IMPLEMENTASI AGROPOLITAN BERBASIS SUMBER daya

IMPLEMENTASI AGROPOLITAN BERBASIS SUMBER
DAYA LOKAL UNTUK MENINGKATKAN
PEMBANGUNAN EKONOMI
(STUDI PROVINSI GORONTALO)

JURNAL ILMIAH

Disusun oleh :

Ade Herawan
0610210002

JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013

LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL

Artikel Jurnal dengan judul :

IMPLEMENTASI AGROPOLITAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL
UNTUK MENINGKATKAN PEMBANGUNAN EKONOMI
(STUDI PROVINSI GORONTALO)

Yang disusun oleh :
Nama

:

Ade Herawan

NIM

:

0610210002

Fakultas

:


Ekonomi dan Bisnis

Jurusan

:

S1 Ilmu Ekonomi

Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang
dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 19 April 2013

Malang, 19 April 2013
Dosen Pembimbing,

Dr. Asfi Manzilati, SE., ME.
NIP. 19680911 199103 2 003

Implementasi Agropolitan Berbasis Sumber Daya Lokal untuk Meningkatkan
Pembangunan Ekonomi

(Studi Provinsi Gorontalo)
Ade Herawan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Email: pemimpin_ibupertiwi@yahoo.com
ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk memberikan titik terang dalam upaya peningkatan pembangunan ekonomi
melalui penerapan agropolitan yang berbasis sumber daya lokal. Data yang digunakan adalah data
kualitatif berupa literatur dari buku dan jurnal ilmiah.
Kesejahteraan masyarakat merupakan harapan bagi setiap negara. Suatu negara dikatakan makmur
apabila distribusi pendapatan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyara katnya. Salah satu
strategi yang dapat digunakan dalam rangka pemerataan distribusi pendapatan adalah dengan
menerapkan kebijakan agropolitan. Contoh daerah yang sukses menerapkan agropolitan dan
kemudian berdampak pada peningkatan pembangunan ekonomi adalah Provinsi Gorontalo.
Kebijakan agropolitan di Provinsi Gorontalo ditempuh melalui 3 (tiga) Grand Strategy, yaitu
pembangunan ekonomi kerakyatan (Grand Strategy I), pengembangan industri kecil dan menengah
(Grand Strategy II), serta pendekatan internal dan hi-tech (Grand Strategy III). Tahapannya yang
secara simultan dan terpadu yaitu institusi dan regulasi, analisis potensi lokal serta participatory
planning. Adapun dampak dari penerapan agropolitan ini ialah adanya peningkatan pembangunan
ekonomi di Provinsi Gorontalo. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain

pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, pendapatan per kapita, tingkat kemisikinan,
kesempatan kerja, dan produksi jagung.
Kata kunci: agropolitan, sumber daya lokal, pembangunan ekonomi, grand strategy

A. PENDAHULUAN
Kesejahteraan masyarakat merupakan harapan bagi setiap negara. Kesejahteraan masyarakat erat
kaitannya dengan pemerataan pendapatan. Suatu negara dikatakan makmur apabila distribusi
pendapatan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakatnya. Selama ini berbagai upaya dan
strategi telah dilakukan dalam rangka pemerataan distribusi pendapatan. Berbagai kebijakan diambil,
namun pada kenyataannya dalam tataran implementasi masih terdapat berbagai kekurangan yang
mengakibatkan kebijakan yang diambil masih belum membuahkan hasil. Akibatnya, timbul
ketimpangan antardaerah yang ada di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
Tabel 1: Ketimpangan Keuangan Antarkabupaten di Indonesia
Kutai Kartanegara
Sleman
Penduduk (2005)
547.000 jiwa
905.000 jiwa
APBD
Rp. 4,7 triliun

Rp. 698,5 miliar
Pegawai
14.200 orang
8.300 orang
Penduduk Miskin
55.000 jiwa
146.500 jiwa
Sumber : Basri dan Munandar, 2009
Salah satu kebijakan yang cukup signifikan dalam perkembangan kehidupan bernegara adalah
kebijakan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah

dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Undang-Undang tersebut memberlakukan sistem
pemerintahan yang desentralistis. Alasan utama pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
adalah untuk menjalankan prinsip demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah melalui pemberian kewenangan
yang luas, nyata, bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional.
Sedangkan pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 lebih menekankan pemberian
kewenangan seluas luasnya agar daerah memiliki keleluasaan membuat kebijakan untuk pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan dengan mengutamakan kesejahteraan masyarakat
di daerah. Dalam menjalankan sistem pemerintahan yang desentralistis pemerintah daerah diberi

otoritas untuk menjalankan berbagai urusan.
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan penyempurnaan dari UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999. Alasan mendasar yang dilaksanakannya otonomi daerah sebenarnya
adalah agar pemerintah daerah bisa lebih memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Bangkitnya era desentralisasi dan otonomi daerah di tanah air telah memberikan keleluasaan pada
pemerintah daerah untuk merealisasikan visi dan misi serta rencana-rencana pembangunan atas sumber
daya lokal masing-masing daerah. Pengembangan sumber daya lokal inilah yang bertujuan
meningkatkan produktivitas dan nilai tambah untuk mengembangkan daerah. Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan prasyarat bagi pemerintahan
di daerah untuk untuk membangun daerah secepat mungkin guna mengejar ketertinggalan.
Belajar dari masa lalu bahwa kebijakan yang sama diterapkan pada semua daerah oleh pemerintah
pusat berakibat kebijakan tersebut tidak efekif, tidak dapat menjawab permasalahan yang dihadapi oleh
masyarakat dan tidak sesuai dengan realitas yang ada. Hal ini dikarenakan kemajemukan yang dimiliki
oleh Indonesia yang menjadikan sebuah kebijakan yang “dipukul rata” tidak bisa dijalankan secara
maksimal. Meskipun pada implementasinya kebijakan otonomi daerah mendapat kekurangan, namun
kebijakan ini merupakan kebijakan yang tepat dalam mengoptimalkan potensi lokal yang ada di
Indonesia sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu daerah yang berhasil dalam menerapkan otonomi daerah adalah Provinsi Gorontalo.
Sebagai provinsi yang baru terbentuk sebagai hasil dari pemekaran Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi
Gorontalo mampu membuat prestasi luar biasa dalam pembangunan daerahnya. Hal tersebut bisa
dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi yang meningkat tajam, ekspor produk yang semakin

meningkat, tingkat kesehatan masyarakat yang semakin tinggi, angka kesempatan kerja serta adanya
peningkatan investasi.
Akar dari kesuksesan Gorontalo adalah keberhasilan dalam menerapkan kebijakan agropolitan
yang mengkombinasikan sinergi antara pemerintah daerah, swasta di daerah, serta masyarakat dalam
menerapkan kebijakan agroplitan berbasis jagung sebagai komoditi unggulan. Kebijakan agropolitan
berbasis jagung ini mampu membuat pembangunan di Provinsi Gorontalo berlangsung dengan lancar
serta roda perekonomian terus berputar. Berbagai inovasi pemerintah di bidang pelayanan, serta
regulasi menjadi faktor pendukung. Selain itu peran swasta dan masyarakat pun sangat tinggi sehingga
mampu mendukung kebijakan agropolitan di Provinsi Gorontalo. Berbagai program dan strategi yang
dilakukan oleh pemerintah daerah yang mengacu pada kebijakan agropolitan berbasis jagung sebagai
komoditi unggulan terbukti mampu menyejahterakan rakyat Gorontalo.

B. KERANGKA TEORITIS
Kata agropolitan berasal dari dua kata agro dan polita (polis). Agro berarti pertanian dan politan
berarti kota. Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya
sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan
pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya (Soenarno, 2003).
Sedangkan pengertian sistem agribisnis yaitu pembangunan pertanian yang dilakukan secara
terpadu, tidak saja dalam budidaya (on farm) tetapi juga meliputi pembangunan agribisnis hulu yaitu
penyedia sarana pertanian. Agribisnis hilir yaitu proses dan pemasaran hasil pertanian dan jasa-jasa

pendukungnya. Inti dari sistem agribisnis adalah usaha agribisnis yang dilakukan oleh masyarakat

terutama petani dan pengusaha yaitu swasta dan BUMN baik pengusaha pelaku penyedia agro input,
pengolahan hasil, pemasaran maupun penyedia jasa (Kurniawati, 2006).
Kawasan agropolitan terdiri dari kota pertanian yaitu kota menengah atau kota kecamatan dan
desa-desa sentra produksi pertanian yang ada di sekitarnya, dengan batasan yang tidak ditentukan oleh
batasan administratif pemerintah tetapi lebih ditentukan oleh skala ekonomi. Dengan demikian
kawasan agropolitan adalah kawasan agribisnis yang memiliki fasilitas perkotaan. Pengembangan
kawasan agropolitan adalah pembangunan ekonomi berbasis pertanian di kawasan agribisnis, yang
dirancang dan dilaksanakan dengan jalan menyinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong
berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan,
dan terdesentralisasi, yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah (Kurniawati,
2006).
Local Economic Resoeurces Development adalah sebuah konsep yang memaparkan mengenai
pentingnya pengelolaan pengembangan ekonomi yang berbasis sumber daya ekonomi lokal. LERD
berusaha untuk memperkuat kapasitas ekonomi, teritorial, dan lokalitas. LERD fokus pada keunggulan
kompetitif lokal dan memberikan masyarakat pengertian untuk menguatkan ekonomi berbasis sumber
daya lokal.
Menurut Triyuwono (2003), tidak dapat dipungkiri bahwa potensi lokal apabila dapat
diberdayakan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam suatu wilayah, sebagaimana

pernyataannya bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan dan diamati melalui berbagai cara.
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan per kapita
dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental
dalam struktur ekonomi suatu negara (Kuncoro, 2003).
Myrdal dalam (Kuncoro, 2003) mengatakan pembangunan sebagai pergerakan ke atas dari seluruh
sistem sosial. Dudley Seers dalam (Kuncoro, 2003) menujuk 3 sasaran utama dalam pembangunan
yaitu kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan.
Pembangunan ekonomi berarti proses perubahan dari suatu tipe perekonomian menjadi tipe lain
yang lebih maju, Hirschman dalam Siagian (1982). Sedangkan menurut Meier dan Badwin yang
dikutip dalam Siagian (1982), pembangunan ekonomi adalah suatu proses dimana pendapatan nasional
riil suatu perekonomian bertambah selama suatu periode waktu yang panjang.
Pembangunan ekonomi ialah usaha memperbesar pendapatan per kapita dan menaikkan
produktivitas per kapita dengan jalan menambah peralatan modal dan skills, Sumitro dalam Siagian
(1982).

C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan kajian literatur dan termasuk
kategori studi kepustakaan dimana dalam pelaksanaannya peneliti menggunakan literatur, baik buku
catatan maupun laporan hasil penelitian dari peneliti terdahulu (Hasan, 2002). Sumber data penelitian
merupakan faktor penting yang menjadi pertimbangan dalam penentuan metode pengumpulan data.

Sumber menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua yaitu tertulis dan tidak tertulis, Abdurrahman
dalam (Galuh, 2011).

D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Implementasi Agropolitan di Provinsi Gorontalo
Kebijakan agropolitan merupakan inovasi dari Pemerintah Provinsi Gorontalo dalam
mengembangkan perekonomian di Gorontalo. Kebijakan agropolitan kemudian ditempuh melalui 3
Grand Strategy (Sabar, 2006), yaitu pembangunan ekonomi kerakyatan ( Grand Strategy I),
pengembangan industri kecil dan menengah (Grand Strategy II), serta pendekatan internal dan hi-tech
(Grand Strategy III). Meskipun terdiri dari 3 tahapan, namun pelaksanaan Grand Strategy dilakukan
secara simultan dan terpadu.

1. Pembangunan ekonomi kerakyatan
Kerakyatan dalam sistem ekonomi telah mengutamakan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang
banyak yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem
ekonomi nasional kita berlaku demokrasi ekonomi,yang tidak menghendaki “otokrasi ekonomi”,
sebagaimana demokrasi di bidang politik yang menolak adanya “otokrasi politik”. Dalam Grand
Strategy I ini terbagi menjadi 3 bagian :
a. Institusi dan regulasi
Institusi yang dimaksud di sini adalah Pemerintah Provinsi Gorontalo. Adanya good will dari

pemerintah jelas menjadi modal awal dalam penyelenggaraan kebijakan agropolitan di Gorontalo.
Permasalahan good will dari pimpinan, yaitu gubernur Gorontalo sendiri sudah begitu kuat dan tidak
perlu dipertanyakan komitmennya. Namun, komitmen tidak hanya berasal dari pucuk pimpinan tetapi
seluruh bagian dari Pemerintah Provinsi Gorontalo agar kebijakan agropolitan bisa berlangsung
dengan baik. Pada periode sebelumnya, kepemimpinan Fadel Muhammad dengan visinya yang
menjadikan Provinsi Gorontalo sebagai provinsi inovatif ternyata mampu mengubah budaya birokrasi
di Gorontalo menjadi lebih baik dan menjadi acuan dalam pelaksanaan reformasi birokrasi oleh
berbagai daerah di tanah air. Hal tersebut tentunya sangat bermanfaat dalam kebijakan agropolitan di
Provinsi Gorontalo.
Sedangkan regulasi adalah aturan yang mendukung pelaksanaan kebijakan agropolitan. Berbagai
kebijakan nyata yang diambil dalam mendukung kebijakan agropolitan telah dilaksanankan, misalnya
SK Gubernur Gorontalo mengenai harga jagung di Gorontalo ataupun Peraturan Daerah Nomor 2
Tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok Kemudahan Penanaman Modal. Peraturan Daerah ini memberikan
jaminan kemudahan pelayanan perizinan, fasilitasi dan persiapan lahan sesuai dengan rencana
peruntukan, keringanan pajak dan kepastian berusaha.
b. Análisis potensi lokal
Pemerintah Gorontalo memilih jagung sebagai komoditas unggulan untuk dikembangkan dalam
kebijakan agropolitan. Pemilihan jagung bukanlah merupakan pemilihan singkat tanpa analisis dan
pertimbangan mendalam dari Pemerintah Gorontalo. Jagung terpilih sebagai komoditas unggulan
karena mempunyai keterkaitan dengan pola makan dan sejarah budidaya tanaman di masyarakat
Gorontalo.
Gorontalo sebenarnya memiliki ragam budaya tanaman hortikultura dan semuanya berpotensi
untuk dikembangkan, seperti kelapa, cengkeh, padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi
kayu, ubi jalar, dan tebu. Tebu misalnya, telah menjadi tanaman andalan Kabupaten Boalemo. Apalagi
hasil produksi tebu telah dapat langsung diserap Pabrik Gula Rajawali yang sudah berdiri sejak 20
tahun. Begitu pula dengan budidaya kelapa. Kelapa tumbuh di hampir seluruh wilayah provinsi.
Produksi kelapa telah mencapai 70.166 ton. Setelah diolah menjadi bungkil dan minyak kelapa kasar,
Gorontalo meraup devisa 11,8 juta dollar AS (Sabar, 2006).
Akan tetapi untuk lebih memfokuskan maka dipilihlah jagung sebagai komoditas utama dengan
pertimbangan yang telah disebutkan sebelumnya. Memilih jagung sebagai tulang punggung
perekonomian telah karena masyarakat Gorontalo telah lama berbudidaya jagung dan menjadikan
jagung sebagai makanan pokok, ketika masyarakat daerah lain di Indonesia memilih beras. Selain itu
jagung bisa tumbuh pada iklim panas dan tidak membutuhkan banyak air. Hal lain yang menjadi
pertimbangan adalah kenyataan bahwa Indonesia masih impor jagung sebanyak 1,5 juta ton.
c. Participatory planning
Tidak dapat dipungkiri bahwa partisipasi masyarakat merupakan bagian yang tak bisa dipisahkan
dalam kebijakan agropolitan, karena pada dasarnya rakyatlah yang paling mengetahui kondisi, situasi
dan potensi di lapangan. Sejak pertama kali dibentuk Pemerintah Provinsi Gorontalo benar-benar
mengupayakan secara sungguh-sungguh ruang publik secara terbuka yang dapat dipakai untuk
melibatkan seluruh potensi aspiratif dalam masyarakat, sekaligus kritik-kritik secara terus menerus
terhadap berbagai hal ketimpangan yang terjadi.
Pada dasarnya pemerintah dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan
dan saling bahu-membahu. Untuk Gorontalo hal tersebut tidak hanya berada dalam tataran konseptual,
namun telah terlaksana dengan baik. Di antara pemerintah dan masyarakat terdapat pihak swasta.
Tidak bisa tidak, keberadaan sektor privat (perusahaan) dalam memaksimalkan potensi yang dimiliki
oleh daerah menjadi harga yang tidak bisa ditawar lagi. Sektor privat merupakan jembatan

penghubung antara pemerintah dengan masyarakat. Sektor swasta akan akan sangat berperan dalam
kebijakan agropolitan seperti yang telah dilaksanakan di Gorontalo.
2. Pengembangan industri kecil dan menengah
Selanjutnya dalam Grand Strategy II dilakukan pengembangan industri kecil dan menengah.
Keunggulan dari suatu industri sangat berperan penting. Industri kecil dan menengah bisa mendukung
dalam kestabilan pengaturan harga jagung, sehingga para petani tidak dipermainkan oleh arus pasar.
Dengan demikian harga akan memberikan kontribusi sangat baik kepada petani dan akan terjadi satu
kerja sama yang baik antarpetani dan industri, di mana semua petani akan mengembangkan tanaman
atau komoditi yang dibutuhkan oleh industri dan kemudian industri itu akan mendapat jaminan suplai
dari para petani komoditas yang mereka butuhkan.
Kemudahan dalam berinvestasi merupakan syarat mutlak dalam mengembangkan industri kecil
dan menengah. Kebijakan pembangunan yang fokus yaitu pengembangan agropolitan berbasis jagung
sebagai komoditas unggulan di Gorontalo, telah membuat investasi di Gorontalo mengalami kemajuan
yang cukup pesat. Hal tersebut dikarenakan investor mempunyai gambaran yang jelas akan membuka
usaha apa di daerah tujuan investasi. Fadel Muhammad (mantan gubernur Gorontalo) yang juga
seorang pengusaha menyatakan ada tiga hal pokok yang selalu menjadi pertimbangan pengusaha
dalam berinvestasi, yaitu :
1. Keadaan politik dan keamanan yang stabil sehingga memberikan kepastian dalam berusaha
2. Birokrasi yang luwes dan proaktif, sehingga bisa melayani keinginan pengusaha tetapi tetap dalam
koridor hukum dan peraturan yang berlaku
3. Mampu memberikan iklim yang kondusif untuk berusaha, yang dicari oleh pengusaha adalah
keuntungan
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok Kemudahan Penanaman Modal
merupakan langkah maju bagi pemerintah Gorontalo dalam membangkitkan investasi di Gorontalo.
Peraturan Daerah ini memberikan jaminan kemudahan pelayanan perizinan, fasilitasi, dan persiapan
lahan sesuai dengan rencana peruntukan, keringanan pajak, dan kepastian usaha. Melalui berbagai
program dan kebijakan yang jelas berbagai investasi akan masuk, sehingga industri kecil dan
menengah akan terus berkembang di Gorontalo. Dari deskripsi singkat yang telah disebutkan
sebelumnya terlihat sinergi yang kuat antara pemerintah daerah, swata di daerah serta masyarakat.
3. Pendekatan internal dan hi-tech
Pendekatan internal yang dimaksud adalah pendekatan yang dikhususkan untuk mendukung
program agropolitan di Gorontalo. Dalam pendekatan internal ini ada dua fokus yang diambil yaitu
pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan infrastruktur.
Dalam pembangunan sumber daya manusia pemerintah Gorontalo berkomitmen untuk terus
melakukan investasi dalam jangka panjang di bidang pendidikan. Anggaran APBD Gorontalo untuk
bidang pendidikan mencapai lebih dari 20%. Selain itu dilaksanakan pelatihan-pelatihan untuk
kepentingan jangka pendek yaitu mengenai mengenai berbagai kebijakan yang ada di Gorontalo.
Seperti misalnya reformasi birokrasi, standar akuntansi keuangan bagi aparatur pemerintah dan tentu
saja kebijakan agropolitan bagi seluruh masyarakat Gorontalo. Untuk hal ini pemerintah provinsi
Gorontalo tidak segan untuk mengucurkan anggaran yang besar dengan mendatangkan banyak sosok
handal yang dikenal untuk mengubah mind-set masyarakat Gorontalo.
Berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan banyak dilakukan sebagai upaya pengembangan
sumber daya manusia masyarakat Gorontalo. Gorontalo banyak bekerja sama dengan kampus-kampus
yang dianggap mempunyai kompetensi dalam bidang arah kebijakan Gorontalo seperti Universitas
Indonesia, Universitas Diponegoro, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Universitas
Brawijaya, dan berbagai kampus lain.
Untuk mendukung kebijakan agropolitan maka dibangun pula berbagai infrastruktur. Infrastruktur
yang telah dilaksanakan antara lain pembangunan kembali Pelabuhan Gorontalo, Pelabuhan
Kwandang, perluasan Bandara Djalaludin Gorontalo, dan penataan kawasan baru sebagai pusat
pemerintahan.

Dampak Implementasi Agropolitan terhadap Pembangunan Ekonomi di Provinsi Gorontalo
1. Pertumbuhan ekonomi
Secara umum pertumbuhan ekonomi Provinsi Gorontalo lebih baik sejak pemekaran. Jika sebelum
pemekaran pertumbuhan ekonomi daerah Gorontalo ada dikisaran 4-5%, sejak dibentuk menjadi
provinsi sendiri pertumbuhan ekonominya terus mengalami peningkatan yaitu dikisaran 6-7%, bahkan
pertumbuhan ekonomi Provinsi Gorontalo selalu berada di atas angka pertumbuhan ekonomi nasional.
Tabel 2 : Pertumbuhan Ekonomi Daerah Gorontalo (sebelum pemekaran) Tahun 2000
Pertumbuhan
Ekonomi (%)
Kota Gorontalo
5,59
Kabupaten Gorontalo
4,42
Kabupaten Boalemo
5,27
Sumber : Diolah dari Berbagai Sumber
Wilayah

Pada tahun pertama berdiri tepatnya pada tahun 2001, pertumbuhan ekonomi Provinsi Gorontalo
sebesar 6,38%; 11 tahun kemudian yaitu tahun 2012 telah mengalami peningkatan yang cukup
signifikan menjadi 7,71%.
Tabel 3 : Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Gorontalo Tahun 2001-2012
Pertumbuhan
Ekonomi (%)
2001
6,38
2002
6,45
2003
6,88
2004
6,93
2005
7,19
2006
7,30
2007
7,38
2008
7,41
2009
7,54
2010
7,63
2011
7,68
2012
7,71
Sumber : Diolah dari Berbagai Sumber
Tahun

Prosentase
Kenaikan
1,09
6,67
0,73
3,75
1,53
1,09
0,41
1,75
1,19
0,66
0,39

Perekonomian Provinsi Gorontalo didominasi oleh sektor pertanian. Sektor ini menyumbang
30,58% terhadap produk domestik regional bruto (PDRB). Sumbangan sektor-sektor lainnya meliputi
sektor jasa sebesar 24,95%; sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 11,49% dan sektor lainnya
kurang dari 11%. Dominasi sektor pertanian mewarnai hampir seluruh kabupaten/kota di Provinsi
Gorontalo, kecuali Kota Gorontalo. Di Kabupaten Boalemo, Kabupaten Gorontalo, dan Kabupaten
Bone Bolango peranan sektor pertanian bahkan mencapai 41% sedangkan Kabupaten Gorontalo
mencapai 30%. Sementara di Kota Gorontalo sektor jasa merupakan sektor utama dan pertanian hanya
menyumbang sebesar 5% (Laporan Pembangunan Provinsi Gorontalo, 2010).

Tabel 4 : PDRB Atas Harga Berlaku Provinsi Gorontalo Tahun 2008-2010
Lapangan Usaha

Jumlah (Juta Rupiah)
2008
2009
1.847.552
2.093.439
871.201
905.890
342.013
384.410
235.319
280.913
40.080
58.856
358.940
463.370
63.845
81.256
290.687
344.694
34.203
38.903
394.779
487.822
605.304
730.347
516.161
627.726
586.786
721.620
586.786
1.943.248
1.567.419
7.069.054

Pertanian
1. Tanaman Bahan Makanan
2. Tanaman Perkebunan
3. Peternakan
4. Kehutanan
5. Perikanan
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas, dan Air Bersih
Bangunan
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
Pengangkutan dan Telekomunikasi
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
Jasa-jasa
Jumlah
Sumber : Gorontalo dalam Angka, 2011

2010
2.332.224
1.039.029
365.373
335.218
67.106
525.499
94.982
390.716
43.646
557.120
835.606
727.571
836.795
2.237.854
8.056.513

Berdasarkan hasil penelitian Jocom dkk. (2009), dari nilai koefisien pengganda pendapatan jangka
pendek dan jangka panjang terlihat bahwa sektor pertanian khususnya komoditas jagung memiliki
kontribusi yang paling besar terhadap perekonomian Provinsi Gorontalo. Besarnya efek pengganda
pendapatan ini pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah Provinsi Gorontalo.
2. Pendapatan asli daerah
Seiring dengan suksesnya implementasi kebijakan agropolitan di Provinsi Gorontalo, pendapatan
asli daerahnya pun mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Jika pada tahun 2001 pendapatan asli
daerah Provinsi Gorontalo sebesar Rp. 7,7 miliar maka pada tahun 2012 telah mencapai Rp. 161,6
miliar, mengalami peningkatan yang sangat signifikan yaitu sebesar 1.998,7%.
Tabel 5 : Pendapatan Asli Daerah Gorontalo (sebelum pemekaran) Tahun 2000
Wilayah
Kota Gorontalo
Kabupaten Gorontalo/Boalemo
Sumber : Diolah dari Berbagai Sumber

Jumlah (Miliar Rupiah)
2,7
2,4

Hal ini sangat berbeda sekali kondisinya saat Gorontalo belum melepaskan diri dari Provinsi
Sulawesi Utara. Di mana pendapatan asli daerah rata-rata hanya sebesar Rp. 2,6 miliar.
Tabel 6 : Pendapatan Asli Daerah Provinsi Gorontalo Tahun 2001-2012
Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
2006

Jumlah
(Miliar Rupiah)
7,7
24,3
36,8
42,2
46,1
76,9

Prosentase
Kenaikan
215,58
51,44
14,67
9,24
66,81

2007
88,2
2008
97
2009
100,4
2010
133,4
2011
144,9
2012
161,6
Sumber : Diolah dari Berbagai Sumber

14,69
9,98
3,51
32,87
8,62
11,53

Peningkatan pendapatan asli daerah Provinsi Gorontalo yang terjadi terus-menerus setiap tahun
disebabkan adanya peningkatan pendapatan masyarakat sehingga pendapatan pemerintah provinsi dari
pajak dan retribusi juga mengalami peningkatan.
3. Pendapatan per kapita
Ketika belum dibentuk menjadi provinsi tersendiri, pendapatan per kapita daerah Gorontalo pada
tahun 1995-2000 sebesar Rp. 1,1 juta-2,8 juta. Namun sejak tahun 2002, sejalan dengan pertumbuhan
ekonomi yang terus meningkat pendapatan per kapitanya juga mengalami peningkatan yang cukup
tajam.
Tabel 7 : Pendapatan per Kapita Daerah Gorontalo (sebelum pemekaran) Tahun 1995-2000
Wilayah
Kota Gorontalo
Kabupaten Gorontalo/Boalemo
Sumber : Hercahyani, 2008

Jumlah (Juta Rupiah)
1996
1997
1998
1999
1,2
1,3
1,7
1,8
1,5
1,7
2,8
1,9

1995
1,1
1,4

2000
2,4
2,6

Pada tahun 2002 pendapatan per kapita masyarakat Provinsi Gorontalo sebesar Rp. 2,4 juta
menjadi Rp. 2,8 juta satu tahun kemudian, sampai akhirnya pada tahun 2011 pendapatan per kapita
masyarakat Gorontalo sudah berada pada posisi Rp. 8,6 juta (meningkat 3,5 kali dibandingkan tahun
2002).
Tabel 8 : Pendapatan per Kapita Provinsi Gorontalo Tahun 2002-2011
Jumlah
(Juta Rupiah)
2002
2,4
2003
2,8
2004
3
2005
3,2
2006
3,5
2007
4,9
2008
5,9
2009
6,9
2010
7,7
2011
8,6
Sumber : Diolah dari Berbagai Sumber
Tahun

Prosentase
Kenaikan
16,67
7,14
6,67
9,38
40
20,41
16,95
11,59
11,69

Pendapatan dari sektor pertanian merupakan sumber pendapatan terbesar masyarakat Gorontalo
dan lebih dari 50% pendapatan petani berasal dari usaha tani jagung. Tingkat pendapatan petani jagung
per hektar per tahun di kawasan agropolitan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kawasan nonagropolitan. Rata-rata tingkat pendapatan usaha tani jagung di kawasan agropolitan sebesar Rp.
10.080.016,00 per hektar per tahun, sedangkan rata-rata tingkat pendapatan petani di kawasan nonagropolitan sebesar Rp. 5.506.966,00 per hektar per tahun. Hal ini berarti bahwa pembangunan

infrastruktur agropolitan oleh pemerintah provinsi mempunyai efek yang berarti terhadap rata-rata
peningkatan pendapatan petani di kawasan agropolitan (Jocom dkk., 2009).
4. Tingkat kemiskinan
Pada tahun 1999-2000, tingkat kemiskinan di daerah Gorontalo masih sangat tinggi. Bahkan di
Kabupaten Gorontalo pada tahun 1999 tingkat kemiskinannya mencapai angka 59,75%. Namun pasca
dibentuknya daerah Gorontalo menjadi provinsi tersendiri, perlahan tapi pasti angka kemiskinan dapat
terus ditekan. Dari 32,12% pada tahun 2004, turun menjadi 29,05% pada tahun 2005. Delapan tahun
kemudian yaitu pada tahun 2012 tingkat kemiskinan di Provinsi Gorontalo telah mengalami penurunan
signifikan menjadi 17,33%.
Tabel 9 : Tingkat Kemiskinan Daerah Gorontalo (sebelum pemekaran) Tahun 1999-2000
Jumlah (%)
1999
2000
Kota Gorontalo
13,78
6,37
Kabupaten Gorontalo
59,75 38,03
Kabupaten Boalemo
- 38,03
Sumber : Kajian Pengeluaran Publik Gorontalo, 2008
Wilayah

Dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkat kemiskinan di provinsi ini telah mengalami penurunan
85% apabila dibandingkan tahun 2004 dan penurunan yang sangat drastis yaitu sebesar 245% jika
dibandingkan dengan sebelum pemekaran (59,75% tahun 1999 di Kabupaten Gorontalo).
Tabel 10 : Tingkat Kemiskinan di Provinsi Gorontalo Tahun 2004-2012
Tahun

Jumlah (%)

2004
32,12
2005
29,05
2006
29,13
2007
27,35
2008
24,88
2009
25,01
2010
23,19
2011
18,75
2012
17,33
Sumber : Diolah dari Berbagai Sumber

Prosentase
Penurunan
10,57
-0,27
6,51
9,93
-0,52
7,85
23,68
8,19

Terjadinya penurunan yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Gorontalo
berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat setempat. Adanya
peningkatan pendapatan mendorong masyarakat lebih mandiri secara ekonomi sehingga mampu
mengangkat status mereka dari garis kemiskinan. Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan
ekonomi Provinsi Gorontalo maka diperkirakan dari tahun ke tahun tingkat kemiskinan di Gorontalo
akan terus berkurang.
5. Kesempatan kerja
Untuk bidang tenaga kerja, banyak tenaga kerja yang tersalurkan pada bidang pertanian sesuai
dengan kebijakan agropolitan yang dikembangkan di Provinsi Gorontalo. Kebijakan agropolitan
memberikan kesempaan pada siapa saja untuk mendapatkan kesempatan kerja baik pada industri hulu,
yaitu sebagai petani atau industri hilir yaitu bekerja di pabrik pengolahan hasil pertanian. Tingkat
pengangguran di Provinsi Gorontalo terus mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Pada tahun
2005 tingkat pengangguran berada pada angka 9,8%; mengalami penurunan sebesar 28,61% menjadi

7,62% satu tahun kemudian. Dan pada tahun 2012 tingkat pengangguran di Provinsi Gorontalo tersisa
4,36%; jauh di bawah angka pengangguran nasional.
Tabel 11 : Tingkat Pengangguran di Provinsi Gorontalo Tahun 2005-2012
Tahun

Jumlah (%)

2005
9,8
2006
7,62
2007
7,16
2008
5,65
2009
5,89
2010
5,16
2011
4,26
2012
4,36
Sumber : Diolah dari Berbagai Sumber

Prosentase
Penurunan
28,61
6,42
26,73
-4,07
14,15
21,13
-2,29

6. Produksi jagung
Sejak dicanangkan tahun 2001, kebijakan agropolitan berbasis jagung sebagai komoditas unggulan
yang ditempuh oleh pemerintah Provinsi Gorontalo telah berhasil mencapai peningkatan produksi yang
sangat signifikan. Hal ini diiringi oleh harga jual jagung yang stabil antara Rp.2.550-Rp.2.750 per
kilogramnya. Dari sisi produksi, bila dibandingkan dengan angka produksi jagung pada tahun 2000
ketika Gorontalo belum terpisah dari Provinsi Sulawesi Utara, yaitu sebesar 81.720 ton, maka pada
tahun 2012 telah mengalami kenaikan yang sangat signifikan yaitu 661.250 ton atau setara dengan
709,17%.
Tabel 12 : Produksi Jagung di Provinsi Gorontalo Tahun 2001-2012
Jumlah Produksi
(Ton)
2001
70.000
2002
132.687
2003
245.283
2004
275.846
2005
400.059
2006
416.222
2007
572.785
2008
753.598
2009
569.110
2010
679.168
2011
605.781
2012
661.250
Sumber : Diolah dari Berbagai Sumber
Tahun

Persentase
Kenaikan
89,55
84,86
12,46
45,03
4,04
37,62
31,57
-24,48
19,34
-10,81
9,16

Setelah berhasil memenuhi konsumsi internal (Gorontalo), maka jagung yang masih tersisa
diperdagangkan antarpulau dan ekspor. Perkembangan ekspor jagung di Gorontalo mengalami
perkembangan yang sangat menggembirakan. Pada tahun 2001 dilakukan ekspor sebanyak 6.300 ton,
kemudian pada tahun 2010 melonjak menjadi 32.187 ton.
Dengan kenaikan produksi tersebut, maka secara kuantitatif kontribusi komoditas jagung dari
sektor perekonomian berimplikasi pada kenaikan pendapatan masyarakat petani di Provinsi Gorontalo,
dimana secara otomatis akan memberikan pengaruh positif terhadap perputaran roda perekonomian.
Di samping itu, pemerintah Provinsi Gorontalo dapat melakukan kerja sama dengan pihak swasta
terkait pengembangan kebijakan agropolitan. Misalnya dengan PT. Bisi International untuk

meningkatkan kualitas dan hasil panen jagung, diversifikasi produk olahan jagung dan lain-lain. Dapat
juga dilakukan kerja sama dengan UMKM untuk mengolah bonggol jagung menjadi barang yang
bernilai jual.

E. PENUTUP
Kesimpulan
Implementasi agropolitan berbasis sumber daya lokal untuk meningkatkan pembangunan ekonomi
di Provinsi Gorontalo ditempuh melalui 3 Grand Strategy meliputi pembangunan ekonomi kerakyatan
(Grand Strategy I), pengembangan industri kecil dan menengah ( Grand Strategy II) serta pendekatan
internal dan hi-tech (Grand Strategy III). Tahapannya yang secara simultan dan terpadu adalah
institusi dan regulasi, analisis potensi lokal serta participatory planning . Adapun dampak dari
penerapan agropolitan ini ialah adanya peningkatan pembangunan ekonomi di Provinsi Gorontalo. Hal
ini dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah,
pendapatan per kapita, tingkat kemisikinan, kesempatan kerja, dan produksi jagung.
Saran
Adapun saran yang diajukan penulis dalam penelitian ini adalah :
1. Peningkatan pemberdayaan masyarakat bukan hanya pada tataran pelaksanaan kebijakan tapi
dimulai sejak proses perencanaan, pelaksanaan hinga monitoring dan evaluasi
2. Adanya kerja sama dengan perbankan untuk pemberian kredit lunak bagi pengembangan modal
usaha petani
3. Perbaikan infrastruktur jalan raya agar mempermudah akses petani ke pasar

DAFTAR PUSTAKA
Anugrah, Iwan Setiajie. 2010. Pembangunan Perekonomian Pedesaan Berbasis Agribisnis Jagung di
Provinsi Gorontalo. Analisis Kebijakan Pertanian . Vol. 8 (No. 4) : 363-383.
Ashar, Khusnul. 2008. Metodologi Penelitian. Malang : Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Brawijaya.
Bank Indonesia. 2012. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo Triwulan III-2012. Gorontalo :
Bank Indonesia Provinsi Gorontalo.
Basri, Faisal dan Haris Munandar. 2009. Lanskap Ekonomi Indonesia . Jakarta : Kencana Prenada
Media Group.
Berita Pemilihan Umum. 2013. Gorontalo. www.menuju2014.com. Diakses 12 April 2013.
Ekawaty, Marlina, dkk. 2006. Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Artikel, dan
Makalah. Malang :
Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya.
Galuh, A.K. 2011. Kepemilikan, Pengelolaan, Distribusi, dan Pemanfaatan Sumber Daya Air di
Indonesia . Malang : Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Brawijaya.
Hasan, I. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya . Bogor : Galia Indonesia.
Hercahyani, Dwiana. 2008. Sejarah Pembentukan Gorontalo dari Kabupaten menjadi Provinsi 19532000. Tesis (dipublikasikan). Depok : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Jocom, Sherly G, dkk. 2009. Dampak Pengembangan Agropolitan Basis Jagung dan Partisipasi
Masyarakat di Provinsi Gorontalo : Kasus Kabupaten Pohuwato. Forum Pascasarjana . Vol.
32 (No.2) : 103-116.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2007. Profil Pendapatan APBD Provinsi Tahun
Anggaran 2007 . Jakarta : Ditjen Perimbangan Keuangan.
Kuncoro, Mudrajad. 2003. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta : UPP AMP YKPN.
Kurniawati, Dian. 2006. Model Pemberdayaan Petani dalam Pengembangan Agropolitan terhadap
Komoditas Jeruk Pamelo di Kabupaten Magetan . Skripsi (tidak dipublikasikan). Malang :
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Muhammad,
Fadel.
2003.
Pengembangan
Agropolitan
di
Provinsi
Gorontalo.
http://www.pu.go.id/ditjenkota/buletin/edisi%20no.2/pengembangan%20agropolitan.htm.
Diakses 20 Januari 2013.
________________. 2007. Kapasitas Manajemen Kewirausahaan dan Kinerja Pemerintah Daerah.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Pemerintah Provinsi Gorontalo. 2003. Profil Provinsi Gorontalo . Gorontalo : Bappeda Provinsi
Gorontalo.
____________________________. 2008. Kajian Pengeluaran Publik Gorontalo . Gorontalo : DSFSOfEI.
____________________________. 2010. Laporan Pembangunan Provinsi Gorontalo . Gorontalo :
BRiDGE.
____________________________. 2011. Gorontalo dalam Angka . Gorontalo : BPS Provinsi
Gorontalo.
____________________________. 2012. Laporan Perekonomian Provinsi Gorontalo. Gorontalo :
BPS Provinsi Gorontalo.
Sabar, Asep. 2006. Fadel : Solusi Jitu Membangun Daerah . Jakarta : CV. Arena Seni.
Satria, Dias. 2009. Skripsi dalam 30 Hari. Surabaya : ITS Press.
Siagian. 1982. Pembangunan Ekonomi dalam Cita-cita dan Realita. Bandung : Penerbit Alumni.
Soenarno. 2003. Pengembangan Kawasan Agropolitan dalam Rangka Pengembangan Wilayah.
Gorontalo : Disampaikan dalam Seminar Nasional di Universitas Negeri Gorontalo 15 Mei
2003.
Triyuwono, Iwan. 2003. Emansipasi Nilai Lokal : Ekonomi dan Bisnis Pasca Sentralisasi
Pembangunan . Malang : Bayu Media.