TERAPI MELUKIS UNTUK SKIZOFRENIA

TERAPI MELUKIS UNTUK SKIZOFRENIA

“Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikoterapi”

Disusun Oleh:
FANNY SOFIANI
15010110130084

Fakultas Psikologi
Universitas Diponegoro
Semarang
2013

-1-

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 3
1.

LATAR BELAKANG ..................................................................................................................... 3


2.

RUMUSAN MASALAH ................................................................................................................ 4

3.

TUJUAN ........................................................................................................................................... 4

BAB II TEORI.......................................................................................................................................... 6
1.

Terapi Seni ..................................................................................................................................... 6

a.

Terapi Seni dan Otak .................................................................................................................. 8

b.


Neuroscience dan Terapi Seni ................................................................................................. 9

2.

Terapi Seni Melukis ..................................................................................................................15

BAB III PEMBAHASAN .....................................................................................................................18
1.

Aplikasi terapi seni melukis ..................................................................................................18

2.

Pengaruh terapi seni melukis pada pasien skizofrenia ..............................................21

3.

Keefektifan terapi seni melukis pada pasien skizofrenia ..........................................22

BAB IV PENUTUP ...............................................................................................................................24

1.

KESIMPULAN ..............................................................................................................................24

2.

SARAN............................................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................25

-2-

BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Skizofrenia adalah
mempengaruhi

gangguan


kejiwaan

fungsi otak manusia,

normalkognitif, emosional dan tingkah

dan

kondisi

medis

mempengaruhi

laku.

Ia

adalah


yang
fungsi

gangguan

jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons
emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti
dengan delusi (keyakinan yang salah) danhalusinasi (persepsi tanpa ada rangsang
pancaindra). Pengaruh Neurobiologis Ada beberapa teori tentang pengaruh
neurogiologis

yang

menyebabkan

Skizorenia.

Salah


satunya

adalah

ketidakseimbangan pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Pada
pasien penderita, ditemukan penurunan kadar transtiretin atau pre-albumin yang
merupakan pengusung hormon tiroksin, yang menyebabkan permasalahan pada zalir
serebrospinal.
Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric
Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia
menderita skizofrenia. 75% penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 1625 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap
kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga
dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri.
Studi menunjukkan bahwa genetika, lingkungan awal, neurobiologi, proses
psikologis dan sosial merupakan faktor penyumbang penting; beberapa obat rekreasi
dan resep tampak menyebabkan atau memperburuk gejala. Penelitian psikiatri saat
ini difokuskan pada peran neurobiologi, tapi tidak ada penyebab organik tunggal
telah ditemukan. Sebagai hasil dari kombinasi banyak kemungkinan gejala, ada
perdebatan tentang apakah diagnosis merupakan suatu kelainan tunggal atau
sejumlah sindrom diskrit. Untuk alasan ini, Eugen Bleuler disebut penyakit

-3-

schizophrenias (jamak) ketika ia menciptakan nama itu.

Berdasarkan hasil

penelitian tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa ada faktor lain yang menjadi faktor
munculnya gangguan skizofren. Meskipun salahs atu penyebabnya adalah
ketidakseimbangan otak yakni faktor biologis, tetapi pada faktanya faktor biologis
bukanlah faktor tunggal penyebabnya. Ada beberapa faktor lain yang memberikan
sumbangsih bangkitnya gangguan kejiwaan ini, yakni faktor psikologis dan
lingkungan.
Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting
karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan
resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat. Seseorang yang mengalami gejala
skizofrenia sebaiknya segera dibawa ke psikiater dan psikolog. Penanganan yang
harus dilakukan tidak hanya menggunakan obat, tetapi juga psikososial yang dapat
membantu pasien skizofren lebih berperilaku adaptif pada lingkungan sosialnya,
serta penanganan untuk aspek psikologisnya yakni dengan terapi. Mengingat pasien
skizofren yang memiliki berbagai macam hambatan dalam berinteraksi hendaknya

harus menjadi pertimbangan psikolog untuk memilih terapi yang tepat. Oleh karena
itu guna pengayaan mengenai terapi yang dapat digunakan untuk pasien skizofren
pada makalah ini akan membahas mengenai salah satu metode psikoterapi yang
dapat digunakan yaitu terapi seni melukis.

2. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana aplikasi terapi seni melukis untuk pasien skizofren?
b. Bagaimana terapi seni melukis dapat menyembuhkan pasien skizofren?
c. Bagaimana efektivitas terapi seni melukis untuk penanganan pasien
skizofren?

3. TUJUAN
a. Supaya dapat diketahui bagaimana penerapan dari terapi seni melukis pada
pasien skizofren

-4-

b. Untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi seni melukis dengan upaya
penanganan pasien skizofren
c. Untuk mengetahui seberapa efektif terapi seni melukis dapat menyembuhkan

pasien skizofren

-5-

BAB II
TEORI

1. Terapi Seni
Terapi merupakan remediasi masalah kesehatan. Berbagai masalah
kesehatan tentu memerlukan terapi. Begitu pula dengan masalah-masalah atau
gangguan-gangguan psikologis juga memerlukan terapi yang dikenal dengan
sebutan Terapi Psikologis atau Psikoterapi. Berbagai terapi psikologis telah
dikembangkan agar dapat membantu klien keluar dari masalah ataupun
gangguan psikologisnya. Sampai saat ini, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Atkinson, terdapat enam teknik psikoterapi yang digunakan oleh para psikiater
atau psikolog. Enam teknik psikoterapi itu seperti teknik terapi psikoanalisa,
teknik terapi perilaku, teknik terapi kognitif perilaku, teknik terapi humanistik,
teknik terapi eklektik atau integratif dan teknik terapi kelompok dan
keluarga.2 Di jaman yang makin berkembang ini, terapi psikologis pun semakin
berkembang seperti art therapy atau terapi seni yang kini banyak digunakan

untuk mengatasi masalah ingatan, gangguan perilaku dan lainnya.
Pada awalnya, seni dan psikologi dipandang sebagai dua hal berbeda
yang tidak terdapat sangkut pautnya satu sama lain. Meskipun demikian, dalam
perkembangannya, para ilmuwan mulai menemukan keterkaitan yang ada, antara
seni dan psikologi.

Perkembangan ilmu psikologi modern pun, bisa dibilang

baru apabila dibandingkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang
lainnya.

Psikologi

modern

baru

muncul

puluh, sementara dalam kurun waktu

pengetahuan

yang

sekitar

awal

sama,

abad

kedua

berbagai

ilmu

yang lainnya telah mencapai kemajuan yang pesat. Dalam

perkembangannya, keterkaitan antara seni dan psikoanalisa, menjadi semakin
mengemuka. Psikoanalisa, yang kemunculannya dipelopori
Freud,

kemudian

teori seni

dan

menjadi
psikologi,

semakin
termasuk

-6-

oleh Sigmund

menguatkan hubungan
diantaranya

antara

teori-teori paling

komprehensif dan berani tentang sumber dari dorongan artistik yang
dikemukakan oleh Freud. Meskipun demikian, mungkin dikarenakan thesisnya
begitu kuat dan satu prinsip digunakan untuk menjelaskan sekuruh
dorongan artistik,

teori-teori

teori-teori yang muncul
teori Freud

tersebut

mudah

sesudahnya,

dikritik. Telah

membantah

banyak

dan mengkritik

yang terlalu cenderung kepada dorongan biologis manusia.

Terlepas dari kelemahan-kelemahan tersebut, kerangka dasar dari teori
Freud

telah

menopang

pengertian

modern

tentang

kepribadian,

dan

telah menjadi unsur-unsur hakiki kebudayaan Barat. Hubungan yang ada antara
seni dan psikologi dijelaskan ruang lingkupnya dalam suatu cabang ilmu yang
baru, yaitu suatu cabang keilmuan yang disebut Terapi Seni.Terapi seni secara
harafiah dapat diartikan sebagai penggabungan dua buah disiplin ilmu,
yaitu antara ilmu seni dan psikologi. Dengan demikian, istilah terapi
seni, yang secara verbal terdiri dari kata Terapi dan Seni, secara
nyata menggabungkan dua jenis disiplin ilmu, yaitu Seni (Art) dan
Psikologi. Pada

umumnya,

aktivitas

terapi

seni

mungkin

bagi

masyarakat awam hanya terlihat seperti aktivitas kelas atau kursus seni
rupa

pada

umumnya,

Bagaimanapun

juga

dipentingkan

daripada

namun sebenarnya

pada

terdapat

aktivitas

terapi seni proses

kemampuan

individu

perbedaan.
kreatif

lebih

dalam menghasilkan

karya seni yang sesungguhnya. Tujuan terapi seni bukanlah untuk menghasilkan
karya

seni

yang

estetik,

ataupun

untuk

mengasah

bakat

untuk

menghasilkan seorang seniman, akan tetapi tujuan akhir yang ingin dicapai oleh
terapi seni adalah untuk membantu pasien agar merasa lebih nyaman terhadap
diri mereka sendiri.
Dalam mengerjakan karya
emosi

dan pikiran

yang

yang

melibatkan

mengendap

akan

tersalurkan, sehingga semua emosi dan pikiran
akan

menjadi
sadar

semua

„tereksternalisasi'
tersebut pada

atau

akhirnya

jelas akar permasalahannya karena terbacanya simbol-simbol

dari bentuk yang ada pada karya
secara

kreativitas,

maupun

tersebut,

tidak

kadangkala

dibentuk,

baik

sadar memiliki makna yang berhubungan

secara langsung dengan akar permasalahan yang sedang dihadapi oleh pasien

-7-

tersebut. Seni

juga

memiliki

kemampuan

menyampaikan berbagai tingkatan
kesedihan

yang

terdalam,

emosi,

untuk

mencatat

dari rasa nyaman

dan
hingga

dari kejayaan hingga trauma. Dari uraian

ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa, jika dilihat dalam ruang lingkup
yang lebih luas lagi, seni telah menyediakan jalan bagi pemahaman, membuat
suatu pengertian dan menjelaskan pengalaman batin (inner experiences) tanpa
harus menjelaskan pengalaman tersebut dengan menggunakan kata-kata. Selain
itu kemampuan menggambar pada dasarnya lebih kepada

kemampuan yang

bersifat naluriah dan intuitif.

a.

Terapi Seni dan Otak
Terapi seni secara historis menolak asosiasi dengan ilmu pengetahuan

dan telah disukai lebih berbasis seni sikap dalam filsafat dan praktek. Namun,
baru-baru ini menemukan temuan ilmiah tentang bagaimana gambar
mempengaruhi emosi, pikiran, dan kesejahteraan dan bagaimana otak dan tubuh
bereaksi terhadap pengalaman menggambar, melukis, atau kegiatan seni lainnya
yang menjelaskan mengapa terapi seni mungkin efektif pada berbagai populasi.
Sebagai ilmu pembelajaran lebih banyak tentang hubungan antara emosi dan
kesehatan, stres dan pengelolaannya, dan sistem otak dan kekebalan tubuh,
namun dengan adanya terapi seni ditemukan batas baru bagi penggunaan citra
dan ekspresi seni dalam pengobatan.
Selama beberapa dekade terakhir, semakin banyak pengetahuan dari ilmu
pengetahuan dan kedokteran telah merumuskan intervensi kesehatan mental.
Pada tahun 1993, Bill Moyers dibawa ke kesadaran publik "pengobatan pikirantubuh" dalam serial televisi publik, Penyembuhan dan Pikiran. "Obat pikirantubuh" adalah istilah populer digunakan untuk menggambarkan suatu penerapan
yang memandang pikiran memiliki dampak sentral pada kesehatan tubuh.
Meskipun telah mendapat perhatian selama beberapa dekade terakhir, tetapi teori
mengenai pikiran dan tubuh ini telah ada ribuan tahun yang lalu mengenai teknik
pikiran-tubuh seperti meditasi dan yoga. Peneliti seperti Benson (1975, 1996),
mengenai "respon relaksasi," dan Ader (2001), yang merupakan pemimpin

-8-

dalam bidang psikoneuroimunologi (studi terintegrasi dari pikiran, sistem
neuroendokrin, dan sistem kekebalan tubuh), dan lain-lain telah memperluas
penggabungan antara pikiran-tubuh menjadi sebuah metode sebagai obat utama.
Neuroscience, studi tentang otak dan fungsinya, dengan cepat
mempengaruhi kedua ruang lingkup dan praktek pendekatan psikoterapi dan
pikiran-tubuh. Sebagai teknologi baru memungkinkan peneliti untuk memindai
otak dan ac-neurologis dan fisiologis lainnya aktivitas dalam tubuh, kita belajar
lebih banyak tentang hubungan antara pikiran dan tubuh. Damasio (1994),
Sapolsky (1998), dan Ramachandran (1999), antara lain, telah menggambarkan
fenomena neurologis dan fisiologis yang berhubungan dengan memori dan
bagaimana gambar dikonsep dan bagaimana mereka mempengaruhi otak dan
tubuh. Siegel (1999); van der Kolk, McFarlane, dan Weisaeth (1996), dan
Schore (1994) telah memperluas pemahaman tentang bagaimana otak, fisiologi
manusia, dan emosi yang rumit terjalin, pentingnya keterikatan awal pada fungsi
neurologis melalui kehidupan, dan dampak trauma pada memori. Temuan ini
jauh jangkauannya, mempengaruhi bagaimana psikoterapi sedang dirancang dan
disampaikan.
Hubungan antara ilmu saraf dan terapi seni adalah salah satu yang
penting yang mempengaruhi setiap bidang praktek (Malchiodi, Riley, & HassCohen, 2001). Kaplan (2000) menggarisbawahi pentingnya keseluruhan ilmiah
Mindness dalam praktek terapi seni, pentingnya ilmu saraf ke lapangan, dan
relevansi pikiran dan kesatuan tubuh citra mental serta aktivitas artistik. Pada
akhirnya, ilmu pengetahuan akan menjadi pusat untuk memahami dan
mendefinisikan bagaimana terapi seni benar-benar bekerja dan mengapa itu
adalah modalitas terapi yang kuat.

b. Neuroscience dan Terapi Seni
Bagaimana fungsi otak dan bagaimana hal itu mempengaruhi emosi,
kognisi, dan perilaku yang penting dalam pengobatan kebanyakan masalah
orang membawa ke terapi, termasuk gangguan mood, stres pasca trauma,

-9-

kecanduan, dan penyakit fisik. Meskipun banyak bidang penelitian yang relevan
dengan praktek psikoterapi, beberapa daerah sangat penting untuk terapi seni.



Gambar dan Formasi Gambar
Akal sehat mengatakan kepada kita bahwa gambar tidak berdampak pada
bagaimana kita merasa dan bereaksi. Misalnya, hanya membayangkan menggigit
lemon dapat menyebabkan mulut seseorang untuk mengerut dan melihat
makanan favorit dapat menyebabkan seseorang untuk mengeluarkan air liur.
Gambar dapat menciptakan sensasi keringanan , ketakutan, kecemasan, atau
tenang dan ada bukti bahwa mereka dapat mengubah suasana hati dan bahkan
menginduksi rasa baik makhluk (Benson, 1975). Ada bukti kuat bahwa gambar
memiliki dampak yang signifikan terhadap tubuh kita. Percobaan sederhana
telah memberikan bukti bahwa bahkan paparan gambar alam dari jendela kamar
rumah sakit dapat mengurangi lama tinggal dan meningkatkan perasaan
kesejahteraan pada pasien (Ulrich, 1984).
Seni terapis Vija Lusebrink (1990) mengamati bahwa gambar adalah
"jembatan antara tubuh dan pikiran, atau antara tingkat sadar pengolahan
informasi dan perubahan fisiologis dalam tubuh "(hal. 218). Citra dipandu,
proses pengalaman di mana seorang individu diarahkan melalui relaksasi diikuti
dengan saran untuk bayangkan gambar tertentu, telah digunakan untuk
mengurangi gejala, mengubah suasana hati, dan daya tahan serta kapasitas
penyembuhan tubuh. Terapis seni dan lain-lain telah menerapkan prinsip-prinsip
citra mental dan citra dipandu untuk bekerja dengan individu dalam berbagai
seting. Misalnya, Baron (1989) digunakan guided imagery sebagai bagian dari
terapi seni dalam pengobatan individu dengan kanker. Sampai relatif baru, para
peneliti hanya mampu untuk berspekulasi tentang bagaimana panduan imajeri
bekerja.
Neuroscience

yang

semakin

pesat

dalam

pengertian

manusia,

pembentukan citra, dan daerah otak yang terlibat dalam gambar. Sebagai contoh,
penelitian menunjukkan bahwa citra kita lihat atau kita bayangkan akan

-10-

mengaktifkan korteks visual dari otak dengan cara yang sama. Dengan kata lain,
menurut Damasio (1994), tubuh kita merespon citra mental seolah-olah mereka
adalah kenyataan. Ia juga mencatat bahwa gambar tidak hanya visual dan
mencakup semua modalitas sensorik-pendengaran, penciuman, gustatory, dan
somatosensori (sentuh, otot, suhu, nyeri, viseral, dan vesindra tibular). Gambar
tidak disimpan dalam salah satu bagian dari otak, melainkan banyak region di
otak adalah bagian dari pembentukan citra, penyimpanan, dan pengambilan.
Pemahaman peningkatan belahan otak dan interaksi mereka juga telah
memberikan kontribusi terhadap pemahaman gambar mental dan pembuatan
seni. Diyakini bahwa otak kanan dan kiri umumnya memiliki dua fungsi yang
berbeda, otak kanan adalah pusat intuisi, kreativitas, sedangkan otak kiri adalah
dianggap terlibat dalam pemikiran logis dan bahasa. Beberapa terapi seni
diklaim itu nilai adalah karena kemampuannya untuk memanfaatkan fungsi otak
kanan, mengamati bahwa pembuatan seni adalah "Berotak kanan" Kegiatan
(Virshup, 1978). Pada kenyataannya, belahan kiri otak (di mana Bahasa terletak)
juga terlibat dalam pembuatan seni. Gardner (1984), Ramachandran (1999), dan
lain-lain telah menunjukkan bahwa kedua belahan otak adalah untuk ekspresi
seni dan bukti dapat dilihat pada gambar-gambar orang dengan batasan usia ke
daerah-daerah tertentu dari otak. Para peneliti juga menemukan koneksi antara
bahasa dan gerakan tertentu dalam menggambar. Sebagai contoh, dalam sebuah
penelitian menggunakan tomografi emisi positron (PET) scan, aktivitas otak
individu menggambar bentuk dalam ruang tercatat. Hasil menunjukkan bahwa
gambar sederhana bahkan melibatkan interaksi kompleks antara banyak bagian
dari otak (Frith & Hukum, 1995). Gambar dan pembentukan citra, baik citra
mental atau mereka yang digambar di atas kertas, penting dalam semua seni
praktek terapi karena melalui seni membuat klien berada untuk membingkai
ulang apa yang mereka rasakan, menanggapi suatu peristiwa atau pengalaman,
dan bekerja pada emonasional dan perubahan perilaku. Berbeda dengan citra
mental, bagaimanapun, seni membuat setidaknya seorang individu untuk secara
aktif mencoba, bereksperimen dengan, atau berlatih perubahan yang diinginkan
melalui menggambar, melukis, atau kolase, yaitu, melibatkan benda nyata yang
dapat secara fisik diubah.

-11-



The Fisiologi Emosi
Hal ini juga dikenal bahwa tubuh sering merupakan cermin dari seorang
individu, emosi AOS. Ketika kita cemas, telapak tangan kita keringat atau wajah
kami mungkin pucat, atau kita mungkin berubah menjadi merah ketika malu.
Gambar mempengaruhi emosi kita dan bagian yang berbeda dari otak dapat
menjadi aktif ketika kita melihat wajah sedih atau wajah bahagia atau mental
gambar bahagia atau peristiwa atau hubungan sedih (Sternberg, 2001). Ada juga
berbagai hormonal fluktuasi serta efek kardiovaskular dan neurologis. Bahkan,
fisiologi emosi ini begitu rumit sehingga otak tahu lebih banyak daripada pikiran
sadar dapat mengungkapkan itu diri (Damasio, 1994). Artinya, benar-benar
dapat menampilkan emosi tanpa sadar apa yang diinduksi emosi.
Trauma telah menerima perhatian meningkat dalam ilmu saraf karena
sekarang diyakini baik pengalaman psikologis dan fisiologis. Ada kesepakatan
umum bahwa peristiwa traumatis mengambil tol pada tubuh serta pikiran dan,
dengan demikian, gangguan stres pasca trauma (PTSD) didefinisikan melalui
kedua psikologis dan gejala fisiologis. Banyak yang menunjuk inti sebenarnya
dari trauma sebagai fisiologis (Rothchild, 2000; Levine, 1997), dan, seperti van
der Kolk metaforis catatan,, tubuh authe membuat skor, Äùof pengalaman
emosional. Meskipun banyak bagian otak yang penting dalam trauma, sistem
limbik, kursi naluri dan refleks, telah diberikan perhatian yang cukup. Termasuk
di dalamnya adalah hipotalamus, hippocampus, dan amigdala, yang juga
berfungsi untuk memahami memori traumatis. Meskipun fungsi dari sistem
limbic tidak akan dibahas secara rinci di sini, temuan terbaru menunjukkan
perannya dalam kenangan sensorik dari peristiwa stres dan trauma. Temuan ini
mengungkapkan mengapa ekspresi seni merupakan bagian penting dari terapi,
trauma debriefing, dan pemulihan psikologis. Karena inti dari pengalaman
traumatis adalah fisiologis, ekspresi dan pengolahan kenangan sensorik dari
peristiwa traumatik sangat penting untuk intervensi yang sukses dan Resolusi
(Rothchild, 2000; Schore, 1994). Seni adalah mode sensorik alami berekspresi
karena melibatkan sentuhan, penciuman, dan indra lain dalam pengalaman.
Menggambar dan kegiatan seni lainnya memobilisasi ekspresi kenangan

-12-

sensorik (Steele,1997; Steele & Raider, 2001) yang tidak bisa digunakan dengan
cara wawancara lisan dan intervensi. Pengalaman emosional sangat dituntut,
seperti trauma, dikodekan oleh sistem limbik sebagai bentuk realitas sensorik
(Malchiodi et al., 2001). Untuk seseorang, AOS pengalaman trauma akan
berhasil diperbaiki, harus diproses melalui sensory. Kapasitas seni membuat
untuk memanfaatkan bahan sensorik (yaitu, sistem limbik, Aos memori sensorik
acara) membuat alat ampuh dalam intervensi trauma. Tugas gambar tertentu,
seperti, Äúdraw apa yang terjadi, Äù (Pynoos & Eth, 1985;Malchiodi, 2001;
Steele, 1997) dan arahan terkait lainnya terbukti efektif dalam menggali
kenangan sensorik serta menghasilkan narasi yang bisa diubah melalui teknik
reframing kognitif (Steele & Raider, 2001) untuk mengurangi jangka panjang
stres pasca trauma.
Cara di mana memori disimpan juga mencurahkan cahaya pada mengapa
terapi seni dapat membantu mereka yang mengalami trauma. Ada dua jenis
memori: memori eksplisit sadar dan terdiri dari fakta, konsep, dan ide-ide dan
implicit memori sensorik dan emosional dan berhubungan dengan tubuh, AOS
kenangan. Sepeda adalah contoh yang baik dari memori implisit, menceritakan
detail kronologis dari acara adalah contoh dari memori eksplisit. Saat ini, ada
beberapa spekulasi bahwa PTSD, sebagian, mungkin disebabkan bila memori
trauma dikeluarkan dari eksplisit penyimpanan (Rothchild, 2000). Masalah juga
hasil dari kenangan traumatis ketika kenangan implisit tidak terkait dengan
kenangan eksplisit, yaitu, seseorang tidak mungkin memiliki akses ke konteks di
mana emosi atau sensasi muncul. Ekspresi Seni dapat membantu untuk
menjembatani kenangan implisit dan eksplisit dari peristiwa stres dengan
memfasilitasi penciptaan narasi melalui mana orang dapat menjelajahi kenangan
dan mengapa mereka begitu menjengkelkan. Kegiatan kesenian, dalam
pengertian ini, dapat membantu trauma individu untuk berpikir dan merasa
secara bersamaan, serta memaknai sebuah pengalaman.
Akhirnya, terapi seni dapat digunakan untuk menyadap respon relaksasi
tubuh. Menggambar, misalnya, diduga memfasilitasi laporan lisan anak-anak
secara emosional peristiwa sarat dengan beberapa cara: pengurangan kecemasan,
membantu anak merasa nyaman dengan terapis, meningkatkan pengambilan

-13-

memori, mengatur narasi, dan penerimaan anak untuk memberitahukan rincian
lebih dalam mengenai sebuah wawancara lisan (Gross & Haynes,1998).
Malchiodi (1997, 2001) diamati dalam bekerja dengan anak-anak dari kekerasan
rumah bahwa kegiatan seni menenangkan, pengaruh hipnotis dan trauma anakanak secara alami tertarik dengan kualitas ini ketika cemas atau menderita pasca
stres traumatik. Suatu hari, melalui penggunaan scan otak dan teknologi lainnya,
kami mungkin memiliki pemahaman yang lebih jelas tentang bagaimana
menggunakan terapi seni untuk memanfaatkan bersantai sebagai respon untuk
klien dari segala usia yang telah mengalami stres yang intens.


Efek Placebo
Kekuatan keyakinan, sering disebut sebagai efek plasebo, adalah efektif
pikiran-tubuh

intervensi

yang

dapat

meningkatkan

penyembuhan

dan

kesejahteraan (Sternberg, 2001). Terapi seni, seperti bentuk lain dari terapi atau
pengobatan, dapat meningkatkan efek plasebo karena pengaruh dari keyakinan
individu dalam terapis dan terapi, tempat khusus menyembuhkan (dalam hal ini,
ruang terapi seni), dan kegiatan yang orang melakukan (Menggambar, melukis,
atau membuat seni lainnya). Ini adalah elemen terkenal diakui untuk
berkontribusi pada efek plasebo di kedua psikoterapi dan obat-obatan. Benson
(1996), diakui untuk karyanya dengan respon relaksasi, mengamati bahwa
adalah mungkin bagi setiap orang untuk mengingat tenang dan percaya diri
terkait dengan kesehatan dan kebahagiaan. Bahkan ketika sakit secara fisik,
individu

dapat

mengakses

apa

Benson

panggilan

"ingat

kesehatan,"

meningkatkan rasa kesejahteraan meskipun tertekan atau sakit. Dalam intervensi
trauma, mengingat kenangan peristiwa positif yang bisa membingkai ulang dan
akhirnya menimpa negatif sangat membantu dalam mengurangi stres pasca
trauma, jika pengalaman indrawi kesehatan diingat disertakan. Kapasitas gambar
membuat lebih mendalam mengingat kenangan aktual dan rincian positif
(Malchiodi et al., 2001).
Ada aspek lain yang mungkin sampai sekarang tidak diakui yang
berkontribusi terhadap penyembuhan selain dari efek placebo. Tinnin (1994)

-14-

mengusulkan bahwa terapi seni memfasilitasi penyembuhan dalam cara yang
mirip dengan plasebo effect karena menggunakan mimikri, naluriah, fungsi
verba otak yang dasar untuk menenangkan diri. Contoh mimikri mungkin anak
membelai selimut dalam cara yang meniru ibu yang menenangkan untuk
mengaktifkan proses relaksasi. Pembuatan seni dapat merangsang pengalaman
serupa dan memberikan pengalaman yang menenangkan diri sendiri dan
memperbaiki, seperti yang tercantum dalam bagian sebelumnya. Menurut
Tinnin,

jenis

ini

merupakan

pengalaman

yang

sengaja

merangsang

penyembuhan diri melalui efek plasebo. Dia menambahkan bahwa "terapi seni
memiliki potensi unik dan spesifik relatif terhadap penyembuhan diri karena dari
jalan seni mempengaruhi otak

2. Terapi Seni Melukis
Akal sehat mengatakan kepada kita bahwa gambar melakukan
berdampak pada bagaimana kita merasa dan bereaksi. Malchiodi menegaskan
(2003, hal. 18), pemahaman yang lebih besar tentang bagaimana gambar visual
diproses di otak dan akhirnya diterjemahkan ke dalam peristiwa emosional dapat
memberikan terapis seni dengan dasar untuk menilai, menjelaskan, dan
pemurnian pekerjaan mereka (Lusebrink, 2004). Meskipun seni sastra terapi
telah menetapkan bahwa gambar yang kuat, ada sedikit bukti untuk menjelaskan
mengapa. Dalam bidang terapi seni, "Mekanisme bagaimana sebetulnya kita
mengamati objek secara visual belum menjadi perhatian utama Neuroscience
menyediakan seni terapis kesempatan untuk mengalami kerangka kerja baru
untuk mengatasi paling dasar prinsip lapangan. Apa itu "bahasa gambar"
(McNiff, 1998, hal.27)? Apa artinya bahwa warna biru adalah "Menenangkan,"
garis dalam sebuah gambar yang "agresif," atau foto adalah "jujur"? Mengapa
membuat gambar membantu kita merasa lebih baik? Di mana gambar artistik
berasal? Bagaimana sebuah gambar terlihat setidaknya sebagian tergantung pada
sifat fisik dan persepsi dan hukum visual otak sistem (Livingstone, 2002).
Apakah pengalaman menciptakan atau melihat gambar membuat orang senang,
sedih, gembira, atau kewalahan, dampak emosional dari suatu karya seni adalah

-15-

tergantung pada jalur saraf tertentu di otak, yang aktivasi sel tertentu dan bagian
tubuh, dan isyarat persepsi korteks visual (Lusebrink, 2004; Zeki & Lamb,
1994). Satu tidak dapat berbicara bahasa gambar tanpa referensi tata bahasa
otak. Teori warna, persepsi kedalaman, ruang negatif, dan sejenisnya tidak
hanya aturan abstrak, ini persepsi alamat fenomena sarana yang otak manusia
menerima, proses, dan toko rangsangan visual. "Semua seni rupa harus
mematuhi hokum dari sistem visual "(Zeki & Lamb, 1994, hal. 607). Jelas, ilmu
pengetahuan dan seni saling terkait dalam proses sensasi dan persepsi
(Lusebrink, 2004).
Tidak hanya seni memiliki dasar neurologis dalam Surat sifat persepsi,
tapi emosi ditimbulkan dari membuat dan melihat seni memiliki komponen
neurologis juga. Neuroscientist Daniel Siegel (1999) menjelaskan bahwa emosi
tidak ada dalam cara kita biasanya berpikir mereka. Mereka tidak "semacam
paket sesuatu yang dapat dialami, diidentifikasi, dan menyatakan, seperti yang
tersirat dalam Pernyataan 'Hanya mendapatkan perasaan Anda keluar.'
Emosi merupakan proses yang dinamis dibuat dalam sosial dipengaruhi,
nilai proses menilai otak "(hal. 123). Interaksi manusia, belajar, dan kinerja
kegiatan tertentu semua bisa mengubah pola aktivitas otak serta emosi seseorang
(Restak, 2003). "Dengan mengubah baik aktivitas dan struktur koneksi antara
neuron, pengalaman langsung membentuk sirkuit bertanggung jawab untuk
proses seperti memori, emosi, dan kesadaran diri "(Siegel, 1999, hal. 2).
Selanjutnya, jika seni Terapi mempengaruhi emosi kita, itu mengubah sirkuit
dan aktivitas otak. Sebaliknya, jika terapi seni mengubah kami otak, seseorang
dapat berharap untuk mempengaruhi emosi kita. Untuk lebih sepenuhnya
memahami manfaat dari tindakan kreatif, adalah penting untuk mempelajari
bagaimana pengalaman kreatif dapat membentuk kesadaran dan emosi melalui
perubahan aktivitas saraf.
Melukis sebagai terapi, berkaitan dengan aspek

kontemplatif

atau

sublimasi. Kontemplatif atau sublimasi merupakan suatu cara atau proses yang
bersifat menyalurkan atau mengeluarkan segala sesuatu yang bersifat kejiwaan,
seperti perasaan,

memori,

pada saat kegiatan berkarya seni berlangsung.

Aspek ini merupakan salah satu fungsi seni yang dimanfaatkan secara optimal

-16-

pada setiap sesi terapi. Kontemplatif

dalam arti, berbagai endapan batin yang

ditumpuk, baik itu berupa memori, perasaan, dan berbagai gangguan persepsi
visual dan auditorial, diusahakan untuk dikeluarkan atau disampaikan. Oleh
karen itu pasien tidak terjebak pada suatu situasi dimana hanya diri sendiri
terjebak pada realitas imajiner yang diciptakan oleh diri sendiri. Aspek
kontemplatif atau sublimasi inilah yang kemudian dikenal dengan istilah katarsis
dalam dunia psikoanalisa.
Hal tersebut, juga sekaligus dapat menjadi media untuk

mencari

pemicu atau akar permasalahan melalui berbagai visualisasi atau simbol-simbol
yang muncul selama

terapi berlangsung. Berdasar visualisasi yang tercurah

selama terapi berlangsung, seringkali tampak gambar beberapa image yang
merupakan simbolisasi dari ekspresi bawah sadar dari pasien. Kemudian bagi
terapis, beragam visualisasi inilah yang menjadi perangkat untuk menentukan
diagnosa sampai sejauh apakah kerusakan kondisi kejiwaan pasien, dan
pengobatan jenis apakah yang sesuai bagi pasien.

-17-

BAB III
PEMBAHASAN
1. Aplikasi terapi seni melukis
Pada kaitannya dengan aspek penyembuhan, seni memiliki kemampuan
agar apa yang tidak mampu dikatakan dengan bahasa verbal pada umumnya,
dapat dikomunikasikan dengan bahasa rupa. Dengan demikian, apa yang
selama ini tak dapat dikatakan, menjadi terkatakan. Ungkapan ini senada dengan
apa yang dikatakan

oleh Margaret Naumburg, yaitu mengenai pernyataannya

yang menilai bahwa terapi

seni dapat diibaratkan

sebagai

“Pembicaraan

Simbolik” atau Symbolic Speech. Dalam artian, melalui karya seni, apa yang
tidak dapat dikatakan melalui kata-kata

serumit dan sekompleks apapun akan

dapat tersalurkan melalui kegiatan menggambar
ini,

atau

melukis.

Pendekatan

yang seringkali disebut “Art Psychotherapy”. Maka segala hal yang

terpendam dalam aspek ketidaksadaran, dapat di keluarkan dalam bentuk karya
visual. Maka hal ini dapat menjadi sebuah jalan agar keseimbangan dalam
aspek ketidaksadaran menjadi seimbang atau stabil kembali, sedikit demi
sedikit. Sehingga pada saat terapi berlangsung, pasien sebisa mungkin dicegah
untuk kembali menumpuk endapan emosi dalam batinnya. Agar keseimbangan
dalam aspek ketidaksadaran yang telah

tercapai tidak kembali mengalami

overloading. Selain itu pula, perbaikan-perbaikan dalam aspek ruhaniah, fungsi
kreatif, kognitif, dan afektif

dan psikomotorik juga diasah dalam terapi

melukis. Karena, berkesenian adalah suatu

jalan agar, koordinasi antara otak,

hati, pikiran, dan aktifitas fisik kembali berjalan

dengan selaras dan bekerja

bersamaan.
Dalam pengertian, saat seorang pasien merespon suatu perintah, dari
terapisnya, maka otak secara otomatis akan segera memproses perintah tersebut,
yang dominannya dalam bentuk image visual dalam otaknya. Kemudian, otak
sebagai pusat koordinasi dari tubuh manusia, akan memberi suatu perintah bagi
otot-otot yang bekerja pada sekitar tangan untuk segera merealisasikan
image visual yang telah diprosesnya. Pada saat inilah akan tampak, sampai
-18-

sejauh manakah kerusakan fungsi otak itu terjadi karena ia akan mencerminkan
sejauh mana koordinasi kerja otak-otot itu berlangsung, dengan luweskah atau
dengan terpatah-patah. Maka yang tampak adalah,
tampak
akan

overlapping,
tampak

apakah

tekanan

sapuan

kuasnya

apakah

gambar

itu

kuasnya terpatah-patah, apakah

akibat

agresifitas

yang meluap,

atau

apakah pasien bersangkutan akan sangat sering membagi-bagi bidang?.
Maka tidak jarang penulis mempertanyakan kenapa seseorang sangat sering
menumpuk

bentuk

dan warna,

sedangkan pada pasien yang lain, ia

cenderung membagi-bagi bidang, atau mengapa

pasien yang satu

ekspresif dalam menyapukan kuasnya, dan sedangkan pada

sangat

pasien yang lain

tampak bersusah payah dan terpatah-patah.
Pada saat yang sama, kita telah mengetahui lazimnya dalam kegiatan
berkarya seni, kondisi psikologis manusia akan secara spontan terkondisikan
untuk mencurahkan segala aspek emosionalnya pada saat berkarya. Maka
kemudian, pada saat yang

bersamaan pula aspek afektif yang terkait dengan

emosi akan terstimulasi, sehingga
emosional

seiring

berjalannya terapi,

kebekuan

itu mencair, dan berfungsi seperti sediakala. Sedangkan aspek

kognitif, distimulasi dalam bentuk upaya pasien agar, berbagai image dalam
pikiran, divisualisasikan pada bidang gambar.
Dalam kegiatan membuat visualisasi itu menjadi sesuatu dalam bidang
gambar, dibutuhkan kemampuan kerja otak untuk mengorganisir kerja otot
tangan sehingga sesuai dengan apa yang inginkan dalam image tersebut, ketika
fungsi kerja otak telah membaik, maka otak akan memiliki kemampuan
lebih untuk merespon bentuk sesuai dengan apa yang ada dalam realitas. Maka
visualisasi pada gambar akan menampakkan sejauh mana terapi melukis telah
memepengaruhi berbagai aspek yang

mengalami kerusakan agar kembali

menyeimbangkan fungsinya, yakni dalam berpikir

(sinkronisasi kerja otak

untuk mengorganisasi, memproses dan merealisasikan perintah yang masuk ke
otak),

berperasaan,

(stimuli

emosi

dalam

beraktivitas

seni), dan

psikomotorik (korelasi antara kerja otak dan kerja otot). Kemampuan berpikir,
emosional, kemampuan psikomotorik, akan berjalan, atau katakanlah semua
aspek tersebut akan secara spontan berfungsi secara serempak pada saat proses

-19-

berkarya seni terjadi. Disini,

seni

memainkan fungsi sesungguhnya sebagai

mediator, bukan sebagai agen utama penyembuh, dalam arti ia bersifat reflektif,
memberi gambaran sampai sejauh manakah kerusakan aspek kejiwaan pada
pasien, dan merekamnya. Sehingga terapis dapat menentukan pengobatan yang
bagaimanakah yang sesuai bagi pasien yang dapat menghasilkan visualisasi
tersebut.

Dengan demikian, penulis memandang bahwa image-image yang

tampak dapat pula berfungsi sebagai sebuah diagnosa. Seperti halnya pada
ilmu kedokteran, ataupun psikologi.
Perbedaan antara kreativitas pada seniman kreatif dan pasien neurotik
antara lain

pada seniman kreatif, aspek berkarya,umumnya dikaitkan dengan

aspek- aspek artistik, intelek, konseptual, dll. Sedangkan pada pasien neurotik,
aspek berkarya umumnya

dikaitkan dengan aspek spontanitas, aspek

reflektif, rekreatif, refreshing, terutama

terkait dengan aspek kontemplatif,

atau penyaluran. Aspek kontemplatif atau sublimasi inilah yang pada prosesnya
amat berperan dalam memposisikan seni sebagai media penyembuh. Selain hal
tersebut juga terdapat warna, pada aspek pemilihan warna

apakah seseorang,

akan memilih misalkan warna biru atau kuning, hal tersebut berhubungan erat
dengan emosi.

Pada

pengamatan

penulis, warna juga turut memberi

informasi tentang keadaan mental pasien. Umumnya, pada tahap awal terapi
pasien cenderung memilih warna-warna yang mengarah ke warna-warna gelap,
seperti misalkan pada warna biru dan hijau yang paling sering tampak
pada gambar tahap awal pasien. Kemudian, berangsur-angsur, apabila proses
terapi berjalan dengan

lancar, maka akan tampak pula perubahan pada warna-

warna yang digunakan, dengan

kata lain apabila terjadi perbaikan, maka

kualitas kondisi kejiwaan pun kan semakin membaik, hal ini akan direspon oleh
sisi

kejiwaan manusia dan direpresentasikan melalui warna. Metode

penyembuhan total pada kejiwaan, tidak dapat hanya bergantung pada terapi
seni

saja.

Namun terapi

seni

hanyalah

salah

satu

aspek

yang

mendukung penyembuhan mental tersebut. Karena aspek kejiwaan manusia
tidak begitu saja dapat

mengandalkan aspek

kreativitas belaka

sebagai

aspek yang dapat menyembuhkan, namun aspek fisik, ruhaniah, sosial, dan
aspek kreatif harus berjalan secara seimbang. Penyembuhan itu melibatkan

-20-

keseluruhan aspek tersebut,

dapat dikatakan

terapi kejiwaan seharusnya

berjalan secara holistik atau menyeluruh. Penyembuhan tidak dapat berjalan
jika hanya salah

satu

aspek saja yang lebih diutamakan dan aspek lainnya

diabaikan.

2. Pengaruh terapi seni melukis pada pasien skizofrenia
Pasien skizofren memiliki keterbatasan dalam komunikasi verbal,
mereka tidak mampu berinteraksi dengan semestinya orang normal pada
umumnya, sehingga terapi seni melukis ini dapat menjadi sarana untuk pasien
skizofren merepresentasikan apa yang di dalam pikirannya. Terapi melukis ini
dapat menjadi sarana katarsis mengeluarkan emosi-emosi negative yang dimiliki
individu. Pada pasien skizofernia, misalnya, lukisan bisa menjadi bentuk
komunikasi dari alam bawah sadarnya. "Memang skizofernia merupakan
masalah neurobiologis, tapi secara psikologis ada trauma alam bawah sadar yang
melukainya," kata Dwidjo. Di banyak rumah sakit jiwa, kata Dwidjo, pasien
skizofrenia dengan yang telah melewati fase kuratif dan masuk ke fase
rehabilitasi mendapatkan terapi ini. Terapi ini membantu pasien beradaptasi, dan
menyalakan kembali hasrat hidupnya. "Karena mereka mampu menyampaikan
apa yang ada di pikirannya," kata Dwidjo.
Terapi seni melibatkan kerjasama otak, serta hubungan reaksi antara otak
dan emosi. Otak manusia merespon stimulus untuk membuat sebuah gambar,
kemudian bereaksi pada apa yang akan ia lukis. Ketika individu melukis
melibatkan emosi yang ada dan direpresentasikan pada bentuk lukisan. Hal ini
akan menjadi metode kartasis dan penyampaian pemikiran dari alam bawah
sadar pasien skizofren, sehingga mereka tidak terbebani karena dapat lebih
menyampaikan apa yang ada dipikirannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa skizofren melibatkan pengaruh dari
system otak yang tidak normal dan terapi seni melukis ini selain dapat menjadi
sarana katarsis dan pemaparan komunikasi alam bawah sadar juga dapat menjadi
obat yang dapat memperbaiki otak penderita skizofren. Terapi seni melukis ini
dapat menimbulkan efek brain plasticity, yakni perbaikan sel-sel otak. Perbaikan

-21-

sel-sel otak ini merupakan hasil yang diharapkan dari pengobatan medis bagi
penderita gangguan jiwa. Psikoterapi, termasuk terapi seni, sangat penting untuk
menunjang terjadinya efek tersebut. Psikoterapi, seperti terapi seni, dibutuhkan
untuk memberi isi pikir yang positif. Selain itu Terapi seni juga dapat
meringankan monoton, kebosanan, dan frustrasi sering ditemui ketika
menggunakan konvensional "bicara" terapi pada pasien nonverbal. Dengan
menghindari ini, terapi seni menumbuhkan hubungan saling percaya yang
dibutuhkan untuk membawa perubahan pada pasien. Pengekspresian atau
pengeluaran emosi dan perbaikan sel-sel otak yang terjadi akibat pengaruh dari
terapi seni melukis dapat mempengaruhi kognisi atau pola pikir individu
sehingga aspek kejiwaannya pun dapat turut membaik. Selain itu integrasi antara
kognisi dan emosi akan berdampak pula pada perubahan perilaku,sehingga
perilaku pasien skizofren dapat lebih adaptif.

3. Keefektifan terapi seni melukis pada pasien skizofrenia
Terapi seni melukis tidak hanya dapat menjadi sarana untuk melihat
keabnormalan individu, tetapi juga dapat menjadi sarana kesembuhan individu
yang abnormal. Hal ini dibuktikan pada tiga penelitian yang telah dilakukan
mengenai penerapan dari terapi seni melukis membuktikan bahwa terapi melukis
dapat menjadi salah satu terapi yang memberikan sumbangsih penanganan
penyembuhan pasien skizofrenia.
Salah satu penelitian dilakukan oleh Mike J Cafword dan Sue Patterson
adalah penelitian mengenai penerapan terapi seni pada pasien skizofrenia, bukan
hanya terapi seni melukis, tetapi juga menari, drama dan musik. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pada kesehatan
mental, fungsi sosial pasien skizofren, dan peningkatan kualitas interaksi dengan
orang lain atau hubungan interpersonalnya.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Sarie Rahma, mengenai terapi seni
melalui melukis pada pasien skizofrenia dan ketergantungan obat. Pada pasien
skizofrenia terdapat perbedaan visualisasi antara pasien neurotic dan pasien yang
telah dikatakan sembuh atau normal. Hal ini dapat menjadi tolak ukur adanya
-22-

peningkatan kualitas kejiwaan. Tentu saja hal ini akan terjadi jika terapi seni
melukis diberikan dengan konsisten.
Perbandingan visualisasi antara pasien Neurotik dan pasien yang telah
dapat dikatakan sembuh atau normal :

NO

Ciri-ciri pada gambar pasien neurotik

Ciri-ciri pada gambar normal

1

Warna dan bentuk divisualisasikan
tumpang tindih (overlapping)

Warna dan bentuk
divisualisasikan dengan teratur

2

Bentuk dan komposisi absurd

Bentuk dan komposisi tampak
harmonis

3

Pemilihan warna cenderung ke warna
warna gelap dan suram

4

Tidak terdapat objek real (nyata)

Terdapat dominasi bentukbentuk real (nyata)

5

Terdapat visualisasi bentuk dasar seperti
segitiga, lingkaran persegi

Pembagian bidang tampak
teratur

6

Pembagian bidang tampak kacau

Brush strokes terlihat tenang,
teratur dan solid

7

Brush stokes tampak kasar, tak
terkendali dan kacau

Warna tampak terorganisir
dengan rapi tampak solid dan
rapi

8

Warna terkadang tampak samar

Pemilihan warna cenderung
padawarna-warna cerah, dan
terdapat keselaran antara terang
dan gelap

-

Penelitian lainnya dilakukan oleh Robert Morrow, yang mendapatkan
hasil bahwa pemberian terapi seni melukis secara konsisten dan bertahap dapat
meningkatkan kemampuan verbal pasien skizofren, serta interaksi sosialnya
menjadi lebih baik. Hal ini membuktikan bahwa terapi seni melukis dapat
menjadi salahs atu sarana program psikososial. Dalam jurnal tersebut dinyatakan
bahwa pasien menjadi lebih nyaman bicara tentang gambar, ia perlahan-lahan
menjadi lebih nyaman mendiskusikan hal-hal lain dengan lebih sedikit
menggunakan sarana melukis.

-23-

BAB IV
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Terapi seni melukis dapat menjadi sebagai alternatif terapi untuk pasien
skizofrenia. Dengan melihat dari visualisasi gambar dan pengungkapan atau
pendeskripsian mengenai gambar tersebut dapat dijadikan alat untuk
mendiagnosa dan melihat perkembangan sejauhmana peningkatan kesembuhan
pasien. Terapi seni melukis ini dapat menjadi jembatan bagi pasien skizofren
mengungkapkan perasaannya lewat komunikasi non verbal. Tidak hanya sebagai
sarana pengungkapan tetapi terapi seni melukis ini dapat menjadi sarana
penyembuhan bagi pasien skizofren. Terapi seni melukis dapat menstimulasi
otak mereka sehingga apabila diberikan secara konsisten dan bertahap sel-sel
otak yang mengalami gangguan akan dapat mengalami brain plasticity atau
perbaikan sel-sel otak. Perbaikan sel-sel otak ini tentu akan berpengaruh pula
pada kognisi atau pola pikir mereka. Kognisi yang menjadi lebih baik dan emosi
yang dapat lebih tersalurkan dengan melukis akan mempengaruhi kejiwaan serta
perilaku mereka. Sehingga kesembuhan dapat dicapai.

2. SARAN
Hendaknya dengan adanya temuan-temuan yang telah dipaparkan di
makalah ini terapi seni ini tidak lagi dianggap sebelah mata, sehingga dapat
diterapkan untuk penyembuhan skizofrenia di Indonesia. Akan tetapi, meskipun
terapi seni ini dapat menyembuhkan pasien skizofren dalam segi interaksi
sosialnya serta memperbaiki perilaku dan pola pikirnya, tetapi perlu ditekankan
pula bahwa ini bukanlah satu-satunya cara penyembuhan. Masih banyak aspek
yang dibutuhkan guna penyembuhan skizofrenia supaya kesembuhannya dapat
lebih optimal.

-24-

DAFTAR PUSTAKA
Patterson, S and Crawford M. 2007. Arts Therapies for People with Scizophrenia : an
emerging evidence base. Evid. Based Ment. Health 2007;10;69-70
Morrow, R. The Use of Art in a Oatient with Chronic Sxhizophrenia. Jefferson Journal
of Psychiatry
Malchiodi, C. 2003. Handboo of Art Therapy. Newyork : The Guilford Press
Anoviyanti, S. 2008. Terapi Seni Melalui Melukis pada Pasien Skizofrenia dan
Ketergantungan Narkoba. ITB J Vis. Art & Des. Vol 2, No 1., 2008, 72-84
Tunggal, N. 2012. Terapi Seni, Solusi bagi Gangguan Jiwa. Diakses pada 28 April
2013, diakses dari
www.health,kompas.com/read/2012/09/04/06520098/Terapi.Seni..Solusi.bagi.Ganggua
n.Jiwa

-25-