Politik Asimilasi di Indonesia dan Dimen

1

Politik Asimilasi di Indonesia dan Dimensi Ekonominya
Logika dan Kontradiksi
Manneke Budiman
Universitas Indonesia

Pengantar
Asimilasi sebagai suatu kebijakan di banyak negara hampir selalu menjadi bagian tak
terpisahkan dari proses nation-building. Asimilasi menjadi sebuah kebutuhan
fundamental yang diasumsikan mutlak harus ada terlebih ketika sebuah komunitas bangsa
menghadapi persoalan imigrasi atau masuknya arus “pendatang” yang bukan merupakan
bagian dari komposisi awal dari bangsa tersebut ketika mereka menyepakati untuk
menyatukan diri di dalam suatu komunitas bersama.
Sebagai contoh, negara-negara Barat, seperti Inggris, Perancis, Jerman, dan juga Amerika
Serikat dan Kanada, serta tetangga dekat kita, Australia, setelah usainya Perang Dunia II,
atau selama proses dekolonisasi berlangsung, mulai membuka diri kepada imigranimigran, termasuk para imigran yang berasal dari Dunia Ketiga. Asimilasi menjadi hal
pertama yang menjadi pemikiran mereka karena ada anggapan yang sangat dominan
bahwa para pendatang itu sewajarnya belajar untuk hidup dengan adat dan tata cara
tempat yang didatanginya apabila mereka sungguh-sungguh ingin menjadi bagian dari
tempat tersebut. Implikasi yang menyertai jalan pikiran ini adalah perlunya ada kesediaan

untuk meninggalkan adat-istiadat dan tata cara kehidupan di tempat yang lama yang tidak
sesuai dengan lingkungan baru mereka.
Pada saat ini saja, konkretnya, pemikiran ini masih kental dianut, dan ini dapat terlihat
dengan jelas pada fenomena yang kini sedang terjadi di negara-negara Eropa, seperti
Perancis dan Jerman. Muncul kebijakan yang melarang penggunaan simbol-simbol
keagamaan oleh individu di tempat-tempat umum, seperti sekolah, kantor, dll. Sebagai
jawaban terhadap gagasan ini, berbagai kelompok, khususnya yang berbasis Islam,
gencar melakukan demonstrasi untuk menentang pengekangan tersebut. Namun,
perlawanan tidak hanya menjadi monopoli kelompok-kelompok warga berlatar belakang
Muslim karena institusi Gereja Katolik pun menyuarakan keberatannya.
Apabila kita telaah lebih jauh, jelas ada nilai-nilai dan praktik-praktik yang dianggap
“lebih Prancis” atau “lebih Jerman” yang harus dijunjung oleh setiap orang yang
mengaku dirinya orang Perancis atau orang Jerman. Di lain pihak, ada juga nilai-nilai dan
praktik-praktik yang dipandang “kurang Perancis” atau “kurang Jerman” dan, dengan
demikian, tidak diperkenankan hidup di ruang-ruang publik dalam kedua masyarakat

2
tersebut. Apa yang sedang kita saksikan di beberapa negara Eropa pada saat ini adalah
politik asimilasi yang dilakukan oleh negara dalam bentuknya yang sangat gamblang.
Tulisan ini mencoba memahami logika di balik kepercayaan pada asimilasi sebagai

komponen penting pembangun kebangsaan. Di dalam konteks Indonesia, tulisan ini juga
akan secara khusus menyoroti kelompok “pendatang” yang dinamai sebagai kelompok
etnik Cina, bagaimana mereka diposisikan dalam domain sosial tertentu, yakni ekonomi,
dan persoalan-persoalan apa yang timbul sebagai konsekuensinya. Terakhir, tulisan ini
akan berusaha memperlihatkan posisinya vis-à-vis asimilasi di Indonesia sebagai penutup
atau simpulan.

Logika asimilasi dan kontradiksinya
Di Indonesia, isu asimilasi merupakan isu yang cukup sentral di dalam kerangka nationbuilding. Di satu pihak, Indonesia masih terus harus bekerja keras mempersatukan
berbagai kelompok-kelompok “pribumi” yang kian hari kian kritis terhadap berbagai
kebijakan negara yang cenderung menggeneralisasikan segala-galanya dan kian sadar
akan kepentingan-kepentingannya sendiri. Pergerakan menuju persatuan dalam konteks
kebangsaan ini sudah dimulai pada tahun 1928, mencapai kulminasinya pada tahun 1945,
tetapi kemudian mendapatkan berbagai ujian berat semenjak saat itu hingga detik ini.
Konsep negara kesatuan mulai dilihat sebagai kekangan terhadap keberagaman yang
sejak awal memang telah menjadi warna utama kebangsaan Indonesia, sehingga lahir
berbagai ketidakpuasan dan gugatan terhadap negara kesatuan.
Di lain pihak, Indonesia juga harus bekerja dengan sama kerasnya untuk mengelola
“kaum pendatang” yang tidak dianggap sebagai komponen “pribumi” dalam kebangsaan
Indonesia. Mereka ini mencakupi warga etnik Cina, Arab, India, Eropa, dll, tetapi yang

dalam perkembangannya kemudian menjadi tinggi bobot politisnya adalah kelompok
etnik Cina. Piagam Asimilasi tahun 1961, dan juga Keppres yang mengikutinya beberapa
tahun kemudian setelah peristiwa tahun 1965, adalah wujud upaya-upaya negara untuk
melakukan pengelolaan itu, dengan asimilasi sebagai nafas dominannya.
Seperti telah disinggung pada awal tulisan ini, asimilasi secara konseptual merupakan
orientasi kebijakan yang bertujuan mengintegrasikan kelompok-kelompok “pendatang”
ke dalam nilai-nilai dan praktik-praktik dominan kebangsaan yang mensyaratkan
ditinggalkannya kebiasaan-kebiasaan hidup di tempat asal para pendatang tersebut. Ini
dipandang sebagai suatu kewajaran, kalau bukan kemutlakan. Asimilasi tidak hanya
dilihat sebagai suatu kebijakan yang esensial tetapi juga sangat efektif untuk
mempercepat integrasi, dan bahkan—di mata sebagian orang—merupakan suatu wujud
kebijaksanaan yang luhur.
Namun, tampaknya perlu dilakukan penggalian yang lebih mendalam pada cara berpikir
ini beserta logika-logika yang menyertainya. Bisa jadi, suatu kebijakan (policy) yang
dipandang efektif atau kebijaksanaan (wisdom) yang dinilai luhur ternyata menyimpan
kelemahan, cacat atau persoalan serius pada logika-logika yang melandasinya.

3
Akibatnya, sesuatu yang pada awalnya menjanjikan kesempurnaan atau pemecahan
masalah malahan justru memicu lahirnya masalah-masalah yang lebih kompleks yang

membuat sasaran utama nation-building itu sendiri menjadi gagal untuk dicapai.
Pertama, asimilasi secara implisit dilandasi oleh pemikiran yang bersifat esensialis, yang
mengasumsikan adanya otentisitas, dan bahkan mungkin juga mengaung-agungkannya.
Dengan demikian, lahirlah kebutuhan untuk mengasimilasikan yang dianggap “tidak
otentik” ke dalam yang “otentik”. Yang otentik adalah mereka yang dianggap sebagai
pemilik dan penghuni sah wilayah negara Indonesia. Pada gilirannya, pemikiran ini
melahirkan klasifikasi yang disebut dengan “pribumi”. Dalam konteks ini, “pribumi”
tidak identik dengan konsep inlander yang ada pada masa kolonial karena kaum inlander,
sekalipun mereka telah lama menghuni kepulauan ini, tidak dianggap sebagai pemilik
sah.
Persoalannya adalah siapapun yang menekuni studi tentang sejarah bangsa-bangsa akan
segera mengerti bahwa isu otentisitas dalam kebangsaan sangatlah problematik. Hampir
sama seklai tidak ada satu bangsa pundi dunia yang komposisinya seratus persen
homogen atau “otentik”. Tidak jarang mereka yang dianggap “pribumi” di suatu tempat
ternyata adalah pendatang juga di masa lalu. Esensi keaslian suatu kelompok etnik,
dengan demikian, sering kali bercampur baur dengan siapa yang terlebih dahulu datang
dari pada siapa. Rumitnya, untuk kelompok etnik Cina berlaku aturan main yang berbeda:
tak peduli telah berapa lama atau berapa generasi mereka berada di Indonesia, mereka
tetap tidak pernah akan diterima sebagai bagian dari “yang asli”.
Ini membawa kita pada kekeliruan logika berpikir yang kedua, yang berpotensi besar

untuk memecah-belah bangsa. Ketidaklogisan yang saya maksud adalah dikotomi atau
oposisi biner antara kaum “pribumi” dan kaum “pendatang”, yang dalam hal ini secara
tersirat adalah kelompok etnik Cina, lebih dari pada kelompok-kelompok etnik
“pendatang” lainnya, seperti Arab, India, Eropa, dll. Pengaruh cara berpikir dikotomis
yang tidak bermanfaat sama sekali ini bahkan merasuk sampai ke wilayah kebijakan dan
perundang-undangan. Asimilasi, alih-alih mencairkan perbedaan yang salah kaprah ini,
malahan semakin mengedepankannya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa oposisi biner
antara “pribumi” dan “pendatang” ini seakan-akan menjadi raison-detre bagi lahirnya
pemikiran dan kebijakan asimilasi.
Dampak dari pemikiran dikotomis ini tidak hanya merugikan kelompok etnik Cina.
Lewat dikotomi tersebut, kemajemukan kelompok-kelompok yang dipukul rata sebagai
“pribumi” dan keunikan yang dimiliki masing-masing kelompok itu digeneralisasi
dengan arbitrer agar dapat dengan sederhana diklasifikasikan menjadi satu label:
“pribumi”. Maka, ketika menjelang jatuhnya Orde Baru dan sesudahnya pecah berbagai
pertikaian antar etnik dan agama yang tidak bersangkut-paut dengan kelompok etnik
Cina, banyak orang Indonesia yang tidak hanya terkejut tetapi juga bingung dan
mengalami kesulitan memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Selama ini,
persoalan pembauran antar etnik hanya terfokus pada “masalah Cina” saja. Jadi,
sesungguhnya yang lebih dibutuhkan oleh Indonesia sama sekali bukan asimilasi


4
melainkan suatu manajemen etnisitas yang memayungi semua komponen etnik yang ada
dalam komunitas bangsa Indonesia.
Kesalahkaprahan ketiga adalah yang berkaitan dengan alergi pada sebuah pola pikir
dikotomis lainnya, yaitu oposisi biner antara mayoritas dan minoritas. Di banyak negara
maju, dikotomi ini diterima sebagai suatu cara untuk menyikapi fakta bahwa ada
sekelompok orang yang dominan dalam suatu bangsa dan ada pula beberapa kelompok
orang lainnya yang tidak memiliki akses dan kesempatan yang memadai untuk membuat
diri mereka terdengar dan dapat berkembang secara optimal. Yang lebih utama lagi,
dikotomi ini juga dipandang positif karena dapat membuka mata kita bahwa ada
kelompok-kelompok “kecil” yang, tanpa adanya oposisi biner antara mayoritas dan
minoritas, tidak akan dapat mengada (being) dan menjadi (becoming) secara setara
dengan kelompok yang lebih “besar”. Dengan kata lain, dikotomi mayoritas dan
minoritas ini memungkinkan semua komponen dapat secara bersama-sama mencapai
kemajuan dan kesejahteraan yang berbasis pada keadilan.
Di Indonesia, ada semacam tabu untuk berbicara tentang etnisitas dalam konteks
hubungan antara mayoritas dan minoritas. Ada fobia terhadap apa yang didengungdengungkan dengan agak sloganistis sebagai “dominasi mayoritas” dan “tirani
minoritas”. Tidak pernah jelas betul apa yang dimaksud dengan ini semua, meskipun
beberapa tahun yang lampau sejumlah pejabat negara rajin meneriakkan fobia-fobia
terhadap paradigma mayoritas – minoritas itu. Banyak orang menilai bahwa dominasi

kejawaan di zaman Orde baru dalam tataran budaya politik negara sebagai sebuah bentuk
dominasi mayoritas. Namun, kita masih bisa berdebat panjang untuk menentukan apakah
hal tersebut merupakan sebuah pilihan yang dibuat oleh para elit negara yang sebagian
besar berlatar belakang etnik Jawa ataukah suatu perwujudan kehendak kolektif warga
etnik jawa untuk mendominasi. Demikian pula dengan ribut-ribut di seputar isu
penentangan terhadap Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional oleh sebagian
kelompok agama “minoritas”, yang oleh para pendukung undang-undang tersebut
dipandang sebagai upaya pemaksaan pendapat yang mengarah kepada ‘tirani minoritas”.
Saya tidak sedang mempromosikan cara berpikir seperti ini untuk dicobakan di Indonesia
karena apapun yang dibangun atas dasar positioning yang dikotomis selalu mengandung
masalah. Di Indonesia kita harus ekstra hati-hati untuk memahami persoalan nationbuilding dengan paradigma mayoritas – minoritas ini. Sebagai contoh, pada sebuah
seminar di Universitas Indonesia beberapa tahun yang silam, ekonom Faisal Basri pernah
mengemukakan bahwa mengklasifikasikan kelompok etnik Cina di Indonesia dalam
kelompok “minoritas” bisa bermasalah. Alasannya, menurut Basri, dari segi kuantitas
kelompok etnik Cina adalah ketiga terbesar setelah kelompok etnik Jawa dan Sunda,
sehingga jelas kelompok ini bukan minoritas dari segi jumlah populasinya.
Namun, hal ini tidak serta-merta menjadikan kelompok etnik Cina sebagai bagian dari
mayoritas. Positioning mereka secara seterotipikal dalam domain ekonomi, serta
pembatasan-pembatasan dan “kuota” yang dikenakan kepada mereka dalam sektor-sektor
lainnya, telah menempatkan mereka di dalam kategori “minoritas”, mengingat mereka

tidak memperoleh hak-hak sipil yang sama seperti warga negara yang lain. Mengapa

5
demikian akan saya cobal jelaskan pada bagian berikutnya, yaitu bagian yang membahas
aspek ekonomi dari asimilasi, dengan lebih panjang-lebar. Hal yang sama juga berlaku
bagi kelompok-kelompok etnik lainnya yang tergolong dalam kategori “pribumi”. Orang
Daya di Kalimantan, atau orang Papua di Irian, adalah kelompok-kelompok “mayoritas”
di tanah mereka masing-masing, tetapi kenyataan itu tidak serta-merta membuat mereka
berdaya. Berbagai kebijakan yang buta perbedaan, seperti transmigrasi, sistem
pemerintahan daerah, usaha kecil dan menengah, dsb tidak membawa keuntungan atau
kesejahteraan bagi mereka dan sering kali lebih mementingkan para “pendatang” yang
dari segi kuantitas adalah “minoritas”.
Meskipun demikian, kadang-kadang kita perlu mampu juga berpikir dalam paradigma
mayoritas – minoritas ini sejauh sasarannya adalah untuk memberdayakan unsur-unsur
bangsa tertentu yang, karena satu dan lain hal, ketinggalan dari unsur-unsur bangsa yang
lain. Ancaman baru muncul andaikata cara pandang ini digunakan untuk melegitimasi
dan mengukuhkan dominasi kelompok mayoritas dalam suatu bangsa. Ini pernah terjadi,
misalnya, di Australia semasa white Australian policy masih diberlakukan pada tahuntahun 1960-an dan 1970-an; hak-hak kaum Aborijin sebagai “penghuni dan pemilik sah”
tanah Australia pun pada masa itu diberangus dan tidak diakui.
Ke-empat dan terakhir, tolok ukur kesetiaan, sebagai salah satu indikator integrasi, dalam

asimilasi hanya terlihat dalam bentuk tokenisme. Warga etnik Cina bersedia mengganti
namanya dengan nama “pribumi”, meninggalkan adat-istiadatnya yang tidak berkenan di
hati “yang empunya rumah” , bila perlu juga mengganti agama yang dianutnya, dst.
Namun, sesungguhnya kesetiaan seorang warga negara acap kali adalah sebuah isu yang
sekunder apabila dibandingkan dengan, misalnya, kesetiaan pada orang-orang yang kita
cintai, pada tim sepakbola yang kita dukung, atau pada tempat kita hidup dan mencari
uang. Oleh sebab itu, tidak sedikit orang yang melepaskan kewarganegaraannya untuk
dapat menikah dengan kekasih yang berkewarganegaraa asing dan tinggal di negara
kekasihnya itu. Ada juga orang yang, demi kesejahteraan material dan kemapanan
ekonomi, bersedia menjadi warga negara lain dan menetap di negara tersebut secara
permanen. Para misionaris, misalnya, demi misi penyebaran agamanya, rela melepaskan
kewarganegaraannya dan menjadi warga negara Indonesia, bahkan tinggal di pelosokpelosok pedalaman, dan bekerja sampai mati untuk agamanya.
Maka, persoalannya adalah sejauh mana asimilasi dapat mewujudkan dan menjamin
kesetiaan, apabila itu adalah salah satu tujuannya, ketika bahkan isu kesetiaan itu sendiri
ternyata sedemikian abstrak dan kompleksnya. Ini adalah logika yang linear, positivistik
dan satu dimensi, yan jauh dari memadai untuk dapat diterapkan dalam urusan
pengelolaan bangsa, terlebih lagi bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Salah satu
masalah serius yang kini dihadapi Indonesia justru adalah masalah separatisme yang
terjadi di wilayah-wilayah yang diasumsikan didiami oleh orang “pribumi”, yang dalam
logika asimilas kesetiaannya menjadi sesuatu yang taken for granted.


Asimilasi dan politik ekonomi

6
Ekonomi dapat dikatakan menempati posisi penting dalam pembangunan sebuah nationstate modern, terutama apabila nation-state tersebut baru saja meraih kemerdekaannya
dan sedang bekerja keras untuk dapat mengejar ketinggalannya dari negara-negara lain.
Pertumbuhan ekonomi juga dapat dijadikan sebagai alat uji untuk menentukan apakah
para pemimpin negara, yang pada masa perjuangan kemerdekaan memobilisasi
perlawanan dengan janji-janji kemajuan, memiliki kompetensi yang memadai untuk
mewujudkan kata-katanya.
Krisis ekonomi yang tak kunjung berakhir pada tahun 1950-an di Indonesia dengan susah
payah—dan tidak sepenuhnya berhasil—berusaha dialihkan oleh Soekarno menuju ke
persoalan nasionalisme dan perlawanan terhadap imperialisme-kolonialisme. Namun,
strategi ini terbukti tidak selamanya mujarab. Isu ekonomi menjadi salah satu dari tiga
tuntutan rakyat, yang dikumandangkan para demonstran pada hari-hari menjelang
kejatuhan Soekarno. Bahkan gagasan gemilang macam Ganefo pun, yang dengan
ambisius berupaya menandingi Olimpiade, tidak lagi cukup meyakinkan untuk meminta
rakyat bertahan lebih lama dalam kekurangan.
Warga sebuah komunitas yang memandang dirinya sebagai sebuah bangsa bersedia
kelaparan dan hidup dalam kondisi yang minimum pada saat mereka harus bersama-sama

menghadapi suatu musuh yang konkret dan sulit ditaklukkan, seperti penjajah asing.
Namun, ketika secara fisikal penjajah tersebut sudah tak lagi ada, retorika atau wacana
perlawanan terhadap penjajahan menjadi terbatas keampuhannya. Dalil Marx bahwa
kondisi sosial membentuk kesadaran manusia, dan bukan sebaliknya, menjadi kuat terasa
kebenarannya di sini. Perut yang lapar tidak dapat diisi dengan slogan-slogan
nasionalistik belaka.
Krisis ekonomi panjang gelombang berikutnya, yang terjadi pada penghujung tahun
1990-an hingga saat ini, menjadi bukti nyata yang lain bahwa ekonomi merupakan
sebuah determinan penting dalam nation-building. Pemimpin yang tidak lagi dinilai
kompeten dalam memberikan kepemimpinan di bidang ekonomi identik dengan
pemimpin yang tidak memiliki kemampuan untuk membawa bangsa menuju ke tujuan
akhir nation-building, yakni kemakmuran untuk seluruh rakyat. Perhatikan bahwa
sasaran akhir sebuah proses nation-building yang panjang dan rumit itupun sangat berbau
ekonomi, lebih dari pertahanan, politik, budaya ataupun aspek-aspek lainnya.
Hal ini cukup disadari oleh banyak pemerintahan, meskipun kesadaran itu tidak selalu
dapat secara konsisten dituangkan dalam kisah-kisah sukses. Persoalannya, dibutuhkan
suatu sumber daya yang dapat diandalkan untuk secara khusus mengemban tugas
pertumbuhan di bidang ini, dan di banyak negara yang baru merdeka biasanya tidak
cukup tersedia sumber daya “pribumi” yang siap untuk ini. Bahkan, di negara-negara
yang relatif telah cukup mapan, seperti di negara-negara Eropa dan di Amerika, masih
dibutuhkan sekelompok elit ekonomi yang pada saat yang sama juga merupakan
kelompok etnik tertentu, yaitu warga Yahudi.
Di Indonesia, pilihan jatuh pada warga etnik Cina, yang stereotipenya memang identik
dengan pedagang bahkan ketika masih berada di tanah leluhurnya. Apalagi pada masa

7
kolonial Belanda mereka memperoleh status kewarganegaraan yang setingkat lebih tinggi
dari pada warga “pribumi”. Kelompok etnik ini dinilai paling siap untuk menjadi mesin
penggerak kemajuan ekonomi negara, tetapi pada saat yang bersamaan juga diposisikan
sebagai sekelompok manusia yang tidak dapat sepenuhnya dipercaya dan kesetiaannya
kepada tanah airnya yang baru diragukan.
Sebagai mesin ekonomi yang indispensable, kelompok etnik Cina menempati posisi yang
sangat penting—sebegitu pentingnya sehingga mereka betul-betul harus dapat
sepenuhnya dibuat menjadi bagian integral dari bangsa, yang kadar kesetiaannya tidak
lebih kecil dibandingkan warga bangsa yang lain. Tanpa itu, potensi ekonomi mereka
tidak akan dapat diefektifkan dengan optimal. Oleh sebab itu, asimilasi menjadi isu maha
penting, dan ini menjelaskan juga mengapa kelompok etnik ini yang terkesan menjadi
sasaran spesifik kebijakan itu lebih dari kelompok-kelompok “pendatang” lainnya.
Namun demikian, ini adalah sisi ekonomi semata dari asimilasi warga etnik Cina di
Indonesia. Sisi politik dari asimilasi itu tidak selalu selaras dengan dimensi ekonominya.
Dari perspektif politis, asimilasi kelompok etnik Cina juga merupakan sesuatu yang
mutlak perlu tetapi dengan alasan yang berbeda. Di sinilah persoalan menjadi sangat
problematik dan barangkali juga mengandung suatu kontradiksi, kalau bukan ironi. Di
satu pihak asimilasi itu menunjang integrasi warga etnik Cina ke dalam bangsa, atau
semacam proses “pribumiisasi" warga etnik Cina, sehingga—sebagaimana yang
diamanatkan oleh berbagai kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan asimilasi—
mereka tidak akan lagi memperlihatkan kekhasannya atau “kecinaannya.”
Di lain pihak, asimilasi justru semakin menandai perbedaan: kelompok etnik Cina
menjadi semacam target yang “diberi tanda”, menjadi sasaran tembak kebijakan asimilasi
yang, meskipun secara konseptual berlaku untuk semua “pendatang”, di dalam praktiknya
secara khusus dikenakan kepada warga etnik Cina belaka. Perbedaan, dalam hal ini,
diberi tekanan tetapi tidak dalam artian positif, seperti yang diupayakan oleh kebijakan
multikulturalisme, misalnya. Perbedaan ditekankan dengan tujuan untuk ditiadakan
karena ia diposisikan negatif, bertolak belakang dengan integrasi, dan tidak compatible
dengan agenda nation-building secara keseluruhan. Oleh karena itu, posisi warga etnik
Cina di Indonesia selalu ambigu sekaligus dilematis.
Mereka diposisikan sebagai makhluk ekonomi, dan peranan yang harus mereka mainkan
dalam proses nation-building juga secara sistematik dibatasi pada wilayah tersebut.
Namun, mereka juga diharuskan membaur, mengadopsi cara hidup “pribumi”, serta
meninggalkan sama sekali “kecinaan” mereka. Ini adalah sebuah posisi yang serba salah.
Andaikata mereka melakukan suatun tindakan yang dinilai merusak perekonomian, yang
disalahkan adalah “kecinaan” mereka, yakni karena mereka melakukan praktik-praktik
dagang yang tidak berterima dalam tata nilai “pribumi” dan merugikan bangsa, yang juga
identik dengan “pribumi”. Sebaliknya, apabila mereka berhasil menjadi pemain ekonomi
yang menonjol, lagi-lagi yang disoroti adalah juga “kecinaan” mereka—mereka sukses
karena menghisap darah “pribumi”.

8
Dengan demikian, menjadi Indonesia, bagi warga etnik Cina, adalah sebuah pertaruhan
berisiko tinggi yang hampir mustahil dapat dimenangkan. Satu-satunya jalan yang
terbuka untuk melakukan resistensi terhadap politik asimilasi yang seperti ini adalah
mengikuti agenda asimilasi dengan segala aturan mainnya tetapi menolak untuk
diposisikan sebagai pemain ekonomi. Ada banyak warga etnik Cina yang memilih
positioning seperti ini bagi dirinya sendiri dan menolak positioning yang hendak
dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan eksternal, seperti negara, media massa, dll.
Perbandingan mungkin dapat diberikan di dalam konteks akulturasi yang, walaupun tidak
secara langsung dan eksplisit diregulasikan, terjadi juga di lapangan. Berbeda dengan
asimilasi, proses akulturasi yang terjadi adalah imposisi nilai-nilai dan praktik-praktik
budaya mayoritas, yakni Jawa, ke dalam aspek-aspek politik dan kultural dalam
kehidupan berbangsa. Sistem pemerintahan desa, yang kental dengan warna kejawaan,
misalnya, diterapkan secara universal di seluruh pelosok tanah air tanpa mengindahkan
adat dan tradisi setempat. Demikian pula dengan segala macam motto dan slogan politik
nasional yang nyata-nyata secara ekslusif digali dari budaya Jawa yang mayoritas.
Namun, mirip dengan asimilasi, ada asumsi bahwa terdapat seperangkat nilai yang
diangkat menjadi nilai-nilai nasional dan dianggap baik bagi semua orang yang ada di
dalam wilayah nasional itu. Implikasinya adalah ada juga nilai-nilai yang tidak dianggap
sesuai dengan gagasan kemajuan, nasionalisme dan modernitas, yang harus ditinggalkan.
Sering kali, dalam situasi seperti ini, nilai-nilai kelompok-kelompok minoritaslah yang
mengalami marginalisasi. Revitalisasi masyarakat adat, isu-isu di seputar kepemimpinan
oleh “putra daerah”, gugatan-gugatan atas kepemilikan tanah adat, dsb, bisa juga dibaca
sebagai bentuk-bentuk resistensi terhadap berbagai praktik dan kebijakan yang
berorientasi pada akulturasi.
Kembali ke dimensi ekonomi dalam konteks asimilasi warga etnik Cina, ada beberapa hal
yang patut mendapatkan perhatian. Bagaimana masalah “pendatang” ini dikelola di
beberapa negara dapat memberikan pelajaran yang baik kepada Indonesia. Malaysia,
misalnya, alih-alih menerapkan kebijakan asimilasi memilih untuk bereksperimen dengan
semacam affirmative action untuk memberdayakan sumber daya “pribumi” agar dalam
jangka panjang mampu berdiri sejajar dengan para “pendatang” berlatar belakang etnik
Cina, India, dll. Keberhasilan kebijakan ini memang bias diperdebatkan. Bahkan PM
Mahathir Mohamad sendiri pernah mengeluh bahwa affirmative action yang diterapkan
ternyata tidak cukup mujarab untuk memberdayakan orang Melayu. Namun, paling tidak,
tidak ada satu kelompok etnik pun yang dicabut hak-haknya untuk melestarikan tradisi
dan keunikannya sendiri, seperti yang kita telah lihat terjadi dalam asimilasi.
Amerika Serikat selalu juga merupakan ilustrasi yang sangat menarik sejauh menyangkut
eksperimen dengan berbagai macam kebijakan nation-building. Di negara yang konon
dipersatukan oleh junk food dan kebudayaan massa ini, asimilasi juga pernah
diberlakukan dengan label melting-pot. Gagasannya adalah menyatukan semua perbedaan
etnik dan kultural dalam sebuah wadah besar bernama Amerika untuk melahirkan adonan
baru yang akan disebut dengan kebudayaan Amerika. Kegagalan proyek melting-pot ini
lalu melahirkan kebijakan lain yang disebut dengan salad bowl, yang memberi ruang bagi

9
keunikan dan perbedaan tetapi ada bumbu atau “salad dressing” yang menyatukan rasa,
yakni yang disebut dengan keamerikaan (americaness) itu. Kini, Amerika jualah yang
mempopulerkan multikulturalisme, sebuah eksperimen mutakhir dalam nation-building
yang konon lebih canggih dan toleran dari pada kebijakan-kebijakan yang pernah ada
sebelumnya. Namun, setelah peristiwa 11 September, siapa yang masih dengan yakin
dapat mengatakan bahwa multikulturalisme di Amerika belum mati?
Di Indonesia, affirmative action sesungguhnya pernah dicobakan, yaitu ketika Soekarno
memutuskan untuk melakukan nasionalisasi terhadap perusahan-perusahaan Belanda dan
mengalihkan pemilikan serta pengelolaannya kepada para entrepreneur “pribumi”.
Namun, ini adalah suatu bentuk affirmative action yang bersifat emosional dan hanya
dilandasi oleh sentiment nasionalistik semata tanpa disertai oleh visi yang jauh ke depan,
perencanaan yang holistik dan terpadu, serta implementasi yang matang dan terpantau
dengan baik. Dalam waktu sekejap perusahan-perusahaan yang telah dinasionalisasikan
tersebut berguguran dan jatuh bangkrut. Kebijakan itu tidak disertai pula dengan upaya
untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan ketrampilan menjalankan usaha para
“entrepreneur sulapan” itu. Sementara itu, banyak warga etnik Cina dengan kemampuan
wirausaha yang tinggi terpaksa meninggalkan Indonesia karena kebijakan tentang
kewarganegaraan yang sangat stigmatik bagi warga etnik Cina di sini.
Di Indonesia, apapun yang hendak dilakukan dalam rangka mengintegrasikan masyarakat
etnik Cina ke dalam kebangsaan Indonesia atau dalam rangka memberdayakan sumber
daya “pribumi” harus dilakukan dengan sangat berhati-hati dan dipikirkan dengan masakmasak. Namun, langkah pertama yang dapat dan perlu diambil adalah deregulasi. Semua
kebijakan yang berbau asimilasi harus terlebih dahulu dihapuskan dan, mungkin, untuk
sementara tidak perlu dibuat regulasi baru sebagai penggantinya. Ada hal-hal di dalam
proses nation-building yang sebaiknya dibiarkan tumbuh secara orgnaik tanpa campur
tangan negara. Pembauran atau integrasi barangkali adalah salah satunya. Ketika negara
mulai melakukan intervensi dalam bentuk kebijakan atau regulasi, maka kita akan
menyaksikan persoalan seperti yang saat ini kita saksikan di Perancis dan Jerman.
Kerap kali, apa yang menjadi keributan besar dalam tataran politik tingkat atas ternyata
sama sekali bukan menjadi persoalan pada tataran akar rumput. Di Inggris, misalnya,
multikulturalisme tumbuh dengan lebih subur dan produktif di tengah-tengah masyarakat
sendiri ketika negara justru belum secara khusus menaruh perhatian pada isu-isu
integrasi. Maka, kita menyaksikan tumbuhnya fenomena-fenomena menarik, seperti
bermunculannya ratusan mesjid di kota London (konon, saat ini di London saja terdapat
lebih dari 500 bangunan mesjid) dan berkembangnya kota-kota yang mayoritas
penduduknya adalah kaum pendatang yang beragama non-Kristen, seperti kota Bradford
di Inggris tengah. Tampaknya, mayoritas warga kulit putih di Inggris tidak terlalu
mencemaskan perkembangan tersebut.
Di bidang ekonomi, Indonesia pernah melakukan sebuah kekeliruan besar ketika
Soeharto dalam masa kekuasaannya mewajibkan para pengusaha besar Cina untuk
menyumbangkan dana bagi proyek pemberdayaan pengusaha pribumi. Akibatnya, terjadi
pelarian modal secara besar-besaran ke luar negeri, dan bahkan para pengusaha Cina

10
yang biasanya pasif itu pun berani menyuarakan kritiknya terhadap kebijakan tersebut.
Dalam pandangan saya, akan lebih produktif apabila warga etnik Cina diproliferasikan ke
dalam berbagai sektor, sehingga cap ekonomi yang selama ini mereka miliki dan sangat
problematik itu dapat secara bertahap dinetralisasi. Pada saat yang sama, sektor ekonomi
pun dalam jangka panjang akan menjadi semakin terbuka pula untuk kaum “pribumi”.
Fenomena yang terakhir ini sebenarnya sudah mulai berkembang, khususnya semenjak
krisis ekonomi melanda Indonesia, meskipun hasil konkretnya masih mesti ditunggu.
Yang perlu diberi perhatian adalah bahwa pada dasarnya pertumbuhan tersebut sifatnya
organik dan tidak merupakan hasil intervensi negara yang terlalu jauh.

Penutup
Tulisan ini menempatkan dirinya secara berseberangan dengan pemikiran asimilasi. Di
zaman yang serba global dan terbuka seperti sekarang, setiap negara menghadapi
persoalan integrasi karena adanya kebutuhan yang mendesak untuk mempertahankan
keutuhan dan kedaulatan, yang kian hari kian terancam oleh bukan hanya arus informasi
tetapi juga arus mobilitas manusia yang semakin tinggi. Untuk kasus Indonesia, masalah
masih diperparah lagi dengan adanya gerakan separatis di beberapa tempat. Integrasi dan
kepentingan nasional semakin mendesak untuk diprioritaskan. Di pihak lain, setiap
negara juga harus gesit dan cukup terbuka untuk menangkap arus modal dan kesempatan
dagang, yang juga dibawa oleh globalisasi. Untuk itu, kita bersedia tunduk pada berbagai
aturan yang dikeluarkan badan-badan internasional seperti WTO, meskipun dalam
banyak hal aturan-aturan itu merugikan kepentingan nasional kita. Ini adalah dua
kebutuhan yang satu dan lainnya saling berbenturan, dan bahkan berkontradiksi.
Di dalam konteks permasalahan pertama, asimilasi sejauh menyangkut isu ekonomi tidak
akan dapat bekerja secara efektif dalam mengintegrasikan kelompok etnik Cina ke dalam
komunitas bangsa Indonesia. Sebabnya adalah karena letak persoalannya bukan pada
bagaimana mereka membaurkan diri dengan kelompok-kelompok etnik “pribumi”
melainkan pada bagaimana mereka diterima dan dipandang sebagai bagian yang integral
dari keindonesiaan. Anggapan bahwa ‘karena mereka adalah “tamu”, maka mereka harus
bersikap baik kepada kita dan menyesuaikan diri dengan kita’ mungkin tidak keliru
secara konseptual tetapi tidak tepat untuk diberlakukan dalam sebuah entitas bangsa yang
hampir seluruh komponennya, di suatu waktu di masa silam, adalah “pendatang”.
Selama asimiliasi masih diberlakukan, kelompok etnik Cina akan selalu menjadi
kelompok yang berstigma dan, kalau boleh dikatakan, asimilasi itulah yang menghambat
diterimanya kelompok tersebut sebagai bagian yang tak terceraikan dari bangsa
Indonesia.
Karena selalu dianggap sebagai “tamu”, kelompok ini tidak pernah belajar
mengembangkan rasa memiliki dan komitmen kebangsaan yang kuat. Pelarian modal dan
manusia selalu terjadi setiap kali negara berada dalam keadaan genting karena seorang
tamu selalu tahu kapan dan di mana harus exit: ‘Begitu keamanan menjadi
mengkhawatirkan, kami keluar—tanpa ada beban apa-apa’. Sama seperti para turis yang
ketakutan dan berbondong-bondong pulang ketika ada bom meledak di suatu tempat.

11

Sementara itu, berkaitan dengan masalah kedua, dengan dunia semakin menjadi sebuah
komunitas bersama yang tunggal, asimilasi menjadi lebih ketinggalan zaman lagi. Di
zaman ketika uang dan keuntungan menjadi penentu hubungan-hubungan, ketika pemainpemain utama yang penting bukan lagi negara melainkan individu-individu, bukan
integrasi yang utama melainkan hubungan yang saling menguntungkan antara siapa saja
dengan siapa saja. Batas-batas negara, kewarganegaraan, etnisitas, dan agama tidak lagi
menjadi penghalang bagi terjadinya transaksi-transaksi ekonomi, sosial dan kultural yang
signifikan dan berjangka panjang. Penanam modal asing berkulit kuning dan bermata
sipit mampu memainkan peranan yang amat penting dalam pertumbuhan ekonomi dan
diharap-harapkan kedatangannya, meskipun mereka tidak hafal Pancasila dan tidak
mengerti satu patah kata pun dalam bahasa Indonesia. Pengungsi dari Asia Tengah dan
Timur Tengah, yang nota bene berkulit gelap dan Muslim, kedatangannya tidak diterima
dengan hangat karena identik dengan masalah, dan bukan dengan uang dan modal.
Ke depan, Indonesia harus lebih terfokus pada strategi manajemen kebangsaan yang
memperhitungkan faktor-faktor global dan nasional secara simultan dan tidak lagi
memecah-belah dirinya sendiri dengan regulasi-regulasi yang parsial, diskriminatif dan
hanya memberikan keuntungan poltik jangka pendek. Nation-building sebagai sebuah
proses tidak akan pernah usai dan tidak dapat didekati dengan target-setting seperti di
masa lalu ketika tahapan-tahapan pembangunan dilakukan dengan begitu pasti dan
sederhananya, sehingga seolah-olah ‘masyarakat yang adil dan makmur material dan
spiritual” akan dapat dicapai setelah tiga puluh atau enam puluh tahun dengan hitunghitungan yang matematik. Nation-building, sepert yang telah saya tegaskan beberapa kali
di sepanjang tulisan ini, harus pada dasarnya bersifay organik. Tekanannya pun lebih
pada wilayah kultural, dan bukan politik, apalagi ekonomi, meskipun kedua aspek
tersebut tidak juga dapat diabaikan begitu saja. Saya katakan kultural karena manajemen
kebangsaan pada hakikatnya adalah manajemen manusia, dan bukan sistem. Indonesia
baru dapat menentukan arah perkembangannya dengan jernih apabila paradigma ini
disadari betul maknanya.

*****

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24