Strategi Penerjemahan Metafora Bahasa In (2)

Strategi Penerjemahan Metafora Bahasa Indonesia
ke dalam Bahasa Inggris dalam Antologi Puisi
On Foreign Shores: American Image in Indonesian Poetry
Parlindungan Pardede
Universitas Kristen Indonesia, Jakarta
parlpard2010@gmail.com

Abstract
The objetive of this research was to investigate the translation strategies
used to render the metaphors into English and errors committed in the
translation. The research methodology was qualitatve using the content analysis
method. The data were collected through observation on the 69 Indonesian
poems included in “On Foreign Shores” and their corresponding translated
English versions using the criteria provided by metaphor theories. In the
identification stage the observation process was conducted with the aid of
Metaphor Identification Procedure (MIP).
The result reveals the followings. First, to translate the 174 Indonesian
metaphors in the poetry anthology, three strategies were used: (1) reproducing
the original metaphor with its exact equivalent (59.8%); (2) replacing the
metaphor with a different metaphor which expresses similar meaning (35.6%); (3)
and converting the metaphor into its approximate literal paraphrase (4.6%).

Second, eleven inappropriate selections of translation strategies, which cause
distortion in the meaning of the message conveyed by the original poets were found.
This means that the accuracy of the use of translation strategies to render the
174 Indonesian metaphors into English is 93,68%. Despite the small number of
errors, the translation strategies applied by the translator were recommended to
be used as one of the references for translating Indonesian metaphors into
English, especially in the context of poetry translation.

Kata kunci: penerjemahan metafora, strategi penerjemahan, prosedur
penerjemahan, kesepadanan

Pendahuluan
Dalam masyarakat modern penerjemahan tidak lagi dipandang hanya
sebagai proses pengalihan makna kata-kata dari satu bahasa ke bahasa lainnya,
tetapi telah berkembang menjadi sarana penyebaran informasi, ide dan nilai-nilai
kultural untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan budaya serta meningkatkan

1

pemahaman dan kerjasama interkultural. Tanpa penerjemahan, yang secara umum

didefinisikan sebagai upaya mengungkapkan kembali pesan yang terkandung
dalam bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa), sirkulasi ide,
pengetahuan, informasi, dan nilai-nilai dari satu bangsa ke bangsa lain akan
terhambat. Selain itu, dialog-dialog interkultural, yang dimanfaatkan untuk
meningkatkan pemahaman dan kerjasama antar bangsa akan sulit dilakukan tanpa
penerjemahan.
Dalam praktik penerjemahan, metafora merupakan ungkapan yang paling
sulit dialihkan dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Metafora bahkan sering dijuluki
sebagai ekspresi yang misterius karena maknanya sulit dijelaskan, apalagi
diterjemahkan. Newmark (1998, h. 104) menyatakan masalah penerjemahan yang
paling sulit secara khusus adalah penerjemahan metafora.
Kesulitan menerjemahkan metafora pada hakikatnya berkaitan dengan
struktur metafora yang variatif dan unsur pembangunnya yang kompleks, Dilihat
dari strukturnya, sebuah metafora bisa berbentuk satu kata, frasa, klausa, atau
kalimat. Dilihat dari unsurnya, metafora dibentuk oleh komponen topik (vehicle),
citra (tenor ), dan titik kesamaan (ground). Namun ketiga komponen ini tidak
selalu disebutkan secara eksplisit. Kadang-kadang satu atau dua dari ketiga
komponen itu bersifat implisit. Akibatnya, metafora seperti ini hanya dapat
dipahami setelah konteks internal ungkapan maupun konteks situasional
(eksternal) ungkapan tersebut terlebih dahulu dipahami. Kadang-kadang

komponen citra sebuah metafora tidak lazim dalam BSa, sehingga penerjemah
harus menemukan citra pengganti yang sepadan dan lazim dalam Bsa tersebut.

2

Selain itu, sebagai sebuah ungkapan bahasa, metafora sarat dengan nilai-nilai
budaya sehingga penerjemahannya hanya dapat dilakukan setelah nilai-nilai
budaya yang terkait dengan ungkapan tersebut dipahami.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam penerjemahan metafora telah
memunculkan dua pandangan yang kontradiktif mengenai translatibilitas
metafora. Dagut (1987: 25) memaparkan bahwa, di satu pihak, tidak sedikit ahli
penerjemahan, seperti Nida, Vinay and Darbelnet, yang menganggap metafora
tidak bisa diterjemahkan. Di pihak lain, beberapa tokoh, seperti Kloepfer dan
Reiss, menganggap bahwa metafora, sebagai suatu ungkapan lingusitis, metafora
bisa diterjemahkan.
Praktik penerjemahan cenderung mendukung translatibilitas metafora. Hal
ini dibuktikan oleh begitu banyaknya puisi—yang mengandung berbagai
ungkapan metaforis—karya penyair kenamaan seperti Robert Frost, William
Shakespeare, Langston Hughes, Pablo Neruda, Emily Dickinson dan Li Po
berhasil diterjemahkan dengan baik ke dalam berbagai bahasa. Jadi. meskipun

sebagian metafora harus diterjemahkan secara ekstra hati-hati, sebagai salah satu
bentuk ekspresi linguistis, metafora tetap bisa diterjemahkan.
. Hasil-hasil penelitian terkini juga cenderung memperkuat ide bahwa
metafora bisa diterjemahkan. Penelitian Suwardi (2005) tentang penerjemahan
metafora bahasa Inggris dalam konteks penerjemahan novel The Wedding karya
Danielle Steel ke dalam bahasa Indonesia mengungkapkan bahwa ke 41 metafora
yang

diidentifikasi

diterjemahkan

dengan

menggunakan

lima

strategi


penerjemahan, yakni: (1) menerjemahkan metafora menjadi metafora dengan

3

imaji yang sama; (2) menerjemahkan metafora menjadi metafora dengan imaji
yang berbeda; (3) menerjemahkan metafora menjadi simile dengan imaji yang
sama; (4) menerjemahkan metafora menjadi simile dengan imaji yang berbeda;
dan

(5)

menerjemahkan

metafora

menjadi

non-majas.

Hasil


analisis

memperlihatkan kebanyakan metafora TSu sepadan dengan hasil terjemahannya
dalam TSa.
Penelitian Waluyo (2007) mengungkapkan bahwa strategi penerjemahan
yang digunakan untuk mengalihkan 100 metafora bahasa Indonesia dalam
penerjemahan novel Sa man ke dalam bahasa Inggris adalah: (1) penerjemahan
metafora menjadi metafora yang sepadan; (2) parafrase; (3) penerjemahan
metafora menjadi metafora yang berbeda namun dengan makna yang sama; (4)
penerjemahan harfiah. Ditemukan tiga alasan mengapa penerjemah tidak hanya
menggunakan strategi pertama saja tetapi juga ketiga strategi lainnya. Pertama,
penerjemah tidak dapat menemukan kesepadanan yang sesuai dalam metafora
Inggris. Kedua, penerjemah bermaksud mencegah kesalahpahaman atau berupaya
mempertahankan pesan sesuai dengan konteksnya. Ketiga, penerjemah memiliki
waktu yang terbatas sehingga dia mengambil jalan pintas dalam menerjemahkan
metafora.
Hasil kajian Sudrama (2003) tentang struktur, tipe. dan strategi
penerjemahan metafora dalam penerjemahan novel Master of the Game karya
Sidney Sheldon ke dalam bahasa Indonesia mengungkapkan bahwa novel tersebut

mengandung metafora mati dan metafora hidup. Berlandaskan teori Larson,
ditemukan tiga strategi yang diterapkan dalam menerjemahkan metafora bahasa

4

Inggris ke dalam bahasa Indonesia, yakni: menerjemahkan metafora ke dalam
metafora, menerjemahkan metafora menjadi simile, dan menerjemahkan metafora
menjadi ungkapan harfiah.
Paparan-paparan di atas mengindikasikan bahwa kesulitan dalam
menerjemahkan metafora disebabkan oleh tiga faktor utama. Pertama, metafora
memiliki struktur yang variatif dan unsur pembangun yang kompleks. Akibatnya,
disamping prosedur dan konsep kesepadanan yang lazim digunakan dalam
menerjemahkan ungkapan-ungkapan linguistik lainnya, penerjemahan metafora
memerlukan strategi khusus (van den Broeck, 1981). Kedua, metafora sarat
dengan nilai-nilai budaya. Oleh karena itu, penerjemah harus benar-benar
memahami nilai-nilai budaya yang terkait dengan metafora BSu secara mendalam
dan melakukan pemetaan konseptual agar dapat menentukan padanan yang
berterima dalam BSa (Al-Hasnawi, 2007). Ketiga, karena berbagai kerumitan
yang ditemukan dalam penerjemahan metafora, hanya sedikit. jumlah pakar pakar
penerjemahan yang mau menggumuli persoalan tersebut (ProZ.com, 2008).

Akibatnya, teori dan kajian tentang penerjemahan metafora yang tersedia relatif
terbatas. Sehubungan dengan itu, penelitian yang ekstensif perlu dilakukan untuk
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang penerjemahan metafora.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam
tentang strategi penerjemahan metafora bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris
dalam antologi puisi On Foreign Shores: American Image in Indonesian Poetry
yang diterjemahkan dan diedit oleh McGlynn (1990). Secara spesifik, masalahmasalah

yang

diteliti

mencakup: (1)

5

strategi

yang


digunakan

dalam

menerjemahkan metafora yang terdapat di dalam On Foreign Shores: American
Image in Indonesian Poetry dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris; (2)

kesalahan-kesalahan

penggunaan

strategi

penerjemahan

metafora

bahasa

Indonesia ke dalam bahasa Inggris; dan (3) faktor-faktor penyebab kesalahan

penggunaan strategi penerjemahan tersebut.
Teori

utama

yang

dijadikan

sebagai

landasan

analisis

strategi

penerjemahan metafora dalam penelitian ini adalah lima strategi penerjemahan
metafora usulan Larson (1998, h. 278-279), yang tediri dari: (1) menerjemahkan
metafora BSu menjadi metafora yang sama di dalam BSa; (2) menerjemahkan

metafora BSu menjadi sebuah simile jika dalam sistem BSa membuat simile lebih
mudah dipahami daripada metafora; (3) menerjemahkan metafora BSu menjadi
metafora lain dalam BSa tapi memiliki makna yang sama dengan metafora BSu
tersebut; (4) menerjemahkan metafora BSu menjadi metafora yang sama di dalam
BSa yang disertai dengan penjelasan tentang makna metafora tersebut; dan (5)
menerjemahkan metafora menjadi menjadi ungkapan non-metaforis. Sedangkan
analisis tentang bentuk dan faktor kesalahan penggunaan strategi penerjemahan
didasarkan pada gagasan Nababan (2008) tentang kesalahan terjemahan.

Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis
isi (content analysis), yang diterapkan dalam delapan tahapan sesuai dengan saran
Carley (1992, h. 35-40), yakni: (1) menetapkan tataran analisis; (2) menetapkan
konsep-konsep untuk dikodifikasi; (3) menetapkan apakah pengkodean ditujukan

6

untuk menyatakan keberadaan atau frekuensi konsep; (4) menetapkan cara
membedakan konsep-konsep; (5) mengembangkan aturan pengkodean teks; (6)
menetapkan apa yang harus dilakukan terhadap informasi/data

yang tidak

relevan; (7) mengkodifikasi teks; dan (8) menganalisis hasil.
Data dalam penelitian ini adalah seluruh ungkapan motaforis yang
dikumpulkan

melalui

pengamatan

terhadap

69

puisi

Indonesia

yang

dipublikasikan dalam antologi puisi On Foreign Shores: American Image in
Indonesian berdasarkan kriteria teori metafora yang dipadu dengan penerapan
Meta phor Identifica tion Procedure (MIP) usulan kelompok Pragglejaz (2007)

dalam tahapan identifikasi data. Pemeriksaan keabsahan data dilakukan melalui
ketekunan pengamatan, triangulasi, dan kecukupan referensial. Data yang
terkumpul diklasifikasikan untuk selanjutnya dikaji secara obyektif, dianalisis
berdasarkan teori-teori terjemahan yang dipaparkan pada bagian terdahulu, dan
dibandingkan dengan terjemahan masing-masing dalam bahasa Inggris.

Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Penggunaan Strategi Penerjemahan
Dengan menggunakan teori Larson (1988, h. 279-280) tentang strategi
penerjemahan metafora, ditemukan bahwa ke 174 metafora yang diidentifikasi
diterjemahkan dengan menggunakan tiga strategi, yaitu: (1) menerjemahkan
metafora menjadi metafora yang sama (disingkat menjadi “M

M Sama”); (2)

menerjemahkan metafora menjadi metafora lain tapi bermakna sama (M

M

Lain); dan (3) menerjemahkan metafora menjadi ungkapan non-metaforis atau

7

makna harfiah (M

Non-M). Agar diperoleh kesamaan persepsi, perlu dijelaskan

bahwa ‘lambang panah’ (‘

’) yang digunakan di sini bermakna “diterjemahkan

atau dialihkan menjadi” atau “dikonversikan kepada”, sesuai dengan konteks
penggunaannya.
Rekapitulasi frekuensi dan persentase ketiga strategi penerjemahan
tersebut ditampilkan pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Frekuensi dan Persentase Penggunaan Strategi Penerjemahan Metafora
No.

Strategi Penerjemahan

Jumlah

Persentase

1

M

M Sama

104

59,8

2

M

M Lain

62

35,6

3

M

Non-M

8

4,6

174

100

Total

a. Menerjemahkan metafora menjadi metafora yang sama
Menerjemahkan metafora menjadi metafora yang sama (M

M Sama)

dilakukan dengan cara mereproduksi citra atau tenor TSu di dalam TSa. Strategi
ini dapat dilakukan jika metafora itu berterima atau dapat dipahami pembaca TSa
tanpa adanya salah pengertian. Oleh karena itu, strategi ini sangat sesuai
digunakan untuk menerjemahkan metafora dengan citra yang universal. Karena
citra yang universal, menurut Newmark, biasanya diungkapkan dengan
menggunakan kata-kata yang berhubungan dengan ruang, waktu, ide, bagianbagian tubuh, unsur-unsur ekologi, dan aktivitas-aktivitas utama manusia dan

8

merupakan salah satu karakteristik metafora mati,1 strategi M

M Sama sangat

sesuai untuk menerjemahkan metafora mati.
Kriteria-kriteria tersebut dapat ditelusuri dalam penerjemahan metafora
berikut.

1

2

BSu

sentuhan yang menempa marah (36)

BSa

a touch that forges anger (37)

BSu

engkau belut bagiku (44)

BSa

you are for me an eel (45)

Metafora pertama di atas merupakan salah satu baris puisi Toeti Heraty
yang berjudul Sungai Iowa . Puisi ini menggambarkan suasana batin si pembicara
(speaker ) yang sedang dipenuhi oleh berbagai gejolak emosi negatif. Namun
dirinya langsung menjadi tenang setelah memandang Sungai Iowa. Dia merasakan
gejolak berbagai emosi negatif tersebut reda oleh pesona Sungai Iowa.
Metafora “sentuhan yang menempa marah” adalah satu dari emosi negatif
yang bergejolak dalam diri si pembicara. Dalam metafora ini, “sentuhan”
dinyatakan “menempa” kemarahan. Padahal verba “menempa” ini secara leksikal
berkolokasi dengan besi. Menurut KBBI Daring, verba ini bermakna “memukulmukul (besi dsb) untuk dibuat perkakas (spt pisau)” Karena citra dalam verba
“menempa” direproduksi menjadi citra yang sama melalui verba ”forge”, yang
menurut American Heritage Dictiona ry of English Language bermakna “to form

1

Newmark Op,cit. h. 106

9

(metal, for example) by heating in a forge and beating or hammering into shape,”
maka metafora tersebut diterjemahkan menjadi metafora yang sama.
Metafora kedua di atas, “engkau belut bagiku” digunakan oleh Rendra
dalam puisi Kepada M.G. untuk menggambarkan seorang pelacur menurut
pandangan pembicara dalam puisi tersebut. Melalui metafora ini diungkapkan
bahwa pembicara mengetahui semua lekuk tubuh si pelacur. Tapi dia sama sekali
tidak memahami jiwa si pelacur. Orang yang sering menangkap atau memegang
belut dapat dengan mudah mengetahui gambaran fisik binatang itu. Sebagaimana
orang itu mengetahui profil fisik belut, demikian pula pengetahuan si pembicara
mengenai liku-liku tubuh si pelacur. Akan tetapi, meskipun sudah sering
menangkap belut, kebanyakan orang tetap tidak dapat menggenggam binatang itu
karena tubuhnya yang licin. Gambaran ini digunakan penyair sebagai analogi
untuk mengungkapkan ketidakmampuan si pembicara memahami pikiran dan
keinginan si pelacur. Dalam penerjemahan, citra “belut” dialihkan menjadi “eel”
dalam TSa. Karena kedua nomina ini mengacu pada binatang yang sama, jelaslah
bahwa penerjemah menerapkan strategi M

M Sama.

b. Menerjemahkan metafora menjadi metafora lain tapi bermakna sama
Jika strategi M

M Sama dilakukan dengan cara mereproduksi citra atau

tenor TSu di dalam TSa, strategi M

M Lain tapi bermakna sama dilakukan

dengan cara mengganti citra dalam BSu dengan citra standar yang berterima
dalam BSa. Penggantian citra ini dilakukan untuk menjembatani perbedaan
kultural antara BSu dan BSa. Meskipun penerapan strategi ini mengakibatkan

10

metafora BSu berbeda dengan metafora TSa secara leksikal, dilihat dari konteks
pesan secara keseluruhan, keduanya mengungkapkan makna yang sama.
Penerjemahan kedua metafora berikut memperlihatkan aplikasi strategi M

M

Lain tapi bermakna sama tersebut.

1

2

BSu

Bumi telah tenggelam (14)

BSa

The earth has receded (15)

TSu

Terlempar damba ke angkasa (12)

TSa

Hope was catapulted to space (13)

Topik pada metafora pertama adalah keadaan bumi, yang dibandingkan
dengan tenor (citra ), yakni benda yang “tenggelam”. Menurut KBBI Daring,
verba “tenggelam” bermakna “masuk terbenam ke dalam air atau karam”.2 Dalam
metafora terjemahan, citra “tenggelam” tersebut dialihkan menjadi verba
“recede”, yang menurut Merriam Webster Online Dictionary bermakna “gerakan
mundur bertahap dari suatu titik atau posisi yang tinggi”. Terlihat bahwa secara
leksikal, makna verba “mundur” dan “recede” tidak sepadan. Akan tetapi, secara
kontekstual, metafora TSu dan TSa mengungkapkan makna yang sama.
Pada metafora ke dua, kata “terlempar”, yang berfungsi sebagai tenor,
tidak dialihkan menjadi kata bahasa Inggris yang secara leksikal bermakna
sepadan, seperti thrown , tetapi “catapulted”. Namun, walau secara leksikal
bermakna tidak sepadan, secara kontekstual, keduanya mengungkapkan ide yang
sama.

2

KBBI Daring. op.cit

11

c. Menerjemahkan metafora menjadi ungkapan non-metaforis
Strategi M

Non M digunakan jika citra terjemahan yang dialihkan

menjadi metafora yang sama sulit dipahami dan BSa tidak memiliki ungkapan
yang sepadan dengan metafora BSu Menurut Larson, strategi M

Non M ini

diimplementasikan dengan cara mengalihkan tenor dalam metafora BSu menjadi
ungkapan bermakna harfiah. Strategi ini efektif digunakan untuk menerjemahkan
metafora mati yang sudah menjadi idiom sehingga kesan metaforisnya benarbenar hampir tidak disadari penutur. Dengan mengalihkan metafora yang hanya
membuat teks bertele-tele dan mengurangi tingkat keterbacaan teks tersebut
menjadi makna harfiah, diharapkan TSa akan lebih sederhana, luwes dan mudah
dipahami. Berikut ini adalah dua contoh metafora bahasa Indonesia yang
diterjemahkan dengan menggunakan strategi menerjemahkan metafora menjadi
ungkapan non-metaforis.

1

2

BSu

sekedar ingin tahu dan memancing pengalaman (66)

BSa

just out of curiosity and the experience (67)

TSu

… perut bumi … (124)

TSa

The earth …(125)

Pada metafora pertama, ungkapan “memancing” merupakan tenor (citra ).
Verba ini secara umum berkolokasi dengan “ikan.” Namun dalam metafora ini
verba tersebut dikaitkan dengan pengalaman untuk menggambarkan bahwa
tindakan menambah pengalaman memiliki kesamaan dengan aktivitas memancing

12

ikan. Namun dalam metafora terjemahan, citra tersebut diabaikan oleh
penerjemah. Frasa “memancing pengalaman” dialihkan menjadi nomina
“pengalaman” yang mengandung hanya makna harfiah.
Pada metafora ke dua, nomina “perut” digunakan sebagai citra untuk
menjelaskan bagian spesifik bumi. Menurut KBBI Daring, metafora “perut bumi”
bermakna “bagian dl bumi yg letaknya di tengah-tengah.” Dalam metafora
terjemahan, citra “perut” diabaikan. Dengan demikian, metafora “perut bumi”
dialihkan menjadi frasa “the earth” saja. Karena frasa ini tidak mengandung
makna metaforis, maka metafora “perut bumi” tersebut tidak diterjemahkan
menjadi metafora, melainkan ungkapan bermakna harfiah.
Berdasarkan analisis penggunaan strategi penerjemahan di atas, dapat
disimpulkan bahwa penerjemah lebih mengutamakan strategi penerjemahan
metafora menjadi metafora. Dari 174 metafora yang diterjemahkan, hanya 4,6%
yang diterjemahkan menjadi ungkapan non-metaforis. Hal ini dilakukan
penerjemah karena penerjemahan metafora yang dilakukan merupakan bagian dari
penerjemahan puisi—teks yang mengutamakan penggunaan ungkapan yang
singkat, padat, dan sekaligus menarik. Karena metafora merupakan salah satu
majas yang dapat memenuhi ketiga kriteria ini, wajar bila keberadaannya sedapat
mungkin dipertahankan dalam puisi terjemahan.
Mayoritas metafora BSu dapat dialihkan menjadi metafora yang sama ke
BSa karena penerjemah dapat menemukan dan mereproduksi citra atau tenor
yang sepadan dalam BSa. Akan tetapi, karena perbedaan nilai-nilai budaya BSu
dan BSa, citra sebagian metafora tidak dapat ditemukan dalam BSa, sehingga

13

penerjemah melakukan penggantian dengan citra standar yang berterima dalam
BSa melalui strategi M

M Lain. Selain itu, ada juga metafora BSu yang

citranya (baik yang sepadan maupun pengganti) tidak dapat ditemukan
penerjemah dalam BSa. Akibatnya, penerjemah mengalihkan citra metafora
tersebut menjadi ungkapan bermakna harfiah dalam TSa.
Temuan di atas memperlihatkan bahwa penerjemah mengutamakan
strategi penerjemahan yang mengalihkan metafora menjadi metafora. Penerjemah
lebih memprioritaskan penggunaan strategi M
M

M Sama, lalu M

M Lain, dan

Non-M sebagai pilihan terakhir. Temuan ini selaras dengan pendapat Reis

(dalam Venuti, 2004, h. 167) yang menekankan pentingnya mengalihkan unsurunsur estetik dan artistik teks-teks ekspresif ke dalam TSa dengan cara
menerjemahkan teks tersebut ke dalam tipe yang sama. Dia menegaskan “If the
SL text is written in order to convey artistic contents, then the contents in the TL
should be conveyed in an analogously artistic organization”. Penerjemahan
metafora dalam penelitian ini merupakan bagian dari penerjemahan puisi.
Sedangkan puisi, berdasarkan klasifikasi tipe teks usulan Newmark (1988)
termasuk dalam kelompok teks ekspresif. Sehubungan dengan itu, dalam rangka
mempertahankan unsur-unsur estetik dan artistik puisi, pengutamaan penggunaan
strategi menerjemahkan metafora menjadi metafora oleh McGlynn sudah tepat.

5. Kesalahan Pemilihan Strategi Penerjemahan Metafora bahasa Indonesia
ke dalam Bahasa Inggris

14

Melalui analisis yang dilakukan dengan cara membandingkan metafora
bahasa Indonesia dan terjemahannya ke dalam bahasa Inggris dalam penelitian ini,
ditemukan 11 butir metafora (6,32%) yang diterjemahkan dengan strategi
penerjemahan yang tidak tepat. Ke 11 butir tersebut dapat dikelompokkan ke
dalam dua tipe, yakni: (a) menerjemahkan metafora menjadi metafora lain atau M
M Lain (9 item kesalahan); dan (b) menerjemahkan metafora menjadi
ungkapan non-metaforis atau makna harfiah atau M

Non-M (2 item kesalahan).

Kesimpulan dan rekomendasi
Dilihat dari seluruh temuan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa
penerjemah menguasai kaidah-kaidah BSu dan BSa serta teori-teori dan praktik
penerjemahan dengan baik. Hal ini, paling tidak, tercermin dari tingginya
ketepatan penggunaan strategi penerjemahan (93,68%), ketepatan penggunaan
prosedur penerjemahan (94,25%) dan kesepadanan makna (98,85%). Pemahaman
lintas budaya; pengetahuan tipe teks; pemahaman tentang tujuan penerjemahan
dan pemahaman tentang calon pembaca terjemahan yang dimiliki penerjemah
juga baik. Kesalahan-kesalahan kecil yang teridentifikasi, pada dasarnya
disebabkan oleh orientasi yang terlalu berlebihan pada aspek budaya TSa (yang
mengakibatkan distorsi makna dalam beberapa terjemahan) dan minimnya
pemahaman penerjemah atas sejumlah kecil metafora BSu sehingga padanan yang
tepat dalam BSa tidak dapat ditemukan.
Hasil analisis data mengimplikasikan tiga hal berikut terhadap praktik
penerjemahan metafora. Pertama, karena hasil penerjemahan metafora dalam

15

penerjemahan kumpulan puisi On Foreign Shores: American Image in Indonesian
Poetry tergolong baik, pemilihan strategi penerjemahan, pemilihan prosedur

penerjemahan, dan penentuan tipe kesepadanan yang dilakukan McGlynn ini
layak dijadikan salah satu acuan dalam praktik penerjemahan metafora bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Kedua, mengingat bahwa penerjemahan
metafora dalam penelitian ini merupakan bagian dari penerjemahan 51 puisi
Indonesia yang secara khusus bertopik tentang Amerika Serikat dan berbagai hal
yang terdapat di negara tersebut ke dalam bahasa Inggris, penggunaan pemilihan
strategi penerjemahan, prosedur penerjemahan, dan tipe kesepadanan oleh
McGlynn tersebut sebagai acuan dalam praktik penerjemahan metafora
hendaknya dibatasi hanya pada penerjemahan metafora bahasa Indonesia ke
dalam bahasa Inggris dalam konteks budaya Indonesia dan Amerika Serikat dan
teks berbentuk puisi. Ketiga, Karena kesalahan penerjemahan metafora dalam
penelitian ini disebabkan oleh perbedaan budaya BSu dan BSa, setiap praktik
penerjemahan metafora harus dilandaskan pada pemahaman budaya BSu dan BSa
yang benar-benar komprehensif.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti merekomendasikan dua saran
berikut. Pertama, karena hasil penelitian ini hanya bisa digeneralisasi secara
terbatas pada penerjemahan metafora bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris
dalam konteks budaya Indonesia dan Amerika Serikat dan teks berbentuk puisi,
untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang penerjemahan
metafora bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, penelitian-penelitian lanjutan
disarankan agar mencakup tipe teks yang variatif, konteks budaya yang lebih

16

beragam, dan analisis data yang lebih ekstensif. Kedua, dilihat dari sisi
metodologi, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
analisis isi, dan alat bantu yang digunakan untuk memeriksa ketepatan hasil
terjemahan adalah referensi tertulis (kamus, tesaurus, dan beberapa bahan pustaka
lainnya). Untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif, disarankan
agar penelitian lanjutan mengikutsertakan penilaian beberapa informan kunci
(penerjemah ahli) untuk menentukan tingkat kesepadanan antara TSu dan TSa dan
respon beberapa penikmat puisi (baik penutur bahasa Indonesia maupun penutur
bahasa Inggris Amerika) untuk menentukan dan membandingkan efek
kesepadanan melalui hubungan antara penutur bahasa Indonesia dengan TSu dan
penutur bahasa Inggris Amerika dengan TSa.

Referensi
Al-Hasnawi. (2007). A cognitive approach to translating metaphors. Translation
Journal,
11
(3).
Diakses
30
Desember
2012
dari:
http://www.bokorlang.com/journal/41metaphor.htm
American Heritage Dictiona ry of English language (3rd Ed.). (1992). Boston:
Houghton-Mifflin.

Carley, K. (1992). MECA. Pittsburgh, PA: Carnegie Mellon University.
Departemen Pendidikan Nasional. Ka mus bahasa Indonesia . (Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2011). Ka mus Besar Bahasa
Indonesia (Dalam Jaringan) (Ed.3)”. (http://pusatbahasa. diknas. go.id/
kbbi)
Dickins, J., Hervey, S. & Higgins, I. (2005), Thinking Arabic transla tion. New
York: Routledge.
James, K. (2008) Cultural Implications for translation. Diakses 19 Januari 2011
dari: http://accurapid.com/journal/22delight.htm.
17

Landers, C. E. (2001) Litera ry translation. Clevedon: Multilingual Matters.
Larson, M. L. (1998). Meaning-based translation: A guide to cross-language
equiva lence. Lanham and London: University Press of America.
McGlynn, J. H. (Ed. & Transl.). (1990). On foreign shores: American images in
Indonesian poetry. Jakarta: The Lontar Foundation.
Merriam Webster Online Dictionary (2013) diakses dari: http://www.merriamwebster.com/dictionary/recede
Molina, L. & Albir, A.H. “Translation techniques revisited: A dynamic and
functionalist approach”. Meta , Vol. XLVII. No. 4, 2002.
Nababan, M.R. (2008). Equivalence in translation: Some problem-solving
strategies. Diakses 12 januari 2011 dari http://www.proz.com/ translationarticles/articles/2071/1/
Newmark, P. (1988). A textbook of translation. New York: Prentice-Hall
International.
Pragglejaz Group. (2007). “MIP: A method for identifying metaphorically used
words in discourse”. Dalam Metaphor and symbol, 22(1), 1–39. Lawrence
Erlbaum Associates, Inc.
ProZ.com (2008). Translation theory with regards to translating metaphors.
Diakses 19 Januari 2011 dari: http://www.proz.com/doc/1831
Sudrama, K. (2003). Strategies for Translating into Indonesian English metaphors
in the novel “ Master of the Game” : A ca se study. (Thesis). Denpasar:
Udayana University.
Suwardi, A. (2005). An analysis of the translation of metaphors in Danielle
Steel’s “ The Wedding” into Indonesian in Ade Dina Sigarla ki’s
‘Pernikahan” . (Magister Thesis). Yogyakarta: Sanata Dharma University).
van den Broeck, R. (1981) The Limits of translatability exemplified by metaphor
translation”, dalam Poetics Today, Vol. 2, No. 4, Diakses 15 Februari
2011 dari: http://www. jstor.org/stable/1772487.
Venuti, L. (ed.) (2001). The translation studies reader . London: Routledge.
Waluyo, T. N. (2007) The transla tions strategies of Indonesian metaphors into
English. (Magister Thesis) Jakarta: Gunadarma University.

18