Penegakan Hukum di Indonesia Studi Kasus

UNIVERSITAS PADJADJARAN

G10B.105
Pengantar Ilmu Hukum

Penegakan Hukum di Indonesia:
Studi Kasus Vonis Bebas Wali Kota Bekasi Nonaktif, Mochtar Muhammad,
dari Dakwaan Korupsi oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung

Ravio Patra Asri
170210110019

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Departemen Hubungan Internasional
Tahun Akademik 2011/2012

JATINANGOR
Oktober 2011

LATAR BELAKANG MASALAH


Korupsi di Indonesia, menurut banyak ahli, adalah suatu fenomena yang
berkembang secara sistemik dan endemik. Korupsi bukan lagi dianggap sekadar
suatu pelanggaran hukuk, namun sudah terdistorsi menjadi suatu kebiasaan. Hal
ini tercermin dari posisi indeks tindak korupsi Indonesia yang selalu tergolong
sangat buruk dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. 1
Maraknya tindak korupsi ini tentunya juga diikuti oleh berkembangnya
upaya pemberantasan korupsi. Meskipun pemberantasan ini seringkali dianggap
tidak serius dan mendalam, terlihat setidaknya ada langkah positif yang diambil
oleh pemerintah melalui pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK
pada tahun 2003.
Kasus korupsi pertama yang terungkap dalam sejarah Republik Indonesia
adalah isu yang diangkat oleh koran lokal, Indonesia Raya, mengenai dugaan
korupsi oleh Menteri Luar Negeri, Ruslan Abdulgani. Akibat pemberitaan ini,
koran ini pun kemudian dibredel oleh pemerintah Orde Baru. Sebelumnya, Lie
Hok Thay mengaku memberikan uang senilai satu setengah juta rupiah kepada
Abdulgani untuk ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus ini, Menteri
Penerangan dua kabinet terakhir, Burhanuddin Harahap dan Syamsudin Sutan
Makmur, serta Direktur Percetakan Negara, Pieter de Quelioe, berhasil ditangkap.
Dalam perkembangannya, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar, tokoh di
balik koran Indonesia Raya, ditangkap oleh pemerintah dengan tuduhan lawan

politik Presiden Soekarno. Melihat banyaknya penumpagan ini, Jenderal A. H.
Nasution pun kemudian berusaha mencegah kekacauan lebih lanjut dan
memimpin sebuah tim pemberantasan korupsi yang pada akhirnya gagal

Sesuai dengan artikel dalam “Korupsi di Indonesia”, Wikipedia,
http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi_di_Indonesia (25 Oktober 2011) serta pernyataan Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi pertama, Taufiquerachman Ruqi, dalam “Komisi Pemberantasan
Korupsi”, Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi (25 Oktober
2011). Ruqi mengemukakan bahwa berdasarkan survei Transparency Internasional tahun 2005,
masyarakat bisnis dunia menilai pelayanan publik di Indonesia sangat buruk sehingga
mendapatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 2.2 (dengan 1 paling korup). Nilai IPK ini
menempatkan Indonesia pada peringkat 137 dari 159 negara yang disurvei.
1

melaksanakan tugasnya. Usaha Jenderal Nasution ini pun kemudian dikenal
sebagai usaha pemberantasan korupsi terorganisir pertama di Indonesia. 2
Dari aspek hukum, pemerintah sebenarnya memiliki kewenangan penuh
yang luas dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. Pada masa Orde Lama,
pemberantasan korupsi didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dan Undang-Undang No. 24 Tahun 1960. Sedangkan pada masa pemerintahan

Orde Baru, usaha pemberantasan korupsi didasarkan kepada Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1971 yang pada kenyataannya gagal mengungkap kasus-kasus
korupsi yang kebanyakan tertutupi oleh usaha penguasaan bisnis-bisnis strategis
oleh pemerintah dan kolega-koleganya.
Puncaknya, pada akhir dekade 1990-an, segenap rakyat Indonesia, dengan
motor para mahasiswa, melancarkan gerakan besar-besaran di segenap penjuru
negeri. Gerakan tuntutan diadakannya suatu reformasi birokrasi dan kenegaraan
secara menyeluruh ini muncul akibat berbagai permasalahan sosial dan ekonomi
terutama inflasi serta perilaku para pemangku kekuasaan, dari pusat hingga ke
daerah-daerah, yang penuh dengan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Melalui perjuangan yang panjang, diiringi dengan beberapa kasus kekerasan
dan pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh pemerintahan Orde Baru, tuntutan akan
reformasi pun akhirnya terpenuhi setelah Presiden Soeharto, yang telah berkuasa
selama lebih dari tiga dekade, mundur dari jabatannya. Mundurnya Soeharto, yang
juga tak lepas dari desakan dan tekanan asing terutama Amerika Serikat melalui
Menteri Luar Negerinya saat itu, Madeleine Albright, disambut dengan gembira
oleh segenap bangsa Indonesia. Amien Rais, seorang cendekiawan yang semenjak
awal lantang menyuarakan regormasi sehingga ia pun dijuluki Bapak Reformasi,
tampil ke depan untuk memimpin lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pasca-Reformasi, dilakukanlempat kali amandemen terhadap UndangUndang Dasar 1945 selama periode 1999 hingga 2002 dengan salah satu

perubahan yang terjadi yaitu pembatasan kekuasaan Presiden sehingga menutup
kemungkinan terjadinya pemerintahan Orde Baru dengan muka berbeda. Pada

2

Ibid.

masa reformasi ini, upaya pemberantasan korupsi didasarkan pada UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Salah satu langkah konkrit pemerintah pasca-Reformasi yang layak
diapresiasi adalah pembentukan beberapa lembaga baru yang bertugas khusus
menangani tindak pidana korupsi. Selain itu, tumbuh kembangnya semangat
kebebasan berpendapat dan berserikat pun ikut memberika citra positif terhadap
upaya pemberantasan korupsi. Selain dilaksanakan secara formal oleh Kepolisian,
Kejaksaan, serta lembaga-lembaga negara lainnya, upaya pemberantasan korupsi
kemudian berkembang pesat setelah didirikannya Komisi Pemberantasan Korupsi
di bawah komando Presiden Megawati Soekarnoputri yang diatur dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002. Sementara itu, untuk menjaga agar usaha ini
berjalan dengan benar, bermunculan berbagai organisasi non-Pemerintah seperti
Indonesian Corruption Watch, Transparency International Indonesia, dan mediamedia massa yang mulai diberikan ruang seluas-luasnya dalam melaksanakan
tugas jurnalistik melalui pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999.

Akan tetapi, cita-cita dan pemberantasan korupsi ini ternoda oleh berbagai
kasus yang dirasa janggal oleh masyarakat; salah satunya adalah pengampunan
mantan Presiden, Soeharto, dengan alasan yang tidak kuat. Penyelewengan
kekuasaan rezim Soeharto, terutama berbagai kebijakannya yang berbau kolusi
dan nepotisme, pada akhirnya tidak diadili dengan benar hingga akhirnya ia
meninggal beberapa tahun kemudian.
Selain itu, salah satu fenomena yang sangat mengotori semangat
pemberantasan korupsi ini adalah maraknya kasus korupsi yang terjadi di dalam
lembaga-lembaga penegak hukum. Bukan hanya Kepolisian dan Kejaksaan,
namun Komisi Pemberantasan Korupsi, yang sangat dielu-elukan masyarakat
berkat berbagai pencapaiannya, pun ternyata tak lepas dari jeratan hukum. 3

3

Ibid. Dari survei yang sama, ditemukan bahwa lembaga terkorup di Indonesia adalah lembaga
peradilan (27%), perpajakan (17%), kepolisian (11%), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (10%),
Kementerian dan Departemen Pemerintahan (9%), Bea dan Cukai (7%), Lembaga Pendidikan
(4%), Lembaga Pemberi Perizinan (3%), dan Badan Pekerjaan Umum (2%).

Melihat korupsi yang sudah membudaya ini, maka tak heranlah apabila

publik internasional memandang Indonesia sebagai surga para koruptor.4 Bukan
hanya karena maraknya kasus yang ada, namun juga disebabkan oleh seringnya
terjadi pembebasan tersangka kasus korupsi oleh Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi; terutama semenjak direstuinya wacana pembentukan Pengadilan Tipikor
di daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Salah satu kasus yang begitu hangat di tengah-tengah masyarakat saat ini
adalah vonis bebas dan tidak bersalah atas seluruh tuduhan yang diputuskan oleh
majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Jawa Barat, atas Wali
Kota Bekasi nonaktif, Mochtar Mohammad, yang menjadi tersangka dalam
sekaligus empat dugaan korupsi selama menjabat sebagai kepala daerah. Kasus
ini, menarik untuk ditelaah lebih lanjut, mengingat pengadilan yang sama juga
telah mengeluarkan vonis bebas atas dugaan pidana korupsi dua kepala daerah
lainnya hanya dalam waktu tiga bulan. Akibat putusan ini, pengadilan yang baru
berumur sekitar setahun ini disorot kinerjanya oleh berbagai media massa serta
praktisi hukum dan politik.

Ibid. Masih menurut survei yang sama dari Transparency International dengan tajuk “Global
Corruption Barometer”, didapatkan kesimpulan bahwa partai politik merupakan institusi
terkorup di Indonesia dengan indeks 4.2 (rentang nilai 1-5, 5 untuk terkorup). Lebih lanjut lagi,
Indonesia sukses meraih prestasi sebagai negara terkorup di Asia dengan skor 9.25 (rentang nilai

1-10, 10 untuk terkorup); meninggalkan India (8.9) dan negara-negara Asia Tenggara lainnya
seperti Vietnam (8.67), Filipina (8,33), dan Thailand (7.33). Kenyataan ini sekaligus
mengindikasikan bahwa kawan Asia Tenggara merupakan kawasan dengan tingkat korupsi
terparah di Asia bahkan dunia.

4

IDENTIFIKASI MASALAH

Kontroversi yang ditimbulkan akibat vonis bebas dan tidak bersalah
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung atas dugaan korupsi Wali Kota
Bekasi nonaktif, Mochtar Muhammad, tentu membuat masyarakat bertanya-tanya.
Mochtar, yang oleh Jaksa didakwa menyuap anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Bekasi sebesar Rp. 4, 250, 000, 000, - untuk memuluskan pengesahan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2010, menyalahgunakan
anggaran makan-minum sebesar Rp. 639, 000, 000, -, menyuap panitia penilai
Piala Adipura tahun 2010 senilai Rp. 500, 000, 000, -, serta menyuap pegawai
Badan Pemeriksa Keuangan sebesar Rp. 400, 000, 000, -, ini dibebaskan dari
segala tuntutan hukum pada persidangan tanggal 11 Oktober 2011.5
Majelis Hakim, yang diketuai oleh Azharyadi dengan anggota Eka Saharta

Winata Laksana dan Ramlan Comel menilai semua dakwaan jaksa, yang menuntut
Mochtar 12 tahun kurungan penjara dan denda sebesar Rp. 300, 000, 000, kepada negara, tidak terbukti. Selain itu, Azharyadi juga menyebutkan dalam
pembacaan putusannya bahwa reputasi terdakwa haruslah dipulihkan. 6
Dari penyidikan yang dilakukan, diduga Mochtar memakai anggaran
sebesar Rp. 639 juta untuk membayar angsuran utang pribadinya di Bank Jabar
Banten. Sedangkan suap yang dilancarkan kepada anggota DPRD Bekasi, Lilik
Haryoso, senilai lebih dari Rp. 4 miliar dimaksudkan untuk memperlancar
pembahasan anggaran Kota Bekasi 2010. Dana suap ini sendiri, juga berasal dari
hasil korupsi, dengan cara memotong dua persen nilai anggaran proyek di tiap
dinas.
Dakwaan pun berlanjut kepada dugaan penyuapan auditor Badan Pemeriksa
Keuangan Bandung, Suharto, dengan tujuan agar laporan keuangan Kota Bekasi
2009 dinilai wajar. Tuduhan ini sendiri, menurut KPK, adalah pengembangan dari
kasus sebelumnya dimana KPK berhasil mengamankan dua pejabat Kota Bekasi.
Erick P. H., Tri S., dan Hamluddin, “Pengadilan Antikorupsi Bebaskan Wali Kota Bekasi”, Tempo,
No. 3674/XI, 12 Oktober 2011, h. A4.
6
Anton A., Erick P. H., dan Hamluddin, “Vonis yang Sudah Diduga”, Tempo, No. 4033, 17-23
Oktober 2011, h. 90.
5


Sementara tuduhan KPK mengenai penyuapan yang dilakukan Mochtar kepada
anggota tim penilai Piala Adipura 2010 dari Kementerian Lingkungan Hidup,
Melda Mardalina, didasarkan pada temuan KPK bahwa nilai Kota Bekasi saat itu
berada di bawah standar. Melda sendiri dalam persidangan mengaku memang
pernah ditawari uang oleh Mochtar, namun tidak diterimanya. Setelah memeriksa
76 saksi dan 5 saksi ahli serta 320 barang bukti yang disediakan oleh tim penyidik
KPK, majelis hakim pun akhirnya menilai keempat dakwaan yang dituduhkan
tidak bisa menjerat Mochtar.7
Secara kronologis, kasus Mochtar sendiri bermula dari tertangkap tangannya
dua pejabat Kota Bekasi, Herry Lukmantory dan Herry Suparjan, ketika tengah
menyuap auditor BPK, Suharto pada Mei 2010. Dari tangan kedua pejabat yang
telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta ini, KPK menyita barang
bukti berupa uang suap senilai Rp. 200 juta rupiah. 8 Berangkat dari kasus ini,
KPK pun kemudian mengembangkan penyidikan hingga berlanjut dengan
penetapan Mochtar sebagai tersangka pada 15 November 2010. Sebulan
berselang, tepatnya pada 13 Desember, Mochtar pun resmi ditahan di Rumah
Tahanan Salemba, Jakarta. Pada 8 April 2011, Mochtar dipindah ke Rumah
Tahanan Kebonwaru, Bandung. Selang sebulan kemudian, pada 24 Mei, ia pun
sempat dirawat di Rumah Sakit M. H. Thamrin, Jakarta, karena penyakit jantung

koroner. Penyakit inilah yang kemudian dijadikan alasan hakim menangguhkan
penahanan Mochtar semenjak 20 Juni. Pada sidang 8 September 2011, Jaksa
Penuntut Umum menuntut Mochtar dengan hukuman 12 tahun penjara dan denda
Rp. 300 juta; yang berakhir dengan vonis bebas kontroversial ini. 9
Putusan ini sendiri sudah diprediksi oleh sejumlah kalangan. Koordinator
Masyarakat Antikorupsi Indonesia, Bunyamin Saiman, misalnya, mengaku sudah
mencium gelagat ini sejak awal persidangan. Ia menyebut pemberian status
tahanan kota pada 20 Juni 2011 silam sebagai sinyalemen kejanggalan karena
mirip dengan kisah dua kasus sebelumnya.10
7

Ibid.
Ibid.
9
“Hikayat Pak Wali Kota” [Ilustrasi], Tempo, No. 4033, 17-23 Oktober 2011, h. 92-93.
10
Anton A., Erick P. H., dan Hamluddin, op. cit., h. 92.
8

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung memang sedang menjadi

sorotan berbagai kalangan pemerhati korupsi dan media masaa di Indonesia.
Sebelum vonis bebas Mochtar, pengadilan yang beranggotakan sembilan orang
hakim karier dan enam hakim ad hoc ini pada Agustus dan September 2011 juga
memvonis bebas dua pejabat terdakwa korupsi; Bupati Subang nonaktif, Eep
Hidayat, serta Wakil Wali Kota Bogor nonaktif, Ahmad Ru’yat. Dalam kedua
persidangan ini, sama seperti Mochtar, majelis hakim yang bertugas juga
memberikan penangguhan penahanan dengan alasan sakit. 11
Pun kasus ini akhirnya mendapatkan sorotan lebih tak lain adalah karena
baru kali inilah dalam sejarah KPK, yang hampir satu dekade berdiri, kasus yang
diajukan ke pengadilan dimentahkan oleh hakim. KPK, yang selama ini memang
terkenal komprehensif dan akurat dalam mengajukan suatu kasus ke Pengadilan
Tipikor, tentu tidak tinggal diam. Kepada media, KPK menyebutkan bahwa
mereka akan berfokus kepada pembedahan proses persidangan. Jika memang
benar ditemukan adanya pengabaian barang bukti oleh majelis hakim, maka,
menurut Ketua KPK, Busyro Muqoddas, telah terjadi suatu manipulasi hukum. Di
lain kesempatan, juru bicara KPK, Johan Budi, menyatakan bahwa KPK akan
mengajukan kasasi atas putusan bebas Mochtar ini ke Mahkamah Agung. Johan
menilai, ratusan bukti dan puluhan saksi yang dihadirkan KPK selama masa
persidangan semestinya cukup untuk menjerat Mochtar.12

Dalam “Kejutan Terus dari Bandung” [Tabel], Tempo, No. 4033, 17-23 Oktober 2011, h. 92.,
tertera rincian kasus korupsi yang melibatkan Eep Hidayat dan Ahmad Ru’yat. Eep tersangkut
kasus dugaan korupsi upah pungut pajak di Kabupaten Subang, Jawa Barat, senilai Rp. 14 miliar.
Perkara ini dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Bandung oleh Kejaksaan Negeri Subang dengan
tuntutan delapan tahun penjara. Dalam persidangan tanggal 22 Agustus 2011, majelis hakim yang
terdiri atas ketua I Gusti Lanang Dauh serta anggota Nurhakim dan Ramlan Comel memutuskan
Eep tidak bersalah dan bebas dari segala tuntutan. Selang dua minggu kemudian, tepatnya 8
September 2011, majelis hakim yang diketuai oleh Joko Siswanto dengan anggota Azharyadi dan
Iskandar Harun pun kembali memvonis bebas terdakwa korupsi lainnya, yakni Wakil Wali Kota
Bogor nonaktif, Ahmad Ru’yat, yang dijerat Kejaksaan Negeri Bogor dengan tuntutan empat
tahun penjara atas kasus dugaan korupsi berombongananggaran Kota Bogor 2002 senilai Rp. 6, 8
miliar.
12
Rusman Paraqbueq, dkk., “KPK Ajukan Kasasi Vonis Wali Kota Bekasi”, Tempo, No. 3675/XI, 13
Oktober 2011, h. A3.
11

PEMBAHASAN MASALAH

Dalam menangani suatu kasus korupsi, idealnya setiap penyidik yang
terlibat haruslah memiliki ketelitian dan kecermatan khusu disertai dengan sebuah
penyelidikan yang menyeluruh atau komprehensif. Prinsip ini rupanya disadari
betul oleh para penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang dikenal tidak
pernah mengajukan suatu kasus untuk diadili Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
tanpa dibekali dengan barang bukti, saksi, dan dakwaan yang kuat. Ini pulalah
kiranya yang membuat semua kasus yang diajukan KPK ke Pengadilan Tipikor
semenjak awal berdirinya pada 2003 silam berakhir dengan vonis bersalah.
Meskipun kepercayaan publik terhadap kinerja KPK sempat menurun akibat
kisruh yang menimpa para pimpinannya, lembaga ini tetaplah memiliki kapasitas
dan track record lebih mumpuni dalam upaya pemberantasan korupsi
dibandingkan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya yang terbukti korup.13
Tindak pidana korupsi sendiri, di Indonesia, sebenarnya telah diatur
sedemikian rupa oleh negara melalui berbagai peraturan yang telah diterbitkan;
mulai dari pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP hingga
Undang-Undang. Sayangnya, peraturan-peraturan ini ternyata tak cukup bertaring
untuk mencegah para pemegang kekuasaan melakukan korupsi. Fakta inilah, yang
kemudian, memunculkan anggapan bahwa korupsi di Indonesia bukan sekadar
sebagai penyelewengan kekuasaan semata, akan tetapi sudah menjadi suatu
budaya tersendiri di dalam ranah birokrasi. 14

13

Lihat [3]
Dikutip dari Furmensius Andi, “Korupsi sebagai Sebuah Budaya? Sebuah Telaah Filosofis atas
Fenomena Korupsi di Indonesia”, http://perkantasjatim.org/index.php?g=writing&id=49 (25
Oktober 2011). Hingga sekarang, istilah budaya korupsi tetap menjadi perdebatan; terutama
karena definisi budaya sebagai sebagai sesuatu yang memicu peningkatan nilai kehidupan
manusia dalam lingkungan yang manusiawi sangat bertentangan dengan korupsi yang dianggap
sebagai salah satu perbuatan manusia yang paling rendah. Sebelumnya, pernyataan ini
dipopulerkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia dalam Kabinet Pembangunan VI masa
pemerintahan Orde Baru sekaligus Ketua Masyarakat Transparansi Indonesia, Mar’ie
Muhammad, dalam bentuk peringatan kepada masyarakat agar berhati-hati akan ancaman
korupsi dalam bedah buku Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi (17 September 1998),
http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi4/4berita_3.html (20 Mei 2010)
14

Semenjak era pemerintahan Orde Lama pun, sudah banyak peraturan
pemerintah yang dibuat untuk mengatur penanganan korupsi; hanya saja, tanpa
adanya niat yang nyata dari para penegak hukum, tentu tidak ada perubahan yang
dapat dihasilkan. Beberapa peraturan tersebut antara lain:
o Buku II Bab XXVIII KUHP tentang Kejahatan Jabatan;
o Pasal 413-437 KUHP tentang Korupsi sebagai Delik Jabatan;
o Pasal 415-425 KUHP;
o Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat 16 April
1958 Nomor Prt/Peperpu/013/1958 (BN Nomor 40 Tahun 1958) (staf
Angkatan Laur Nomor Prt/Z.1/I/7) yang membagai tindak korupsi ke dalam
dua jenis; tindak korupsi pidana, tercantum dalam pasal 2, serta tindak
korupsi bukan pidana-perdata, yang dijelaskan secara rinci dalam pasal 3.
o Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor 24 Tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (UndangUndang Nomor 24/Prp/1960) yang pertama kali memperkenalkan istilah
Tindak Pidana Korupsi;
o Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (berlaku sejak 29 Maret 1971);
o Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi; kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999;
o Yurisprudensi, diantaranya adalah Putusan MA Nomor 88K/Kr/1969,
Nomor 77K/Kr/1973, dan Nomor 1340/Pid/1992. 15

Melihat banyaknya sumber hukum yang mengatur masalah korupsi secara
langsung diatas, maka dapat dinyatakan suatu premis bahwa para penegak hukum
seharusnya tidaklah perlu mengalami kesulitan dalam mengusut berbagai kasus
yang ada; karena ranah hukumnya yang luas memberikan para penegak hukum
ruang gerak yang luas pula.
Rudi Satriyo Mukantardjo, “Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Sejarah
Perkembangannya”. Materi Presentasi pada Pelatihan Hakim dalam Perkara Korupsi. Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Bogor, Jawa Barat, Indonesia, 26
April 2010.
15

Pun dalam menelaah kasus pembebasan Mochtar Muhammad oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, tak ada salahnya jika catatan prestasi
KPK yang belum pernah gagal menjerat terdakwa korupsi dalam sekitar 68 kasus
selama hampir satu dekade dijadikan salah satu acuan atau pertimbangan.16 Salah
satu contoh konkrit keunggulan tim penyidik KPK dapat dilihat dari kasus
pembebasan Gubernur Bengkulu nonaktif, Agusrin Najmuddin, oleh hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syarifuddin Umar, yang saat ini tengah
menjalani masa persidangan atas suap yang diterimanya semasa menjabat
pengawas kepailitan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.17 Kasus ini menjadi hangat
karena selang beberapa lama pascavonis pembebasannya, Agusrin malah
tertangkap tangan oleh KPK dalam kasus suap dan pemerasan. 18
Kasus pembebasan Mochtar ini pun bisa jadi berakhir serupa dengan kasus
Agusrin. Jika dalam kasus Agusrin, hakim yang bermain mata adalah Syarifuddin,
maka dalam persidangan Mochtar, terdapat satu nama hakim yang menjadi
sorotan utama, yaitu Ramlan Comel.
Hakim ad hoc berusia 60 tahun ini menjadi bulan-bulanan media massa
pascavonis bebas Mochtar setelah Denny Indrayana, Sekretaris Satuan Tugas
Pemberantasan Mafia Hukum, membeberkan bahwa salah satu hakim, berinisial
“R”, yang mengadili perkara Mochtar pernah terjerat kasus korupsi. 19 Namun,
kepada media massa, Ramlan membantah tuduhan ini meskipun kemudian temuan
di lapangan berbicara lain.
Pada Juni 2005, Pengadilan Negeri Pekanbaru, Riau, menjatuhkan hukuman
dua tahun penjara dan denda Rp. 100 juta kepada Ramlan karena terbukti bersalah
dalam dugaan kasus korupsi dana overhead di PT Bumi Siak Pusako Riau.
Kerugian negara yang diakibatkan oleh kasus ini pun ternyata tak sedikit;
mencapai angka Rp. 766 juta. Namun, di tingkat kasasi, Mahkamah Agung
Emerson Yuntho, “Lampu Kuning untuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”, Tempo, No.
3680/XI, 18 Oktober 2011, h. A11.
17
Isma Savitri, “Syarifuddin Diancam 20 Tahun Penjara”, Tempo, No. 3683/XI, 21 Oktober 2011,
h. A6.
18
Emerson Yuntho, loc. cit.
19
Erick P. Hardi, Tri Suharman, dan Deddy S., “Hakim yang Pernah Tersangkut Korupsi”, Tempo,
No. 3675/XI, 13 Oktober 2011, h. A3.
16

membatalkan vonis bersalah tersebut. Ramlan dinilai tidak bersalah dan
dilepaskan dari semya tuntutan jaksa kala itu. Data ini pun juga diamini
kebenarannya oleh Ketua Bidang Pengawasan dan Investigasi Komisi Yudisial,
Suparman Marzuki. 20
Bukan hanya Ramlan, ternyata dua hakim lainnya, Azharyadi dan Eka
Laksana, juga memiliki rekam jejak yang tidak bebas cacat; meskipun keduanya
tidak pernah duduk di kursi pesakitan. Dua hakim ini ternyata pernah dilaporkan
oleh masyarakat karena dinilai melakukan pelanggaran kode etik kehakiman.
Meskipun tidak pernah terbukti bersalah, kedua hakim ini tentunya layak untuk
dievaluasi bersama Ramlan. Evaluasi ini semakin penting apabila menimbang
keterlibatan Ramlan dan Azharyadi dalam dua kasus korupsi lain yang divonis
bebas oleh Pengadilan Tipikor Bandung. 21
Melihat catatan-catatan ini, wajarlah publik pun mulai mempertanyakan
independensi dan kapasitas para pengadil ini. Kegaduhan yang diciptakan pun
rupanya sampai ke Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan hukum
tertinggi di Indonesia. Dari pernyataan Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah
Agung, Joko Sarwoko, diketahui bahwa ternyata hakim Ramlan Comel tidak
terbuka mengenai rekam jejaknya ketika menjalani seleksi hakim tipikor. Alasan
inilah yang menurut Joko akan dijadikan penyebab MA memutuskan untuk
meminta Ramlan mundur daru jabatannya sebagai hakim ad hoc tipikor.22 Bak
gayung bersambut, permintaan MA ini pun sebenarnya akan terlaksana dengan
mudah karena Ramlan sendiri, pada 13 Oktober 2011 atau dua hari pasca
pembacaan putusan bebas Mochtar, menyatakan bahwa ia siap jika diminta
mundur atau diberhentikan; bahkan ia juga mengaku tak ada masalah jika Komisi
Yudisial memutuskan untuk memeriksa jejak rekamnya. 23

Sandy I. Pratama dan Erick P. Hardi, “Pengadil yang Sarat Catatan”, Tempo, No. 4033, 17-23
Oktober 2011, h. 96.
21
Lihat [11]
22
Taufik Rachman dan Palupi A. Auliani, “MA Minta Hakim Kasus Muchtar Muhamad Mundur”,
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/11/10/15/lt3qvt-ma-minta-hakim-kasusmuchtar-muhamad-mundur (25 Oktober 2011)
23
Erick P. Hardi dan Mahardika S. Hadi, “Hakim Ad Hoc Perkara Mochtar Siap Diberhentikan”,
Tempo, No. 3676/XI, 14 Oktober 2011, h. A6.
20

Lebih lanjut, Ketua Mahkamah Agung, Harifin A. Tumpa, menyampaikan
bahwa proses seleksi Ramlan ketika menjadi hakim tipikor tidak bermasalah dari
segi administratif. Selain mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang dan
melibatkan lembaga swadaya serta anggota tim dari luar MA, pemilihan Ramlan
pun telah melalui uji publik. Namun, menurut Tumpa, MA tidak menerima
satupun pengaduan dari masyarakat mengenai rekan jejak Ramlan. 24 Oleh karena
itu, partisipasi publik dalam proses hukum haruslah ditingkatkan melalui
pembentukan karakter masyarakat yang sadar, taat, serta peduli hukum.
Maraknya vonis bebas, baik oleh Pengadilan Tipikor maupun Pengadilan
Negeri di daerah, atas sejumlah kasus korupsi akhir-akhir ini memang patut
menjadi perhatian pemerintah. Selain kasus Mochtar, kasus-kasus lain yang patut
ditelusuri lebih dalam adalah pembebasan Bupati Lampung Timur nonaktif,
Sartono dan mantan Bupati Lampung Tengah, Andi Ahmad Sampurna oleh
Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Lampung. 25 Kasus-kasus dengan vonis bebas
ini, kebanyakan diduga mengandung unsur pengabaian fakta hukum yang
diajukan oleh jaksa. Contoh dari pengabaian fakta ini, menurut Koordinator
Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch adalah
keberadaan audit dari BPKP yang mengonfirmasi bahwa dialog Wali Kota Bekasi
dengan beberapa tokoh masyarakat adalah fiktif alias tidak pernah ada. 26

24

Taufik Rachman dan Palupi A. Auliani, loc. cit.
Nurrochman Arrazie dan Firman Hidayat, “Hakim Kembali Bebaskan Terdakwa Korupsi”,
Tempo, No. 3682/XI, 20 Oktober 2011, A8. Pada 17 Oktober 2011, majelis hakim Pengadilan
Negeri Tanjungkarang yang terdiri atas Andreas Suharto sebagai hakim ketua serta hakim
anggota Itong Isnaini Hidayat dan Ronald, memvonis bebas Andy Ahmad Sampurnajaya, mantan
Bupati Lampung Tengah yang didakwa bersalah menyalahgunakan uang negara senilai Rp. 28
miliar semasa masih menjabat. Dalam sidang ini, jaksa penuntut umum, Yusna Adia, mengaku
heran karena terdapat kontradiksi dalam putusan hakim. Menurutnya, dua bawahan Andy, yang
telah terlebih dahulu disidang, divonis lebih ringan dari tuntutan 6 tahun penjara dengan alasan
hanya menjalankan perintah. Menurut Yusna, keputusan majelis hakim untuk membebaskan
Andy, yang sempat buron, sama sekali tidak masuk akal. Majelis hakim sendiri dalam putusannya
beralasan bahwa satu saksi yang diajukan jaksa tidak memiliki nilai. Putusan bebas ini semakin
menjadi kontroversi karena dua hari sebelumnya, pengadilan yang sama juga memvonis bebas
Bupati Lampung Timur nonaktif dari dugaan korupsi.
26
Budi Yuwono, “MA Harus Eksaminasi Putusan Mochtar Muhammad”,
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/10/24/100012/MA-Harus-EksaminasiPutusan-Mochtar-Muhammad (25 Oktober 2011)
25

Untuk lebih jelasnya, berikut adalah Risalah Sidang Putusan Mochtar
Muhammad yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi:

Dakwaan

Fakta Persidangan
o Didukung keterangan

Pendapat Hakim
o Dialog tidak fiktif

Menyisihkan
sejumlah saksi

karena ada keterangan

anggaran kegiatan
o Memo dialog fiktif Wali Kota

saksi dan foto

fiktif untuk
dan tokoh masyarakat

o Memo fiktif hanya dari

membayar
o Catatan Keuangan Kegiatan

satu saksi

angsuran utang
Dialog

o Pinjaman untuk

pribadi di Bank
o Audit Kerugian Negara oleh

mendanai kegiatan

Jabar Banten
BPKB

dan harus diganti
o Hanya didukung
keterangan satu saksi

Menyuap anggota

o Tidak ada bukti
Didukung keterangan saksi

DPRD Kota Bekasi

terdakwa mengetahui
pengumpulan dana
suap

Menyuap tim

Didukung keterangan saksi

Tidak ada saksi dan bukti

auditor BPK

serta barang bukti tas dan uang

perintah suap datang

Bandung

suap

dari terdakwa

Menyuap tim

o Didukung keterangan

Tidak ada saksi dan

penilai Piala
Adipura

sejumlah saksi
o Berkas nilai Adipura Bekasi

barang bukti penyerahan
uang suap

Tabel 1. Risalah Sidang Putusan Mochtar Muhammad. Sumber: KPK 27

27

Anton Aprianto, “KPK versus Hakim” [Tabel], Tempo, No. 4033, 17-23 Oktober 2011, h. 93.

Bercermin dari risalah ini, maka mungkin ada benarnya kecurigaan KPK
bahwa telah terjadi pengabaian fakta dalam persidangan kasus Muchtar. Selain
pengabaian barang bukti berupa hasil audit BPKP, majelis hakim juga terangterangan tidak memasukkan vonis atas kasus lain yang berkaitan dalam
pertimbangannya. Disamping Muchtar dan para pejabat Pemerintah Kota Bekasi,
kasus ini juga ikut menjerat dua pegawai BPK Jawa Barat. Kejanggalan kasus ini
pun terlihat dari fakta persidangan bahwa hanya Muchtar lah dari seluruh
terdakwa kasus ini yang tidak dihukum sama sekali; sementara tiga pejabat
Pemerintah Kota Bekasi dan dua pegawai BPK Jawa Barat yang sudah lebih dulu
diadili oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dinyatakan bersalah dan telah memulai
masa hukuman.
Namun, terlepas dari semua kejanggalan yang ditemui dalam proses
peradilan tersebut, sehendaknya masyarakat tetap menghormati keputusan majelis
hakim demi menjunjung tinggi prinsip-prinsip dan supremasi hukum; setidaknya
hingga beberapa waktu ke depan sampai ada keputusan lebih lanjut berkenaan
dengan kasasi yang diajukan oleh jaksa penuntut KPK ke Mahkamah Agung.
Masyarakat pun pastilah sudah mulai jengah melihat jumlah kasus whitecollar crime atau kejahatan jabatan yang terus meningkat seperti tak habis-habis.
Namun, tidak adil pula rasanya jika publik menuntut pengadil hukum untuk selalu
menghukum setiap tersangka korupsi. Faktanya memang ada kasus-kasus yang
ternyata merupakan rekayasa politis atau kesalahan dari segi struktural. Majelis
hakim pun, selama tidak terpengaruh oleh pihak manapun, tentulah senantiasa
menganut prinsip-prinsip keadilan dan obyektifitas dalam setiap putusannya.
Bagaimanapun, hukum memiliki sifat yang terbuka terhadap pengadilan dan
mendengarkan kedua belah pihak, sehingga wajar jika ada kasus yang berakhir
dengan putusan negatif. 28 Oleh karena itulah, masyarakat tidak bisa hanya duduk
manis lalu ikut bereaksi setiap kali terjadi suatu gejolak. Masyarakat harus ikut
serta aktif dalam mengawal proses penegakan hukum agar tercipta suasana
peradilan yang memuaskan bagi semua pihak terkait.
28

L. J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, diterjemahkan oleh Oetarid Sadino (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2004), h. 249-255.

Keputusan majelis hakim membebaskan Muchtar dari jeratan hukum, selain
perlu dijadikan sebagai bahan perdebatan di tengah-tengah masyarakat dalam
rangka mewujudkan sebuah masyarakat sadar hukum, hendaknya juga dapat
dijadikan sebagai sarana refleksi dan pembelajaran bagi seluruh pelaku maupun
sekadar pengamat hukum di Indonesia; terkhusus para penyidik dan jaksa KPK
yang terlibat langsung dalam kasus Muchtar. Hal ini sangatlah penting karena
kebiasaan masyarakat tanah air yang acap kali mencibir dan menunjukkan
resistensi setiap keputusan penegak hukum yang tidak populer dapat
menyebabkan terjadinya delegitimasi lembaga peradilan di dalam kehidupan
bernegara. Apabila ini sampai terjadi, maka imbasnya akan mengena ke seluruh
aspek kehidupan karena penegakan hukum memiliki peran yang begitu krusial.
Gejolak yang timbul dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung ini
dikhawatirkan dapat menyebabkan lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap
keseriusan aparat hukum dalam memberantas korupsi. Dulu, sebelum dibentuk
Pengadilan Tipikor daerah, kinerja Pengadilan Tipikor yang terpusat patut
diacungi jempol. Dari 68 kasus yang disidang oleh Pengadilan Tipikor, tak
satupun yang lepas dari jeratan hukum; ditambah lagi dengan masa hukuman
terdakwa korupsi yang mencapai rata-rata 3-4 tahun penjara sehingga berhasil
memberi efek jera. Keadaan mulai menunjukkan tren negatif semenjak Pengadilan
Tipikor dibentuk di daerah-daerah. Menurut data ICW, dalam dua tahun sejak
mulai bekerja pada 2009, tercatat sudah 26 kasus korupsi yang berakhir dengan
vonis bebas. Ke-26 kasus ini semuanya datang dari empat daerah: Jakarta,
Semarang, Surabaya, dan Bandung. 29
Statistik ini tentunya mulai menumbuhkan skeptisisme masyarakat terhadap
Pengadilan Tipikor daerah. Dalam catatan ICW, sejak 2005 hingga 2009, dari
1.624 kasus korupsi yang masuk ke ruang hukum pengadilan umum, hanya 831
atau 50,6 persen yang divonis bersalah; sisanya, 821 kasus berakhir dengan vonis
tidak bersalah. Masa rataan hukuman bagi terdakwa yang terbukti bersalah pun
kurang meyakinkan; hanya 1-2 tahun, sehingga gagal memberikan efek jera. 30
29
30

Emerson Yuntho, loc. cit.
Ibid.

Meskipun dilematis, pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah memang
tak terhindarkan karena menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, diatur bahwa Pengadilan Tipikor adalah satusatunya pengadilan yang berhak memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
tindak pidana korupsi. Perkara yang diadili pun bukan hanya yang datang dari
KPK, akan tetapi juga dari Kejaksaan Negeri. 31
Oleh karena itu, bermunculannya vonis-vonis bebas terhadap kasus korupsi
di berbagai daerah dalam angka yang tidak menenangkan haruslah ditanggapi
dengan serius, waspada dan siap siaga oleh pemerintah. KPK dan kejaksaankejaksaan di daerah pun hendaknya mulai mengevaluasi kinerja masing-masing
dalam bidang penyidikan dan penuntutan perkara korupsi; mulai dari proses
pendakwaan, pembuktian, hingga penuntutan. Evaluasi ini bersifat krusial agar
KPK dan kejaksaan mampu mengemban tugas memberantas korupsi secara serius;
sehingga rakyat pun merasa bisa mempercayai dua lembaga ini.
KPK, dengan segala keterbatasannya, tentu masih pantas disebut sebagai
pemimpin barisan dalam perang melawan korupsi. Hingga saat ini, wewenang
KPK untuk melakukan penyidikan dan penuntutan sekaligus berjalan dengan
relatif lancar. Hanya saja, banyak pihak yang mulai melancarkan tekanan karena
merasa terancam atau tidak percaya kepada kinerja KPK. Ini tentu patut diberikan
perhatian serius oleh para pimpinan lembaga perwakilan rakyat sebagai pemegang
kekuasaan legislatif; terlebih lagi karena tekanan yang diterima KPK beberapa
waktu belakangan ini banyak muncul dari para politisi Senayan. Salah satu debat
yang berlangsung saat ini adalah mengenai pembatasan wewenang KPK menjadi
sebatas penyidikan dengan wewenang penuntutan dikembalikan pada kejaksaan.
Selain itu, muncul pula usulan agar KPK diberikan kewenangan untuk
menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).32

31

Ibid. Undang-Undang ini juga menngatur agar dalam waktu maksimal dua tahun semenjak
disahkan, Mahkamah Agung sudah harus membentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di
ibukota provinsi. Hingga April 2011, sudah ada 14 pengadilan tindak pidana korupsi yang
terbentuk di berbagai daerah.
32
Febriyan, Isma Savitri, Jobpie S, “DPR Belum Miliki Rancangan Revisi Undang-Undang KPK”,
Tempo, No. 3685/XI, 24 Oktober 2011, h. A.2.

Secara sepintas lalu, tentu ide perluasan kewenangan KPK ini seperti ide
yang bagus dan positif. Namun, jika ditelaah dari sisi hukum, malah jika KPK
memiliki kewenangan menerbitkan SP3, dikhawatirkan akan menimbulkan
kemerosotan prestasi kerja para penyidik KPK. Kekhawatiran ini tentu cukup
beralasan

mengingat

apabila

KPK

memiliki

kewenangan

menghentkan

penyidikan, maka etos kerja KPK yang dikenal teliti, cermat, dan komprehensif
bisa jadi hilang tak berbekas; karena tidak perlu lagi ada rasa waspada dan hatihati dalam menyidik suatu kasus. Akibatnya, KPK pun jadi lemah dan kehilangan
wibawanya tergerus oleh kemungkinan terjadinya tawar-menawar dalam
penyidikan.
Pun halnya dengan Mahkamah Agung sebagai atasan langsung dari seluruh
Pengadilan Tipikor di daerah-daerah. Langkah awal tentunya haruslah melakukan
evaluasi dan peninjauan kembali mengenai efektivitas dan efisiensi kinerja
Pengadilan Tipikor di daerah; terutama dalam hal menyeleksi para hakim sebagai
pengadil tipikor. Syarat-syarat yang diberlakukan haruslah ketat dan kalau perlu
intolarable; setiap praktisi hukum yang pernah tersangkut kasus korupsi dengan
status apapun sebaiknya tidak digunakan jasanya dalam pengadilan ini. Jumlah
praktisi hukum yang banyak pun dapat menjadi jaminan bahwa MA tidak akan
kekurangan pasokan pengadil yang berintegritas.
Sementara untuk Komisi Yudisial, haruslah mulai menampakkan kinerjanya
secara nyata kepada masyarakat; mengingat semenjak dibentuk beberapa tahun
silam, komisi ini notabene belum menghasilkan gebrakan apapun dalam dunia
peradilan tanah air. KY haruslah teliti dan saksama dalam mengawasi kinerja para
pengadil baik di dalam maupun di luar kedinasan.
Hal ini tentunya bukanlah suatu tantangan yang berat bagi KY; menimbang
ruang gerak lembaga-lembaga negara tertentu yang semakin luas seiring dengan
disahkannya Undang-Undang Intelijen Negara yang kontroversial dan dikecam
banyak pihak baru-baru ini. 33
Dalam Febriyan, dkk., “Pengesahan UU Intelijen Dikecam”, Tempo, No. 3674/XI, 12 Oktober
2011, h, A6., dijelaskan beberapa pasal UU Intelijen yang dianggap melanggar batas-batas publik
dan privat. Diantaranya adalahPasal 31 tentang wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan
aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran yang mengancam kepentingan keamanan

33

Dengan ruang gerak yang semakin luas, tentunya tanggung jawab yang
diemban oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial pun semakin berat. MA
hendaknya mulai memperketat kriteria para pengadilnya; serta tentu tidak perlu
sungkan untuk melibatkan KY secara langsung dalam proses penyaringan
sehingga para pengadil yang kelak bertugas mengawal upaya pemberantasan
korupsi di garis akhir pun dapat menunjukkan kualitas yang memuaskan di mata
rakyat.

nasional, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, termasuk sektor
hidup lainnya seperti pangan, energi sumber daya alam, dan lingkungan hidup serta kegiatan
terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam negara; Pasal 32 tentang
mekanisme, ketentuan, dan tujuan dilakukan panyadapan; Pasal 34 tentang mekanisme dan
ketentuan pelaksanaan penggalian informasi; Pasal 44 tentang hukuman atas tindakan mencuri,
membuka, dan/atau membocorkan rahasia intelijen negara dengan sengaja; serta Pasal 45
tentang hukuman bagi tindakan yang merugikan intelijen negara akibat adanya unsur kelalaian
dari pelaku.

PENUTUP

Dari bagian latar belakang, identifikasi, hingga pembahasan masalah, telah
ditelaah secara panjang lebar mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia
secara umum dan dikaitkan dengan studi kasus mengenai vonis bebas Wali Kota
nonaktif Bekasi, Muchtar Muhammad, dari dakwaan subsider dengan empat kasus
korupsi sekaligus. Dari kasus yang kemudian menimbulkan gejolak dan
gelombang skeptisisme terhadap keseriusan dan kinerja dari Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi daerah ini, dapat ditarik berbagai kesimpulan, mulai dari
penyebab merajalelanya praktik korupsi dalam korps pemerintahan tanah air
hingga implikasi-implikasi yang ditimbulkan oleh berbagai kasus korupsi;
termasuk vonis bebas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung atas kasus
Muchtar.
Secara umum, ada beberapa faktor yang dapat disebut sebagai penyebab
maraknya praktik korupsi dan penyelewengan kekuasaan di Indonesia
berdasarkan pembahasan sebelumnya, yaitu:
o Pembungkaman fakta oleh pemerintah. Seperti pada zaman pemerintahan
Orde Lama dan Orde Baru, pemerintah terkesan tidak suka dikritik ataupun
disalahkan; sehingga yang terjadi akhirnya adalah pengalihan dan
pengaburan isu; sehingga isu yang sebenarnya lebih penting terabaikan.
o Politisasi berbagai kasus korupsi. Banyak kasus korupsi yang menguap
begitu saja atau berakhir tanpa kejelasan. Contoh nyatanya saja yaitu
pengampunan terhadap dosa-dosa korupsi, kolusi, dan nepotisme mantan
Presiden Soehato tanpa melalui proses peradilan yang benar.
o Kemiskinan karakter para pemangku kekuasaan. Kemiskinan karakter yang
dimaksud dapat berupa banyak hal; mulai dari rasa tidak pernah puas akan
apa yang sudah dimiliki, ketiadaan integritas diri, penyimpangan dalam
sistem dan watak birokrasi, serta lemahnya pengawasan dan kontrol sosial
masyarakat terhadap pemerintah. Miskin karakter juga dapat disebabkan
oleh rendahnya komitmen seseorang terhadap bangsanya.

Sedangkan akibat yang ditimbulkan oleh permasalahan korupsi ini,
diantaranya adalah kemerosotan harga diri dan kehormatan bangsa di dunia
internasional. Menurut survei yang dilakukan oleh Transparency International,
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia adalah yang terburuk di Asia. Dari tahun 2002
hingga 2007, kenaikan IPK Indonesia begitu lambat sehingga tertinggal jauh dari
negara-negara Asean lainnya. Berikut adalah tabel lengkap pergerakan Indeks
Persepsi Indonesia dan negara-negara besar Asean lainnya selama lima tahun dari
2002 hingga 2007:

Tabel 2. Indeks Persepsi Korupsi Negara-Negara Asean34

Lebih lanjut, dalam menyikapi problema ini, ada beberapa hal yang perlu
dibangun oleh segenap bangsa; bukan hanya pemerintah tapi juga masyarakat
secara umum, yaitu:
o Transparansi Birokrasi; tanpanya, maka seluruh usaha yang digencarkan
pemerintah tidak akan berarti apa-apa karena sebuah pemerintahan yang
tidak transparan hanya akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat.
o Integritas; berupa sikap yang jujur, dapat dipercaya, adil, dan sebagainya.
Transparency International Indonesia, “Corruption Perception Index”,
http://www.transparansi.or.id/?pilih=aboutcorrupton&id=6 (13 Mei 2007)
34

o Komitmen kepada Negara; dengan berkomitmen kepada negara dan pengak
hukum, maka tentu segenap warga negara akan memiliki rasa cinta tanah air
dan saling memiliki yang besar. Dengan menumbuhkan rasa cinta tanah air,
maka diharapkan seseorang mampu menghindarkan diri dari perbuatan yang
merugikan negara dan orang banyak.
o Pembentukan Watak Birokrasi yang Bebas Korupsi; upaya ini salah satunya
dapat dilakukan dengan meningkatkan kesejahteraan pekerja publik
sehingga godaan untuk menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki pun
dapat ditekan. Selain itu, kewenangan seorang pejabat, setinggi apapun itu,
tetaplah harus dibarengi dengan pengawasan yang saksama.

Sementara itu, ditilik dari studi kasus yang diambil, ada beberapa
kesimpulan dan saran yang dapat diajukan, yaitu:
o Vonis bebas Pengadilan Tipikor Bandung terhadap kasus dugaan korupsi
Wali Kota Bekasi nonaktif, Muchtar Muhammad, adalah benar adanya
mengandung kejanggalan seperti kontradiksi putusan dengan kasus terkait
serta kemungkinan pengabaian fakta persidangan.
o Vonis bebas Pengadilan Tipikor Bandung untuk Muchtar mestilah ditinjau
dan dievaluasi kembali melalui kasasi agar benar-benar menghasilkan
putusan yang adil dan tepat.
o Vonis bebas terhadap para terdakwa korupsi di berbagai daerah patut
dijadikan alasan dan dasar bagi Mahkamah Agung untuk mengevaluasi
kembali pelaksanaan peradilan tipikor di daerah.
o Tenaga pengadil yang bekerja di dalam ranah peradilan tipikor mestilah
memiliki track record yang tanpa cacat dan berprestasi. Untuk itu,
Mahkamah Agung perlu memperketat dan menaikkan standar dalam
melaksanakan seleksi pemilihan hakim tipikor.
o Sinergisasi fungsi antarsesama lembaga peradilan perlu ditingkatkan lagi
agar mencapai kondisi yang ideal; terutama antara Mahkamah Agung,
Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Kepolisian, dan
Kejaksaan yang terlibat langsung dalam usaha pemberantasan korupsi.

o Hakim yang dipilih menjadi pengadil tindak pidana korupsi hendaknya
haruslah memiliki suatu sense of crisis; sehingga tidak gegabah dan lebih
bijaksana dalam memutus suatu perkara.
o Perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap konsep keberadaan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah. Hal ini didasarkan pada
statistik cemerlang KPK ketika masih melakukan seluruh sidang korupsi
secara terpusat ternodai oleh buruknya statistik kinerja pengadilan tipikor
semenjak didesentralisasi ke daerah-daerah dua tahun yang lalu; terutama di
wilayah Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Bandung yang menjadi daerah
dengan vonis bebas terbanyak. Apabila kelak hasil evaluasi menunjukkan
perlunya perbaikan total terhadap kinerja Pengadilan Tipikor di daerah,
maka MA sebagai pemegang kekuasaan yudikatif tertinggi haruslah
mengambil langkah sigap dengan mencanangkan reformasi. Tujuannya
adalah mencegah masyarakat dari sikap yang skeptis dan sinis.
o Fungsi KPK yang telah ada sekarang, yaitu penyidikan dan penuntutan,
sebaiknya tidak disertai dengan kewenangan menerbitkan SP3 karena
berpotensi merusak citra dan etos kerja KPK akibat terbukanya kesempatan
untuk berkompromi dalam penanganan suatu kasus.
o Masyarakat hendaknya tidak hanya mengkritik dan memperdebatkan setiap
keputusan lembaga peradilan yang tidak populer; melainkan juga
menjadikannya sebagai sarana refleksi dan pembelajaran sehingga
kedepanya dapat tercipta sistem peradilan yang lebih baik dengan
masyarakat yang aktif ikut serta dalam usaha penegakan hukum. Apabila
keadaan ini terwujud, barulah masyarakat dapat disebut sadar hukum.
o Hukuman yang dijatuhkan terhadap seorang terdakwa korupsi hendaknya
memiliki efek jera dan sekaligus efek mencegah. Pemerintah pun
menunjukkan upaya yang cukup serius dalam menciptakan efek jera pada
terdakwa kasus korupsi seperti dengan diberlakukannya moratorium
pemberian remisi bagi terdakwa korupsi. 35
Isma Savitri, “Pemerintah Sepakat Moratorium Remisi Koruptor”, Tempo, No. 3682/XI, 20
Oktober 2011, h. A6.
35

BIBLIOGRAFI
Andi, Furmensius. “Korupsi sebagai Sebuah Budaya: Sebuah Telaah Filosofis
atas Fenomena Korupsi di Indonesia”. http://perkantasjatim.org/index.php?
g=writing&id=49 (25 Oktober 2011)
Apeldoorn, L. J. van. Pengantar Ilmu Hukum. Terj. Oetarid Sadino. Jakarta:
Pradnya Paramita, 2002.
Aprianto, Anton., Erick P. Hardi, dan Hamluddin. “Vonis yang Sudah Diduga”.
Tempo, 17-23 Oktober 2011, 90-93.
Arrazie, Nurochman. “Hakim Bebaskan Terdakwa Korupsi”. Tempo, 18 Oktober
2011, A8.
Arrazie, Nurochman., dan Firman Hidayat. “Hakim Kembali Bebaskan Terdakwa
Korupsi”. Tempo, 20 Oktober 2011, A8.
El Qudsi, M. Ichlas. “Fenomena Korupsi di Indonesia dan Pemberantasannya”.
http://politik.kompasiana.com/2010/04/27/fenomena-korupsi-di-indonesiadan-pemberantasannya/ (25 Oktober 2011)
Febriyan., Isma Savitri, dan Jobpie S. “DPR Belum Miliki Rancangan Revisi
Undang-Undang KPK”. Tempo, 24 Oktober 2011, A2.
Febriyan., dkk. “Pengesahan UU Intelijen Dikecam”. Tempo, 12 Oktober 2011,
A6.
Ferdianto, Riky. “Anggaran Antikorupsi 2012 Terlalu Rendah”. Tempo, 13
Oktober 2011, A6.
Hadi, Mahardika S., dkk. “Usulan Revisi UU KPK Ditolak”. Tempo, 14 Oktober
2011, A6.
Hardi, Erick P. “Penjara 15 Tahun Ancam Imas”. Tempo, 21 Oktober 2011, A6.
Hardi, Erick P., dan Mahardika S. Hadi. “Hakim Ad Hoc Perkara Mochtar Siap
Diberhentikan”. Tempo, 14 Oktober 2011, A6.
Hardi, Erick P., Tri Suharman, dan Hamluddin. Pengadilan Antikorupsi Bebaskan
Wali Kota Bekasi. Tempo, 12 Oktober 2011, A4.
Lubis, Mochtar. Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2001.

Mukantardjo, R. Satriyo. “Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Sejarah
Perkembangannya”. Materi Presentasi pada Pelatihan Hakim dalam Perkara
Korupsi, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Bogor, Jawa Barat, Indonesia, 26 April 2010.
Paraqbueq, Rusman., dkk. “KPK Ajukan Kasasi Vonis Wali Kota Bekasi”.
Tempo, 13 Oktober 2011, A3.
Rachman, Taufik., dan Palupi A. A. “MA Minta Hakim Kasus Muchtar Muhamad
Mundur”. http://republika.co.id/berita/nasional/hukum/11/10/15/lt3qvt-maminta-hakim-kasus-muchtar-muhamad-mundur (25 Oktober 2011)
Pratama, Sandy I., dan Erick P. Hadi. “Pengadil yang Sarat Catatan”. Tempo, 1723 Oktober 2011, 96.
Savitri, Isma. “Pemerintah Sepakat Moratorium Remisi Koruptor”. Tempo, 20
Oktober 2011, A6.
——. “Syarifuddin Diancam 20 Tahun Penjara”. Tempo, 21 Oktober 2011, A6.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Ed. ke-4. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002.
Supardan, Dadang. Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural.
Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Transparency

International

Indonesia.

“Corruption

Perception

Index”.

http://www.transparansi.or.id/?pilih=aboutcorrupton&id=6 (13 Mei 2007)
Wibisono, S. G., dan Tri Suharman. “Yunus Usulkan KPK Miliki Wewenang
Pembuktian Terbalik”. Tempo, 19 Oktober 2011, A6.
Wikipedia. “Komisi Pemberantasan Korupsi”. http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi
_Pemberantasan_Korupsi (25 Oktober 2011)
——. “Korupsi di Indonesia”. http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi_di_Indonesia
(25 Oktober 2011)
Yuntho, Emerson. “Lampu Kuning untuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”.
Tempo, 18 Oktober 2011, A11.
Yuwono, Budi. “MA Harus Eksaminasi Putusan Mochtar Muhammad”.
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/10/24/100012/MAHarus-Eksaminasi-Putusan-Mochtar-Muhammad (25 Oktober 2011)