Nilai dan Makna Moanggo pada Orang Tolak

Nilai dan Makna Moanggo pada Orang Tolaki di Sulawesi Tenggara
Idaman
Universitas Halu Oleo, Kendari
Kampus Hijau Bumi Tridharma, Anduonou, Kendari, Sulawesi Tenggara 93132
faris.rumi.elqunawi@gmail.com
Sitti Aminah
Universitas Lakidende, Konawe
JL. Sultan Hasanuddin, No. 234, Wawotobi, Unaaha, 93461

ABSTRACT
Moanggo, an oral literature of Tolaki people are almost extinct and only played
during the traditional wedding party Tolaki. One of identity marker of Tolaki
person is loaded with messages for private life, family and society. On this basis,
this study aims to (1) Describe the meaning contained in moanggo as regional
literature on Tolaki people. (2) Describe the values contained in moanggo as
regional literature on Tolaki people.
To find the meaning value within the Moanggo, this study uses the theoretical
framework of Paul Ricœur’s hermeneutics. This research is a qualitative
descriptive study. The data source of this research are the informant and the
Anggo text. Data obtained from observation, interview and document study. The
data were then analyzed using the technical data analysis Milles and Huberman,

namely: 1) Data collection, 2) Data reduction or simplification of data, 3)
Presentation of data, and 4) inference / verification.
The results showed that the meaning of the text Anggo in oral narrative of
moanggo can not be separated from the socio-historical cultural context when it
narrated. Therefore, every text has been linked with the socio-cultural context of
Tolaki this time, which of course as a representation of the history of life of Tolaki
people in the past. The values contained in the text Anggo, are: the value of
education, moral values, cultural values and philosophical values. Moanggo as
oral literature of Tolaki people was an identity marker Tolaki people almost to
extinction due to lack of use in wedding party custom and spaces other cultural
activities. Therefore preservation of oral literature moanggo needs to be done both
by the government and Tolaki people.
Keywords: Moanggo¸Menaning, Values, Tolaki People

1

Pendahuluan
Sastra lisan adalah salah satu unsur budaya yang terdapat pada masyarakat
terpelajar dan yang belum terpelajar. Ragamnya pun sangat banyak dan tiap-tiap
ragam variasi yang sangat banyak pula. Isinya mungkin mengenai berbagai

peristiwa yang terjadi atau kebudayaan masyarakat pemilik sastra tersebut
(Finnegan dalam Tuloli, 1990:1). Dari segi bentuk, sastra lisan memperlihatkan
keteraturan-keteraturan yang berlaku pada setiap ragam sastra lisan tertentu, di
samping adanya berbagai variasi dalam penceritaan. Membicarakan sastra lisan
tidak sempurna kalau kita hanya membicarakan karya sastranya saja, tetapi kita
harus menghubugkannya dengan pencerita, penceritaan, dan pendengar atau
penontonnya. Finnegan mengatakan bahwa untuk dapat menghargai sepenuhnya
karya lisan, tidak cukup kalau hanya berdasarkan hasil analisis melalui
interpretasi kata-kata, nada, struktur stilistik, dan isinya. Gambaran tentang sastra
lisan di samping membicarakan struktur karya sastranya, hendaknya juga
membicarakan penggubah atau pencerita, variasi yang terjadi akibat audiens dan
saat penceritaan, reaksi audiens, sumbangan alat-alat musiknya, konteks sosial
tempat cerita itu (Finnegan dalam Tuloli, 1990:1).
Sastra lisan tumbuh dan berkembang di hampir semua daerah di nusantara,
termasuk di dalamnya masyarakat tolaki. Sastra lisan tolaki termasuk salah salah
satu sastra daerah yang masih ada dan tersebar di tengah-tengah masyarakat
Tolaki. Masyarakat Tolaki terbiasa dalam bertutur secara lisan pada semua aspek
kehidupannya baik dalam komunikasi sehari-hari, upacara-upacara adat, upacara
ritual, maupun pada bentuk kesenian seperti seni vokal, seni sastra maupun dalam
bentuk puisi yang pada umumnya merupakan sastra lisan. Salah satu sastra lisan

pada masyarakat Tolaki adalah Anggo.
Pada hakikatnya anggo adalah sebuah teks sastra lisan yang dilantunkan
penuturnya. Ketika melantunkan, penutur akan melihat pada situasi apa ia bertutur
maka tema yang ia angkat adalah situasi yang terjadi tersebut. Bagi seorang
penutur untuk menyanyikan sebuah anggo tidak mutlak harus menghapal dahulu
syair-syair yang akan dilantunkan, tetapi anggo yang dilantunkan mengalir sendiri
disesuaikan dengan keadaan atau situasi yang sedang dikerjakan, misalnya
misalnya pada saat membuka lahan baru (mosalei) (Rahmawati, 2007: 131).
Anggo sebagai sastra lisan hingga saat ini sudah jarang kita dengar dari
penuturnya. Hal ini disebabkan karena telah banyak media pengganti ke arah itu,
seperti semakin maraknya lagu pop, kehadiran alat media komunikasi seperti
handphone dan internet, ataupun juga banyaknya pilihan permainan yang di
kalangan masyarakat sehingga mangakibatkan keengganan untuk mempelajari
khazanah sastra daerah.
Pertimbangan mendasar yang dilakukan penulis untuk melakukan
penelitian tentang moanggo pada masyarakat tolaki adalah (1) dengan alasan
penyeragaman budaya, generasi muda semakin menjauhi untuk menelaah nilainilai yang terkandung dalam sastra lama termasuk nilai yang terkandung dalam
Moanggo (2) hingga saat ini sastra lisan belum ditetapkan dalam kurikulum
sebagai muatan lokal, (3) tidak adanya pewarisan dari generasi ke generasi baik
dilingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat Tolaki secara umum, dan


2

(4) masih kurangnya penelitian-penelitian dan publikasi ilmiah mengenai sastra
daerah.

Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian
ini adalah informan dan teks anggo. Data didapatkan dari observasi, wawancara
mendalam, dan studi dokumen. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis
menggunakan teknis analisis data Milles dan Huberman yaitu: 1) Pengumpulan
data, 2) Data reduksi atau penyederhanaan data, 3) Penyajian data, dan 4)
Penarikan kesimpulan/ verifikasi.
Kerangka Teoritis
1. Sastra Lisan
Sastra lisan adalah kata (lisan komunikasi kata dari mulut ke mulut), 1)
hasil kebubudayaan lisan dalam masyarakat tradisional yang isinya dapat
disejajarkan dengan sastra lisan tulis dalam masyarakat moderen, 2) sastra yang
diwariskan secara lisan, seperti pantun, nyanyian rakyat, dan cerita rakyat
(Zaidan, dkk, 2007: 182).

Sejalan dengan pendapat Hutomo (1991) menyatakan bahwa sastra lisan
adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan
warga suatu
kebudayaan yang diturun-temurunkan secara lisan dari mulut ke mulut. Pendapat
yang serupa dikemukakan Arifin (1990:11-12) bahwa sastra lisan adalah sastra
lama yang disampaikan secara lisan. Umumnya disampaikan dengan dendang
baik dengan musik (rekap, kecapi, dan sebagainya) maupun yang tidak.
Menurut Hutomo (1991: 3) mengatakan bahwa ciri-ciri sastra lisan adalah
(1) penyebarannya melalui mulut, maksudnya ekspresi budaya yang disebarkan,
baik dari segi waktu maupun ruang melalui mulut; (2) lahir di dalam masyarakat
yang bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum
mengenal huruf;(3) menggambarkan ciri-ciri budaya sesuatu masyarakat, sebab
sastra lisan itu merupakan warisan budaya yang menggambarkan masa lampau,
tetapi menyebut pula hal-hal baru (sesuai dengan perubahan sosial). Oleh karena
itulah, sastra lisan disebut juga sebagai fosil hidup; (4) tidak diketahui siapa
pengarangnya, dan karena itu menjadi milik masyarakat; (5) bercorak puitis,
teratur dan berulang-ulang, maksudnya untuk menguatkan ingatan dan menjaga
keaslian sastra lisan supaya tidak cepat berubah; (6) tidak mementingkan fakta
dan kebenaran, lebuh menekankan pada aspek khayalan/fantasi yang tidak
diterima oleh masyarakat modern, tetapi sastra itu mempunyai fungsi penting di

dalam masyarakat; (7) terdiri dari berbagai versi; (8) bahasa,menggunakan gaya
bahasa lisan (sehari), mengandung dialek, kadang-kadang diucapkan tidak
lengkap.

3

Vansina (dalam Hutomo, 1991:11-12) mengatakan ada tiga jenis
keterangan lisan, yakni: (1) penglahiran penyaksian, (2) tradisi lisan (secara
khusus), dan (3) kabar angin.
Endraswara (dalam Rafiek, 2010: 53) menyatakan bahwa sastra lisan
karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun
temurun. Ciri-ciri sastra lisan itu adalah (1) lahir dari masyarakat yang polos,
belum melek huruf, dan bersifat tradisional; (2) menggambarkan budaya milik
kolektif tertentu, yang tak jelas siapa penciptanya; (3) lebih menekankan aspek
khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik; (4) sering melukiskan tradisi
kolektif tertentu. Di samping itu, terdapat juga ciri-ciri lain seperti (1) sastra lisan
banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise, dan (2) sastra
lisan sering bersifat menggurui.
Dilihat dari segi penuturnya, misalnya cerita rakyat, sastra lisan itu dapat
dibagi menjadi dua jenis, yakni: (1) sastra lisan yang bernilai sastra (mengandung

su, estetik, keindahan); (2) sastra lisan yang tidak bernilai sastra. Jenis pertama
umumnya dituturkan oleh para penutur profesional, seperti misalnya tukang kaba
(Minangkabau), tukang si jobang (Minangkabau), juru pantun (Sunda), tukang
(dalang), kentrung (Jawa), jemblung (Jawa), penglipur lara (Melayu), dan lainlain. Jenis kedua, dituturkan oleh orang-orang biasa yang kebetulan dapat
menceritakan sesuatu (Hutomo, 1991: 4).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas sudah jelas atas pandangan dan
batasan yang dikemukakan sehingga dapat disimpulkan bahwa sastra dalah salah
satu ragam sastra daerah yang dituturkan dari mulut ke mulut secara turuntemurun baik dengan menggunakan alat musik sebagai pengiringnya maupun
yang tidak menggunakannya.
2. Nilai-Nilai Dalam Sastra
Dengan membaca karya sastra, kita akan memperoleh sesuatu yang dapat
memperkaya wawasan dan/atau meningkatkan harkat hidup.Dengan kata lain,
dalam karya sastra ada sesuatu yag bermanfaat bagi kehidupan. Karya sastra yang
baik senantiasa mengandung nilai (value). Nilai iti dikemas dalam wujud struktur
karya sastra , yang secara inplisit terdapat dalan alur, latar, tokoh, tema dan
amanat atau di dalam larik, kuplet, rima, dan irama. Nilai yang terkandung dalam
karya sastra itu, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Nilai hedonik (hedonic value), yaitu nilai yang dapat memberikan
kesenangan secara langsung kepada pembaca;
2. Nilai artistik (artistic value), yaitu nilai yang dapat memanifestasikan

suatu seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan;
3. Nilai kultural (cultural value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau
mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat,
peradaban, atau kebudayaan;
4. Nilai etis, moral, agama (ethical, moral, religious value), yaitu nilai yang
dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan
dengan etika, moral, atau agama;

4

5. Nilai praktis (practical value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal
praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari (Semi,
1993: 10).
Nilai yang terkandung dalam karya sastra adalah hal-hal yang berupa nilai
yang bisa dijadikan acuan perilaku kehidupan sehari-hari yang terdapat di dalam
karya sastra:
a. Nilai sosial : kaitannya dengan huubungan antar manusia.
b. Nilai psikologis : kaitannya dengan kejiwaan/psikologis manusia.
c. Nilai religius (keagamaan) : kaitannya dengan hal-hal keagamaan.
d. Nilai filosofis : kaitannya dengan filsafat dalam kehidupan manusia.

e. Nilai historia (kesejarahan) : kaitannya dengan peristiwa-peristiwa
sejarah.
f. Nilai moral (etika) : kaitannya dengan moral prilaku manusia.
g. Nilai pendidikan (edukatif) : kaitannya dengan permasalahanpermasalahan pendidikan manusia.
h. Nilai hukum : kaitannya dengan permasalahan hukum.
i. Nilai budaya : kaitannya dengan budaya/kebiasaan/tradisi yang
berlangsung didalam masyarakat.
j. Nilai ekonomi : kaitannya dengan perdagangan, status
ekonomi/permasalahan-permasalahan ekonomi masyarakat.
k. Nilai perjuangan : kaitannya dengan hal-hal perjuangan manusia
(Suseno, 1998: 21).
3. Klasifikasi Nilai
Dalam teori nilai yang digagas Spranger dalam Allport (1964)
menjelaskan terdapat enam orintasi nilai yang sering dijadikan rujukan oleh
manusia dalam kehidupannya. Dalam pemunculannya, enam nilai tersebut
cenderung menampilkan sosok yang khas terhadap pribadi seseorang. Keenam
nilai tersebut adalah sebagai berikut (Sofyan Sauri dan Herlan, 2010: 6) :1).nilai
teori, 2) nilai ekonomis, 3) nilai estetika, 4) nilai sosial, 5) nilai politik, 6) nilai
agama.
Menurut Max Scheller dalam Kaelan menyebutkan hirarki nilai tersebut

terdiri atas (Sofyan dan Herlan, 2010: 9) :
1. Nilai kenikmatan, yaitu nilai yang mengenakan dan nilai yang tidak
mengenakan, berkaitan dengan indra manusia yang menyebabkan manusia
senang atau menderita.
2. Nilai kehidupan, yaitu nilaiyang penting bagi kehidupan.
3. Nilai kejiwaan, yaitu nilai yang tidak tergantung pada keadaan jasmani
maupun lingkungan.
4. Nilai kerohanian, yaitu moralitas nilai dari yang suci dan tidak suci.
4. Teori Hermeneutika
Secara etimologis, hermeneutika diambilkan dari akar kata Yunani
ερμηνευειν (hermeneuein) yang artinya menafsirkan, dan ερμηνεια (hermeneia)
sebagai derivasinya yang berarti penafsiran (Palmer, 1969: 13). Secara
terminologis, kata latin hermeneutica sendiri diperkenalkan pada abad ke-17 oleh
seorang teolog asal Straußburg, Jerman, bernama Johann Konrad Dannhauer

5

(1603-1666), dan telah tumbuh menjadi berbagai aliran yang berbeda-beda
(Bowie, 1998: viii), termasuk di dalamnya adalah bidang-bidang teologis, yuridis,
dan filosofis.

Dalam perkembangannya, hermeneutika seringkali disebut sebagai praktek
aletheia (αληθεια), kata Yunani untuk menunjuk “peristiwa persembunyian dan
penyingkapan” (Caputo, 1987: 115). Aletheia terjadi ketika sesuatu yang dulunya
pernah tertutup kini menjadi terbuka, dan selanjutnya membiarkan orang lain
untuk melongok pada gugusan yang tergolek di baliknya. Tegasnya, aletheia
adalah penggamblangan tentang berbagai hal yang ada di balik misteri, semacam
“proses berkelanjutan…melalui mana berbagai hal akan tersembul dari
persembunyian dengan adanya penyingkapan” (Caputo, 1987: 177).
Hermeneutika lantas dipandang sebagai penelisikan reflektif berkenan
dengan ‘keseluruhan pemahaman kita tentang dunia ini…hingga semua ragam
bentuk yang didalamnya pemahaman ini memanifestasikan dirinya sendiri”
(Gadamer, 1976: 18). Dengan pemahaman ini, maka tugas hermeneutika adalah
menyelinap di dalam dunia kontekstualitas kata, menelisik kesana kemari pada
“apa yang dikatakan, apa yang diungkapkan, tetapi pada saat yang sama juga
menyoroti apa yang didiamkan (Gadamer, 1975: x).
Petualangan kepada jaring-jaring “apa yang tak terkatakan” akan
melibatkan sederet dimensi spekulasi dalam pusaran bahasa. Ini juga menyimpan
sejenis keyakinan bahwa pencerminan makna atau apa yang terkatakan selalu
memiliki keterkaitan dengan apa yang tak terkatakan. Sebuah teks tak bisa
dipahami dalam konteks ruang kosong dan otonom. Karena itu, bagi Gadamer
(1975: 370), kita bisa memahami sebuah teks hanya jika kita telah memahami
alasan mengapanya.
Hermeneutika sendiri dapat didefinisikan sebagai “the art and science of
interpreting especially authoritative writings; mainly in application to sacred
scripture, and equivalent to exegesis”. (seni dan ilmu menafsirkan khususnya
tulisan-tulisan otoritatif; utamanya berkenaan dengan kitab suci, dan sama
sebanding dengan tafsir) (Leidecker, 1976: 126). Definisi lain mengungkapkan
bahwa hermenutika merupakan sekumpulan kaidah dan pola yang mesti diikuti
oleh seorang penafsir dalam memahami teks keagamaan (Abu Zayd, 1994: 13;
Bertens, 1981: 255).
Tujuan akhir dari pendekatan hermeneutik adalah kemampuan memahami
penulis atau pengarang melebihi pemahaman terhadap diri kita sendiri. Seorang
sejarawan yang menuliskan segala peristiwa sejarah, tidak jauh dari zaman di
mana ia hidup, tidak akan mempunyai pandangan yang lebih jernih jika
dibandingkan dengan sejarawan yang hidup sekian abad sesudahnya. Namun
pandangan semacam ini dapat juga dianggap keliru. Sejauh prasangka dan
keikutsertaan penulis yang bersifat subjektif dijauhkan, maka ia dapat melihat
segala peristiwa dalam kebenarannya yang objektif atau sebagaimana mestinya
terjadi. Dalam pendekatan hermeneutik, seseorang menempatkan dirinya dalam
konteks ruang dan waktu, maka visinya juga mengalami berbagai macam
perubahan. Ia menggunakan apa saja yang mungkin untuk ditafsirkan. Ini berbeda
dengan metode ilmiah yang lebih mementingkan fenomena. (Sumaryono, 1999:
63-64).

6

Dalam penelitian ini, pembacaan hermeneutik, selain heuristik, merupakan
metode pembacaan model semiotik (Riffaterre dalam Nurgiyantoro, 2007: 32-34).
Hubungan antara heuristik dengan hermeneutik dapat dipandang sebagai
hubungan yang bersifat gradasi, sebab kegiatan pembacaan dan atau kerja
hermeneutik haruslah didahului oleh pembacaan heuristik. Kerja hermeneutik
yang oleh Riffatere disebut juga pembacaan retroaktif, memerlukan pembacaan
berkali-kali dan kritis (Nurgiyantoro, 2007: 33).
Nurgiyantoro (2007: 33) menyatakan kerja heuristik menghasilkan
pemahaman makna secara harfiah, makna tersurat, actual meaning. Namun,
dalam banyak kasus karya sastra, makna yang sebenarnya ingin disampaikan oleh
pengarang justru diungkapkan hanya secara tersirat, dan inilah yang disebut juga
sebagai makna intensional, intentional meaning. Untuk itu, kerja penafsiran karya
sastra haruslah sampai pada kerja hermeneutik, yaitu berupa pemahaman karya
pada tataran semiotik tingkat kedua. Artinya, berdasarkan makna dari hasil kerja
heuristik di atas, dicobatafsirkan makna tersiratnya, signifikansinya. Jika pada
tataran kerja heuristik dibutuhkan pengetahuan tentang kode-kode yang lain,
khususnya kode sastra dan kode budaya.
Pembahasan
Karya Sastra Orang Tolaki
Dalam masyarakat suku Tolaki dikenal pula ragam sastra. Secara umum
ragam sastra suku Tolaki terdiri atas dua jenis, yaitu sastra yang berbentuk prosa
dan ragam sastra yang berbentuk puisi. Seni sastra yang berbentuk prosa (naratif),
dalam masyarakat suku Tolaki sebagai berikut:
a. o nango (dongeng) bagi orang Tolaki diartikan sebagai cerita yang
menggambarkan asal mula kejadian unsur alam, juga menggambarkan sifat dan
tingkah laku binatang yang baik dan buruk, sifat-sifat ini sering dicontohkan
oleh manusia, misalnya dongeng Kolopua ronga O hada (kura-kura dan kera).
b. tula-tula (kisah) adalah cerita yang menggambarkan liku-liku kehidupan tokoh
masyarakat, misalnya kisah Oheo dan Onggabo.
c. kukua (silsilah) adalah cerita yang menggambarkan suatu kerajaan atau namanama raja, contohnya cerita Langgai Saranani.
d. pe’oliwi (pesan-pesan) adalah cerita yang berisi mengenai ajaran moral,
nasehat, dan petuah dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, contohnya,
Iamo iehe mondoiehe ine suere ndoono (jangan suka berbuat semena-mena
kepada orang lain), iamo uteroraroramba (hendaknya jangan engkau
merampas milik orang lain), piarai raimu, pombeotooriamino ariamu (pelihara
sikap dan tindakanmu pertanda engkau berasal dari bangsa yang beradab).
Selanjutnya, seni sastra berbentuk puisi yang berkembang di lingkungan
sosial suku Tolaki, meliputi:
a. taenango (epos kepahlawanan) adalah syair yang didendangkan yang
melukiskan kisah kepahlawanan. Orang Tolaki mengenal beberapa kisah
taenango, seperti kisah Tebaununggu (kisah peristiwa penyebaran agama Islam
dari Aceh ke Indonesia Timur) dan kisah I Sara (kisah perang total di darat, di

7

b.

c.

d.

e.

f.

laut, dan di udara dalam usaha memberantas segala kejahatan yang melanda
orang-orang Tolaki).
huhu adalah syair yang didendangkan untuk menidurkan anak yang sifatnya
hiburan. Contoh: peturu ule-ulenggu, mbarai masusa, lia masukaraa/ torondo
masusa taehe sanaa/pehawaaku ombu au pokomondotuikona/au poko ari-ario
koona tihono ananggu deela bulelenggu/ hulelenggu mohewu bara taakadu/
keeno laanggi pokawasa tuara/ teora masagena hende ine walinggu/ keno ine
banggonanggu /aku sukuru rongga tarimakasi. Makna dari nyayian tersebut
adalah menggambarkan tentang kehidupan orang tua yang serba sulit, dan
berharap tidak dipersulit lagi hidupnya dengan tangisan/kesedihan seorang
anak.
o anggo adalah syair yang didendangkan yang menggambarkan rasa kagum
terhadap seorang pemimpin. O anggo terdiri atas beberapa jenis dan setiap
jenisnya disesuaikan dengan suasana, tempat, dan hanya boleh dinyanyikan
pada waktu-waktu tertentu. Jenis O anggo yang di kenal dalam masyarakat
Tolaki, meliputi; anggo meteia (syair penjaga), anggo mosawa-sawa (syair
menghibur), anggo mondau (syair berladang), anggo mombeperiri (syair
kasihan-mengasihani), dan anggo ndula-tula (syair silsilah). Contoh Oanggo
yang diambil dari salah satu jenis Oanggo di atas, Ho tia motia toono meohai
(wahai Saudara kami), Leu ari mondae binda irorawua (yang datang dari
jauh), Leu nggomoleleu timba nggomoretei (datang untuk menjenguk),
Moretei metia mondulu meohai (menjenguk keluarga), Tabea nggomasima
limba moko dunggui (kami memohon izin), Onggo leu wawei limba
mokodunggui (untuk mempersembahkan), sala rerekomami mokoehe-ehe
mami (pertanda kegembiraan kami), dan seterusnya.
kinoho atau lolama adalah pantun yang sering disampaikan dalam berbagai
kesempatan. Kinoho menggambarkan pujian, cemoohan, dan sindiran yang
ditujukan kepada seseorang lawan jenis di kalangan muda mudi maupun
dikalangan orang-orang tua. Kinoho atau lolama terdiri atas beberapa jenis,
meliputi: kinoho mbesadalo (kinoho anak muda), kinoho agama, kinoho sara
(adat), dan kinoho singgu (menyinggung atau menyindir). Contoh, kinoho sara
(adat) koro bite batako (tidak usah ragu-ragu), inea bata-bata (dan tidak usah
bimbang), kumokea matako (aku telah tetapkan), matakulanggi tetaku-taku
(dan takut akan ingkar janji).
o doa (mantera) adalah ucapan yang diucapkan oleh orang-orang Tolaki yang
memiliki kemampuan magic. O doa menggambarkan pujian, pujaan, harapan,
dan permintaan kepada makhlus halus, dewa-dewa, baik sebagai syukuran
maupun tolak bala. O doa (mantra) terdiri atas beberapa jenis, yakni mantra
mesosombakai, mantra o manu, mantra ni’isi, mantra o pali, mantra nabi baka,
dan mantra oloti. Contohnya, inggo o manu uleno i Landundusera (Anda ayam
kecil turunan Landundusera), sosorono i Landundusera sosorono mami pake’i
(hubungan Landundusera, hubungan kami adalah memakaimu), dan
seterusnya.
singguru (teka-teki) adalah kalimat yang diucapkan dan disampaikan dengan
menguji kecerdasan seseorang dalam bentuk pertanyaan tebakan. Singguru
(teka-teki) sering pula diartikan sebagai permainan kata-kata yang biasa

8

disampaikan di pagi hari atau sore hari pada saat panen padi berlangsung.
Singguru (teka-teki) dilakukan secara bersama-sama, saling membalas satu
dengan yang lainnya. Contohnya, mbetala oki nosorodadu, mobotuki oki no
panaapi (berbaris bukan tentara, berbunyi bukan senjata) jawabnya ogandu
(jagung), ingoni upahoe, ingoni nolumele (begitu ditanam, langsung merambat)
jawabnya o’eme (air kencing/seni), u’indii morini, ukai mokula (dipegang
rasanya dingin, dimakan rasanya panas) jawabnya osaha (cabe), dan lain-lain.
g. bitara ndolea (perumpamaan) adalah kata-kata yang bersifat ungkapan dan
sifatnya berpola. Biasanya disampaikan dalam berbagai upacara yang sifatnya
sakral. Bitara ndolea (perumpamaan) biasanya mengandung makna tertentu
dan berisi mengenai falsafah sosial kemasyarakatan. Contohnya, satabuluno
teboto patudu meduhu une-une, labirai mate menggokoro ano amba monduka
bunggu (apabila kehendak dan cita-cita telah bulat, lebih baik mati daripada
melangkah surut), topelimba todagaii karendo, topetulura todagaii pondundo
(berjalan pelihara kaki, berkata pelihara mulut). (Rusland, 2011; Yasmud,
2011:21).
Nilai dalam Sastra Lisan Anggo
Sebagai bagian dari kebudayaan, sastra lisan Tolaki (Moanggo) merupakan
bentuk pernyataan kebidupan masyarakat di masa kampau yang diwariskan secara
turun temurun kepada masyarakat pendukung secara lisan. Berkaitan dengan hal
ini, Teeuw (1994: 22) mengemukakan, bahwa ada hubungan langsung antara
kelisanan dalam kebudayaan tradisional dengan rasa kolektivitasnya yang kuat, di
mana anggota-anggota masyarakat bersama-sama mempunyai informasi yang
relevan untuk keberlangsungan hidupnya, baik secara individu maupun sebagai
masyarakat seluruhnya. Dalam masyarakat semacam ini, pencerita lisan
mempunyai peran yang sangat penting, sebab dalam cerita yang dia pentaskan
atau disampaikan tersimpan informasi dan sistem nilai yang langsung relevan
untuk masyarakat yang bersangkutan.
Menurut Berry (1999: 103), nilai tampak sebagai ciri indvidu dan
masyarakat yang relatif lebih stabil dan karena itu berkaitan dengan sifat
kepribadian dan pencirian budaya. Serentang lurus dengan hal ini, Bascom (dalam
Danandjaya, 1991: 19) mengemukakan fungsi sastra lisan adalah : (a) sebagai
sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin angan-angan
suatu kolektif; (b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga
kebudayaan; (c) sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device) dan (d)
sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu
dipatuhi anggota kolektifnya. Dengan demikian, sastra lisan mempunyai fungsi
penting dalam kehidupan sebab dapat mencerminkan kehidupan masyarakat dan
untuk menanamkan rasa cinta terhada kebudayaan sendiri.
Sementara itu, Spranger (1928) menyamakan nilai dengan perhatian hidup
yang erat kaitannya dengan kebudayaan karena kebudayaan dipandang sebagai
system nilai, kebudayaan merupakan kumpulan nilai yang tersusun menurut
struktur nilai tertentu. Nilai hidup adalah salah satu penentu kepribadian karena
merupakan sesuatu yang menjadi tujuan atau cita-cita yang berusaha diwujudkan,
dihayati, dan didukung individu. Atas dasar ini menurut Spranger, corak sikap

9

hidup seseorang ditentukan oleh nilai hidup yang dominan, yaitu nilai hidup yang
dianggap individu sebagai nilai tertinggi atau nilai hidup yang paling bernilai.
Dalam konteks Moanggo, dapat diidentifikasi sejumlah nilai yang
terkandung di dalamnya, antara lain nilai pendidikan, khususnya menyangkut
pendidikan keluarga, nilai moral, nilai budaya dan nilai filosofis atau yang
menyangkut pandangan hidup orang Tolaki.
a. Nilai Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha manusia untuk membina kepribadiannya
sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Nilai merupakan
pedoman umum yang digunakan dalam memilih antara berbagai kemungkinan
pilihan. Nilai digunakan untuk menentukan tujuan tindakan atau usaha dan baik
tidaknya sesuatu. Menurut Bertens (1996:149) nilai adalah sesuatu yang diiakan
atau diaminkan. Nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia
sebagai acuan tingkah laku.
Nilai pendidikan dalam karya sastra, khususnya sastra lisan, digali
berdasar aspek karya sastra itu sendiri. Nilai-nilai pendidikan adalah suatu usaha
orang/sekelompok orang melalui pengajaran dan latihan untuk mengubah prilaku
dan sikapnya ke arah kedewasaan untuk memperoleh keseimbangan antara
hubungan akal dan perasaan sehingga terwujud keseimbangan berinteraksi dalam
masyarakat. Dalam sebuah berbagai sastra lisan yang berkembang di tanah air,
banyak mengandung nilai-nilai pendidikan, seperti pendidikan budi pekerti.
Masalah pendidikan budi pekerti adalah suatu masalah yang sering dibicarakan
oleh banyak orang. Budi pekerti atau akhlak adalah satu-satunya aspek yang
fondamentil dalam kehidupan, baik dalam kehidupan individu ataupun
masyarakat. Orang yang tahu akan hal-hal yang baik dan tidak baik belum tentu
berbuat sesuai dengan yang baik (Ahmadi dan Uhbiyati, 2007: 16).
Pendidikan budi pekerti bertujuan untuk mendidik anak agar dapat
membedakan yang baik dan buruk, sifat terpuji dan tercela. Budi pekerti
mengidentifikasikan prilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam
perbuatan, perkataan, sikap, perasaan dan kepribadian seseorang.
Dalam teks Anggo pada orang Tolaki, khususnya yang biasa disampaikan
pada saat pesta pernikahan memiliki kandungan nilai pendidikan, khususnya
pendidikan keluarga bagi pasangan pengantin yang akan mengarungi bahtera
rumah tangga. kutipan berikut memberikan petunjuk bagaimana menjalani
keidupan rumah tangga dalam masyarakat Tolaki.
Tano ina inau tano ene enepo
Ano sinukahako noninaa me’ita
Tahoringgu pelonggo dunggu nggo momberahi
Momberahi nggo mbule masima nggo mowahe
Laa’i pongoninggu inoorimaminggu
Keno onggo tewali laa peruku’ano
Owose’i unenggu wangga’i penaonggu
Aki pedulu nggare meronga ronga mbule
Watukee walino mo’ia taroano
Iyamo bata bata ruo ruo mbenao

10

Akiki umindo’i dunggu mahe mahe’i
Artinya:
Sebelum mohon diri berpamitan untuk kembali
Menuruni sanak tangga dan mengayunkan langkah
Untuk kembali ke tempat kediaman
Suatu permohonan ingin diajukan
Semoga mendapat sambutan dan perkenan
Kepada pihak tuan rumah
Khususnya kepada pihak orang tua mempelai
Terhadap mempelai wanita kami
Kami sungguh berbesar hati
Untuk memboyong bersama kembali
Ke rumah mempelai lelaki suaminya
Kutipan tersebut merupakan teks anggo yang dibawakan oleh tolea.
Kutipan tersebut berisi pesan-pesan pendidikan keluarga kepada orang tua
mempelai untuk tidak sekedar menganggap mempelai wanita sebagai menantu
semata, tetapi juga sebagai anak kandung, bagian dari keluarga besar mempelai
pria.
Dalam sistem perkawinan orang Tolaki, dikenal istilah merapu. Secara
harfiah, kata merapu merupakan penggabungan atas dua kata yakni me- yang
merupakan kata kerja memiliki arti membuat atau melalukan, dan kata rapu yang
berarti rumpun. Jika kedua kata tersebut di atas digabungkan maka merapu
bermakna sebagai membuat atau menyatukan rumpun (Koodoh dkk, 2011: 43).
Menurut Koodoh dkk (2011: 44), kata merapu bagi Orang Tolaki, pada
akhirnya bermakna sebagai membuat rumpun yang baru. Jika ditelusuri lebih
jauh, maka makna merapu bagi orang Tolaki adalah memperluas rumpun keluarga
(momboko mberapu), mendekatkan kembali hubungan pertalian keluarga atau
darah (momboko merambi peohai’a) dan terutama penyatuan dua rumpun
keluarga yang akan membentuk keluarga luas (extended family) dalam arti bahwa
keluarga laki-laki dan keluarga perempuan telah disatukan melalui perkawinan.
Dalam konsep yang sama, Tarimana (1993: 142) memaknai istlah Merapu sebagai
merumpun, keadaan ikatan suami-istri, anak-anak, mertua-menantu, paman-bibi,
ipar kemenakan, sepupu, kakek-nenek, dan cucu, yang merupakan suatu pohon
yang rimbun dan rindang. Dengan istilah ini dimaksudkan bahwa seseorang yang
kawin itu telah bersatu dalam ikatan erat dengan semua anggota kerabat, baik dari
pihak istri maupun dari pihak suami, dan ia diharapkan akan melahirkan banyak
keturunan yang akan semakin memperbesar rumpun itu laksana rimbunnya suatu
pohon. Ikatan rumpun itu disebut Asombue (satu ikatan keluarg asal dari satu
nenek moyang) yang merupakan pohon keluarga.
Selain istilah merapu, menurut Tarimana (1993: 142) orang Tolaki juga
memakai istilah medulu yang berarti berkumpul, bersatu; dan Mesanggina yang
berarti makan bersama dalam satu piring. Dalam pandangan peneliti, konsekuensi
dari penggunaan istilah ini adalah dalam bentuk bersatunya jiwa atau hati kedua

11

suami-istri (aso mbenao) dan siap mengarungi bahtera rumah tangga, siap
menghadapi kemelut dan gelombang mahligai rumah tangga. Dengan demikian
perkawinan (perapu’a) bukan sekedar penyatuan jasmani dan rohani pasangan
suami-istri, tetapi juga bahkan penyatuan dua rumpun keluarga besar.
Itulah sebabnya, sebagai bentuk pengejawantahan istilah merapu,
mesanggina dan medulu, seringkali tokoh-tokoh adat dan pemberi wejangan atau
nasehat perkawinan biasa memberikan nasehat bahwa kedua mempelai yang
melakukan pernikahan telah menambah dua orang tua baru dan semakin banyak
keluarganya, baik saudara, sepupu dan seterusnya. Atas dasar ini, maka teks
Anggo di atas merupakan bentuk pemberian peringatan dan nasehat, dengan
berpijak kepada istilah merapu, kepada kedua mempelai yang melakukan
perkawinan untuk membentuk sebuah keluarga dengan berpijak kepada nasehatnasehat dan filosofi perapu’a dalam masyarakat Tolaki.
Nilai pendidikan keluarga sangat nyata dalam teks “Owose’i unenggu
wangga’i penaonggu, Aki pedulu nggare meronga ronga mbule, Watukee walino
mo’ia taroano, Iyamo bata bata ruo ruo mbenao, Akiki umindo’i dunggu mahe
mahe’i. Dalam petikan teks anggo ini, nampak bahwa sebelum meninggalkan
pesta pernikahan, pihak keluarga laki-laki melalui moanggo yang dilagukan oleh
Tolea terlebih dahulu memohon izin untuk memboyong sang istri atau mempelai
kelak untuk berkunjung ke rumah mempelai laki-laki. Ini artinya bahwa meski
mempelai perempuan sudah resmi menjadi istri mempelai laki-laki, tetapi pihak
keluarga laki-laki masih memperhatikan etika sosial, menyangkut hubungan
kekeluargaan orang Tolaki, melalui permohonan izin untuk kelak memmboyong
sang istri ke rumah mempelai laki-laki.
Dalam teks anggo yang lain, nilai pendidikan keluarga juga tampak
sebagaimana dalam kutipan berikut:
Kei laa moia mowawo rumah tangga
Iyamo penoho noho peopurihi une
Noulaa tomba’i auto’orikee
Noki toro maranu deela marasai
Asokaa dadio toono meohai
Mokapa’i metia toono meohai
Keemoloro lausa mosala iwoimu
Keilaa mowawo rumah tangga
Iyamo ehe mouba penao baratando
Iyamo motudi tudi modiku diku nggae
Iyamo umonge nge umokeba nggebai
Keeterengga orapu nggo teposinggalako
Mano ruuru o’ana tebanggona wulele
Artinya:
Dalam mengarungi hidup ke depan
Semoga tiada penyesalan yang menghalang
Karena sejak awal sudah dimaklumi
Keluarga kami orang tak punya
Hanya saudara kerabat milik kami

12

Bersaudara milik kami
Jika berhimpun tak ada celah peluang anak tangga licin
Persiapan dapur tak tercukupkan
Dalam mengarungi bahtera rumah tangga
Jangan seringkali cemburu buta
Jangan berat tangan melakukan pekerjaan
Jangan cengeng dan menghindarkan tegur sapa
Perceraian mengancam dan berpisah rumah
Walau anak jumlahnya banyak
Teks tersebut merupakan nasehat dan pesan kepada kedua mempelai yang
melakukan pernikahan untuk memantapkan hati dalam mengarungi bahtera rumah
tangga. dalam teks Anggo, dikemukakan Kei laa moia mowawo rumah tangga,
Iyamo penoho noho peopurihi une, Noulaa tomba’i auto’orikee, Noki toro
maranu deela marasai. Hal ini berarti pesan kepada kedua mempelai untuk tidak
larut dalam penyesalan dalam menjalani kehidupan rumah tangga ketika
menghadapi masalah atau percekcokan. Dengan kata lain, sebelum pernikahan,
diharapkan kepada kedua mempelai pria dan wanita telah memiliki kesiapan
jasmani dan rohani sehingga sanggup menghadapi badai dalam kehidupan rumah
tangga. di samping itu, teks anggo tersebut memberi pesan dan nasehat kepada
kedua mempelai untuk memaklumi keadaan keluarga baik dari pihak perempuan
maupun laki-laki, utamanya menyangkut keadaan ekonomi sehingga tidak
menimbulkan penyesalan atau sesal di kemudian hari. Dengan cara ini,
diharapkan pasangan suami-istri baru ini dapat memaklumi dan menerima apa
adanya kondisi keluarga mertua masing-masing.
Dalam teks Anggo berikutnya, yakni Asokaa dadio toono meohai,
Mokapa’i metia toono meohai, Keemoloro lausa mosala iwoimu, memberikan
pesan mengenai pentingnya menjaga hubungan kekeluargaan atau kekerabatan,
baik dengan kaluarga dekat maupun keluarga jauh. Hal ini penting dilakukan
untuk menjaga kestabilan ekonomi dan keharmonisan keluarga. Rezeki akan
mudah didapatkan jika mempererat hubungan kekeluargaan atau kekerabatan.
Dalam pendidikan keluarga orang Tolaki, senantiasa ada pesan, bahwa jika ingin
memperpanjang usia dan membuka pintu-intu rezeki, maka perkuatlah hubungan
kekerabatan atau kekeluargaan.
b. Nilai Moral
Moral dari segi etimologis berasal dari bahasa latin yaitu “Mores” yang
berasal dari suku kata “Mos”. Mores berarti adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak,
akhlak yang kemudian artinya berkembang menjadi kebiasaan dalam bertingkah
laku yang baik (Darmadi, 2009:50). Sejalan dengan pendapat Darmadi tentang
moral, Kaelan (2008:93) berpendapat moral merupakan ajaran-ajaran ataupun
patokan-patokan, kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang
bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.
Jadi, dapat disimpulkan moral adalah suatu aturan baik tulisan maupun lisan yang
menjadikan manusia harus hidup dan bertindak baik.

13

Karya sastra adalah sebuah struktur tanda yang bermakna. Di samping itu,
karya sastra adalah karya yang ditulis oleh pengarang. Pengarang tidak terlepas
dari sejarah sastra dan latar belakang sosial budayanya. Semuanya itu tercermin
dalam karya sastranya. Akan tetapi, karya sastra juga tidak akan mempunyai
makna tanpa ada pembaca yang memberikan makna kepadanya. Oleh karena itu,
seluruh situasi yang berhubungan dengan karya sastra itu haruslah diperhatikan
dalam konkretisasi atau pemaknaan karya sastra (Pradopo, 2010:108).
Karya sastra merupakan salah satu cerminan nilai-nilai budaya dan tidak
terlepas dari sosial budaya serta kehidupan masyarakat yang digambarkannya.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar
terdiri atas kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup
hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa
yang terjadi dalam batin seseorang (Noor, 2011:27). Dapat disimpulkan karya
sastra adalah tulisan hasil imajinasi pengarang yang mengandung makna dan
merupakan cerminan nilai-nilai bermasyarakat dalam memberikan gambaran
suatu kehidupan.
Karya sastra yang baik di samping memiliki nilai estetis yang indah juga
memiliki makna akan suatu pesan kepada pembaca untuk berbuat baik. Dalam
karya sastra jelas dikatakan pesan kepada pembaca untuk berbuat baik. Kata
tersebut secara langsung menyinggung nilai-nilai baik buruk atau etika. Jadi pesan
tersebut dinamakan moral, karena pesan tersebut mengajak pembaca untuk
menjunjung tinggi norma-norma moral. Oleh karena itu, sastra dianggap sebagai
sarana pendidikan moral karena sastra merupakan cerminan dari kehidupan
masyarakat.
Noor (2011:64) berpendapat moral dalam sastra biasanya mencerminkan
pandangan hidup pengarang yang bersangkutan. Pandangannya tentang nilai-nilai
kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Sebuah karya
sastra ditulis oleh pengarang, antara lain untuk menawarkan model kehidupan
yang diidealkannya. Karya sastra mengandung penerapan moral dalam sikap dan
tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangan tentang moral. Melalui cerita,
sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil
hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan atau diamanatkan.
Moral dalam sastra itu sangat berkaitan, bagaimana nilai-nilai yang
terdapat dalam karya sastra dapat dipahami dan dimaknai pembaca setelah
membaca karya sastra. Karya sastra mengandung penerapan moral melalui
tindakan yang dilakukan oleh tokoh. Jadi dapat disimpulkan moral dalam sastra
adalah suatu nilai-nilai, pesan, sikap, tindakan, dan perilaku yang disampaikan
pengarang terhadap pembaca.
Moanggo sebagai sebuah karya sastra lisan orang Tolaki merupakan
ekspresi nilai-nilai budaya, khususnya moralitas orang Tolaki, yang seringkali
menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan, baik sebagai individu, keluarga
maupun sebagai anggota masyarakat. Dalam teks anggo dapat diketemukan
pesan-pesan atau nilai-nilai moral yang baik untuk kehidupan keluarga atau
kekerabatan.
Dalam teks anggo, kata ‘iyamo’ merupakan bentuk larangan untuk tidak
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan moralitas dan nilai-nilai budaya

14

yang dianut orang Tolaki. Misalnya, dalam teks Iyamo penoho noho peopurihi
une, Iyamo ehe mouba penao baratando, Iyamo motudi tudi modiku diku nggae,
Iyamo umonge nge umokeba nggebai, Iyamo bata bata ruo ruo mbenao. Moralitas
orang Tolaki yang terungkap dalam beberapa petikan teks anggo tersebut
merupakan ekspresi budaya yang sudah tertanam kuat dalam kehidupan orang
Tolaki. Selain itu, petikan anggo tersebut merepresentasikan nilai-nilai ideal yang
harus dimiliki oleh setiap pribadi orang Tolaki. Dalam konteks tertentu, idealitas
hidup orang Tolaki yang dipesankan oleh pande anggo dalam teks anggo tersebut
merupakan bentuk keinginan untuk senantiasa menjaga harmoni atau
keseimbangan hidup orang Tolaki, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan.
c. Nilai Budaya
Kebudayaan merupakan salah satu sumber utama sistem atau tata-nilai
sesuatu masyarakat (Alfian, 1985: 17). Sistem nilai ini akan membentuk dan
menentukan sikap mentalnya yang selanjutnya tercermin dalam perilaku seharihari dalam berbagai segi kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, ilmu
pengetahuan dan sebagainya. Sikap mental atau mentalitas budaya ini selanjutnya
akan mencipakan sistem sosial, sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya.
Sistem nilai yang telah lama hidup dalam masyarakat lokal selanjutnya
menjadi pedoman dalam perilaku masyarakat sehari-hari. Sistem nilai ini
seringkali menempati hirarki tertinggi dibandingkan dengan nilai-nilai lain. Hal
ini disebabkan oleh konsepsi masyarakat tentang nilai tersebut merupakan sesuatu
yang sangat penting dan menjadi pengetahuan lokal (local wisdom) yang terus
menerus dipertahankan. Sistem nilai tersebut misalnya adat istiadat dan sistem
politik tradisional. Sistem terakhir ini hingga saat ini masih terus dipertahankan di
dalam rangka mengatur tata hubungan masyarakat lokal.
Terkait dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat lokal yang bisa
disebut dengan budaya atau adat istiadat, Koentjaraningrat (1984: 8-25)
mengatakan bahwa nilai budaya itu adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau
adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya.
Tingkat ini adalah ide-ide yang mengonsepsikan hal-hal yang paling bernilai
dalam kehidupan masyarakat.
Koentjaraningrat (1984: 8-25) mengemukakan bahwa suatu sistem nilainilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian
besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat
bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu system nilai budaya biasanya
berfungsi sebagai pedoman tertinggi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan
manusia lain yang tingkatnya lebih konkrit seperti aturan-aturan khusus, hukum,
dan norma-norma semuanya juga berpedoman kepada system nilai budaya itu.
Koentjaraningrat mengemukakan sistem nilai budaya dalam semua
kebudayaan menurut kerangka Kluckhon sebagai berikut:
“menurut kerangka Klukhon, semua sistem nilai budaya dalam semua
kebudayaan di dunia ini, sebenarnya mengenai lima masalah pokok dalam
kehidupan manusia. Kelima masalah pokok itu adalah:

15

1. Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia (selanjutnya disingkat
MH)
2. Masalah mengenai hakekat dari karya manusia (selanjutnya disingkat
MK)
3. Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu
(selanjutnya disingkat MW)
4. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam
sekitarnya (selanjutnya disingkat MA)
5. masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya
(selanjutnya disebut MM). (Koentjaraningrat, 1984: hal. 28; Ihromi,
1987: xx).
Sebagai sebuah konsepsi ideal tata hidup kemasyarakatan, nilai
kebudayaan dapat diidentifikasi dalam setiap simbol-simbol budaya, kesenian,
benda-benda tradisional, hingga teks-teks sastra lisan. Dalam konteks masyarakat
Tolaki, nilai budaya ini terekspresi dalam simbol Kalosara, beragam kesenian
rakyat tradisional, hingga sastra lisan (taenango, moanggo, dan sebagainya).
Nilai-nilai ideal kehidupan dan budaya orang Tolaki seringkali diungkapkan
dalam setiap kesempatan, baik pada perhelatan budaya maupun dalam kehidupan
keluarga.
Sebuah konsep yang sarat dengan nilai budaya orang Tolaki dapat
diketemukan dalam istilah inae kosara ieto nggoo pinesara, inae lia sara ieto
nggoo pinekasara (siapa yang tahu adat akan dihormati, siapa yang melanggar
adat akan dikasari [dihukum]), inae-nae merou, nggoieto ana dadio toono
ihanuno (barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain, maka pasti orang
lain akan sopan kepadanya). yang memiliki kandungan nilai budaya, khususnya
menyangkut interaksi sosial dan harmoni dalam masyarakat Tolaki.
Penghargaan terhadap adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Tolaki
serta bersikap sopan santun dan ramah dengan lingkungan masyarakat menjadi
keniscayaan dalam interaksi sosial orang Tolaki. istilah pinesara yang berarti
dihormati terkandung nilai yang sangat mendalam berkaitan dengan relasi sosial
yang baik. Di dalam teks anggo dapat diketemukan secara implisit bentuk
penghormatan kepada adat istiadat atau kebiasaan-kebiasaan positif yang berlaku
dalam masyarakat Tolaki, misalnya dalam teks He...he..Tabea nggomasima
mongoni paramesi/Paramesi hamesi paralu owose ira’iro mokole woiro/Anakia
olono metia toono meohai/Lala teporombu leu mbendeposua/Sara pondaroaa
pomboko mberapu’a/Powindahako’a powadaa’a popolo/Tepoleno o sara heono
peowai/Tinotoki osara hinue peowai. Pande anggo dalam teks pembuka tersebut
memperlihatkan pengormatan yang mendalam kepada tokoh-tokoh adat dan
dengan sendirinya menghormati adat istiadat orang Tolaki.
Istilah merou (sikap sopan) merupakan nilai budaya orang Tolaki yang
kerapkali menjadi pesan leluhur kepada anak-cucu. Misalnya, dalam bentuk
kalimat, keulako mondae, meoana motu’o au merou. Ini artinya bahwa sopan
santun sangat prinsipil dalam kehidupan sosial budaya orang Tolaki. kesantuan
yang ditunjukkan oleh pande anggo dalam teks anggo merupakan bentuk ekspresi
yang sudah menjadi kelaziman dalam kehidupan orang Tolaki.

16

d. Nilai Filosofis
Sebagaimana telah dikemukakan pada hasil penelitian di atas, Moanggo
mengandung nilai yang sangat hakiki dan prinsipil dalam kehidupan orang Tolaki,
yaitu, nilai filosofis. Nilai filosofis adalah nilai yang merepresentasikan
pandangan hidup atau kebijaksanaan hidup orang Tolaki untuk mengendalikan
dan mengarahkan manusia dalam bersikap, berperilaku atau perbuatan ke arah
yang lebih baik.
Seperti halnya dengan beragam etnis lain di negeri ini, orang Tolaki
memiliki pandangan hidup. Beragam etnis yang mendiami negeri ini memiliki
perbedaan pandangan hidup. Esensi perbedaannya terletak pada faktor-faktor
dominan, seperti kebudayaan, agama, tata nilai sosial dan sebagainya. Pandangan
hidup merupakan tolok ukur untuk membedakan antara suatu peradaban dengan
peradaban lain. Bahkan menunjukkan bila pandangan hidup melibatkan
epistemologi manusia sebab pandangan hidup merupakan faktor penting dalam
aktivitas penalaran manusia (Zarkasyi, www.fajarislam.com).
Dilthey, sebagaimana dikutip oleh Bulhof (1980: 82.), mengemukakan
bahwa pandangan hidup merupakan cara manusia memahami dunia secara lebih
luas berupa pemahaman atau interpretasi terhadap realitas. Dijelaskan pula,
pandangan hidup tidak pernah terdiri dari imitasi-relitas itu sendiri tetapi hanyalah
sebuah symbol atau rujukan terjadap realitas. Pandangan hidup juga merupakan
sebuah konstruksi hipotesis, di dalam pencitraan formula rasional yang didasarkan
pada pengalaman manusia yang hanya sedikit di dalam memandang keseluruhan
koherensi sesuatu terhadap realitas seperti sebuah interpretasi terhadap realitas
tersebut.
Selain itu, pandangan hidup diartikan pula sebagai pengetahuan seseorang
tentang dunia dan manusa serta sebuah produk interaksi antara dunia dalam
dengan dunia luar, berupa praktek ideal kehidupan yang menyediakan petunjuk
terhadap perbuatan manusia dan sebagai sebuah pencitraan bentuk dunia dan
kedudukan seseorang di dunia itu (Bulhof, 1980: 83-84). Hadot mengemukakan,
bahwa pandangan hidup merupakan kebijaksanaan hidup yang didasarkan pada
rasio atau pemikiran manusia dalam kehidupan sosialnya (Piere Hadot, 1999:
270). Smart, sebagaimana dikutip Olson (2002:144) juga mengemukakan, bahwa
pandangan hidup adalah nilai-nilai dan kepercayaan yang menyatu dalam praktek
dan diekspresikan di dalam tindakan, hokum-hukum, simbl-simbol, organisasi,
dan sebagainya dalam kehidupan masyarakat yang dapat menyelesaikan dan
memecahkan konflik-konflik social yang terjadi dilingkungannya.
Alparslan (1996: 6) juga mengemukakan, bahwa pandangan hidup
terbentuk dalam pikiran individu manusia secara perlahan-lahan (in a gradual
manner) yang bermula dari akumulasi konsep-konsep dan sikap mental yang
dikembangkan oleh manusia sepanjang hidupnya selanjutnya dijadikan sebagai
pegangan, pedoman, arahan, dan petunjuk dalammelakukan aktivitasnya du dunia
ini. jadi melalui proses terbentuknya pandangan tersebut maka mengindikasikan
motoritas bukan hanya pada individu tetapi juga pada kelompok social yang ada,
dan kelompok sosialnya.
Dalam konteks orang Tolaki, pandangan hidup atau nilai filosofis orang
Tolaki, baik yang terpapar dalam sejumlah cerita rakyat, taenango, kesenian

17

rakyat, hingga sastra lisan moanggo secara perlahan mengalami pergeseran,
bahkan dikhawatirkan akan lenyap. Pandangan hidup suku Tolaki tersebut
meskipun masih terdapat yang tetap, namun karena adanya perkembangan ilmu
pengetahuan dan perubahan peradaban maka dengan sendirinya pandangan hidup
mereka mulai mengalami pula pergeseran, bahkan lambat laun akan mengalami
proses transformasi. Pergeseran tersebut disebabkan munculnya fakta-fakta sosial
yang mengalami transformasi pada seluruh tingkatan nilai. Oleh karena itu,
sebagian masyarakat suku Tolaki saat ini banyak yang mempertanyakan dan tidak
memahami tentang pandangan hidup yang terdapat dalam lingkungan sosial dan
menginginkan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai pandangan
hidupnya (Idaman dan Rusland, 2012: 269).
Meskipun demikian, pandangan hidup atau nilai filosofis orang Tolaki ini
masih dapat diketemukan melalui penelaahan secara mendalam terhadap teks
Anggo. Di dalam teks Anggo berikut ini terungkap pandangan hidup orang Tolaki
yang sampai kini masih terus dipertahankan dan dipedomani:
Asokaa dadio toono meohai
Mokapa’i metia toono meohai
Keemoloro lausa mosala iwoimu
Keilaa mowawo rumah tangga
Iyamo ehe mouba penao baratando
Iyamo motudi tudi modiku diku nggae
Iyamo umonge nge umokeba nggebai
Keeterengga orapu nggo teposinggalako
Mano ruuru o’ana tebanggona wulele
Ada beberapa nilai filosofis atau pandangan hidup yang terungkap di
dalam teks di atas, antara lain: prinsip persaudaraan dan kerja keras tanpa pamrih.
Filosofi

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24