Indonesia Ruang Lingkup Penyakit Hipertensi

Review Penyakit Tidak Menular “Hipertensi”
MK Isu Terkini Penyakit Tidak Menular
Kelompok 6 / Kelas D 2013

Nurafian Majid Pranomo

25010113140241

Nafizta Rizcarachmakurnia

25010113130292

Novita Ayu Ningrum

25010113140293

Destyana Ayu Wulandari

25010113140294

Nurul Anggraeni


25010113140295

Dian Indriyani

25010113140296

Ghina Anisah

25010113140297

Vrishelli Setiadi Putri

25010113130298

I’ik Santi Komala

25010113140299

Pitoyo Mumpuni


25010115183026

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG

A. Pengertian Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan systole, yang tingginya
tergantung umu individu yang terkena. Tekanan darah berfluktuasi dalam
batas-batas tertentu, tergantung posisi tubuh, umur, dan tingkat stress yang
dialami.(dr. Jan Tambayong, 2000)
Hipertensi juga sering digolongkan sebagai ringan, sedang, atau berat
berdasarkan tekanan diastole. Hipertensi ringan apabila tekanan darah diastole
95 – 104, hipertensi sedang bila tekanan diastole-nya 105 – 114. Sedangkan
hipertensi berat tekanan diastole-nya > 115. (dr. Jan Tambayong, 2000)
Seseorang dikatakan menderita hipertensi dan berisiko mengalami
masalah kesehatan apabila setelah dilakukan beberapa kali pengukuran, nilai
tekanan darah tetap tinggi – nilai tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau
diastolic ≥90 mmHg. (Prasetyaningrum, 2014)

Hipertensi dengan peningkatan tekanan systole tanpa disertai
peningkatan tekanan diastole lebih sering pada lansia, sedangkan hipertensi
peningkatan diastole tanpa disertai peningkatan systole lebih sering terdapat
pada dewasa muda. Hipertensi dapat pla digolongkan sebagai esensial atau
idiopatik, tanpa etiologi spesifik, yang paling sering dijumpai. Bila ada
penyebabnya, disebut hipertensi sekunder. (dr. Jan Tambayong, 2000)
Ada lagi istilah hipertensi benigna dan maligna, tergantung perjalanan
penyakitnya. Apabila timbulnya secara berangsur, disebut benigna; apabila
tekanannya naik secara progresif dan cepat disebut hipertensi maligna dengan
banyak komplikasi seperti gagal ginjal, CVA, hemoragi retina, dan
ensefalopati. (dr. Jan Tambayong, 2000).
Saat ini, penyakit hipertensi menjadi masalah kesehatan yang sangat
serius dan sering disebut dengan the silent killer. Apabila penyakit ini tidak
terkontrol, akan menyerang target organ, dan data menyebabkan serangan
jantung, stroke, gangguan ginjal, serta kebutaan. Dari beberapa penelitian
yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa penyakit hipertensi yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan peluang 7 kali lebih besar terkena stroke, 6 kali

lebih besar terkena congestive heart failure, dan 3 kali lebih besar terkena
serangan jantung. (WHO (2005) dalam Rahajeng dan Ekowati (2009)).


B. Riwayat Alamiah Hipertensi
Secara umum, hipertensi tidak menunjukkan tanda-tanda yang khas.
Perjalanan ini berlangsung perlahan bahkan bisa bertahun-tahun tanpa
disadari oleh penderita. Seringkali kondisi tersebut baru diketahui secara tibatiba misalnya saat check up kesehatan.
1. Tahap Pre-Patogenesa :
Pada keadaan ini penyakit belum ditemukan oleh karena pada umumnya
daya tahan tubuh pejamu masih kuat. Dengan perkataan lain seseorang
berada dalam keadaan sehat.
2. Tahap Inkubasi
Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi
mungkin tak menunjukkan gejala selama bertahun-tahun. Masa laten ini
menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ
yang bermakna.
3. Tahap Penyakit Dini
Peningkatan tekanan darah merupakan satu-satunya tanda pada hipertensi
ringan. Bergantung pada tingginya tekanan darah gejala yang timbul dapat
berbeda-beda, hipertensi baru tampak bila telah terjadi komplikasi pada
organ target/vital seperti ginjal, jantung, otak, dan mata. Gejala seperti
sakit kepala, epistaksis, pusing, marah, telinga berdenging, kaku kuduk,

migren, insomnia, mata berkunang-kunang, muka merah, kelelahan, dan
gelisah dapat ditemukan sebagai gejala klinis hipertensi.
4. Tahap Penyakit Lanjut
Gagal jantung, gangguan penglihatan, gangguan neurology, dan gangguan
fungsi ginjal paling banyak ditemukan pada hipertensi berat.
5. Tahap Akhir Penyakit :
Tahap Akhir Penyakit hipertensi : Komplikasi (infark miokardium,
stroke,gagal ginjal.) hingga mati.(Priyanto,2008)

C. Level of prevention Hipertensi
Menurut Bustan (2007) Pencegahan hipertensi jika dipandang dari
epidemiologi dapat dibedakan menjadi 3 tahap yaitu:
1. Tahap prepathogenesis
Level pencegahan dapat berupa primordial, promotif (promosi kesehatan),
proteksi spesifik (kurangi garam sebagai salah satu faktor risiko) dengan
intervensi pencegahan: meningkatkan derajat kesehatan gizi dan perilaku
hidup sehat, pertahankan keseimbangan terbias epidemiologi, serta
turunkan atau hindari faktor risiko.
2. Tahap Pathogenesis
Dalam tahap ini dibagi dalam 2 level pencegahan yaitu diagnosa awal dan

pengobatan yang tepat. Pengobatan yang tepat artinya segera mendapat
pengobatan komprehensif dan kausal pada awal keluhan. Intervensi
pencegahan pathogenesis meliputi pemeriksaan fisik periodik tekanan
darah dan hindari lingkungan yang stres.
3. Tahap postpathogenesis
Level pencegahan dengan upaya rehabilitasi yaitu perbaikan dampak
lanjutan yang tidak bisa diobati.
Lima tahap Pencegahan Penyakit Hipertensi (Five Level Prevention) :
1. Health Promotion
Promosi kesehatan (Health Promotion) merupakan upaya pencegahan
penyakit tingkat pertama. Sasaran dari tahapan ini yaitu pada orang sehat
dengan usaha peningkatan derajat kesehatan. Hal ini juga disebut sebagai
pencegahan umum yakni meningkatkan peranan kesehatan perorangan dan
masyarakat secara optimal, mengurangi peranan penyebab serta derajat
risiko serta meningkatkan secara optimal lingkungan yang sehat. (Noor,
2000)
Menurut Noor (2000), promosi kesehatan (health promotion) dalam upaya
mencegah terjadinya penyakit hipertensi dapat dilakukan dengan berbagai
upaya seperti:


a. Memberikan

penyuluhan

kepada

masyarakat

tentang

pentingnya

melakukan atau menerapkan PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) sejak
dini, guna mencegah terjadinya atau masuknya agen-agen penyakit.
b. Melakukan seminar-seminar kesehatan bagi masyarakat tentang upayaupaya yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal, seperti pola makan yang seimbang, pengurangan
atau eliminasi asupan alkohol, berhenti merokok, olahraga teratur,
pengurangan berat badan dan mengatasi stres yang baik.
2. Spesific protection
Pencegahan khusus (spesific protection) merupakan rangkaian dari health

promotion. Pencegahan khusus ini terutama ditujukan pada pejamu
dan/atau penyebab, untuk meningkatkan daya tahan tubuh maupun untuk
mengurangi risiko terhadap penyakit tertentu (Noor, 2000) dengan
berbagai upaya seperti: perbaikan status gizi perorangan maupun
masyarakat, seperti: makan dengan teratur (3x sehari), mengkonsumsi
bahan makanan yang mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh
sehingga terbentuk daya tahan tubuh yang lebih baik dan dapat melawan
agen penyakit pada saat masuk ke dalam tubuh.
3. Early Diagnosis and Prompt Treatment
Menurut Noor (2000), diagnosis dini dan pengobatan dini (Early
Diagnosis and Prompt Treatment) merupakan upaya pencegahan penyakit
tingkat kedua. Sasaran dari tahap ini yaitu bagi mereka yang menderita
penyakit atau terancam akan menderita suatu penyakit. Adapun tujuan dari
pencegahan tingkat ke dua ini yaitu sebagai berikut:
a. Meluasnya penyakit atau terjadinya tidak menular.
b. Menghentikan proses penyakit lebih lanjut dan mencegah komplikasi.
c. Melakukan screening (pencarian penderita

hipertensi) melalui


penerapan suatu tes atau uji tertentu pada orang yang belum
mempunyai atau menunjukkan gejala dari suatu penyakit dengan
tujuan untuk mendeteksi secara dini adanya suatu penyakit hipertensi.

d. Melakukan pengobatan dan perawatan penderita penyakit hipertensi
sehingga penderita tersebut cepat mengalami pemulihan atau sembuh
dari penyakitnya.
4. Disability Limitation
Menurut Noor (2000), pembatasan kecacatan (disability limitation)
merupakan tahap pencegahan tingkat ketiga. Adapun tujuan dari tahap ini
yaitu untuk mencegah terjadinya kecacatan dan kematian karena suatu
penyebab penyakit.
Pembatasan kecacatan (disability limitation) dalam upaya mencegah
terjadinya kecacatan dan kematian akibat penyakit hipertensi dapat
dilakukan dengan upaya seperti: mencegah proses penyakit lebih lanjut
yaitu dengan melakukan pengobatan dan perawatan khusus secara
berkesinambungan atau teratur sehingga proses pemulihan dapat berjalan
dengan baik dan cepat. Pada dasarnya penyakit hipertensi tidak
memberikan atau membuat penderita menjadi cacat pada bagian tubuh
tertentu.

5. Rehabilitation
Menurut Noor (2000), rehabilitasi (rehabilitation) merupakan serangkaian
dari tahap pemberantasan kecacatan (Disability Limitation). Rehabilitasi
ini bertujuan untuk berusaha mengembalikan fungsi fisik, psikologis dan
sosial seoptimal mungkin.
Rehabilitasi yang dapat dilakukan dalam menangani penyakit hipertensi
yaitu sebagai berikut:
a. Rehabilitasi fisik jika terdapat gangguan fisik akibat penyakit
hipertensi.
b. Rehabilitasi mental dari penderita hipertensi, sehingga penderita tidak
merasa minder dengan orang atau masyarakat yang ada di sekitarnya
karena pernah menderita penyakit hipertensi.
c. Rehabilitasi sosial bagi penderita hipertensi, sehingga tetap dapat
melakukan kegiatan di lingkungan sekitar bersama teman atau
masyarakat lainnya yang berdayaguna.

Pencegahan dan penanggulangan hipertensi seyogyanya harus dilaksanakan secara
komprehensif dan terpadu, karena berbagai wadah kerjasama lintas sektoral perlu
dikembangkan dengan berpedoman pada strategi five level of preventif ( 5
tingkatan pendekatan pencegahan dan penanggulangan ) hipertensi sebagai

berikut :

sistematika penemuan kasus dan tatalaksana penyakit Hipettensi meliputi :

Penemuan kasus dilakukan melalui pendekatan deteksi dini yaitu
melakukan kegiatan deteksi dini terhadap faktor risiko penyakit hipertensi yang
meningkat pada saat ini, dengan cara screening kasus (penderita).

Tatalaksana

pengendalian

penyakit

Hipertensi

dilakukan

dengan

pendekatan:
a.

Promosi kesehatan diharapkan dapat memelihara, meningkatkan dan
melindungi kesehatan diri serta kondisi lingkungan sosial, diintervensi
dengan kebijakan publik, serta dengan meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran masyarakat mengenai prilaku hidup sehat dalam pengendalian
hipertensi.

b.

Preventif dengan cara larangan merokok, peningkatan gizi seimbang dan
aktifitas fisik untuk mencegah timbulnya faktor risiko menjadi lebih buruk
dan menghindari terjadi Rekurensi ( kambuh ) faktor risiko.

c.

Kuratif dilakukan melalui pengobatan farmakologis dan tindakan yang
diperlukan. Kematian mendadak yang menjadi kasus utama diharapkan
berkurang dengan dilakukannya pengembangan manajemen kasus dan
penanganan

kegawatdaruratan

disemua

tingkat

pelayanan

dengan

melibatkan organisasi profesi, pengelola program dan pelaksana pelayanan
yang dibutuhkan dalam pengendalian hipertensi.
d.

Rehabilitatif dilakukan agar penderita tidak jatuh pada keadaan yang lebih
buruk dengan melakukan kontrol teratur dan fisioterapi Komplikasi
serangan hipertensi yang fatal dapat diturunkan dengan mengembangkan
manajemen rehabilitasi kasus kronis dengan melibatkan unsur organisasi
profesi, pengelola program dan pelaksana pelayanan di berbagai tingkatan.

D. Patogenesis Hipertensi
Patogenesis hipertensi essensial adalah multifaktorial. Faktor – faktor
yang terlibat dalam pathogenesis hipertensi essensial antara lain faktor
genetik, hiperaktivitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin, defek
natriuresis, natrium dan kalsium intraseluler, serta konsumsi alkohol secara
berlebihan. (Moerdowo, 1984)
Dalam patogenesis dari tekanan darah tinggi, ginjal dan pembuluh darah
arteri ke ginjal memegang peranan penting seperti telah dibuktikan dengan tes
Goldblatt yang menjepit arteri ginjal dengan klem dan dapat menimbulkan

tekanan darah tinggi pada binatang percobaan. Pada penderita dengan stenosis
arteria renalis, rangsangan dari kelainan aliran darah, dan partial ischemia ginjal
menimbulkan pengeluaran renin dan aldosterone yang sangat tinggi. Dan ini
menyebabkan timbulnya hiperaldosteronisme yang sekunder, rasa dahaga serta
polyuria yang berat, kehilangan banyak kalium, tan tekanan darah tinggi
(renovascular Hypertension). (Moerdowo, 1984)
Selain itu, faktor adrenal juga terlibat dalam sistem renin-angiotensinaldosterone dalam patogenesis hipertensi, glandula suprarenalis juga menjadi
faktor dalam patogenesis hipertensi sekunder. Ini disebabkan oleh karena adanya
kelainan hormon. Adrenal memegang peranan penting dalam patogenesis dari
hipertensi primer dan sekunder karena kelainan hormon. (Moerdowo, 1984)
Patofisiologi Hipertensi
Etiologi hipertensi masih belum jelas. Beberapa faktor diduga memegang
peranan dalam genesis hipertensi, seperti: faktor psikis, sistem syaraf, ginjal,
jantung pembuluh darah, kortikosteroid, katekolamin, angiotensin, sodium, dan
air. Hipertensi tidak disebabkan oleh satu faktor, tetapi sejumlah faktor turut
memegang peranan dan saling berkaitan dalam genesis hipertensi. (Syamsudin,
2011)

E. Faktor risiko Hipertensi
Tekanan darah merupakan hasil curah jantung dan resistensi vaskular
perifer bertambah, atau keduanya. Meskipun mekanisme yang berhubungan
dengan penyebab hipertensi melibatkan perubahan – perubahan tersebut,
hipertensi sebagai kondisi klinis biasanya diketahui bebrapa tahun setelah
kecenderungan ke arah hipertensi dimulai. Terdapat beberapa faktor yang relevan
terhadap mekanisme penyebab hipertensi, adalah sebagai berikut :
1. Genetik.
Dibandingkan orang berkulit putih, orang yang berkulit hitam di negara
barat akan lebih banyak menderita hipertensi, lebih tinggi tingkat
hipertensinya, dan lebih besar tingkat morbiditas maupun mortalitasnya,

sehingga diperkirakan ada kaitan hipertensi dengan perbedaan genetik.
Beberapa peneliti mengatakan terdapat kelainan pada gen angiotensinogen
tetapi mekanismenya mungkin bersifat poligenik. (Huon H. Gray dkk,
2005).
2. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi juga mempertinggi
risiko terkena hipertensi terutama pada hipertensi primer. Dari data
statistik terbukti bahwa sesorang akan memiliki kemungkinan lebih besar
untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya menderita hipertensi.
Hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan, jika seorang dari
oran tua kita mempunyai hioertensi maka sepanjang hidup kita
membuanyai 25% kemungkinan mendapatkannya pula. Jika kedua orang
tua kita mempunyai hipertensi, kemungkinan kita mendapatkan penyakit
hipertensi sebanyak 60%. (Hasrin Mannan, 2012).
3. Janin.
Faktor ini dapat memeberikan pengaruh karena berat lahir rendah
tampaknya merupakan predisposisi hipertensi di kemudian hari, barangkali
karena lebih sedikitnya jumlah nefron dan lebih rendahnya kemampuan
mengeluarkan natrium pada bayi dengan berat lahir rendah. (Huon H.
Gray dkk, 2005).
4. Jenis Kelamin.
Hipertensi lebih jarang ditemukan pada perempuan pra-menopause
dibanding pria, yang menunjukkan adanya pengaruh hormon. (Huon H.
Gray dkk, 2005).
5. Geografi dan Lingkungan.
Terdapat perbedaan tekanan darah yang nyata antara populasi kelompok
daerah kurang makmur dengandaerah maju, seperti bangsa Indian
Amerika Selatan yang tekanan darahnya rendah dan tidak banyak
meningkat sesuai dengan pertmabahan usia dibandingkan dengan
masyarakat Barat. (Huon H. Gray dkk, 2005).
6. Aktivitas Fisik.

Kurangnya aktivitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena
meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga
cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi
sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi.
Makin keras dan sering otot jantung harus memompa, maka makin besar
tekanan yang dibebankan pada arteri.
Tekanan darah dipengaruhi oleh aktivitas fisik. Tekanan darah akan lebih
tinggi pada saat melakukan aktivitas fisik dan lebih rendah ketika
beristirahat. Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh
dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot
membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan
jantung dan paru – paru memerlukan tambahan energi untuk
mengantarkan zat – zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk
mengeluarkan sisa – sisa dari tubuh. (Hasrin Mannan, 2012).
7. Konsumsi Kopi.
Minum kopi berbahaya bagi penderita hipertensi karena senyawa kafein
bisa menyebabkan tekanan darah meningkat tajam. Cara kerja kafein
dalam tubuh adalah dengan cara mengambil alih reseptor adinosin dalam
sel saraf yang yang akan memicu produksi hormon adrenalin dan
menyebabkan peningkatan tekanan darah, sekresi asam lambung, dan
aktivitas otot, serta perangsang hati untuk melepaskan senyawa gula dalam
aliran darah untuk menghasilkan energi ekstra. Kafein mempunyai sifat
antagonis

endogenus

adenosin,

sehingga

dapat

menyebabkan

vasokontriksi dan peningkatan resistensi pembuluh darah tepi. Namun
dosis yang digunakan dapat mempengaruhi efek peningkatan tekanan
darah. Seseorang yang biasa minum kopi dengan dosis kecil mempunyai
adaptasi yang rendah terhadap efek kafein. (Hasrin Mannan, 2012).
8. Perilaku merokok.
Nikotin dalam tembakau merupakan penyebab meningkatnya tekanan
darah segera setelah hisapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap

rokok, nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh darah amat kecil di dalam
paru-paru dan diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam beberapa detik
nikotin sudah mencapai otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan
memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin).
Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa
jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi.
Dengan mengisap sebatang rokok akan memberi pengaruh besar terhadap
naikya tekanan darah. Hal ini dikarenakan asap rokok mengandung kurang
lebih 4000 bahan kimia yang 200 diantaranya beracun dan 43 jenis lainnya
dapat menyebabkan kanker bagi tubuh. (Hasrin Mannan, 2012).
9. Natrium.
Banyak bukti yang mendukung peran natrium dalam terjadinya hipertensi,
barangkali karena ketidakmampuan mengeluarkan natrium secara efisien
baik diturunkan atau didapat. Ada yang berpendapat bahwa terdapat
hormon natriuretik (de Wardener) yang menghambat aktivitas sel pompa
natrium (ATPase natrium-kalium) dan mempunyai efek penekanan.
Berdasarkan studi populasi, seperti Studi INTERSALT (1988) diperoleh
korelasi antara asupan natrium rata – rata dengan TD, dan penurunan TD
dapat diperoleh dengan mengurangi konsumsi garam. (Huon H. Gray dkk,
2005).
10. Sistem renin – angiotensin.
Renin memicu produksi angiotensin (zat penekan) dan aldosteron (yang
memacu natrium dan terjadinya retensi air sebagai akibat). Beberapa studi
telah menunjukkan sebagian pasien hipertensi primer mempunyai kadar
renin yang meningkat, tetapi sebagian besar normal dan rendah,
disebabkan efek homeostatik dan mekanisme umpan balik karena
kelebihan beban volume dan peningkatan TD dimana keduanya
diharapkan akan menekan produksi renin. (Huon H. Gray dkk, 2005).
11. Hiperaktivitas Simpatis.

Dapat terlihat pada hipertensi umur muda. Katekolamin akan memacu
produksi

renin,

menyebabkan

kontruksi

arteriol

dan

vena

dan

meningkatkan curah jantung. (Huon H. Gray dkk, 2005).
12. Resistensi insulin atau hiperinsulinemia.
Kaitan hipertensi primer dengan resistensi insulin telah diketahui sejak
beberapa tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin merupakan zat
penekan karena meningkatkan kadar katekolamin dan reabsorpsi natrium.
(Huon H. Gray dkk, 2005).
13. Disfungsi sel endoten.
Penderita hipertensi mengalami penurunan respons vasodilatasi terhadap
nitrat oksida, dan endotel mengandung vasodilatator seperti endotelin – I,
meskipun kaitannya dengan hipertensi tidak jelas. (Huon H. Gray dkk,
2005).

F. Dampak Hipertensi
DALAM MASYARAKAT
Hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif dan kronik yang
dapat memberikan dampak secara holistik baik fisik, psikologis, sosial, ekonomi
dan spiritual sehingga akan menyebabkan dalam memenuhi kebutuhan hidup
dasarnya mengalami gangguan. Penderita hipertensi umumnya memiliki keluhan
pusing, mudah marah, sukar tidur, sesak nafas, mudah lelah dan keluhan lainnya.
Adanya kelemahan atau keterbatasan kemampuan dan keluhan lain akibat
hipertensi tersebut, sehingga penderita akan mengalami kesulitan dalam
menjalankan rutinitas pekerjaan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup
sehari-harinya secara optimal. Adanya efek samping obat dan aturan program
pengobatan juga menyebabkan penderita hipertensi mengalami kecemasan, rasa
takut ,tidak nyaman dan stres.
PADA IBU HAMIL

Hipertensi pada saat hamil akan berdampak pada ibu dan janin. Dengan
tingginya tekanan darah maka arus darah akan mengalami gangguan begitu pula
pada organ ginjal, hati, otak, rahim dan juga plasenta.Ibu hamil yang menderita
preeklampsia akan berdampak pada janin dimana nutrisi dan oksigen akan
mengalami kondisi abnormal. Hal ini disebabkan karena pembuluh darah akan
mengalami penyempitan.
Pada kondisi ibu hamil yang mengalami preeklamsia maka tumbuh
kembang janin akan terhambat sehingga menyebabkan bayi lahir dengan berat
badan yang rendah. Bahkan dapat meningkatkan risiko terjadinya kelahiran
prematur. Sedangkan pada kasus preeklamsia yang berat maka bayi harus segera
dilahirkan, kondisi ini disesuaikan dengan janin yang sudah dapat hidup diluar
rahim atau tidak. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter kandungan
untuk menyelamatkan ibu dan janin.

G. Epidemiologi Hipertensi
Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang dapat
menimbulkan berbagai komplikasi, misalnya stroke, gagal ginjal, dan hipertrofi
ventrikel kanan (Bustan MN, 2007).

Kenaikan kasus hipertensi terutama di

negara berkembang diperkirakan sekitar 80% pada tahun 2025 dari sejumlah 639
juta kasus di tahun 2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025.
Prediksi ini didasarkan pada angka penderita hipertensi saat ini dan pertambahan
penduduk saat ini. Di Indonesia banyaknya penderita hipertensi diperkirakan 15
juta orang tetapi hanya 4% yang merupakan hipertensi terkontrol. Prevalensi 615% pada orang dewasa, 50% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita
hipertensi sehingga mereka cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak
menghindari dan tidak mengetahui faktor risikonya, dan 90% merupakan
hipertensi esensial (Hasrin, 2012).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 diketahui
hampir seperempat (24,5%) penduduk Indonesia usia di atas 10 tahun
mengkonsumsi makanan asin setiaphari, satu kali atau lebih. Sementara prevalensi
hipertensi di Indonesia mencapai 31,7% dari populasi pada usia 18 tahun ke atas.

Dari jumlah itu, 60% penderita hipertensi berakhir pada stroke. Sedangkan
sisanya pada jantung, gagal ginjal, dan kebutaan (Depkes, 2007). Beberapa studi
menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai kelebihan berat badan lebih dari
20% dan hiperkolesterol mempunyai risiko yang lebih besar terkena hipertensi.
Apabila penyakit ini tidak terkontrol, akan menyerang target organ, dan dapat
menyebabkan serangan jantung, stroke, gangguan ginjal, serta kebutaan. Dari
beberapa penelitian dilaporkan bahwa penyakit hipertensi yang tidak terkontrol
dapat menyebabkan peluang 7 kali lebih besar terkena stroke, 6 kali lebih besar
terkena congestive heart failure, dan 3 kali lebih besar terkena serangan jantung.
Menurut WHO dan the International Society of Hypertension (ISH), saat ini
terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh dunia, dan 3 juta di antaranya
meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap 10 penderita tersebut tidak
mendapatkan pengobatan secara adekuat (Rahajeng, 2009)

H. Kebijakan Pengendalian dan Penanggulangan Hipertensi
Seperti yang kita ketehui hipertensi adalah peningkatan tekanan sistole,
yang tingginya tergantung pada individu yang terkena. Tekanan darah berfluktuasi
dalam batas-batas tertentu tergantung pada posisi tubuh, umur, dan tingkat stress
yang dialami. Saat ini hipertensi sangat banyak dijumpai di Indonesia terutama di
kota-kota besar,ini merupakan faktor risiko langsung terhadap timbulnya infark
miokard dan CVA. (Tambayong, 2000) Prevalensi Hipertensi atau tekanan darah
di Indonesia cukup tinggi. Selain itu, akibat yang ditimbulkannya menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Hipertensi, merupakan salah satu faktor risiko
yang paling berpengaruh terhadap kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah.
Hipertensi sering tidak menunjukkan gejala, sehingga baru disadari bila telah
menyebabkan gangguan organ seperti gangguan fungsi jantung atau stroke. Tidak
jarang hipertensi ditemukan secara tidak sengaja pada waktu pemeriksaan
kesehatan rutin atau datang dengan keluhan lain. (Kemenkes RI, 2012)
Oleh karena itu perlu adanya kebijakan pengendalian dan penanggulangan
hipertensi. Kebijakan dan strategi PPTM tergantung dari kebijakan dan strategi
masing-masing daerah termasuk penerapannya, dengan didasari sbb :

1. Mengembangkan dan memperkuat program pencegahan dan pengendalian
faktor risiko (FR) PTM.
2. Mengembangkan dan memperkuat deteksi dini FR-PTM.
3. Meningkatkan dan memperkuat manajemen, ekuitas dan kualitas peralatan
untuk deteksi dini FR-PTM.
4. Meningkatkan profesionalisme SDM dalam pencegahan dan pengendalian
FR-PTM.
5. Mengembangkan dan memperkuat system surveilans epidemiologis FRPTM.
6. Meningkatkan pemantauan program pencegahan dan pengendalian FRPTM.
7. Mengembangkan dan memperkuat pencegahan dan pengelolaan system
informasi PTM.
8. Mengembangkan dan memperkuat jaringan untuk pencegahan dan
pengendalian FR-PTM.
9. Meningkatkan advokasi dan diseminasi pencegahan dan pengendalian FRPTM.
10. Mengembangkan dan memperkuat system pendanaan pencegahan dan
pengendalian FR-PTM.
Strategi Pengendalian PTM, meliputi :
1. Memobilisasi dan memberdayakan masyarakat dalam pencegahan dan
pengendalian factor risiko PTM melalui program yang berbasis
masyarakat, seperti Posbindu PTM (Pos Pembinaan Terpadu PTM)
2. Meningkatkan akses yang berkualitas kepada masyarakat untuk deteksi
dini dan tindak lanjut dini factor risiko PTM terintegrasi.
3. Meningkatkan tatalaksana penderita PTM (kuratif-rehabilitatif) yang
efektif dan efisien.
4. Memperkuat jejaring kerja dan kemitraan PTM.
5. Mengembangkan penelitian dan pengembangan kesehatan terkait PTM.
6. Mengembangkan dan memperkuat system surveilans epidemiologi factor
risiko PTM termasuk monitoring dan system informasi. Dioptimalkan
untuk surveilans factor risiko PTM berbasis masyarakat dan registry PTM.

7. Meningkatkan dukungan dana yang efektif untuk pencegahan dan pengen
dalian PTM berdasarkan kebutuhan dan prioritas.

Kegiatan pokok pengendalian PTM, meliputi :
1. Melaksanakan review dan memperkuat aspek legal pencegahan dan
penanggulangan PTM di unit pelaksana teknis (UPT), Dinas Kesehatan
Provinsi, Kabupaten/kota dan Puskesmas.
2. Advokasi PPTM kepada pemerintah (Pusat dan Daerah) secara intensif
dan efektif denagn focus pesan “Dampak PTM (ancaman) terhadap
pertumbuhan ekonomi Negara/Pemerintah.
3. Surveilans factor risiko dan registry PTM yang mampu laksana dan
didukung regulasi memadai dan menjamin ketersediaan “evidence based”
untuk advokasi kepada penentu kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan
program PTM prioritas.
4. Promosi kesehatan dan perlindungan “population at risk” PTM yang
efektif dan didukung regulasi memadai melalui “Health in All Policy”
untuk

menjamin

pelaksanaan

secara

terintegratif

melalui

“triple

Acs´(active cities, active community and active citizens) dengan kerjasama
lintas program, kemitraan lintas sector, pemberdayaan swasta/industry dan
kelompok masyarakat madani.
5. Deteksi dan tindak lanjut dini PTM secara terintegrasi dan focus pada
factor

risikonya,

melalui

“Community

Base

Intervension

and

Development”, yang didukung oleh sistim rujukan dan regulasi memadai,
dengan kerja sama lintas profesi dan keilmuan, lintas program, kemitraan
lintas sector, pemberdayaan swasta/industry dan kelompok masyarakat
madani.
6. Tatalaksana penderita PTM (kuratif-rehabilitatif) yang efektif dan efesien,
yang didukung kecukupan obat, ketenagaan, sarana/prasarana, sistim
rujukan, jaminan pembiayaan dan regulasi memadai, untuk menjamin
akses penderita PTM dan factor risiko terhadap tatalaksana pengobatan
baik ditingkat pelayanan kesehatan primer, sekunder maupun tertier.

7. Jejaring kerja dan kemitraan PPTM yang terdiri sub jejaring survailans,
promosi kesehatan dan manajemen upaya kesehatan, baik ditingkat pusat
maupun Daerah.
8. Penelitian dan pengembangan kesehatan yang menjamin ketersediaan
informasi insiden dan prevalensi PTM dan determinannya, yang
menghasilkan

teknolagi

intervensi

kesehatan

masyarakat/pengobatan/rehabilitasi dalam bentuk “best Practice”, dan
intervensi kebijahan yang diperlukan.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan, sebagian besar
kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis. Hal ini terlihat dari hasil
pengukuran tekanan darah pada usia 18 tahun ke atas ditemukan prevalensi
hipertensi di Indonesia sebesar 31,7%, dimana hanya 7,2% penduduk yang sudah
mengetahui memiliki hipertensi dan hanya 0,4% kasus yang minum obat
hipertensi.

"Ini menunjukkan, 76% kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis atau
76% masyarakat belum mengetahui bahwa mereka menderita hipertensi", kata
Prof Tjandra Yoga.

Untuk mengelola penyakit hipertensi termasuk penyakit tidak menular
lainnya, juga membuat kebijakan yaitu:
1.

Mengembangkan dan memperkuat kegiatan deteksi dini hipertensi secara
aktif (skrining)

2.

Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan deteksi dini melalui
kegiatan Posbindu PTM

3.

Meningkatkan akses penderita terhadap pengobatan hipertensi melalui
revitalisasi Puskesmas untuk pengendalian PTM melalui Peningkatan
sumberdaya tenaga kesehatan yang profesional dan kompenten dalam upaya
pengendalian PTM khususnya tatalaksana PTM di fasilitas pelayanan
kesehatan dasar seperti Puskesmas; Peningkatan manajemen pelayanan
pengendalian PTM secara komprehensif (terutama promotif dan preventif)

dan holistik; serta Peningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana promotifpreventif, maupun sarana prasarana diagnostik dan pengobatan.

Menurut Prof. Tjandra upaya Pencegahan dan Penanggulangan hipertensi
dimulai dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dan perubahan pola hidup ke
arah yang lebih sehat. Untuk itu Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan
dasar perlu melakukan Pencegahan primer yaitu kegiatan untuk menghentikan
atau mengurangi faktor risiko Hipertensi sebelum penyakit hipertensi terjadi,
melalui promosi kesehatan seperti diet yang sehat dengan cara makan cukup
sayur-buah, rendah garam dan lemak, rajin melakukan aktifitas dan tidak
merokok.
Puskesmas juga perlu melakuka pencegahan sekunder yang lebih
ditujukan pada kegiatan deteksi dini untuk menemukan penyakit. Bila ditemukan
kasus, maka dapat dilakukan pengobatan secara dini.
Pengobatan atau penatalaksanaan hipertensi membutuhkan waktu lama,
seumur hidup dan harus terus menerus. Jika modifikasi gaya hidup tidak
menurunkan tekanan darah ke tingkat yang diinginkan, maka harus diberikan
obat, tambah Prof. Tjandra. Sarana dan prasarana untuk diagnosis dan mengobati
hipertensi, termasuk mendeteksi kemungkinan terjadi kerusakan organ target atau
komplikasi pada dasarnya sudah tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan.
Keberadaan Posbindu PTM setiap bulan dalam wadah Desa Siaga aktif di
setiap kelurahan sebenarnya sudah cukup untuk mewaspadai dan memonitor
tekanan darah dan segera ke Puskesmas/fasilitas kesehatan jika tekanan darahnya
tinggi. "Melalui Puskesmas dan Posbindu PTM, masyarakat cukup mendapat
kemudahan akses untuk mendeteksi atau monitoring tekanan darah nya. Jika
mampu membeli tensimeter sendiri untuk memonitor tekanan darah keluarga
secara rutin akan lebih baik. Namun yang paling penting adalah meningkatkan
perilaku hidup sehat", ujar Prof. Tjandra.
Keberadaan

Posbindu

PTM

di

masyarakat

lebih

tepat

untuk

mengendalikan faktor risiko Penyakit Tidak Menular (obesitas, hiperkolesterol,
hipertensi, hiperglikemi, diet tidak sehat, kurang aktifitas dan merokok). Kegiatan
deteksi dini pada Posbindu PTM dilakukan melalui monitoring faktor risiko

secara terintegrasi, rutin dan periodik. Kegiatan monitoring mencakup kegiatan
minimal yaitu hanya memantau masalah konsumsi sayur/buah dan lemak, aktifitas
fisik, indeks massa tubuh (IMT), dan tekanan darah, dan kegiatan monitoring
lengkap yaitu memantau kadar glukosa darah, dan kolesterol darah, pemeriksaan
uji fungsi paru sederhana dan IVA. Tindak lanjut dini berupa peningkatan
pengetahuan masyarakat tentang cara mencegah dan mengendalikan faktor risiko
PTM dilakukan melalui penyuluhan / dialog interaktif secara massal dan / atau
konseling faktor risiko secara terintegrasi pada individu dengan faktor risiko,
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kasus faktor risiko PTM yang ditemukan yang tidak dapat dikendalikan
melalui konseling dirujuk ke fasilitas pelayanan dasar di masyarakat (Puskesmas,
Klinik swasta, dan dokter keluarga) untuk tidak lanjut dini. (Kemenkes RI,2012)

DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.
2007. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
Bustan, M.N. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Rineka
Cipta.
Depkes R.I. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi.
Direktorat Pengendalian Penhyakit Tidak Menuar, Ditjen PPM&PL,
Jakarta, 2006
Dr. Jan Tambayong. 2000. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC
H. Gray, Huon dkk. 2005. Lecture Notes: Kardiologi Edisi Keempat. Jakarta:
Erlangga Medical Series.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Hipertensi di Indonesia. Jakarta
Kertohoesodo, S.,1979.Yang perlu diketahui umum tentang hipertensi., Yayasan
Jantung Indonesia:Jakarta
Mannan, Hasrin dkk. 2012. Jurnal: Faktor Risiko Kejadian Hipertensi di Wilayah
Kerja Puskesmas Bangkala Kabupaten Jeneponto Tahun 2012. Makassar:
Bagian

Epidemiologi

Fakultas

Kesehatan

Masyarakat

Universitas

Hasanuddin.
Moerdowo. 1984. Masalah Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi). Jakarta : Bhratara
Karya Aksara
Noor, 2000, Dasar Epidemiologi, rineka cipta, Jakarta
Priyanto.2008.Farmakoterapi dan Terminologi Medis.Jakarta:Leskonfi.Hlm 183194.
Rahajeng, Ekowati dan Sulistyowati Tuminah. (2009). Prevalensi Hipertensi dan
Determinannya di Indonesia. Artikel Penelitian Majalah Kedokteran
Indonesia, 59 (12), 580-587.
Syamsudin. 2011. Buku Ajar Farmakoterapi Kardiovaskular dan Renal. Jakarta :

Salemba Medika
Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : Penerbit buku
Kedokteran EGC
Underwood, J.C.e 1996.Patologi umum dan sistematik volume 2.Buku
Kedokteran:Jakarta
Dampak Hipertensi Saat Hamil - Bidanku.comhttp://bidanku.com/dampakhipertensi-saat-hamil
Yunita Indah Prasetyaningrum, S.Gz. 2014. Hipertensi Bukan untuk Ditakuti.
Jakarta : FMedia.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1