ASAL USUL APA YANG KITA SEBUT NEGARA Log

ASAL-USUL (APA YANG KITA SEBUT) NEGARA:
Logika kedaulatan dan metode psikogenealogi1
Hizkia Yosie Polimpung 2

Dew asa ini banyak dari kit a yang mungkin kecew a dengan pemerint ahan negara.
Tent ang bagaimana ia mengat ur ini dan it u, memf asilit asi kit a ini dan it u, melindungi kit a dari
ini dan it u, dst . Banyak pula dari kit a, ent ah dengan dorongan nasionalisme at au apa, berusaha
mengkrit ik, mengusulkan, bahkan t idak sedikit yang memaki pemerint ah oleh karenanya.
Jut aan opini koran dit ulis, ribuan seminar diselenggarakan, rat usan buku dit ulis dan dibedah,
namun negara nampaknya “ t enang-t enang saja” dan t et ap t idak berubah menjadi sepert i yang
kit a harapkan. Berikut nya t ent u pert anyaan naïf yang segera t erlont ar adalah: “ mengapa
begit u, bukankah seharusnya negara memperjuangkan kepent ingan kit a, para rakyat ?”
Demikianlah keyakinan kit a mengenai t ujuan negara, bukan?

LOGIKA KEDAULATAN

Keyakinan inilah yang coba ditinjau ulang kesahihannya secara hist oris dalam buku AsalUsul Kedaulat an (AUK). Penulis memberanikan diri unt uk mengajukan suat u pandangan yang

bersifat ant it et is ( ant i-t het ical ) t erhadap anggapan umum t ent ang negara yang demikian –
yait u negara berdaulat ( sovereign st at e) yang bert ujuan dan bert ugas memberikan keamanan
dan kesejaht eraan rakyat nya. Dalam benak, penulis memant apkan diri unt uk bert anya:

bagaimana jika t ernyat a negara berdaulat memang tidak pernah berniat menyediakan
keamanan dan kesejaht eraan rakyat nya? Bagaimana jika penyediaan keamanan dan
kesejaht eraan rakyat hanyalah dalih pembenar unt uk t ujuan-t ujuan lainnya? Jika benar
demikian, maka sudah past i jargon-jargon dan janji-janji pemerint ah untuk menyediakan
keamanan dan kesejaht eraan t idak lebih dari sekedar dalih pembenaran semat a. Tujuannya?
Apalagi jika bukan mempert ahankan “ keset iaan” rakyat nya unt uk t inggal di t erit orinya,
mengingat salah sat u unsur konst it utif negara adalah rakyat ?3
Juga penulis ingin menyudahi dan melampaui perdebat an melelahkan t ent ang
mundurnya vs. kembalinya negara. Permasalahan ut ama saat ini, menurut penulis, bukanlah
persoalan apakah negara sudah usang at au semakin int rusif, bukan pula permasalahan pronegara at au ant i-negara; sama sekali bukan ini permasalahan yang perlu dikuat irkan! Hal paling
mendesak just ru t erjadi pada t arik-menarik paradoksal di ant aranya: di sat u sisi negara semakin
usang di hadapan globalisasi seluruh aspek kehidupan, t api di sisi lain ia semakin menguat dan
int rusif mengat ur seluruh lini kehidupan manusia – yait u saat negara semakin t erlepas dan

1

Pemant ik diskusi bedah buku Asal Usul Kedaulat an: Telusur Psikogenealogis at as Hasrat Mikrofasis
Bernegara (Penerbit Kepik, 2014), Biro Pers M ahasisw a Filsafat PIJAR, Universit as Gajah Mada, Yogyakart a,
11 Okt ober 2014.
2

Penulis adalah penelit i di PURUSHA Research Cooperat ive dan Edit or Jurnal IndoProgress; sedang
menyelesaikan disert asi Dokt oral di Dept . Filsafat , Universit as Indonesia, t ent ang ont ologi dan met afisika
psikoanalisis Lacanian.
3
Lihat Konvensi Mont evideo, 27 Desember 1933.

i

t eralienasi dari rakyat yang konon menjadi konst it uen eksist ensinya. Negara hanya peduli
kedaulat annya, dan siapapun yang duduk di t ampuk pemerint ahan – seidealis apapun ia
dulunya – akan t unduk pada logika kedaulat an negara: afirmasi dan reafirmasi abadi akan
kedaulat annya dengan cara apapun . Sehingga saat negara bermasalah, sama sekali bukan
dikarenakan orang-orang yang duduk di pemerintahannya adalah jahat. Justru sebaliknya,
negara itu jahat karena ia memang bermasalah. Rakyat akhirnya hanya menjadi jargon

pelengkap ret orika untuk melegit imasi seluruh perjuangan negara demi mempert ahankan
kedaulat annya. Sit uasi di-ambang inilah yang menjadi kont eks ut ama st udi penulis: penulis
menerima kenyat aan paradoksal t ent ang negara ini, dan mengupayakan suat u pemahaman
baru akannya – suat u pemahaman yang memungkinkan suat u t ransformasi.
Pent ing unt uk diklarifikasi di sini mengenai apa yang dit aw arkan dan yang t idak

dit aw arkan melalui buku AUK ini. Yang hendak dit aw arkan adalah suatu pemahaman baru akan
negara dan kedaulatan, yait u suat u pemahaman yang obyekt if dalam melihat negara dan
kedaulat an. Sebaliknya, yang t idak akan dit aw arkan adalah suat u pemahaman subyekt if yang
selalu menisbat kan negara dengan aspirasi rakyat , moralit as dan et ika pemimpin, corak
kult ural dan relijius, dst .; dengan keyakinan-keyakinan naif normat if bahwa negara harusnya
sepert i ini dan/at au sepert i it u. Klaim ut ama penulis adalah bahwa negara dan kedaulatan
memiliki logikanya sendiri yang acuh tak acuh terhadap apapun aspirasi subyektif kita
atasnya. Unt uk it u, pent ing kiranya unt uk mengesampingkan sejenak kont aminasi subyekt if

kit a akan negara demi mendapat sebuah gambaran obyekt if akannya. Secara prakt is, penulis
merasa hal ini akan sangat berguna bagi siapapun (pemerint ah, part ai, buruh, mahasisw a, dst .)
yang hendak “ menggunakan” negara berdaulat . Sama sepert i kit a harus mempelajari fit ur-fit ur
obyekt if ponsel kit a unt uk mengoptimalkan penggunaannya, demikianlah kit a harus
memahami negara berdaulat .
Dengan obyekt if, penulis t idak memaksudkan bahw a pemahaman ini adalah bebas nilai.
(Sama sekali t idak! Pemahaman obyekt if ini bukan semat a-mat a demi pengabdian menggelikan
t erhadap ilmu penget ahuan). St ephen Jay Gould mengat akannya dengan sangat baik,
Object ivit y cannot be equat ed w it h ment al blankness; rat her, object ivit y resides in
recognizing your pref erences and t hen subject ing t hem t o especially harsh scrut iny — and
also in a w illingness t o revise or abandon your t heories w hen t he t est s f ail (as t hey usually

do).4

Obyekt ivit as sebaiknya dipahami lebih kepada suat u kondisi yang mana sesuat u, dalam hal ini
negara berdaulat , dapat berfungsi secara mulus t anpa mensyarat kan int ervensi-int ervensi
subyekt if. Segala hal yang bersifat subyekt if yang berpot ensi mendist orsi pemahaman
obyekt if, sepert i aspirasi dan harapan t ent ang bagaimana negara seharusnya, misalnya, harus
dikesampingkan t erlebih dahulu. Pent ing di sini unt uk memisahkan ant ara aspirasi dan
argument asi jika suat u pemahaman obyekt if hendak didapat kan. Pemahaman obyekt if
mengenai negara berdaulat akan membaw a kit a pada suat u pemahaman mengenai logika
int ernal bekerjanya negara berdaulat secara mulus– sekali lagi, dalam art ian t anpa dist orsi dan

4

St ephen Jay Gould, The Lying St ones of Marrakech (New York: Harmony Books, 2000), hal. 104-105.

ii

kont aminasi aspirasi subyekt if . Logika int ernal negara inilah yang saya sebut sebagai ' logika
kedaulatan '.


Secara umum, t esis logika kedaulat an dari Negara Berdaulat modern bisa dirumuskan sebagai
berikut :
1.

Dalam kesehariannya, t ujuan ut ama pemerint ahan negara hanyalah semat a-mat a
akt ualisasi

kedaulat annya,

penguat an

kedaulat annya,

dan

pemeliharaan

kedaulat annya.
2. Ide-ide universal (demokrasi, komunisme, liberalisme, humanisme, Islamisme, Tanah
Perjanjian, dst .) dan ident it as-ident it as sublim (Manusia Seut uhnya, Bangsa Indonesia,

Kaw ula Alit , We t he People, dst .) adalah obyek komodifikasi negara dalam ret orika dan

prakt iknya. Tujuannya? Kembali ke nomor 1.
3. Produksi liyan sebagai manifest asi abyeksi (law an dari subyeksi) adalah sesuat u yang
logis karena universalit as (nomor 2) selalu membut uhkan pengecualian (except ion).
4. Logika kedaulat an ini sifat nya relat if ot onom t erhadap: a) logika lain diluarnya
(kapit alisme, agama, alam, dst .); b) manusia yang (seolah-olah) menjalankannya.
a. Manusia ada hanya sebagai kendaraan unt uk mengekalkan kedaulat an negara
melalui suksesi t ubuh-tubuh mort al di t aht a kenegaraan yang imort al.
b. Aspirasi, idealisme, dan apapun yang mencirikan agensi manusia, menjadi
t erjerat dan hanyut dalam sirkuit logis kedaulat an negara. (Kembali ke nomor 2)
Lalu, apa sebenarnya yang bermasalah dari logika kedaulat an ini? Sebelumnya, t erkait
logika kedaulat an negara, penulis juga merasa perlu memperingat kan, yait u bahwa harus
disadari sejak aw al bahw a dengan ‘negara’ dan ‘kedaulat an’, yang penulis maksudkan di buku
adalah negara dan kedaulat an versi Barat , lebih spesifiknya, versi Perjanjian Damai West phalia
1648. Ini bukan berart i lant as penulis menjadi Eropa-sent ris. Pemilihan versi ini sebagai obyek
kajian didasarkan pada kenyataan bahw a secara de f act o, semua negara di dunia saat ini,
t erlepas dari apapun idiologi resminya, adalah menganut sist em kedaulat an versi West phalia
ini. Pula bent uk negara berdaulat yang diakui hukum int ernasional dan yang dipahami dalam
pemahaman umum (common sense) orang banyak, disadari at au t idak, sebenarnya t idak lain

adalah negara berdaulat versi West phalia. Penekanan ini pent ing unt uk menyadarkan bahwa
“ negara berdaulat ” t idaklah universal! Ada perbedaan logika kedaulat an ant ara negara di era
Yunani kuno, Romaw i, It alia zaman Renaisans, Imperium Romaw i Agung, Krist endom, Khilafah,
dst . Menjadi amat t idak berdasar secara hist oris kemudian saat kit a lant as mengat akan bahw a,
misalnya, kedaulat an negara menjadi sinonim dengan kedaulat an Khilafah, at au dengan Daulah
al-Islamiyah hanya karena kat a ‘kedaulat an’ punya akar pada kat a ‘daulah’.
Jadi, apa it u yang biasa kit a sebut ‘negara’? Negara berdaulat modern adalah varian dari
sebuah genus ‘pengorganisasian sosial-polit ik’, bahkan lebih spesifik lagi ‘pengorganisasian
sosial-politik berbasis t erit ori’. Hal ini pent ing unt uk dit ekankan karena pada masa-masa
pembent ukannya di Eropa abad ke 16 dan sebelumnya, negara bukanlah sat u-sat unya
pengorganisasian sosial-polit ik. Banyak bent uk pengorganisasian lainnya: Imperium Agung
Romaw i, Gereja, Liga Hanseat ic, Liga Kot a (di It alia), Monarki, dan Negara Berdaulat (Dinast i
Hugh Capet , Perancis). Demikian pula ‘kedaulat an’, ia adalah salah sat u ‘dokt rin

iii

pengorganisasian

legit imasi


kekuasaan,’

yait u

semacam

“ sist em

operasi”

dari

pengorganisasian sosial-politik ini. Eropa abad pert engahan mengenal, selain kedaulat an
(sovereignt y), ada suzeraint y ( berbasis upet i), imperialisme, Krist endom, dan perbandit an.
Jadi, saat kit a berbicara ‘negara’, maka disadari at au t idak, kit a selalu memaksudkan secara
spesif ik Negara Berdaulat (ala Capet Perancis) dengan kedaulat an t erit orial yang dit ahbiskan
melalui perjanjian West phalia 1648. Spesifisit as negara berdaulat ini pent ing unt uk selalu
disadari. Tanpanya, kit a akan secara brut al menyamakan bent uk negara sat u dengan lainnya,
yang padahal punya logika “ kedaulat an” -nya sendiri masing-masing.
Berdasarkan peringat an ini dengan demikian penulis t idak bermaksud mengklaim

bahw a argumen dalam buku ini bisa dit erapkan unt uk semua model negara di t iap epos sejarah.
Sekali lagi, negara berdaulat yang dimaksud st udi ini adalah negara berdaulat modern versi
Perjanjian Damai West phalia 1648 yang dicirikan dengan tiga fitur utama: sent ralisasi
pemerint ahan di baw ah seorang pemimpin; pencipt aan bat as t erit orial t erbat as; dan
pengakuan kedaulat an sat u dengan lainnya di dalam komunit as negara berdaulat (hubungan
int ernasional). Kehadiran t iga fitur ini secara bersamaan, t idak akan kit a t emukan di model
kedaulat an lainnya. Perlu st udi ekst ensif unt uk memet akan logika kedaulat an lain ini, lalu
menelisik kont radiksi int ernalnya, dan akhirnya mencarikan alt ernat if at asnya.
Kembali ke permasalahan mendasar dengan negara. Karena t ipe spesifik kedaulat an
adalah model West phalia, maka permasalahan dengan kedaulat an adalah permasalahan
spesif ik baw aan dari model West phalia. Tent u saja sampai hari ini, model West phalia sudah

berkembang, namun demikian berani saya klaim, seluruh mut asi model kedaulat an West phalia
yang marak di pelat aran opini publik kit a hari ini (mis. liberal, neoliberal, sosdem, sosialiskomunis, negara kesejaht eraan, persemakmuran, bahkan Khilaf ah), masihlah secara ont ologis
bercorak West phalian. Persis seperti t he bot ol Sosro: “ (si)apapun idiologinya, bent uk
pemerint ahannya, at au presidennya , kedaulat annya t et ap kedaulat an West phalia.”
Problem kedaulatan W estphalia adalah pada legitimasi berbasis-teritorialnya. Terit ori,
dan bukan rakyat (!!!), yang menjadi “ kart u t ruf” kedaulat an West phalia. Diasumsikan, dengan

menjaga t erit orinya, maka rakyat akan sejaht era. Tak pelak jargon-jargon “ int egrasi,”

“ kesat uan,” keut uhan,” dst ., menjadi w ajar diut arakan, dan laku! Pemerint ahan, selalu adalah
pemerint ahan akan segala sesuat u yang t erjadi di dalam bat as t erit orinya, oikosnya. Kebocoran
dalam pemerint ahan akan t erit ori maka dianggapnya sebagai kebocoran kedaulat an.
Ekst rimnya, t erit ori menjadi harga mat i, sekalipun dibandingkan rakyat . Tidak masalah sat u,
dua, serat us, seribu rakyat mat i, asal t erit ori negara t et ap ut uh. Tidak ada yang salah dengan
ini sebenarnya. Hanya saja, ini oksimoron, terut ama apabila dilihat dari obyekt ivit as logika
kedaulat an: bagaimana mungkin suatu entitas yang didirikan oleh manusia, dan mengaku
untuk manusia, justru malah mengesampingkan manusia, bahkan menir-manusiakan manusia
dalam kesehariannya? Inilah kontradiksi internal logika kedaulatan negara. Sekali lagi,

kont radiksi ini obyekt if (imanen dalam negara berdaulat it u sendiri) dan bukan hasil prosesproses subyekt if.
Bagaimana menyudahi kont radiksi ini? Apapun itu, jelas: memilih dalam pemilihan
umum bukanlah solusi. Mengapa? Karena memilih dalam pemilihan umum, adalah selalu

iv

memilih dalam kont eks negara berdaulat West phalia. Tapi, t ent u saja, unt uk memenuhi
ket akut an khas liberal kit a, at au mesianisme romant isis kit a: memilih bisa menjadi kat arsis
sement ara. Namun set elah kat arsis it u lew at , dengan harapan “ t agihannya” t idak t erlalu
membengkak, yang harus kit a pikirkan, lalu lakukan adalah memulai proyek-proyek

eksperiment al baru untuk mengkonst ruksikan suat u model kedaulat an baru. Salah sat u kisikisinya kit a sudah bisa pet ik dari problem kedaulat an West phalia: yait u bahw a legit imasinya
t idak boleh berbasis t erit ori.

IM PLIKASI M ETODOLOGIS: PSIKOGENEALOGI DAN PERJUANGAN FASIS

Implikasi t erpent ing yang mengikuti pandangan ini adalah pada cara kit a memahami
pelembagaan ‘yang-sosial’: masyarakat , negara, bangsa, dst . Saya t elah mencoba merumuskan
“ met ode” baru memahami sejarah pembent ukan pelembagaan yang-sosial ini, dalam hal ini
negara

berdaulat ,

dengan

mengedepankan

primasi

hasrat .

Met ode

ini

disebut

‘ psikogenealogi’. Sebagaimana t ersirat dari namanya, psikogenealogi merupakan gabungan
ant ara psikoanalisis dan genealogi, lebih spesifiknya, psikoanalisis Lacanian dan genealogi
Foucauldian.5 Psikoanalisis Lacan memandang bahw a subyek t ercirikan oleh kegegaran (split)
ontologis: konsepsi mengenai (si)apa dirinya, selalu berada dalam t arik-menarik hasrat nya

( deat h drive; yang-riil ) , masyarakat (yang-simbolik) dan cit ra-cit ra ideal (yang-imajiner).
Kegegaran ini merupakan konsekuensi dari t erposisikannya subyek di ant ara dua daya yang
bert ent angan: imperat if sosial (norma, nilai, kultur, idiologi), dan hasrat t ak sadarnya yang ant isosial . Subyek “ t erkut uk” selamanya unt uk selalu harus bingung memilih mengikut i injungsi

dan perint ah ekst ernal di mana ia hidup, at au lebih mengikut i dorongan baw ah sadarnya. Krisis
ident it as (at au bahasa ababil -nya ‘krisis jat i diri’), dalam pandangan ini, menjadi suat u hal yang
w ajar dalam hidup manusia. Sement ara ‘kedew asaan’ berart i saat ia mampu mengat asi, at au
set idaknya t ampak mampu mengat asi, ket egangan ini. Semakin piaw ai subyek menipu,
memanipulasi, merekayasa, menyangkali, dan mengakali hasar t ak sadarnya yang asosial di
hadapan yang sosial, maka semakin ia menjadi ‘dew asa’.
Akibat dari kegegaran ont ologis ini adalah munculnya suat u, yang sekaligus menjadi
fit ur kedua subyek Lacanian, kegelisahan ontologis. Adalah frust rasi akibat kegagalan
mengat asi (at au membiasakan diri dengan) kegegaran ont ologislah yang memunculkan
kegelisahan ont ologis ini. Subyek harus mampu menambal kegegarannya jika ingin dit erima di

5

Foucault memang sangat benci pada psikoanalisis. Namun demikian bukan berart i sint esis di ant ara
f oucauldianisme dan psikoanalisis adalah t idak mungkin dilakukan. Jika Foucault menolak melakukannya,
bukan berart i orang lain, penulis misalnya, dilarang melakukannya. Penulis just ru melihat pot ensi besar
dalam penggabungan keduanya. Judit h But ler juga melakukan sint esis keduanya, w alaupun dengan cara
yang berbeda dari yang penulis lakukan. But ler lebih menekankan bagaimana kekuasaan a la Foucault
memproduksi psikis yang pat uh, sement ara penulis lebih menekankan kont est asi kekuasaan Foucault yang
menurut penulis merupakan kont est asi subyek gegar Lacanian unt uk memperoleh perasaan ke-diri-annya
yang ut uh. Lihat Judit h But ler, The Psychic Life of Pow er: Theories in Subject ion (St anf ord: St anford Uni
Press, 1997), hal. 197-8. Unt uk posisi Foucault t erhadap psikoanalisis, lihat Michel Foucault , “ The Conf ession
of t he Flesh,” dalam M. Foucault , Pow er/Know ledge: Select ed Int er view s & Ot her Writ ings, 1972-1977, peny. C.
Gordon (NY: Pant heon Books, 1980), hal. 192-228.

v

kehidupan sosial. Namun semenjak kegegaran ini ont ologis, maka ia t idak akan pernah benarbenar berhasil menambalnya. Subyek pun akhirnya t erkut uk unt uk t erus-menerus mencoba
menambal kegegaran ini. Upaya unt uk menambal kegegaran inilah yang disebut dengan
hasrat . Hasrat , dengan demikian, tidak seharusnya dipahami sebagai sebent uk dorongan unt uk

mengakuisisi suat u obyek t ert ent u sebagaimana pemahaman pada umumnya. Hasrat selalu
berujung pada suat u kegagalan (unt uk menambal kegegaran); yang divisikan hasrat adalah
suat u hal yang must ahil— kedirian yang t idak gegar. Namun demikian, ia t oh t et ap dilakukan,
persis sepert i Sisifus yang t erus-menerus mendorong bat u berat menuju puncak bukit .
Salah sat u hasrat yang paling fundament al dalam psikoanalisis Lacanian adalah hasrat
narsistik, yait u hasrat yang t erarah pada diri. Visi dari hasrat ini, ekst rimnya, adalah

keselamat an dan kesinambungan eksist ensial. Untuk ini, subyek melakukan segala daya upaya.
Pert anyaan yang mungkin t erlont ar, apa yang memungkinkan subyek unt uk bersikeras
melakukan ini semua? Lacan akan menjaw ab: fantasi. Fant asi adalah sesuat u yang menjadi
panduan bagi subyek unt uk berhasrat —(si)apa yang harus dihasrat i dan bagaimana harus
berhasrat . Fant asi menjadi sumber acuan t ent ang mode-mode hasrat . Sepert i yang
dit andaskan Žižek,
“ The problem for us is not ‘are our desire sat isfied or not ?’. The problem is ‘how do w e know w hat
w e desire?’ There is not hing spont aneous, not hing nat ural about human desires. Our desires are
art ificial. We have t o be t aught t o desire.” 6

Fant asi, dengan demikian, bukanlah sesuat u yang ahist oris, melainkan ia memiliki dimensi
sosial yang spesifik di tiap zaman dan w akt u. Begit u pula dengan fant asi ke-diri-an yang ut uh
dan sempurna t anpa gegar, perw ujudannya memiliki dimensi sosial dan spasio-t emporal yang
berbeda-beda seiring zaman. Di sinilah pent ingnya mengkombinasikan psikoanalisis Lacanian
dengan genealogi Foucault . Di sat u sisi psikoanalisis menaw arkan cara membaca prilaku
pemenuhan hasrat , at au yang disebut simptom , di sisi lain genealogi membant u menunjukkan
proses dan fakt or-fakt or yang mempengaruhi evolusi bent uk mat erial simpt om t ersebut .
Dengan genealogi, Foucault t idak bermaksud analisis t ent ang asal-usul. Lebih dari it u,
genealogi merupakan analisis t ent ang perist iw a apa saja yang t erjadi pada asal-usul t ersebut ,
at au dalam kalimat Foucault , “ genealogi akan mengembangkan rincian dan perist iw a yang
menyert ai set iap permulaan.” 7 Genealogi merupakan sejarah masa kini (hist ory of t he present ),
ia mencari t ahu bagaimana sit uasi yang dianggap normal, baik, w ajar dan lazim di masa kini bisa
dimungkinkan. Bagi Foucault , sejarah adalah proses normalisasi; yang normal t elah dan akan
selalu menjalani suat u proses unt uk dijadikan normal ; t idak ada sesuatu yang normal dengan
sendirinya. Dengan demikian, genealogi Foucauldian berusaha melacak suksesi suat u diskursus
yang saat ini dianggap normal dalam kait annya dengan konst elasi kekuasaan di masanya.

6
Slavoj Žižek, The Perver t ’s Guide t o Cinema: Lacanian Psychoanalysis and Film (London: Mount Pleasant
St udios, 2006). [ Film Dokument er]
7
Michel Foucault , “ Niet zsche, Genealogy dan Sejarah,” dalam M.T. Gibbons, peny., Tafsir Polit ik, t erj. Ali
Noer Zaman (Yogyakart a: Qalam, 2002), hal. 325.

vi

Sejarah merupakan pert arungan w acana merebut t aht a “ kebenaran” yang hegemonik; sejarah
penguburan w acana-w acana yang kalah; sejarah st igmat isasi rendah w acana-w acana minor.
Psikogenealogi, dengan demikian, melihat pert arungan w acana unt uk menjadi rezimik
dan hegemonik sebagai pert arungan subyek-subyek hasrat unt uk menjadikan mode hasrat nya
sebagai suat u hasrat yang normal, yang w ajar, yang sah, yang valid, dan yang universal.
Sejarah, dengan demikian, merupakan pertikaian subyek-subyek tersebut dalam upayanya
untuk saling mengabyeksikan 8 , menyingkirkan, mendeteritorialisasi satu sama lainnya.
Sejarah adalah clash among fascists9: siapa yang kalah, ia t ersingkir dan dilenyapkan zaman;

siapa yang menang, ia menjaga keut uhan dan kesinambungan eksist ensi dirinya.
Perjuangan fasist ik adalah perjuangan paranoid unt uk selalu mengant isipasi
kehancuran ident it as ke-diri-an dengan t ak kenal lelah membangun diri yang (lebih) kokoh dan
(lebih) sempurna. Semenjak ia bersifat paranoid, bayang-bayang ket iadaan eksist ensial akan
selalu membayangi subyek fasis t ersebut , dan pada gilirannya akan senant iasa mendorongnya
unt uk melakukan mekanisme ant isipasi defensif. Mekanisme pert ahanan f asis sebaiknya
dipahami sebagai sesuat u yang agresif dan membabi-but a ket imbang sesuat u yang pasif dan
bersifat menunggu. Sisi paranoid dari fasis membuat nya t idak t ahu dengan past i sumber
kegelisahan eksist ensialnya: apa, siapa, kapan dan dari mana ancaman t eror akan ident it as kediri-annya berasal adalah hal yang t idak jelas baginya; yang jelas: “ diri saya sedang dalam
bahaya!” Teror akhirnya masuk dan mengkont aminsai sist em kesadaran. Kekerasan t eror it u
sendiri pada akhirnya direproduksi t erus-menerus secara membabi-but a, korban berjat uhan,
diri semakin t erluka: inilah kerinduan fasistik.10 Subyek fasis t ak lain adalah “ gila perang” dan
“ gila kekuasaan.”
Dengan mendekat i perjuangan fasis secara psikogenealogis, maka dengan jelas dapat
dilihat bahwa int i perjuangan fasis adalah ide, yait u ide t ent ang ke-diri-an yang ut uh. Fasisme

8

Bagi Julia Krist eva, subyeksi dan abyeksi merupakan dua hal yang t ak t erpisahkan, ibarat dua sisi pada
sat u koin. Subyeksi selalu mensyarat kan abyeksi; dan sebaliknya abyeksi merupakan konsekuensi t ak
t erelakkan dari subyeksi. Subyeksi, at au proses penggambaran krit eria demarkasi subyek ini, semenjak ia
yang mengkualifikasi dan mendiskualifikasi t ubuh, mensyarat kan suat u mekanisme inklusi/eksklusi: menginklusi elemen-elemen yang “ sah” sebagai subyek, dan mengeksklusi elemen-elemen yang “ t idak sah”
sebagai non-subyek. Ekslusi inilah yang disebut Krist eva sebagai abyeksi—proses penyingkiran, penolakan,
pembuangan at au det erit orialisasi secara permanen akan “ ‘somet hing’ w hich I do not recognize as a t hing.”
Sepert i pet ikan epigraf di at as, abyek adalah yang mew akili segala gagasan yang bukan “ aku” , sehingga
“ aku” pun jijik akannya, t idak sudi bersent uhan dengannya, menolak membayangkan t ent angnya. Abyek
adalah segala sesuat u yang mengganggu pert ama-t ama ident it as subyek, dan berikut nya seluruh t at anan
sist em subyeksi Simbolik. Lihat Julia Krist eva, The Pow ers of Horror : An Essay on Abject ion, t erj. L. S. Roudiez
(NY: Columbia Uni Press, 1982), hal. 1 dan 3.
9
Fasis yang dimaksud disini t idak selalu harus merujuk pada bent uk-bent uk yang t erkonsolidasi secara
kurang lebih rapi sepert i Nazisme Hit ler dan Fasisme Musolini. Fasisme di sini mengikut i sebagaimana yang
dipahami Félix Guat t ari, yait u sebagai suat u bent uk sekaligus konsekuensi dari hasrat akan keut uhan
ident it as, yang not abene t elah selalu dimiliki set iap orang sekalipun dalam aspek yang mikro. Mikrofasisme,
bagi Guat t ari, adalah fit ur fundament al dari hasrat manusis. Lihat Félix Guat t ari “ Everybody Want s To Be A
Fascist ,” t erj. S. Flet cher, Semiot ext (e) II(3) (1977).
10
Slogan Fasis, sebagaimana Žižek: “ enough of enjoyment , enough of debauchery: a vict im is necessary.”
Andrew Herscher, “ Everyt hing Provokes Fascism: an int erview wit h Slavoj Žižek,” Assemblage, 33 (Agust us,
1997), hal 63.

vii

adalah perjuangan ide-al. Berbicara t ent ang yang-ideal, maka t idak akan bisa dilepaskan dari
fase cermin Lacanian (ranah imajiner). Yang-ideal adalah selalu imaji yang disediakan oleh
cermin bagi diri; yang-ideal adalah selalu berupa cit raan. Yang-ideal ini akan memberi t ahu diri
sepert i apa (dan yang bukan sepert i) yang seharusnya diupayakan oleh diri, at au dengan kat a
lain, yang-ideal memberi t ahu yang mana subyek dan yang mana abyek, yang mana “ ada” dan
yang mana “ t iada.” Cit raan cermin yang-ideal akan menunjukkan t indakan apa yang
seharusnya dilakukan diri, sepert i apa diri harus t ampak, pakaian apa yang harus diri pakai, kat akat a apa yang harus diucapkan diri, pose apa yang harus sering diperagakan diri, bahasa apa
yang harus dipergunakan diri, dst . Cit ra ke-diri-an ideal—penanda ut ama ( mast er signif ier ) bagi
Lacan—inilah yang mat i-mat ian dikejar oleh sang diri fasis. Semakin cermin ini menunjukkan
cit raan yang jauh berbeda dari kondisi diri saat ini, semakin get ir kegelisahan diri akan ke-diriannya, dan semakin gigih ia mengupayakan t erw ujudnya citra t ersebut bagi dirinya.
Diri, dengan demikian, menjadi alat yang menghamba dan melayani kepent ingan
perjuangan sang fasis demi ide ke-diri-an yang ut uh ini. Inilah pent ingnya melingust isasi “ diri” ;
melepaskan kat a “ diri” dari rujukan biologisnya yang berupa t ubuh manusia; diri adalah efek
bahasa, ef ek kekuasaan, ef ek Simbolik dominan. Kegagalan at ribut-at ribut simbolik memberi
“ diri” bagi sang fasis inilah yang senant iasa menjadi t anah subur bagi berkembangnya
kegelisahan eksist ensial paranoid. Tidak hanya it u, sang fasis pun akan kembali dan kembali
memint a “ pert anggungan-jaw ab” dari yang-Simbolik unt uk memberi “ diri” yang lain dalam
bent uk apapun —mulai payudara silikon, alat kelamin baru, busana bermerk, t ubuh kekar six
pack , sampai komunit as, agama, negara, dan organisasi int ernasional—yang dapat

menenangkan kegelisahan eksist ensialnya. Fasis akan t erus berupaya mengamankan, bahkan
memperluas gest alt diri-nya sampai t ak t erhingga, sepanjang hal it u memberikan perasaan kediri-an yang ut uh bagi sang fasis. Diri, akhirnya, tak lain adalah mesin perang fasis untuk
memperjuangkan gagasan ke-diri-an yang utuh, dan nama lain bagi gagasan ke-diri-an yang
utuh ini tak lain adalah kedaulatan.11

Dalam AUK penulis akan menunjukkan bagaimana baik t ubuh manusia maupun negara
berdaulat modern hanya semat a-mat a merupakan kont ainer sement ara bagi ide ke-diri-an yang
ut uh dan berdaulat . St udi ini juga akan menunjukkan kont inuit as di ant ara keduanya, dan
bahkan memprediksikan kont inuit as ide ke-diri-an pasca negara gagal mengemban t ugasnya
dalam memelihara ide ke-diri-an yang ut uh dan berdaulat t ersebut .
Jadi, secara analit is, gambar besarnya adalah sebagai berikut : semenjak subyek
dicirikan secara ont ologis dengan kegegarannya, maka ia akan senant iasa mengkonst ruksi
fant asi unt uk mengkompensasi kekurangannya t ersebut , dan rela menundukkan diri di baw ah
fant asi t ersebut . Dalam fant asi ini, subyek memroyeksikan, mendeposit kan, menransfer hasrat

11
Unt uk ini, penulis amat berhut ang pada ide Richard Daw kins yang melihat manusia semat a-mat a
sebagai kendaraan ( vehicle) bagi gen-gen kult ural—yang disebut nya meme—unt uk bereplikasi, dan
bereplikasi, dan bereplikasi secara t erus-menerus. Dua buku seminalnya, Richard Daw kins, The Ext ended
Phenot ype, Oxford Uni Press, 1982) dan The Selfish Gene, edisi revisi (Oxf ord: Oxford Uni Press, 1989)

viii

must ahilnya akan ke-diri-an yang ut uh. Fant asi t idak akan pernah habis, sama sepert i
kekurangan

fundament al

manusia yang

abadi. Ada saat nya fant asi

keut uhan

it u

dimanifest asikan dengan ikat an-ikat an seksual, t ribal, nasional, kosmopolit an. Ikat an inipun
dimanifest asikan dengan simbol-simbol t ert ent u. Namun bisa diduga, it u t idak akan pernah
cukup menenangkan subyek, ia akan berusaha memperluas ikat annya dengan fant asi yang
lebih luas lagi, dan mencipt akan simbol lain lagi. Permasalahannya, saat perluasan ini t erjadi,
t ent u ada subyek fasis lainnya yang harus t ersingkir—diabyeksikan. Tent unya pergesekan akan
t erjadi, bahkan t idak menut up kemungkinan peperangan: perang diskursus, perang
linguist ik/semiot ik, bahkan perang fisik.
Dari gambar besar ini sekiranya jelas bahw a dalam aspek paling mikro masyarakat , yait u
individu, t elah terdapat benih-benih fasisme. Sehingga masyarakat sebaiknya didefinisikan
sebagai ant agonisme fasis yang t ak t erhit ung jumlahnya. Sejarah berusaha menet ralisir
ekspansi fasisme t ersebut dengan t erus menerus memperkuat simpt om realit as. Poin utama
dalam memahami rupa-rupa pelembagaan yang-sosial adalah ini: bukan kolektivitas yang
menjadi utama, melainkan bagaimana suatu diskursus fasis mampu memanipulasi hasrat fasis
lain, menguncinya pada domain simbolik, dan melakukan ekspansi diskursifnya.

Paradoks bagi perang di ant ara fasis adalah bahw a perang t ersebut selalu didedikasikan
demi gagasan-gagasan universal sepert i perdamaian, kemajuan, dan kebenaran, sepert i kat a
filsuf Greko-Roman Tacit us, “ t hey make slaught er and t hey call it peace.” 12 Hal ini demikian
karena gagasan-gagasan inilah yang memberikan semangat , mot if, at au cause bagi perjuangan
fasist ik. Gagasan ini t ak lekang di makan zaman, ia pun t ak bisa dikorupsi. Fasis adalah fanat ik,
idealis, dan radikal dalam memperjuangkan gagasan-gagasan universal ini, karena hanya dalam
gagasan-gagasan inilah ident it as ke-diri-an yang ut uh dan berdaulat bagi fasis dit emukan.
Seruan-seruan f asist ik, misalnya “ Indonesia but uh pemuda-pemudi yang pat riot ik,”
“ Demokrasi membut uhkan subyek-subyek rasional,” at au juga seruan Abdul Aziz alias Imam
Samudra,
“ [ A] dalah seorang mujahidin yang menjalankan t ugas suci (jihad). Mereka (mujahidin) dalam sebuah
operasi heroik yang gemilang, yang belum pernah ada t andingannya, dengan menggunakan pesawat
t erbang musuh berhasil menghajar berhala kebanggaan AS.” 13

Tapi apakah definisi diri-diri ini—“ pemuda-pemudi pat riot ik,” “ subyek-subyek rasional,” dan
“ mujahidin yang menjalankan t ugas suci (jihad)” ? Tidak akan t erdapat definisi manunggal yang
f ix bagi ini semua. Kegagalan, bahkan ket idak-mungkinan gagasan universal t ersebut memberi

“ diri” ut uh yang f ix bagi fasis, bukannya membuat sang fasis meninggalkan gagasan t ersebut ,

12
13

Dikut ip dari Michael Hardt dan Ant onio Negri, Empire (Harvard: Harvard Uni Press, 2000), hal. 3.
Abdul Aziz, Imam Samudra: Aku Melaw an Terorisme. (Solo: Jazera, 2004), hal. 185-6.

ix

malah membuat nya semakin gigih dan garang mempert ahankannya. Sekali lagi, karena
sif at nya yang met af isik, gagasan t ersebut t idak akan bisa korup dan lekang.14
Adalah menarik, dan pent ing, unt uk t idak melihat gagasan-gagasan universal t ersebut
secara subst ansial, melainkan secara fungsional. Apapun makna gagasan (yang not abene juga
medan kont est asi pemaknaan), secant ik apapun surga yang dijanjikannya, dan seberat apapun
syarat -syarat unt uk menjadi pembelanya, gagasan-gagasan t ersebut memiliki fungsi unt uk
menjadi pembenar bagi t indakan-t indakan para subyek fasis. Dengan menggeser cara pandang
srukt uralis—yait u st rukt ur menent ukan prilaku subyek—ke arah yang lebih “ humanistik,”
maka dapat dilihat bahwa t idak selamanya st rukt ur menguasai subyek, melainkan juga t erjadi
gerak sebaliknya, yait u saat subyek memaknainya (sering kali secara but a) dan mempolitisir
pemaknaan strukt ur demi membenarkan t indakan-t indakannya. Terjadi over-det erminasi ant ar
st rukt ur-subyek. Sehingga dari pandangan ini, gagasan-gagasan universal t adi t ak ubahnya
sebuah komodit as bagi eksist ensi sang subyek; universalitas merupakan suatu ‘komoditas
kedaulatan’.

Bila pada ekonomi, komodit as berart i apa saja yang bisa dijual demi mendat angkan
profit , maka dengan sedikit modifikasi, komodit as kedaulat an merupakan apa saja yang bisa
“ dijual,” dijadikan ret orika, dan dijadikan landasan bagi lest arinya ( st at us quo ) kedaulat an.
Semenjak kedaulat an adalah suat u hal yang must ahil bagi subyek fasis, maka subyek fasis aka
berupaya mengkompensasinya dengan t erus-menerus mengkomodifikasi gagasan-gagasan
universal t ersebut . Sebagai cont oh, saat pemerint ah berkat a “ pemerintah akan berusaha keras
memperjuangkan kesejaht eraan rakyat ,” maka bukan kesejaht eraan rakyat yang menjadi
hasrat

pemerint ah, melainkan eksist ensi pemerint ah sebagai pejuang dan penyedia

kesejaht eraan rakyat yang dihasrat inya. Cont oh lain, “ sebagai mahasisw a, saya t idak bisa
t inggal diam melihat penindasan dimana-mana” —bukan perlawanan t erhadap penindasan
yang menjadi hasrat saya, melainkan kerinduan narsist ik akan sosok mahasisw a yang heroiklah
yang menjadi obyek hasrat saya. Akhirnya, seluruh kegiat an yang dilakukan oleh subyek fasis,
pada dasarnya dimot ivasi unt uk memperkuat dan memperkokoh eksist ensinya sendiri sebagai
sang berdaulat .
Wacana kebenaran universal, sebagaimana dipahami secara psikogenealogis, bukan
hanya berkait an dengan argument asi, just ifikasi, pendasaran filosofis-idiologis, dan rat ionale
bagi suat u norma at au nilai. Ia juga bukan semat a-mat a berkait an dengan suat u kepent ingan
yang t erselubung. Lebih jauh dari it u, Ia merupakan bungkus dari serat -serat ket aksadaran
subyek pengujarnya. Ia adalah kot ak pandora yang menyegel rupa-rupa hasrat t erlarang. Ia
merupakan pengkodean (coding) sejarah kelam represi hasrat . Ia adalah simpt om yang
mengunci rapat -rapat kegegaran dan ant agonisme yang mengiringi sejarah realit as dan
subyek, dan para subyek bersekongkol unt uk menganggapnya sebagai sesuat u yang normal

14

Penulis amat sangat menyesalkan bagi analisis-analisis ekonomist ik yang mereduksi prilaku fasis
sebagai semat a-mat a akibat ket erpurukan dan ket erbelakangan ekonomi dan pendidikan. Sekali lagi penulis
t ekankan: f asisme adalah ut amanya persoalan hasrat , dan ekonomi hanyalah bersifat sekunder.

x

dan w ajar, dan bekerja-sama unt uk menyingkirkan w acana-w acana dan subyek f asis lainnya
yang dianggap mengganggu st abilit as w acananya. Persekongkolan ini direproduksi t erusmenerus sampai ia menjadi suat u ket aksadaran kolekt if. Sampai di sini, sebagai sebuah w acana
kebenaran universal, rezim adalah skandal diskursif . Demikianlah rezim negara berdaulat , ia
pun t ak kalah scandalous-nya.15
PENUTUP

Terakhir, buku ini tidak akan t erbit t anpa bant uan Geger Riyant o dari penerbit Kepik
Ungu dan t angan dingin Muhammad Damm dalam menyunt ing buku ini. Kepada keduanya
penulis sampaikan banyak t erima kasih.

Ibukot a, di mana kedaulat an begit u berisik,
9 Okt ober 2014,
HYP

KUTIPAN
Aziz, Abdul, Imam Samudra: Aku Melaw an Terorisme. (Solo: Jazera, 2004).
But ler, Judit h, The Psychic Life of Pow er: Theories in Subject ion (St anford: St anford Uni Press, 1997)
Daw kins, Richard, The Ext ended Phenot ype, Oxford Uni Press, 1982) dan The Selfish Gene, edisi revisi
(Oxf ord: Oxford Uni Press, 1989)
Foucault , Michel, “ Niet zsche, Genealogy dan Sejarah,” dalam M.T. Gibbons, peny., Tafsir Polit ik, t erj. Ali
Noer Zaman (Yogyakart a: Qalam, 2002).
Foucault , Michel, “ The Confession of t he Flesh,” dalam M. Foucault , Pow er/Know ledge: Select ed Int er view s
& Ot her Writ ings, 1972-1977, peny. C. Gordon (NY: Pant heon Books, 1980).
Gould, St ephen Jay, The Lying St ones of Marrakech (New York: Harmony Books, 2000).

Guat t ari, Félix, “ Everybody Want s To Be A Fascist ,” t erj. S. Flet cher, Semiot ext (e) II(3) (1977).
Hardt , Michael, dan Ant onio Negri, Empire (Harvard: Harvard Uni Press, 2000).
Herscher, Andrew , “ Everyt hing Provokes Fascism: an int erview wit h Slavoj Žižek,” Assemblage, 33 (Agust us,
1997).
Krist eva, Julia, The Pow ers of Horror: An Essay on Abject ion, t erj. L. S. Roudiez (NY: Columbia Uni Press,
1982).
Polimpung, Hizkia Yosie, Asal Usul Kedaulat an: Telusur Psikogenealogis at as Hasrat Mikrof asis Ber negara
(Depok: Penerbit Kepik, 2014)
Žižek, Slavoj, The Per vert ’s Guide t o Cinema: Lacanian Psychoanalysis and Film (London: Mount Pleasant
St udios, 2006). [ Film Dokument er]

15

Lih. AUK, h. 150-164.

xi