Keluarga dengan Anak Adopsi Usia Sekolah

Keluarga dengan Anak Adopsi Usia Sekolah
Makalah Tugas Akhir Psikologi Keluarga

Christ Billy Aryanto
1006663890
Psikologi Keluarga kelas A

Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
Depok
2013

Kata Pengantar
Dulu ketika saya duduk di bangku kelas 3 SD, kakak saya pernah menggoda saya dengan
mengatakan bahwa saya adalah anak pungut. Ketika saya konfirmasi dengan kedua orang tua
saya, orang tua saya bukannya memberitahukan hal yang sebenarnya tetapi malah membenarkan
informasi tersebut. Akhirnya saya selama dua tahun percaya bahwa saya bukanlah anak dari
kedua orang tua saya dan percaya bahwa saya adalah anak pungut. Meskipun begitu, saat itu
saya tetap berpikir bahwa kedua orang tua saya mencintai saya meskipun faktanya saya adalah
anak pungut. Tetapi untungnya kedua orang tua saya memberi tahu kebenarannya bahwa saya
memang anak kandung sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Adopsi memang telah menjadi pilihan untuk pasangan yang ingin memiliki anak, baik di
kalangan artis maupun masyarakat pada umumnya. Makalah ini akan membahas apakah yang
dimaksud dengan adopsi dan pola pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua dengan anak
adopsi yang memiliki anak di usia sekolah. Informasi dalam makalah ini dapat digunakan untuk
penelitian lebih lanjut atau sebagai acuan untuk penulisan lebih lanjut.
Makalah ini, yang wawancaranya sudah saya kerjakan jauh-jauh hari tetapi penulisannya
tetap baru selesai H-1 dari pengumpulan tugas, semoga saja bisa bermanfaat untuk pembacanya,
bisa memperluas informasi mengenai anak adopsi dan keluarga dengan anak sekolah, dan
membuka pikiran bahwa teori-teori keluarga ideal yang biasa dibaca di buku tidak selamanya
selalu benar. Dunia ternyata tidak seindah teori-teori yang ditulis dalam buku dan saya mulai
memahami kata orang-orang tentang “Itu kan teorinya, prakteknya bisa beda”.
Hormat saya

Christ Billy Aryanto
Penulis

Bab I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Pada jaman sekarang, adopsi sudah menjadi pilihan untuk memiliki anak bagi pasangan

suami istri. Terdapat berbagai motif seseorang ingin memiliki anak adopsi, contohnya seperti
yang dilansir dalam majalah Parents Indonesia (2013) adalah untuk menolong anak yang kurang
beruntung, keinginan kuat untuk memiliki keturunan, kecintaan terhadap anak-anak, atau untuk
mengatasi rasa kesepian. Orang tua mengadopsi seorang anak juga pada usia yang beragam, ada
yang sejak bayi, ada yang ketika memasuki usia sekolah, bahkan ada yang diadopsi di usia
remaja.
Salah satu kasus paling terkenal terkait dengan adopsi adalah pada keluarga pasangan
Brad Pitt dan Angelina Jolie yang melakukan international adoption. Diungkapkan oleh Chen
(2013) dalam US Magazine bahwa Brad Pitt dan Angelina Jolie memiliki enam orang anak
dengan tiga orang anak merupakan hasil adopsi. Pasangan artis ini mengadopsi anak dari
Kamboja, Vietnam, dan Ethiopia dan mengadopsi mereka semua di usia yang masih muda.
Mereka dapat dikatakan sebagai pasangan yang berhasil mengasuh anak-anak mereka karena
satu per satu anak-anak dari Brad Pitt dan Angelina Jolie ini semakin bertumbuh menjadi remaja.
Di Indonesia, belum ditemukan data yang valid terkait dengan jumlah anak adopsi atau
data-data mengenai anak adopsi lainnya. Tetapi ditemukan data-data terkait adopsi di negara lain.
Di Amerika Serikat, angka adopsi terus meningkat tiap dekade sehingga mencapai puncaknya
pada tahun 1970 mencapai 175.000 orang anak adopsi (DeGenova, 2008). Adopsi kebanyakan
dilakukan oleh perempuan yang pernah menikah, pada orang kulit putih, orang dengan
pendidikan kurang, dan yang memiliki pendapatan tinggi (DeGenova, 2008). Angka adopsi di
Amerika Serikat juga sebanarnya tidak terlalu tinggi dan diestimasi sekitar 4% warga amerika

merupakan adopsi (Olson & DeFrain, 2006).
Fakta-fakta ini menegaskan bahwa informasi mengenai anak adopsi di Indonesia masih
sangat dibutuhkan. Dinamika keluarga dengan anak adopsi yang masih berusia sekolah juga
belum banyak diketahui padahal tahapan usia ini pasti akan dilewati semua anak baik kandung
maupun adopsi. Oleh karena itu perlu adanya studi lebih lanjut terkait adopsi ini khususnya di
Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah
Masalah yang penulis angkat adalah “Bagaimanakah kehidupan seorang keluarga yang
memiliki anak adopsi berusia sekolah?”. Secara khusus, penulis ingin mengetahui bagaimana
kehidupan dalam keluarga yang penulis wawancarai untuk mendapatkan pengetahuan mengenai
dinamika keluarga dengan anak adopsi berusia sekolah.
1.3. Sistematika Penulisan
Makalah ini ditulis dengan sistematika sebagai berikut
1. Pendahuluan membahas mengenai latar belakang, perumusan masalah, dan sistematika
penulisan masalah
2. Tinjauan pustaka membahas konsep dan istilah yang ditemui terkait dengan adopsi dan
membahas tugas perkembangan orang tua, anak, dan keluarga pada keluarga dengan anak
usia sekolah
3. Pembahasan membahas mengenai gambaran kasus dari hasil wawancara penulis dan

analisis terhadap kasus tersebut
4. Kesimpulan membahas mengenai kesimpulan secara umum mengenai kasus yang sudah
dianalisa

Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1 Adopsi
Adopsi adalah kegiatan di mana orang tua secara sengaja mengambil anak dari orangtua
lain sebagai anaknya sendiri, bisa disebabkan karena orangtua kandung telah memutuskan untuk
tidak lagi mengasuh anak tersebut atau anak-anak tersebut telah menjadi yatim piatu (Williams,
Sawyer, & Wahlstrom, 2007). Adopsi dibedakan atas beberapa tipe berdasarkan tata cara adopsi,
komunikasi antara orang tua biologis dan orang tua adopsi, serta proses komunikasi dengan
keluarga biologis. Berdasarkan tata cara adopsi, Williams, Sawyer, dan Wahlstrom (2007)
membedakan menjadi dua tipe:
1. Public adoption merupakan tipe adopsi yang diatur melalui suatu agen berlisensi yang
kemudian menempatkan anak di keluarga adopsi. Kelebihan tipe adopsi ini adalah
terdapat penjelasan yang jelas mengenai hak-hak yang sah serta terdapat konseling baik
bagi keluarga biologis ataupun keluarga adopsi. Akan tetapi, kekurangan tipe adopsi ini
adalah membutuhkan waktu yang lebih lama dalam prosesnya, selain itu juga terdapat
persyaratan yang berbeda-beda pada tiap agensi bagi keluarga yang ingin mengadopsi

anak.
2. Private adoption (independent adoption) merupakan adopsi yang diatur langsung antara
orang tua biologis dengan orang tua adopsi. Kelebihan tipe adopsi ini adalah kedua belah
pihak, baik keluarga biologis maupun keluarga adopsi, dapat lebih mempunyai kontrol
serta dapat menjalankan proses adopsi dengan lebih cepat. Akan tetapi, kekurangannya
adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk adopsi dapat jauh lebih mahal serta dapat
terjadi kemungkinan adanya eksploitasi anak.
Berdasarkan komunikasi yang terjalin antara orang tua biologis dan orang tua adopsi,
Williams, Sawyer, dan Wahlstrom (2007) membedakannya menjadi tiga macam adopsi yaitu
1. Closed adoption: Orang tua biologis dan orang tua adopsi saling tidak mengetahui
identitas masing-masing dan tidak terjadi adanya komunikasi antara kedua belah pihak
2. Semi open adoption: Orang tua biologis dan orang tua adopsi saling bertukar informasi,
seperti surat dan foto, namun tidak terdapat adanya komunikasi lain

3. Open adoption: dimana orang tua biologis dan orang tua adopsi memiliki interaksi yang
lebih aktif, seperti adanya pertemuan sebelum anak adopsi lahir ataupun komunikasi yang
terus terjalin setelah anak adopsi lahir (Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2007).
Berdasarkan proses komunikasi yang terjadi dengan keluarga biologis, Olson dan
DeFrain (2006) membedakan menjadi tiga yaitu:
1. Tipe keluarga confidential: Hampir sama dengan tipe keluarga closed adoption dari

William, Sawyer, dan Wahlstrom (2007), dimana tidak terdapat terdapat informasi yang
dibagikan dari orang tua biologis dan orang tua adopsi. Sama sekali tidak terjalin
komunikasi antar pihak, sehingga masing-masing pihak tidak mengetahui identitas pihak
lainnya.
2. Tipe keluarga mediated: Merupakan keluaga yang menjalin komunikasi, akan tetapi
melalui pihak ketiga. Dalam hal ini yang menjadi pihak ketiga ialah agen adopsi.
3. Tipe keluarga fully disclosed: Merupakan keluarga adopsi yang menjalin proses
komunikasi dengan orang tua biologis dari anak yang akan diadopsi. Proses komunikasi
terjadi secara terbuka dan melibatkan kontak langsung. Hal ini berarti keluarga adopsi
telah mengenali dan pernah bertemu dengan orang tua biologis.
Jika keluarga fully disclosed dibandingkan dengan keluarga confidential, maka
berdasarkan penelitian, keluarga fully disclosed cenderung menunjukkan tingkat pengetahuan
yang lebih tinggi terhadap adopsi, lebih empati terhadap anak yang diadopsi dan orang tua
biologisnya, memiliki perasaan positif yang lebih kuat dan permanen terhadap anak adopsinya,
serta lebih rendah timbulnya ketakutan terhadap orang tua biologis yang akan meminta reclaim
terhadap anaknya kembali (Grotevant, 2003 dalam Olson & DeFrain, 2006)
2.2 Keluarga dengan Anak Usia Sekolah
Keluarga yang memiliki anak usia sekolah memiliki tugas perkembangan masing-masing
baik tugas perkembangan anak usia sekolah, orang tua dengan anak sekolah, dan keluarga
dengan anak sekolah (Duvall, 1977). Tugas perkembangan anak usia sekolah adalah






Mempelajari dasar-dasar yang dibutuhkan untuk anak usia sekolah
Menguasai kemampuan fisik yang sesuai dengan perkembangannya
Mengembangkan pemahaman yang praktis mengenai penggunaan uang
Menjadi anggota keluarga yang aktif dan kooperatif

○ Memperluas kemampuannya untuk berhubungan secara efektif dengan orang lain,





baik teman sebaya maupun orang dewasa
Belajar untuk mengendalikan perasaannya
Mempelajari peran gendernya baik sekarang maupun di masa depan
Mencari tahu bahwa dirinya adalah orang yang berharga

Mengembangkan hati nurani dengan kontral moral dalam diri

Anak-anak usia sekolah mendeskripsikan orang tua yang sempurna sebagai orang tua
yang penuh kasih di rumah, selalu terjaga, selalu bisa diajak bermain, murah hati, tidak mudah
marah, berpikiran terbuka, dan mudah memaafkan (Duvall, 1977). Adapun tugas perkembangan
orang tua dengan anak usia sekolah adalah:
○ Menyediakan kebutuhan yang anaknya butuhkan untuk berkembang
○ Menikmati hidup dengan anaknya
○ Mendorong perkembangan anaknya
Baik orang tua maupun anak juga harus bekerja sama untuk memenuhi tugas
perkembangan keluarganya, yaitu







Menyediakan aktivitas untuk anak dan privasi untuk orang tua
Menjaga finansial keluarga

Bersosialisasi lebih lanjut dengan anggota keluarga
Meningkatkan komunikasi dengan keluarga
Membangun hubungan dengan kehidupan di luar keluarga
Mengembangkan moral dan memabangun moral keluarga

Orang tua memiliki pola asuh tertentu untuk mengasuh anaknya. Baumrind (1971, 1996,
dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) mengidentifikasi gaya pola asuh orang tua dan
mendeskripsikan tingkah laku yang biasa muncul pada anak yang diasuk dengan pola asuh
tertentu. Terdapat tiga gaya pola asuh orang tua, yaitu
Authoritarian parenting: Pola asuh yang menekankan kontrol dan disiplin yang tidak
boleh dipertanyakan. Orang tua yang authoritarian mencoba untuk membuat anak patuh pada
standar yang sudah ada dan menghukum anak dengan sewenang-wenang dan memaksa bila anak
tidak patuh. Anak menjadi tidak dekat dan kurang hangat dengan orang tuanya, dan anak juga
cenderung tidak senang, suka menyediri, dan penuh curiga.
Permissive parenting: Pola asuh yang menekankan ekspresi diri dan regulasi diri. Orang
tua permissive tidak banyak menuntut anak dan mengijinkan anak untuk mengontrol aktivitasnya

sendiri. Orang tua akan hangat, tidak mengontrol, dan tidak banyak menuntut sehingga anak
cenderung menjadi tidak dewasa dan kurang bisa mengontrol diri dan kurang mengeksplor diri.
Authoritative parenting: Pola asuh yang menekankan pada pribadi anaknya tetapi juga

menekankan batasan-batasan sosial. Orang tua authoritative memiliki kepercayaan pada
kemampuan untuk mengarahkan anaknya, tetapi mereka juga menghargai keputusan, minat,
opini, dan kepribadian anaknya. Orang tua akan mencintai dan menerima anak tetapi juga
menuntut tingkah laku yang baik dan tegas dalam menentukan standar.

Bab III
Pembahasan
Gambaran Kasus
Penulis melakukan wawancara dengan dua orang, yaitu ibu NN dan ibu XX. Ibu NN
adalah ibu berusia 54 tahun yang memiliki seorang anak adopsi yang sekarang berusia 8 tahun.
Ibu XX adalah teman terdekat dan ipar dari ibu NN dan banyak mengetahui kehidupan dalam
keluarga ibu NN, sehingga dapat dikatakan ibu XX adalah significant other dari ibu NN. Penulis
mewawancarai ibu NN dan ibu XX secara terpisah dan di waktu dan tempat yang berbeda agar
tidak terjadi bias jawaban dari masing-masing interviewee.
Ibu NN memutuskan untuk mengadopsi anak karena ibu NN tidak dikaruniai anak sejak
menikah sampai dengan usianya yang sudah tidak muda lagi. Ibu NN melihat bahwa suaminya
sangat dekat dengan anak-anak tetangga dan mengamati bahwa suaminya menyukai anak-anak.
Ibu NN dan suaminya kemudian mendiskusikannya hingga akhirnya memutuskan untuk
mengadopsi anak. Ternyata kebetulan adiknya juga mau mengadopsi anak sehingga mereka
berdua bersama-sama mencari informasi untuk mengadopsi anak.

Ibu NN kemudian mendapatkan informasi dari adiknya bahwa ada seorang keluarga yang
ingin anaknya diadopsi. Keluarga tersebut berasal dari keluarga yang tidak mampu dan sudah
memiliki enam orang anak pada saat itu. Ibu tersebut sedang hamil tua ketika ibu NN bertemu
dengan keluarga tersebut. Ayah dan Ibu dari keluarga tersebut merasa sudah tidak sanggup
menambah jumlah anggota keluarga sehingga memutuskan untuk memberikan anak yang sedang
dikandung oleh ibu tersebut kepada keluarga lain. Akhirnya pada hari ibu dari keluarga tersebut
melahirkan, anak tersebut langsung diserahkan kepada ibu NN dan setelah itu ibu NN tidak
pernah berhubungan lagi dengan keluarga tersebut.
Setelah mendapati anak adopsinya, ibu NN langsung memperlakukan anak adopsinya
seperti anaknya sendiri. Ibu NN langsung membuatkan akte kelahiran untuk anak adopsinya dan
karena prosedur di Indonesia yang bisa mempermudah jalan mendapatkan akte dengan uang
akhirnya proses pembuatan akte berjalan lancar. Sampai sekarang ibu NN memperlakukan
anaknya tersebut seperti anak semata wayangnya. Bahkan ibu NN berencana untuk
memberitahukannya seumur hidup fakta bahwa anaknya adalah anak adopsi. Meskipun

berdasarkan wawancara dengan ibu XX ini adalah hal yang dikhawatirkannya karena ibu XX
merasa suatu saat nanti anak tersebut akan paham dan pasti bertanya dengan ibunya. Tetapi ibu
NN tetap bersikeras untuk tidak memberitahunya meskipun ibu XX sudah mengingatkannya.
Kehadiran anak tersebut membahagiakan ibu NN dan suaminya, mereka berdua samasama menyayangi anaknya. Tetapi ibu NN merasa bahwa kebahagiaan keluarga kecil tersebut
tidak bertahan lama. Ketika ibu NN dan suaminya sama-sama sibuk dengan pekerjaannya,
akhirnya ibu NN memutuskan untuk memperkerjakan seorang pengasuh ketika anaknya berusia
sekitar dua tahun. Ternyata pengasuh tersebut memberikan pengaruh yang buruk kepada anak
tersebut. Pengasuh yang mengasuh anak ibu NN kasar, suka menyombongkan diri, sering
mengeluarkan kata-kata kasar, selalu mau menang sendiri, dan bahkan suka melawan
majikannya sendiri. Hal ini serupa dengan apa yang dikatakan ibu XX kepada penulis bahwa
ternyata pengasuh ibu NN tersebut memang tidak disukai oleh keluarga besar. Tetapi ibu NN
tetap mempertahankan pengasuh tersebut karena sulitnya mencari pengasuh.
Pada saat usia ibu NN 52 tahun dan anaknya berusia 6 tahun, ibu NN melihat tingkah
laku anaknya yang menjadi serupa dengan pengasuhnya. Anaknya menjadi suka membentak
ibunya, menjambak ibunya, dan suka bermain kasar dengan teman-temannya. Permintaan
apapun yang diminta oleh anak dari ibu NN harus dituruti dan dia akan menangis menjerit-jerit
lalu memukul-mukul bila tidak dituruti. Bila anak tersebut tidak mendapatkan permintaannya
dari ibu NN, maka dia akan lari kepada ayahnya dan memang biasanya akan diberikan oleh
ayahnya. Ibu NN sudah beberapa kali mengingatkan suaminya untuk tegas dengan anaknya,
tetapi suaminya tidak mendengarkannya.
Akhirnya, ibu NN memutuskan untuk pensiun dan memecat pengasuh dari anaknya
tersebut. Tetapi ibu NN merasa bahwa apa yang dilakukannya sebenarnya sudah terlambat,
karena anaknya sudah terlanjur menjadi anak yang nakal dan tidak taat peraturan. Ibu NN
akhirnya banyak mengeluh mengenai anaknya dan suaminya yang cenderung tidak peduli dan
pasif kepada ibu XX. Ibu NN merasa bahwa tidak adanya kerjasama antara dirinya dengan
suaminya untuk mengasuh anak mereka berdua. Meskipun memang anak tersebut adalah anak
adopsi, tetapi dari awal ibu NN dan suaminya sudah sepakat untuk mengasuh anak tersebut
namun ternyata tidak berjalan baik seiring berjalannya waktu.
Pada waktu yang lain, ibu XX menceritakan seperti apa kehidupan keluarga tersebut
dipandang dari kacamatanya sebagai orang yang sering menjadi tempat ibu NN bercerita dan

sebagai pengamat keluarga ibu NN. Ibu XX merasa bahwa pengasuh ibu NN yang banyak
mengubah dinamika dalam keluarga ibu NN. Ibu NN dan suami sama-sama berasal dari Jawa
yang berwatak lembut dan sopan tutur katanya, dan itu tidak muncul pada anaknya yang banyak
diasuh oleh pengasuhnya. Ibu XX juga melihat bahwa suami ibu NN tidak banyak melakukan
apa-apa dalam mengasuh anaknya dan hampir semuanya yang mengurusnya adalah ibu NN. Ibu
NN berusaha untuk tegas dengan anaknya, tetapi anaknya tidak mau mendengar ibu NN dan
banyak berlari kepada ayahnya yang kemungkinan besar akan menuruti permintaannya. Ibu XX
memiliki kekesalan juga dengan anak dari ibu NN karena tidak bisa diatur dan sangat cengeng.
Ibu XX melihat bahwa karena ketidakkonsistenan peraturan dalam keluarga, maka anak dari ibu
NN ini menjadi anak yang bertingkah laku sewenang-wenang.
Ibu NN berusaha untuk tetap memenuhi kebutuhan anaknya tanpa memanjakannya,
namun suami ibu NN tetap saja menuruti apapun keinginan dari anaknya. Ibu XX sebagai
pengamat dari luar melihat bahwa sebenarnya semua kebutuhan dari anak ibu NN terpenuhi
dengan baik, seperti pendidikan, kesehatan, kebutuhan dasar dan kebutuhan-kebutuhan lain.
Sayangnya anak tersebut tidak cepat puas sehingga selalu mau lebih terus menerus dan
cenderung serakah. Ibu NN sebenarnya khawatir dengan perkembangan anaknya baik secara
fisik maupun emosional. Secara fisik, anak dari ibu NN obesitas karena seluruh keinginannya
untuk makan selalu dituruti dan akan marah bila tidak dituruti. Secara emosional, ibu NN
khawatir kalau ketika dewasa nanti dia tetap menjadi anak yang manja dan tidak bisa masuk ke
dalam pergaulan karena sikapnya.
Ibu NN dan suaminya memang memperlakukan anaknya seperti anak kandungnya sendiri
dan tidak pernah menganggap sebagai anak adopsi dari awal. Tetapi memang diakui oleh ibu NN
bahwa pola asuhnya dan suaminya memang perlu diperbaiki, namun ibu NN bingung apa yang
harus dilakukannya agar anaknya bisa berkembang sesuai dengan anak-anak seusianya. Ibu XX
juga berpendapat bahwa bila saja ibu NN dan suaminya bisa bekerja sama dengan baik, maka
keluarga tersebut dapat kembali bahagia dan bisa mengasuh serta mendidik anaknya dengan
baik.
Analisa
Bila ditinjau beberapa tipe adopsi yang diungkapkan William, Sawyer, dan Wahlstrom
(2007) serta Olson dan DeFrain (2006), maka tipe adopsi berdasarkan tata cara adopsi adalah

tipe private adoption. Adopsi ini dilakukan antara pihak keluarga adopsi dan pihak keluarga
biologis secara langsung dan memang diatur oleh kedua belah pihak. Sehingga akhirnya bisa
mencapai keputusan untuk ibu biologis langsung memberikan anaknya kepada ibu adopsi.
Berdasarkan komunikasi yang terjalin antara orang tua biologis dan orang tua adopsi,
adopsi yang terjadi adalah semi open adoption. Sebelum anak tersebut lahir, pihak orang tua
biologis maupun pihak orang tua adopsi saling bertukar informasi dan membuat kesepakatankesepakatan. Setelah anak tersebut lahir dan diberikan kepada orang tua adopsi, mereka tidak
mengalami komunikasi lebih lanjut dan orang tua keluarga biologis tidak pernah lagi
mengunjungi anaknya.
Berdasarkan komunikasi yang terjadi dengan keluarga biologis, maka kasus ini tergolong
dalam tipe keluarga confidential tetapi tidak dapat dikatakan sepenuhnya confidential. Informasi
mengenai anak yang akan diadopsi dari ibu biologis tetap didapatkan, tetapi komunikasi setelah
anak diasuh oleh keluarga adopsi tidak terjalin antara keluarga biologis dengan keluarga adopsi.
Tidak seperti tipe keluarga confidential yang diungkapkan Olson dan DeFrain (2006) dimana
tidak terdapat terdapat informasi yang dibagikan dari orang tua biologis dan orang tua adopsi.
Sama sekali tidak terjalin komunikasi antar pihak, sehingga masing-masing pihak tidak
mengetahui identitas pihak lainnya.
Bila ditinjau keluarga tersebut dari sisi perkembangan keluarganya, maka dapat dianalisa
berdasarkan tugas perkembangannya masing-masing. Berdasarkan tugas perkembangan anaknya
terdapat tiga tugas perkembangan yang anak belum berhasil lakukan, yaitu menjadi anggota
keluarga yang aktif dan kooperatif, belajar untuk mengendalikan perasaannya, dan
mengembangkan hati nurani dengan kontrol moral dalam diri. Sang anak masih belum bisa
bekerjasama dengan orang tuanya dan hanya ingin dituruti keinginan dirinya. Anak juga belum
bisa mengendalikan perasaannya tampak dari dirinya yang suka memukul dan menjambak
ibunya serta cengeng. Pengembangan hati nurani juga masih sangat kurang sehingga membuat
dirinya menjadi anak yang kasar dan hal ini dipengaruhi juga karena dirinya lebih lama diasuh
oleh pengasuh.
Berdasarkan tugas perkembangan orang tuanya, yaitu menyediakan kebutuhan yang
anaknya butuhkan untuk berkembang, menikmati hidup dengan anaknya, dan mendorong
perkembangan anaknya, orang tua belum secara maksimal melakukan ketiganya. Bila dilihat dari
penyediaan kebutuhan untuk anaknya, maka kedua orang tua sudah menyediakannya tetapi

cenderung berlebih pada kebutuhan fisik anaknya. Dalam hal menikmati hidup dengan anaknya,
pada awalnya memang keluarga tersebut menikmati hidup dengan anaknya. Tetapi karena terlalu
banyak intervensi oleh pengasuhnya yang ternyata banyak mengubah anaknya, mereka menjadi
sulit menikmati hidup karena perubahan dinamika keluarga yang terjadi karena anaknya yang
bertingkah laku kasar, ayah yang cenderung pasif, dan ibu yang tampak berjuang sendiri
mengurus anaknya. Pada hasil wawancara ini, tidak bisa dikatakan bahwa orang tua sudah
mendorong perkembangan anaknya karena tidak begitu tampak bentuk dorongan yang orang tua
berikan pada anaknya.
Tugas perkembangan keluarga tersebut yang tampak belum terlaksana dengan baik
adalah meningkatkan komunikasi dengan keluarga, dan mengembangkan moral dan membangun
moral keluarga. Komunikasi dalam keluarga tersebut dapat dikatakan belum berjalan dengan
baik karena komunikasi baik antara suami-istri maupun dengan anaknya belum terjalin dengan
harmonis. Anak tidak mau mendengar kata-kata ibunya, ibunya tidak banyak bekerjasama
dengan suami, dan ayah tampak pasif dan tidak banyak melakukan apa-apa dalam keluarga.
Moral dalam keluarga juga masih kurang tampak dari perilaku anaknya yang bertingkah laku
sewenang-wenang.
Berdasarkan pola asuhnya, terdapat inkonsistensi pola asuh pada masing-masing orang
yang mengasuh anak tersebut. Ibu mengasuh anaknya dengan pola asuh authoritative, ayah
mengasuh anaknya dengan pola asuh permissive, sedangkan pengasuhnya sebagai significant
other anak tersebut mengasuh dengan pola asuh authoritarian. Adanya kebingungan pola asuh
dan inkonsistensi di sini menyebabkan anak menjadi bingung juga dan cenderung melakukan
sesuatu yang buruk karena tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Anak juga
cenderung mencari kesenangan dan menghindari hal yang tidak menyenangkan. Jika dia tidak
mendapatkan hal yang dia inginkan dari sang ibu, maka dia akan langsung lari ke ayahnya.
Karena anak tersebut lebih banyak diasuh oleh pengasuhnya dibandingkan orang tuanya, maka
pribadi anaknya adalah pribadi yang muncul dari pola asuh authoritarian yaitu tidak dekat dan
tidak hangat dengan orang tuanya.

Bab IV
Kesimpulan
Anak dari ibu NN ini meskipun merupakan anak adopsi tetapi keluarga ibu NN
memperlakukan dirinya layaknya anak kandung. Tipe-tipe adopsi yang dilakukan tidak banyak
memengaruhi secara signifikan tugas perkembangan dan pola asuh orang tua terhadap anaknya.
Secara garis besar, tugas perkembangan dan pola asuh yang keluarga ibu NN ini lakukan sama
seperti yang dilakukan oleh keluarga dengan anak kandung. Hal tersebut terjadi karena adanya
faktor pola pikir keluarga ibu NN yang mengasuh anak adopsi tersebut layaknya anak kandung
dan memang dianggap benar-benar seperti anak kandungnya sendiri bahkan sampai tidak mau
diberitahukan fakta bahwa anak tersebut adalah anak adopsi.
Dampak dari pengasuh anak tersebut ternyata sangat besar sehingga membuat
pengasuhan terhadap anak tersebut sulit dilakukan. Tugas perkembangan anak, orang tua, dan
keluarga masih banyak yang perlu diperbaiki. Pola asuh yang inkonsisten antara ibu, ayah, dan
pengasuh juga memberikan dampak yang tidak baik kepada anaknya sehingga anaknya menjadi
anak yang kasar. Bila perlu, penulis menyarankan adanya intervensi oleh psikolog atau terapis
keluarga untuk memperbaiki hubungan antara suami istri dan agar anak bisa melakukan hal
sesuai dengan norma masyarakat.

Daftar Pustaka
Chen, J. (May, 2013). Maddox jolie-pitt, 11, angelina jolie and brad pitt's oldest son, looks all
grown up: picture. US Magazine. Diunggah dari http://www.usmagazine.com/celebritynews/news/maddox-jolie-pitt-11-angelina-jolie-and-brad-pitts-oldest-son-looks-allgrown-up-picture-2013113#ixzz2UbuzW0bm
DeGenova, M. K. (2008). Intimate relationship, marriages, and families (7th ed.). New York:
McGraw-Hill Companies, Inc.
Duvall, E. M. (1977). Marriage and family development (4th ed.). USA: J. B. Lippincott
Company
Olson, D. H. L. & DeFrain, J. D. (2006). Marriages and families: Intimacy, diversity, and
strengths (5th ed.). New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development (11th ed.). New York:
McGraw-Hill Companies, Inc.
Parents Indonesia (2013). Berniat mengadopsi anak?. Parents Indonesia. Diunggah dari
http://www.parentsindonesia.com/article.php?type=article&cat=solution&id=207
Williams, B. K., Sawyer, S. C., & Wahlstrom, C. M. (2006). Marriages, families, & intimater
relationship: A practical introduction. Boston: Pearson Education, Inc.