Materi Pendidikan Pancasila Identitas Na

IDENTITAS NASIONAL
A. Pengertian Identitas Nasional
Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi dewasa ini mendapat tantangan yang sangat
luar kuat, terutama karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut Berger dalam The
Capitalis Revolution, era globalisasi dewasa ini ideologi kapitalislah yang akan menguasai dunia.
Kapitalisme telah mengubah masyarakat satu persatu dan menjadi sistem internasional yang
menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak langsung
juga nasib, sosial, politik dan kebudayaan (Berger, 1988). Perubahan global ini menurut
Fukuyama (1989: 48), membawa perubahan suatu ideologi, yaitu dari ideologi partikular ke arah
ideologi universal dan dalam kondisi seperti ini kapitalismelah yang akan menguasainya.
Dalam kondisi seperti ini negara nasional akan dikuasai oleh Negara transnasional, yang
lazimnya didasari oleh negara-negara dengan prinsip kapitalisme (Rosenau). Konsekuensinya
Negara-negara kebangsaan lambat laun akan semakin terdesak. Namun demikian dalam
menghadapi proses perubahan tersebut sangat tergantung kepada kemampuan bangsa itu sendiri.
Menurut Toyenbee, ciri khas suatu bangsa yang merupakan local genius dalam menghadapi
pengaruh budaya asing akan menghadapi challance dan response. Jikalau challance cukup besar
sementara response kecil, maka bangsa tersebut akan punah dan hal ini sebagaimana terjadi pada
bangsa Aborogin di Australia dan bangsa Indian di Amerika. Namunn demikian jikalau challance
kecil sementara response besar maka bangsa tersebut tidak akan berkembang menjadi bangsa
yang kreatif. Oleh karena itu agar bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi
maka harus tetap meletakkan jati diri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa

Indonesia sebagai dasar pengembangan kreativitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi di
berbagai Negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan yang cenderung
menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional.
Istilah “identitas nasional” secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu
bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain. Berdasarkan
pengertian yang demikian ini maka setiap bangsa di dunia ini akan memiliki identitas sendiri-

sendiri sesuai dengan keunikan, sifat, ciri-ciri serta karakter dari bangsa tersebut. Demikian pula
hal ini juga sangat ditentukan oleh proses bagaimana bangsa tersebut terbentuk secara historis.
Berdasarkan hakikat pengertian “identitas nasional” sebagaimana dijelaskan di atas maka
identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan jati diri suatu bangsa atau lebih
populer disebut sebagai kepribadian suatu bangsa.
Pengertian kepribadian sebagai suatu identitas, sebenarnya pertama kali muncul dari para
pakar psikologi. Manusia sebagai individu sulit dipahami manakala ia terlepas dari manusia
lainnya. Oleh karena itu, manusia dalam melakukan interaksi dengan individu lainnya senantiasa
memiliki suatu sifat kebiasaan, tingkah laku serta karakter yang khas yang membedakan manusia
tersebut dengan manusia lainnya. Namun demikian, pada umumnya pengertian atau istilah
kepribadian sebagai suatu identitas adalah keseluruhan atau totalitas dari faktor-faktor biologis,
psikologis dan sosiologis yang mendasari tingkah laku individu. Tingkah laku tersebut terdiri
atas kebiasaan, sikap, sifat-sifat serta karakter yang berada pada seseorang sehingga seseorang

tersebut berbeda dengan orang yang lainnya. Oleh karena itu, kepribadian adalah tercermin pada
keseluruhan tingkah laku seseorang dalam hubungan dengan manusia lain (Ismaun, 1981: 6).
Jikalau kepribadian sebagai suatu identitas dari suatu bangsa, maka persoalannya adalah
bagaimana pengertian suatu bangsa itu. Bangsa pada hakikatnya adalah sekelompok besar
manusia yang mempunyai persamaan nasib dalam proses sejarahnya, sehingga mempunyai
persamaan watak atau karakter yang kuat untuk bersatu dan hidup bersama serta mendiami suatu
wilayah tertentu sebagai suatu “kesatuan nasional”. Para tokoh besar ilmu pengetahuan yang
mengkaji tentang hakikat kepribadian bangsa tersebut adalah dari beberapa disiplin ilmu, antara
lain antropologi, psikologi dan sosiologi. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Margareth Mead, Ruth
Benedict, Ralph Linton, Abraham Kardiner, David Riesman. Menurut Mead dalam
“Anthropology to Day” (1954) misalnya, bahwa studi tentang “National Character” mencoba
untuk menyusun suatu kerangka pikiran yang merupakan suatu konstruksi tentang bagaimana
sifat-sifat yang dibawa oleh kelahiran dan unsur-unsur ideotyncrotie pada tiap-tiap manusia dan
patroon umum serta patron individu dari proses pendewasaannya diintegrasikan dalam tradisi
sosial yang didukung oleh bangsa itu sedemikian rupa, sehingga nampak sifat-sifat kebudayaan
yang sama, yang menonjol yang menjadi ciri khas suatu bangsa tersebut (Kroeber, 1954; Ismaun,
1981:7).

Demikian pula tokoh antropologi Ralph Linton bersama dengan pakar psikologi Abraham
Kardiner, mengadakan suatu proyek penelitian tentang watak umum suatu bangsa dan sebagai

objek penelitiannya adalah bangsa Maequesesas dan Tanala, yang kemudian hasil penelitiannya
ditulis dalam suatu buku yang berjudul “The Individual and His Society” (1938). Dari hasil
penelitian tersebut dirumuskan bahwa sebuah konsepsi tentang basic personality structure.
Dengan konsepsi itu dimaksudkan bahwa semua unsur watak sama dimiliki oleh sebagian besar
warga suatu masyarakat. Unsur watak yang sama ini disebabkan oleh pengalaman-pengalaman
yang sama yang telah dialami oleh warga masyarakat tersebut, karena mereka hidup di bawah
pengaruh suatu lingkungan kebudayaan selama masa tumbuh dan berkembangnya bangsa
tersebut.
Linton juga mengemukakan pengertian tentang status personality, yaitu watak individu
yang ditentukan oleh statusnya yang didapatkan dari kelahiran maupun dari segala daya
upayanya. Status personality seseorang mengalami perubahan dalam suatu saat, jika seseorang
tersebut bertindak dalam kedudukannya yang berbeda-beda, misalnya sebagai ayah, sebagai
pegawai, sebagai anak laki-laki, sebagai pedagang, dan lain sebagainya. Berdasarkan pengertian
tersebut, maka dalam hal basic personality structure dari suatu masyarakat, seorang peneliti
harus memperhatikan unsur-unsur status personality yang kemungkinan mempengaruhinya
(Ismaun, 1981: 9).
Berdasarkan uraian di atas, maka pengertian kepribadian sebagai suatu identitas nasional
suatu bangsa, adalah keseluruhan atau totalitas dari kepribadian individu-individu sebagai unsur
yang membentuk bangsa tersebut. Oleh karena itu, pengertian identitas nasional suatu bangsa
tidak dapat dipisahkan dengan pengertian “Peoples Character”, “National Character”, atau

“National Identity”. Dalam hubungannya dengan identitas nasional Indonesia, kepribadian
bangsa Indonesia kiranya sangat sulit jikalau hanya dideskripsikan berdasarkan ciri khas fisik.
Hal ini mengingat bangsa Indonesia itu terdiri atas berbagai macam unsur etnis, ras, suku,
kebudayaan, agama, serta karakter yang sejak asalnya memang memiliki suatu perbedaan. Oleh
karena itu, kepribadian bangsa Indonesia sebagai suatu identitas nasional secara historis
berkembang dan menemukan jati dirinya setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Namun demikian, identitas nasional suatu bangsa tidak cukup hanya dipahami secara statis
mengingat bangsa adalah merupakan kumpulan dari manusia-manusia yang senantiasa

berinteraksi dengan bangsa lain di dunia dengan segala hasil budayanya. Oleh karena itu,
identitas nasional suatu bangsa termasuk identitas nasional Indonesia juga harus dipahami dalam
konteks dinamis. Menurut Robert de Ventos sebagaimana dikutip oleh Manuel Castells dalam
bukunya, The Power of Identity (dalam Suryo, 2002), mengemukakan bahwa selain faktor
etnisitas, teritorial, bahasa, agama, serta budaya, juga faktor dinamika suatu bangsa tersebut
dalam proses pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, identitas nasional
bangsa Indonesia juga harus dipahami dalam arti dinamis, yaitu bagaimana bangsa itu
melakukan akselerasi dalam pembangunan, termasuk proses interaksinya secara global dengan
bangsa-bangsa lain di dunia internasional.
Sebagaimana kita ketahui di dunia internasional bahwa bangsa-bangsa besar yang telah
mengembangkan identitasnya secara dinamis membawa nama bangsa tersebut baik dalam

khazanah dunia ilmu pengetahuan maupun dalam khazanah dunia pergaulan antara bangsa di
dunia. Kebesaran bangsa Inggris tidak terlepas dari jerih payah serta kreativitas bangsa tersebut
dalam melakukan akselerasi pembangunannya. Dalam sejarah dunia kita ketahui bahwa banyak
anak-anak bangsa Inggris menentukan ilmu pengetahuan, yang kemudian dikembangkan melalui
teknologi. Atas karya besar tersebut bangsa Inggris mengalami suatu revolusi kehidupan yaitu
“Revolusi Industri”. Dengan revolusi industri tersebut bangsa Inggris mulai menjelajahi benua
lain, sehingga diberbagai benua bangsa Inggris menanamkan karya besarnya yang dikembangkan
karena kreativitas dari bangsa tersebut. Hal ini dengan sendirinya tanpa mengesampingkan aspek
negatifnya, yaitu bangsa Inggris melakukan penjajahan di berbagai benua di dunia. Atas
kebesaran penemuan bangsa Inggris tersebut, maka bangsa di seluruh dunia berniat untuk
menimba ilmu pengetahuan dan teknologinya, sehingga tidak mengherankan jikalau bahasa
Inggris yang merupakan salah satu identitas nasional bahasa Inggris dipelajari oleh bangsa di
seluruh dunia.
Bagi bangsa Indonesia dimensi dinamis identitas nasional Indonesia belum menunjukkan
perkembangan kearah sifat kreatif serta dinamis. Setelah bangsa Indonesia mengalami
kemerdekaan 17 Agustus 1945, berbagai perkembangan kearah kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan mengalami kemerosotan dari segi identitas nasional. Pada masa mempertahankan
kemerdekaan bangsa Indonesia dihadapkan pada kemelut kenegaraan sehingga tidak membawa
kemajuan bangsa dan negara.


Setelah dekrit presiden 5 Juli 1959 bangsa Indonesia kembali ke UUD 1945. Pada saat itu
dikenal periode Orde Lama dengan penekanan kepada kepemimpinan yang sifatnya sentralistik.
Pada periode tersebut partai komunis semakin berkembang dengan subur, bahkan tatkala
mencapai kejayaannya berupaya untuk menumbangkan pemerintahan Indonesia, yang ditandai
dengan timbulnya gerakan G 30 S. PKI. Rakyat Indonesia menjadi semakin tidak menentu.
Identitas dinamis bangsa Indonesia saat itu ditandai dengan perang saudara yang memakan
banyak korban rakyat kecil. Maka muncullah gerakan aksi dari para pemuda, pelajar dan
mahasiswa untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari bahaya Negara atheistik.
Kejatuhan kekuasaan Orde lama diganti dengan kekuasaan Orde Baru dengan munculnya
pemimpin kuat yaitu Jendral Soeharto. Pada periode Orde Baru Soeharto banyak
mengembangkan program pembangunan nasional yang sangat populer dengan program Repelita.
Memang sudah banyak yang dilakukan Soeharto melalui pembangunan yang banyak dinikmati
rakyat, namun dalam kenyataannya pemerintah saat itu banyak melakukan hutang ke dana
moneter internasional, sehingga rakyat kembali dihadapkan pada beban yang sangat berat yaitu
menanggung hutang negara. Selama kurang lebih tiga puluh dua tahun Soeharto berkuasa
seakan-akan bangsa Indonesia menunjukkan kepada masyarakat dunia internasional bahwa
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang demokratis. Namun dalam kenyataannya hanya semu
belaka, pemerintah melakukan pemilu memilih wakil-wakil rakyat namun secara langsung atau
tidak langsung juga mengarah kepada model kepemimpinan yang sentralistik bahkan juga
ditandai dengan kekuasaan militer. Pada saat itu bangsa Indonesia berupaya secara dinamis akan

mengembangkan

ilmu

pengetahuan

dan

teknologi

melalui

menristek,

bahkan

juga

dikembangkannya teknologi modern dengan mengembangkan perusahaan pesawat terbang
“Nurtanio” yang dipelopori oleh B.J. Habibie. Meskipun seakan-akan pemerintah saat itu

mengembangkan teklologi modern, namun dalam kenyataannya industri pesawat tersebut belum
memberikan peningkatan kesejahteraan rakyat. Yang paling memprihatinkan saat ini adalah
perkembangan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), yang mengakar pada pejabat
pemerintahan Negara, sehingga konsekuensinya identitas nasional Indonesia saat ini dikenal
sebagai bangsa yang “korupsi”. Selain itu penguasa Orde Baru saat itu menempatkan filsafat
Negara pancasila yang sekaligus juga sebagai identitas bangsa dan Negara Indonesia, sebagai
alat legitimasi politis untuk mempertahankan kekuasaan. Oleh karena itu akibatnya saat ini
sebagian rakyat bahkan banyak kalangan elit politik memiliki pemahaman epistemologis yang

sesat yaitu pancasila sebagai dasar filsafat Negara dan kepribadian bangsa Indonesia, seakanakan identik dengan kekuasaan Orde Baru.
Pasca kekuasaan Orde Baru bangsa Indonesia melakukan suatu gerakan nasional yang
populer dewasa ini disebut sebagai gerakan “repormasi”. Rakyat dengan ditokohi oleh kalangan
elit politik, para intelektual termasuk mahasiswa melakukan repormasi dengan tujuan seharusya
adalah meningkatkan kesejahteraan atas kehidupan rakyat. Di harapkan pada era repormasi
dewasa ini kehidupan rakyat menjadi semakin bebas, demokratis, dan yang terlebih penting lagi
adalah meningkat kesejahteraannya baik lahir maupaun batin. Sudah banyak memang yang
dilakukan pemerintahan Negara Indonesia dalam melakukan repormasi, baik dibidang politik,
hukum, ekonomi, militer, pendidikan serta bidang-bidang lainnya. Satu hal yang sangat
memprihatinkan dewasa ini adalah seharusnya kita bersyukur kepada Tuhan yang Maha Esa, kita
dikaruniai kesempatan untuk melakukan suatu repormasi dalam kehidupan kenegaraan dan

kebangsaan, namun saat ini kita lupa akan tujuan hidup berbangsa dan bernegara, arah kehidupan
kita tidak jelas, ideologi dan filsafat bangsa dan Negara hanya sebagai simbol kosong belaka.
Konsekuensinyang dewasa ini ideologi kebangsaan dan kenegaraan bangsa Indonesia adalah
repormasi itu sendiri, sementara arah dan makna repormasi juga dimaknai secara baragam.
Unsur-unsur filosofi bangsa Indonesia yang menekankan kebangsaan dalam hidup berbangsa dan
bernegara di samping berbagai perbedaan, dewasa ini di anggap kosong belaka. Akibatnya dalam
era repormasi dewasa ini muncullah berbagai konflik perbedaan yang bahkan ditandai dengan
konflik fisik diantara elemen-elemen masyarakat berbagai pembentuk bangsa Indonesia. Masih
segar dalam ingatan kita konflik, Ambon,Sampit antara suku Madura dengan Dayak, Sambas,
Kalimantan Barat, Poso, konflik antar daerah di berbagai wilayah, konflik antar pemeluk agama,
misalnya kasus Achmadiyah, kasus Salafiyah, serta kasus konflik antar pemeluk agama lainnya.
Selain itu juga konflik politik baik dalam tubuh partai politik, proses pilkada, bahkan ironisnya
juga terjadi di dunia kehidupan kampus.
Nampaknya makna dalam kebebasan dalam era repormasi dewasa ini dimaknai lain oleh
sebagian besar masyarakat, bahkan kadangkala aparat penegak hukum serta peraturan
perundang-undangan dibuat tidak berdaya. Berbagai konflik tersebut di atas memakan banyak
korban nyawa anak-anak bangsa yang tidak berdosa, dan anehnya tidak ada seorangpun yang
mau bertanggungjawab atas musibah tersebut. Bahkan tatkala terjadi konflik etnis di Kalimantan

dimana antar suku saling membantai, bangsa Indonesia di dunia internasional mendapat identitas

yang negative sebagai bangsa yang berbudaya dan beradab.
Dalam hubungan dengan konteks identitas nasional secara dinamis dewasa ini
nampaknya bangsa Indonesia tidak merasa bangga dengan bangsa dan negaranya di dunia
internasional. Akibatnya dewasa ini semangat patriotisme, semangat kebangsaan, semangat
untuk mempersembahkan karya terbaik bagi bangsa dan Negara di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi dewasa ini, bangsa Indonesia belum menunjukkan ekselerasi yang berarti, pada hal
jikalau kita lihat sumber daya manusia Indonesia ini juga seharusnya dapat dibanggakan sebagai
contoh fakta kongkrit, anak-anak kita sering berprestasi internasional dalam Olympiade ilmu
pengetahuan. Terlebih lagi dewasa ini muncul budaya “mudah menyalahkan orang lain” tanpa
diimbangi dengan ide serta solusi yang realistik.
Oleh karena itu dalam hubungannya dengan identitas nasional secara dinamis, dewasa ini
bangsa Indonesia harus memiliki visi yang jelas dalam melakukan repormasi, melalui dasar
filosofi bangsa dan Negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika, yang terkandung dalam filosofi
pancasila. Masyarakat harus semakin terbuka, dan dinamis namun harus berkeadaban serta
kesadaran akan tujuan hidup bersama dalam berbangsa dan bernegara. Dengan kesadaran akan
kebersamaan dan persatuan tersebut maka Insya Allah bangsa Indonesia akan mampu mengukir
identitas nasionalnya secara dinamis di dunia internasional.
B. Faktor-faktor Pendukung Kelahiran Identitas Nasional
Kelahiran identitas nasional suatu bangsa memiliki sifat, ciri khas serta keunikan sendirisendiri, yang sangat ditentukan oleh faktor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional
tersebut. Adapun faktor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional bangsa Indonesia

meliputi (1) faktor objektif, yang meliputi faktor geografis-ekologis dan demografis, (2) faktor
subjektif, yaitu faktor historis, sosial, politik, dan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia
(Suryo, 2002)
Kondisi geografis-ekologis yang membentuk Indonesia sebagai wilayah kepulauan yang
beriklim tropis dan terletak di persimpangan jalan komunikasi antar wilayah dunia di Asia
Tenggara, ikut mempengaruhi perkembangan kehidupan demografis, ekonomis, sosial dan
kultural bangsa Indonesia. Selain itu faktor historis yang dimiliki Indonesia ikut memengaruhi
proses pembentukan masyarakat dan bangsa Indonesia beserta identitasnya, melalui interaksi

berbagai faktor yang ada didalamnya. Hasil dari interaksi dari berbagai faktor tersebut
melahirkan peroses pembentukan masyarakat, bangsa, dan negara bangsa beserta identitas
bangsa Indonesia, yang muncul tatkala nasionalisme berkembang di Indonesia pada awal abad
XX.
Robert de Ventos, sebagaimana dikutip Manuel Castells dalam bukunya, The Power of
Identity (Surya,2002), mengemukakan teori tentang munculnya identitas nasional suatu bangsa
sebagai hasil interaksi historis antara empat factor penting, yaitu faktor primer, faktor pendorong,
faktor penarik dan faktor reaktif. Faktor pertama, mencakup etnisitas, teritoral, bahasa, agama,
dan yang sejenisnya. Bagi bangsa Indonesia yang tersusun atas berbagai macam etnis, bahasa,
agama wilayah serta bahasa daerah, merupakan suatu kesatuan meskipun berbeda-beda dengan
kekhasan masing-masing. Unsur-unsur yang beraneka ragam yang masing-masing memiliki ciri
khasnya sendiri-sendiri menyatukan diri dalam suatu persekutuan hidup bersama yaitu bangsa
Indonesia. Kesatuan tersebut tidak menghilangkan keberanekaragaman, dan hal inilah yang
dikenal dengan Bhinneka Tunggal Ika. Faktor kedua, meliputi pembangunan komonikasi dan
teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembangunan lainnya dalam kehidupan
negara. Dalam hubungan ini bagi suatu bangsa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
pembangunan negara dan bangsanya juga merupakan suatu identitas nasional yang bersifat
dinamis. Oleh karena itu bagi bangsa Indonesia proses pembentukan identitas nasional yang
dinamis ini sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan dan prestasi bangsa Indonesia dalam
membangun bangsa dan negaranya. Dalam hubungan ini sangat diperlukan persatuan dan
kesatuan bangsa, serta langkah yang sama dalam memajukan bangsa dan negara Indonesia.
Faktor ketiga, mencakup kodifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi,
dan pemantapan sistem pendidikan nasional. Bagi bangsa Indonesia unsur bahasa telah
merupakan bahasa persatuan dan kesatuan nasional, sehingga bahasa Indonesia telah merupakan
bahasa resmi negara dan bangsa Indonesia. Bahasa Melayu telah dipilih sebagai bahasa antar
etnis yang ada di Indonesia, meskipun masing-masing etnis atau daerah di Indonesia telah
memiliki bahasa daerah masing-masing. Demikian pula menyangkut birokrasi serta pendidikan
nasional telah dikembangkan sedemikian rupa meskipun sampaai saat ini masih senantiasa
dikembangkan. Faktor keempat, meliputi penindasan, dominasi, dan pencarian identitas alternatif
melalui memori kolektif rakyat. Bangsa Indonesia yang hampir tiga setengah abad dikuasai oleh
bangsa lain sangat dominan dalam mewujudkan faktor keempat melalui memori kolektif rakyat

Indonesia. Penderitaan, dan kesengsaraan hidup serta semangat bersama dalam memperjuangkan
kemerdekaan merupakan faktor yang sangat strategis dalam membentuk memori kolektif rakyat.
Semangat perjuangan, pengorbanan, menegakkan kebenaran dapat merupakan identitas untuk
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia.
Keempat faktor tersebut pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan identitas
nasional bangsa Indonesia, yang telah berkembang dari masa sebelum bangsa Indonesia
mencapai kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain. Pencarian identitas nasional bangsa
Indonesia pada dasarnya melekat erat dengan perjuangan bangsa Indonesia untuk membangun
bangsa dan negara dengan konsep nama Indonesia. Bangsa dan negara Indonesia ini dibangun
dari unsur-unsur masyarakat lama dan dibangun menjadi suatu kesatuan bangsa dan negara
dengan prinsip nasionalisme modern. Oleh karena itu pembentukan identitas nasional Indonesia
melekat erat dengan unsur-unsur lainnya seperti sosial, ekonomi, budaya, etnis, agama serta
geografis, yang saling berkaitan dan terbentuk melalui suatu proses yang cukup panjang.
C. Pancasila sebagai Kepribadian dan Identitas Nasional
Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa dari masyarakat internasional, memiliki
sejarah serta prinsip dalam hidupnya yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tatkala
bangsa Indonesia berkembang menuju fase nasionalisme modern, diletakkanlah prinsip-prinsip
dasar filsafat sebagai suatu asas dalam hidup berbangsa dan bernegara. Para pendiri negara
menyadari akan pentingnya dasar filsafat ini, kemudian melakukan suatu penyelidikan yang
dilakukan oleh badan yang akan meletakkan dasar filsafat bangsa dan negara yaitu BPUPKI.
Prinsip-prinsip dasar itu ditemukan oleh para pendiri bangsa tersebut yang di angkat dari filsafat
hidup atau pandangan hidup bangsa Indonesia, yang kemudian diabsraksikan menjadi suatu
prinsip dasar filsafat negara yaitu Pancasila. Jadi dasar filsafat suatu bangsa dan negara berakar
pada pandangan hidup yang bersumber kepada kepribadiannya sendiri. Hal inilah menurut Titus
dikemukakan bahwa salah satu fungsi filsafat adalah kedudukannya sebagai suatu pandangan
hidup masyarakan (Titus, 1984).
Dapat pula dikatakan bahwa pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan negara Indonesia
pada hakikatnya bersumber kepada nilai-nilai budaya dan keagamaan yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia sebagai kepribadian bangsa. Jadi filsafat pancasila itu bukan muncul secara tiba-tiba
dan dipaksa oleh suatu rezim atau penguasa melainkan melalui suatu fase historis yang cukup
panjang. Pancasila sebelum dirumuskan secara formal yuridis dalam penggunakan UUD 1945
sebagai dasar filsafat negera Indonesia, nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia, dalam

kehidupan sehari-hari sebagai suatu pandangan hidup, sehingga materi pancasila yang berupa
nilai-nilai tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri. Dalam pengertian seperti ini
menurut Notonegoro bangsa Indonesia adalah sebagai kaus materialis Pancasila. Nilai-nilai
tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri negara untuk
dijadikan sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Proses perumusan materi pancasila secara
formal tersebut dilakukan dalam sidang-sidang BPUPKI pertama, sidang “ panitia 9”, sidang
BPUPKI kedua, akhirnya di syahkan secara formal yuridis

sebagai dasar filsafat Negara

Republik Indonesia.
Sejarah Budaya Bangsa sebagai Akar Identitas Nasional
Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang.
Berdasarkan kenyataan objektif tersebut maka untuk memahami jati diri bangsa Indonesia serta
identitas nasional Indonesia maka tidak dapat dilepaskan dengan akar-akar budaya yang
mendasari identitas nasional Indonesia. Kepribadian, jati diri, serta identitas nasional Indonesia
yang terumuskan dalam filsafat Pancasila harus dilacak dan dipahami melalui sejarah
terbentuknya bangsa Indonesia sejak zaman, Kutai, Sriwijaya, Majapahit serta kerajaan lainnya
sebelum penjajahan bangsa asing di Indonesia.
Nilai-nilai esensial yang terkandung dalam Pancasila yaitu: Ketuhanan, Kemanusiaan,
Persatuan, Kerakyatan serta Keadilan, dalam kenyataannya secara objektif telah dimiliki oleh
bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum mendirikan negara. Proses terbentuknya
bangsa dan negara Indonesia melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang yaitu sejak zaman
kerajaan-kerajan pada abad ke IV, ke V kemudian dasar-dasar kebangsaan Indonesia telah mulai
nampak pada abad ke VIII, yaitu ketika timbulnya kerajaan Sriwijaya dibawah Wangsa
Syailendra di Palembang, kemudian kerajaan Airlangga dan Majapahit di Jawa Timur serta
kerajaan-kerajaan lainnya. Proses terbentuknya nasionalisme yang berakar pada budaya ini
menurut Yamin diistilahkan sebagai fase terbentukny nasionalisme lama, dan oleh karena itu
secara objektif sebagai dasar identitas nasionalisme Indonesia.
Dasar-dasar pembentukan nasionalisme modern menurut Yamin dirintis oleh para
pejuang kemerdekaan bangsa, antara lain rintisan yang dilakukan oleh para tokoh pejuang
kebangkitan nasional pada tahun 1908, kemudian dicetuskan pada sumpah pemuda pada tahun
1928. Akhirnya titik kulminasi sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk menemukan identitas
nasionalnya sendiri, membentuk suatu bangsa dan Negara Indonesia tercapai pada tanggal 17
Agustus 1945 yang kemudian di proklamasikan sebagai suatu kemerdekaan bangsa Indonesia.

Oleh karena itu akar-akar nasionalisme Indonesia yang berkembang dalam perspektif
sejarah sekaligus juga merupakan unsur-unsur identitas nasional, yaitu nilai-nilai yang tumbuh
dan berkembang dalam sejarah terbentuknya bangsa Indonesia.