ANALISIS PEMULIHAN TRAUMA PSIKOLOGIS ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN BERDASARKAN UU NO 31 TAHUN 201

  

ANALISIS PEMULIHAN TRAUMA PSIKOLOGIS

ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN

BERDASARKAN UU NO 31 TAHUN 2014

Oleh

Taria Susandhy

  

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2017

  

ANALISIS PEMULIHAN TRAUMA PSIKOLOGIS

ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN

BERDASARKAN UU NO 31 TAHUN 2014

Oleh

Taria Susandhy, Eko Raharjo, Dona Raisa Monica

  Email: tariasusandhyy@gmail.com Tindak pidana perkosaan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dalam tindak pidana ini yang menjadi korban adalah anak dan pasti mengalami trauma psikologis. Akibatnya, setiap anak yang menjadi korban tindak pidana perkosaan harus diberikan bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis sesuai dengan pasal 6 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 2014. Permasalahan yang dikaji oleh penulis adalah bagaimanakah pelaksanaan pemulihan trauma psikologis anak sebagai korban tindak pidana perkosaan dan faktor penghambat dalam pelaksanaan pemulihan trauma psikologis anak sebagai korban tindak pidana perkosaan berdasarkan UU No. 31 Tahun 2014. Penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode analisis adalah kualitatif, dan prosedur pengumpulan data penulisan penelitian yaitu studi kepustakaan dan wawancara. Hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan diperoleh kesimpulan mengenai (1) pelaksanaan pemulihan trauma psikologis anak sebagai korban tindak pidana perkosaan berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU No.

  31 Tahun 2014 dilakukan, diawali penerimaan, korban merupakan rujukan dari kepolisian, LSM, atau Masyarakat kepada Dinas Sosial Provinsi Lampung. Selanjutnya, korban diberikan konseling, bimbingan sosial, dan pendampingan. Tetapi, tidak dilakukan secara merata dan menyeluruh kepada seluruh korban karena ada beberapa aspek yang mempengaruhinya. (2) Faktor penghambatnya adalah Faktor Sarana dan Fasilitas, kurangnya ketersediaan lembaga seperti Rumah Perlindungan Trauma Centre (RPTC) disetiap kab/kota. Kurangnya biaya dan tenaga ahli. Selanjutnya Faktor Masyarakat dan Faktor Budaya yang merupakan aib bagi keluarga. Saran yang dapat penulis berikan adalah diharapkan kepada RPTC agar ada disetiap kab/kota, serta LSM Lada dan Dinas Sosial agar mensosialisasikan bahwa adanya Lembaga untuk memberikan pemulihan bagi korban dan Masyarakat harus segera melaporkan kepada pihak berwajib ketika mengetahui adanya anak yang menjadi korban tindak pidana perkosaan.

  Kata Kunci : Pemulihan, Trauma Psikologis, Perkosaan.

  

AN ANALYSIS ON PSYCHOLOGICAL TRAUMA RECOVERY

OF CHILDREN AS RAPE VICTIMS BASED ON LAW NO 31/2014

By

Taria Susandhy, Eko Raharjo, Dona Raisa Monica

  Email: tariasusandhyy@gmail.com

  

Abstract

The criminal act of rape is a form of violence against the women. In this criminal act, the

victimsarethe children and suffering psychological traumacertainly. As the result, every

child who is being a victim of the criminal act of rape should be given the medical

assistance, psychosocial rehabilitation and also psychological assistance based on Article

6, paragraph 1 of Law No. 31/2014. The research used the approach of juridical

normative and empiric juridical. The method in this research used qualitative, and the

procedure of data collectionused library study and interview. The results of the research

and discussion conducted, obtained the conclusions about (1) the implementation of

trauma recovery of the children psychological as victims of rape criminal act based on

Article 6 paragraph 1 of Law no. 31/2014, it is begun by reception, referring the victim to

the police, LSM, or the Society to the Provincial Social Office of Lampung. (2) The

inhibiting factors are the means and facility factors, lack of the availability of institutions

such as Rumah Perlindungan Trauma Centre (RPTC) in each district/city. The last is due

to lack of cost and the experts. Hereinafter, the factors of community and cultural become

a disgrace for the family. The author suggest and expectto RPTC in every district/city,

LSM Lada and Social Office to socialize that the existence of the Institute to provide the

recovery for the victims and the society must report to the authorities immediately when

they knew of the children who became the victims of rape criminal act.

  Key Words: Recovery, Psychological Trauma, Rape.

I. PENDAHULUAN

  Tindak pidana pada dasarnya dapat terjadi di manapun dan oleh siapapun. Tanpa pandang bulu, tindak pidana dapat pula terjadi kepada anak dan orang dewasa sekali pun. Di Indonesia, anak merupakan penerus cita-cita perjuangan suatu bangsa. Selain itu, anak merupakan dan negara yang akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan serta memiliki peran strategis, mempunyai ciri atau sifat khusus memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.

  berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di dalam kandungan.

  sangat tergantung pada orang dewasa, sangat rentan dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa. Secara psikologis seorang anak dapat dikatakan masih labil karena dianggap belum mampu membuat keputusan untuk dirinya sendiri.

  Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki orang dewasa yaitu hak asasi manusia (HAM). Hak asasi manusia (HAM) pada dasarnya merupakan hak yang dimiliki oleh manusia itu sendiri 1 Mohammad Taufik Makarao, dkk, Hukum

  Perlindungan Anak Dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga , PT.

  Rinika Cipta, Jakarta: 2013, hlm. 1. 2 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

  yang diperoleh sejak ia lahir ke dunia yang tidak dapat di ganggu gugat oleh siapapun. Indonesia sebagai Negara hukum turut menjunjung tinggi hak yang dimiliki manusia sejak lahir tersebut sebagaimana tercermin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  Tindak pidana perkosaan tidak hanya kesadaran dan pengetahuan hukumnya relatif maju, tetapi juga terjadi di kota-kota kecil atau pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat. Dalam tindak pidana ini yang menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak, mengingat bangsa indonesia memandang perempuan dan anak sebagai makhluk yang lemah, oleh karena itu perlu adanya suatu perlindungan bagi korban tindak pidana perkosaan. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan:

1 Anak adalah seseorang yang belum

2 Pada umumnya anak

  a. Bantuan medis; dan

  b. Bantuan rehabilitasi psikologis dan psikososial. Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana, sedangkan anak adalah generasi penerus bangsa yang sepatutnya harus dijaga, dilindungi, dan harus dijamin kesejahteraannya. Sesuai dengan alinea ke empat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut seharusnya seorang anak harus mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kejahatan.

  Perlindungan yang dimaksud adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Dalam melakukan perlindungan hak anak, tidak banyak pihak yang turut memikirkan dan melakukan langkah-langkah konkret. Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya manusia dan mambangun manusia yang seutuhnya.

  Perlindungan anak dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara baik. Hal ini merupakan perwujudan dari adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusaahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, kreatifitas, dan hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak terkendali, sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan kemauan menggunakan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban- kewajibannya.

  Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan pelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar.

  3 Beberapa tahun terakhir

  kejahatan terhadap orang dewasa dan anak-anak semakin meningkat. Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin berkembang, kejahatan yang kerap terjadi tidak hanya menyangkut kejahatan terhadap nyawa dan harta benda lagi, akan tetapi kejahatan terhadap kesusilaan khususnya tindak pidana perkosaan.

  Melihat maraknya pemberitaan di media masa ini kebanyakan lebih memfokuskan ketika ada tindak pidana yang korbannya anak, contohnya kekerasan seksual, masyarakat menuntut pihak yang berwenang agar dapat menghukum pelaku seberat-beratnya untuk memberikan efek jera.

  4 Bahkan

  sekarang ramai diperbincangkan hukuman kebiri bagi pelaku, sebenarnya hal yang sangat penting yang harus dilakukan adalah 3 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum

  Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia , PT. Refika Aditama, Bandung, 2006. hlm. 35 4 Rika Nova, Menghukum Berat Pelaku, Cukupkah? http://www.rikanova.com/2014/04/apakah- bagaimana memulihkan trauma korban dari pada hanya sekedar fokus mengkebiri dan menghukum berat pelaku.

5 Sebab itu menjadi anggapan bahwa

  ketika si pelaku ini di hukum berat maka sudah cukup untuk kepuasan bagi si korban. Padahal faktanya tidak demikian. Bagaimana korban bisa keadaannya yang seperti itu sedangkan hal yang paling privasi dari dirinya telah direnggut oleh orang lain maka itu tidak akan pernah kembali. Korban tindak pidana perkosaan sangat perlu diberikan perhatian dan dipulihkan traumanya apalagi menyangkut tentang anak.

  Setiap pihak korban akan merasakan dampak negatif berupa kerugian dan/atau penderitaan akibat tindak pidana yang menimpanya. Pada tindak pidana perkosaan dalam hal persetubuhan menurut Iswanto dan Angkasa, korban mendapatkan dampak negatif, seperti: luka fisik, kerugian materi, kerugian sosial dan psikologis.

  pidana perkosaan yang dialami menimbulkan beberapa efek, diantaranya depresi, gangguan stres pascatrauma, kegelisahan, kecenderungan untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa dewasa, dan akan menyebabkan anak mengalami trauma yang berkepanjangan.

  5 Pemerkosa Harus Dihukum Berat

  , http://www.republika.co.id/berita/koran/foku s-publik/16/05/20/o7gx076-fokus-publik- pemerkosa-harus-dihukum-berat 6 Iswanto dan Angkasa, Viktimologi , Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, 2011, hlm. 19. 7 Dampak Kekerasan Seksual Pada Anak , https://loveindonesiachildren.wordpress.com

  membahayakan bagi tumbuh kembang anak sehingga anak tidak akan dapat tumbuh dan berkembang secara wajar.

  Peran masyarakat baik itu melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyrakat- an, organisasi sosial, dunia usaha, kan dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, sangat diperlukan. Namun pada kenyataannya, masih banyak anak yang dilanggar haknya, tanpa ia dapat melindungi dirinya, dan tanpa perlindungan yang memadai dari keluarganya, masyarakat, dan pemerintah. Salah satu bentuk tindak pidana yang akhir-akhir ini marak terjadi dimasyarakat yakni kekerasan seksual terhadap anak. Anak korban yang mengalami tindak pidana perkosaan pasti mengalami trauma psikologis. Akibat dari adanya trauma tersebut harusnya setiap anak yang menjadi korban tindak pidana perkosaan wajib diberikan rehabilitasi psikologis dan psikososial sesuai dengan undang-undang yang telah mengaturnya. Berdasarkan prasurvei lembaga yang memberikan pemulihan atau rehabilitasi psikologis dan psikososialnya untuk di Provinsi Lampung sudah ada, namun belum jelas apakah upaya-upaya tersebut sudah dilaksanakan dengan baik atau belum.

6 Dampak dari tindak

7 Trauma tersebut dapat

  Berdasarkan uraian latar belakang di atas, Penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dan mengangkatnya dalam bentuk skripsi yang berjudul “Analisis Pemulihan

  Trauma Psikologis Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perkosaan

  Berdasarkan UU No. 31 Tahun 2014.”

  Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini adalah:

  1. Bagaimanakah pelaksanaan pemulihan trauma psikologis anak sebagai korban tindak pidana perkosaan berdasarkan Undang- Undang No. 31 Tahun 2014? pelaksanaan pemulihan trauma psikologis anak sebagai korban tindak pidana perkosaan berdasarkan Undang-Undang No.

  31 Tahun 2014? Pendekatan masalah yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan bersifat Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. Metode yang digunakan penulis antara lain dengan cara studi pustaka serta wawancara. Pengolahan data dilakukan dengan cara seleksi data, klasifikasi data, dan sistematisasi data. Kemudian sistem analisis yang digunakan ialah analisis kualitatif.

  Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah kekerasan berbasis gender yang telah terungkap dari beberapa studi yang pernah dilakukan. Menghasilkan data bahwa baik dalam kondisi damai atau konflik, perempuan sering menjadi sasaran dari kekerasan fisik, mental, psikologis, dan seksual. Kekerasan ini bisa terjadi dimana saja, termasuk dalam lingkup keluarga. Dalam kekersan terhadap perempuan yang dijadikan sasaran memang tubuh perempuan, tetapi dampaknya ada pada diri pribadinya secara total, yakni trauma. Dengan demikian korban memerlukan bantuan psikologis khusus untuk pemulihannya.

  8

  sesuatu sehingga menjadi seperti asalnya. Berarti juga memperbaiki, memperbarui, mengembalikan kepada keadaan atau kegunaan semula. Dikenal juga dalam suatu proses untuk membuat keadaan kembali seperti semula atau dapat dikatakan sembuh. Trauma psikologis merupakan akibat dari adanya pengalaman traumatik yang terjadi pada diri seseorang, sebenarnya untuk menentukan suatu kejadian merupakan pengalaman traumatik adalah hal yang bersifat subjektif. Suatu kejadian ketika dapat membuat seseorang terancam, tidak berdaya, dan ketakutan, maka kejadian tersebut sudah dapat dikatakan sebagai pengalaman traumatik. Trauma psikologis dapat menyertai trauma fisik atau ada secara independen dari itu. Penyebab khas dari trauma psikologis biasanya mengenai pelecehan seksual,

II. PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Pemulihan Trauma Psikologis Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perkosaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 2014

  bullying , kekerasan dalam rumah

  tangga, dan bencana alam, di mana pengalaman yang di alami korban terjadi pada masa kanak-kanak. Melihat kondisi anak yang mengalami trauma psikologis karena 8 Saparinan Sadli, Berbeda Tetapi Setara; Pemikiran Tentang Kajian Perempuan , PT.

  Kompas Media Nusantara, Jakarta: 2010, menjadi korban suatu tindak pidana dalam hal ini perkosaan sangatlah memerlukan suatu perlindungan hukum yang khusus dari berbagai pihak, tidak hanya orang tua dan masyarakat sekitar yang memiliki tanggung jawab melainkan peran pemerintah. Agar meminimalisir dan bahkan menghentikan segala kekerasan seksual yang dapat di mendirikan suatu lembaga yang menampung korban tindak kekerasan dimana di dalamnya di berikan proses pemulihan atau rehabilitasi baik medis, psikologis, dan psikososialnya.

  Anak sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual salah satunya tindak perkosaan berhak mendapatkan bantuan hukum dan disembunyikan identitiasnya. Selain dua hal itu ada juga upaya edukasi tentang nilai kesusilaan, rehabilitasi sosial, pendamipingan psikososial pada saat pengobatan serta pendampingan sampai ditingkat pengadilan, agar kondisi anak tersebut tidak mengalami trauma psikis yang berkepanjangan. Biasanya masyarakat tidak memperdulikan pemulihan kembali masalah fisik dan mental anak, biasanya yang masyarakat sorot permasalahnnya adalah seberapa lama pelaku tersebut memperoleh hukuman. Pemikiran yang seperti ini yang sebenarnya salah, bahwa tidak hanya fokus kepada pelaku saja, namun ada korban yang harus di berikan perlindungan hukum terutama yang menyangkut tentang anak. Mengingat korbannya ini menyangkut tentang perkosaan terhadap seorang anak, maka dampaknya pun kepada korban lebih bervariasi, bisa menimbulkan penyakit kelamin seperti HIV, lalu korban lebih tertutup karena malu, takut, cemas yang berlebih dirasakan dan bahkan bisa terjadi kehamilan bagi korbannya. Jadi pada posisi korban ini lebih banyak merasakan dampaknya baik itu yang dialami sendiri atau mengenai lingkungan

  9 Berdasarkan hasil wawancara dengan

  seluruh narasumber, penulis dapat menganalisis bahwa Perlunya perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perkosaan tidak lepas dari akibat yang dialami anak korban setelah kejadian yang dialaminya. Korban tidak saja mengalami penderitaan secara fisik tetapi juga penderitaan secara psikologis. Adapun penderitaan yang diderita sebagai korban tindak pidana perkosaan dapat dibedakan menjadi:

  1. Dampak secara fisik: Antara lain: luka fisik dapat berupa memar, luka pada alat kelamin, infeksi pada alat kelamin, dapat menimbulkan penyakit kelamin, dan dapat mengakibatkan kehamilan.

  2. Dampak secara psikologis: Antara lain: pemurung, pemalu, pendiam, menyalahkan diri sendiri, menarik diri dari sekitar, takut kepada lawan jenis, ingin bunuh diri, putus asa, sulit mempercayai seseorang, ketergantungan dengan sex, dan lebih agresif. 9

  (Hasil wawancara pada tanggal 3 Maret 2017 pukul 10.45 WIB) Dr. Erna Dewi, S.H., M.H. selaku Dosen Bagian Hukum

  3. Dampak pada kehidupan pribadi dan lingkungan sekitar: Antara lain: dijauhi teman, menjadi buah bibir masyarakat sekitar, takut dengan pria, emosi ketika melihat pria, menghindari setiap pria, dll. Untuk memberikan berbagai informasi yang diperlukan, yang masalah. Cara lain yang dapat dilakukan untuk membantu korban menuju ke proses pemulihan adalah dengan mengandalkan partisipasi anggota masyarakat yang terorganisir secara baik untuk memberikan dukungan dan bantuan yang dibutuhkan korban, termasuk merujuk kasus-kasus kekerasan yang ditemukan di dalam masyarakat tersebut ke lembaga-lembaga yang dapat memberikan bantuan secara profesional. Masyarakat juga dapat membantu dengan cara tidak mendiskriminasi- kan korban dan memberikan peluang bagi korban untuk bersosialisasi dengan sesama anggota masyarakat lainnya. Hal ini akan membantu mengembalikan kepercayaan diri si korban, dan membuat ia merasa kuat karena yakin bahwa dia tidak sendirian dalam menghadapi masalahnya. Saat seseorang pulih, orang tersebut akan menyadari bahwa gejala-gejala yang dialaminya setelah peristiwa traumatis tersebut berkurang, tidak separah yang dialami sebelumnya, dan tidak mengganggunya seperti pada saat awal korban merasakan gejala-gejala tersebut. Korban juga mulai menghayati keberdayaan, termotivasi untuk melakukan langkah-langkah tertentu yang positif bagi hidupnya dan bagi kehidupan orang-orang lain disekitarnya. Adanya pemulihan trauma psikologis dan psikososialnya bagi korban ini merupakan suatu hal yang baik bagi kehidupannya agar dapat menjalankan yang terbaik untuk dirinya dimasa sekarang dan untuk dimasa depan. Pelaksanaan diawali oleh penerimaan, dimana korban merupakan rujukan dari kepolisian, LK3, LSM/ORSOS, Instansi, atau Masyarakat kepada Dinas Sosial Provinsi Lampung. Setelah diterima, korban selanjutnya mendapatkan pelayanan mengenai permaslahannya yang mencakup konseling, bimbingan sosial, trauma

  healing , dan pendampingan. Tetapi,

  hal ini tidak dilakukan secara merata dan menyeluruh didapat oleh seluruh korban karena ada beberapa aspek yang membuat pelaksanaan tersebut belum bisa berjalan sepenuhnya. Karena dalam pelaksanaannya terdapat beberapa faktor penghambat.

  B. Faktor Penghambat dari Pelaksanaan Pemulihan Trauma Psikologis Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perkosaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 2014

  Masalah utama dalam pemulihan trauma psikologis anak sebagi korban tindak pidana perkosaan adalah suatu yang sangat kompleks. Dengan timbulnya berbagai macam permasalahan yang tidak selalu dapat diatasi secara perorangan saja, tetapi masalah ini harus diselesaikan secara bersama-sama. Penyelesaian- nya pun menjadi tanggung jawab bagi seluruh lapisan masyarakat. Teori yang dipakai dalam membicarakan masalah faktor penghambat dalam pemulihan trauma psikologis anak sebagai korban tindak pidana ini yaitu teori faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dari soerjono soekanto, yaitu:

  1. Faktor Perundang-undangan

  2. Faktor penegak hukum

  3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung

  4. Faktor masyarakat

  5. Faktor Kebudayaan Berdasarkan studi wawancara yang dilakukan dengan narasumber maupun dari hasil pustaka, ditemukan beberapa faktor yang menjadi penghambat dari pelaksanaan pemulihan trauma psikologis anak sebagai korban tindak pidana perkosaan berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Faktor penghambat tersebut dapat diperjelas dan dirinci sebagai berikut:

  1. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup adalah kunci dari keberhasilan suatu lembaga. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, pemulihan trauma psikologis terhadap anak sebagai korban tindak pidana perkosaan tidak dapat berjalan dengan lancar dan sebagaimana mestinya.

  Berdasarkan analisis dengan narasumber bahwa upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban tindak kekerasan dan meminimalisir terjadinya tindak kekerasan di masyarakat, maka perlu pembangunan lembaga yang benar- benar nyaman serta dapat mengatasi permasalahan tindak kekerasan yang terjadi dengan cara memberikan bantuan rehabilitasi medis, rehabilitasi psikologis dan mendirikan Rumah Perlindungan Trauma Centre (RPTC) yang berfungsi sebagai rumah aman bagi korban tindak kekerasan dan pelecehan seksual.

  Sudah semestinya adanya lembaga yang mampu menampung dan bahkan menjadi solusi baik bagi para korban khususnya anak dan perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan. Seharusnya pemerintahan kabupaten atau kota berkontribusi dengan lembaga- lembaga yang memiliki kepedulian terhadap korban tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebab ketika seorang anak menjadi korban tindak kekerasan mereka butuh tenaga professional yang dapat memahami keadaannya. Sebagai contoh konselor atau psikolog yang mempunyai keahlian khusus dalam melakukan konseling atau penyuluhan. Kurangnya biaya yang seharusnya di salurkan dari pemerintahan kabupaten atau kota untuk pelaksanaan dalam memberikan perlindungan bagi korban tindak kekerasan sehingga tidak dapat mempekerjakan tenaga ahli dan melakukan penjangkauan kepada korban. Dan juga mengenai Rumah Perlindungan Trauma Centre ini sebaiknya dimiliki di beberapa kabupaten, agar para korban di kabupaten yang terdekat bisa terjangkau dengan baik.

  2. Faktor masyarakat Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan dalam pemulihan trauma psikologis anak sebagai korban tindak pidana perkosaan. Menurut Farichah Noor sangat mempengaruhi untuk psikologis korban. Kebanyakan masyarakat fokus kepada pelaku harus dihukum berat dan tanpa mengetahui permasalahannya malah mencibir atau menjadikan bahan pembicaraan dan itu sangat membebani korban.

  Penulis sependapat dengan pendapat para narasumber bahwa faktor masyarakat memiliki andil yang cukup kuat bagi pemulihan psikologis korban. Untuk kasus korban perkosaan kebanyakan korban mendapatkan perlakuan yang bukannya melindungi dirinya tetapi malah membuatnya semakin terpuruk. Korban dalam hal seperti ini dapat menjadi korban untuk kedua kalinya. Karena korban telah menjadi korban dalam tindak pidana perkosaan dan menjadi korban lagi dalam hal ini psikologisnya di lingkungan sekitarnya.

  3. Faktor Kebudayaan Faktor budaya merupakan salah satu penghambat yang membuat pemulihan trauma psikologi korban tindak pidana perkosaan menjadi tidak maksimal. Umumnya factor budaya tersebut merupakan konsep moralitas dan aib. Di mana perkosaan merupakan hal yang sangat sensitive yang menyangkut tidak hanya korban namun tentang keluarga dan masyarakat sekitar.

  Berdasarkan uraian dari beberapa pendapat narasumber, Penulis dapat menganalisis bahwa faktor yang paling dominan menghambat pelaksanaan pemulihan trauma psikologis anak sebagai korban tindak pidana berdasarkan Undang- faktor sarana dan fasilitas. Penulis melihat masih kurangnya ketersediaan lembaga pemerintah seperti rumah perlindungan trauma centre di setiap kabupaten dan kota, ini yang menjadi salah satu penghambat bagi korban untuk dapat segera mendapatkan bantuan rehabilitasi psikologisnya.

  III. PENUTUP

  A. Simpulan

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik Simpulan sebagai berikut :

  1. Pelaksanan pemulihan trauma psikologis anak sebagai korban tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang mewajibkan bahwa setiap korban kekerasan seksual salah satunya tindak pidana perkosaan harus mendapatkan bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Berdasarkan hasil penelitian di Provinsi Lampung pelaksanaan rehabilitasi tersebut melalui tahap penerimaan, pendampingan, konseling dan bimbingan sosial telah diberikan. Tetapi, hal ini tidak dilakukan secara merata dan menyeluruh Swadaya Masyarakat (LSM) Lada didapat oleh seluruh korban atau Lembaga Pemerintahan lain karena ada beberapa aspek yang seperti P2TP2A untuk dapat membuat pelaksanaan tersebut mensosialisasikan kepada belum bisa berjalan sepenuhnya. masyarakat yang berada di Karena dalam pelaksanaannya wilayah kabupaten dan kota terdapat beberapa faktor bahwa adanya Lembaga dan penghambat. Rumah Aman yang dapat memberikan pemulihan baik fisik,

  2. Faktor penghambat dalam psikologis, dan psikososialnya sebagai korban tindak pidana perkosaan. perkosaan berdasarkan Undang-

  2. Masyarakat diharapkan ketika Undang Nomor 31 Tahun 2014 mengetahui adanya anak yang adalah Faktor Sarana dan Fasilitas menjadi korban tindak pidana yang mendukung, kurangnya perkosaan untuk segera ketersediaan lembaga seperti melaporkan kepada pihak yang rumah perlindungan trauma centre berwajib agar anak korban segera (RPTC) di setiap kabupaten atau mendapatkan bantuan medis, kota, kurangnya biaya dan tenaga bantuan rehabilitasi psikososial ahli seperti konselor atau dan psikologis. psikolog. Faktor Masyarakat seperti peran lingkungan DAFTAR PUSTAKA sekitarnya akan ucapan dan perlakuan terhadap korban. Gultom, Maidin. 2006. Perlindungan Terakhir adalah Faktor Budaya Hukum Terhadap Anak Dalam yang merupakan konsep moralitas Sistem Peradilan Pidana Anak dan aib yang menyangkut tidak Di Indonesia . Bandung: PT. hanya korban namun tentang Refika Aditama. keluarga dan masyarakat sekitar. Namun Faktor yang paling Iswanto dan Angkasa. 2011. dominan yang dapat menghambat Viktimologi . Purwokerto: pemulihan psikologis anak Fakultas Hukum Universitas sebagai korban tindak pidana Jenderal Soedirman. perkosaan adalah Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung. Makarao, Mohammad Taufik. dkk.

  2013. Hukum Perlindungan

B. Saran

  Anak Dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

  Selain simpulan yang telah Tangga . Jakarta: PT. Rinika dirumuskan di atas, penulis akan Cipta. memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan penelitian ini, Sadli, Saparinan. 2010. Berbeda yaitu:

  Tetapi Setara; Pemikiran 1. Rumah Perlindungan Trauma Tentang Kajian Perempuan .

  Centre (RPTC) diharapkan ada di Jakarta: PT. Kompas Media setiap kabupaten atau kota, serta Nusantara. kepada Dinas Sosial dan Lembaga Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. https://loveindonesiachildren.wordpr ess.com/2016/06/23/25458/ http://www.republika.co.id/berita/kor publik/16/05/20/o7gx076- fokus-publik-pemerkosa-harus- dihukum-berat http://www.rikanova.com/2014/04/a pakah-hukuman-berat-bagi- pelaku.html

Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN BISNIS ONLINE

0 0 11

PERANAN AHLI TOKSIKOLOGI FORENSIK DALAM UPAYA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA Oleh Mirna Andita Sari, Eddy Rifai, Gunawan Jatmiko Email: mirnaanditagmail.com Abstrak - PERANAN AHLI TOKSIKOLOGI FORENSIK DALAM UPAYA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PE

0 0 12

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TRAFFICKING YANG MERAMPAS ANAK SEBAGAI JAMINAN UTANG (Study Kasus Wilayah Hukum Polda Lampung) Jurnal

0 0 14

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (Studi di Wilayah Hukum Bandar Lampung) Ernita Larasati, Eko Raharjo S.H., M.H., Gunawan Jatmiko S.H., M.H. email: (ernita1995gmail.com) Abstrak - ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERH

0 0 8

ANALISIS PERRLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENAHANAN TERSANGKA PADA TINGKAT PENYIDIKAN BERDASARKAN PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 (STUDI KEPOLISIAN RESOR LAMPUNG BARAT) Oleh Devolta Diningrat, Eddy Rifai, Tri Andrisman

0 0 11

IMPLEMENTASI WHISTLE BLOWER DALAM MENGUNGKAPKAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 14

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN KETERTIBAN UMUM (Studi Kasus Penghinaan Lambang Negara oleh Zaskia Gotik)

0 1 14

ANALISIS PENYIDIKANTERHADAP PELAKU PENGANCAMAN KEKERASAN ATAU MENAKUT-NAKUTI YANG DITUJUKAN SECARA PRIBADI MELALUI MEDIA ELEKTRONIK (No :LP/B-/118/X/2015/SPKT Polda Lampung)

0 0 14

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (Studi putusan PN Nomor 500/Pid.B/2016/Pn.Tjk)

0 0 15

ANALISIS KEADILAN RESTORATIF DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN KERUGIAN NEGARA YANG KECIL OLEH KEJAKSAAN NEGERI BANDAR LAMPUNG

0 0 14