ANALISIS KEADILAN RESTORATIF DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN KERUGIAN NEGARA YANG KECIL OLEH KEJAKSAAN NEGERI BANDAR LAMPUNG

ANALISIS KEADILAN RESTORATIF DALAM PENYELESAIAN TINDAK
PIDANA KORUPSI DENGAN KERUGIAN NEGARA YANG KECIL OLEH
KEJAKSAAN NEGERI BANDAR LAMPUNG

(Jurnal)

Oleh
VERDINAN PRADANA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017

ABSTRAK
ANALISIS KEADILAN RESTORATIF DALAM PENYELESAIAN TINDAK
PIDANA KORUPSI DENGAN KERUGIAN NEGARA YANG KECIL OLEH
KEJAKSAAN NEGERI BANDAR LAMPUNG
Oleh :
Verdinan Pradana, Sunarto, Diah
Email : Verdinanpradana0@gmail.com

Tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary
Crimes) sehingga dalam penanganannya menggunakan cara-cara yang luar biasa (Extra
Ordinary Enforcement), terdapat pergeseran paradigma pemidanaan dalam penyelesaian
kasus korupsi berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B-1113/F/Fd.1/05/2010
dengan menggunakan metode restorative justice yang mempertimbangkan untuk tidak
memberikan sanksi pidana terhadap pelaku korupsi dengan nilai kerugian negara yang
kecil. Permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah penyelesaian tindak pidana
korupsi dengan kerugian negara yang kecil berdasarkan keadilan restoratif oleh kejaksaan
negeri bandar lampung dan bagaimanakah Efektivitas Surat Edaran Jaksa Agung RI
Nomor : B-1113/F/Fd.1/05/2010 Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi Dengan
Kerugian Negara Yang Kecil. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan ini
adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data primer diperoleh secara
langsung dari penelitian lapangan yakni, wawancara terhadap Jaksa Kejaksaan Negeri
Bandar Lampung dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data
sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan meliputi literatur, peraturan perundangundangan, dokumen resmi dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan,
bahwa penyelesaian tindak pidana korupsi dengan kerugian negara yang kecil melalui
pendekatan restoratif justice dan metode alternative dispute resolution yang
mempertimbangankan kerugian kecil dibawah Rp. 300 juta, adanya rasa kesadaran
masyarakat yang mengembalikan kerugian keuangan negara, tidak bersifat still going on
dan tidak mengganggu hajat hidup masyarakat. Restorative Justice efektiv untuk

mengatasi permasalahan korupsi dengan kerugian negara yang kecil guna penyelamatan
kerugian keuangan negara yang dialami dan pemulihan bagi pelaku korupsi. Saran dalam
penelitian ini adalah diharapkan pemerintah menggunakan restoratif Justice sebagai
metode alternatif pengganti sistem peradilan pidana, dan sebaiknya Surat Edaran tersebut
dicabut atau direvisi kembali agar dijadikan sebagai ketentuan normative.
Kata Kunci : Penyelesaian, Korupsi, Keadilan Restoratif.

I.

PENDAHULUAN

Korupsi dari bahasa latin : Corruption
dari kata kerja Corrumpere yang
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik,
menyogok.
Secara
harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat
publik, baik politis maupun pegawai
negeri, yang secara tidak wajar dan tidak

legal memperkaya diri atau memperkara
mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik
yang dipercayakan kepada mereka.1
Dalam kaidah bahasa menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia “Korupsi”
diartikan sebagai perbuatan yang buruk
seperti Penggelapan Uang, Penerimaan
Uang Sogok dan sebagainya. Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
bahwa “Korupsi” diartikan sebagai
penyelewengan atau penyalahgunaan
uang negara untuk kepentingan dan
keuntungan pribadi sendiri atau orang
lain.2
Korupsi merupakan salah satu jenis
kejahatan yang semakin sulit dijangkau
oleh aturan hukum pidana, karena
perbuatan korupsi bermuka majemuk
disertai pola perbuatan yang sedemikian

rapi. Oleh karena itu, perubahan dan
perkembangan hukum merupakan salah
satu untuk mengantisipasi korupsi
tersebut.3
Tindak Pidana Korupsi telah menjadi
kejahatan yang dianggap merusak sendisendi kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Kerugian negara yang
diakibatkan oleh Tindak Pidana Korupsi
sudah
masuk
dalam
kategori
1

Http://id.wikipedia.org/wiki/korupsi.11/09/201
2 23:01. Diakses pada tanggal 14 Agustus 2016
Pukul 23.01 WIB
2
Rinaldy Amrullah Dkk, 2015, Tindak Pidana
Khusus Diluar KUHP, Bandar Lampung, Justice

Publisher, hlm. 31

membahayakan. Korupsi di indonesia
merupakan persoalan bangsa yang
bersifat recurrentdan darurat yang telah
dihadapi bangsa indonesia dari masa ke
masa dalam rentang waktu relatif lama.
Penegakan hukum terhadap Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN) selama
ini.
Seyogyanya,
perwujudan
pemerintahan yang baik dan bersih
tergantung pada efektifitas penegakan
hukum dalam upaya menanggulangi
masalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN) yang menjadi masalah besar
bangsa Indonesia sebagai suatu negara
hukum.4
Korupsi mempunyai nilai kerugian

keuangan negara yang relatif besar dan
relatif kecil dimana negara mempunyai
misi optimalisasi penanganan perkara
tindak pidana korupsi yang berorientasi
secara maksimal dalam penyelamatan
kerugian negara yang dilakukan secara
profesional dan proporsional oleh
Lembaga Kejaksaan dari Kejaksaan
Agung, Kejaksaan Tinggi sampai
Kejaksaan Negeri. Kejaksaan Republik
Indonesia adalah lembaga pemerintah
yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan serta kewenangan
lain berdasarkan undang-undang.5
Kejaksaan adalah alat kekuasaan dari
pemerintah, dalam segala tindakan
ditunjukan untuk menjunjung tinggi hakhak asasi manusia dan harkat serta
martabat manusia dan negara hukum.
Jaksa sebagai alat kekuasaan dari
pemerintah memiliki tugas pokok yang

diatur dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
3

Suarachim dan Suhandi Cahaya, 2011, Strategi
dan Teknik Korupsi, Jakarta, Cetakan Pertama,
Sinar Grafika, hlm. 11
4
Teguh Sulistia,2012,Hukum Pidana Horizon
Baru Pasca Reformasi, Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, hlm 189
5
Pasal 2, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004
Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Indonesia yang antara lain adalah:
mengadakan penuntutan dalam perkara
pidana pada pengadilan yang berwenang
dan menjalankan putusan dan penetapan
hukum pidana, mengadakan penyidikan

lanjutan terhadap kejahatan dan
pelanggaran serta mengawasi dan
mengkoordinasikan dengan penyidik
menurut ketentuan yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Upaya penegakan hukum dari aparat
penegak
hukum
dalam
rangka
tercapainya kedamaian dan ketentraman
di masyarakat dan aparat penegak
hukum
yaitu
salah
satunya
dikeluarkannya Surat Edaran Jaksa
Agung Muda Pidana Khusus Nomor: B113/F/Fd.1/05/2010 tanggal 18 Mei
2010, salah satu poin dalam isinya

adalah menginstruksikan kepada seluruh
Kejaksaan Tinggi yang isinya himbauan
agar dalam kasus dugaan tindak pidana
korupsi, masyarakat yang dengan
kesadaran
telah
mengembalikan
kerugian Negara perlu dipertimbangkan
untuk tidak ditindaklanjuti atas berlaku
asas restorative justice. Tetapi walau
dalam Surat Edaran Jaksa Agung Muda
Pidana
Khusus
Nomor
:
B113/F/Fd.1/05/2010 tanggal 18 Mei
2010 tersebut dikeluarkan guna
memfokuskan penanganan terhadap
tindak pidana korupsi dengan kerugian
Negara yang besar, namun tetap saja

tindak pidana korupsi dengan kerugian
yang kecil masih banyak tetap diproses
untuk
disidangkan.Sepanjang
kerugiannya tidaak terlalu besar dan
pelaku dengan kesadaran sendiri telah
mengembalikan seluruh kerugian yang
diakibatkan maka bisa diselesaikan
diluar pengadilan (Prinsip Restoratif
Justice).
Konsep keadilan restoratif pada
dasarnya sederhana, ukuran keadilan
tidak lagi berdasarkan pembalasan

setimpal dari korban kepada pelaku
(Baik fisik, psikis atau hukuman), namun
perbuatan yang menyakitkan itu
disembuhkan
dengan
memberikan

dukungan
kepada
korban
dan
mensyaratkan
pelaku
untuk
bertanggungjawab.
Berdasarkan suatu kasus Tindak Pidana
Korupsi yang Nilai Kerugian Negara
Relatif Kecil pada kasus dugaan
penyimpangan dana desa tahun anggaran
2015 yang merugikan negara senilai Rp.
109.000.000 (Seratus Sembilan Juta
Rupiah) yang dilakukan oleh Widodo
Kakam alias dodo yang penyelesaiannya
menggunakan metode Restoratif Justice
dengan mengembalikan kerugian negara
senilai Rp. 109.000.000 (Seratus
Sembilan Juta Rupiah) sehingga Widodo
Kakam tidak diberikan sanksi pidana.
Terdapat suatu kasus tindak pidana
korupsi yang nilai kerugian negara relatif
kecil yaitu senilai Rp. 113.534.294
(Seratus Tiga Belas Juta Lima Ratus
Tiga Puluh Empat Ribu Dua Ratus
Sembilan Puluh Empat Rupiah) pada
dugaan penyalahgunaan uang alokasi
dana kampung (ADK) yang dilakukan
oleh Muslim (M) yang penyelesaian
perkara korupsi tersebut dilakukan
dengan
menggunakan
proses
persidangan tidak dengan restorative
justice meskipun kerugian keuangan
negara ber-skalla kecil.
Melihat dari dua kondisi yang sama
namun berbeda dalam penyelesaiannya
membuat Surat Edaran Jaksa Agung
Muda Pidana Khusus Nomor : B113/F/Fd.1/05/2010 tanggal 18 Mei
2010 tidak memiliki kepastian hukum
dalam implementasinya.
Berdasarkan latar belakang tersebut
diatas, maka penulis tertarik untuk
mengkaji lebih dalam mengenai keadilan
restoratif yang dilakukan oleh kejaksaan

dalam menunjang pemberantasan tindak
pidana korupsi dengan nilai kerugian
negara yang kecil setelah berlakunya
Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Khusus (Jampidsus) Nomor : B1113/F/Fd.1/05/2010 dalam rangka demi
terciptanya keadilan, sehingga penulis
membuat Skripsi yang berjudul :
Analisis Keadilan Restoratif Dalam
Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi
Dengan Kerugian Negara Yang Kecil
Oleh
Kejaksaan
Negeri
Bandar
Lampung.
Berdasarkan uraian latar belakang
tersebut maka permasalahan yang aan
dibahas dan dikembangkan dalam
penulisan skripsi ini adalah :
1. Bagaimanakah Penyelesaian Tindak
Pidana Korupsi Dengan Kerugian
Negara Yang Kecil Berdasarkan
Keadilan Restoratif Oleh Kejaksaan
Negeri Bandar Lampung?
2. Bagaimanakah Efektivitas Surat
Edaran Jaksa Agung RI Nomor : B1113/F/Fd.1/05/2010
Dalam
Penyelesaian
Tindak
Pidana
Korupsi Dengan Kerugian Negara
Yang Kecil?
Pendekatan masalah yang dipergunakan
dalam penulisan ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris.
Data primer diperoleh secara langsung
dari penelitian di lapangan yang ada
hubungannya dengan masalah yang
diteliti, yakni dilakukan wawancara
terhadap Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar
Lampung dan Dosen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Data sekunder diperoleh dari penelitian
kepustakaan yang meliputi buku-buku
literatur,
peraturan
perundangundangan,dokumen-dokumen resmi dan
lain-lain.

II. PEMBAHASAN
A. Penyelesaian Tindak Pidana
Korupsi
Dengan
Kerugian
Negara Yang Kecil Melalui
Pendekatan Keadilan Restoratif
Pendekatan
Keadilan
Restoratif
mengutamakan agar pelaku dan koban
dapat melakukan mediasi dengan tujuan
merestorasi kerugian yang telah diderita
oleh korban seperti sediakala dengan
demikian perdamaian pun dapat dicapai
sehingga penyelesaian tindak pidana
cukup diselesaikan di luar pengadilan
pidana yang sesuai dengan perundangundangan. Penerapan konsep restoratif
justice dalam penyelesaian tindak pidana
korupsi dengan kerugian negara yang
kecil dituangkan dalam Surat Edaran
Jaksa
Agung
RI
Nomor:
B1113/F/Fd.1/05/2010 tanggal 10 Mei
2010 tentang Prioritas Dan Pencapaian
Dalam Penanganan Perkara Tindak
Pidana Korupsi memiliki berbagai
permasalahan yang ditimbulkan dalam
pandangan masyarakat karena dengan
keluarnya Surat Edaran tersebut
menyebabkan adanya pandangan bahwa
Tindak Pidana Korupsi yang bersakala
kecil itu dilegalkan oleh negara.
Pelaksanaan
pendekatan
keadilan
restoratif dalam menyelesaikan suatu
perkara pidana adalah dengan cara
pengalihan proses penyelesaian pidana
keluar proses peradilan pidana dan
diselesaikan dengan proses mediasi atau
musyawarah
yang
menghasilkan
perdamaian di antara pelaku dan korban.
Mediasi atau musyawarah dilakukan
tidak hanya untuk menghasilkan
perdamaian tetapi juga untuk mencapai
poin-poin kesepakatan untuk yang
mengatur hak dan kewajiban pelaku
maupun korban dengan tujuan untuk
mendapatkan
keseimbangan
atau
keadilan dan pemulihan keadaan korban.

Definisi Restorative Justice menurut
Desiyana6 bahwa pendekatan restoratif
justice merupakan salah satu bentuk
pergeseran sistem peradilan pidana yang
ada saat ini dengan mayoritas
menggunakan Pelaku, Korban dan
Keadilan Masyarakat untuk mencapai
adil yang dirasakan sesama.
Selanjutnya menurut Erna Dewi7
Restorative Justice merupakan upaya
penyelesaian masalah pidana yang
melibatkan pelaku, korban serta
masyarakat untuk berkumpul jadi satu
dalam menyelesaikan masalah secara
bersama-sama sehingga menghasilkan
suatu kata adil di para pihak.
8

Kemudian menurut Maroni adanya
suatu perkara pidana yang menggunakan
pendekatan
restorative
justice
merupakan
suatu
gagasan
yang
mengubah sistem peradilan pidana saat
ini dengan memprioritaskan keadilan
yang ada pada masyarakat serta memberi
kan kesempatan bagi pelaku dan korban
untuk menyelesaikan permasalahannya
sendiri secara dewasa.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat
didefinisikan bahwa Restorative Justice
merupakan suatu konsep atau gagasan
pemikiran yang timbul sebagai upaya
alternatif untuk menggantikan sistem
peradilan pidana yang berlaku pada saat
ini dengan menitikberatkan pada
penyelesaian perkara pidana secara
bersama-sama yang melibatkan Pelaku,
6

Wawancara pada Desiyana sebagai Jaksa
Pratama Kejaksaan Negeri Bandar Lampung.
Tanggal 30 Januari 2017 pukul 10.39 WIB
7
Wawancara pada Erna Dewi sebagai Dosen
Bagian Hukum Pidana FH Unila. Tanggal 1
Februari 2017 pukul 11.00 WIB
8
Wawancara pada Maroni sebagai Dosen
Bagian Hukum Pidana FH Unila. Tanggal 9
februari 2017 pukul 10.15 WIB
9
Wawancara Pada Syafei sebagai Jaksa Muda
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri

Korban dan Masyarakat untuk mencapai
kesepakatan dalam menyelesaikan
permasalahannya secara sendiri dan
menciptakan keadilan bagi sesama.
Dewasa ini konsep Restorative Justice
terus dipergunakan di indonesia dan
tanpa
melihat
dari
klasifikasi
kejahatannya dan dibuktikan pada
penanganan perkara korupsi dengan nilai
kerugian negara yang kecil dan tidak
bersifat still goin on (tindak pidana
korupsi yang dilakukan terus menerus
atau berkelanjutan) sesuai dengan
pedoman Surat Edaran Jaksa Agung RI
Nomor: B-1113/F/Fd.1/05/2010.
Definisi
korupsi
menurut
9
Syafei diartikan berdasarkan perbuatan
manusia yang tergolong dalam suatu
tindak pidana luar biasa yang
mengakibatkan dampak bagi kerugian
dan
perekonomian
negara,
menyalahgunakan wewenang serta
merusak sendi-sendi negara.
Selanjutnya menurut Desiyana10 bahwa
korupsi merupakan gejala masyarakat
yang terjadi karena adanya keserakahan
dari diri sendiri dengan melakukan
perbuatan buruk, menggelapkan uang,
menerima uang dan penyelewengan
uang negara atau uang perusahaan untuk
kepentingan pribadi atau orang lain.
Kemudian menurut Maroni11 korupsi
merupakan gejala alami yang sering
dilakukan pejabat dengan memenuhi
Bandar Lampung. Tanggal 30 Januari 2017
pukul 11.20 WIB
10
Wawancara pada Desiyana sebagai Jaksa
Pratama Kejaksaan Negeri Bandar Lampung.
Tanggal 30 Januari 2017 pukul 10.45 WIB
11
Wawancara pada Maroni sebagai Dosen
Bagian Hukum Pidana FH Unila. Tanggal
9Februari 2017 pukul 10.20 WIB

unsur perbuatan melawan hukum,
memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian
negara sesuai dengan ketentuan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Jo
Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat
didefinisikan bahwa korupsi merupakan
gejala yang dimiliki oleh manusia yang
ada dimana-mana dengan memikirkan
kepentingan diri sendiri yang memenuhi
unsur perbuatan melawan hukum,
menyalahgunakan suatu wewenang yang
dimiliki, memperkaya diri sendiri
maupun orang lain yang dapat
merugikan keuangan atau perekonomian
negara serta suap menyuap yang
dilakukan berdasarkan kesengajaan.
pelaksanaan penyelesaian tindak pidana
korupsi dengan nilai kerugian negara
yang kecil yang telah dilakukan
memiliki berbagai hal yang selalu
digunakan sebagai pertimbangan dalam
menyelesaikan perkara tindak pidana
korupsi dengan nilai kerugian negara
yang kecil antara lain:
1. Adanya rasa kesadaran masyarakat
yang mengembalikan kerugian
keuangan negara.
2. Tidak terpenuhinya unsur tindak
pidana
korupsi
yang
telah
dilakukan.
3. Perkara tindak pidana korupsi yang
tidak bersifat Still Going On (secara
terus menerus atau berkelanjutan)
4. Dampak yang ditimbulkan oleh
penyelesaian tindak pidana korupsi
dengan nilai kerugian negara yang
kecil bagi pelaku, korban, dan
masyarakat.

Dampak yang ditimbulkan oleh
peristiwa tindak pidana korupsi dengan
nilai kerugian negara yang kecil menjadi
hal yang dipertimbangkan oleh pihak
kejaksaan dalam menyelesaikan perkara
korupsi kecil, dikarenakan untuk
memberikan porsi hukum yang sesuai
bagi pelaku dan korban dari kerugian apa
yang telah dialami dan sesuai dengan
salah satu intruksi jaksa agung tentang
prioritas
dan
pencapaian
dalam
penanganan perkara tindak pidana
korupsi.
Penyelesaian perkara tindak pidana
korupsi dengan nilai kerugian negara
yang kecil dilakukan oleh Kejaksaan
Negeri Kota Bandar Lampung memiliki
tiga jenis penyelesaian antara lain:
1. Perkara Korupsi Kecil dilimpahkan
ke Kejaksaan Negeri apabila telah
dinyatakan lengkap atau P-21.
2. Perkara Korupsi Kecil dinyatakan
dihentikan dengan diterbitkannya
Surat
Ketetapan
Penghentian
Penuntutan (SKPP) P-26.
3. Perkara Korupsi Kecil dinyatakan
Alternative Dispute Resolution
(ADR).
Perkara korupsi kecil dinyatakan
Alternative Dispute Resolution (ADR)
dapat dinyatakan oleh Kejaksaan Negeri
Bandar Lampung sesuai dengan
pedoman Surat Edaran Jaksa Agung
Nomor: B-1113/F/Fd.1/05/2010 yang
mengedepankan
rasa
keadilan
masyarakat yang dengan kesadarannya
mengembalikan kerugian keuangan
negara dan tidak bersifat Still Going
On,suatu proses penyelesaian ini diluar
ketentuan acara peradilan pidana yang
sesuai dengan perundang-undangan di
indonesia dan Alternative Dispute
Resolution(ADR) tidak lah diatur
dengan undang-undang melainkan
Restorative Justice ini merupakan salah

satu bentuk Diskresi yang digunakan
untuk menyelesaikan suatu perkara.
3.
Proses penyelesaian Korupsi Kecil yang
menggunakan metode Restoratif Justice
dengan pendekatan Alternative Disupute
Resolution (ADR) menurut Prof. Dr.
Marwan Effendy, S.H.12 menggunakan
Standard Operating Prosedure dengan
menggunakan pedoman dari Surat
Edaran Jaksa Agung RI Nomor: B-1113F/Fd.1/05/2010 Tanggal 18 Mei 2010
yang melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku/korban, dan pihak lain
yang terkait untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada
keadaan semula dan bukan pembalasan.
Proses penyelesaian Korupsi Kecil yang
menggunakan metode Restoratif Justice
dengan pendekatan Alternative Disupute
Resolution (ADR) menurut Syafei13
menggunakan Standard Operating
Prosedure
dengan
menggunakan
pedoman dari Surat Edaran Jaksa Agung
RI Nomor: B-1113-F/Fd.1/05/2010
Tanggal 18 Mei 2010, dengan tata cara
sebagai berikut:
1. Penyidik
tetap
menjalankan
standard operating procedure
sesuai dengan Surat Edaran Jaksa
Agung RI Nomor: B-1113F/Fd.1/05/2010 tentang Prioritas
dan Pencapaian dalam penanganan
perkara tindak pidana korupsi.
2. Ketika
proses
penyidikan
berlangsung, para pelaku maupun
korban mengadakan suatu mediasi
untuk
menghasilkan
suatu

12

http://aai.or.id/v3/index.php?option=com_cont
ent&view=article&id=186:kebijakanrestorative-justice-masalah-tindak-pidanakorupsi&catid=87&Itemid=550&showall=1&li
mitstart diakses pada tanggal 16 Februari 2017
Pukul 11.45 WIB

4.

5.

6.

7.

8.

9.

13

perdamaian sebelum dinyatakan P21 oleh penyidik.
Dalam proses mediasi baik pelaku
maupun
korban
haruslah
mendapatkan kesepakatan yang
win-win solution.
Proses mediasi haruslah menyertai
Pelaku, Korban dalam hal ini
Negara dan di wakili oleh aparat
penegak hukum dan pihak yang
terkait dalam perkaranya.
Setelah dihasilkan perdamaian,
maka hasil perdamaian wajib
dituangkan dalam surat perdamaian
yang ditandatangani di atas materai
oleh pelaku maupun korban, saksi
dari kedua belah pihak.
Setelah Surat Perdamaian dibuat
kemudian
diserahkan
kepada
penyidik
sebagai
bahan
pertimbangan untuk dinyatakan
Alternative Dispute Resolution
(ADR) oleh Kepala Kejaksaan
Negeri Kota Bandar Lampung.
Apabila
dinyatakan
perkara
diselesaikan melalui Alternative
Dispute Resolution (ADR), maka
penyidik segera memberikan Surat
Pemberitahuan Perkembangan Hasil
Penyidikan A2 kepada pelaku
maupun korban bahwa perkara
tersebut dinyatakan Alternative
Dispute Resolution (ADR)
Selanjutnya penyidik tidak akan
melanjutkan berkas perkara untuk
dinyatakan P-21 dan perkara
tersebut tidak akan disentuh lagi
dengan tindakan hukum lain.
Apabila proses tersebut telah
dinyatakan P-21 namun pada tahap
penuntutan dinyatakan dihentikan
dengan
diterbitkannya
Surat

Wawancara Pada Syafei sebagai Jaksa Muda
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri
Bandar Lampung. Tanggal 30 Januari 2017
pukul 11.40 WIB

Ketetapan Penghentian Penuntutan
(SKPP) P-26. Maka perkara tersebut
bisa disentuh lagi setelah adanya
bukti baru untuk ditindak hukum
lain.
Alternative Dispute Resolution (ADR)
merupakan salah bentuk pendekatan
keadilan
restoratif.
Konsep
ini
merupakan pola penyelesaian masalah
sosial melalui jalur alternatif selain
proses hukum atau non litigasi antara
lain melalui upaya perdamaian yaitu
diselesaikan melalui mediasi yang
merupakan salah satu bentuk dari
pendekatan keadilan restorative.
Pelaksanaan
Alternative
Dispute
Resolution (ADR) dilakukan dengan
mempertemukan korban dan pelaku.
Setelah
dipertemukan,
maka
dilakukanlah mediasi yang diakhiri
dengan
kesepakatan
perdamaian.
Apabila telah tercapai perdamaian maka
perkara korupsi kecil dinyatakan selesai.
Namun tidak semua jenis kourpsi dapat
diselesaikan melalui konsep Alternative
Dispute Resolution (ADR), perkara
korupsi yang dapat diselesaikan adalah
perkara yang tidak masuk dalam kategori
ketentuan pidana dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dengan ukuran nilai kerugian negara
yang tinggi dan bentuk tindak pidana
korupsi lainnya. Hal ini dikarenakan
Alternatif Dispute Resolution (ADR)
hanya dapat digunakan pada jenis
korupsi yang digolongkan kecil di bawah
Rp. 300.000.000 (Tiga Ratus Juta
Rupiah).14
14

B.D. Sri Marsita, Sri Humana, 2015,
Penyelesaian Perkara Tindak Pidana korupsi
Yang Nilai Kerugian Keuangan Negaranya
Kecil, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kejaksaan Agung R.I. Jakarta Selatan. hlm.21

B. Efektivitas Surat Edaran Jaksa
Agung
RI
Nomor:
B1113/F/Fd.1/05/2010
Dalam
Penyelesaian Tindak Pidana
Korupsi
Dengan
Kerugian
Negara Yang Kecil
Surat Edaran Jaksa Agung yang dalam
pembahasannya
adalah
peraturan
kebijakan yang berbentuk surat edaran
berisikan mengenai penanganan tindak
pidana korupsi yang nilai kerugiannya
kecil, karena dalam penanganan kasus
korupsi yang nilainya kecil dirasa kurang
efektif, dikarenakan biaya operasional
yang dikeluarkan untuk menangani
kasus korupsi tersebut sangatlah besar.
Hal ini tidak sebanding dengan kerugian
negara atas tindak pidana korupsi yang
dilakukan.
Jaksa Agung mempunyai dasar untuk
dapat mengeluarkan Surat Edaran Jaksa
Agung
RI
Nomor:
B1113/F/Fd.1/05/2010 tanggal 10 Mei
2010 tentang Prioritas Dan Pencapaian
Dalam Penanganan Perkara Tindak
Pidana Korupsi dengan meninjau Pasal
35 Huruf (a)15 Undang-Undang
Kejaksaan, yang menyatakan:
“Jaksa Agung mempunyai tugas dan
wewenang,
menetapkan
serta
mengendalikan kebijakan penegakan
hukum dan keadilan dalam ruang
lingkup
tugas
dan
wewenang
kejaksaan”.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat
dikatakan bahwa Surat Edaran yang
telah dikeluarkan oleh Jaksa Agung
mempunyai kekuatan hukum, karena
dalam Undang-Undang Kejaksaan telah
memberikan kewenangan terhadap Jaksa
15

Pasal 35 Huruf a, Undang-Undang No. 16
Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia

Agung untuk
kebijakan.

menetapkan

suatu

Selain itu, dalam hubungan ruang
lingkup tugas pemerintah, Jellinek,
seperti dikutip Abdul Hamid S.
Attamimi, mengemukakan pendapat
bahwa kekuasaan pemerintahan secara
formal
mengandung
kekuasaan
mengatur dan kekuasaan memutus, dan
secara materiil mengandung dua unsur
yang berkaitan, yaitu unsur memerintah
dan unsur menyelenggarakan.16
Terkait dengan empat unsur ruang
lingkup dari tugas pemerintah yang
dikeluarkan Jellinek di atas, maka
kemungkinan kewenangan jaksa agung
untuk mengeluarkan surat edaran ini
berdasarkan kewenangan mengatur yang
dimiliki jaksa agung sebagai lembaga
pemerintah. Hal ini dapat diketahui dari
kata
mengatur
pada
dasarnya
mempunyai
arti
membuat
atau
menyusun
suatu
aturan
untuk
menjadikan sesuatu menjadi teratur,
sedangkan aturan itu mempunyai makna
ketentuan, patokan, atau petunjuk yang
telah ditetapkan supaya dituruti17, dari
arti tersebut dapat dikatakan bahwa
aturan merupakan sesuatu yang berlaku
umum bukan hanya ditujukan untuk
individu. Kewenangan pemerintah
berdasarkan unsur mengatur yang
menciptakan peraturan yang dapat
berlaku untuk umum inilah yang dapat
disebut dengan peraturan kebijakan.
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan
di atas, pembentukan peraturanperaturan
dalam
rangka
penyelenggaraan fungsinnya ini dapat
dilakukan berdasarkan kewenangan
16

Muchamad Diaz Khoirulloh, 2014, (Artikel)
Impliasi Yuridis Surat Edaran Jaksa Agung
Nomor Nomor: B-1113/F/Fd.1/05/2010 Dalam
menunjang Upaya Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Kementerian Pendidikan dan

pemerintah sebagai eksekutif. Dengan
demikian setiap lembaga pemerintahan
yang mempunyai kewenangan dalam
penyelenggaraan pemerintah memiliki
kewenangan
untuk
pembentukan
peraturan kebijakan yang tujuannya
untuk
mengatur
lebih
lanjut
penyelenggaraan pemerintahannya. Oleh
karena itu, dapat dikatakan jaksa agung
dalam hal ini mengeluarkan surat edaran
berdasarkan kewenangan mengatur yang
dimiliki oleh jaksa agung sebagai
lembaga pemerintah.
Pemberian kewenangan untuk bertindak
atas
inisiatifnya
sendiri
kepada
pemerintah (pejabat administrasi negara)
tentu saja harus didasarkan pada alasan
tertentu. Menurut Ridwan H.R., ada tiga
alasan atau keadaan kondisional yang
menjadikan
pemerintah
dapat
melakukan tindak diskretif atau inisiatif
sendiri, yaitu antara lain:18
a. Belum ada peraturan perundangundangan yang mengatur tentang
penyelesaian in concreto terhadap
suatu masalah, padahal masalah
tersebut menuntut penyelesaian
yang segera.
b. Peraturan
perundang-undangan
yang menjadi dasar tindakan aparat
pemerintah
telah
memberikan
kebebasan sepenuhnya.
c. Adanya
delegasi
perundangundangan,
yaitu
memberikan
kekuasaan untuk mengatur sendiri
kepada pemerintah yang sebenarnya
kekuasaan ini dimiliki oleh aparat
yang lebih tinggi tingkatannya.
Bagir Manan mengemukakan bahwa
peraturan kebijakan bukan termasuk
dalam peraturan perundang-undangan
meskipun
peraturan
kebijakan
Kebudayaan Universitas Brawijaya, Malang.
hlm. 5
17
Ibid. hlm. 6
18
Ibid. hlm. 7

menunjukkan sifat atau gejala sebagai
peraturan
perundang-undangan.
Pelaksanaan kebijakan ini tidak
dituangkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan
dikarenakan
pembuat peraturan kebijakan tidak
memiliki
kewenangan
dalam
membentuk
peraturan
perundangundangan.19
dengan dikeluarkannya Surat Edaran
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus ini
menimbulkan polemik dan kebingungan
diantara para jaksa yang menangani
tindak pidana korupsi karena banyak
kasus tindak pidana korupsi dengan nilai
kerugian negara yang kecil dari pihak
kepolisian dilimpahkan ke kejaksaan.
Beberapa contoh kasus tindak pidana
korupsi dengan kerugian negara yang
kecil tetap dilanjutkan ke persidangan
dan dilakukan Restoratif Justice yaitu:
1. Raden Fry Adil Pahman Sukma
Dinata berinisial (RF) dugaan
penyimpangan
alokasi
dana
pengadaan proyek pada kantor dinas
kelautan perikanan senilai Rp.
256.266.870
yang
perkaranya
dilanjutkan ke persidangan.
2. Muslim berinisial (M) dugaan
penyalahgunaan uang alokasi dana
kampung senilai Rp. 113.534.294
yang perkaranya dilanjutkan ke
persidangan.
3. Salman Alfarizi berinisial (SA)
dugaan penyimpangan dana BOS
SMA N 1 Kelumbayan tanggamus
lampung senilai Rp. 40.000.000
yang perkaranya dilanjutkan ke
persidangan.
4. Yayat S. Berinisial YS, dugaan
penyimpangan dana RASKIN
senilai Rp. 45.481.678 yang
19
Bagir Manan, 1997, Beberapa Masalah
Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung,
Alumni. hlm.169

perkaranya
dilanjutkan
ke
persidangan.
5. Paryoto berinisial (PO), dugaan
penyimpangan dana bantuan siswa
miskin SDN ratu raya lampung utara
senilai Rp. 50.142.600 yang
perkaranya
dilanjutkan
ke
persidangan.
6. Arphro Riheru berinisial (AR),
dugaan
penyimpangan
dana
pembangunan ruang terbuka senilai
Rp. ± 150.000.000 yang perkaranya
dilanjutkan ke persidangan.
7. Widodo Kakam berinisial (dodo)
dugaan penyimpangan dana desa
senilai Rp. 109.000.000 yang
perkaranya
dihentikan
dan
dilakukan Restorative Justice.
8. Djamaludin berinisial (Dj), dugaan
penyimpangan dana proyek daerah
1.000
sertifikat
senilai
Rp.
14.000.000
yang
perkaranya
dihentikan
dan
dilakukan
Restorative Justice.
9. Bahrudin berinisial (Bd), dugaan
penyimpangan dana BUMD senilai
Rp. 165.000.000 yang perkaranya
dihentikan
dan
dilakukan
Restorative Justice.
10. Masruf Basri berinisial (Mb),
dugaan penyimpangan dana BUMD
senilai Rp. 165.000.000 yang
perkaranya
dihentikan
dan
dilakukan Restorative Justice.
Berdasarkan beberapa contoh kasus
table diatas terdapat 10 (sepuluh) kasus
tindak pidana korupsi dengan kerugian
Negara yang kecil dimana 6 (Enam)
kasus dilanjutkan ke persidangan
sedangkan 4 (empat) dilakukan dengan
Restoratif Justice, bahwa tindak pidana
korupsi yang nilai kerugiannya kecil
tidak semua dapat dilakukan Restoratif
Justice
dikarenakan
adanya

pertimbangan kategori jenis korupsi
tertentu yang dapat dilakukan Restoratif
Justice, apabila adanya penyimpangan
dana yang melibatkan Hajat masyarakat
langsung, tidak ada pengembalian
kerugian negara secara sadar dan adanya
pengulangan perbuatan pidana korupsi
yang berkelanjutan, maka jenis perkara
korupsi tersebut tidak dapat diselesaikan
dengan Restoratif Justice melainkan
dilanjutkan dalam proses persidangan.
Berdasarkan beberapa kasus diatas dapat
dilihat bahwa sebesar 60% perkara
korupsi dengan nilai kerugian negara
yang kecil dilanjutkan ke persidangan
dengan adanya pertimbangan kasus
tersebut bersifat still goin on (tindak
pidana korupsi yang dilakukan terus
menerus atau berkelanjutan), tidak
adanya nilai kesadaran dari pelaku untuk
mengembalikan nilai kerugian negara
yang sudah dilakukan dan perbuatan
korupsi yang dilakukan bersifat
langsung terhadap hajat masyarakat.
Kemudian, sebesar 40% perkara korupsi
dengan nilai kerugian negara yang kecil
dilanjutkan
dengan
menggunakan
pendekatan Restorative Justice yang
menggunakan
metode
Alternative
Disupute Resolution (ADR) yang
mempertimbangkan
adanya
nilai
kesadaran
dari
pelaku
untuk
mengembalikan kerugian keuangan
negara, tidak bersifat Still Going On dan
mengedepankan
rasa
keadilan
masyarakat.
Berdasarkan hasil dari pengamatan yang
dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa
tidak semua perkara korupsi dengan nilai
kerugian keuangan negara yang kecil
dapat dilakukan dengan menggunakan
metode Restorative Justice melainkan
menggunakan sistem peradilan pidana
yang berlaku pada undang-undang,
perkara korupsi dinyatakan Restorative
Justice dengan berpedoman pada surat

edaran
jaksa
agung
yang
mengedepankan penyelamatan kerugian
keuangan negara yang bersifat skala
besar dibandingkan dengan skala kecil
karena
tidak
sebandingnya
pengembalian dengan pengeluaran dana
dalam penanganan perkara korupsi.
Penggunaan metode Restorative Justice
tersebut dinyatakan efektiv terhadap
perkara korupsi dengan nilai kerugian
keuangan negara yang kecil meskipun
hanya berada pada persentase 40%
karena adanya beberapa pertimbangan
yang dapat dilakukan dan tidak dapat
dilakukan nya metode Restorative
Justice tersebut.
III. PENUTUP
A. Simpulan
Setelah
melakukan
pembahasan
terhadap data yang diperoleh dalam
penelitian maka sebagaimana penutupan
dari pembahasan atas permasalahan
dalam skripsi ini, penulis menarik
simpulan:
1. Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi
dengan nilai kerugian negara yang
kecil berdasarkan Surat Edaran Jaksa
Agung
RI
Nomor:
B1113/F/Fd.1/05/2010 tanggal 10 Mei
2010
tentang
Prioritas
Dan
Pencapaian
Dalam
Penanganan
Perkara Tindak Pidana Korupsi,
dengan menggunakan pendekatan
Restorative Justice melalui metode
Alternatif Dispute Resolution (ADR)
dengan
penyelesaiannya
mempertimbangkan setiap kasus
korupsi yang kerugiannya kecil
mempunyai kriteria Adanya rasa
kesadaran
masyarakat
yang
mengembalikan kerugian keuangan
negara. Tidak terpenuhinya unsur
tindak pidana korupsi yang telah

dilakukan.Perkara tindak pidana
korupsi yang tidak bersifat Still Going
On (secara terus menerus atau
berkelanjutan)
serta
tidak
mengganggu hajat hidup dari
masyarakat.
2. Peraturan kebijakan dalam bentuk
Surat Edaran yang dikeluarkan oleh
Jaksa Agung pada dasarnya tidak
memiliki kekuatan hukum yang
mengikat secara umum karena Surat
Edaran
dalam
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundangundangan tidak dinyatakan sebagai
salah satu jenis peraturan perundangundangan. Selanjutnya mengenai
daya ikat Surat Edaran, tidak
mengikat secara umum melainkan
hanya mengikat bagi pihak instansi
yang terkait. Jadi pihak kejaksaan
seharusnya
wajib
untuk
melaksanakan ketentuan dari Surat
Edaran yang telah dikeluarkan oleh
Jaksa Agung, bahwa tidak semua
perkara korupsi dengan nilai kerugian
keuangan negara yang kecil dapat
dilakukan dengan menggunakan
metode Restorative Justice melainkan
menggunakan
sistem
peradilan
pidana yang berlaku pada undangundang, perkara korupsi dinyatakan
Restorative
Justice
dengan
berpedoman pada surat edaran jaksa
agung
yang
mengedepankan
penyelamatan kerugian keuangan
negara yang bersifat skala besar
dibandingkan dengan skala kecil
karena
tidak
sebandingnya
pengembalian dengan pengeluaran
dana dalam penanganan perkara
korupsi.
Penggunaan
metode
Restorative
Justice
tersebut
dinyatakan efektiv terhadap perkara
korupsi dengan nilai kerugian
keuangan negara yang kecil meskipun
hanya berada pada persentase 40%
karena
adanya
beberapa

pertimbangan yang dapat dilakukan
dan tidak dapat dilakukan nya metode
Restorative Justice tersebut.
B. Saran
Adapun saran yang perlu diajukan
penulis adalah:
1. Diharapkan
Pemerintah
dapat
Menggunakan Restorative Justice
sebagai metode alternatif pengganti
sistem peradilan pidana yang ada
pada saat ini dalam berbagai kasus
kejahatan
dewasa
ini
dan
menitikberatkan pada keadilan bagi
masyarakat dan mengedepankan
pemulihan bagi pelaku/korban bukan
mengedepankan pembalasan bagi
pelaku/korban.
2. Untuk pihak kejaksaan seharusnya
tidak hanya mengutamakan dari
aspek kemanfaatan saja, melainkan
harus mempertimbangkan dari segala
aspek,
salah
satunya
dengan
mempertimbangkan dampak buruk
yang ditimbulkan dari adanya tindak
pidana korupsi, sehingga sebaiknya
Surat Edaran tersebut dicabut atau
direvisi kembali agar dijadikan
sebagai ketentuan normatif bentuk
Undang-Undang yang ada untuk
memberikan kepastian hukum dan
dapat dipergunakan kedepannya
secara efektiv.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, 1997, Beberapa Masalah
Hukum Tata Negara Indonesia,
Bandung, Alumni.
Rinaldy Amrullah Dkk, 2015, Tindak
Pidana Khusus Diluar KUHP,
Justice
Publisher,
Bandar
Lampung.

Suarachim dan Suhandi Cahaya, 2011,
Strategi dan Teknik Korupsi,
Cetakan Pertama, Sinar Grafika,
Jakarta.
Teguh Sulistia, 2012, Hukum Pidana
Horizon Baru Pasca Reformasi,
Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang–Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang
Kejaksaan
Republik
Indonesia.
Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: B1113/F/Fd.1/05/2010
Tentang
Prioritas Dan Pencapaian Dalam
Penanganan
Perkara
Tindak
Pidana Korupsi.
Artikel Ilmiah
Muchamad Diaz Khoirulloh, 2014,
Implikasi Yuridis Surat Edaran
Jaksa
Agung
Nomor
B1113/F/Fd.1/05/2010
Dalam
Menunjang Upaya Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi,
Kementrian
Pendidikan
dan
Kebudayaan
Universitas
Brawijaya, Malang.
B.D. Sri Marsita, Sri Humana, 2015,
Penyelesaian Perkara Tindak
Pidana korupsi Yang Nilai
Kerugian Keuangan Negaranya
Kecil, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kejaksaan Agung
R.I. Jakarta Selatan.
Website
Http://id.wikipedia.org/wiki/korupsi.11/
09/2012 23:01

Dokumen yang terkait

PERANAN INTELIJEN KEJAKSAAN NEGERI BANDAR LAMPUNG DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN ALIRAN AGAMA TERLARANG AMANAT KEAGUNGAN ILAHI (Jurnal Skripsi)

0 0 11

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (Studi di Wilayah Hukum Bandar Lampung) Ernita Larasati, Eko Raharjo S.H., M.H., Gunawan Jatmiko S.H., M.H. email: (ernita1995gmail.com) Abstrak - ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERH

0 0 8

UPAYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL KABUPATEN DALAM PENANGGULANGAN PEREDARAN NARKOTIKA DI DALAM LEMBAGA PERMASYRAKATAN (Studi pada Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Kalianda)

0 0 14

PERAN KRIMINALISTIK DALAM BANTUAN PENGUNGKAPAN PERKARA PEMBUNUHAN DENGAN PEMBERATAN (STUDI PUTUSAN NOMOR: 1306/Pid.B/2015/PN.Tjk).

0 0 12

ANALISIS PERRLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENAHANAN TERSANGKA PADA TINGKAT PENYIDIKAN BERDASARKAN PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 (STUDI KEPOLISIAN RESOR LAMPUNG BARAT) Oleh Devolta Diningrat, Eddy Rifai, Tri Andrisman

0 0 11

ABSTRACT THE LAW ENFORCEMENT AGAINST CORRUPTORS BY THE CORRUPTION COURT IN LAMPUNG By Della Rahmaswary, Eddy Rifai, Diah Gustiniati Email : dellarahmasyahoo.co.id

0 0 15

IMPLEMENTASI WHISTLE BLOWER DALAM MENGUNGKAPKAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 14

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN KETERTIBAN UMUM (Studi Kasus Penghinaan Lambang Negara oleh Zaskia Gotik)

0 1 14

ANALISIS PENYIDIKANTERHADAP PELAKU PENGANCAMAN KEKERASAN ATAU MENAKUT-NAKUTI YANG DITUJUKAN SECARA PRIBADI MELALUI MEDIA ELEKTRONIK (No :LP/B-/118/X/2015/SPKT Polda Lampung)

0 0 14

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (Studi putusan PN Nomor 500/Pid.B/2016/Pn.Tjk)

0 0 15