Kelapa Sawit dan Tata Guna Lahan di Kali
EFEKTIVITAS TATA KELOLA (GOVERNANCE) PADA TATA GUNA
LAHAN KELAPA SAWIT DI KALIMANTAN BARAT
i
1.
Pendahuluan
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjen Perkebunan) Kementerian Pertanian
luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 8,1 juta hektar,
kebun kelapa sawit milik petani adalah 30%-40%. Lebih lanjut, Ditjen Perkebunan menyebutkan
bahwa 59% dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di seluruh Indonesia terlibat konflik lahan
dengan masyarakat. Total ada 591 konflik, yaitu Kalimantan Tengah 250 kasus, Sumatera Utara
101 kasus, Kalimantan Timur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, dan Kalimantan Selatan 34
kasus. Pada penulisan ini pembahasan akan difokuskan pada Provinsi Kalimantan Barat.
Peningkatan luas konsesi lahan kelapa sawit di Kalimantan Barat berbanding lurus dengan
jumlah konflik sosial. WALHI menginformasikan bahwa pada 2014 konsesi perkebunan kelapa
sawit telah dimiliki oleh 326 perusahaan dengan luas 4,8 juta hektar, setara dengan luas total
daratan Provinsi Jambi. Sementara itu, berdasarkan data Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata
Ruang yang Adil dan Berkelanjutan tercatat bahwa ada 529 perusahaan yang telah memiliki
konsesi lahan seluas 10 juta hektar atau hampir 70% dari luas wilayah Kalimantan Barat. Pada
2012-2013 terdapat 94 konflik yang berhubungan dengan kelapa sawit terjadi di Kalimantan
Barat.
Peningkatan luas konsesi lahan kelapa sawit dipicu oleh dua regulasi, yakni PP 60 Tahun 2012
tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan SK 936/Menhut-II
Tahun 2013 tentang Perubahan Peruntukan, Fungsi dan Penunjukan Kawasan. Kedua regulasi
tersebut memungkinkan untuk dilakukan pemutihan terhadap kawasan hutan. Sementara itu, jika
ditinjau dari sisi regulasi kedua peraturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Konsekuensi dari kebijakan PP 60 Tahun 2012 dan SK 936/Menhut-II Tahun 2013 adalah
peningkatan pengalihan hutan menjadi lahan kelapa sawit. Ada dua dampak utama yang
ditimbulkan dari pengalihan hutan menjadi lahan kelapa sawit di Kalimantan Barat yakni
degradasi serta deforestasi dan konflik sosial. Pertama degradasi, pembakaran lahan di
Kalimantan Barat memicu degradasi hutan yang menyebabkan menurunnya daya simpan tanah
terhadap air. Luas hutan di Kalimantan Barat ditetapkan 9,2 juta hektar dan lahan gambut 1,7 juta
hektar (SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259, 2000). Sektor kehutanan dan lahan
gambut di Kalimantan Barat berperan penting bagi penyimpanan karbon. Deforestasi dan
degradasi menyebabkan penurunan kemampuan hutan untuk menyerap dan menyimpan karbon
serta gas buang dari indsutri dan konsumsi. Oleh karena itu, gangguan terhadap hutan dan lahan
gambut dapat menjadi sumber emisi karbon dan menurunkan daya dukung hutan terhadap
ekosistem.
Kedua konflik sosial, tipologi konflik yang terjadi berdasarkan pelaku dapat dibedakan menjadi
empat yaitu masyarakat adat dan perusahaan (9%), komunitas lokal dan perhutani (11%), petani
dan perusahaan (12%), dan komunitas lokal dan perusahaan (50%) (Huma, 2013). Pemerintah
dalam melaksanakan program pembangunan sering berhadapan dengan konflik antara
masyarakat di sekitar lahan dengan pihak yang ingin memanfaatkan lahan. Konflik terjadi karena
ada perbedaan persepsi antara pihak yang menggunakan lahan (pemerintah dan atau perusahaan)
dan masyarakat. Pihak pengguna lahan berpegang pada aturan hukum positif yang kadang tidak
diketahui secara merata oleh masyarakat sekitar lahan. Sementara masyarakat hanya berpegang
pada adat istiadat atau hukum adat yang juga tidak dipahami secara menyeluruh baik oleh
1
pemerintah maupun pihak perusahaan. Sebagian besar konflik sosial di Kalimantan Barat adalah
antara komunitas lokal dan perusahaan yang terjadi karena tidak adanya atau minimnya
keterlibatan masyarakat lokal dalam pengikutsertaan partisipasi pengalihan hutan menjadi lahan
kelapa sawit.
Deforestasi serta degradasi hutan dan konflik sosial di Kalimantan Barat merupakan
implementasi dari kebijakan yang didukung dengan ketersediaan sumber daya alam. Penerapan
kebijakan tata guna lahan yang tidak tepat menjadi faktor pendorong terjadinya deforestasi serta
degradasi dan konflik sosial di Kalimantan Barat (REDD+ Kalimantan Barat, 2013). Untuk itu,
pada penulisan ini akan dibahas dan diidentifikasi mengenai bagaimana efektivitas tata kelola
(governance) pada tata guna lahan kelapa sawit di Kalimantan Barat dalam mengatasi
degradasi serta deforestasi dan konflik sosial.
Ostrom (1990) pada studinya terhadap kasus deforestasi menemukan bahwa peran masyarakat
lokal krusial dalam pengelolaan hutan. Lebih lanjut, Ostrom (1990) mendefinisikan bahwa
institusi yang kuat memiliki tiga ciri, yaitu memiliki batasan yang jelas, ada kongruen
pengambilan sumber daya, dan ada tendensi bagi setiap orang untuk mematuhi peraturan. Oleh
karena itu, tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan mengidentifikasi efektivitas tata
kelola (governance) pada tata guna lahan kelapa sawit di Kalimantan Barat dalam memitigasi
degradasi serta deforestasi dan konflik sosial. Lebih lanjut penulisan ini diarahkan untuk
melakukan analisis efektivitas tata kelola (governance) pada tata guna lahan kelapa sawit di
Kalimantan Barat dari sisi pemerintah (state) dan sisi perusahaan (private).
2.
Deskripsi Kasus
Kalimantan Barat memiliki administrasi pemerintahan daerah berjumlah 14 kabupaten/kota.
Kabupaten Ketapang adalah daerah terluas 31.240,74 km 2 atau 21,28%. Diikuti Kabupaten
Kapuas Hulu 29.842 km2 atau 20.33% dan Kabupaten Sintang 21.635 km2 atau 14,74%.
Berdasarkan fungsi kawasan, Kalimantan Barat dibagi menjadi dua fungsi kawasan, yaitu fungsi
kawasan lindung seluas 3.952.625 hektar atau 43,06%, dan fungsi kawasan budidaya seluas
5.226.135 hektar atau 59,94%. Sampai dengan tahun 2011, kegiatan penataan batas kawasan
hutan Kalimantan Barat telah mencapai 14.428,03 km atau sekitar 74,13% dari target panjang
batas kawasan hutan yang harus ditata batas, yaitu sepanjang 19.462,42 km.
Menurut SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259 Tahun 2000, luas hutan kawasan
konversi (HPK) adalah 514.350 hektar. Perubahan status kawassan hutan berupa pengurangan
luas kawasan hutan, dilalui dengan proses pelepasan kawasan hutan. Pada prinsipnya pelepasan
kawasan hutan merupakan proses mengubah peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan
hutan untuk keperluan usaha non kehutanan tanpa menyediakan tanah pengganti. Dalam hal ini,
mekanisme pelepasan kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang
dapat dikonversi (HPK), secara tata ruang dicadangkan bagi pengembangan areal non kehutanan
seperti transmigrasi, permukiman, pertanian, dan perkebunan, dengan ketentuan pada wilayah
provinsi yang dilepas kawasannya masih tersisa lebih dari 30% setelah pelepasan kawasan HPK
tersebut. Mekanisme pelepasan kawasan hutan dikuatkan dengan surat keputusan dari Menteri
Kehutanan. Dalam kurun waktu tahun 2006-2011 kawasan hutan yang telah dilepas mencapai
292.985,20 hektar terdiri dari 12 lokasi perusahaan yang tersebar di 4 kabupaten. Sebagian besar
pelepasan kawasan hutan berada di Kabupaten Ketapang, yaitu terdapat 7 lokasi perusahaan
dengan luas total mencapai 217.219,00, dimana seluruh pelepasan kawasan hutan dalam kurun
waktu 2006-2011 adalah perubahan kawasan HPK untuk keperluan usaha perkebunan.
2
Peningkatan luas konversi lahan di Kalimantan Barat merupakan konsekuensi dari kebijakan PP
60 Tahun 2012 dan SK 936/Menhut-II Tahun 2013. Pertama, kebijakan Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010
tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan memiliki dua poin
pengaturan, yakni tukar menukar kawasan hutan dan konversi hutan. Tukar menukar kawasan
hutan dapat dilakukan dengan ketentuan tetap terjaminnya luas kawasan hutan paling sedikit
30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional
dan mempertahankan daya dukung kawasan hutan tetap layak kelola. Selanjutnya, konversi hutan
diperbolehkan untuk kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan oleh Pemerintah
Daerah berdasarkan rencana tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang ditetapkan
sebelum berlakunya UU Nomor 26 Tahun 2007, namun berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2004 areal tersebut
merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi yang dapat dikonversi dengan
mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan kepada Menteri. Ada tujuh perusahaan
perkebunan kelapa sawit yang mengajukan Permohonan Pelepasan Kawasan Hutan Ketelanjuran
ke Kementerian Kehutanan RI, yaitu PT Gemilang Makmur Subur, PT Ledo Lestari, PT Mega
Sawindo Perkasa, PT Tsjafiuddin, PT Wana Hijau Semesta, PT Wirata Daya Bangun Persada, dan
PT Swadaya Mukti Prakasa. Kedua, SK 936/Menhut-II tahun 2013 mengatur pengalihan
kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas lebih kurang 554.137 hektar. Melalui SK
tersebut pemerintah mengupayakan memberikan kepastian hukum kepada perusahaan kelapa
sawit untuk beroperasi dan mengelola lahan. Dengan demikian, kedua regulasi tersebut
memberikan peluang untuk dilakukan pemutihan terhadap kawasan hutan.
Implementasi dari kebijakan yang didukung dengan ketersediaan sumber daya alam melimpah di
Kalimantan Barat memberikan implikasi degradasi serta deforestasi hutan dan konflik sosial.
Pertama, peningkatan degradasi dan deforestasi di Kalimantan Barat. Berdasarkan Analisis Data
Spasial Penapsiran Citra Landsat (2006 dan 2011) laju degradasi dan deforestasi pertahun di
Kalimantan Barat rata-rata mencapai angka 116.172,77 hektar. Kabupaten yang menempati
posisi degradasi tertinggi sampai terendah dalam kawasan hutan berturut-turut adalah Kabupaten
Ketapang, Kapuas Hulu, Sintang, Sanggau, Sambas, Kubu Raya, Bengkayang, Melawi, Landak,
Kayong Utara, Pontianak, Sekadau dan Kota Singkawang. Sedangkan deforestasi tertinggi dalam
kawasan hutan adalah Kabupaten Ketapang, Sambas, Sintang, Kayong Utara, Kubu Raya,
Kapuas Hulu, Sanggau, Bengkayang, Landak, Melawi, Pontianak, Sekadau, dan Kota
Singkawang.
Kedua, konflik sosial terkait lahan di Kalimantan Barat. Konsekuensi dari kebijakan
pembangunan tata guna lahan adalah terjadi tumpang-tindih wilayah kelola rakyat dengan
kawasan hutan dan perkebunan. Data Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang yang Adil dan
Berkelanjutan mencatatkan bahwa pada 2013 sebanyak 529 perusahaan telah memiliki konsesi
seluas 10 juta hektar lahan, atau hampir 70% dari luas wilayah Kalimantan Barat. Dengan
demikian, luas wilayah daratan yang dapat diakses oleh 4,3 juta jiwa penduduk Kalimantan Barat
menjadi 30% atau 4,4 juta hektar. Wilayah yang dapat diakses oleh masyarakat tersebut, masih
harus dikurangi dengan kawasan konservasi dan kawasan lindung seluas 3,7 juta hektar. Di
dalam konsesi perkebunan kelapa sawit, lahan kelola pertanian pangan masyarakat untuk
budidaya tradisional menjadi terbatas. Untuk lahan yang sudah berstatus HGU, terdapat potensi
konflik akibat pertumbuhan populasi dan kebutuhan lahan yang terbatas di Kalimantan Barat
dengan usaha perkebunan. Untuk lahan yang masih dalam tahap pembangunan, ada potensi
3
konflik horizontal karena batas wilayah kelola belum jelas. Pada 2012-2013 terdapat 94 konflik
yang berhubungan dengan kelapa sawit terjadi di Kalimantan Barat (Ditjen Perkebunan, 2013).
Peningkatan luas lahan konversi kelapa sawit di Kalimantan Barat selain disebabkan oleh
implikasi dari implementasi kebijakan juga disebabkan oleh beberapa faktor, yakni konversi
hutan dan lahan produktif menjadi lahan sawit, tidak adanya batasan luas perizinan, kebijakan
politik kepala daerah yang mempromosikan kelapa sawit sebagai komoditas unggulan,
peningkatan permintaan sawit, dan perilaku masyarakat. Secara nasional wilayah perkebunan
kelapa sawit telah meningkat delapan kali lipat sejak 1991, mencapai 8,9 juta hektar pada 2011
(Ditjen Perkebunan, 2012). Sebagian besar pertumbuhan terjadi setelah krisis keuangan 1997
atau paska desentralisasi. Berdasarkan data Ditjen Perkebunan, kelapa sawit berkontribusi
terhadap penerimaan ekspor sebesar 12-15 miliar USD atau 3% terhadap PDB. Hal ini berarti
bahwa perluasan industri kelapa sawit sangat didukung oleh kebijakan pemerintah. Kemudian,
perilaku masyarakat terhadap sumber daya hutan masih kurang kesadaran karena rendahnya
tingkat pengetahuan dan keterampilan baik dalam bidang umum maupun khusus bidang
kehutanan. Kebanyakan masyarakat sekitar wilayah lahan hutan dan kelapa sawit di Kalimantan
Barat masih berpendidikan setaraf sekolah dasar dengan keterampilan petani kecil tradisional.
Lebih lanjut, berdasarkan Reducing Emissions from Deforestation and Degradation Plus
(REDD+) pada 2013 terdapat 4 (empat) akar permasalahan dari ekspansi lahan kelapa sawit di
Kalimantan Barat, yakni inkonsistensi perizinan dengan kesesuaian lahan dan kawasan yang
dilindungi, akses yang terbuka terhadap hutan, hak atas tanah dan hutan yang belum tuntas bagi
semua pihak, korupsi perizinan, dan kondisi ekonomi masyarakat sekitar yang rendah. Dengan
demikian, degredasi serta deforestasi dan konflik sosial di Kalimantan Barat dapat ditinjau dari
efektivitas tata kelola (governance) dalam tata guna lahan yang meliputi alih fungsi hutan yang
sah melalui rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) provinsi atau kabupaten.
Konflik antara penduduk sekitar hutan dengan perusahaan dalam perkebunan kelapa sawit terjadi
saat keberadaan hutan adat dikonversi oleh pemerintah dengan memberikan izin kepada pemilik
modal dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit. Laporan Komisi Kehutanan DPR pada
2008 menyebutkan, 53% Peraturan Daerah Rancangan Tata Ruang dan Wilayah (“Perda
RTRW”) dinilai bermasalah karena menyebabkan kerusakan lingkungan hidup. Perda RTRW
mengacu pada UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang sebagaimana telah diperbarui
dengan UU No. 26 Tahun 2007, bertentangan dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Usulan perubahan kawasan hutan menjadi Areal Peruntukan Lain (APL), tidak dimaknai sebagai
rencana pencadangan lahan untuk kebutuhan produktif masyarakat di masa datang untuk
pertambahan penduduk dan menjaga keseimbangan serta keadilan pengelolaan dan penguasaan
lahan. Akan tetapi usulan perubahan fungsi kawasan diindikasikan sebagai upaya pemutihan atas
kesalahan prosedur perizinan usaha yang beroperasi didalam kawasan hutan. Berdasarkan
rencana peraturan daerah RTRW (2013) pada publik hearing rencana peraturan daerah RTRW
Provinsi Kalimantan Barat pada 18 Juni 2012, terungkap bahwa lampiran peta yang diterima
DPRD dari Pemerintah Provinsi tidak dilengkapi dengan rincian peruntukan usulan perubahan
alih fungsi. Oleh karena itu, pada penulisan ini akan dibahas analisis efektivitas tata kelola
(governance) pada tata guna lahan kelapa sawit di Kalimantan Barat dari sisi pemerintah (state)
dan sisi perusahaan (private).
4
3.
Analisa
Andersson dan Ostrom (2008) dalam “Analyzing Decentralized Resource Regimes from a
Polycentric Perspective” menjelaskan bahwa pendekatan polisentris dengan mempertimbangkan
interaksi antara aktor-aktor di berbagai tingkat pemerintahan dapat berkontribusi untuk
pemahaman terhadap faktor yang mendorong variasi dalam hasil desentralisasi pemerintahan.
Pada studi tersebut Andersson dan Ostrom menggunakan pendekatan polisentris. Perbedaan
utama antara pendekatan sentris konvensional dan polisentris dalam mempelajari sumber daya
desentralisasi adalah lingkup analisis (Andersson dan Ostrom, 2008). Lebih lanjut, Andersson
dan Ostrom (2008) mengemukakan bahwa untuk menjelaskan hasil tata kelola (governance)
desentralisasi, pendekatan polisentris dapat menganalisis kinerja suatu unit pemerintah daerah
untuk mempertimbangkan hubungan antara aktor-aktor pemerintahan, masalah, dan pengaturan
kelembagaan pada berbagai tingkat pemerintahan. Andersson dan Ostrom (2008) mengatakan
bahwa ketika pembuat kebijakan menciptakan sistem aturan umum yang mungkin tidak sesuai
dengan konteks lokal, insentif pengguna untuk mengelola sumber daya secara bertanggung jawab
akan melemah. Pendekatan polisentris mempelajari kondisi interaktif antara kelompok-kelompok
pengguna lokal dan di antara kelompok-kelompok dan pemerintah.
Pemerintah pusat bertanggung jawab untuk menegakkan banyak aturan formal namun regulasi
yang mengatur pemanfaatan hutan hampir tidak ada. Hal ini menciptakan situasi dimana
pengguna hutan memiliki posisi superior, seperti pemilik tanah besar dan perusahaan kehutanan
swasta. Pada tahun 1996, kebijakan desentralisasi hutan Bolivia membantu untuk mengubah
sebagian besar dari tindakan pengecualian petani lokal terhadap pembangunan dan pemanfaatan
hutan (Andersson, 2009). Pengaturan kelembagaan pada skala pemerintahan lainnya seperti
badan nasional pemerintah, organisasi internasional, LSM di berbagai skala, dan asosiasi swasta
juga memiliki peran penting dalam tata kelola sumber daya alam, termasuk dalam self-organized
(Andersson dan Ostrom, 2008).
Tantangan untuk mengatur sumber daya alam semakin kompleks seiring dengan peningkatan
pertumbuhan populasi penduduk dan tuntutan kebutuhan pada sumber daya alam. Common pool
resources (CPR) adalah sumber daya alam yang sangat sulit untuk diatur (Ostrom dan Nagendra,
2006). Dengan demikian, sangat mahal untuk mengecualikan orang lain dari menggunakan
sumber daya CPR, sementara panen dan pemanfaatan satu orang dapat mengurangi panen dan
pemanfaatan CPR bagi orang lain. Aspek tata kelola sumber daya CPR memiliki karakteristik
rival (subtractable) seperti barang private dan memiliki biaya tinggi terkait dengan dapat
dimanfaatkan oleh semua pihak seperti barang publik. Untuk itu, tata kelola yang efektif menjadi
tugas yang paling sulit dihadapi kebijakan publik moderen (Dietz, 2003).
Ostrom (2008) menerangkan bahwa sistem konstitusional yang dapat menghasilkan informasi
memadai pada berbagai skala dan dapat memberikan pengambilan keputusan sah tanpa prosedur
yang terlalu rumit bagi berbagai pelaku yang terlibat dapat memiliki kesempatan lebih baik untuk
berhasil dalam tantangan mengatur CPR. Keunggulan dari manajemen oleh pengguna atau
masyarakat lokal adalah pengetahuan lokal (Andersson dan Ostrom, 2008). Pengetahuan lokal
dari pengguna yang telah tinggal di lingkungan CPR dari sistem sumber daya selama jangka
waktu panjang akan mengembangkan model mental yang relatif akurat tentang bagaimana sistem
biofisik beroperasi, karena upaya keberhasilan panen bergantung pada pengetahuan lokal (Hayek,
1948 dan Ostrom, 1993). Karena pengetahuan lokal ini, pengguna lokal dipandang lebih
memungkinkan untuk menghasilkan aturan yang lebih baik diadaptasi untuk sumber daya lokal
5
common-pool daripada sistem sumber daya umum dengan skala yang lebih besar (Tang 1992,
1994).
Sementara itu terdapat keterbatasan dalam penerapan tata kelola CPR desentralisasi yang
mengakomodir masyarakat lokal. Ostrom (2008) mengatakan bahwa pengguna lokal dapat
mengatur dirinya sendiri untuk mengembangkan mekanisme pemerintahan yang efektif,
sedangkan kemampuan tata kelola dari sistem pemerintahan yang diselenggarakan secara
horizontal di tingkat lokal masih terbatas. Pada sistem desentralisasi penuh, pemerintahan
bergantung pada self-organized dari pengguna sumber daya lokal dan untuk beberapa pengguna
lokal self-organization terlalu mahal (Meinzen-Dick, 2007). Beberapa alasan mengapa sebagian
kelompok tidak mengatur atau tetap terorganisir, termasuk mengurangi ketergantungan pada
sumber daya, diantaranya karena terjadi konflik yang cukup besar di antara pengguna (Libecap,
1989), biaya politik tinggi (Gibson dan Lehoucq, 2003), kurangnya kepemimpinan (Johnson,
2001), dan khawatir upaya kelompok lokal dibatalkan oleh otoritas yang lebih tinggi (Epstein,
1997 dan Shivakumar, 2005). Ada kegagalan sistem desentralisasi yaitu masalah tirani lokal
(Andersson dan van Laerhoven, 2007). Dengan demikian, tidak semua sistem tata kelola sumber
daya self-organized dapat diselenggarakan secara demokratis atau dapat mengandalkan masukan
dari pengguna.
Kompleksitas dari sumber daya alam memerlukan tata kelola (governance) pemerintahan yang
canggih. Untuk mengatur proses yang dapat memberikan insentif bagi pengguna dalam menjaga
pengiriman jangka panjang dibutuhkan tidak hanya sumber daya keuangan dan mekanisme
akuntabilitas pada satu tingkat pemerintahan. Andersson dan Ostrom (2008) menyebutkan bahwa
ada kebutuhan untuk pengaturan tata kelola multilevel yang mengandalkan pengakuan eksplisit
bahwa insentif pada beberapa skala mungkin tidak dapat diperbandingkan dengan barang dan
jasa yang diproduksi dalam skala yang berbeda. Andersson dan Ostrom (2008) menemukan
bahwa eksekutif pemerintahan daerah (walikota) lebih mungkin untuk mendukung dan
berinvestasi dalam tata kelola sumber daya alam ketika ada insentif kelembagaan yang jelas
untuk melakukannya, terlepas dari derajat desentralisasi.
Hasil studi Andersson dan Ostrom terhadap tata kelola (governance) sumber daya common-pool
(CPR), seperti pemanfaatan hutan, dalam sistem pemerintahan desentralisasi akan digunakan
sebagai kerangka teori dalam pembahasan tata kelola (governance) pada tata guna lahan sawit di
Kalimantan Barat. Kerangka teori tata kelola (governance) sumber daya common-pool (CPR)
Andersson dan Ostrom digunakan untuk memperoleh identifikasi efektivitas tata kelola
pemerintah pusat (state) dan perusahaan (private) dalam mengatasi permasalahan degradasi dan
deforestasi serta konflik sosial yang terjadi sebagai implementasi kebijakan yang membawa
implikasi peningkatan konversi hutan menjadi lahan kelapa sawit.
3.1. Tata Guna Lahan
Terdapat 2 (dua) cakupan pembahasan yang dapat digunakan sebagai faktor-faktor identifikasi
efektivitas tata guna lahan di Kalimantan Barat, yaitu sinkronisasi kebijakan tata guna lahan dan
perencanaan tata ruang. Pertama, sinkronisasi kebijakan tata guna lahan. Otoritas pemberian ijin
hutan telah mengalami perubahan, dari pemerintah pusat selama 1967-1998 kepada pemerintah
daerah (kabupaten dan provinsi) selama 1999-2002, kemudian kembali pada pemerintah
pusat/Kementerian Kehutanan sejak 2002 sampai sekarang. Undang-Undang di Indonesia
menjadi otoritas tertinggi untuk penguasaan negara atas lahan dan sumber daya Indonesia. Hal
ini tertanam pada dua hukum utama, yang pertama adalah Undang-Undang Pokok Agraria
6
(UUPA) tahun 1960 yang mengakui lahan negara, lahan milik, dan lahan adat. Kedua, UndangUndang Pokok Kehutanan (UUPK) tahun 1999 yang menyatakan bahwa Kementerian Kehutanan
memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengurus semua aspek terkait hutan, wilayah hutan,
dan hasil-hasil hutan dan penguasaan negara atas wilayah didefinisikan sebagai Kawasan Hutan.
Kawasan Hutan dibagi ke dalam tiga klasifikasi, yaitu hutan lindung dan konservasi, hutan
produksi,dan hutan produksi untuk konversi.
Ketika suatu wilayah telah diklasifikasikan sebagai kawasan hutan maka hanya Kementerian
Kehutanan yang dapat melepaskan menjadi non-kawasan hutan atau penggunaan lahan yang lain,
walaupun wilayah-wilayah strategis harus disahkan oleh DPR. Permasalahan muncul dari
inkonsistensi antara UUPA dan UUPK. Pada UUPK, yang memasukkan lahan adat sebagai
bagian dari lahan negara dan memungkinkan Kementerian Kehutanan untuk secara sepihak
menetapkan wilayah sebagai Kawasan Hutan tanpa mempertimbangkan hak-hak pemerintah
daerah untuk mengelola.
Tercatat sekitar 130 juta dari 187 juta hektar lahan Indonesia telah ditetapkan sebagai kawasan
hutan (Ditjenbun, 2012). Sisanya disebut sebagai Areal Penggunaan Lain (APL). Hal ini berarti
bahwa Kementerian Kehutanan dapat menetapkan hak pemanfaatan lahan untuk 70% dari lahan
Indonesia. Pada Februari 2012, mahkamah konstitusi Indonesia menetapkan bahwa Kementerian
kehutanan harus secara formal mengukuhkan lahan sebagai bagian dari Kawasan Hutan sebelum
menetapkan otoritas pengelolaan terhadapnya (Putusan MK45). Sebelum adanya keputusan ini,
Kementerian Kehutanan secara sepihak menentukan peruntukan lahan sebagai Kawasan Hutan
untuk memungkinkan melakukan pengelolaan aktif terhadap bagian lahan yang luas dan
menghindari pelaksanaan proses pengukuhan yang panjang dan partisipatif.
Kabupaten memiliki otoritas untuk menerbitkan izin-izin kelapa sawit, khususnya karena
terdapat insentif ekonomi dan politis yang kuat bagi pejabat kabupaten untuk mendukung
investasi kelapa sawit. Kekhawatiran ini diperkuat oleh fakta bahwa proses pengukuhan
berlangsung lambat. Hanya 11% dari lahan yang diperuntukkan sebagai Kawasan Hutan yang
telah sepenuhnya dikukuhkan secara nasional. Otoritas lokal juga memiliki mandat hukum untuk
melaksanakan proses pengukuhan, yang memberikan pemerintah lokal kekuatan dalam negosiasi
dengan Kementerian Kehutanan. Sehingga Pemerintah Daerah memiliki kekuasaan untuk
memastikan bahwa semua ijin perkebunan yang telah diterbitkan telah dikeluarkan dari Kawasan
Hutan.
UUPK menyebabkan sulitnya kelompok-kelompok adat untuk memperoleh pengakuan hukum
atas hak-hak lahan di masa lampau. Hal ini memicu sengketa lahan antara masyarakat lokal
dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Perusahaan kelapa sawit oleh hukum dituntut untuk
melibatkan masyarakat setempat yang terkena dampak usaha mereka, untuk menjelaskan rencana
pengembangan dan dampak yang mungkin terjadi bagi masyarakat, memperoleh persetujuan
untuk menanam di atas lahan yang diklaim masyarakat, dan menegosiasikan kompensasi yang
sesuai. Negosiasi ini sering ditekan oleh hubungan kekuasaan yang tidak setara karena
pengadilan menginterpretasikan bahwa hak milik masyarakat lebih lemah dibandingkan hak guna
usaha yang diberikan kepada perusahaan oleh pemerintah. Ketika negosiasi berlangsung buruk,
masyarakat dapat menghimpun kekuatan kolektif untuk memperlambat atau menghentikan
pengembangan sehingga memicu terjadinya konflik sosial.
Kedua, perencanaan tata ruang dan tata kelola lahan di Kalimantan Barat. Undang-undang
nasional tentang tata tahun 2007, mengatur pendekatan bertingkat melalui rencana tata ruang 20
7
tahun pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten. Rencana tersebut dikembangkan dengan
menggunakan proses partisipatif dan sesuai dengan rencana pembangunan jangka panjang. Hal
ini menuntut semua provinsi untuk menyerahkan rencana tata ruang yang telah diperbaiki pada
2010. Peraturan pelaksana dari undang-undang ini menghendaki agar rencana tata ruang tersebut
sesuai dengan Kawasan Hutan Nasional, mengatur peran dan prosedur bagi Kementerian
Kehutanan untuk meninjau dan menyetujui rencana tata ruang tersebut.
Tata kelola lahan di Indonesia terbagi diantara beberapa instansi, yaitu Kementerian Kehutanan,
Pemerintah Daerah dan Badan Pertanahan Nasional. Namun demikian, sebelum Undang-Undang
Tahun 2007 tentang Perencanaan Tata Ruang, dan peraturan pendukung lainnya berlaku,
peruntukan Kawasan Hutan oleh Kementerian Kehutanan dan rencana tata ruang yang disusun
secara terpisah oleh kantor provinsi (RTRWP) berkembang secara terpisah, yang menyebabkan
perbedaan besar pada wilayah dan provinsi tertentu, dalam hal proporsi wilayah yang
diperuntukkan sebagai kawasan hutan.
Akibat dari perbedaan antara Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan dan rencana tata ruang
menyebabkan izin-izin yang akan diterbitkan yang berpotensi sesuai hukum dan sah berdasarkan
satu undang-undang menjadi tidak sesuai hukum dan tidak sah menurut undang-undang lainnya.
Selanjutnya, kondisi ini menyebabkan ketidakpastian bagi dunia usaha dan juga potensi konflik
antar perusahaan. Ketidakpastian status lahan dapat mengurangi insentif bagi investor untuk
meningkatkan praktik pengelolaan, dan mendorong keterlibatan dalam proses revisi perencanaan
tata ruang provinsi dan kabupaten.
Hingga 2014, masyarakat hanya dapat diberikan sebagian hak pengelolaan pada wilaya-wilayah
yang sebelumnya diperuntukkan sebagai Kawasan Hutan, apabila sebelumnya tidak terdapat ijin
kehutanan pada wilayah tersebut. Pemberian ijin kehutanan tidak mempertimbangkan hak
masyarakat dan oleh karena itu berpotensi menimbulkan konflik.
Secara normatif kewenangan daerah dalam tata guna lahan sangat memadai. Dalam pembagian
urusan pusat dan daerah, kehutanan merupakan salah satu dari 31 urusan pemerintahan yang
dibagi (Pasal 2 Ayat (4) PP Nomor 38 Tahun 2007). Urusan perubahan status kawasan hutan
disebutkan secara spesifik dalam bidang urusan mengenai penatagunaan kawasan hutan dimana
peran Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota sangat strategis dalam mengusulkan
perubahan status dan penggunaan kawasan hutan. Terdapat 3 (tiga) pembagian urusan, yakni
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten. Pertama, Pemerintah Pusat
memiliki kewenangan dalam hal penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penatagunaan
kawasan hutan, pelaksanaan penetapan fungsi, perubahan status dan fungsi hutan serta perubahan
hak dari lahan milik menjadi kawasan hutan, pemberian perizinan penggunaan dan tukar
menukar kawasan hutan. Kedua, Pemerintah Provinsi mempunyai kewenangan dalam hal
perkembangan teknis perubahan status dan fungsi hutan, perubahan status dari lahan milik
menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan. Ketiga,
Pemerintah Kabupaten mempunyai kewenangan dalam hal pengusulan perubahan status dan
fungsi hutan dan perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta
tukar menukar kawasan hutan.
Peningkatan luas konversi lahan di Kalimantan Barat merupakan konsekuensi dari kebijakan PP
60 Tahun 2012 dan SK 936/Menhut-II Tahun 2013. Pertama, kebijakan Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010
tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan memiliki dua poin
8
pengaturan, yakni tukar menukar kawasan hutan dan konversi hutan. Kedua, SK 936/Menhut-II
tahun 2013 mengatur pengalihan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas lebih
kurang 554.137 hektar. Melalui SK tersebut pemerintah mengupayakan memberikan kepastian
hukum kepada perusahaan kelapa sawit untuk beroperasi dan mengelola lahan. Dengan
demikian, kedua regulasi tersebut memberikan peluang untuk dilakukan pemutihan terhadap
kawasan hutan.
Ostrom (1990) mengemukakan bahwa terdapat 3 alasan yang mendasari mengapa keterlibatan
masyarakat lokal diperlukan dalam tata kelola (governance) sumber daya common-pool (CPR)
yaitu pemerintah memiliki keterbatasan anggaran dan pegawai pemerintah untuk menegakan
peraturan, terdapat potensi konflik karena pemerintah tindakan monitoring rendah, dan
masyarakat lokal memiliki pengaruh langsung terhadap lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu,
selain diperlukan peraturan yang jelas (tidak tumpang-tindih) dan penegakan peraturan tata guna
lahan juga diperlukan keterlibatan masyarakat lokal dalam merumuskan kebijakan pada skala
Pemerintahan Daerah atau Kabupaten di Kalimantan Barat. Sehingga, konflik sosial terkait
peningkatan konversi lahan kelapa sawit di Kalimantan Barat dapat diatasi.
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 (empat) permasalahan dalam
perencanaan tata ruang, yakni (1) minimnya data/informasi tata guna lahan dan tata batas; (2)
perencanaan yang masih bersifat sektoral dan tidak terpadu; (3) perencanaan tata ruang yang
belum sepenuhnya partisipatif; dan (4) minimnya alokasi untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tata kelola (governance) pada tata guna lahan kelapa
sawit di Kalimantan Barat belum efektif dalam mengatasi deforestasi serta degradasi dan konflik
sosial.
4.
Penutup
Tata kelola (governance) pada tata guna lahan kelapa sawit di Kalimantan Barat belum efektif
dalam mengatasi deforestasi serta degradasi dan konflik sosial. Hal ini dapat ditinjau dari 2 (dua)
skala, yakni skala nasional dan daerah. Pertama, pada skala nasional terdapat regulasi yang saling
tumpang tindih pengaturannya sehingga menimbulkan kegamangan dalam implementasi dan
memicu konflik sosial terkait konversi lahan kelapa sawit. Kedua, pada skala daerah perencanaan
tata guna lahan masih bersifat sektoral dan tidak terpadu dan belum sepenuhnya partisipatif.
Andersson dan Ostrom (2008) dalam “Analyzing Decentralized Resource Regimes from a
Polycentric Perspective” menemukan bahwa ada kegagalan pada sistem desentralisasi sehingga
tidak semua sistem tata kelola sumber daya self-organized dapat diselenggarakan secara
demokratis atau dapat mengandalkan masukan dari pengguna. Selanjutnya, Andersson dan
Ostrom (2008) menemukan bahwa eksekutif pemerintahan daerah (walikota) lebih mungkin
untuk mendukung dan berinvestasi dalam tata kelola sumber daya alam ketika ada insentif
kelembagaan yang jelas untuk melakukannya, terlepas dari derajat desentralisasi. Dengan
demikian, untuk mengatasi degredasi dan deforestasi serta konflik sosial terkait lahan di
Kalimantan Barat diperluakan kejelasan hukum, penegakan hukum, dan insentif kelembagaan
yang jelas.
9
Rekomendasi yang dapat dilakukan untuk mengupayakan tata kelola (governance) pada tata guna
lahan kelapa sawit di Kalimantan Barat secara efektif adalah sebagai berikut:
Harmonisasi peraturan tata guna lahan dan tata ruang lahan. Secara regulasi beberapa muatan
peraturan tata guna lahan masih ada yang tumpang-tindih dengan peraturan lainnya. Untuk
itu, pemerintah perlu melakukan peninjauan regulasi baik secara horizontal maupun secara
vertikal.
Sinkronisasi status lahan. Persoalan lahan sering bermasalah akibat data yang dimiliki
pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sering berbeda. Dalam hal ini perlu dilakukan
sinkronisasi data lahan dengan melibatkan masyarakat.
Meningkatkan peluang bagi masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan hutan
untuk berperan serta pro-aktif serta penerima manfaat langsung maupun tidak langsung dalam
mekanisme implementasi kebijakan tata kelola penggunaan lahan.
Mendorong praktik-praktik dan dukungan tingkat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam
hutan berbasis masyarakat.
Menjadikan praktik sanksi adat terhadap pelanggaran di kawasan hutan untuk mengawal dan
memonitor (safeguard monitoring) dalam rangka memastikan jasa lingkungan dan biodifersiti
kawasan hutan.
Menciptakan kelembagaan formal (lembaga percepatan dan monitoring) pada tingkat provinsi
dan kabupaten sebagai percepatan penyelesaian status penggunaan lahan dan memitigasi
konflik sosial terkait lahan. Kelembagaan formal ini dapat dibentuk dengan inisiasi dari
pemerintah provinsi dan kabupaten serta perwakilan masyarakat dan perwakilan perusahaan
untuk mencapai tujuan bersama.
Mengupayakan pengembangan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia serta
perangkat operasional penyelenggaraan kelembagaan formal percepatan dan monitoring.
10
Daftar Pustaka
Andersson, Krister P. (2009). A New Perspective on Community Governance of Forests in Bolivia:
The Role of External Organizations. International Society of New Institutional.
http://extranet.isnie.org/uploads/isnie2009/andersson_benav
ides_leon.pdf (diakses 7 Juni 2014).
Andersson, Krister P., dan Ostrom Elinor. (2008). Analyzing Decentralized Resource Regimes from a
Polycentric Perspective. Policy Sciences, Vol. 41, No. 1 (Mar., 2008), 71-93.
http://203.130.231.12/cgi-bin/proxy/nphproxy.cgi/00/http/www.jstor.org/stable/pdfplus/10.2307/2547
4353.pdf (diakses 7 Juni 2014).
Fachrizal, A., Sirait, J., dan Wihardandi, A. (2014). Fokus Liputan: Kelapa Sawit, antara Kepentingan
Politik
dan
Tata
Guna
Lahan
(Bagian
I).
http://www.mongabay.co.id/2014/04/07/fokus-liputan-kelapasawit-antara-kepentingan-politik-dan-tata-guna-lahanbagian-i/ (diakses 27 Mei 2014).
Fachrizal, A., Sirait, J., dan Wihardandi, A. (2014). Fokus Liputan: Kelapa Sawit, antara Kepentingan
Politik
dan
Tata
Guna
Lahan
(Bagian
II-Selesai).
http://www.mongabay.co.id/2014/04/08/fokus-liputan-kelapasawit-antara-kepentingan-politik-dan-tata-guna-lahanbagian-ii-selesai/ (diakses 27 Mei 2014).
Gultom, Yohanna M.L. (2014). Governance and The Commons. Materi Kuliah Ekonomi
Kelembagaan. Jakarta.
Hardiansyah, Gusti, dkk. (2013). Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Kalimantan
Barat.
http://www.gcftaskforce.org/documents/SRAP_west_kalimantan_
2014_ID.pdf (diakses 8 Juni 2014).
11
LAHAN KELAPA SAWIT DI KALIMANTAN BARAT
i
1.
Pendahuluan
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjen Perkebunan) Kementerian Pertanian
luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 8,1 juta hektar,
kebun kelapa sawit milik petani adalah 30%-40%. Lebih lanjut, Ditjen Perkebunan menyebutkan
bahwa 59% dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di seluruh Indonesia terlibat konflik lahan
dengan masyarakat. Total ada 591 konflik, yaitu Kalimantan Tengah 250 kasus, Sumatera Utara
101 kasus, Kalimantan Timur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, dan Kalimantan Selatan 34
kasus. Pada penulisan ini pembahasan akan difokuskan pada Provinsi Kalimantan Barat.
Peningkatan luas konsesi lahan kelapa sawit di Kalimantan Barat berbanding lurus dengan
jumlah konflik sosial. WALHI menginformasikan bahwa pada 2014 konsesi perkebunan kelapa
sawit telah dimiliki oleh 326 perusahaan dengan luas 4,8 juta hektar, setara dengan luas total
daratan Provinsi Jambi. Sementara itu, berdasarkan data Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata
Ruang yang Adil dan Berkelanjutan tercatat bahwa ada 529 perusahaan yang telah memiliki
konsesi lahan seluas 10 juta hektar atau hampir 70% dari luas wilayah Kalimantan Barat. Pada
2012-2013 terdapat 94 konflik yang berhubungan dengan kelapa sawit terjadi di Kalimantan
Barat.
Peningkatan luas konsesi lahan kelapa sawit dipicu oleh dua regulasi, yakni PP 60 Tahun 2012
tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan SK 936/Menhut-II
Tahun 2013 tentang Perubahan Peruntukan, Fungsi dan Penunjukan Kawasan. Kedua regulasi
tersebut memungkinkan untuk dilakukan pemutihan terhadap kawasan hutan. Sementara itu, jika
ditinjau dari sisi regulasi kedua peraturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Konsekuensi dari kebijakan PP 60 Tahun 2012 dan SK 936/Menhut-II Tahun 2013 adalah
peningkatan pengalihan hutan menjadi lahan kelapa sawit. Ada dua dampak utama yang
ditimbulkan dari pengalihan hutan menjadi lahan kelapa sawit di Kalimantan Barat yakni
degradasi serta deforestasi dan konflik sosial. Pertama degradasi, pembakaran lahan di
Kalimantan Barat memicu degradasi hutan yang menyebabkan menurunnya daya simpan tanah
terhadap air. Luas hutan di Kalimantan Barat ditetapkan 9,2 juta hektar dan lahan gambut 1,7 juta
hektar (SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259, 2000). Sektor kehutanan dan lahan
gambut di Kalimantan Barat berperan penting bagi penyimpanan karbon. Deforestasi dan
degradasi menyebabkan penurunan kemampuan hutan untuk menyerap dan menyimpan karbon
serta gas buang dari indsutri dan konsumsi. Oleh karena itu, gangguan terhadap hutan dan lahan
gambut dapat menjadi sumber emisi karbon dan menurunkan daya dukung hutan terhadap
ekosistem.
Kedua konflik sosial, tipologi konflik yang terjadi berdasarkan pelaku dapat dibedakan menjadi
empat yaitu masyarakat adat dan perusahaan (9%), komunitas lokal dan perhutani (11%), petani
dan perusahaan (12%), dan komunitas lokal dan perusahaan (50%) (Huma, 2013). Pemerintah
dalam melaksanakan program pembangunan sering berhadapan dengan konflik antara
masyarakat di sekitar lahan dengan pihak yang ingin memanfaatkan lahan. Konflik terjadi karena
ada perbedaan persepsi antara pihak yang menggunakan lahan (pemerintah dan atau perusahaan)
dan masyarakat. Pihak pengguna lahan berpegang pada aturan hukum positif yang kadang tidak
diketahui secara merata oleh masyarakat sekitar lahan. Sementara masyarakat hanya berpegang
pada adat istiadat atau hukum adat yang juga tidak dipahami secara menyeluruh baik oleh
1
pemerintah maupun pihak perusahaan. Sebagian besar konflik sosial di Kalimantan Barat adalah
antara komunitas lokal dan perusahaan yang terjadi karena tidak adanya atau minimnya
keterlibatan masyarakat lokal dalam pengikutsertaan partisipasi pengalihan hutan menjadi lahan
kelapa sawit.
Deforestasi serta degradasi hutan dan konflik sosial di Kalimantan Barat merupakan
implementasi dari kebijakan yang didukung dengan ketersediaan sumber daya alam. Penerapan
kebijakan tata guna lahan yang tidak tepat menjadi faktor pendorong terjadinya deforestasi serta
degradasi dan konflik sosial di Kalimantan Barat (REDD+ Kalimantan Barat, 2013). Untuk itu,
pada penulisan ini akan dibahas dan diidentifikasi mengenai bagaimana efektivitas tata kelola
(governance) pada tata guna lahan kelapa sawit di Kalimantan Barat dalam mengatasi
degradasi serta deforestasi dan konflik sosial.
Ostrom (1990) pada studinya terhadap kasus deforestasi menemukan bahwa peran masyarakat
lokal krusial dalam pengelolaan hutan. Lebih lanjut, Ostrom (1990) mendefinisikan bahwa
institusi yang kuat memiliki tiga ciri, yaitu memiliki batasan yang jelas, ada kongruen
pengambilan sumber daya, dan ada tendensi bagi setiap orang untuk mematuhi peraturan. Oleh
karena itu, tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan mengidentifikasi efektivitas tata
kelola (governance) pada tata guna lahan kelapa sawit di Kalimantan Barat dalam memitigasi
degradasi serta deforestasi dan konflik sosial. Lebih lanjut penulisan ini diarahkan untuk
melakukan analisis efektivitas tata kelola (governance) pada tata guna lahan kelapa sawit di
Kalimantan Barat dari sisi pemerintah (state) dan sisi perusahaan (private).
2.
Deskripsi Kasus
Kalimantan Barat memiliki administrasi pemerintahan daerah berjumlah 14 kabupaten/kota.
Kabupaten Ketapang adalah daerah terluas 31.240,74 km 2 atau 21,28%. Diikuti Kabupaten
Kapuas Hulu 29.842 km2 atau 20.33% dan Kabupaten Sintang 21.635 km2 atau 14,74%.
Berdasarkan fungsi kawasan, Kalimantan Barat dibagi menjadi dua fungsi kawasan, yaitu fungsi
kawasan lindung seluas 3.952.625 hektar atau 43,06%, dan fungsi kawasan budidaya seluas
5.226.135 hektar atau 59,94%. Sampai dengan tahun 2011, kegiatan penataan batas kawasan
hutan Kalimantan Barat telah mencapai 14.428,03 km atau sekitar 74,13% dari target panjang
batas kawasan hutan yang harus ditata batas, yaitu sepanjang 19.462,42 km.
Menurut SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259 Tahun 2000, luas hutan kawasan
konversi (HPK) adalah 514.350 hektar. Perubahan status kawassan hutan berupa pengurangan
luas kawasan hutan, dilalui dengan proses pelepasan kawasan hutan. Pada prinsipnya pelepasan
kawasan hutan merupakan proses mengubah peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan
hutan untuk keperluan usaha non kehutanan tanpa menyediakan tanah pengganti. Dalam hal ini,
mekanisme pelepasan kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang
dapat dikonversi (HPK), secara tata ruang dicadangkan bagi pengembangan areal non kehutanan
seperti transmigrasi, permukiman, pertanian, dan perkebunan, dengan ketentuan pada wilayah
provinsi yang dilepas kawasannya masih tersisa lebih dari 30% setelah pelepasan kawasan HPK
tersebut. Mekanisme pelepasan kawasan hutan dikuatkan dengan surat keputusan dari Menteri
Kehutanan. Dalam kurun waktu tahun 2006-2011 kawasan hutan yang telah dilepas mencapai
292.985,20 hektar terdiri dari 12 lokasi perusahaan yang tersebar di 4 kabupaten. Sebagian besar
pelepasan kawasan hutan berada di Kabupaten Ketapang, yaitu terdapat 7 lokasi perusahaan
dengan luas total mencapai 217.219,00, dimana seluruh pelepasan kawasan hutan dalam kurun
waktu 2006-2011 adalah perubahan kawasan HPK untuk keperluan usaha perkebunan.
2
Peningkatan luas konversi lahan di Kalimantan Barat merupakan konsekuensi dari kebijakan PP
60 Tahun 2012 dan SK 936/Menhut-II Tahun 2013. Pertama, kebijakan Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010
tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan memiliki dua poin
pengaturan, yakni tukar menukar kawasan hutan dan konversi hutan. Tukar menukar kawasan
hutan dapat dilakukan dengan ketentuan tetap terjaminnya luas kawasan hutan paling sedikit
30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional
dan mempertahankan daya dukung kawasan hutan tetap layak kelola. Selanjutnya, konversi hutan
diperbolehkan untuk kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan oleh Pemerintah
Daerah berdasarkan rencana tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang ditetapkan
sebelum berlakunya UU Nomor 26 Tahun 2007, namun berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2004 areal tersebut
merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi yang dapat dikonversi dengan
mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan kepada Menteri. Ada tujuh perusahaan
perkebunan kelapa sawit yang mengajukan Permohonan Pelepasan Kawasan Hutan Ketelanjuran
ke Kementerian Kehutanan RI, yaitu PT Gemilang Makmur Subur, PT Ledo Lestari, PT Mega
Sawindo Perkasa, PT Tsjafiuddin, PT Wana Hijau Semesta, PT Wirata Daya Bangun Persada, dan
PT Swadaya Mukti Prakasa. Kedua, SK 936/Menhut-II tahun 2013 mengatur pengalihan
kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas lebih kurang 554.137 hektar. Melalui SK
tersebut pemerintah mengupayakan memberikan kepastian hukum kepada perusahaan kelapa
sawit untuk beroperasi dan mengelola lahan. Dengan demikian, kedua regulasi tersebut
memberikan peluang untuk dilakukan pemutihan terhadap kawasan hutan.
Implementasi dari kebijakan yang didukung dengan ketersediaan sumber daya alam melimpah di
Kalimantan Barat memberikan implikasi degradasi serta deforestasi hutan dan konflik sosial.
Pertama, peningkatan degradasi dan deforestasi di Kalimantan Barat. Berdasarkan Analisis Data
Spasial Penapsiran Citra Landsat (2006 dan 2011) laju degradasi dan deforestasi pertahun di
Kalimantan Barat rata-rata mencapai angka 116.172,77 hektar. Kabupaten yang menempati
posisi degradasi tertinggi sampai terendah dalam kawasan hutan berturut-turut adalah Kabupaten
Ketapang, Kapuas Hulu, Sintang, Sanggau, Sambas, Kubu Raya, Bengkayang, Melawi, Landak,
Kayong Utara, Pontianak, Sekadau dan Kota Singkawang. Sedangkan deforestasi tertinggi dalam
kawasan hutan adalah Kabupaten Ketapang, Sambas, Sintang, Kayong Utara, Kubu Raya,
Kapuas Hulu, Sanggau, Bengkayang, Landak, Melawi, Pontianak, Sekadau, dan Kota
Singkawang.
Kedua, konflik sosial terkait lahan di Kalimantan Barat. Konsekuensi dari kebijakan
pembangunan tata guna lahan adalah terjadi tumpang-tindih wilayah kelola rakyat dengan
kawasan hutan dan perkebunan. Data Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang yang Adil dan
Berkelanjutan mencatatkan bahwa pada 2013 sebanyak 529 perusahaan telah memiliki konsesi
seluas 10 juta hektar lahan, atau hampir 70% dari luas wilayah Kalimantan Barat. Dengan
demikian, luas wilayah daratan yang dapat diakses oleh 4,3 juta jiwa penduduk Kalimantan Barat
menjadi 30% atau 4,4 juta hektar. Wilayah yang dapat diakses oleh masyarakat tersebut, masih
harus dikurangi dengan kawasan konservasi dan kawasan lindung seluas 3,7 juta hektar. Di
dalam konsesi perkebunan kelapa sawit, lahan kelola pertanian pangan masyarakat untuk
budidaya tradisional menjadi terbatas. Untuk lahan yang sudah berstatus HGU, terdapat potensi
konflik akibat pertumbuhan populasi dan kebutuhan lahan yang terbatas di Kalimantan Barat
dengan usaha perkebunan. Untuk lahan yang masih dalam tahap pembangunan, ada potensi
3
konflik horizontal karena batas wilayah kelola belum jelas. Pada 2012-2013 terdapat 94 konflik
yang berhubungan dengan kelapa sawit terjadi di Kalimantan Barat (Ditjen Perkebunan, 2013).
Peningkatan luas lahan konversi kelapa sawit di Kalimantan Barat selain disebabkan oleh
implikasi dari implementasi kebijakan juga disebabkan oleh beberapa faktor, yakni konversi
hutan dan lahan produktif menjadi lahan sawit, tidak adanya batasan luas perizinan, kebijakan
politik kepala daerah yang mempromosikan kelapa sawit sebagai komoditas unggulan,
peningkatan permintaan sawit, dan perilaku masyarakat. Secara nasional wilayah perkebunan
kelapa sawit telah meningkat delapan kali lipat sejak 1991, mencapai 8,9 juta hektar pada 2011
(Ditjen Perkebunan, 2012). Sebagian besar pertumbuhan terjadi setelah krisis keuangan 1997
atau paska desentralisasi. Berdasarkan data Ditjen Perkebunan, kelapa sawit berkontribusi
terhadap penerimaan ekspor sebesar 12-15 miliar USD atau 3% terhadap PDB. Hal ini berarti
bahwa perluasan industri kelapa sawit sangat didukung oleh kebijakan pemerintah. Kemudian,
perilaku masyarakat terhadap sumber daya hutan masih kurang kesadaran karena rendahnya
tingkat pengetahuan dan keterampilan baik dalam bidang umum maupun khusus bidang
kehutanan. Kebanyakan masyarakat sekitar wilayah lahan hutan dan kelapa sawit di Kalimantan
Barat masih berpendidikan setaraf sekolah dasar dengan keterampilan petani kecil tradisional.
Lebih lanjut, berdasarkan Reducing Emissions from Deforestation and Degradation Plus
(REDD+) pada 2013 terdapat 4 (empat) akar permasalahan dari ekspansi lahan kelapa sawit di
Kalimantan Barat, yakni inkonsistensi perizinan dengan kesesuaian lahan dan kawasan yang
dilindungi, akses yang terbuka terhadap hutan, hak atas tanah dan hutan yang belum tuntas bagi
semua pihak, korupsi perizinan, dan kondisi ekonomi masyarakat sekitar yang rendah. Dengan
demikian, degredasi serta deforestasi dan konflik sosial di Kalimantan Barat dapat ditinjau dari
efektivitas tata kelola (governance) dalam tata guna lahan yang meliputi alih fungsi hutan yang
sah melalui rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) provinsi atau kabupaten.
Konflik antara penduduk sekitar hutan dengan perusahaan dalam perkebunan kelapa sawit terjadi
saat keberadaan hutan adat dikonversi oleh pemerintah dengan memberikan izin kepada pemilik
modal dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit. Laporan Komisi Kehutanan DPR pada
2008 menyebutkan, 53% Peraturan Daerah Rancangan Tata Ruang dan Wilayah (“Perda
RTRW”) dinilai bermasalah karena menyebabkan kerusakan lingkungan hidup. Perda RTRW
mengacu pada UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang sebagaimana telah diperbarui
dengan UU No. 26 Tahun 2007, bertentangan dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Usulan perubahan kawasan hutan menjadi Areal Peruntukan Lain (APL), tidak dimaknai sebagai
rencana pencadangan lahan untuk kebutuhan produktif masyarakat di masa datang untuk
pertambahan penduduk dan menjaga keseimbangan serta keadilan pengelolaan dan penguasaan
lahan. Akan tetapi usulan perubahan fungsi kawasan diindikasikan sebagai upaya pemutihan atas
kesalahan prosedur perizinan usaha yang beroperasi didalam kawasan hutan. Berdasarkan
rencana peraturan daerah RTRW (2013) pada publik hearing rencana peraturan daerah RTRW
Provinsi Kalimantan Barat pada 18 Juni 2012, terungkap bahwa lampiran peta yang diterima
DPRD dari Pemerintah Provinsi tidak dilengkapi dengan rincian peruntukan usulan perubahan
alih fungsi. Oleh karena itu, pada penulisan ini akan dibahas analisis efektivitas tata kelola
(governance) pada tata guna lahan kelapa sawit di Kalimantan Barat dari sisi pemerintah (state)
dan sisi perusahaan (private).
4
3.
Analisa
Andersson dan Ostrom (2008) dalam “Analyzing Decentralized Resource Regimes from a
Polycentric Perspective” menjelaskan bahwa pendekatan polisentris dengan mempertimbangkan
interaksi antara aktor-aktor di berbagai tingkat pemerintahan dapat berkontribusi untuk
pemahaman terhadap faktor yang mendorong variasi dalam hasil desentralisasi pemerintahan.
Pada studi tersebut Andersson dan Ostrom menggunakan pendekatan polisentris. Perbedaan
utama antara pendekatan sentris konvensional dan polisentris dalam mempelajari sumber daya
desentralisasi adalah lingkup analisis (Andersson dan Ostrom, 2008). Lebih lanjut, Andersson
dan Ostrom (2008) mengemukakan bahwa untuk menjelaskan hasil tata kelola (governance)
desentralisasi, pendekatan polisentris dapat menganalisis kinerja suatu unit pemerintah daerah
untuk mempertimbangkan hubungan antara aktor-aktor pemerintahan, masalah, dan pengaturan
kelembagaan pada berbagai tingkat pemerintahan. Andersson dan Ostrom (2008) mengatakan
bahwa ketika pembuat kebijakan menciptakan sistem aturan umum yang mungkin tidak sesuai
dengan konteks lokal, insentif pengguna untuk mengelola sumber daya secara bertanggung jawab
akan melemah. Pendekatan polisentris mempelajari kondisi interaktif antara kelompok-kelompok
pengguna lokal dan di antara kelompok-kelompok dan pemerintah.
Pemerintah pusat bertanggung jawab untuk menegakkan banyak aturan formal namun regulasi
yang mengatur pemanfaatan hutan hampir tidak ada. Hal ini menciptakan situasi dimana
pengguna hutan memiliki posisi superior, seperti pemilik tanah besar dan perusahaan kehutanan
swasta. Pada tahun 1996, kebijakan desentralisasi hutan Bolivia membantu untuk mengubah
sebagian besar dari tindakan pengecualian petani lokal terhadap pembangunan dan pemanfaatan
hutan (Andersson, 2009). Pengaturan kelembagaan pada skala pemerintahan lainnya seperti
badan nasional pemerintah, organisasi internasional, LSM di berbagai skala, dan asosiasi swasta
juga memiliki peran penting dalam tata kelola sumber daya alam, termasuk dalam self-organized
(Andersson dan Ostrom, 2008).
Tantangan untuk mengatur sumber daya alam semakin kompleks seiring dengan peningkatan
pertumbuhan populasi penduduk dan tuntutan kebutuhan pada sumber daya alam. Common pool
resources (CPR) adalah sumber daya alam yang sangat sulit untuk diatur (Ostrom dan Nagendra,
2006). Dengan demikian, sangat mahal untuk mengecualikan orang lain dari menggunakan
sumber daya CPR, sementara panen dan pemanfaatan satu orang dapat mengurangi panen dan
pemanfaatan CPR bagi orang lain. Aspek tata kelola sumber daya CPR memiliki karakteristik
rival (subtractable) seperti barang private dan memiliki biaya tinggi terkait dengan dapat
dimanfaatkan oleh semua pihak seperti barang publik. Untuk itu, tata kelola yang efektif menjadi
tugas yang paling sulit dihadapi kebijakan publik moderen (Dietz, 2003).
Ostrom (2008) menerangkan bahwa sistem konstitusional yang dapat menghasilkan informasi
memadai pada berbagai skala dan dapat memberikan pengambilan keputusan sah tanpa prosedur
yang terlalu rumit bagi berbagai pelaku yang terlibat dapat memiliki kesempatan lebih baik untuk
berhasil dalam tantangan mengatur CPR. Keunggulan dari manajemen oleh pengguna atau
masyarakat lokal adalah pengetahuan lokal (Andersson dan Ostrom, 2008). Pengetahuan lokal
dari pengguna yang telah tinggal di lingkungan CPR dari sistem sumber daya selama jangka
waktu panjang akan mengembangkan model mental yang relatif akurat tentang bagaimana sistem
biofisik beroperasi, karena upaya keberhasilan panen bergantung pada pengetahuan lokal (Hayek,
1948 dan Ostrom, 1993). Karena pengetahuan lokal ini, pengguna lokal dipandang lebih
memungkinkan untuk menghasilkan aturan yang lebih baik diadaptasi untuk sumber daya lokal
5
common-pool daripada sistem sumber daya umum dengan skala yang lebih besar (Tang 1992,
1994).
Sementara itu terdapat keterbatasan dalam penerapan tata kelola CPR desentralisasi yang
mengakomodir masyarakat lokal. Ostrom (2008) mengatakan bahwa pengguna lokal dapat
mengatur dirinya sendiri untuk mengembangkan mekanisme pemerintahan yang efektif,
sedangkan kemampuan tata kelola dari sistem pemerintahan yang diselenggarakan secara
horizontal di tingkat lokal masih terbatas. Pada sistem desentralisasi penuh, pemerintahan
bergantung pada self-organized dari pengguna sumber daya lokal dan untuk beberapa pengguna
lokal self-organization terlalu mahal (Meinzen-Dick, 2007). Beberapa alasan mengapa sebagian
kelompok tidak mengatur atau tetap terorganisir, termasuk mengurangi ketergantungan pada
sumber daya, diantaranya karena terjadi konflik yang cukup besar di antara pengguna (Libecap,
1989), biaya politik tinggi (Gibson dan Lehoucq, 2003), kurangnya kepemimpinan (Johnson,
2001), dan khawatir upaya kelompok lokal dibatalkan oleh otoritas yang lebih tinggi (Epstein,
1997 dan Shivakumar, 2005). Ada kegagalan sistem desentralisasi yaitu masalah tirani lokal
(Andersson dan van Laerhoven, 2007). Dengan demikian, tidak semua sistem tata kelola sumber
daya self-organized dapat diselenggarakan secara demokratis atau dapat mengandalkan masukan
dari pengguna.
Kompleksitas dari sumber daya alam memerlukan tata kelola (governance) pemerintahan yang
canggih. Untuk mengatur proses yang dapat memberikan insentif bagi pengguna dalam menjaga
pengiriman jangka panjang dibutuhkan tidak hanya sumber daya keuangan dan mekanisme
akuntabilitas pada satu tingkat pemerintahan. Andersson dan Ostrom (2008) menyebutkan bahwa
ada kebutuhan untuk pengaturan tata kelola multilevel yang mengandalkan pengakuan eksplisit
bahwa insentif pada beberapa skala mungkin tidak dapat diperbandingkan dengan barang dan
jasa yang diproduksi dalam skala yang berbeda. Andersson dan Ostrom (2008) menemukan
bahwa eksekutif pemerintahan daerah (walikota) lebih mungkin untuk mendukung dan
berinvestasi dalam tata kelola sumber daya alam ketika ada insentif kelembagaan yang jelas
untuk melakukannya, terlepas dari derajat desentralisasi.
Hasil studi Andersson dan Ostrom terhadap tata kelola (governance) sumber daya common-pool
(CPR), seperti pemanfaatan hutan, dalam sistem pemerintahan desentralisasi akan digunakan
sebagai kerangka teori dalam pembahasan tata kelola (governance) pada tata guna lahan sawit di
Kalimantan Barat. Kerangka teori tata kelola (governance) sumber daya common-pool (CPR)
Andersson dan Ostrom digunakan untuk memperoleh identifikasi efektivitas tata kelola
pemerintah pusat (state) dan perusahaan (private) dalam mengatasi permasalahan degradasi dan
deforestasi serta konflik sosial yang terjadi sebagai implementasi kebijakan yang membawa
implikasi peningkatan konversi hutan menjadi lahan kelapa sawit.
3.1. Tata Guna Lahan
Terdapat 2 (dua) cakupan pembahasan yang dapat digunakan sebagai faktor-faktor identifikasi
efektivitas tata guna lahan di Kalimantan Barat, yaitu sinkronisasi kebijakan tata guna lahan dan
perencanaan tata ruang. Pertama, sinkronisasi kebijakan tata guna lahan. Otoritas pemberian ijin
hutan telah mengalami perubahan, dari pemerintah pusat selama 1967-1998 kepada pemerintah
daerah (kabupaten dan provinsi) selama 1999-2002, kemudian kembali pada pemerintah
pusat/Kementerian Kehutanan sejak 2002 sampai sekarang. Undang-Undang di Indonesia
menjadi otoritas tertinggi untuk penguasaan negara atas lahan dan sumber daya Indonesia. Hal
ini tertanam pada dua hukum utama, yang pertama adalah Undang-Undang Pokok Agraria
6
(UUPA) tahun 1960 yang mengakui lahan negara, lahan milik, dan lahan adat. Kedua, UndangUndang Pokok Kehutanan (UUPK) tahun 1999 yang menyatakan bahwa Kementerian Kehutanan
memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengurus semua aspek terkait hutan, wilayah hutan,
dan hasil-hasil hutan dan penguasaan negara atas wilayah didefinisikan sebagai Kawasan Hutan.
Kawasan Hutan dibagi ke dalam tiga klasifikasi, yaitu hutan lindung dan konservasi, hutan
produksi,dan hutan produksi untuk konversi.
Ketika suatu wilayah telah diklasifikasikan sebagai kawasan hutan maka hanya Kementerian
Kehutanan yang dapat melepaskan menjadi non-kawasan hutan atau penggunaan lahan yang lain,
walaupun wilayah-wilayah strategis harus disahkan oleh DPR. Permasalahan muncul dari
inkonsistensi antara UUPA dan UUPK. Pada UUPK, yang memasukkan lahan adat sebagai
bagian dari lahan negara dan memungkinkan Kementerian Kehutanan untuk secara sepihak
menetapkan wilayah sebagai Kawasan Hutan tanpa mempertimbangkan hak-hak pemerintah
daerah untuk mengelola.
Tercatat sekitar 130 juta dari 187 juta hektar lahan Indonesia telah ditetapkan sebagai kawasan
hutan (Ditjenbun, 2012). Sisanya disebut sebagai Areal Penggunaan Lain (APL). Hal ini berarti
bahwa Kementerian Kehutanan dapat menetapkan hak pemanfaatan lahan untuk 70% dari lahan
Indonesia. Pada Februari 2012, mahkamah konstitusi Indonesia menetapkan bahwa Kementerian
kehutanan harus secara formal mengukuhkan lahan sebagai bagian dari Kawasan Hutan sebelum
menetapkan otoritas pengelolaan terhadapnya (Putusan MK45). Sebelum adanya keputusan ini,
Kementerian Kehutanan secara sepihak menentukan peruntukan lahan sebagai Kawasan Hutan
untuk memungkinkan melakukan pengelolaan aktif terhadap bagian lahan yang luas dan
menghindari pelaksanaan proses pengukuhan yang panjang dan partisipatif.
Kabupaten memiliki otoritas untuk menerbitkan izin-izin kelapa sawit, khususnya karena
terdapat insentif ekonomi dan politis yang kuat bagi pejabat kabupaten untuk mendukung
investasi kelapa sawit. Kekhawatiran ini diperkuat oleh fakta bahwa proses pengukuhan
berlangsung lambat. Hanya 11% dari lahan yang diperuntukkan sebagai Kawasan Hutan yang
telah sepenuhnya dikukuhkan secara nasional. Otoritas lokal juga memiliki mandat hukum untuk
melaksanakan proses pengukuhan, yang memberikan pemerintah lokal kekuatan dalam negosiasi
dengan Kementerian Kehutanan. Sehingga Pemerintah Daerah memiliki kekuasaan untuk
memastikan bahwa semua ijin perkebunan yang telah diterbitkan telah dikeluarkan dari Kawasan
Hutan.
UUPK menyebabkan sulitnya kelompok-kelompok adat untuk memperoleh pengakuan hukum
atas hak-hak lahan di masa lampau. Hal ini memicu sengketa lahan antara masyarakat lokal
dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Perusahaan kelapa sawit oleh hukum dituntut untuk
melibatkan masyarakat setempat yang terkena dampak usaha mereka, untuk menjelaskan rencana
pengembangan dan dampak yang mungkin terjadi bagi masyarakat, memperoleh persetujuan
untuk menanam di atas lahan yang diklaim masyarakat, dan menegosiasikan kompensasi yang
sesuai. Negosiasi ini sering ditekan oleh hubungan kekuasaan yang tidak setara karena
pengadilan menginterpretasikan bahwa hak milik masyarakat lebih lemah dibandingkan hak guna
usaha yang diberikan kepada perusahaan oleh pemerintah. Ketika negosiasi berlangsung buruk,
masyarakat dapat menghimpun kekuatan kolektif untuk memperlambat atau menghentikan
pengembangan sehingga memicu terjadinya konflik sosial.
Kedua, perencanaan tata ruang dan tata kelola lahan di Kalimantan Barat. Undang-undang
nasional tentang tata tahun 2007, mengatur pendekatan bertingkat melalui rencana tata ruang 20
7
tahun pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten. Rencana tersebut dikembangkan dengan
menggunakan proses partisipatif dan sesuai dengan rencana pembangunan jangka panjang. Hal
ini menuntut semua provinsi untuk menyerahkan rencana tata ruang yang telah diperbaiki pada
2010. Peraturan pelaksana dari undang-undang ini menghendaki agar rencana tata ruang tersebut
sesuai dengan Kawasan Hutan Nasional, mengatur peran dan prosedur bagi Kementerian
Kehutanan untuk meninjau dan menyetujui rencana tata ruang tersebut.
Tata kelola lahan di Indonesia terbagi diantara beberapa instansi, yaitu Kementerian Kehutanan,
Pemerintah Daerah dan Badan Pertanahan Nasional. Namun demikian, sebelum Undang-Undang
Tahun 2007 tentang Perencanaan Tata Ruang, dan peraturan pendukung lainnya berlaku,
peruntukan Kawasan Hutan oleh Kementerian Kehutanan dan rencana tata ruang yang disusun
secara terpisah oleh kantor provinsi (RTRWP) berkembang secara terpisah, yang menyebabkan
perbedaan besar pada wilayah dan provinsi tertentu, dalam hal proporsi wilayah yang
diperuntukkan sebagai kawasan hutan.
Akibat dari perbedaan antara Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan dan rencana tata ruang
menyebabkan izin-izin yang akan diterbitkan yang berpotensi sesuai hukum dan sah berdasarkan
satu undang-undang menjadi tidak sesuai hukum dan tidak sah menurut undang-undang lainnya.
Selanjutnya, kondisi ini menyebabkan ketidakpastian bagi dunia usaha dan juga potensi konflik
antar perusahaan. Ketidakpastian status lahan dapat mengurangi insentif bagi investor untuk
meningkatkan praktik pengelolaan, dan mendorong keterlibatan dalam proses revisi perencanaan
tata ruang provinsi dan kabupaten.
Hingga 2014, masyarakat hanya dapat diberikan sebagian hak pengelolaan pada wilaya-wilayah
yang sebelumnya diperuntukkan sebagai Kawasan Hutan, apabila sebelumnya tidak terdapat ijin
kehutanan pada wilayah tersebut. Pemberian ijin kehutanan tidak mempertimbangkan hak
masyarakat dan oleh karena itu berpotensi menimbulkan konflik.
Secara normatif kewenangan daerah dalam tata guna lahan sangat memadai. Dalam pembagian
urusan pusat dan daerah, kehutanan merupakan salah satu dari 31 urusan pemerintahan yang
dibagi (Pasal 2 Ayat (4) PP Nomor 38 Tahun 2007). Urusan perubahan status kawasan hutan
disebutkan secara spesifik dalam bidang urusan mengenai penatagunaan kawasan hutan dimana
peran Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota sangat strategis dalam mengusulkan
perubahan status dan penggunaan kawasan hutan. Terdapat 3 (tiga) pembagian urusan, yakni
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten. Pertama, Pemerintah Pusat
memiliki kewenangan dalam hal penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penatagunaan
kawasan hutan, pelaksanaan penetapan fungsi, perubahan status dan fungsi hutan serta perubahan
hak dari lahan milik menjadi kawasan hutan, pemberian perizinan penggunaan dan tukar
menukar kawasan hutan. Kedua, Pemerintah Provinsi mempunyai kewenangan dalam hal
perkembangan teknis perubahan status dan fungsi hutan, perubahan status dari lahan milik
menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan. Ketiga,
Pemerintah Kabupaten mempunyai kewenangan dalam hal pengusulan perubahan status dan
fungsi hutan dan perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta
tukar menukar kawasan hutan.
Peningkatan luas konversi lahan di Kalimantan Barat merupakan konsekuensi dari kebijakan PP
60 Tahun 2012 dan SK 936/Menhut-II Tahun 2013. Pertama, kebijakan Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010
tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan memiliki dua poin
8
pengaturan, yakni tukar menukar kawasan hutan dan konversi hutan. Kedua, SK 936/Menhut-II
tahun 2013 mengatur pengalihan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas lebih
kurang 554.137 hektar. Melalui SK tersebut pemerintah mengupayakan memberikan kepastian
hukum kepada perusahaan kelapa sawit untuk beroperasi dan mengelola lahan. Dengan
demikian, kedua regulasi tersebut memberikan peluang untuk dilakukan pemutihan terhadap
kawasan hutan.
Ostrom (1990) mengemukakan bahwa terdapat 3 alasan yang mendasari mengapa keterlibatan
masyarakat lokal diperlukan dalam tata kelola (governance) sumber daya common-pool (CPR)
yaitu pemerintah memiliki keterbatasan anggaran dan pegawai pemerintah untuk menegakan
peraturan, terdapat potensi konflik karena pemerintah tindakan monitoring rendah, dan
masyarakat lokal memiliki pengaruh langsung terhadap lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu,
selain diperlukan peraturan yang jelas (tidak tumpang-tindih) dan penegakan peraturan tata guna
lahan juga diperlukan keterlibatan masyarakat lokal dalam merumuskan kebijakan pada skala
Pemerintahan Daerah atau Kabupaten di Kalimantan Barat. Sehingga, konflik sosial terkait
peningkatan konversi lahan kelapa sawit di Kalimantan Barat dapat diatasi.
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 (empat) permasalahan dalam
perencanaan tata ruang, yakni (1) minimnya data/informasi tata guna lahan dan tata batas; (2)
perencanaan yang masih bersifat sektoral dan tidak terpadu; (3) perencanaan tata ruang yang
belum sepenuhnya partisipatif; dan (4) minimnya alokasi untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tata kelola (governance) pada tata guna lahan kelapa
sawit di Kalimantan Barat belum efektif dalam mengatasi deforestasi serta degradasi dan konflik
sosial.
4.
Penutup
Tata kelola (governance) pada tata guna lahan kelapa sawit di Kalimantan Barat belum efektif
dalam mengatasi deforestasi serta degradasi dan konflik sosial. Hal ini dapat ditinjau dari 2 (dua)
skala, yakni skala nasional dan daerah. Pertama, pada skala nasional terdapat regulasi yang saling
tumpang tindih pengaturannya sehingga menimbulkan kegamangan dalam implementasi dan
memicu konflik sosial terkait konversi lahan kelapa sawit. Kedua, pada skala daerah perencanaan
tata guna lahan masih bersifat sektoral dan tidak terpadu dan belum sepenuhnya partisipatif.
Andersson dan Ostrom (2008) dalam “Analyzing Decentralized Resource Regimes from a
Polycentric Perspective” menemukan bahwa ada kegagalan pada sistem desentralisasi sehingga
tidak semua sistem tata kelola sumber daya self-organized dapat diselenggarakan secara
demokratis atau dapat mengandalkan masukan dari pengguna. Selanjutnya, Andersson dan
Ostrom (2008) menemukan bahwa eksekutif pemerintahan daerah (walikota) lebih mungkin
untuk mendukung dan berinvestasi dalam tata kelola sumber daya alam ketika ada insentif
kelembagaan yang jelas untuk melakukannya, terlepas dari derajat desentralisasi. Dengan
demikian, untuk mengatasi degredasi dan deforestasi serta konflik sosial terkait lahan di
Kalimantan Barat diperluakan kejelasan hukum, penegakan hukum, dan insentif kelembagaan
yang jelas.
9
Rekomendasi yang dapat dilakukan untuk mengupayakan tata kelola (governance) pada tata guna
lahan kelapa sawit di Kalimantan Barat secara efektif adalah sebagai berikut:
Harmonisasi peraturan tata guna lahan dan tata ruang lahan. Secara regulasi beberapa muatan
peraturan tata guna lahan masih ada yang tumpang-tindih dengan peraturan lainnya. Untuk
itu, pemerintah perlu melakukan peninjauan regulasi baik secara horizontal maupun secara
vertikal.
Sinkronisasi status lahan. Persoalan lahan sering bermasalah akibat data yang dimiliki
pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sering berbeda. Dalam hal ini perlu dilakukan
sinkronisasi data lahan dengan melibatkan masyarakat.
Meningkatkan peluang bagi masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan hutan
untuk berperan serta pro-aktif serta penerima manfaat langsung maupun tidak langsung dalam
mekanisme implementasi kebijakan tata kelola penggunaan lahan.
Mendorong praktik-praktik dan dukungan tingkat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam
hutan berbasis masyarakat.
Menjadikan praktik sanksi adat terhadap pelanggaran di kawasan hutan untuk mengawal dan
memonitor (safeguard monitoring) dalam rangka memastikan jasa lingkungan dan biodifersiti
kawasan hutan.
Menciptakan kelembagaan formal (lembaga percepatan dan monitoring) pada tingkat provinsi
dan kabupaten sebagai percepatan penyelesaian status penggunaan lahan dan memitigasi
konflik sosial terkait lahan. Kelembagaan formal ini dapat dibentuk dengan inisiasi dari
pemerintah provinsi dan kabupaten serta perwakilan masyarakat dan perwakilan perusahaan
untuk mencapai tujuan bersama.
Mengupayakan pengembangan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia serta
perangkat operasional penyelenggaraan kelembagaan formal percepatan dan monitoring.
10
Daftar Pustaka
Andersson, Krister P. (2009). A New Perspective on Community Governance of Forests in Bolivia:
The Role of External Organizations. International Society of New Institutional.
http://extranet.isnie.org/uploads/isnie2009/andersson_benav
ides_leon.pdf (diakses 7 Juni 2014).
Andersson, Krister P., dan Ostrom Elinor. (2008). Analyzing Decentralized Resource Regimes from a
Polycentric Perspective. Policy Sciences, Vol. 41, No. 1 (Mar., 2008), 71-93.
http://203.130.231.12/cgi-bin/proxy/nphproxy.cgi/00/http/www.jstor.org/stable/pdfplus/10.2307/2547
4353.pdf (diakses 7 Juni 2014).
Fachrizal, A., Sirait, J., dan Wihardandi, A. (2014). Fokus Liputan: Kelapa Sawit, antara Kepentingan
Politik
dan
Tata
Guna
Lahan
(Bagian
I).
http://www.mongabay.co.id/2014/04/07/fokus-liputan-kelapasawit-antara-kepentingan-politik-dan-tata-guna-lahanbagian-i/ (diakses 27 Mei 2014).
Fachrizal, A., Sirait, J., dan Wihardandi, A. (2014). Fokus Liputan: Kelapa Sawit, antara Kepentingan
Politik
dan
Tata
Guna
Lahan
(Bagian
II-Selesai).
http://www.mongabay.co.id/2014/04/08/fokus-liputan-kelapasawit-antara-kepentingan-politik-dan-tata-guna-lahanbagian-ii-selesai/ (diakses 27 Mei 2014).
Gultom, Yohanna M.L. (2014). Governance and The Commons. Materi Kuliah Ekonomi
Kelembagaan. Jakarta.
Hardiansyah, Gusti, dkk. (2013). Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Kalimantan
Barat.
http://www.gcftaskforce.org/documents/SRAP_west_kalimantan_
2014_ID.pdf (diakses 8 Juni 2014).
11