DOING AVANT GARDE KRITIK SASTRA POSTMODE

Seminar Politik Kritik Sastra, 24-25 November 2015
Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, UGM

DOING AVANT GARDE:
KRITIK SASTRA POSTMODERN

108

Oleh Yongky Gigih Prasisko
Abstrak
Kritik sastra postmodern yang kerap dirujuk antara lain berasal dari pemikiran tokoh seperti Brian
McHale, Linda Hutcheon atau Frederick Jameson. Model analisa yang mereka tawarkan cenderung
bersifat formal, melakukan analisis bentuk atau klasifikasi serta terjebak pada perangkap historis. Ini
mengindikasikan kurangnya perhatian pada substansi dari semangat postmodern. Dengan merujuk
pada pemikiran Lyotard tentang postmodern, saya mencoba untuk menawarkan sebuah kritik sastra
yang substansial, dengan memperhatikan ide apa yang hendak diwujudkan dalam proyek
postmodern, yang bisa dibaca melalui karya sastra dan seni. Sublim menjadi dasar filosofis kritik
sastra postmodern yang saya tawarkan. Model tawaran kritik ini mengarahkan pada pembacaan

karya sastra dengan mengungkap keberagaman pengalaman manusia, untuk dibaca secara politis,
demi sebuah pengakuan pluralitas yang demokratis, atau bisa disebut dengan proyek politik

representasi. Ada unsur radikal dalam model kritik ini yakni, saya menamainya, doing Avant Garde.
Titik paling radikal ini adalah kerja bagi kritikus untuk membaca potensi ekstrim ini dalam karya
sastra. Doing Avant Garde tidak menganjurkan pembalikan posisi, tidak juga merupakan ekses dari
sesuatu yang ditentangnya, tetapi ia adalah sesuatu yang murni baru, yang belum ada sebelumnya
dan tidak terikat dengan makna yang sudah mapan sebelumnya. Model kritik ini diharapkan tidak
hanya mampu mengungkapkan gerakan meruntuhkan jejaring makna yang mapan, tetapi juga
melihat adanya kemungkinan sesuatu yang lahir, yang akan diberikan bentuk dan diisi maknanya
oleh sang kritikus.
Kata Kunci : Postmodern, Avant Garde, Sublim, politik representasi.

Kritik Sastra Postmodern
Kritik sastra205 yang berurusan dengan pembahasan postmodern kerap merujuk pada
nama-nama tokoh seperti Brian McHale, Linda Hutcheon atau Frederick Jameson. Brian Mc
Hale secara eksplisit menggunakan istilah fiksi postmodern. Istilah postmodernisme, sama
halnya dengan Renaissance dan Romantisisme, merupakan sebuah konstruksi wacana yang
membentuk objek tertentu. Sederhananya, ia menjelaskan postmodernisme sebagai karya
puitis yang merupakan penerus, ataupun reaksi terhadap, karya sastra modernisme awal
abad 20.206 Postmodernisme tidak sesederhana sebuah bentuk diskursif setelah atau
kelanjutan dari modernisme, tetapi sebagai konsekuensi historis dari modernisme yang bisa
dilihat perbedaan konstruksi diskursif diantara keduanya.207 Perbedaannya terletak pada apa

yang disebut dengan ‘dominan’ yakni komponen utama karya sastra, yang berperan
membentuk, mengatur, dan menentukan serangkaian struktur dalam karya. 208 Perbedaan
sederhananya yakni dominan karya sastra modern adalah epistemologis, yakni bagaimana
manusia menginterpretasi dunia, sebagaimana manusia merupakan bagian di dalamnya.
Sedangkan dominan postmodern adalah ontologis, yakni mempertanyakan perihal eksistensi
(di balik) dunia, apa itu dunia? bagaimana ia terbentuk? Apa batas-batas yang mebedakan
antara dunia-dunia tersebut?209 Dari sini terlihat bahwa McHale secara khusus mengamati
model karya sastra yang memiliki perbedaan penyajian wacana melalui bahasanya. Kritik
postmodern di sini lebih diarahkan kepada bentuk ataupun strategi karya satra dalam
mengkonstuksi wacanannya. Ia menjurus pada semacam klasifikasi yang menyediakan
kategori dalam menilai karya sastra.
Tokoh lain, Linda Hutcheon, membahas postmodern dengan lebih kompleks.
Postmodernisme adalah sebuah praktik budaya yang bisa dipahami melalui bentuk seni dan
Kritik sastra (literary criticism) adalah kajian yang mendefinisikan, mengklasifikasikan,
menginterpretasikan dan mengevaluasi karya sastra. Lihat Abrams, A Glosary of Literary Terms-Ninth Edition,
(Boston:Wadswort Cengage Learning, 2009), hlm 61.
206
Brian McHale, Postmodernist Fiction, (New YorkRoutledge, 1987), hlm 5.
207
Ibid., hlm. 6.

208
Roman Jakobson, “The dominant,” in Ladislav Matejka and Krystyna Pomorska (eds), Readings in.
Russian Poetics: Formalist and Structuralist Views (Cambridge, Mass, and London, MIT Press, 1971), 105–
10. Lihat juga Brian McHale, Op.Cit, hlm 6.
209
Brian McHale, Op.Cit, hlm 9.

109

205

Seminar Politik Kritik Sastra, 24-25 November 2015
Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, UGM

pemikiran kontemporer yang secara fundamental kontradiktif, secara tegas historis dan
tentunya bersifat politis.210 Ia banyak membahas perihal gaya seni dan pemikiran yang
muncul di era kapitalisme lanjut, antara lain arsitektur, karya sastra, seni lukis, seni pahat,
film, video, tari, TV, musik, filsafat, teori estetika, psikoanalisa, linguistik atau
historiografi/narasi sejarah. Model konsep tentang postmodern dalam karya tersebut bersifat
teoretis dan praktis, yang menggunakan parodi untuk merekontekstualisasi dan

menghubungkan kembali estetika dalam dan dengan masyarakat, sejarah dan politik.
Hubungan tersebut membentuk dua karakteristik yakni ironi – efek nostalgia,
rekontekstualisasi bentuk masa lalu akan membuat pernyataan ideologis – dan parodi –
hubungan paradoks dengan objeknya, dalam hal ini masa lalu historis dan estetis.211
Pemikiran Hutcheon tentang postmodern ini ujungnya akan mengarah pada model-model
gaya, sebagai praktik budaya, atau bisa dikatakan estetika dari karya seni maupun pemikiran
yang muncul dalam era kontemporer. Pembahasan Hutcheon tak jauh beda dengan apa yang
diajukan Frederic Jameson. Jameson mengaitkan postmodernisme dengan kebudayaan
kapitalisme lanjut, seperti seni dan budaya massa, yang memiliki kecenderungan estetika
tertentu.212
Postmodern yang telah saya jelaskan di atas, jika dikaitkan dengan kritik sastra,
cenderung mengarah kepada analisa bentuk khususnya dalam karya seni maupun sastra,
sehingga ujungnya akan mengarah pada analisis jenis, kategori maupun gaya.
Postmodernisme juga masih dipahami dalam kerangka historisis: menganggap fenomena
modernisme berlangsung di awal abad 20, lalu muncul reaksi terhadapnya (post-). Analisis
akan bentuk, gaya maupun kecenderungan estetika telah mengesampingkan persoalan
substansi. Kita kurang memperhatikan semangat apa yang diusung oleh postmodernisme,
dan apa yang hendak diperjuangkannya. Sedangkan pemahaman postmodernisme secara
historis akan menjurus pada anggapan bahwa postmodernisme hanyalah ekses atau
konsekuensi dari kondisi dan situasi di awal abad 20. Berangkat dari persoalan ini, mari kita

mengalihkan perhatian tentang postmodern dari konsentrasinya pada bentuk ke substansi,
untuk lebih memahami:
1. Persoalan apa sebenarnya yang didobrak dan dibongkar oleh postmodern?
2. Apa sebenarnya yang hendak diperjuangkan oleh semangat postmodernisme?
3. Bagaimana ia berjuang melalui gerakan-gerakan kultural melalui seni, filsafat maupun
sastra?
Untuk menjawab sekaligus menjelaskan persoalan perihal substansi di atas, maka kita harus
menariknya pada titik paling fundamental, yakni filsafat. Hal ini dimaksudkan untuk
merumuskan kembali, mulai dari akarnya, kritik postmodern yang lebih substansial. Maka
dari itu marilah kita menengok kepada seorang pemikir Perancis yang mendasarkan
postmodernisme secara filosofis yakni Jean-François Lyotard.
Lyotard tentang Modern dan Postmodern

110

210

Linda Hutcheon, A Poetics of Postmodernism, (New York:Routledge, 1988) hlm 4.
Chris Luebbe, ‘Review: A Poetic of Postmodernism’ MLN, Vol. 105, No. 5, Comparative Literature (Dec.,
1990), pp. 1113-1117, hlm 1114.

212
Frederic Jameson, Postmodernism, Or, The Cultural Logic Of Late Capitalism (Durham:Duke University
Press, 1991) hlm 2-3.

211

Lyotard adalah seorang filsuf Perancis yang banyak menaruh perhatian tentang
persoalan politik dan kemanusiaan. Ia mengkaji tragedi kemanusiaan Nazi di kamp
konsentrasi Auschwitz tahun 1940 dari sisi filosofis, yang kemudian menguraikan
pemikirannya perihat phrase, kaitannya dengan artikulasi pengalaman manusia.213 Phrase
merupakan suatu istilah tindak tutur, yang menjelaskan situasi linguistik dan peristiwa yang
bersifat independen dari berbagai peristiwa lain. Setiap phrase meliputi empat elemen yang
saling berkaitan yakni penutur (addressor), penerima (addresse), acuan (referent) dan
makna (meaning). Phrase merupakan peristiwa terkecil dan partikular yang tidak berkaitan
dengan waktu lampau, maupun sekarang, tanpa penggerak serta tanpa tujuan. Phrase
merupakan peristiwa-peristiwa yang terhubung secara tiba-tiba, dan lepas secara tiba-tiba
pula, tanpa logika atau aturan yang tetap. Oleh sebab itu mereka, peristiwa-peristiwa
tersebut, terhubung dengan cara yang unik pula. Phrase yang independen dan sistem yang
menghubungkan phrase lain disebut Lyotard sebagai différend, yang merupakan
pengalaman partikular, dan konflik yang eksis di dalamnya.214 Lyotard mengarahkan

pembahasan différend dalam ranah etis dan politik.
Permasalahan kemanusiaan - dekadensi humanitas, gerakan liberalisme dan
marxisme, Genosida Nazi, tragedi bom atom Hiroshima dan Nagashak - disinggung sebagai
ironi modernitas.215 Persoalan inilah yang mengantarkan pada sikap pemutusan terhadap
segala proyek modernitas, dan menuju pada paradigma baru yang disebut dengan
postmodern. Modern dan postmodern diasumsikan sebagai dua paradigm yang berbeda.
“I will use the term modern to designate any science that legitimates itself
with reference to a metadiscourse of this kind making an explicit appeal to
some grand narrative, such as the dialectics of Spirit, the hermeneutics of
meaning, the emancipation of the rational or working subject, or the creation
of wealth (Lyotard, J.F., 1984: xxiii)”.
Istilah modern digunakan Lyotard untuk merujuk pada ilmu pengetahuan yang melegitimasi
dirinya melalui metanarasi, atau kemudian disebutnya dengan narasi besar seperti dialektika
roh (Hegel), hermeneutika makna (Dilthey) dan emansipasi (Habermas). Lyotard kemudian
secara sederhana menyebut postmodern sebagai ketidakpercayaan terhadap metanarasi 216
Jean-François Lyotard, The Différend:Phrases in Dispute, translated by Georges Van Den Abbeele,
(Manchester:Manchester University Press, 1988), hlm. 44-45. Kebanyakan bukti tragedi kemanusiaan Nazi
tersebut sudah musnah selama perang. Oleh sebab itu para korban kebingungan untuk menuntut keadilan
kepada siapa, mereka tidak bisa mengekspresikan kompleksitas pengalaman yang dialaminya ketika Nazi
berkuasa. Maka dari itu dibutuhkan suatu phrase yang mampu menuntaskan keadilan bagi korban. Lalu,

muncullah phrase hukum publik internasional, yang menghasilkan pendirian pengadilan hukum internasional
dan pendirian Negara Israel. Ibid., hlm 56.
214
Lihat Allen Dunn “A Tyranny of Justice: The Ethics of Lyotard's Différend”, boundary 2,Vol. 20, No. 1
(Spring, 1993), pp. 192-220, hlm 195.
215
Yulianto, Fristian, 2005, “Estetika dalam Wacana Posmodernitas:Kritik Jean-François Lyotard atas
Rasionalisme Formalisme Jürgen Habermas”, dalam Sutrisno, Mudji dkk., 2005, Teks-Teks Kunci
Estetika:Filsafat Seni, Yogyakarta:Galagpress. hlm. 131-132.
216
Simplifying to the extreme, I define postmodem as incredulity toward metanarratives. Lihat Lyotard., The
Postmodern Condition:A Report on Knowledge, translated by Geoff Bennington and Brian Massumi,
(Manchester:Manchester University Press:1984). hlm. xxiv.

111

213

Seminar Politik Kritik Sastra, 24-25 November 2015
Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, UGM


tersebut, karena pengetahuan berdasarkan metanarasi telah menghasilkan teror, tragedi
kemanusiaan dan dekadensi moral. Lyotard menolak segala bentuk totalisasi dan memutus
segala proyeknya, lalu mengusulkan paradigm postmodern yang merayakan keberagaman
ekspresi pengalaman manusia.
Selain fokus pada persoalan kemanusiaan dan politik, Lyotard juga menaruh
perhatian pada estetika, dan inilah kemudian yang menjadi basis filosofisnya tentang
postmodern dalam ranah seni dan sastra. Lyotard mengadopsi konsep Kant, sublim, sebagai
fondasi filosofis dari konsepnya tentang estetika postmodern.
Tentang Sublim
Sublim merupakan perasaan kesenangan dan ketaknyamanan (pleasure and
displeasure) yang muncul karena ketidakmampuan imajinasi217 dalam mempresentasikan
objek dalam diri subjek, sehingga objek dialami sebagai sesuatu yang chaos (kacau),
disorder (tidak teratur) dan disharmony (tidak harmonis). Ketidakmampuan imajinasi dalam
usaha pengukuran terhadap terhadap magnitude218 mengindikasikan sebuah pelampauan
batas standart sensibilitas sebagai suatu kekerasan terhadap imajinasi, yang kemudian
menghasilkan rasa ketaknyamanan. Perasaan senang muncul karena pengalaman sublim
selaras dengan hukum-hukum reason, ia timbul secara tidak langsung dalam proses
penolakan imajinasi dan ketertarikan reason219 (repulsion and attraction). Presentasi objek
yang kacau dan tak teratur menjadikannya sebuah penghadiran objek tak berbentuk

(formless), yang juga berarti menghadirkan ketidakterbatasan. Ia juga membangkitkan
kemampuan yang tak terbatas dari kapasitas reason. Perasaan sublim muncul karena usaha
imajinasi untuk menuju pada ad infinitum (ketakterbatasan) dan reason meminta totalitas
absolut. Hal ini menunjukkan sebuah ide yang nyata. Ketidakmampuan pengukuran
magnitude kemudian membangkitkan perasaan supersensible dalam diri subjek. Judgement
lalu menempatkan objek forma, bukan objek empiris, di dalam perasaan supersensible yang
kemudian disebut dengan objek yang agung secara absolut. Jadi sublim adalah segala hal
yang dapat dipikirkan, yang membuktikan bahwa pikiran mempunyai kemampuan untuk
melampaui standar panca indera.220
Kant membagi dua macam sublim yakni sublim matematis dan dinamis. Sublim
matematis muncul ketika keluasan objek melimpah dalam kapasitas memahaminya sebagai
sebuah totalitas. Sesuatu yang sublim adalah sesuatu yang agung secara absolut (something

112

217

Imajinasi adalah kemampuan untuk mempresentasikan objek dalam diri subjek (presentational power).
Lihat Harsawibawa, Estetika menurut Immanuel Kant, (tesis yang tidak diterbitkan, 1997) hlm. 94.
218

Magnitude adalah sesuatu yang sangat besar. Ibid., hlm. 108.
219
Reason adalah kemampuan untuk membuat penyimpulan. Understanding berperan mempersatukan datadata inderawi yang diterima dengan kategori-kategori untuk membentuk judgement-judgement di dalam
pengalaman, sedangkan reason mempersatukan judgement-judgement tersebut menjadi inferensi. ibid. hlm 3839. Penyimpulan tersebut kemudian akan menghasilkan ide-ide reason. Reason melalui ide memungkinkan
subjek mampu berfikir tentang hal-hal yang mungkin dipikirkan dengan cara menciptakan kondisi-kondisi
yang dijadikan forma dari hal-hal yang mungkin tersebut. Artinya, ia mampu membuat subjek memikirkan
sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada dengan cara mempersatukan hal-hal yang ada. Oleh sebab itu
subjek dapat berfikir tentang keberadaan Tuhan, kebebasan dan imortalitas jiwa. Ibid. hlm. 40-41
220
Immanuel Kant, Critique of Judgement, translated by James Creed Meredith, Revised, edited, and
introduced by Nicholas Walker, (New York:Oxford University Press, 2007). hlm 81.

absolutely great), yang ukurannya melampaui segala perbandingan yang ada. Sesuatu yang
agung secara absolut tersebut standart pengukurannya bukanlah alam di luar diri subjek,
tetapi di dalam diri subjek melalui ide-ide. Oleh sebab itu ia tidak dapat diukur secara
matematis/logis melalui logical jugdgement (disebut juga pengukuran melalui konsep
angka), tetapi standar tersebut adalah berdasarkan pada reflective judgement, artinya
pengukuran dalam intuisi atau disebut juga pengukuran secara estetis.221 Selanjutnya ada
sublim dinamis yakni alam yang dinilai dengan aesthetic judgement sebagai might222 yang
tidak memiliki kuasa (dominion11) atas subjek. Judgement terhadap alam sebagai sublim
dinamis akan direpresentasikan sebagai sumber ketakutan. Setiap objek sumber ketakutan,
jika dipandang secara estetis, bisa menjadi superior terhadap halangan dan rintangan, hanya
bila dinilai menurut kekuatan resistensinya. Sublim dinamis muncul ketika mengalami objek
yang perkasa (powerful) yang kemudian melimpahi subjek dengan ketakutan akan
kehidupan. Sublim dinamis berkaitan dengan sumber ketakutan yakni alam, yang membuat
subjek merasa kecil, inferior dan lemah terhadap sesuatu yang sungguh besar dan agung
yang dapat mengancam eksistensinya secara fisik.223
Kant kemudian menghubungkan perasaan sublim ini dengan moral. Ia
mencontohkan, “…the righteous man fears God without being afraid of him”224, artinya
bahwa meskipun objek itu menakutkan, bukan berarti subjek takut terhadapnya. Agama
seharusnya tidak dilihat sebagai penundukan kehendak. Orang yang relijius seharusnya
mampu takjub dan memuja Tuhan, bukan hanya dalam beribadah untuk mengatasi ancaman
yang besar. Dalam proses penemuan sublim dalam kapasitas moral, subjek menguatkan
pemahaman akan dirinya sebagai kehendak bebas untuk patuh terhadap Tuhan, bukan patuh
karena takut terhadap Tuhan. Kesenangan sublim yang didapatkan dalam penemuan
kemampuan untuk melawan kekuatan alam, pada akhinya, berkontribusi pada agama, di
mana Tuhan akan sunggh-sungguh dihormati.225
Lyotard mengadopsi konsep sublim dari Kant dalam usahanya merumuskan cara
berfikir yang dapat melampaui segala representasi. Ia bermaksud menggunakan analisis
feeling of différend (sublim atau negative feeling dari Kant) dan menghubungkannya dengan
sarana yang mengarahkan pada segala cara berfikir, termasuk berfikir kritis sampai
menembus batasnya.226 Sublim terkait erat dengan ide tentang différend. Différend adalah
keadaan tidak stabil dan bahasa instan di mana sesuatu harus menjadi phrase yang belum
ada sebelumnya. Keadaan ini juga termasuk ke-ter-diam-an (silence), atau disebut juga
negative phrase (ketika seseorang tidak dapat menemukan kata yang tepat untuk
mengekspresikan pengalamannya).227 Sederhananya différend adalah keadaan keberagaman
Crowther 1989:67 Crowther, Paul, 1989, “The Kantian Sublime, the Avant-Garde, and The Postmodern:A
Critique of Lyotard”, (New Formations, Number 7 spring, 1989), hlm. 67.
222
Might adalah kemampuan superior terhadap rintangan besar. Lihat Immanuel Kant, Op. Cit., hlm 90.
223
Crowther, Op. Cit.,hlm. 67.
224
Immanuel Kant, Op.Cit., hlm 91.
225
Fiona Hughes Hughes, Fiona, 2010, Kant’s Critique of Aesthetic Judgement:A Readers Guide, (New
York:Continuum International Publishing Group, 2010), hlm. 91.
226
J.F. Lyotard, Lesson on the Analytic of the Sublime, translated by Elizabeth Rottenberg, (California:The
Board of Trustees of the Leland Stanford Junior University, 1994) hlm. x.
227
J.F. Lyotard, Op. Cit., 1988, hlm. 13.

113

221

Seminar Politik Kritik Sastra, 24-25 November 2015
Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, UGM

ketika berbagai pihak berbicara dengan (permainan) bahasa yang berbeda, ketika
percekcokan tidak dapat didamaikan, keadaan ketika permainan bahasa, narasi kecil dan
phrase saling bertemu, dan tidak bisa menilai satu sama lain, berdasarkan standar dirinya. 228
Kaitan tersebut menjelaskan bahwa Lyotard sebenarnya hendak mencari landasan filosofis
untuk mendukung idenya tentang différend. Maka dari itu, sublim dirasakan secara subjektif
oleh pikiran sebagai différend.229 Jika Kant mengaitkan sublim dengan kesadaran moral,
atau menyelesaikan mental konfliktual dengan kesadaran etis, maka Lyotard menyatakan
bahwa sublim tidak bisa diselesaikan atau tidak bisa direduksi menjadi kesadaran moral.230
Ia membiarkan kondisi yang tak bisa diselesaikan tersebut untuk menyingkap perbedaanperbedaan di dalam pengalaman manusia, serta mendukung pengungkapan keberagaman
masyarakat tanpa ada relasi yang hirarkis. Setiap perbedaan memiliki standart sendiri yang
tak bisa digunakan untuk menilai jenis perbedaan yang lain. Ini adalah semangat perjuangan
postmodern yang disuarakan oleh Lyotard, semangat memperjuangkan kemanusiaan yang
beragam dan demokratis.
Sublim dalam Seni dan Sastra
Sublim sebagai basis filosofis bagi différend adalah sebuah proyek kemanusiaan
yang dijalankan melalui filsafat, seni dan karya sastra. Perjuangan itu merupakan agenda
yang disebut dengan politik representasi, yakni menyediakan ruang representasi bagi
pluralitas makna melalui ekspresi phrase. Ruang representasi ini mengakomodasi hubungan
sosial yang demokratis, ia merupakan ruang di mana hubungan sosial beroperasi, dan
perjuangan kelas mengambil perannya.231 Lyotard menyatakan bahwa sublim merupakan
sebuah model estetika dalam seni maupun sastra yang menjalankan proyek kemanusiaan.
Estetika sublim menjadi dasar perjuangan politik representasi
Pengamatan Lyotard terhadap perkembangan karya seni dan sastra, kaitannya
dengan pengungkapan pengalaman manusia, mengarahkan pada pembagian dua model
estetika sublim, yakni estetika modern dan postmodern. Estetika modern adalah estetika
sublim, tetapi bersifat nostalgia.232 Ia menghadirkan the unpresentable hanya sebagai
sesuatu yang hilang, terpecah-pecah dan melampaui waktu, seperti karya Proust, tetapi
bentuk yang menyajikan the unpresentable, dapat dikenali karena masih konsisten dengan
patron aturan bahasa.233 Dengan demikian ia memberikan audiens sebuah tawaran hiburan
dan kesenangan. Lyotard kemudian menyatakan bahwa estetika modern masih belum
memiliki semangat sublim yang sebenarnya. The real sublim, menurut Lyotard, merupakan
kombinasi intrinsik dari pleasure dan displeasure. Pleasure yang dihasilkan karena reason
menuntut pelampauan dari segala bentuk presentasi. Displeasure yang dihasilkan karena
pengalaman dan imagination subjek tidak sesuai dengan konsep. Estetika postmodern
menghadirkan the unpresentable sebagai wujud presentasinya yang tak berbentuk. Ia
menolak bentuk yang menghibur dan bentuk yang bagus/indah, yang merupakan konsensus
228

Bill Readings, Introducing Lyotard:Art and Politics, (London and New York:Rotledge, 1991), hlm. xxiii.
Ibid., hlm. 131.
230
J.F. Lyotard, Op. Cit., 1994 hlm. 127.
231
Bill Readings, Op. Cit., hlm. 67.
232
J.F. Lyotard, Op. Cit., 1984, hlm. 81.
233
Ibid., 80.

114

229

dari selera, konsensus yang membuat subjek mengalami nostalgia terhadap kepenuhan yang
tak pernah bisa dicapai. Estetika postmodern selalu mencari bentuk presentasi baru, bukan
untuk menghasilkan hiburan, tetapi untuk menanamkan rasa yang kuat terhadap the
unpresentable234 Maka dari itu, seniman atau sastrawan dalam hal ini berada di posisi
sebagai filsuf. Karya yang dihasilkannya tidak mengikuti prinsip yang diatur oleh aturan
yang mapan, dan ia tidak bisa dinilai berdasarkan patron kategori-kategori tertentu. Aturan
dan kategori itulah yang sedang dicari oleh seniman dan sastrawan melalui karyanya.
Seniman dan sastrawan berkarya tanpa mengikuti aturan tertentu karena mereka akan
memformulasikan aturan selanjutnya. Oleh sebab itu, karya mereka memiliki karakteristik
event atau figure. Karya postmodern selalu datang terlambat atau disadari terlalu awal. Hal
ini karena pada saat kemunculannya ia tidak bisa dikenali atau dipahami karena ia tidak
mengikuti aturan yang mapan pada saat itu. Maka dari itu, postmodern kemudian dipahami
dalam paradoks antara masa depan dan masa lampau, atau bisa dikatakan eksistensinya
sudah melampaui waktu. Inilah ide yang menarik dari Lyotard, ia mengasumsikan
postmodern sebagai pelampauan atas ruang (kategori atau bentuk) serta waktu (sejarah atau
historis).
Kritik Sastra Postmodern : Doing Avant Garde
Memahami pemikiran Lyotard tentang postmodern, dan proyek kemanusiaannya
yang dijalankan dalam politik representasi, akan mengarahkan pada sebuah model tawaran
teori dalam menganalisa sebuah karya baik seni maupun sastra. Landasan filosofisnya
berangkat dari sublim – kondisi konfliktual yang tidak bisa diselesaikan - yang kemudian
mengaitkannya dengan wacana politik representasi yang bisa diungkap dalam karya sastra.
Model analisa ini sebenarnya sudah banyak diutarakan contohnya dalam analisa wacana
kritis, analisis wacana Foucault, bahkan yang lebih politis lagi, yakni Pierre Bourdieu.
Namun di sini, ada yang berbeda dari ide Lyotard yang saya tawarkan ini, yakni, kita masuk
pada kritik radikalnya, doing Avant Garde.
Istilah Avant Garde merujuk pada gerakan artistik yang progresif dalam seni di awal
abad
ke-20, seperti aliran dadaisme, surealisme, ekspresionisme, impresionisme dan kubisme.235
Seni Avant-Garde selalu berekperimentasi dengan bentuk dan medium yang baru. Ia kerap
keluar dari aturan lama dan membuat jenis estetika yang lain, semangatnya sama dengan
postmodern. Contohnya seniman Cézanne yang menentang seniman impresionis, dan
membuat post-impresionis. Picasso dan Barque kemudian menentang Cézanne, dan
menginisiasi aliran kubisme. Duchamp mendobrak kubisme, dan mempelopori nominalisme
dan kemudian Buren mempertanyakan estetika karya Duchamp.236 Artinya setiap aturan
tidak diijinkan menjadi mapan, karena yang mapan selalu mendominasi yang lain. Apa yang
bisa diambil dari gerakan seni tersebut adalah semangat radikal Avant Garde (doing Avant
Garde) untuk melakukan gerakan penggerogotan terus-menerus terhadap sesuatu yang

Ibid., 81
Richard Murphy, Theorizing the Avant Garde:Modernism, Expressionism, and the Problem of
Postmodernity, (Cambridge:Cambridge University Press, 2004), hlm. 1.
236
Lyotard, Op. Cit., 1984. hlm. 79.

235

115

234

Seminar Politik Kritik Sastra, 24-25 November 2015
Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, UGM

mapan, kreatif memunculkan makna-makna baru demi mengungkap pluralitas pengalaman
manusia. Inilah yang harus dibaca oleh kritikus dalam menganalisa karya sastra.
Tawaran kritik sastra postmodern ini tidak sekedar mengaitkan estetika karya sastra
dengan politik atau praktik sosial. Model kritik dengan relasi ini sudah dijelaskan dengan
panjang lebar oleh Terry Eagleton dalam The Ideology of Aesthetic. Perhatian pada kritik
sastra postmodern yang saya tawarkan adalah mengungkap adanya gerakan meruntuhkan
jejaring makna yang mapan, baik itu melalui penemuan istilah baru, pelanggaran terhadap
batas-batas konvensi norma, ataupun berbagai macam anomali dalam struktur sosial.
Mereka dibaca sebagai bentuk perbedaan yang muncul dalam keberagaman pengalaman
manusia, bukan sebagai yang menyimpang, yang salah ataupun yang aneh. Kritik ini juga
akan kembali mempertanyakan batas antara karya sastra dan non-sastra, kategori sastrawan,
filsuf maupun seniman. Tidak hanya membaca dengan perspektif yang demokratis, tetapi
kritikus juga dituntut untuk mengungkap adanya kemungkinan adanya potensi konstruksi
makna baru, yang sekali lagi, mesti dikaitkan dengan pengungkapan pengalaman manusia
dalam politik representasi. Kritikus membaca ruang-ruang representasi dalam karya sastra
dalam perspektif politik, menjustifikasi perbedaan demi sebuah pengakuan keberagaman
yang demokratis.
Hal lagi yang paling penting, kritik postmodern ini, karena sifatnya yang radikal,
bukan untuk mengungkap adanya alternatif makna sebagai ekses dari makna yang
ditentang/dominan – seperti yang dilakukan Derrida - tetapi untuk menangkap adanya
makna yang murni baru, Lyotard membahasakannya sebagai here and now, atau disebut
juga dengan the unpresentable. Mempresentasikan yang tak terpresentasikan adalah titik
paling radikal dari kritik postmodern ini. Agak sulit untuk menjelaskannya karena ia adalah
entitas yang belum dikonvensi. Ia adalah eksistensi yang tidak tepat waktu, selalu hadir
lebih awal ataupun muncul terlambat. The unpresentable adalah kehadiran yang belum
mendapatkan makna maupun bentuk, maka dari itu di sinilah kerja kritikus dituntut untuk
berfikir liar dalam mengisi makna dan memberikan bentuk padanya.

116

Doing Avant Garde: Phrase
Phrase menjadi perangkat analisa dalam kritik sastra postmodern ini. Pelampauan
akan waktu sebenarnya mengarahkan pada analisis ruang, tetapi tawaran kritik ini tidak
terjebak pada analisis bentuk. Ada semacam semangat perjuangan yang menubuh di
dalamnya. Phrase merupakan perangkat analisa yang digunakan untuk mengawinkan
analisa keruangan dengan substansi perjuangan postmodern. Ada dua dikotomi antara
discourse dan figure. Sederhananya discourse merupakan sistem representasi realitas
melalui bahasa, sedangkan figure adalah sesuatu yang tak terwakili oleh sistem bahasa yang
mengacaukan aturan representasi, ia merupakan singularitas yang radikal, jejak yang
resisten yang secara radikal tak dapat diukur dengan makna dalam discourse, ia berupa
visual, alam bawah sadar maupun peristiwa.237 Figure merupakan subsatnsi dari phrase.

237

Bill Readings, Op. Cit., hlm. xxiii-xxiv.

238

Event adalah kejadian yang melampaui kemampuan representasi. Ia muncul mendadak, spontan dan brutal,
mengacaukan semua pengalaman dan pemahaman yang dikenali sebelumnya. Lihat Anthony Gritten, “Event”
dalam Sim, Stuart (Ed), The Lyotard Dictionary, (Edinburgh:Edinburgh University Press, 2011), hlm. 70.

117

Analisanya nanti bukanlah perihal analisis struktur formal bahasa, atau sistem representasi
tetapi mengarah pada visual dalam teks, alam bawah sadar dan peristiwa (event)238.
Phrase tidak mendapatkan maknanya dari penanda yang merujuk pada petanda
dalam sistem representasi pertama (struktural – denotasi) atau dalam sistem kedua (mitologi
– konotasi), tetapi maknanya didapatkan dari hasrat, dalam arti psikonalisis Lacanian.
Hasrat adalah sesuatu yang tersisa dari represi subjek terhadap bahasa, yang membuatnya
terus merasa kekurangan, sehingga ada potensi agensi untuk membuyarkan wacana
dominan. Phrase dipandang sebagai suatu kekutan yang mampu merekodifikasi kode dalam
wacana yang mapan. Saya akan memberikan contoh sederhana perihal kapitalisme. Norma
tradisional perihal kekerabatan baik keluarga maupun masyarakat akan mengalami
rekodifikasi ketika kapitalisme mulai masuk. Kapitalisme mampu mengubah hubungan,
misalkan, suami istri menjadi hubungan antarburuh, mengubah hubungan tuan tanah dan
pekerja menjadi relasi pemodal dengan buruh. Bentuk kodifikasi lama mampu
didekodifikasi lalu menjadi kodifikasi baru. Ada hasrat yang bisa ditangkap sebagai gerakan
yang mampu menggerogoti norma yang mapan, dan secara radikal membentuk rumusan
baru. Tujuan sebenarnya bukan untuk menenggelamkan yang lama tetapi membuka ruang
pluralitas bagi berbagai macam ekspresi pengalaman manusia.
Phrase juga dipandang secara visual, dalam artian picture atau potret. Untuk
memahaminya, mari kita coba membicarakan perihal ingatan. Ingatan dalam pengalaman
manusia tidak pernah bersifat tekstual, atau tak pernah terangkum sepenuhnya dalam sistem
representasi bahasa/tanda. Ingatan kita selalu bersifat visual, yang terkadang muncul dalam
mimpi. Setiap potret ingatan manusia akan tereduksi secara masif ketika direpresentasikan
melalui sistem bahasa. Dalam phrase, kita memandang teks dalam karya sastra sebagai
visual, artinya dalam teks tersebut tersimpan sesuatu yang lebih kompleks dan besar, atau
bisa dikatakan sesuatu yang chaos. Ada sesuatu di balik teks yang berpotensi
menggoyahkan sistem representasi yang menentukan maknanya.
Terakhir, kita memandang phrase sebagai suatu peristiwa. Sederhananya, peristiwa
adalah pengalaman yang menolak untuk direpresentasikan, maka dari itu ia tidak terpahami,
tak diketahui maupun tak teridentifikasi, tetapi ia eksis dalam pengalaman manusia. Peran
seorang kritikus adalah menggali berbagai macam peristiwa dalam pengalaman manusia
yang tidak mampu terartikulasikan melalui bahasa. Kritikus nantinya bisa diarahkan untuk
membuat rumusan baru yang mampu mewakili kedalaman pengalaman manusia.
Keberlimpahan peristiwa dalam karya sastra akan menjadi makanan empuk bagi kritikus
untuk memahami keberagaman pengalaman manusia, dan kemudian memformulasikan
formasi representasi untuk mendobrak sistem representasi yang mapan. Gerakan-gerakan
pendobrakan ini merupakan usaha, bisa dikatakan radikal, untuk mengungkap pengalaman
manusia yang tidak terartikulasikan oleh sistem representasi yang sudah ada. Jika
disederhankan, peran kritikus sastra adalah untuk mempresentasikan (pengalaman manusia)
yang tak terpresentasikan demi membuka ruang keberagaman yang demokratis.
Model tawaran kritik sastra postmodern ini masih terus saya kembangkan dengan
terus mencari kemungkinan yang bisa ditawarkan untuk menganalisa dengan menggunakan

Seminar Politik Kritik Sastra, 24-25 November 2015
Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, UGM

basis filosofis sublim. Tawaran ini setidaknya mampu menjawab model kritik sastra
postmodern yang sebelumnya, yang cenderung formal, terjebak pada analisis klasifikasi dan
perangkap historis. Kritik sastra postmodern yang saya tawarkan ini mengandung semangat
perjuangan yang substansial, yakni pengungkapan keberagaman pengalaman manusia yang
demokratis. Ia juga menawarkan pelampauan ruang (bentuk) dan waktu (historis), dengan
mengungkap unpresentable yang bentuknya belum dikonvensi dan terlepas dari waktu –
konsep here and now menjelaskan bahwa ia merupakan gerakan terus-menerus dalam tenses
present.
Postmodernism thus understood is not modernism at its end but in the nascent state,
and this state is constant.239

(Postmodern adalah sebuah gerakan meruntuhkan sesuatu yang mapan, yang disebut sebagai
modern. Ketika postmodern menjadi mapan maka pada saat itu ia menjadi modern.
Postmodern adalah awal, potensi atau bibit dari modern, ketika ia menjadi modern dan
mapan maka ia akan menggerogoti dirinya sendiri dan membentuk sesuatu yang baru.
Keadaan tidak mengijinkan sesuatu menjadi mapan tersebut, yang berlangsung terusmenerus, nantinya akan membuka ruang keberagaman ekspresi manusia yang demokratis).
Postmodern dalam Perkembangan Kritik Sastra di Indonesia
Sastra postmodern mencoba keluar dari pemikiran yang dikotomis, biner yakni
antara tradisi dan modernitas. Bahkan ia bisa mencampurkan tradisionalitas dan modernitas,
realitas dengan mitos, sastra dengan legenda, seperti dalam karya-karya realisme magis.
Sastra postmodern memberi perhatian pada segala yang diketepikan oleh modernitas, seperti
sejarah, kehidupan budaya masyarakat pinggiran, serta di wilayah-wilayah jajahan dan
bekas jajahan. Segala sesuatu yang ditepikan tersebut dipahami masih dalam
persentuhannya dengan modernitas. Lebih jauh sastra postmodern mencoba keluar dari
segala bentuk pemikiran biner atau dikotomis yang dibangun oleh sastra modern, seperti
pemisahan antara wacana pengetahuan modern dengan sastra modern, wacana sastra
modern dengan jurnalistik, wacana sastra dengan politik, sastra serius dengan sastra
populer. 240 Analisanya berupa analisis kultural, diskursif, maupun praktik penandaan.241
Sastra postmodern dipahami sebagai realisme kultural, karena analisanya
mengasumsikan bahwa realitas merupakan konstruksi sosial.242 Pandangan ini jika dilacak
berasal dari Linda Hutcheon, yang juga menjadi target kritik saya. Dalam kritik sastra
postmodern, Faruk menjabarkan ada beberapa model sebagai penegasan realism kultural,
yang jika dirangkum antara lain : kritik sastra postmodern menganggap karya sastra sebagai
aktivitas diskursif, selalu terkait dengan berbagai diskursif lain, seperti gender, ras, etnik
maupun agama. Ia memungkinkan untuk menembus berbagai macam batas – sastra, berita
jurnalis, ilmu pengetahuan - serta memungkinkan percampuran batas identitas bangsa, etnis
239

Lyotard, Op. Cit., 1984. hlm. 79.
Faruk H.T., Beyond Imagination:Sastra Mutakhir dan Ideologi, (Yogyakarta:Gama Media, 2001), hlm. 2527.
241
Faruk H.T., Pengantar Sosiologi Sastra:Dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme,
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 145-152.
242
Faruk H.T. “Memasuki Dunia Imajiner:Soal Satra Mutakhir dan Kritiknya”, Jurnal Humaniora IV, tahun
1997, hlm 16.

118

240

maupun ras. Kritik sastra postmodern juga berusaha menemukan kemungkinan berbagai
suara yang tidak saling mendominasi. Ia juga memungkinkan penggunaan dan
penyalahgunaan berbagai macam wacana.243
Dalam kaitannya dengan kritik sastra postmodern yang saya tawarkan, terlebih
dahulu saya harus membedakan antara analisa poststrukturalisme dengan postmodernisme.
Poststrukturalisme berangkat dari problem filsafat, maka dari itu ia adalah entitas filsafat.
Sedangkan postmodernisme berangkat dari persoalan kultural, sehingga ia adalah entitas
kultural.244 Kritik sastra postmodern yang ditawarkan Faruk lebih cenderung kepada analisa
poststrukturalisme, atau sederhananya model analisa diskursif (parole). Sedangkan
postmodernisme yang saya tawarkan bermula dari persoalan kultural – dehumanisasi,
dekadensi genosida – yang merupakan konsekuensi dari totalitarian dan universalisme
narasi-narasi besar. Perbedaan yang paling mencolok adalah analisa diskursif memusatkan
perhatian pada pengungkapan jejaring wacana, atau rantai penanda-penanda, sedangkan
analisa postmodernisme memusatkan perhatian kepada pembongkaran jejaring makna yang
mapan. Jika analisis diskursif hendak mengungkap pluralitas wacana, serta kemungkinan
konstruksi relasi diantara mereka, maka analisa postmodernisme hendak mencari
kemungkinan istilah baru yang berpotensi menjadi wacana baru, yang belum ada
sebelumnya. Kritikus dituntut untuk menciptakan istilah baru tersebut yang sanggup
mewakili suara-suara yang dibungkam.
Contoh yang bisa saya berikan, dan sengaja saya kaitkan dengan konteks yang
dihadapi Idonesia hari ini, adalah persoalan tragedi 65. Berpuluh-puluh tahun kerabat
ataupun keluarga korban tragedi tersebut terepresi bahkan bungkam – atau dibungkam –
oleh wacana mapan tentang komunisme. Berbagai macam istilah perihal tragedi komunis
seperti G30S/PKI, ateis, pemberontak Negara, cenderung bernada negatif bagi kaum
komunis. Kerabat keluarga maupun sanak saudara korban tragedi 65 tidak memiliki istilah
yang sanggup mengekspresikan pengalaman mereka sebagai pihak yang tidak terlibat
langsung dengan peristiwa G30S. Sama seperti yang dirasakan para kerabat korban
pembantaian Nazi, yakni kaum Yahudi. Mereka membutuhkan phrase yang mampu
mengartikulasikan pengalaman mereka yang terepresi demi menuntaskan keadilan.
Kemudian lahir phrase hukum publik internasional, sebagai basis wacana pengadilan
hukum internasional.245 Terakhir saya mendengar ada istilah komunisme gaya baru yang
kabarnya diutarakan oleh seorang penyair Taufiq Ismail. Istilah komunisme gaya baru yang
saya tangkap merujuk pada dugaan kebangkitan kelompok komunis yang hendak
melakukan balas dendam246. Lagi-lagi istilah baru ini cenderung menyudutkan identitas
243

Ibid, hlm 17-19.
M. Suryajaya, Imanensi dan Transendensi: Sebuah Rekonstruksi Deleuzian atas Ontologi Imanensi dalam
Filsafat Prancis Kontemporer, (Jakarta:Aksi sepihak, 2009), hlm 127. Pembedaan ini hanya bertujuan untuk
melihat kecenderungan kritik sastra postmodern yang ditawarkan Faruk dan saya, meskipun pembedaan ini
terkesan terlalu sederhana, namun untuk memudahkan pemahaman, saya pikir perlu mengajukan pembedaan
tersebut.
245
Lyotard, Op. Cit., 1988, hlm 56
246
“Taufiq Ismail di Pekan Raya Buku Frankfurt: “Komunis Gaya Baru Itu Ada”, diambil dari
http://radiobuku.com/2015/10/taufiq-ismail-di-pekan-raya-buku-frankfurt-komunis-gaya-baru-itu-ada/ (akses
17 November 2015).

119

244

Seminar Politik Kritik Sastra, 24-25 November 2015
Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, UGM

komunisme. Beberapa novel kontemporer, sebagai contoh, yang mengandung persoalan
komunisme di Indonesia antara lain trilogi novel Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk,
Lintang Kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala, novel Ilham Zoebazary berjudul Titik
Balik Kesunyian, dan yang paling baru adalah novel Amba karya Laksmi Pamuntjak. Novelnovel tersebut sangat memungkinkan untuk dikaji dengan kritik sastra postmodern untuk
merumuskan sistem representasi baru yang mampu mewakili suara-suara yang selama ini
dibungkam oleh wacana dominan, khususnya diskursus warisan orde baru. Representasi
baru tersebut diharapkan bisa membuyarkan batas representasi antara komunis, Islam dan
Negara, demi memberikan suara bagi pihak yang terepresi untuk mengekspresikan
pengalamannya, serta menuntut keadilan. Jika berhasil, sang kritikus berarti telah
melakukan doing Avant Garde, minimal ia sudah menjadi radikal sejak di dalam pikiran.

120

Bibliografi
Abrams, M.H., 2009, A Glossary of Literary Terms:Ninth Edition, Boston:Wadswort Cengage Learning
Crowther, Paul, 1989, “The Kantian Sublime, the Avant-Garde, and The Postmodern:A Critique of Lyotard”, New
Formations, Number 7 spring.
Dunn, Allen, 1993, “A Tyranny of Justice: The Ethics of Lyotard's Différend”, boundary 2,Vol. 20, No. 1 (Spring, 1993),
pp. 192-220, diambil dari http://www.jstor.org/stable/303182 (akses Oktober 2015).
Faruk H.T., 2001, Beyond Imagination:Sastra Mutakhir dan Ideologi, Yogyakarta:Gama Media.
, 1994, Pengantar Sosiologi Sastra:Dari Strukturalisme Genetik sampai Post Modernisme,
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
, 1997, “Memasuki Dunia Imajiner:Soal Satra Mutakhir dan Kritiknya”, Jurnal Humaniora IV/1997.
Gritten, Anthony, 2011, “Event” dalam Sim, Stuart (Ed), 2011, The Lyotard Dictionary, Edinburgh:Edinburgh University
Press.
McHale, Brian, 1987, Postmodernist Fiction, New York:Routledge.
Harsawibawa, Albertus, 1997, Estetika Menurut Immanuel Kant, Tesis FIB UI yang tidak diterbitkan.
Hughes, Fiona, 2010, Kant’s Critique of Aesthetic Judgement:A Readers Guide, New York:Continuum International
Publishing Group.
Hutcheon, Linda, 1988, A Poetics of Postmodernism:History, Theory, Fiction, New York:Routledge.
Jameson, Federick, 1991, Postmodernism or the Cultural logic of Late Capitalism, Durham:Duke University Press.
Kant, Immanuel, 2007, Critique of Judgement, translated by James Creed Meredith, Revised, edited, and introduced by
Nicholas Walker, New York:Oxford University Press.
Luebbe, Chris, ‘Review: A Poetic of Postmodernism’ MLN, Vol. 105, No. 5, Comparative Literature (Dec., 1990), pp.
1113-1117, hlm 1114, diambil dari http://www.jstor.org/stable/2905181 (akses Oktober 2015).