukatif-aktif
menjadi semua keniscayaan untuk diberikan kepada anak-anak.
Hal ini juga lantaran bermain memberikan manfaat sebagai berikut: bermanfaat untuk
berkembangan aspek fisik, untuk perkembangan aspek motorik halus dan kasar, untuk
perkembangan aspek sosial, untuk perkembangan aspek emosi dan kepribadian, untuk
perkembangan aspek kognisi, untuk mengasah ketajaman penginderaan, untuk mengembangkan
keterampilan olah raga dan menari.15
Manfaat dari segi aspek fisik, seorang anak yang sedang bermain akan bisa memperkuat
otot-otot pada tubuhnya. Untuk perkembangan motorik halus, hal itu bisa dilihat saat anak sedang
mencorat-coret dinding, begitu juga pada perkembangan motorik kasar, hal itu bisa dilihat ketika
ia sedang main kejar-kejar dengan temannya, dan ia berhasil menangkapnya, maka ini
menunjukkan bahwa ia terampil dalam menangkap sesuatu, dan seterusnya.
Apabila ditarik pada alat peraga edukatif, tentu permainan sangat sesuai dan berimplikasi
baik bagi anak. Misalnya membuat pesawat terbang dari kertas. Membuat pesawat dari kertas
sendiri merupakan jenis permainan yang sangat digemari anak, sebab hasil dari permainan ini
bisa langsung dinikmati, selain karena bisa mengembangkan beberapa aspek dalam diri anak. 16
Melalui permainan yang membuat anak kreatif, maka anak pun akan terus terpacu untuk
menampilkan karya-karya kreatif lainnya, sebagai tandingan dari keberhasilan yang diperolehnya
dari permainan sebelumnya. Jika pun alat peraga yang digunakan terbuat dari kertas atau daun,
tetapi apabila dikemas dengan baik dan disampaikan dengan bijak, akan menjadi alat peraga yang
sugestif, yang membuat anak terbawa dan senang dengan permainan yang dilakukan, kemudian
anak pun berusaha mengaktualisasikan permainan tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.
Di antara yang dikeluhkan oleh para guru adalah tidak adanya fasilitas permainan yang
mendukung kegiatan belajarnya. Padahal, sebenarnya sangat banyak sekali ”alat alami” yang bisa
digunakan. Bahkan, diri seorang guru bisa dijadikan media pembelajaran.
Bermain tebak rupa juga bisa digunakan untuk mengasah ingatan anak. Permainan ini
mengajarkan anak untuk fokus dan tenang, seorang guru pun diajari untuk bersikap jujur. Sebab,
daya fokus anak memang masih lemah. Jika permainan ini diberikan dengan perhatian saksama
kepada anak, dengan memerhatikan perkembangan dan kecenderungan anak, maka anak akan
belajar banyak. Ia akan bisa fokus pada apa yang dilihat, diraba, dan didengar.
Dengan lain ungkapan, semua hal yang ada di sekitar tempat proses pembelajaran
berlangsung bisa digunakan sebagai alat, sumber, dan media pembelajaran. Semua itu bisa
dijadikan alat peraga, yang memiliki berbuntal nilai-nilai edukasi yang sangat bermanfaat bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak. Yang diperlukan adalah kesediaan guru dan orangtua
untuk mengoptimalkan semua anugerah Tuhan yang ada pada diri mereka.

A. Fungsionalisasi
Pembahasan ini dan selanjutnya senyatanya bisa dikatakan sebagai elaborasi dan penjelasan
dari beberapa deskripsi di atas. Nah, dari deskripsi dan analisis di atas, dapat diberikan titik pijak
bahwa agar pengembangan APE berbasis permainan bisa maksimal adalah dengan
fungsionalisasi. Artinya, apa pun yang menjadi alat peraga bisa dijadikan bahan ajar atau sumber
15
16

Mayke S. Tedjasaputra, Bermain…, hlm. 39-45.
Dwi Sunar Prasetyono, Biarkan Anakmu Bermain (Yogyakarta: Diva, 2008), hlm. 144.

42
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Univet Bantara
Sukoharjo

Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012

ISBN: 978-602-18235-0-7

ajar dengan berbasiskan permainan. Pada titik ini, bisa diberikan jabaran lain yaitu
fungsionalisasi.
Misalnya, dan ini seringkali dijadikan alasan oleh sekolah dan guru yang ada di daerah
terpencil, sebuah sekolah tidak memiliki alat atau media pembelajaran, sebenarnya ia bisa
menggunakan sumber yang ada di sekitarnya. Pelepah pisang atau daun pisang bisa menjadi alat
peraga edukatif, dengan menjadikannya sebagai alat permainan ”Payung Bersama”.
Awalnya, memang pelepah dan daun pisang tidaklah memberikan banyak arti. Akan tetapi,
dengan kreativitas guru, pelepah dan daun tersebut bisa dimaksimalkan menjadi alat peraga
edukatif. Tidak hanya itu, atau tidak hanya berhenti sebagai alat peraga edukatif, melainkan juga
bisa dijadikan alat bermain anak didik.
Di dalam permainan itu pun bisa diselipkan nilai-nilai pendidikan kepada para anak. Apa
yang dilakukan ini merupakan bentuk fungsionalisasi. Semua hal yang awalnya belum banyak
memberikan arti dan nilai positif, bisa menjadi sebaliknya bila dikemas dengan baik dan tepat.
Memang benar, dalam hal fungsionalisasi ini, yang memiliki peran sangat besar adalah
seorang guru dan orangtua. Seorang guru berperan ketika anak didik berada di lingkungan
sekolah, sedangkan orangtua tentu saja berperan ketika anak berada di rumah, meski untuk anak
usia dini, peran orangtua begitu fundamental.
Fungsionalisasi memberikan kesan sekaligus penandasan bahwa semua hal bisa
memberikan kesan, pesan, dan pengaruh positif, tinggal bagaimana menyiasatinya.
Fungsionalisasi menjadi titik pijak untuk senantisa berinovasi memberikan yang terbaik kepada
anak didik, khususnya anak usia dini.
Menjadikan alat peraga sebagai bahan permainan memberikan penjelasan bahwa, pada
dasarnya, alat peraga hanyalah ”benda mati” yang tidak bisa memberikan kesan dan pesan kepada
siapa pun. Dengan semangat fungsi atau fungsionalisasi, maka benda mati tersebut dapat
diberdayakan, yang dalam hal ini melalui sebuah permainan.
Anak-anak akan sangat senang jika alat peraga yang ada bisa dijadikan sumber belajar dan
sumber permainan mereka. Selain karena menarik secara fisik, alat peraga tersebut juga
memberikan daya tarik secara emosional dan intelektual kepada anak-anak. Proses belajar
mengajar pun bisa berjalan dengan sangat menarik-sugestif.

B. Kristalisasi
Tidak hanya berhenti pada fungsionalisasi, setelah sebuah atau banyak alat peraga
difungsikan secara optimal dan proporsional, maka yang selanjutnya perlu dilakukan adalah
kristalisasi nilai atas alat peraga dan atau alat permainan tersebut.
Main ”Payung Bersama”, misalnya, setelah menjadikan pelepah atau daun pisang sebagai
payung yang bisa mengayomi dan melindungi banyak orang, selanjutnya orangtua dan guru bisa
memberikan berjalin nilai positif kepada anak bahwa sikap tolong-menolong merupakan sikap
yang baik dan terpuji.
Apabila sebuah daun pisang hanya muat untuk empat orang, misalnya, maka jika ada yang
akan masuk atau ikut dalam payung tersebut, hendaknya ada yang bersedia mengalah dan
memberikan tempat tersebut kepada anak yang akan ikut tersebut. Atau, jika daun tersebut,
karena ukurannya kecil, maka orangtua dan guru juga bisa memberikan pengajaran kepada anak
bahwa tempat yang kecil tersebut hendaknya dioptimalkan, seperti dengan menempatkan
memiringkan badan atau bagaimana, dengan harapan semua anak bisa masuk, nyaman, dan bisa
merasa terlindungi dengan daun tersebut.

Univet Bantara
Sukoharjo

PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

43

ISBN: 978-602-18235-0-7

Proceeding Seminar Nasional “Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Global” Tahun 2012

Bermain ”Saling Memberi Hadiah” bisa menjadi salah satu cara untuk memberikan atau
menyelipkan kristal nilai yang baik kepada anak. Misalnya, dan ini semua anak kebanyakan
memilikinya, di rumah terdapat benda atau mainan yang tidak dipakai lagi. Maka, mainan bisa
dijadikan bagian dari mainan ”Saling Memberi Hadiah” tersebut.17
Permisalan dari caranya adalah dengan mengadakan sebuah acara atau lomba kecil untuk
anak-anak. Nah, yang berhasil memenangkan lomba tersebut mendapatkan hadiah berupa mainan
yang ”tidak terpakai” tersebut. Atau, seorang guru melangsungkan sebuah lomba untuk anakanak, yang sebelumnya mereka diminta untuk membawa mainan di rumah yang sudah tidak
dipakai lagi. Setelah permainan selesai dimainkan, tidak ada juaranya, melainkan semua peserta
mendapatkan hadiah. Hadiah tersebut merupakan pertukaran antarsiswa dari mainan-mainan yang
dibawanya.
Demikianlah, sebuah permainan tetap harus punya manfaat atau kristal nilai kebaikan di
dalamnya.
Semua hal dalam kehidupan ini pada dasarnya bisa atau merupakan alat peraga. Yang
diperlukan adalah kreativitas orangtua dan guru. Barang atau benda apa pun, sejatinya, juga bisa
menjadi alat peraga yang bisa menunjang dan meningkatkan semangat belajar anak.
Meski demikian, alat peraga tersebut sebenarnya merupakan ”benda mati”,

tidak

memberikan manfaat dan pengaruh apa-apa. Agar alat peraga tersebut bisa berdaya gugah,
berdaya ubah, dan berdaya guna, maka diperlukan sentuhan halus orangtua dan guru, untuk
mengemaskan dalam sebuah aktivitas.
Akan tetapi, aktivitas dengan sumber utamanya adala