Lika liku Sejarah Nasional Indonesia

Lika-Liku Sejarah Nasional Indonesia
Eka Ningtyas
ekaningtyas09@yahoo.com

A. Pendahuluan
Penyusunan sejarah nasional tentu saja menjadi sebuah keharusan dan merupakan
kebutuhan setiap negara yang merdeka sebagai bentuk dari legitimasi politik, sosial, ekonomi,
budaya maupun agama, dalam hal ini Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat.
Penyusunan sejarah nasional Indonesia telah menjadi perdebatan sejak seminar sejarah pertama
yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan dan diselenggarakan
oleh Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia, pada tanggal 14 sampai 18 Desember
tahun 1957 di Yogyakarta. Seminar ini diadakan dengan tujuan untuk mengumpulkan berbagai
pendapat dan saran-saran sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun sejarah nasional
Indonesia secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan1.
Namun dalam bukunya, Pengantar Sejarah Indonesia, Moh. Ali2 berpendapat bahwa
apabila maksud seminar sejarah tersebut diadakan untuk merumuskan suatu sistem norma
sebagai syarat-syarat mengarang kitab sejarah Indonesia, maka dengan tegas Moh. Ali
berpendapat hal tersebut tidak mungkin. Kemungkinan yang ada adalah masalah yang
dipertimbangkan kemudian diputuskan oleh sebuah panitia khusus yang diberi tugas khusus
untuk mencapai sebuah kepastian mengenai syarat-syarat penulisan sejarah nasional Indonesia.
Masih menurut Moh. Ali, berpendapat seharusnya panita tersebut terdiri dari sebuah teamwork

dengan anggota : 3 orang ahli sejarah Indonesia, 1 orang ahli sejarah umum, 1 orang ahli
negarawan, 1 orang ahli ilmu masyarakat Indonesia, 1 orang ahli teori sejarah, 1 orang ahli ilmu
pendidikan nasional, 1 orang ahli filsafat, 1 orang ahli hukum dan 1 orang ahli ketua beserta
stafnya. Moh. Ali berpendapat seperti ini dalam reaksinya melihat seminar sejarah pertama yang
dianggapnya belum merumuskan syarat tertentu dalam penulisan sejarah nasional Indonesia.
Ada dua pertanyaan besar yang menjadi inti dari paper ini yaitu :
1). Dari mana penulisan sejarah nasional harus di mulai?
2). Kapan dan bagaimana penulisan sejarah nation-state Indonesia?
Tentu untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut memerlukan analisis yang mendalam
terutama dalam kaitannya dengan seminar sejarah pertama yang mengandung berbagai aspek
yang menarik dan menjadi perdebatan dari para sejarawan dan pengamat sejarah yang hadir.
Aspek tersebut antara lain mengenai “konsepsi filsafat sejarah nasional” dan “periodisasi sejarah
Indonesia”.
Sebagai sejarawan tentu saja kita harus pandai membaca teks dalam konteks pada kajian
naskah. Dalam hal ini, apa konteks dari seminar sejarah tersebut? Apa yang menjadi
latarbelakang diadakan seminar sejarah tersebut? Mengapa seminar sejarah tersebut harus
1

Mengutip dari kata pengantar Drs. Busono Wiwoho selaku sekertaris umum seminar yang mengatakan
bahwa “seminar ini dimaksudkan selain mengumpulkan bahan-bahan penyusunan sejarah juga untuk melepaskan

diri dari teks sejarah yang sebagian dipengaruhi oleh pikira-pikiran penjajah yang dianggap tidak sesuai dengan
sejarah bangsa Indonesia yang sebenarnya”, dalam “Laporan Seminar Sedjarah Pada Tanggal 14 s/d 18 Desember
1957 di Jogjakarta” yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan dan diselenggarakan
oleh Universitas Gadjah Mada.
2

Moh. Ali, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, (Yogyakarta : LKIS, 2005), hlm. 263.

dilakukan? Lalu sebenarnya apa yang dimaksud dengan sejarah nasional itu? Kemudian siapa
saja yang hadir pada seminar tersebut? Apakah sejarah nasional itu merupakan kumpulan dari
sejarah-sejarah lokal yang membentuk sebuah sejarah besar perjalanan Indonesia? Lalu apa
sebenarnya yang membedakan sejarah lokal dengan sejarah nasional? Mengapa sejarah nasional
harus dirumuskan?
Seminar sejarah pertama tersebut dilaksanakan sebagai tonggak pertama perumusan
sejarah Indonesia dalam kaitannya dengan penulisan kembali sejarah bangsa Indonesia yang
berjiwa Nasionalisme Indonesia. Mengingat pada dekade 50-an merupakan masa yang penting
bagi sejarah bangsa Indonesia setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda, Indonesia seperti
berusaha membentuk jati-dirinya sebagai sebuah negara dengan menasionalisasi semua aspek
yang berbau kolonial dari aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum hingga sejarah. Seperti
pendapat Sue Nichterlein3 yang mengatakan bahwa seminar tersebut merupakan sebuah counter

dari hegemoni kolonialisme dengan latar belakang kesadaran nasionalisme Indonesia pada
dekade 50-an. Henk Schulte Nordholt4 berpendapat bahwa tahun 1950-an dianggap sebagai
nation-building di Indonesia, sehingga menyusun sejarah nasional yang diawali dengan seminar
sejarah tersebut merupakan salah satu bentuk dari nation-bulding-nya Indonesia. Nugroho
Notosusanto5 mengatakan bahwa gagasan mengenai sejarah nasional dalam seminar sejarah itu
tidak sekedar mengubah keadaan yang kolonialsentris menjadi Indonesiasentris namun juga
untuk merumuskan sejarah yang bisa menjelaskan keseluruhan wilayah Indonesia pada saat itu.
Dari semangat nasionalisme itulah, kesadaran akan perlunya penyusunan ulang sejarah bangsa
Indonesia yang bercorak Indonesia dengan prespektif Indonesiasentris dilakukan.
Secara sederhana, yang dimaksud dengan sejarah nasional merupakan sejarah yang
menggambarkan asal-usul sebuah bangsa menjadi nation-state. Tentu saja dalam hal ini dimulai
dengan perumusan periodisasi yang kronologis. Mengapa diperlukan periodisasi kronologis?
Tentu saja kronologi dilakukan karena perubahan pada umat manusia tidak memiliki batasan
yang jelas. Mengapa periodisasi yang kronologis diciptakan atau ditetapkan? Tentu saja hal ini
sangat teoritis sekali, sehingga dalam merumuskan periodisasi yang kronologis tidak mudah
dalam historiografi Indonesia.
Namun ada juga pendapat yang mengatakan sejarah nasional merupakan sebuah kegiatan
yang menyederhanakan berbagai macam kisah masa lalu. Sejarah nasional menghapus sejarahsejarah tandingan, narasi (semi) otonomi lokal, dan menonjolkan sebuah metanarasi baru dari
negara-bangsa6. Sejarah nasional yang baru dan seragam menggantikan pluralitas narasi yang
telah ada sebelumnya dalam masyarakat. Pada bagian awal tadi sudah disinggung mengenai

sebenarnya apakah sejarah nasional itu merupakan kumpulan sejarah lokal yang sebagai sejarah
panjang perjalanan Indonesia? Tentu saja berbeda. Bila dalam sejarah lokal itu sendiri masih
perlu diperhatikan beberapa elemen penting mengenai, bagaimana sebenarnya sejarah lokal itu
Sue Nichterlin, “Historicism and Historyography in Indonesia”, dalam History and Theory, Vol.XIII,
No.3. 1974, hlm. 253-272.
3

4

Henk Schulte Nordholt, De-colonizing Indonesian Historiography, (Sweden: Lund University, MediaTryck, 2004), hlm. 4.
Nugroho Notosusanto, “Problems in the Study and Teaching of National History in Indonesia”, dalam
Journal of Shouteast Asian History, Vol. VI, No.1. 1965, hlm. 1-16.
5

6

Henk Schulte Nordholt (ed), Prespektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: KITLV, 2008), hlm.6

ditulis?, karena mengutip pendapat dari Sartono Kartodirjo dalam naskah yang dipaparkannya
pada sidang acara kedua mengenai periodisasi sejarah Indonesia, Sartono menyebutkan dengan

lugas mengenai penulisan sejarah lokal yang bersifat regiosentrisme, dimana ditulis dalam
suasana fikir (mentalitas) yang bersifat kosmis-magis, dan memiliki fungsi untuk menambah
kekuatan magis dari agen yang memerintahkan pembuatan narasi sejarah tersebut7.
Lalu seperti apa sebenarnya sejarah nasional itu? Apa bisa menulis sejarah lokal dengan
prespektif Indonesiasentris? Ada tidak sejarah lokal dalam kerangka Indonesia? Jawabannya
tentu sangat tergantung pada sentrismenya, misalnya ketika menuliskan sejarah pemilu di
Yogyakarta, hal itu sudah menjelaskan sejarah Nasional. Dalam konteks ini geografis menjadi
tidak penting karena yang menentukan lokal atau nasional itu tergantung pada “ruang” bukan
sekedar geografisnya. Ketika menuliskan sejarah Nasional tidak harus menulis dari Sabang
hingga Merauke, namun bagaimana kita bisa merepresentasikannya. Nah sekarang bagaimana
cara kita mengisi kekosongan representasi tersebut?. Sebagai contoh : Sartono Kartodirjo dengan
sangat baik merepresentasikan hal tersebut dalam disertasinya yang berjudul Pemberontakan
Petani Banten 18888, karya Sartono ini bisa disebut sebagai sejarah nasional karena melihat
Interaksi antara Banten dengan kekuasaan lain, dan kembali lagi bisa disebut sejarah Indonesia
karena prespektifnya.
Perdebatan selanjutnya selain mengenai sentrisme atau prespektif yang digunakan
sejarawan dalam menuliskan historiografi Indonesia adalah permasalahan sumber sejarah, yang
mana hal ini juga disinggung dalam makalah yang disampaikan baik oleh Soekanto maupun oleh
Sartono Kartodirjo. Soekanto sendiri berpendapat bahwa sumber dalam sejarah haruslah sumber
yang memiliki fakta, karena tanpa fakta tulisan yang dihasilkan tidak lebih dari pada fantasi

belaka. Dalam hal ini Soekanto mengatakan bahwa tulisan-tulisan orang Barat (Eropa) tidak
perlu disangkal lagi mengandung fakta-fakta, dan dalam sumber lokal juga terdapat fakta namun
bersifat psychologische gedragingen atau bersifat mentalitas. Soekanto memberikan pendapat
yang kurang konsisten menurut saya dalam hal ini, karena :
1. Mengatakan bahwa untuk menuliskan sejarah Indonesia harus merujuk pada historiograsi
tradisional (sumber lokal seperti babad, hikayat dll), namun dengan catatan sejarawan
mampu memahami fakta yang ada di dalamnya.
2. Namun perndapat yang kedua ini justru kontradiktif karena Soekanto mengatakan bahwa
untuk menghasilkan tulisan yang obyektif maka sumber tempatan tersebut harus
dicocokkan dengan tulisan asing.
Hal ini tentu saja menunjukkan ketidak konsistenan yang dilakukan oleh Soekanto dalam
mengeluarkan pendapat mengenai bisa atau tidak bisa sumber lokal dipergunakan dalam
penulisan sejarah nasional Indonesia. Alih-alih untuk membentuk sentrisme yang tidak bercorak
Eropa dan dalam penulisan sejarah Indonesia menggunakan prespektif sentrisme Indonesia,
namun justru Soekanto dalam hal ini terlihat sangat Eropasentrisme, tentu saja pandangannya
mendapat sanggahan dan protes dari pendebat dalam seminar sejarah tersebut. Mengapa sumber
lokal menjadi permasalahan? Hal ini tentu saja berkaitan dengan perkembangan sejarah sebagai

Sartono Kartodirjo, “Periodisasi Sejarah Indonesia” dalam Seminar Sejarah : Konsepsi Filsafat Sejarah
Nasional dan Periodisasi Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: UGM, 1958), hlm. 111.

7

8

Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).

ilmu yang diawali dengan cara Eropa9 memandang historiografi yang bersifat empiric dengan
adanya metodologis untuk memisahkan mana fakta dan mana mitos.
Kembali lagi sebaiknya kita tidak memarjinalkan sumber lokal dalam historiografi
tradisional sebagai sumber, namun dengan catatan melalui analisis tersendiri, karena sebenarnya
hal tersebut merupakan bentuk representasi sosial kultural dari apa yang terjadi pada jamannya,
sehingga membutuhkan perangkat teori dan metodologi yang canggih untuk proses hermenetik
atau pemaknaan guna mencari fakta dibaliknya. Kecenderungan penulis historiografi tradisional
adalah menganalogikan suatu subyek atau obyek ke subyek atau obyek lain, hal ini karena ketika
menuliskan hal-hal yang bersifat subversive atau berlawanan dengan pemerintah maka akan
menuliskannya secara simbolik atau semiotik.10
Seperti pendapat dari Taufik Abdullah, mengenai sejarah lokal mengatakan bahwa corak
pemirian dalam historiografi tradisional merupakan bentuk hubungan antara kesadaran dengan
perbuatan (keutuhan kosmis) yang terlihat pada kasus petani di Muara Tembesi atau pada
contoh lain, yang sedang mengalami masa peralihan dimana merasakan dunia mereka yang sah,

legitimasi mereka dinodai oleh kolonialisme, dalam kaitannya antara “peristiwa-murni” dengan
willded event (perbuatan yang disengaja). Pembauran waktu sangat terasa pada historiografi
tradisional, sehingga menurut Taufik Abdullah hubungan kausalitas dari rentetan peristiwa
tidaklah menjadi sesuatu yang mudah bisa ditemukan11
B. Konsepsi Filsafat Sejarah Nasional
Salah satu dari aspek yang dibicarakan pada seminar sejarah pertama adalah mengenai
“Konsepsi Filsafat Sejarah Nasional”. Ada dua orang pembicara yang membahas aspek ini yaitu
Muhammad Yamin dan Soedjatmoko yang menggantikan Muhammad Hatta yang berhalangan
hadir karena sibuk. Ada perbedaan pandangan diantara dua pembicara ini, yaitu mengenai
pengertian filsafat sejarah nasional. Muhammad Yamin pada naskahnya mendasarkan atas
9

Pada akhir abad ke-19 ketika banyak ilmuan dalam bidang sejarah ingin merumuskan sebuah konsep
keilmuan dengan memiliki perangkat metodologis yang kuat seperti halnya dalam ilmu pengetahuan alam, sehingga
para sejarawan yang di mulai oleh Ranke berusaha merekonstruksi masa lalu sesuai dengan apa yang terjadi dan apa
adanya (as actually happened), sehingga berusaha merekonstruksi sebenar-benarnya. Sehingga Ranke menekankan
pada sumber sebagai evidence dalam menyusun sejarah, dimana sumber harus diuji keabsahannya seperti halnya
ilmu alam. Pendapat ini kemudian didukung oleh Henry Thomas Bukcle, yang berpandangan bahwa sejarah dapat
menjadi ilmu dengan menerima hukum-hukum universal atau alam, yang mengatur keteraturan sikap manusia yang
dapay diperoleh melalui pencarian kuantitatif berdasarkan sumber statistik. Buckle menuliskan pandangannya

tersebut dalam disertasinya yang sangat bercorak positivistik yang mengedepankan sifat empiris dari sumber yang
dipergunakan. Pendapat Buckle kemudian juga di dukung oleh August Comte yang membagi tiga tahapan yaitu :
teological, metafisik dan scientific yang lagi-lagi juga bercorak positivistic.
Lihat : Alun Munslow, The New History, (Inggris: Pearson Education Limitd, 2003) hlm. 53 dan lihat pula, Patrick
Gardiner, Theories of History, (New York : The Free Press, 1959), hlm. 73-80.
10

Atau istilahnya Nancy Florida adalah Pasemon, dimana pasemon ini menurut Florida merupakan cara
membaca historiografi tradisional, karena masyarakat Jawa mempercayai apa yang terjadi pada masa sekarang dapat
dijelaskan melalui masa lalu, terutama pada pertunjukan wayang, dimana pasemon itu berasal dari kata “semu” atau
“tampak seperti”.
Lihat : Nancy Florida, Javanese Literature in Surakarta Manuscript Vol.1, (Ithaca: Cornell Southeast Asia Program
Press, 1993), Hlm. 15.
Taufik Abdullah, “Dari Sejarah Lokal ke Kesadaran Nasional, Beberapa Problematik Metodologis”
dalam T. Ibrahim Alfian (ed) Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press: 1987) hlm. 236.
11

keyakinan akan adanya sejarah nasional Indonesia dan merumuskan suatu filsafat diatasnya,
sedangkan Soedjatmoko mengatakan bahwa tidak ada filsafat tertentu tentang sejarah nasional,

maupun tidak ada suatu filsafat nasional tentang sejarah.
Pembangunan nation merupakan tema utama pada periode tahun 1950an dan penulisan
sejarah nasional merupakan bagian integral dari proses tersebut. Seminar sejarah pertama yang
diselenggarakan adalah untuk tujuan merancang sejarah nasional yang resmi. Terjadi silang
pendapat antara Muhammad Yamin dan Sudjatmoko. Muhammad Yamin yang merujuk pada
teori sejarawan asal Arab, Ibn Khaldun Yamin berpendapat bahwa penelitian ilmiah mengenai
sejarah harusnya mengarah pada interpretasi nasionalis yang dapat berguna untuk memperkuat
kesadaran nasional. Sudjatmoko disisi lain tidak setuju dengan ide yang ditawarkan Yamin
mengenai “masa lalu yang utopis” dengan nilai-nilai kolektifnya untuk dijadikan landasan
sejarah Nasional. Sudjatmoko berpendapat, nasionalisme mengesampingkan pendekatan ilmiah
murni, karena alasan itulah Sudjatmoko menjunjung pertanggung jawaban perseorangan dan
suniversalisme abstrak. Sudjatmoko kalah suara karena pendapatnya kurang cocok dengan iklim
yang ada pada masa 1950an, disaat orang Indonesia sedang mengalami “demam” nasionalisme,
“menjadi Indonesia”. Tentu saja ini berkaitan dengan penyerahan kedaulatan Indonesia oleh
Pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949 yang menuntut nasionalisme Indonesia pada
seluruh masyarakat Indonesia.
Pendapat Muhammad Yamin dan Sudjatmoko dalam Konsepsi Filsafat Sejarah Nasional
Muhammad Yamin dalam naskahnya yang berjudul “Tjatur Sila Chalduniah”,
menekankan pada empat unsur dalam penulisan sejarah nasional Indonesia yaitu : tujuan,
subyek, obyek dan cara. Tujuan merupakan dasaer filsafat sejarah Indonesia sama seperti tujuan

segala ilmu pengetahuan dan filsafat yang mencari kebenaran. Yang menjadi obyek filsafat
sejarah Indonesia adalah ilmu sejarah Indonesia yang memiliki kerangka pembabakan yang
didasarkan adanya perjuangan membentuk masyarakat Indonesia yang merdeka. Sedangkan yang
menjadi subyek filsafat sejarah nasional Indonesia adalah bangsa Indonesia dengan semangat
nasionalisme Indonesia, s ejarah Indonesia yang dihasilkan harus bercorak nasional yang
dilandasi rasa nasionalisme Indonesia sebagai penafsiran kejadian masa lampau dimana
nasionalisme Indonesia merupakan rasa patriotism terhadap persatuan bangsa, persatuan tanah
air dan budaya untuk memperkuat atau membina pembentukan bangsa (nation-building)
Indonesia.
Nasionalisme Indonesia dalam konsepsi filsafat sejarah Indonesia menurut Yamin,
merupakan syarat penulisan sejarah Indonesia yang dimulai dengan periodisasi atau pembabakan
waktu. Unsur yang terakhir adalah cara, dimana cara menurut Yamin merupakan bentuk
penafsiran mengenai kejadian dimasa lampau, berupa interpretasi yang dihasilkan melalui
analisis (analisis teologi, ekonomi, hukum, tatanegara, ras, geografi, rohani), yang digunakan
untuk mendapatkan gambaran sejarah nasional Indonesia yang sempurna. Menurut Yamun,
dalam filsafat sejarah Indonesia. Menjadikan pepriodisasi sejarah Indonesia yang bercorak
nasionalisme menjadi penting, sehingga periodisasi yang dibangun berdasarkan pembentukan
masyarakat Indonesia yang merdeka.
Muhammad Yamin, dalam naskahnya, juga membagi periodisasi sejarah Nasional
menjadi 5 yaitu:
1. Prasejarah Indonesia yaitu sejak berdirinya manusia Indonesia sampai kepada tahun
masehi, ketika masyarakat manusia Indonesia sudah tersusun menurut rangka rohani dan
jasmani.

2. Protosejarah Indonesia yaitu awal sejarah Indonesia (awal amsehi) sampai akhir abad
keenam, ketika sumber-sumber tertulis sudah mulai ditemui di Indonesia, dan menurut
Yamin periode protosejarah ini menjadi jembatan penghubung antara sejarah yang
disusun tanpa tulisan kepada sejarah yang disusun berdasarkan tulisan.
3. Babakan kebangsaan (meliputi kerajaan Sriwijaya dan Majapahit), babak ini dinamakan
babak kebangsaan karena berada dibawah kesatuan nusantara yaitu pada masa kerajaan
Sriwijaya dan kerajaan Majapahit sejak abad ke-7 sampai 1525. Menurut Muhammad
Yamin kedua kerajaan itu dianggap sudah berbentuk negara kebangsaan sesuai peradaban
Indonesia
4. Pembabakan keempat yaitu babak kantar bangsa di Indonesia karena dianggap pada
periode ini awal bertemunya bangsa Indonesia dengan bangsa Eropa. Yamin disini
menempatkan pertemuan pertama pada tahun 1521 di Maluku Utara antara bangsa
Indonesia dengan bangsa Spanyol dan Portugis, yang berdasarkan perjanjian Tordesillas
tahun 1494. Babak keempat ini berakhir pada awal abad ke-20.
5. Abad proklamasi, yang dimaksud Yamin dalam pembabakan waktu ini adalah sejak awal
abad ke-20, dengan puncaknya pada 17 Agustus 1945.
Menurut Yamin dengan adanya filsafat sejarah nasional Indonesia ini mampu menjadi
pedoman bagi penulis, pendidik, pelajar, dan ilmuan pada zaman pembangunan. Sudjatmoko
tidak sependapat dengan Muhamad Yamin tentang konsepsi filsafat sejarah nasional, karena
menurut Sudjatmoko tidak perlu adanya suatu filsafat tertentu tentang sejarah nasional, maupun
tidak ada suatu filsafat nasional tentang sejarah. Memang benar bahwa penulisan suatu sejarah
tidak mungkin tanpa konsepsi tertentu, namun hal itu menurut Sudjatmoko hal itu bukanlah
filsafat melainkan suatu cara yang dihadapi terhadap pokok persoalan yang dipilih, meskipun
cara itu juga mendapat pengaruh pandangan filsafat dari penulisnya.
Sudjatmoko berpandangan bahwa filsafat sejarah nasional dapat menimbulkan bahaya
tersendiri ketika hal itu dianggap sebagi satu-satunya cara penelitian sejarah Indonesia yang
nasional. Sehingga menurut Sudjatmoko, hal ini mampu memberi satu keharusan dalam cara
pandang dan cara penelitian sejarah yang dipaksa dari atas oleh pemegang kekuasaan politik.
Oleh sebab itu perlu adanya kebebasan yang utuh dan penuh dalam penyelidikan sejarah.
Filsafat sejarah nasional yang digambarkan oleh Yamin menurut Sudjatmoko bukan
filsafat sejarah melainkan cara atau metode yang digunakan terhadap penulisan sejarah
Indonesia, sehingga dalam sebuah penulisan sejarah tidak tergantung pada ada atau tidak adanya
filsafat sejarah nasional atau filsafat sejarah tertentu. Menurut Sudjatmoko masalah penulisan
sejarah di Indonesia seharusnya tidak berpokok pada konsepsi filsafat sejarah melainkan pada
masalah sejarah nasional seperti : penulisan sejarah nasional dan penyusunan buku-buku
pelajaran sekolah tentang sejarah nasional. Hal ini menurut Sudjatmoko menjadi penting
terutama mengenai masalah penulisan buku pelajaran sejarah nasional yang merupakan
persoalan politik kebudayaan dan pedagogic oleh sebab itu tidak memerlukan sebuah konsepsi
filsafat sejarah nasional.
Walaupun terdapat perbedaan pandangan tentang konsepsi filsafat sejarah nasional antara
Muhamad Yamin dan Sudjatmoko namun juga terdapat persamaan pandangan terutama
mengenai penulisan sejarah nasional Indonesia berpangkal pada masyarakat, kebudayaan, dan
bangsa Indonesia, serta berjiwa nasional. Selain itu juga berisi unsur-unsur kemerdekaan dan
perjuangan bangsa Indonesia. Menurut Muhamad Yamin dan Sudjatmoko perlunya penulisan
kembali sejarah nasional Indonesia dengan semangat kemerdekaan Indonesia. Peninjoan kembali

itu harus dilakukan secara sintesis (istilah M.Yamin) dan multiple approach (istilah Sudjatmoko),
serta secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan.
C. Periodisasi Sejarah Indonesia
Aspek kedua yang menjadi perbincangan dalam seminar sejarah pertama adalah
mengenai masalah periodisasi sejarah Indonesia, dimana Soekanto dan Sartono Kartodirjo
menjadi pemrasaran dalam segmen ini. Pendapat yang pertama datang dari Soekanto yang
menitikberatkan pada research terhadap masalah-masalah sejarah sehingga yang menjadi
masalah adalah mengenai pemilihan sumber. Disini Soekanto juga ikut memberikan perdebatan
mengenai sumber tulisan mengenai orang Indonesia yang datang dari penulis asing (Belanda)
maupun yang ditulis oleh orang Indonesia (dalam hal ini Soekanto mengatakan babad). Soekanto
berpendapat bahwa sumber yang datang dari asing mapun dari Indonesia terkadang bersifat
onhistorisch karena pada tulisan Belanda justru bersifat antinasionalis atau anasionalis,
sedangkan tulisan Indonesia (babad) bersifat pre-nasionalis. Soekanto membagi menjadi dua
yaitu:
1). Dari sumber kolonial yang dimuat berupa hal-hal yang menitik beratkan pada sentrisme
Belanda
2). Sedangkan pada sumber lokal seperti babad terdapat pembentangan yang ditulis secara
perlambang, secara simbolik.
Menurut Soekanto dari kedua sumber tersebut tidak mengenai peristiwa-peristiwa arau
kenyataan fakta yang dibutuhkan untuk menulis sejarah. Sehingga fakta banyak memiliki
psyvhologis-ethnologis atau pyschologische gedragingan yang dalam tradisi Barat kurang
mendapat perhatian, sedangkan banyak terdapat dalam babad. Jadi untuk menuliskan sejarah
yang harus diperhatikan adalah faktanya, tanpa fakta sejarah sebagai ilmu tidak lebih dari pada
sekedar fantasi semata.
Sama seperti kuliah-kuliah sebelumnya mengenai perdebatan sumber lokal (babad) yang
dalam tradisi empirisme-nya prespektif positifisme kurang mendapat tempat dengan prespektif
postmodern yang menerima hermenetika kritis sebagai representasi sejarah, soekanto juga
mempertanyakan apakah tulisan-tulisan babad dalam sumber Indonesia mengandung fakta
sejarah? Soekanto berpendapat mengenai tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh orang-orang Barat
tidak perlu diragukan lagi faktanya dan secara bersamaan Soekanto juga mengatakan bahwa
dalam babad juga terdapat fakta yang bersifat psychologische gedragingen atau sejarah
mentalitas. Sehingga untuk melihat sejarah Indonesia dari prespektif sentrisme Indonesia,
menurut Soekanto justru harus dilihat melalui tulisan-tulisan atau karangan Indonesia sendiri
(babad). Asalkan sebagai sejarawan mampu memahami fakta yang ada dibaliknya.
Dalam hal ini Soekanto mengeluarkan pendapat yang tidak konsisten, seperti yang sudah
saya singgung sebelumnya, mengenai untuk menghasilkan tulisan yang obyektif maka babad
tersebut harus dibandingkan dan dicocokkan dengan tulisan asing yang mendapat sanggahan dari
Prijohutomo. Dalam hal ini menurut saya walaupun Soekanto berusaha menekankan aspek
untuk melihat sejarah Indonesia dari sudut pandang Indonesia, namun sadar tidak sadar bahwa
dalam hal ini Soekanto justru terlihat sangat Eropasentrisme. Masalah yang menjadi perhatian
Soekanto adalah “apakah babad dalam historiografi tradisional telah memiliki pembagian
klaisfikasi yang jelas, seperti sejarah diplomatik, sejarah politik dan lain sebagainya?”. Menurut
Soekanto dalam babad tidak ada corak yang jelas mengenai klasifikasi tersebut, sehingga hal

tersebut menjadi tugas dari sejarawan untuk membuat klasifikasi sehingga bisa membedakan
mana sejarah ekonomi mana sejarah politik dan lain-lain.
Soekanto dalam naskahnya juga menjelaskan mengenai kecenderungan periodisasi yang
digunakan oleh sejarawan Barat umumnya dibagi menjadi tiga yaitu: oude geschiedenisch,
middleeeuwen, dan nieuwe geschiedenis. Kemudian Soekanto juga memberikan pertanyaan
apakah dalam babad terdapat periodisasi waktu? Jawabannya adalah iya ada. Bahwa babad tanah
Jawa juga menunjukkan periodisasi meskipun tidak begitu tegas, hanya dapat dilihat dari tahuntahun yang ditulis di dalamnya. Apakah kita dalam penulisan sejarah Indonesia memerlukan
suatu pembagian waktu? Tentu saja perlu, karena selain di dorong oleh perubahan jaman, namun
juga mengingat perlunya pembagian waktu untuk menyusun peristiwa-peristiwa dalam sejarah
dengan teratur atau secara kronologis.
Ada yang menarik dari Soekanto, ketika dalam prasarannya Soekanto mengkritik
peiodisasi yang disusun oleh Muhammad Yamin12 dalam bukunya 6000 Tahun Sang Merah
Putih, dan mengatakan Yamin dalam menentukan periodisasinya masih bingung dan ragu-ragu.
Dikatakan oleh Soekanto bahwa periodisasi yang pertama disusun Yamin dalam buku 6000
tahun merah putih tidak disusun dengan konsekuen, karena tidak sinkron antara obyek dengan
subyeknya, karena menurut Soekanto periodisasi yang disusun Yamin berdasarkan sudut
pandang politik dimana seharusnya yang menjadi subyek adalah negara atau pemerintahan.
Dalam konteks ini masa Sriwijaya-Syailendra yang masuk dalam periode historis dalam babakan
Yamin, memang didasarkan atas suatu negara atau pemerintahan namun masa penyusunan
kemerdekaan serta jaman proklamasi tidak berdasarkan negara atau pemerintahan. Sedangkan
pada suatu kuliah umum yang diadakan di Malang, Yamin memberikan babakan waktu yang
berbeda dengan yang ditulisnya dalam 6000 Tahun Merah Putih.
Dikatakan oleh Soekanto, Yamin memberikan pantjawarsa Sejarah Indonesia yang
meliputi lima babakan yaitu permulaan sejarah (prehistoria: sebelum masehi), kemudian pangkal
sejarah (protohistoria: 0-600), babakan nasional (600-1500), babakan internasional (1500-1900)
dan abad proklamasi (sejak tahun 1900), dan dalam kuliah umumnya, Yamin mengemukakan
suatu babakan baru yang disebutnya “babakan Singasari-Majapahit” (1222-1525). Sehingga
melihat ini, menurut Soekanto menarik kesimpulan bahwa Yamin masih ragu-ragu ketika
menyusun sebuah periodisasi. Memang masalah penyusunan periodisasi bukanlah perkara
sepele, dan memang corak dalam periodisasi yang muncul dalam historiografi Indonesia adalah
politik sentris dengan melihat regime change sebagai batasan masalah. Tidak ada periodisasi
tunggal, yang ada penyusunan periodisasi seharusnya tergantung dari tema, karena dalam
sejarah, perubahan sebagai elemen penting yang tidak dibatasi ruang dan waktu maka kita
sebagai sejarawan perlu membuat batasan dengan periodisasi, sehingga periodisasi sangat
tergantung pada tema.
Namun Soekanto melihat periodisasi dalam sejarah Indonesia sebaiknya dilihat dari
dasar politik atau ketatanegaraan staatsrechterlijke karena menilik pada syarat-syarat yang
disusunya sebagai berikut :
1. Periodisasi harus praktis
2. Periodisasi harus exact
3. Periodisasi harus berdasarkan kenyataan
Melalui ketiga syarat tersebut maka menurut Soekanto menggunakan pembagian waktu
secara politik dianggap yang paling sesuai karena praktis artinya mudah dimengerti, selanjutnya
12

Muhammad Yamin, 6000 Tahun Merah Putih, (Jakarta: Balai Pustaka, 1958)

eksak oleh karena permulaan dan akhir suatu masa pemerintahan adalah nyata dan tegas dan
yang terakhir, menurut Soekanto pada masa-masa itu berdasarkan kenyataan atau fakta-fakta.
Sehingga usulan yang diajukan oleh Soekanto mengenai periodisasi sejarah adalah sebagai
berikut :
1. Masa awal sejarah ( sampai 0 tahun masehi)
2. Masa Kutai-Tarumanegara (0 sampai 600 tahun masehi)
3. Masa Sriwijaya-Medang-Singosari (600 sampai 1300 tahun masehi)
4. Masa Majapahit (1300 sampai 1500 tahun masehi)
5. Masa kerajaan-kerajaan Islam (1500 sampai 1600 tahun masehi)
6. Masa Aceh-Mataram-Makasar (1600 sampai 1700 tahun masehi)
7. Masa pemerintahan asing (1700 sampai 1945 tahun masehi)
Yang dibagi lagi menjadi:
a. Jaman kompeni Bataafsche Republiek (1700 sampai 1808 tahun masehi)
b. Jaman Deandles (1808 sampai 1811 tahun masehi)
c. Jaman Pemerintahan Inggris (1811 sampai 1816 tahun masehi)
d. Jaman Hindia Belanda (1816 sampai 1942 tahun masehi)
e. Jaman Jepang (1942 sampai 1945 tahun masehi)
8. Masa republic Indonesia (1945 sampai sekarang)
Sartono Kartodirjo memiliki pandangan yang berbeda mengenai periodisasi dalam
penulisan sejarah nasional. Disini Sartono menekankan proses integrasi yang didorong oleh
factor ekonomi sebagai factor pendorong kuat bagi terjadinya perkembangan sosial, politik, dan
budaya di Indonesia. Pada bagian awal Sartono Kartodirjo berpendapat mengenai historiografi
merupakan sebuah sintesis serta mengandung interpretasi dari penulisnya, sehingga untuk
membuat suatu gambaran sejarah yang utuh harus membuat suatu sintesis tertentu. Kumpulan
fakta-fakta jika tidak dihubungkan satu sama lain tidaklah ada artinya, karena kumpulan fakta
saja belumlah merupakan sejarah. prespektif menurut Sartono sangat menentukan corak
penulisan sejarah, dan corak tersebut yang menjadi tujuan dalam seminar sejarah sebagai sejarah
nasional diharapkan tidak kolonialsentris maupun regiosentrisme, karena menurut Sartono
keduanya menunjukkan subyektivitas dari penulisnya. Pada penulisan babad menurut Sartono
bertujuan untuk memperkuat legitimasi raja, hal ini dikarenakan dalam kultus-raja dianggap
sebagai pusat dunia kosmis-magis, dan penulisan sejarah berfungsi untuk mempertegas hal itu.
Sedangkan dalam Kolonialsentris menganggap penyebaran bangsa Belanda dianggap identic
dengan kemajuan dunia, sehingga lebih memfokuskan pada sejarah disekitar VOC dari pada
sejarah bangsa Indonesia.
Susunan kropnologis kejadian-kejadian belum bisa dinamakan tulisan sejarah tanpa ada
interpretasi dari penulisnya, sehingga tidak ada historiografi yang menggambarkan masa lampau
seperti yang terjadi sesungguhnya melainkan yang ada hanyalah interpretasi historis. Menurut
Sartono lebih tepat jika dalam penulisan sejarah Nasional menempatkan proses integrasi seperti
bagaimana oertumbuhan suku-suku di Indonesia menjadi bangsa Indonesia?. Sebuah ide yang
menarik karena menempatkan Belanda bukan sebagai pembawa integritas di Indonesia,
melainkan sudah ada proses-proses integritas bahkan sebelum kedatangan Belanda, melalui
perdagangan antar kerajaan lintas nusantara bahkan hingga ke kawasan di Asia Tenggara seperti
Champa, Cambodija, India, Cina dll. Kehadiran bangsa Eropa yang menguasai ekonomi
perdagangan justru menekan proses integrasi yang sudah dimulai sejak lama, karena monopoli
yang dilakukan Eropa dengan melarang penduduk menjual sumber daya alamnya kepada selain

bangsa imperialis yang menduduki daerah tersebut (misal Belanda melarang rakyat Makasar
menjual lada kepada Portugis), justru menekan integritas yang sudah terbangun. Apakah
kesatuan Indonesia dapat diwujudkan berkat pemerintah kolonial dan hanya dapat terbentuk
berkat bantuan pemerintah kolonial? Apakah sebenarnya perkembangan Indonesia kearah
kesatuan bukan hal yang sewajarnya yang dalam proses historisnya terhambat oleh imperialisme
asing? Bagaimana dengan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pasar dalam kaitannya
dengan untuk membuktikan adanya integritas yang sudah terbangun di kawasan Indonesia? Hal
ini tentu menjadi diskusi lebih lanjut.
Menurut Sartono, beberapa periode yang ada dalam sejarah Indonesia sudah
menunjukkan tendensi kearah integrasi meski dalam skala yang terbatas, misalnya hubungan
antara Sriwijaya, Majapahit, Aceh, Mataram, Makasar, Ternate, dan Tidore yang melalui
perdagangan antar pulau kemudian membawa pengaruh kebudayaan dari satu daerah ke daerah
lainnya. Lalu apa sebenarnya sejarah nasional itu? Menurut Sartono, sejarah nasional timbul dari
kesadaran nasional yang merupakan bentuk dari dorongan kuat dan dasar yang kokoh dari
integrasi. Sartono kemudian membicarakan mengenai penulisan sejarah Indonesia yang memakai
prespektif Indonesiasentris untuk menentukan corak tulisan, karena dalam sejarah tentang
Indonesia yang ditulis oleh Belanda memberikan tafsiran terhadap sejarah Indonesia sebelum
kedatangan bangsa Barat cenderung memberi penilaian yang bersifat receptive dan pasif, dan
adanya penekanan unsur kebudayaan Indonesia yang tinggi berasal dari luar sehingga yang
menjadi penekanan adalah unsur asingnya.
Sehingga dalam penulisan sejarah dengan prespektif nerlandosentrisme seperti yang
diungkapkan van Leur: memandang sejarah hanya dari geladak kapal atau tidak lebih dari pada
perpanjangan tangan sejarah Belanda. Sartono sadar bahwa, dalam penyusunan periodisasi
sejarah bersifat sangat politis sekali, walaupun sebenarnya politik itu merupakan salah satu aspek
saja dari sejarah kehidupan umat manusia. Mengapa politik yang memegang kendali? Karena
kekuasaan politik memiliki pengaruh yang kuat dan nyata, sedangkan kasusteraan sebagai contoh
tidak begitu berpengaruh. Negara sebagai bentuk kehidupan masyarakat historis yang kongkrit,
sehingga tidak mengherankan apabila ada penulis sejarah yang menulis dibawah pengawasan
pemimpin negara (kerajaan). Padahal sebetulnya tidak boleh dilupakan bahwa kejadian politik
tumbuh dari keadaan sosial.
Sejarah nasional menurut Sartono, membatasi perhatiannya terhadap peristiwa-peristiwa
yang terjadi di Indonesia sebagai kesatuan politik-geografis sebagai negara Republik Indonesia.
Sejarah nasional bukan kumpulan dari sejarah-sejarah daerah, sehingga untuk menciptakan
sejarah nasional dibutuhkan suatu interpretasi atau prespektif sentrisme yang telah dikemukakan
sebelumnya.
Sartono dalam hal ini satu suara dengan Soekanto mengenai politik yang dapat membuat
batasan-batasan periode dalam historiografi dengan jelas dan tegas, karena perubahan-perubahan
politik terjadi dalam proses yang cenderung cepat sedangkan apabila menggunakan pandangan
sejarah bercorak budaya dalam periodisasi akan sulit karena proses perubahan dalam budaya
cenderung lambat. Sehingga pada kesimpulannya Sartono tetap berpegang pada pendapat dengan
memperhatikan derajat integrasi yang ada walau dalam lingkup terbatas Majapahit dan Sriwijaya
saja. Factor ekonomi yang mempengaruhi kontak antara Indonesia dengan budaya luar
mendatangan pengaruh-pengaruh kebudayaan dari luar seperti Hindu, Buddha dan Barat
(kolonialisme). Sartono membagi babakan periodisasi menjadi tiga yaitu :
1. Prasejarah
2. Jaman kuno, yang diklasifikasikan lagi menjadi

a. Masa kerajaan tertua
b. Masa Sriwijaya (abad VII sampai XII atau XIV)
c. Masa Majapahit (abad XIV sampai XV)
d. Masa peralihan (abad XV)
3. Jaman Baru, yang diklasifikasikan lagi menjadi
e. Masa Aceh, Mataram, Makasar, Ternate dan Tidore (Abad XIV)
f. Masa perlawanan terhadap imperialism barat (abad XIX)
g. Masa pergerakan nasional (abad ke XX)
h. Masa Republik Indonesia (sejak 1945)
Terlihat disini, walaupun Sartono telah memberikan ide mengenai proses integrasi dan
faktor ekonomi yang menjadi latar belakang terjadinya proses integrasi dengan menghasilkan
budaya-budaya dari daerah lain, namun Sartono dalam naskahnya menjelaskan bahwa memang
untuk kepentingan penulisan sejarah nasional, sudut pandang politis lah yang dianggap paling
cocok dan sesuai, mengingat proses pada politik berjalan dengan cepat dan memiliki ketepatan
waktu yang akurat, karena berkaitan dengan perubahan rezim. Sedangkan bila menggunakan
sudut pandang budaya akan sulit, karena proses perubahannya lambat dan tidak ada ketepatan
waktu yang pasti. Sehingga dari periodisasi yang dihasilkannya masih seputar perubahan rezim
walaupun menekankan proses integritas, saya berasumsi hal ini dilakukan oleh Sartono untuk
mempermudah dalam pembagian waktu. Namun walaupun sama-sama berupa bergantian rezim,
namun tentu saja ada perbandingan yang mencolok dari babakan waktu yang ditawarkan Yamin,
Soekanto dan Sartono.
Hal ini tentu saja juga didukung iklim budaya pada tahun 1950an seperti yang sudah saya
ungkap dalam pendahuluan, merupakan proses pembentukan nation-state atau semangat
nasionalisme yang menggebu dari banyak aspek termasuk aspek penulisan sejarah yang harus
memiliki corak nasional dengan sentrisme yang bersifat nasionalisme juga yaitu
Indonesiasentrisme.
D. Kesimpulan
Sebenarnya terdapat beberapa aspek yang dibahas dalam seminar sejarah pertama yang
diselenggarakan di Yogkarta ini, namun saya menekankan pada dua aspek saja yaitu : aspek
konsepsi filsafat sejarah nasional dan periodisasi sejarah Indonesia. Kedua aspek itu tentu saja
penting sebagai panduang normatif dalam menulis dan menyusun sejarah nasional Indonesia
yang menggunakan prespektif Indonesiasentris. Diatas sudah saya kemukakan mengenai
perbedaan pendapat yang terjadi antara Muhammad Yamin dengan Sudjatmoko mengenai ada
atau tidak adanya filsafat sejarah nasional. Dalam hal ini Yamin setuju pada adanya suatu filsafat
sejarah nasional sedangkan Soedjatmoko beranggapan dengan adanya suatu filsafat tertentu
justru bisa berbahaya karena membatasi penulisan sejarah dan hasil tulisan akan cenderung
bersifat sangat subyektif. Soedjatmoko juga menekankan bahwa sebenarnya ada masalah yang
lebih pokok dari pada perlu atau tidaknya sebuah filsafat sejarah nasional, namun ada yang lebih
penting yaitu penyusunan buku pendidikan pelajaran sejarah. Kemudian Sudjatmoko
berpandangan sebenarnya apa yang dimaksud sebagai filsafat seajrah nasional oleh Yamin,
menurut dia adalah tidak lebih dari pada sebuah cara dalam penulisan sejarah nasional.
Pada aspek kedua yaitu mengenai periodisasi dalam penulisan sejarah nasional Indonesia.
Disini yang menjadi pemrasaran adalah Prof. Soekanto dan Sartono Kartodirjo yang pada waktu
itu masih sarjana muda. Pada intinya, Soekanto beranggapan bahwa penulisan sejarah nasional

Indonesia sebaiknya berdasarkan pembabakan waktu yang bersifat politis atau ketatanegaraan,
mengingat cocok dengan 3 syarat yang diformulasikan oleh Soekanto, yaitu: praktis, exact dan
berdasarkan kenyataan. Walaupun pendapat tersebut mendapat kritik dari Prijohutomo karena
menganggap sebaiknya Soekanto tidak melihat periodisasi dalam penulisan sejarah nasional dari
politiknya saja, dan menekankan bahwa dapat membuat periodisasi dari hal-hal selain yang
bersifat politis. Sedangkan Sartono lebih menekankan proses Integrasi walaupun Sartono juga
mengakui bahwa pembabakan waktu berdasarkan kebudayaan akan sulit karena proses
perubahannya lambat tidak seperti politik yang cepat dan tegas kurun waktunya. Tidak
mengherankan mengapa Soekanto menekankan aspek politik sedangkan Sartono dari sisi
kebudayaan. Mengingat keduanya adalah mendapat masing-masing pendidikan hukum dan
kebudayaan (sastra).
Nilai dari seminar sejarah pertama itu adalah tentu saja untuk merumuskan sebuah
sejarah nasional Indonesia yang memiliki corak khusu yaitu sentrisme Indonesia. Hal ini tentu
saja berkaitan dengan latar belakang historis bangsa Indonesia sebagai bekas negara jajahan
kolonialisme Belanda, dan memiliki tulisan-tulisan yang sangat bersifat nerlando-sentrisme
seperti kata van Leur, hanya melihat Indonesia dari geladak kapal saja, dan mengecilkan
pengaruh serta peran bangsa Indonesia. Sehingga dengan latar belakang tersebut tentu saja, para
ilmian yang diprakarsai oleh Departemen Pendidikan, Pangadjaran dan Kebudajaan pada akhir
dekade 1950an memikirkan tentang perlunya penulisan ulang sejarah Indonesia yang Indonesiasentris.
Pesan moral yang sangat ketara dari diskusi dalam seminar sejarah pertama ini tentu saja
bercorak Indonesia-sentrisme dalam penulisan sejarah dan menolak nerlando-sentrisme atau
eropa-sentrisme, sehingga jika tidak hati-hati maka yang akan terjadi adalah waton Indonesiasentris, seperti yang terjadi pada beberapa tulisan sejarah Indonesia dengan label “nasional” pada
periode selanjutnya. Karena nilai memiliki hubungan yang integral dengan pesan mowal maka
menurut saya dari penulisan sejarah Indonesia yang menggunakan sentrisme Indonesia itu,
merupakan usaha dari pemerintah Indonesia untuk membentuk legitimasi secara politis sebagai
negara yang baru saja merdeka, karena seminar ini dilaksanakan 7 tahun setelah penyerahan
kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Norma kongkritnya tentu saja sejak dilaksanakannya
seminar sejarah pertama ini, diharapkan sejarawan Indonesia, tidak lagi menuliskan sejarah
Indonesia menggunakan sentrisme-sentrisme lain selain sentrisme Indonesia.
Teori dan metodologi dalam hal ini berkaitan dengan beberapa pendapat yang menurut
saya menarik yaitu terutama pendapat dari Sartono dan Soekanto mengenai penggunaan sumber
lokal (babad) dalam penulisan sejarah Indonesia bisa atau tidak?. Tradisi sebelumnya yang
dilandasi pada pandangan-pandangan empirisme dan positivisme yang mengedepankan fakta
empiris dalam pemilihan sumber sehingga ketika dihadapkan pada sumber-sumber tempatan
seperti babad kebanyakan penulis sejarah dengan prespektif nerlando-sentris mengecilkan atau
menganggapnya tidak lebih dari pada sebuah karya sastra dan mengandung mitos-mitos yang
tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Padahal mitos tersebut merupakan bagiand ari seajrah
mentalitas sebuah masyarakat yang didalamnya tentu saja berisikan realitas-realitas sejarah,
namun memang menggunakan hermenetika atau pemaknaan yang kritis.
Dalam seminar sejarah pertama ini bertujuan menghasilkan prinsip-prinsip dalam
penulisan sejarah yang berpegang pada prinsip nasionalisme, untuk memperkuat legitimasi
Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Seminar ini bertujuan untuk
menghasilkan norma-norma yang dapat dijadikan pegangan dari sejarawan dalam menuliskan

sejarah Indonesia untuk menjelaskan bagaimana proses kelahiran Indonesia sebagai sebuah
bangsa, kelahiran nation-state Indonesia melalui penulisan sejarah nasional Indonesia.

F. Daftar Pustaka
Alun Munslow, The New History, Inggris: Pearson Education Limitd, 2003.
Henk Schulte Nordholt, De-colonizing Indonesian Historiography, Sweden: Lund University,
Media-Tryck, 2004.
Henk Schulte Nordholt (ed), Prespektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta: KITLV,
2008.
Moh. Ali, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, Yogyakarta : LKIS, 2005.
Muhammad Yamin, 6000 Tahun Merah Putih, Jakarta: Balai Pustaka, 1958.
Nancy Florida, Javanese Literature in Surakarta Manuscript Vol.1, Ithaca: Cornell Southeast
Asia Program Press, 1993.
Nugroho Notosusanto, “Problems in the Study and Teaching of National History in Indonesia”,
dalam Journal of Shouteast Asian History, Vol. VI, No.1. 1965.
Patrick Gardiner, Theories of History, New York : The Free Press, 1959.
Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.
Sartono Kartodirjo, “Periodisasi Sejarah Indonesia” dalam Seminar Sejarah : Konsepsi Filsafat
Sejarah Nasional dan Periodisasi Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: UGM, 1958.
Sue Nichterlin, “Historicism and Historyography in Indonesia”, dalam History and Theory,
Vol.XIII, No.3. 1974
Taufik Abdullah, “Dari Sejarah Lokal ke Kesadaran Nasional, Beberapa Problematik
Metodologis” dalam T. Ibrahim Alfian (ed) Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah
Kritis, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press: 1987

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1