Neoliberalisme Dan Ekonomi Politik Indonesia Studi Kasus: Penerapan Kebijakan Privatisasi Pendidikan Di Indonesia

(1)

SKRIPSI

NEOLIBERALISME DAN EKONOMI POLITIK INDONESIA

STUDI KASUS: PENERAPAN KEBIJAKAN PRIVATISASI

PENDIDIKAN DI INDONESIA

D I S U S U N OLEH

JONY RAIMON PURBA 030906026

DOSEN PEMBACA : INDRA KESUMA, Msi

DOSEN PEMBACA : Dra. EVI NOVIDA GINTING, MSP

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAKSI

Akibat terjerat hutang luar negeri, banyak negara tidak mempunyai lagi anggaran bagi kesejahteraan masyarakat, negara-negara tidak mampu lagi mengendalikan harga barang konsumsi dan biaya pendidikan serta kesehatan yang terus naik. Saat krisis keuangan melanda Indonesia pada tahun 1997, Presiden Soeharto, meminta bantuan Internasional Monetary Fund (IMF) dan lembaga-lembaga keuangan internasional lain untuk memenuhi kebutuhan sumber pendanaan dari luar. Mereka menyodorkan sejumlah persyaratan, satu diantaranya adalah privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan pemerintah Indonesia pun setuju untuk menjalankan serangkaian program penyesuaian ekonomi makro yang diajukan Bank Dunia, IMF (Internasional Monetary Fund), dan Bank Pembangunan Asia.

Menguatnya liberalisasi ekonomi dan krisis multidimensi di Indonesia semakin memberi legitimasi pada pemerintah untuk melakukan privatisasi pada sejumlah Badan Usaha milik Negara (BUMN), termasuk melakukan privatisasi di bidang pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang pada mulanya merupakan tanggung jawab utama pemerintah diserahkan kepada pihak swasta. Karena motif utama pihak swasta adalah mencari keuntungan, tidaklah mengherankan jika privatisasi kemudian merosot menjadi komersialisasi pendidikan. Dunia pendidikan ditransformasikan menjadi lahan bisnis dan investasi ekonomi semata. Akibatnya, pendidikan menjadi barang mewah yang sulit dijangkau masyarakat bawah. Biaya pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi (PT) semakin mahal dan cenderung tidak terkendali. Dalam pandangan pendidikan sebagai komoditas, akan menimbulkan pergeseran yang menjadikan pendidikan bersifat elitis. Artinya, hanya akan dinikmati oleh kalangan tertentu saja yaitu yang mampu membayar. Padahal seharusnya pendidikan itu bersifat populis yaitu harus dinikmati oleh semua orang sesuai dengan haknya masing-masing.

Nuansa privatisasi sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Diawali dari kemunculan sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang kemudian memunculkan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP).

Dengan munculnya Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan ini, kita juga disadarkan bahwa tingkat krisis pendidikan nasional di republik ini benar-benar telah sampai ke puncaknya. Bukan saja bahwa para pengambil kebijakan negara secara terang-terangan hendak mengabaikan amanat proklamasi, UUD 1945, dan konstitusi-konstitusi turunannya, tetapi hendak cenderung mengambil kebijakan kependidikan yang bakal menghalangi hak-hak dasar warganya yang tidak mampu untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan diperlukan bagi dirinya dan bangsanya. Jika benar demikian, bukan saja kesejahteraan dan kemartabatan bangsa akan hilang, tetapi kebodohan dan keterpurukan serta ketidakadilan yang akan terus dirasakan.


(3)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI...i

DAFTAR ISI...ii

DAFTAR TABEL...iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang...1

1.2Perumusan Masalah...7

1.3Tujuan Penelitian...7

1.4Manfaat Penelitian...7

1.5Kerangka Dasar Pemikiran ...8

1.5.1 Pandangan Dasar Neoliberalisme ...8

1.5.2 DefinisiPrivatisasi...13

1.5.3 Teorema Pendukung Gagasan Privatisasi...14

1.5.4 Definisi Pendidikan...18

1.5.5 Hakekat Pembelajaran ...18

1.5.6 Pendidikan Nasional...19

1.5.7 Visi, Misi, Tujuan dan Strategi Pendidikan Nasional...19

1.5.8 Jalur Pendidikan...21

1.5.9 Privatisasi Pendidikan...22

1.6Kerangka Analisa ...23

1.7Metode Penelitian...24

1.8Teknik Pengumpulan Data...24


(4)

1.10 Sistematika Penulisan...26

BAB II Latar Belakang Kebijakan Privatisasi Pendidikan Di Indonesia 2.1 Latar Belakang Lahirnya Ide Privatisasi...27

2.2 Kebijakan Privatisasi di Indonesia...30

2.3 Privatisasi dan Jebakan Hutang Luar Negeri ...36

2.4 Privatisasi Sebagai Syarat Pencairan Utang...41

2.5Latar Belakang Kebijakan Privatisasi Pendidikan di Indonesia...43

2.6Legitimasi Privatisasi Pendidikan di Indonesia ...53

Bab III Dampak Penerapan Kebijakan Privatisasi Pendidikan 3.1 Dampak Kebijakan Privatisasi Pendidikan Di Indonesia...65

3.2 Kebijakan Privatisasi Pendidikan sebagai Bentuk Pelanggaran Konstitusi Republik Indonesia...75

BAB IV PENUTUP 4.1Kesimpulan...78


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 1

Privatisasi BUMN Indonesia (1997-2004)...34

Tabel 2


(6)

ABSTRAKSI

Akibat terjerat hutang luar negeri, banyak negara tidak mempunyai lagi anggaran bagi kesejahteraan masyarakat, negara-negara tidak mampu lagi mengendalikan harga barang konsumsi dan biaya pendidikan serta kesehatan yang terus naik. Saat krisis keuangan melanda Indonesia pada tahun 1997, Presiden Soeharto, meminta bantuan Internasional Monetary Fund (IMF) dan lembaga-lembaga keuangan internasional lain untuk memenuhi kebutuhan sumber pendanaan dari luar. Mereka menyodorkan sejumlah persyaratan, satu diantaranya adalah privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan pemerintah Indonesia pun setuju untuk menjalankan serangkaian program penyesuaian ekonomi makro yang diajukan Bank Dunia, IMF (Internasional Monetary Fund), dan Bank Pembangunan Asia.

Menguatnya liberalisasi ekonomi dan krisis multidimensi di Indonesia semakin memberi legitimasi pada pemerintah untuk melakukan privatisasi pada sejumlah Badan Usaha milik Negara (BUMN), termasuk melakukan privatisasi di bidang pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang pada mulanya merupakan tanggung jawab utama pemerintah diserahkan kepada pihak swasta. Karena motif utama pihak swasta adalah mencari keuntungan, tidaklah mengherankan jika privatisasi kemudian merosot menjadi komersialisasi pendidikan. Dunia pendidikan ditransformasikan menjadi lahan bisnis dan investasi ekonomi semata. Akibatnya, pendidikan menjadi barang mewah yang sulit dijangkau masyarakat bawah. Biaya pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi (PT) semakin mahal dan cenderung tidak terkendali. Dalam pandangan pendidikan sebagai komoditas, akan menimbulkan pergeseran yang menjadikan pendidikan bersifat elitis. Artinya, hanya akan dinikmati oleh kalangan tertentu saja yaitu yang mampu membayar. Padahal seharusnya pendidikan itu bersifat populis yaitu harus dinikmati oleh semua orang sesuai dengan haknya masing-masing.

Nuansa privatisasi sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Diawali dari kemunculan sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang kemudian memunculkan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP).

Dengan munculnya Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan ini, kita juga disadarkan bahwa tingkat krisis pendidikan nasional di republik ini benar-benar telah sampai ke puncaknya. Bukan saja bahwa para pengambil kebijakan negara secara terang-terangan hendak mengabaikan amanat proklamasi, UUD 1945, dan konstitusi-konstitusi turunannya, tetapi hendak cenderung mengambil kebijakan kependidikan yang bakal menghalangi hak-hak dasar warganya yang tidak mampu untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan diperlukan bagi dirinya dan bangsanya. Jika benar demikian, bukan saja kesejahteraan dan kemartabatan bangsa akan hilang, tetapi kebodohan dan keterpurukan serta ketidakadilan yang akan terus dirasakan.


(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Skripsi ini akan membahas tentang Neoliberalisme dan penerapan kebijakan privatisasi pendidikan di Indonesia. Untuk memahami globalisasi dan mekanisme dunia sekarang, orang perlu memahami neoliberalisme. Regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan pemerintah. Logika pasarlah yang berjaya diatas kehidupan publik. Liberalisasi pasar juga menghilangkan peran negara pada penyediaan fasilitas publik. Ini ditampilkan melalui desakan kepada pemerintah untuk melakukan privatisasi sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melayani kepentingan umum dan strategis.

Kebijakan privatisasi diperkenalkan dan dilaksanakan di negara-negara maju dan juga negara-negara berkembang dengan asumsi bahwa privatisasi diinginkan oleh karena efek politis yang ditimbulkannya dalam pengalihan dan pengurangan permintaan terhadap Negara. Perencanaan ekonomi sentralistik, proteksionisme, regulasi ekonomi yang berlebihan, dominasi pemerintah dalam berbagai sektor ekonomi, berkembangnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta strategi industri subsitusi impor, menjadi sasaran kritik komunitas epistemis liberal.

Dalam konteks Indonesia, paham neoliberal mulai terasa pengaruhnya di tahun 1980-an, setelah Indonesia banyak menderita kerugian akibat jatuhnya harga minyak dunia. Internasional Monetary Funds (IMF) dan Bank Dunia lewat kebijakan SAP (Structural Adjustment Programme) mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi


(8)

ekonomi, dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Pemerintah mulai melakukan deregulasi dan liberalisasi sektor ekonomi, antara lain, keuangan, perbankan, dan industri, yang dilaksanakan sejak pertengahan tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an. Walaupun deregulasi dan liberalisasi ekonomi dipandang cukup berhasil, privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak terjadi. Setelah tahun 1991-1992, deregulasi mulai melambat seiring dengan naiknya kelompok konglomerat dan melebarnya kesenjangan ekonomi antara kaum kaya dan kaum miskin.1

Menguatnya liberalisasi ekonomi dan krisis multidimensi di Indonesia memberi legitimasi pada pemerintah untuk melakukan privatisasi pada sejumlah

Krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997 memberi kesempatan bagi lembaga-lembaga keuangan internasional untuk mendesak kembali agenda liberalisasi, deregulasi dan privatisasi yang sebelumnya kehilangan momentum. Akibat terjerat hutang luar negeri, banyak negara tidak mempunyai lagi anggaran bagi kesejahteraan masyarakat, negara-negara tidak mampu lagi mengendalikan harga barang konsumsi dan biaya pendidikan serta kesehatan yang terus naik. Saat krisis keuangan melanda Indonesia pada tahun 1997, Presiden Soeharto, meminta bantuan Internasional Monetary Fund (IMF) dan lembaga-lembaga keuangan internasional lain untuk memenuhi kebutuhan sumber pendanaan dari luar. Mereka menyodorkan sejumlah persyaratan, satu diantaranya adalah privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan pemerintah Indonesia pun setuju untuk menjalankan serangkaian program penyesuaian ekonomi makro yang diajukan Bank Dunia, IMF (Internasional Monetary Fund), dan Bank Pembangunan Asia.

1

Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme: Ekonomi Indonesia 1986-1992, Jakarta: KPG, 2002, hal.17-18


(9)

Badan Usaha milik Negara (BUMN), termasuk melakukan privatisasi di bidang pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang pada mulanya merupakan tanggung jawab utama pemerintah diserahkan kepada pihak swasta. Karena motif utama pihak swasta adalah mencari keuntungan, tidaklah mengherankan jika privatisasi kemudian merosot menjadi komersialisasi pendidikan. Dunia pendidikan ditransformasikan menjadi lahan bisnis dan investasi ekonomi semata. Akibatnya, pendidikan menjadi barang mewah yang sulit dijangkau masyarakat bawah. Biaya pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi (PT) semakin mahal dan cenderung tidak terkendali. Dalam pandangan pendidikan sebagai komoditas, akan menimbulkan pergeseran yang menjadikan pendidikan bersifat elitis. Artinya, hanya akan dinikmati oleh kalangan tertentu saja yaitu yang mampu membayar. Padahal seharusnya pendidikan itu bersifat populis yaitu harus dinikmati oleh semua orang sesuai dengan haknya masing-masing.2

Kapitalisasi pendidikan sesungguhnya berawal dari apa yang dilakukan oleh aktor-aktor utamanya, yaitu Trans National Corporations (TNCs), yang dibantu oleh Bank Dunia/IMF (Internasional Monetary Fund), melalui kesepakatan yang dibuat dalam WTO (World Trade Organization) yang menganut paham, bahwa pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai sebagai hasil normal melalui kompetisi bebas. Mekanisme ekonomi benar-benar diserahkan pada pasar bebas tanpa campur tangan pemerintah dan negara. Implikasinya, pemerintah dijauhkan dari campur tangan untuk meregulasi perusahaan-perusahaan swasta. Semua aspek mengalami liberalisasi dan kapitalisasi, termasuk bidang pendidikan. Proses otonomi kampus dan pencabutan subsidi pendidikan

2


(10)

dilakukan karena dianggap akan menghambat persaingan bebas dalam bidang pendidikan.

Nuansa privatisasi atau upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai pendidikan, terutama pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan bermutu, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Diawali dari kemunculan sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat dari berkurangnya kewajiban pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Hal Ini terlihat pada Pasal 9 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan, Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada.

Pasal 50 ayat 6, perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Di tingkat perguruan tinggi, di Indonesia pada tahun 2000 beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diubah bentuknya menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Beberapa Perguruan Tinggi Negeri pavorit seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB) kemudian berlomba-lomba membuka jalur khusus dalam menerima mahasiswanya. Biaya masuk naik mulai dari 25 juta sampai 150 juta rupiah.


(11)

Penjelasan di atas tentu sangat bertentangan dengan konstitusi Undang-Unang Dasar 1945. Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan dengan tegas bahwa Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Kemudian dipertegas lagi dalam ayat (4) yang menyebutkan Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Tetapi apa yang terjadi, Pemerintah justru ingin berbagi tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan. Munculnya Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) menjadi bukti konkret sebagai ujung pelegalan privatisasi edukasi negeri ini.

Memang, Konsep awal Badan Hukum Pendidikan (BHP) diilhami oleh semangat mengembalikan dan melindungi fungsi institusi pendidikan sebagai alat untuk mentransformasikan nilai-nilai kemasyarakatan dan membebaskan pendidikan dari hegemoni kekuasaan, dan pendidikan harus dikembalikan kepada masyarakat dan dilaksanakan dari, oleh dan untuk masyarakat. Dalam hal ini, peran pemerintah dalam mengkonstruksi pendidikan akan tergantikan oleh masyarakat dan pemerintah hanya akan berperan sebagai fasilitator.

Tetapi, yang menjadi persoalan berikutnya adalah, apakah Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) merupakan jawaban yang tepat bagi pengembangan pendidikan Indonesia kedepan? Apakah Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) memberikan jaminan bagi terwujudnya pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan dalam rangka menghadapi


(12)

tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global?

Secara teoretis, privatisasi pendidikan lewat Badan Hukum Pendidikan sesungguhnya tidak selalu bersifat negatif. Privatisasi pendidikan dapat meringankan beban pemerintah dalam membiayai pendidikan, sehingga anggaran yang tersedia bisa digunakan untuk membiayai aspek lain yang lebih mendesak. Misalnya, untuk membiayai pendidikan alternatif, seperti pendidikan nonformal untuk kalangan miskin, anak jalanan atau suku terasing. Privatisasi pendidikan juga dapat memberi peluang lebih besar kepada masyarakat untuk turut berpartisipasi mencerdaskan bangsa. Tingkat partisipasi dan semangat kompetisi yang dilahirkan privatisasi dapat mendorong lembaga pendidikan berorientasi pada kepuasan pelanggan (customer satisfaction oriented) yang senantiasa menjaga kualitas kurikulum, fasilitas penunjang dan kemampuan para pendidik (dosen/guru). Kondisi ini pada gilirannya dapat menjadi faktor pendorong bagi proses belajar mengajar dan pencerdasan anak didik. Singkatnya, masuknya sektor swasta dalam pengelolaan pendidikan dapat memperluas jaringan penyedia jasa pendidikan. Pertanyaannya adalah sampai sejauh mana rakyat Indonesia dapat menikmati pendidikan yang berkualitas dalam pasar bebas? Apabila rakyat Indonesia tidak mampu, di mana peran publik negara? Apakah pendidikan akan sepenuhnya diserahkan pada liberalisasi pasar?

Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji penyebaran paham Neoliberalisme dalam penerapan kebijakan privatisasi, terutama privatisasi pendidikan di Indonesia, mengingat bahwa salah satu misi pendidikan nasional Indonesia adalah mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka dari


(13)

alasan tersebutlah penulis memilih judul “Neoliberalisme dan Ekonomi Politik Indonesia. Studi kasus: Penerapan Kebijakan Privatisasi Pendidikan di Indonesia”.

1.2Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang diuraikan diatas maka penulis membuat suatu perumusan masalah:

1. Bagaimana implementasi kebijakan privatisasi pendidikan dijalankan di Indonesia?

2. Apakah dampak yang ditimbulkan dari penerapan kebijakan privatisasi pendidikan di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengkaji paham Neoliberalisme lewat penerapan kebijakan privatisasi pendidikan di Indonesia.

2. Untuk mengkaji dampak yang ditimbulkan dari penerapan kebijakan privatisasi pendidikan di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Menambah pemahaman mahasiswa tentang kebijakan privatisasi, terutama kebijakan privatisasi pendidikan di Indonesia

2. Secara akademis, penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari penerapan kebijakan privatisasi pendidikan di Indonesia.


(14)

1.5 Kerangka Dasar Pemikiran

1.5.1. Pandangan Dasar Neoliberalisme

Terdapat dua pandangan dasar Neoliberalisme:3 1. Penolakan teoritis terhadap negara

Menurut pemahaman neoliberalisme, segala campur tangan negara ditolak oleh para ekonom beraliran Neoliberalisme. Mekanisme pasar pada dasarnya sudah cukup untuk menggerakkan roda ekonomi, atau bahwa invisible hand cukup membuat lancar produksi, distribusi maupun konsumsi. Setiap campur tangan negara hanya akan menimbulkan distorsi. Perencanaan ekonomi sentralistik, proteksionisme, regulasi ekonomi yang berlebihan, dominasi pemerintah dalam berbagai sektor ekonomi, berkembangnya badan usaha milik negara, subsidi terus-menerus, serta strategi industri subsitusi impor, menjadi sasaran kritik komunitas Neoliberal. Sebagai alternatif mereka menganjurkan kepada pemerintah untuk melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi ekonomi, dan privatisasi badan usaha milik negara untuk mengatasi memburuknya situasi ekonomi.

Negara harus keluar dari ekonomi, termasuk keluar dari kegiatan program kesejahteraan karena program ini menimbulkan defisit. Dengan mengurangi program kesejahteraan, kas pemerintah akan diringankan. Situasi ini akan memungkinkan pemerintah untuk menurunkan pajak pada para pelaku bisnis, yang pada gilirannya, akan mendapatkan gairah baru untuk berproduksi. Inflasi

3

Wibowo dan Francis Wahono (ed), Neoliberalisme, Yogyakarta: Cinderalas Pustaka Cerdas, 2003, Hal.275-277.


(15)

dengan sendirinya turun dengan meningkatnya output. Konsumen akan juga meningkatkan spending, dan bergulirlah roda ekonomi.

Satu kelebihan neoliberalisme adalah menawarkan pemikiran politik yang sederhana, menawarkan penyederhanaan politik sehingga pada titik tertentu politik tidak lagi mempunyai makna selain apa yang ditentukan oleh pasar dan pengusaha. Dalam pemikiran neoliberalisme, politik adalah keputusan-keputusan yang menawarkan nilai-nilai, sedangkan secara bersamaan neoliberalisme menganggap hanya satu cara rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar. Semua pemikiran diluar rel pasar dianggap salah.

Kapitalisme neoliberal menganggap wilayah politik adalah tempat dimana pasar berkuasa, ditambah dengan konsep globalisasi dengan perdagangan bebas sebagai cara untuk perluasan pasar melalui WTO (World Trade Organization), akhirnya kerap dianggap sebagai Neoimperialisme.

Gagasan diatas didukung dengan beberapa teori: a. Teori Absolute Advantage4

Teori ini dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nation dalam rangka melawan Merkantilisme pada abad ke-18. merkantilisme percaya bahwa sebuah bangsa hanya dapat memperoleh keuntungan dengan mengorbankan bangsa lain, dan mengajarkan agar pemerintah menjalankan kontrol ketat pada semua kegiatan ekonomi maupun perdagangan. Smith, sebaliknya, mengajarkan bahwa semua bangsa akan mendapat untung jika mengadakan perdagangan dan mendukung kebijakan laissez faire. Katanya,

4


(16)

perdagangan bebas akan membuat sumber daya dunia dipakai secara amat efisien dan dengan demikian akan menghasilkan kesejahteraan dunia secara maksimal.

b. Teori Comparative Advantage5

Teori ini dikemukakan oleh David Ricardo dalam bukunya yang berjudul

Principal of Political Economy and Taxation (1817). Contoh yang diambil adalah Inggris dan Portugal. Inggris yang menjadi penghasil wool ulung lebih baik tidak mencoba untuk memproduksi anggur yang menjadi keunggulan Portugal. Inggris tetap menjadi penghasil wool dan Portugal penghasil anggur. Keduanya akan menikmati wool dengan kualitas unggul dan demikian juga anggur, kalau keduanya mengadakan perdagangan. Kalau masing-masing ingin menghasilkan keduanya sendiri, maka yang akan diperoleh adalah wool dan anggur dengan kualitas rendah. Maka lebih menguntungkan kalau Inggris dan Portugal masing-masing mengadakan spesialisasi, lalu keduanya membuka pasar mereka dan mengadakan perdagangan.

Dengan kata lain, prinsip perdagangan bebas ini menuntut agar negara-negara membuka pasar mereka sebesar-besarnya untuk terjadinya perdagangan. Semakin negara-negara tidak menghalangi arus ekspor-impor, semakin konsumen dalam masing-masing negara akan menikmati keuntungan.

c. Teori Competitive Advantage6

Teori ini dituangkan oleh Michael Porter dalam bukunya the Competitive Advantage of Nations (1990). Dalam teori ini, negara tidak hanya berdagang, tetapi juga bersaing. Kalau sebuah negara ingin memperoleh kemakmuran (diukur

5

Michel Porter, The Competitive Advantage of Nation, London: Macmilan, 1990, Hal.19.

6

Robert O.Keohane dan Helen V. Milner (ed), Internationalization and Domestic Politics, Cambridge: cambridge University Press, 1996.


(17)

dengan angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi), ia harus bersaing dengan negara-negara lain untuk merayu modal yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang jumlahnya terbatas itu. Dalam rangka persaingan itulah negara berlomba mengurangi hambatan untuk terjadinya perdagangan bebas maupun masuknya investor, dan sekaligus juga mengembangkan kekayaan yang dimilikinya seperti struktur ekonomi nasional, nilai-nilai, kultur, sejarah bangsa. Negara juga harus menyediakan fasilitas-fasilitas untuk menarik modal yang dimiliki oleh para investor, terutama investor global. Implikasi dari teori ini adalah bahwa negara harus semakin mundur dari kegiatan intervensinya dalam ekonomi, terutama di bidang regulasi dan redistribusi kekayaan.

2. Homo Economicus dan Pasar Sebagai Model Sosial dan Politik7

Dengan menganut teori pilihan rasional yang ontologinya juga individual, Neoliberalisme percaya bahwa berdasarkan informasi yang sama, setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi di dalam pasar. Pasar

Peradaban pasar secara implisit menganjurkan dan mengutamakan konsep manusia tertentu yaitu manusia sebagai homo economicus. Kapitalisme (dan konsep manusia sebagai homo economicus) dipandang sebagai sesuatu yang natural, yaitu sebagai sesuatu yang transhistoris, yang mengangkangi sejarah. Dengan kata lain, homo economicus dipandang sebagai kodrat manusia. Masyarakat dipandang sebagai agregat dari individu-individu ini. Manusia pertama-tama dan terutama beroperasi atas motif-motif ekonomi, atau lebih tepat lagi menurut prinsip ekonomi kapitalis. Individu adalah titik awal dan titik akhir neoliberalisme.

7 Wibowo dan Francis Wahono (ed),


(18)

dipandang sebagai cara hidup paling efisien dalam alokasi sumber, perluasan lingkup preferensi individu dan menjamin kebebasan politik. Pasarlah yang memberikan kemungkinan optimal bagi individu-individu. Model ini juga diterapkan pada bidang sosial dan politik. Dalam kehidupan sosial, misalnya, persoalan keadilan harus ditempatkan dalam konteks pasar. Pasar yang sempurna menjamin keadilan komunitatif, meskipun tidak menjamin keadilan distributif. Distribusi ekonomi selalu berdasarkan pada kemampuan individu, modal, dan bakat yang ditopang mekanisme pasar yang sempurna.

Dalam kerangka pikir ini, politikpun dipandang sebagai transaksi ekonomis. Bahasa politik yang tadinya memang khas, diubah menjadi bahasa ekonomis. Unsur kekuasaan dan konflik dikeluarkan dari khasanah bahasa dan analisa politik. Politik menjadi serupa dengan ekonomi. Analisa politik menjadi analisa tentang biaya dan manfaat dari suatu transaksi. Unsur politik dan pertarungan kekuasaan dikaburkan dan disamarkan dalam bahasa yang sepenuhnya berbau konsensual.

Penyamaran dan pengaburan ini mengakibatkan perubahan arti politik secara mendalam. Politik lalu disamakan dengan proses tawar menawar dan dengan manajemen. Dalam konteks pikiran Fukuyama, hal ini menjadi kelas. Ketika debat ideologi tidak lagi perlu, maka yang diperlukan adalah diskusi dan konsensus tentang program dan proyek. Ketika ideologi sudah berakhir, perdebatan tentang hal-hal mendasar tidak mendapat tempat lagi dalam diskursus politik yang didominasi terutama oleh pembicaraan tentang teknologi atau tentang


(19)

1.5.2 Definisi Privatisasi8

Menurut Peacock Privatisasi pada umumnya di definisikan sebagai pemindahan industri dari milik pemerintah ke sektor swasta yang berimplikasikan bahwa saham dominan dalam pemilikan aktiva akan berpindah kepemegang saham.

Beesley dan Littlechild mengartikan Privatisasi sebagai pembentukan perusahaan. Dan menurut Company act, bahwa penjualan yang berkelanjutan sekurang-kurangnya sebesar 50 persen dari saham milik pemerintah ke pemegang saham swasta. Tetapi, yang menggarisbawahi ide ini adalah membuat konsep pengembangan industri dengan cara meningkatkan peranan pada kekuatan pasar.

Menurut Clementi terdapat empat batasan dalam kebijakan pemerintahan Thatcer tentang institusi pada perusahaan sektor publik secara keseluruhan, antara lain:

a. Memungkinkan pemindahan terhadap kepemilikan swasta

b. Membuka aktivitas terhadap kompetisi yang dikenal sebagai liberalisasi c. Menghapus fungsi tertentu yang dilakukan oleh sektor publik secara

bersamaan atau melakukan subkontrak kepada sektor swasta sehingga dapat dilakukan dengan biaya yang lebih rendah.

d. Membebani masyarakat pada jasa di sektor publik yang disediakan secara percuma.

Pirie mendefinisikan privagtisasi sebagai ide yang melibatkan pemindahan produksi barang dan jasa dari sektor publik ke sektor swasta. Sebagai pembagi terendah, mengerjakan secara swasta yang telah dikerjakan secara publik. Ini

8 Indra Bastian, Ph.D,


(20)

bukan kebijakan, tetapi sebuah pendekatan. Sebuah pendekatan yang mengakui bahwa peraturan dimana pasar mengatur aktivitas ekonomi adalah lebih dari peraturan yang dilakukan oleh manusia dan hukum.

Kay dan Thompson mendefinisikan privatisasi adalah terminologi yang digunakan untuk mencakup beberapa perbedaan secara alternatif, yang berarti mencakup perubahan hubungan antara pemerintah dengan sektor swasta. Di antara yang paling penting adalah adanya disnasionalisasi penjualan kepemilikan publik, deregulasi terhadap pengenalan kompetisi ke status monopoli dan kontrak melalui francise ke perusahaan swasta terhadap produksi barang dan jasa yang dibiayai oleh negara.

1.5.3 Teorema Pendukung Gagasan Privatisasi9

Privatisasi tidak selalu baik atau buruk dalam dirinya sendiri. Ia bisa baik jika semakin menjamin terselenggaranya kepentingan umum, dan ia buruk bila justru makin menghapus pertimbangan umum. Pada masa-masa awal, biasanya privatisasi bisa menjadi cara yang efektif untuk menyuntikkan etos kewirausahaan

Salah satu kebijakan pokok Neoliberalisme adalah privatisasi, seperti privatisasi perusahaan milik negara, pendidikan dan kesehatan. Perdebatan disini adalah mencakup pilihan antara pro-swasta atau pro-negara. Mereka yang mendukung privatisasi biasanya mengajukan alasan efisiensi sebagai alasan utama. Sedang mereka yang menolak biasanya mengajukan alasan nasionalisme sebagai dasarnya.

9

Fabby Tumiwa dan Hamong Santono, Sebuah Dogma Ekonomi Bernama Swastanisasi: Melacak Tata Kelola Lembaga Keuangan Internasional dari Gagasan dan Aktor Swastanisasi Listrik dan Air di Indonesia, dalam Sugeng Bahagijo (ed), Globalisasi Menghempas Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006, hal.133-136.


(21)

ke dalam berbagai perusahaan milik negara yang sudah lesu. Namun, dalam proses selanjutnya, dengan mudah privatisasi membawa petaka, sebab kinerja badan-badan usaha itu dengan cepat meninggalkan pertimbangan-pertimbangan umum, dan semakin digerakkan pertama-tama oleh perhitungan akumulasi laba semata.

Privatisasi memiliki definisi berpindahnya sumber daya dan badan usaha dari tangan publik ke tangan swasta. Dalam konteks ilmu politik, privatisasi adalah sebuah cara untuk memperbaiki pengelolaan dan kinerja badan usaha serta sektor publik lainnya, termasuk mengurangi beban negara. Privatisasi bertujuan untuk mencapai efisiensi mikro ekonomi lebih tinggi, mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mengurangi kebutuhan pinjaman publik akibat defisit anggaran belanja dengan cara mengurangi subsidi Negara yang diberikan kepada BUMN.

Ekonom seperti Armen Alchian, mengembangkan teorema Property Right

yang menjelaskan perbedaan dalam perilaku organisasi berdasarkan insentif individu yang diciptakan oleh struktur hak milik (Property Right). Dalam pandangan mereka, Property Rights menentukan hubungan sosial ekonomi yang harus ditaati oleh setiap orang dalam pemanfaatan sumber daya langka. Semakin individu berusaha mendapatkan keuntungan/manfaat dari kepemilikannya, semakin baik kepemilikan itu dipelihara. Sebaliknya, semakin lemah dan terabaikannya Property Rights mereka, semakin rendah pula motivasi individu untuk menggunakan milik mereka secara efisien.

Dalam konteks privatisasi, menurut teorema Property Rights, masyarakat akan menjadi lebih baik jika perusahaan publik atau aset perusahaan publik dimiliki oleh sektor swasta dan harus menghadapi ujian untuk mendapatkan


(22)

keuntungan. Pemindahan hak atas aset-aset sektor publik kepada sektor swasta akan menigkatkan efisiensi dalam hal pengawasan badan usaha yang bersangkutan.

Ada beberapa catatan berkaitan dengan dasar pemikiran dan implikasi dari teori tersebut. Pertama, teori itu berpegang pada bentuk kepemilikan sebagai penjelasan utama atas kinerja dari berbagai organisasi. Kedua, teori itu mengambil pasar sebagai acuan utama untuk menetapkan nilai, dan menganggap sektor publik kurang baik karena tidak dapat diukur dengan acuan tersebut, misalnya pemilik saham (negara yang dipresentasikan oleh pemerintah) tidak dapat menjual saham mereka. Kemampuan bertahan di pasar tergantung pada kemampuan suatu organisasi untuk menghasilkan penghargaan atau keuntungan bagi para pemiliknya. Badan usaha yang dikuasai publik tidak menerima sanksi dari pasar (misalnya, nilai saham perusahaan menurun) apabila kinerjanya buruk, sehingga tidak ada insentif bagi para pengelola untuk meningkatkan kinerja perusahaan.

Setelah teorema itu berkembang pula teori Pricipal Agent. Teori ini menyatakan bahwa prinsipal (pemegang saham) sebagai pemilik dari badan usaha akan berusaha memastikan bahwa agen (para pengelola dan manajer badan usaha) bertindak berdasarkan kepentingan para pemilik. Dalam konteks badan usaha milik negara, pemilik adalah pemerintah yang juga berlaku sekaligus sebagai agen yang mengelola perusahaan. Kedua fungsi tersebut menimbulkan sejumlah komplikasi dalam hal penentuan tujuan utama badan usaha dan pengelolaan perusahaan.

Dalam hal itu, kepemilikan menjadi tercerai berai karena terdiri dari warga negara yang dipresentasikan oleh kekuatan atau blok politik dan tujuannya pun


(23)

beragam, yang cendrung populis dan mengabaikan prinsip ekonomi. Untuk badan usaha swasta, pemiliknya adalah para pemilik modal atau saham yang memiliki tujuan tunggal, yaitu memakasimalkan keuntungan. Dengan adanya tujuan tunggal yang melibatkan kepentingan pribadi di sektor swasta, principals akan memberi perhatian serius dalam mengawasi kinerja keuangan dan produktivitas serta akuntabilitas dari para agen. Wai Hong Ho, dalam Disertasi Doktoralnya, menyatakan bahwa perusahaan milik negara tidak efisien karena mereka beroperasi dengan menjalankan sejumlah tujuan, misalnya, penyerapan tenaga kerja atau pemuasan kepentingan partai-partai politik.

Teorema lain yang mendukung privatisasi adalah pengembangan konsep ekonomi Neoliberal tentang individualisme metodologis (methodological individualism) yang mempertanyakan motivasi para pekerja di sektor publik atau badan usaha milik negara. Menurut teori Public Choice, birokrat pemerintah dipandang sebagai individu-individu yang cendrung mementingkan diri sendiri, merancang kemakmuran dan bukan untuk kepentingan seluruh masyarakat. Penggambaran mengenai sektor publik seperti itu sangat berbeda dengan pandangan awal yang mengatakan bahwa pemerintah dipercaya dapat memaksimalkan keadilan sosial. Semakin besar kontrol yang dimiliki pemerintah, semakin besar pula kecendrungan untuk melakukan pengeluaran secara berlebihan, inefisiensi dalam alokasi sumber daya serta inefisiensi produksi pada badan-badan pemerintah.


(24)

1.5.4 Definisi Pendidikan

M.J. Langeveld mendefinisikan pendidikan sebagai upaya manusia dewasa membimbing manusia yang belum dewasa kepada ke dewasaan, dan usaha menolong anak untuk melaksanakan tugas-tugas hidupnya, mencapai penentuan diri-susila agar dia bisa mandiri, akil-baliq, dan bertanggungjawab secara susila.

Kemudian Stella Van Petten Henderson mendefinisikan pendidikan sebagai kombinasi dari pertumbuhan dan perkembangan insani dengan warisan sosial. Sedangkan menurut Encyclopedia Americana mendefinisikan pendidikan sebagai proses yang dipakai individu untuk memperoleh pengetahuan atau wawasan, atau mengembangkan sikap-sikap ataupun keterampilan-keterampilan.

1.5.5Hakekat Pembelajaran

Di dunia pendidikan istilah pembelajaran sering digunakan. Menurut pendapat Hamalik pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun 10

10 Hamalik,

Kurikulum Dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2001, hal. 57.

meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Unsur manusiawi merupakan unsur penting dalam pembelajaran yang terdiri dari peserta didik, guru, tenaga laboratorium, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan. Dalam pembelajaran tidak bisa dipisahkan dari unsur material yang meliputi buku-buku, kurikulum, koran, majalah, papan tulis, kapur, brosur, buletin, OHP, peta, globe dan sebagainya. Fasilitas dan perlengkapan meliputi ruangan kelas, tempat duduk dan meja siswa, ruangan laboratorium, perpustakaan, komputer. Sedangkan yang


(25)

termasuk prosedur adalah jadwal pelajaran, metode mengajar, belajar, praktik, ujian.

1.5.6 Pendidikan Nasional

Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.11

1.5.7 Visi, Misi, Tujuan dan Strategi Pendidikan Nasional12

Pendidikan Nasional memiliki visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga

11

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

12


(26)

Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut:

1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar.

3. Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral.

4. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global

5. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan visi dan misi pendikan nasional tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.


(27)

Pembaharuan sistem pendidikan memerlukan strategi tertentu. Strategi pembangunan pendidikan nasional meliputi:

1. Pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia;

2. Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi; 3. Proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis;

4. Evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan; 5. Peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan; 6. Penyediaan sarana belajar yang mendidik;

7. Pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan;

8. Penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata; 9. Pelaksanaan wajib belajar;

10. Pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan; 11. Pemberdayaan peran masyarakat;

12. Pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat;dan 13. Pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.

1.5.8 Jalur Pendidikan13

1. Pendidikan Formal, Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Diperoleh di

Jalur Pendidikan di Indonesia, menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikelompokkan menjadi tiga macam, masing-masing adalah:


(28)

lembaga-lembaga pendidikan seperti Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), Diploma, Strata 1 (S1), Strata 2 (S2), Spesialis, dan Strata 3 (S3). 2. Pendidikan Nonformal, Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga

masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.

3. Pendidikan Informal, Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

1.5.9 Privatisasi Pendidikan

Sebenarnya tidak ada definisi yang jelas mengenai privatisasi pendidikan. Tetapi disini penulis akan mendefinisikan privatisasi pendidikan sebagai bentuk penyerahan kewajiban pemerintah (negara) dalam hal pengelola dan pembiaya sektor pendidikan —lewat pencabutan subsidi —kepada masyarakat (pihak swasta). Dengan begitu, lembaga pendidikan (sekolah dan perguruan tinggi) memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan.


(29)

1.6 Kerangka Analisa

Dalam menganalisis masalah penulis menggunakan kerangka analisa yang terdiri dari variabel-variabel. Berfungsi untuk memperjelas masalah yang akan diteliti dalam menganalisis skripsi ini. Variabel Independent (variabel bebas) dan Variabel Dependent (variabel terikat). Variabel bebas adalah konsep yang dipakai sebagai dasar untuk menjelaskan atau meramalkan konsep lain. Variabel terikat adalah suatu akibat dari kekuatan variabel bebas.

Variabel Bebas Variabel Terikat

Ekonomi Politik Indonesia Indikator: Privatisasi dan pemotongan subsidi Privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) Privatisasi pendidikan Di legalkan melalui UU Nomor 20 tahun 2003 Otonomi pendidikan tinggi dan manajemen basis sekolah Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan Intervensi dan Program Neoliberalisme Melalui Lembaga-Lembaga Internasional


(30)

1.7 Metode Penelitian

Dalam rangka penyusunan skripsi ini perlu digunakan suatu metode penelitian yang memiliki ikatan dengan masalah yang akan dibahas agar inti dari masalah ini dapat ditarik sebuah kesimpulan pada akhirnya. Untuk itu diperlukan data yang ada hubungannya dengan masalah tersebut. Dalam hal ini penulis menggunakan: Metode penulisan yang dipakai melalui metode deskriptif analisis dimana penulis menjabarkan dan mencoba menggambarkan masalah yang akan diangkat kedalam pembahasan skripsi ini.

1.8. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini menggunakan Metode Library Research yaitu penelitian kepustakaan dimana penulis membahas masalah berdasarkan buku-buku, majalah, internet, Koran dan literatur lainnya.

1.9. Teknik Analisa Data

Tahap selanjutnya dalam penulisan skripsi ini adalah melakukan analisis terhadap masalah yang telah dirumuskan. Untuk menganalisis data yang dikumpulkan, penulis menggunakan teknik analisis antara lain:

1. Teknik Analisa Deskriptif

Adalah suatu tekhnik analisa yang menggambarkan suatu peristiwa, tingkah laku, perbuatan dari objek yang diteliti sehingga dapat diperoleh gambaran umum Penerapan Kebijakan Privatisasi Pendidikan di Indonesia.


(31)

2. Teknik Analisa Deduktif

Yaitu menganalisis data berdasarkan kesimpulan teori yang sudah berlaku umum untuk dapat ditarik kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan yang telah dibuat, dapat dikemukakan saran yang dipertimbangkan oleh para pengambil kebijakan terhadap masalah yang dihadapi.


(32)

1.10. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari:

Bab I: Bab ini akan membahas latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, kerangka dasar pemikiran, kerangka analisa, metode penulisan, teknik pengumpulan data, teknik analisa data dan sistematika penulisan.

Bab II : Bab ini akan membahas latar belakang kebijakan privatisasi pendidikan di Indonesia. Bab ini diawali dengan pembahasan latar belakang lahirnya ide privatisasi secara umum dan latar belakang kebijakan privatisasi di indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan latar belakang kebijakan privatisasi pendidikan di indonesia yang antara lain akan membahas faktor pendorong mengapa pemerintah menerapkan kebijakan privatisasi pendidikan, dan legitimasi privatisasi pendidikan di Indonesia.

Bab III: Bab ini akan membahas tentang dampak kebijakan privatisasi pendidikan di Indonesia. Di bab ini penulis menguraikan dua dampak kebijakan privatisasi, yaitu kenaikan biaya pendidikan dan pengangguran sebagai akibat kurikulum berorientasi pasar. Di bab ini penulis juga menguraikan kebijakan privatisasi sebagai bentuk pelanggaran konstitusi Republik Indonesia. Bab IV: Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian


(33)

BAB II

LATAR BELAKANG KEBIJAKAN PRIVATISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

2.1 Latar Belakang Lahirnya Ide Privatisasi

Pada masa sesudah Perang Dunia ke-2, kebijakan pembangunan di negara-negara Eropa dan negara-negara-negara-negara bekas jajahan mengadopsi model kebijakan intervensi negara. Kebijakan ini mendapat dukungan teori big-pus yang dikembangkan Rosenstein-Rodan pada awal tahun 1940-an, yang menekankan perlunya intervensi pemerintah dalam melakukan investasi skala besar, sehingga dapat meraih keuntungan dari ekonomi eksternal14

Adanya pandangan baru tersebut menyebabkan ditolaknya dogma lama yang menganggap bahwa kebijakan koordinasi ekonomi sentralistis tidak dapat berjalan. Intervensi negara mendapatkan tempat dalam kebijakan pembangunan yang dikukuhkan oleh keberhasilan program new deal dasawarsa 1930-an, yang berhasil mengatasi resesi ekonomi Amerika Serikat waktu itu. Akibatnya, pemerintahan pasca kolonial di sejumlah negara pun mulai melakukan berbagai intervensi pada sektor ekonomi dengan mengubah struktur ekonomi mereka. Terlebih lagi di negara-negara baru berkembang yang memasuki fase awal industrilisasi, peran dan intervensi negara menjadi dominan dalam mendukung proses manufaktur dan pembangunan infrastruktur dasar, seperti penyediaan air

.

14

Ha-Joon Chang, Globalisation Economic Development and the Role of the State, London: Zed Books, 2003.


(34)

bersih, listrik, dan transportasi, yang dikelola dan dikembangkan oleh badan-badan usaha milik negara.15

Krisis juga mengakibatkan negara-negara tersebut menjadi sangat tergantung pada dukungan keuangan lembaga-lembaga donor dan kreditor internasional yang kemudian meningkat pengaruhnya dalam penyusunan kebijakan. Salah satu yang dipromosikan adalah privatisasi badan usaha milik negara. Di negara-negara berkembang dengan masalah inefisiensi badan usaha milik negara yang sangat merusak, mengingat beban mereka dalam sektor

Hingga dasawarsa 1980-an, kebijakan ekonomi dan pembangunan di negara-negara berkembang mengadopsi model perencanaan terpusat dan kepemilikan badan usaha milik negara yang mendorong investasi dan akumulasi modal sebagai bagian dari pembangunan ekonomi. Walaupun demikian, kepercayaan terhadap intervensi negara dalam pembangunan ekonomi mulai menurun pada dasawarsa 1970-an sebagai akibat berbagai kejutan eksternal yang diderita ekonomi di negara-negara berkembang, antara lain melonjaknya harga minyak, menurunnya harga komoditas ekspor, sedangkan harga barang impor meningkat. Dampaknya adalah munculnya krisis utang luar negeri di sebagian besar negara berkembang serta terjadinya krisis pendapatan yang bermuara pada defisit anggaran. Karena negara mendominasi aktivitas ekonomi di negara-negara berkembang, perhatian pun kemudian tertuju pada kinerja berbagai sektor publik, khususnya badan usaha milik negara dalam upaya mengatasi kemerosotan ekonomi.

15


(35)

ekonomi manufaktur dan infrastruktur, dukungan terhadap privatisasi sangat besar.16

Secara keseluruhan, tujuan yang hendak dicapai oleh lembaga-lembaga keuangan internasional melalui privatisasi ada tiga macam, yaitu:17

1. Tujuan ekonomi, yaitu meningkatkan efisiensi, produktivitas dan keuntungan perusahaan, meningkatkan kualitas produk dan pelayanan, dan menarik investasi swasta.

2. Tujuan fiskal, yaitu menghapus subsidi pemerintah pada badan usaha milik negara, memperoleh tambahan dana dari penjualan kepemilikan negara atas badan usaha; dan meningkatkan pendapatan pajak dari badan usaha swasta.

3. Tujuan sosial politik, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempromosikan kepemilikan badan usaha swasta oleh swasta nasional, meningkatkan kepemilikan property kelas menengah, meningkatkan pemanfaatan tenaga kerja, dan mengurangi korupsi serta penyalahgunaan di kantor-kantor publik.

Namun demikian, pada kenyataannya, tidak seluruh tujuan tersebut dapat tercapai. Dalam hal efisiensi dan produktivitas badan usaha milik negara sebelum dan sesudah privatisasi, misalnya, menunjukkan hasil yang berbeda.

16

Kate Bayliss, Privatization Theory and Practice: a Critical Analysis of Policy Evolution in the Development Context, dalam Jomo KS dan Ben Fine (ed.), The New Development Economics: Afters the Washington Consensus, London: Zed Books, 2006.

17 Fabby Tumiwa dan Hamong Santoso,


(36)

2.2 Kebijakan Privatisasi di Indonesia

Kecendrungan liberalisasi ekonomi sebenarnya bisa dilihat sejak awal Orde Baru berdiri. Hal ini ditandai dengan kembali bergabungnya Indonesia menjadi anggota IMF (International Monetary Funds) dan Bank Dunia. Indonesia sendiri sebenarnya telah terdaftar menjadi anggota IMF (International Monetary Funds) dan Bank Dunia sejak tahun 1954. Untuk memperlihatkan dukungannya terhadap kebijakan Neoliberalisme, Pemerintahan Orde Baru kemudian mengeluarkan UU Penanaman Modal Asing Nomor I tahun 1967, yang disempurnakan dengan UU Nomor VI tahun 1968 dan UU Nomor XI tahun 1971.18

Paham Neoliberalisme makin mengemuka sejak tahun 1980-an, setelah Indonesia banyak menderita kerugian akibat jatuhnya harga minyak dunia. IMF (Internasional Monetary Funds) dan Bank Dunia lewat kebijakan SAP (Structural Adjustment Programme) mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi ekonomi, dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Perencanaan ekonomi sentralistik, proteksionisme, regulasi ekonomi yang berlebihan, dominasi pemerintah dalam berbagai sektor ekonomi, berkembangnya BUMN (Badan Usaha Milik Negara), subsidi terus-menerus, serta strategi industri subsitusi impor, menjadi sasaran kritik komunitas Neoliberal. Sebagai alternatif mereka menganjurkan kepada pemerintah untuk

Dominasi modal asing dalam perekonomian jauh melampaui borjuis domestik. Bahkan seluruh sektor industri strategis, yang di Indonesia tak berkembang luas, seperti industri logam, pertambangan, barang logam, industri kimia pun didominasi asing.

18 Koran


(37)

melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi ekonomi, dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

Pemerintah mulai melakukan deregulasi dan liberalisasi sektor ekonomi, antara lain, keuangan, perbankan, dan industri, yang dilaksanakan sejak pertengahan tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an. Setelah 1991-1992, deregulasi dan liberalisasi mulai melambat dengan naiknya kelompok baru, yang dikenal dengan sebutan konglomerat dan melebarnya kesenjangan ekonomi antara kaum kaya dan kaum miskin, yang memunculkan kritik luas bahkan di kalangan komunitas Neoliberal. Walaupun deregulasi dan liberalisasi ekonomi dipandang cukup berhasil, privatisasi BUMN tidak terjadi. Sejumlah badan usaha milik negara yang masih menguasai sektor-sektor penting, antara lain, Perusahaan Listrik Negara (listrik), Pertamina (migas), Krakatau Steel (baja), dan bank-bank pemerintah.19

Krisis yang melanda Indonesia pada tahun 1997 memberi kesempatan bagi lembaga-lembaga keuangan internasional untuk mendesak agenda deregulasi dan liberalisasi ekonomi yang sebelumnya kehilangan momentum. Saat krisis keuangan tambah memburuk ditandai dengan kejatuhan rupiah pada pertengahan tahun 1997, modal asing mendapatkan momentumnya di tengah borjuasi nasional yang sedang kolaps menghadapi krisis sehingga tak ada jalan lain, Presiden Soeharto meminta bantuan IMF(Internasional Monetary Funds) dan lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya untuk memenuhi kebutuhan sumber pendanaan dari luar. Intervensi modal asing tak terbendung lagi, perangkap hutang dan ketergantungan seluruh sektor ekonomi modern telah membuahkan

19

Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme: Ekonomi Indonesia, 1986-1992, Jakarta: KPG, 2002.


(38)

hasilnya. Mereka menyodorkan sejumlah persyaratan, dan pemerintah Indonesia pun setuju menjalankan serangkaian program penyesuaian ekonomi makro yang diajukan Bank Dunia, IMF (Internasional Monetary Funds), dan Bank Pembangunan Asia. Misalnya, dalam surat kepada Direktur IMF (Internasional Monetary Funds) tanggal 31 Oktober 1997, yang sekaligus merupakan

Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) dalam rangka mendapatkan pinjaman siaga dari IMF (Internasional Monetary Funds), pemerintah Indonesia bersedia melaksanakan sejumlah program kebijakan di bidang ekonomi dan keuangan selama tiga tahun. Satu diantaranya melakukan reformasi struktural, termasuk deregulasi dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara).20

Pemerintah menyatakan akan mengambil sejumlah langkah yang mendukung kompetisi di tingkat domestik dengan cara mempercepat privatisasi dan memperbesar peran swasta dalam penyediaan infrastruktur.21

20

Hisako Motoyama dan Nurina Widagdo, Power Sector Restructuring in Indonesia: A Premininary Study for Advocacy Purposes, Washingtong, DC: Friends of the Earth and Bank Information Center, 1999.

21

Ibid.

Untuk melaksanakan privatisasi, pemerintah mulai mencabut aturan yang membatasi kepemilikan saham maksimal 49 persen oleh investor asing untuk perusahaan yang tercatat di bursa saham, serta membentuk komite privatisasi. Restrukturisasi dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) mulai mendapat bentuk nyata ketika rencana pemerintah yang lebih rinci mengenai langkah dan strategi privatisasi BUMN disampaikan kepada IMF (Internasional Monetary Funds) melalui Letter of Intent 10 April 1998.


(39)

Program privatisasi sendiri ternyata tidak berhasil memenuhi tenggat waktu sebagaimana telah disepakati Pemerintah Indonesia dan IMF (Internasional Monetary Funds). Pemerintah berdalih bahwa situasi pasar kurang mendukung jika dilakukan penjualan saham pemerintah di sejumlah BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Walaupun demikian, pada awal 1999, pemerintah menyatakan telah berhasil menjual saham-sahamnya di perusahaan semen dan pabrik pengolahan makanan senilai 200 juta dollar Amerika Serikat.

Pada saat bersamaan, Bank Dunia menyetujui pinjaman untuk empat program penyesuaian struktural antara tahun 1998-1999, yaitu Policy Reform Support Loan (PRSL) sebesar 1 miliar dollar Amerika Serikat, Policy Reform Support Loan II (PRSL II) sebesar 500 juta dollar Amerika Serikat, Social Safety Net Adjusment Loan (SSNL) sebesar 600 juta dollar Amerika Serikat, dan Water Resources Sector Adjusment Loan (WATSAL) sebesar 300 juta dollar Amerika Serikat. Baik PRSL dan PRSL II maupun WATSAL merupakan pinjaman program yang bertujuan mendorong pelaksanaan deregulasi, liberalisasi, dan peningkatan peran serta pihak swasta di berbagai sektor ekonomi, keuangan, perbankan, dan infrastruktur, termasuk kelistrikan dan air bersih. Sementara untuk mendukung program privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara), pada Januari 1999 Bank Pembangunan Asia menyetujui pemberian bantuan teknis sebesar 2,47 juta dollar Amerika Serikat untuk menyusun rencana reformasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dalam rangka peningkatan efisiensi dan privatisasi.22

22 Sugeng Bahagijo (ed.),


(40)

Walaupun program privatisasi tidak berjalan sebagaimana direncanakan semula saat krisis terjadi, komitmen pemerintahan Megawati untuk privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) tetap tidak berkurang. Laporan kemajuan

White Paper yang disusun Pemerintah Indonesia pada 2004 menyatakan bahwa sepuluh BUMN (Badan Usaha Milik Negara) telah diswastanisasi pada 2003-2004, dan sampai dengan Juni 2004 kegiatan itu telah memberikan pendapatan sebesar 3,25 triliun rupiah. Secara keseluruhan sepanjang tahun 1997-2004 pemerintah telah melakukan privatisasi terhadap 22 BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Kepemilikan saham pemerintah di sebagian BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang dijual tersebut masih dipertahankan rata-rata diatas 50 persen23

Tahun

.

Tabel 1

Privatisasi BUMN Indonesia (1997-2004)

BUMN Bagian yang

Dijual (%)

Hasil (miliar)

Sisa Saham RI (%)

1997 PT Aneka Tambang Tbk

35 Rp 603 miliar 65

1998 PT Semen Gresik Tbk

14 Rp 1.317 miliar 51

1999 PT Pelindo II 49 US$ 190 juta

1999 PT Pelindo III 51 US$ 157 juta

1999 PT Telkom Tbk 9,62 Rp3.188 miliar

2001 PT Kimia Farma Tbk

9,2 Rp 110 miliar 90,8

2001 PT Indofarma 19,8 Rp 150 miliar 80,2

2001 PT Socfindo 30 US$ 45,4 juta 10

2001 PT Telkom Tbk 11,9 Rp 3.100 miliar 54

23 Kantor Menteri Perekonomian,


(41)

2002 PT Indosat Tbk 8,06 41,94

Rp 967 miliar US$ 608,4 juta

15

2002 PT Telkom Tbk 3,1 Rp 1.100 miliar 51

2002 PT tambang Batubara Bukit Asam Tbk

15 1,26

Rp 156 miliar 84

2002 PT WNI 41,99 Rp 255 miliar 0

2003 PT Bank Mandiri Tbk

20 Rp 2.547 miliar 80

2003 PT Indocement Tbk 16,67 Rp 1.157 miliar 0

2003 PT BRI Tbk 30

15

Rp 2.512 miliar 59,5

2003 PT PGN Tbk 20

19

Rp 1.235 miliar 61

2004 PT Pembangunan Perumahan

49 Rp 60,49 miliar 51

2004 PT Adhi Karya 24,5

24,5

Rp 65 miliar 51

2004 PT Bank Mandiri Tbk

10 Rp 2.844 miliar 69,5

2004 PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk

12,5 Rp 180 miliar 65

Berbeda dengan sektor keuangan, perbankan, dan industri lain, privatisasi di sektor listrik dan air tidak dilakukan melalui penjualan saham BUMN atau BUMD. Privatisasi di sektor kelistrikan dan air bersih dijalankan secara bertahap dengan mengubah kebijakan-kebijakan sektoral dan aturan perundang-undangan


(42)

melalui program reformasi structural yang mendapat dana pinjaman lembaga-lembaga keuangan internasional. Tujuan akhir dari program tersebut adalah memisahkan negara dengan penyedia jasa infrastruktur dan menciptakan kompetisi yang sehat di tingkat sektoral.

2.3 Privatisasi dan Jebakan Hutang Luar Negeri

Penyebar luasan paham Neoliberalisme lewat kebijakan Lembaga keuangan internasional ke negara dunia ketiga adalah melalui strategi pemberian hutang, yaitu hutang yang diberikan secara terus menerus tanpa ada pengawasan yang ketat terhadap penggunaan dana hutang tersebut yang mengakibatkan pemerintahan nasional negara dunia ketiga menjadi kecanduan dan akhirnya tidak mempunyai kemampuan untuk menolak perubahan sistem ekonomi nasionalnya dengan mekanisme SAP (structural Adjustment Program). Dengan SAP (structural Adjustment Program) inilah pemilik modal besar di Internasional mampu merubah sistem ekonomi yang sudah ada menjadi sistem ekonomi yang sesuai dengan keinginan mereka dalam mengembangkan investasi dan keuntungan. Salah satu dari program SAP (structural Adjustment Program) adalah kebijakan privatisasi.

Dalam konteks Indonesia, masalah hutang luar negeri sangat memperburuk kondisi perekonomian Indonesia. Selain memikul hutang luar negeri sebesar 150 milyar dollar Amerika Serikat di awal krisis (per Desember 1998), Indonesia juga memikul beban hutang dalam negeri sebesar 600 trilyun rupiah. Secara keseluruhan Indonesia menanggung beban hutang sebesar 2100 trilyun rupiah. Akibat volume hutang luar negeri sebesar itu, Indonesia praktis


(43)

terpuruk menjadi negara pengutang terbesar nomor lima dunia, dengan volume hutang sebesar 232 milyar dollar Amerika Serikat. Urutan pertama adalah Brasil, dengan volume hutang luar negeri sebesar 232 milyar dollar Amerika Serikat. Sedangkan urutan kedua adalah Rusia, dengan volume hutang luar negeri 183 milyar Amerika Serikat. Urutan ketiga adalah mexico, dengan volume hutang luar negeri 159 milyar dollar Amerika Serikat. Urutan keempat adalah Cina, dengan volume hutang luar negeri 154 millyar dollar Amerika Serikat (1998)24

Berbicara mengenai konsepsi hutang, selama ini banyak yang tidak menyadari bahwa konsepsi hutang yang dianut oleh pemerintah Indonesia cendrung sangat didominasi oleh pandangan para ekonom Neoliberal. Sesuai dengan pandangan umum yang dianut oleh para pengikut Reagen dan Thatcher, pembuatan hutang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dua hal:25

1. Untuk menutupi kesenjangan antara tingkat tabungan masyarakat dengan kebutuhan investasi (saving investment gap).

2. Khusus untuk luar negeri, untuk memanfaatkan suku bunga murah yang ditawarkan oleh sindikat negara-negara kreditur dan lembaga keuangan multilateral

Menurut paham ekonomi Neoliberal, tuntutan pemotongan hutang dapat menyebabkan semakin merosotnya kepercayaan para investor kepada Indonesia. Dengan sikap seperti ini, para ekonom Neoliberalisme sesungguhnya sudah memiliki jawaban terhadap hampir semua persoalan ekonomi yang dihadapi Indonesia, bahkan jauh sebelum mereka melakukan riset dan analisis. Kuncinya

24

World Development Report 2000/2001 tahun 1998.

25

Internet, Susan George, A Short History of Neoliberalism: Twenty Years of Elites Economic and Emerging Opportunities For Struktural Change.


(44)

sederhana, how to make a market friendly decision?. Jika dikaitkan dengan persoalan hutang luar negeri, menjadi mudah dimengerti jika para ekonom Neoliberal cendrung memaksakan cara pandang mereka yang cendrung melihat hutang semata-mata sebagai sebuah fenomena ekonomi.

Persoalan penyelesaian hutang luar negeri, yang hingga saat ini mendekati angka 134,4 milyar dollar Amerika Serikat (2003), yang lebih dari setengahnya adalah hutang pemerintah, sangat membebani perekonomian Indonesia. Apalagi dari tahun ke tahun ketergantungan terhadap hutang luar negeri semakin meningkat. Dengan jumlah hutang sebesar itu, maka Indonesia saat ini berada dalam kondisi Fischer Paradox, yaitu kondisi dimana nilai pinjaman baru lebih kecil dibandingkan dengan nilai cicilan hutang, dan bunga yang harus dibayar untuk hutang-hutang lama lebih besar jumlahnya untuk tahun yang sama. Jadinya, hutang luar negeri semakin membebani APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Pemerintah Indonesia terus terang mengakui bahwa hutang luar negeri merupakan beban bagi pembangunan nasional.26

Klaim lembaga keuangan internasional tersebut bukannya tidak mendasar. IMF (International Monetary Funds) mencatat hutang luar negeri Indonesia terus berkurang dari 81 persen PDB (Produk Domestik Bruto) tahun 2001menjadi 53 Beban utang yang sangat besar itu telah mengurangi fleksibelitas pemerintah pemerintah untuk dapat mengalokasikan dana, baik dalam menstimuli roda pembangunan melalui kebijakan fiskal maupun mengurangi jumlah penduduk miskin. Namun, di pihak lain, lembaga keuangan internasional tetap bersikukuh bahwa hutang Indonesia aman (technically sustainable).

26 Harian


(45)

persen pada 2004. IMF (International Monetary Funds) hanya memberi catatan bahwa bila laju aliran penanaman modal asing langsung dan investasi dalam bentuk modal jangka pendek gagal diwujudkan, maka kecendrungan sangat baik ini bisa memburuk lagi. Dengan kata lain, IMF (International Monetary Funds) menyarankan Indonesia untuk terus menambah hutangnya untuk pertumbuhan perekonomian, dan untuk mengatasi masalah perekonomian dalam negeri pemerintah disarankan untuk mencabut atau mengurangi subsidi bahan bakar minyak.

Dalam literature mainstream (neoliberal), pelumnas bagi pertumbuhan ekonomi adalah hutang dan akses terhadap pasar modal, sehingga kepercayaan investor harus tetap terjaga. Masalah hutang Indonesia yang baik-baik saja itu sebenarnya dapat dibantah dengan terus meningkatnya pembayaran hutang luar negeri, baik pokok pinjaman maupun bunganya. Dalam tataran teknis (dinilai melalui kemampuan membayar), utang Indonesia memang terlihat turun. Namun demikian, bila rupiah terdepresiasi maka rasio hutang akan naik lagi. Itu merupakan posisi sangat rentan, karena 70 persen dari pergerakan mata uang rupiah berhubungan dengan faktor eksternal, seperti harga minyak dan dinamika di pasar internasional yang sangat didominasi oleh mata uang asing, khususnya dollar.


(46)

Tabel 2

Kewajiban Pembayaran Utang Indonesia (dalam US$ miliar)

Pembayaran 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Pokok Hutang Jangka Panjang

14,9 13,0 11,2 11,7 9,3 7,9 10,5 12,9 13,8

Bunga Hutang Jangka Panjang

5,1 5,1 5,6 4,6 5,7 4,6 3,2 3,4 4,7

Bunga Hutang Jangka Pendek

1,5 1,6 1,3 9,9 1,2 8,6 0,6 6,4 …

Sumber : ADB Key Indicators 2005

Selama tiga dasawarsa, Bank Dunia terus mengeluarkan pinjaman baru walaupun mengetahui bahwa sebagian dana dalam jumlah cukup besar dikorup. Rakyat Indonesia terus menanggung beban pembayaran kembali, ditambah bunga, padahal dana tersebut tidak pernah digunakan untuk tujuan pembangunan. Bahkan, lebih jauh lagi sebagai kreditur, lembaga-lembaga keuangan internasional sudah banyak mengeruk keuntungan dari pinjaman-pinjaman tersebut, baik dalam bentuk bunga hutang, pemakaian jasa konsultan proyek dan belanja proyek, tender proyek yang diberikan kepada perusahaan dari negara kreditur, dan konsesi-konsesi ekonomi yang selalu menyertai pinjaman-pinjaman tersebut. Belum lagi keuntungan yang dikeruk dari hasil kolonialisme Barat terhadap negeri-negeri Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.


(47)

2.4 Privatisasi Sebagai Syarat Pencairan Utang

IMF (International Monetary Funds) dan Bank Dunia merupakan lembaga keuangan internasional yang memformulasikan kebijakan ekonomi Indonesia yang ujung-ujungnya membuat kita terus-menerus tergantung kepada mereka. Ketergantungan ini mengakibatkan Indonesia menerima syarat-syarat pemberian pinjaman, dengan melaksanakan Program Neoliberalisme.

Dorongan untuk melakukan privatisasi sektor publik atau badan usaha milik negara tidak dapat dilepaskan dari konteks historis lembaga keuangan internasional yang berupaya menerapkan resep-resep ekonomi dan pembangunan Neoliberal di Indonesia. Pada saat Indonesia dilanda krisis keuangan, Presiden Soeharto meminta bantuan IMF (International Monetary Funds) dan Bank Dunia untuk memenuhi sumber pendanaan dari luar. Merekapun menyodorkan sejumlah persyaratan, dan pemerintah Indonesia pun setuju untuk menjalankan berbagai persyaratan tersebut, yang diantaranya yaitu privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

Alasan teoritis pemberlakuan privatisasi selalu didasarkan pada efisiensi dan efektivitas sektor swasta yang kompetitif yang dihadapkan pada birokrasi yang lamban dari model pengelolaan negara yang monopolistik. Padahal tidak selamanya penyerahan kepada sektor swasta menghasilkan penurunan harga, sebagai hasil kompetisi. Beberapa sektor swasta yang menggarap satu sektor komoditi tertentu tidaklah berprilaku sebagai competitor satu terhadap lainnya, melainkan justru membangun kartel atau oligopoly untuk menentukan harga sesuai dengan standar mereka.


(48)

Proyeksi IMF (International Monetary Funds) yang dituangkan dalam

Letter of Intent (LoI) dengan pemerintah Indonesia menyebutkan, dalam jangka 10 tahun, proses swastanisasi seluruh BUMN (Badan Usaha Milik Negara), kecuali sebagian kecil BUMN harus diselesaikan. Swastanisasi dianggap sebagai cara terbaik yang harus dilakukan pemerintah dalam menutupi defisit anggaran akibat krisis ekonomi. Memang, jika dengan melakukan swastanisasi, pemerintah akan mendapatkan kucuran dana, selain dari penjualan aset juga dari kucuran dana pinjaman dari lembaga keuangan untuk pembangunan dalam negeri. Tetapi disisi lain, tujuan utama resep privatisasi anjuran IMF (International Monetary Funds) dan lembaga keuangan lainnya yang sebenarnya hanyalah untuk memenuhi kepentingan modal internasional, memperluas modal dan pasar mereka, serta terjaminnya pembayaran hutang luar negeri Indonesia. Namun, ada beberapa hal pokok lainnya antara lain:

1. Modal internasional berkepentingan untuk meluaskan lahan bagi investasi modal mereka. Apalagi, konsumen produk komoditi dan jasa BUMN (Badan Usaha Milik Negara) tersebut adalah mayoritas rakyat, potensi pasar yang sangat diincar oleh investor swasta.

2. Dalam kondisi terdesak untuk mendapatkan kucuran dana, pemerintah Indonesia tak berdaya atas tekanan IMF (International Monetary Funds) untuk sesegera dan semurah mungkin menjual BUMN (Badan Usaha Milik Negara) serta perusahaan-perusahaan swasta yang sudah di tangan negara. Contohnya, kasus penjualan BCA, dalam waktu singkat PT Astra Internasional dan PT Bentoel berpindah milik ke tangan George Soros; PT semen Gresik ke CEMEX, PT Indocement ke Heildelberg, BCA ke


(49)

Farralon dan lain-lain. Semua ini dapat terjadi karena yang paling siap untuk membeli BUMN (Badan Usaha Milik Negara) adalah modal internasional.

3. Modal hasil swastanisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) digunakan untuk menjamin tersedianya anggaran pemerintah untuk membayar cicilan hutang luar negeri. Bisa kita lihat pengeluaran negara untuk cicilan hutang luar negeri dari tahun ke tahun makin membesar.

2.5 Latar Belakang Kebijakan Privatisasi Pendidikan di Indonesia

Beberapa tahun pasca krisis moneter 1997 di Indonesia, privatisasi menjadi sebuah tren dalam pergulatan ekonomi Indonesia. Bagi para pendukung privatisasi, mereka memakai kesuksesan Margareth Teacher pada tahun 1979 yang mendorong perekonomian Inggris melalui kebijakan privatisasi. Sedangkan di kubu yang kontra terhadap pendekatan ini menganggap privatisasi hanyalah derivasi dari skenario besar ekonomi liberal yang kontra produktif bagi pengembangan ekonomi rakyat kecil.

Mahalnya biaya jasa publik, seperti kesehatan dan pendidikan menjadi dampak langsung dari adanya konsep privatisasi. Ada sebuah keyakinan dalam perjalanan tren privatisasi yang dalam ruang idealita memang sebenarnya baik, yaitu mendorong pasar kompetitif yang berujung pada efisiensi ekonomi. Tetapi, Apa terjadi di Inggris tidak dapat disamakan dengan kondisi bangsa Indonesia. Ketika itu rakyat di Inggris sudah mencapai tingkat kemapanan yang cukup, sehingga daya beli mereka tinggi. Hal ini tentu saja mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah dalam pengelolaan ekonomi.


(50)

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, Privatisasi pendidikan merupakan bagian dari program pengurangan dan penghapusan subsidi pemerintah terhadap pelayanan publik di sektor pendidikan dan melepaskan harga dan biayanya kepada mekanisme pasar. Privatisasi pendidikan juga merupakan salah satu bentuk program privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Ada 3 faktor pendorong mengapa pemerintah menerapkan kebijakan privatisasi pendidikan, antara lain:

1. Keterbatasan anggaran pendidikan dan rendahnya kualitas pendidikan

Kebijakan privatisasi pendidikan dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi yang dialami oleh negara Indonesia, yang di antaranya mengakibatkan negara kesulitan dalam memenuhi anggaran belanja negara di bidang pendidikan. Pemerintah merasa tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai pendidikan. Dalam hal ini privatisasi dianggap dapat meringankan beban pemerintah dalam membiayai pendidikan, sehingga anggaran yang sebelumnya dialokasikan untuk pendidikan bisa dialihkan pada sektor lainnya yang dirasa lebih mendesak.

Akibat keterbatasan anggaran pemerintah yang dikarenakan krisis keuangan, menyebabkan alokasi dana yang rendah untuk pendidikan, di mana penganggaran selalu dialokasikan dibawah 10 persen dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Pendanaan pendidikan yang minim di Indonesia dianggap sebagai sumber utama rendahnya taraf pendidikan nasional. Beberapa permasalahan, seperti buruknya sarana dan prasarana sekolah, tingginya murid

drop out, serta guru yang tidak berkualitas, disebabkan oleh sangat terbatasnya dana yang disediakan. Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu ditunjukkan data Balitbang 2003 bahwa dari 146.052 Sekolah Dasar di Indonesia ternyata


(51)

hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 Sekolah Menengah Pertama di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 Sekolah Menengah Atas ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).27

Berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy

(PERC) yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam.28

Untuk kualitas guru dilihat dari kelayakan mengajar, dalam tahun 2002 hingga tahun 2003 di berbagai satuan pendidikan sebagai berikut: untuk Sekolah Dasar yang layak mengajar hanya 21,07 persen (negeri) dan 28,94persen (swasta), untuk Sekolah Menengah Pertama 54,12 persen (negeri) dan 60,99 persen (swasta), untuk Sekolah Menengah Atas 65,29 persen (negeri) dan 64,73 persen (swasta), serta untuk Sekolah Menengah Kejuruan yang layak mengajar 55,49 persen (negeri) dan 58,26 persen (swasta).29

Kelayakan mengajar itu disini berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang (Badan Penelitian dan Pengembangan) Departemen pendidikan nasional pada tahun 1998 menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru Sekolah Dasar hanya 13,8 persen yang berpendidikan diploma

D2-27

Harian Republika, 13 Juli 2005

28

Harian Kompas, 5 September 2001

29


(52)

Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru Sekolah menengah pertama/MTs baru 38,8 persen yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah atas, dari 337.503 guru, baru 57,8 persen yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86 persen yang berpendidikan S2 ke atas (3,48 persen berpendidikan S3).

Rendahnya anggaran untuk pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari tekanan utang dan kebijakan pembayaran utang. Sebanyak 25 persen komponen APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) habis untuk membayar utang. Meskipun Presiden telah membubarkan CGI pada 24 Januari 2007, namun setidaknya 3 kreditor besar (World Bank, ADB, dan Jepang) tetap dipertahankan. Selama ini, cicilannya hampir 50 triliun rupiah pertahun. Hal inilah yang mendasari pemikiran pemerintah menerapkan kebijakan privatisasi pendidikan di Indonesia.30

Dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2005 hanya 5,82 persen yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25 persen belanja dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)31

30

Harian Kompas, 10 Mei 2005

. Kemudian untuk tahun 2007, sektor pendidikan hanya mendapatkan alokasi 90,10 triliun rupiah atau 11.8 persen dari total nilai anggaran 763,6 triliun rupiah. Jumlah tersebut sangat minim dibandingkan pengeluaran untuk pinjaman luar negeri (hutang) yang pada kuartal ketiga tahun 2006 sudah mencapai sebesar 128,369 miliar dollar Amerika Serikat yang terdiri dari hutang luar negeri mencapai 77,347 miliar dollar Amerika

31


(53)

Serikat dan utang swasta 51,022 miliar dollar Amerika Serikat. Pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2006 mencapai 2,510 miliar dollar Amerika Serikat atau 30 persen dari total pengeluaran pemerintah32

Dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, privatisasi dianggap sebuah cara terbaik untuk memperbaiki pengelolaan dan kinerja lembaga-lembaga pendidikan, termasuk mengurangi beban negara. Kepemilikan negara/pemerintah mengakibatkan sektor pendidikan dikelola dengan buruk dan beroperasi tidak efisien, sehingga mengakibatkan defisit anggaran; pelayanan yang diberikan kurang memuaskan dan tidak berkualitas.

. Kenyataan inilah yang membuat hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan berkualitas semakin jauh.

33

Oleh karena itu hanya dengan privatisasi dunia pendidikan dapat memperoleh anggaran dana yang memadai, sehingga pendidikan nasional akan maju dan mendunia, khususnya perguruan tinggi akan menuju world class university. Hal ini dikarenakan, dengan menyerahkan penyelenggara pendidikan kepada masyarakat (pihak swasta) maka pendidikan tidak sepenuhnya menjadi tanggungan negara tetapi mendapat dana tambahan dari masyarakat (swasta).

Para ekonom pendukung privatisasi pendidikan yakin bahwa sektor swasta dapat beroperasi lebih efisien dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini disebabkan lembaga pendidikan yang dikelola oleh negara/pemerintah tidak dapat menetapkan tujuan dengan jelas oleh karena begitu banyaknya sektor yang harus diperhatikan pemerintah.

32

www.tempointeraktif.com, 8 Januari 2007

33


(54)

Selain itu, privatisasi pendidikan lewat BHP (Badan Hukum Pendidikan) akan menjadi kekuatan moral bagi pembangunan nasional.

2. Peranan lembaga internasional lewat kebijakan SAP (Structural Adjusment Programe).

Ideologi Neoliberalisme kini telah dikemas dalam bahasa pasar yang menarik yaitu globalisasi. Untuk mewujudkan ide globalisasi diperlukan agen-agen khususnya agar dapat diterima oleh negara-negara berkembang. Agen-agen-agen itu berupa lembaga internasional. Mereka bertugas melakukan propaganda besar-besaran dan menjadi agen pemasaran globalisasi. Lembaga-lembaga ini dianggap dapat membantu negara-negara miskin maupun berkembang dalam mengatasi keterbatasan anggaran akibat krisis ekonomi dengan memberi pinjaman dan resep pemulihan ekonomi.

Nama dari program paham Neoliberal yang terkenal dan dipraktekkan dimana-mana adalah SAP (Struktural Adjusment Program). Program penyesuaian strukural merupakan program utama dari Bank Dunia dan IMF (International Monetary Funds), termasuk WTO (World Trade Organization). Neoliberal adalah ideologinya, dan SAP (Struktural Adjusment Program) adalah praktek atau implementasinya. Sementara tujuannya adalah ekspansi sistem kapitalisme global. SAP (Struktural Adjusment Program) akan selalu menjalankan program mereka yang terumuskan dalam deregulasi, penghapusan subsidi dan privatisasi.

Lembaga-lembaga internasional, seperti IMF (International Monetary Funds), Bank Dunia dan WTO (World Trade Organization) selalu menerapkan


(55)

kebijakan SAP (Struktural Adjusment Program) ini terhadap negara-negara yang mengalami masalah dalam hal keuangan. Negara-negara harus melakukan tiga hal: liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Ketiganya merupakan pilar utama dari konsep pemulihan ekonomi bagi negara-negara berkembang.

Sesungguhnya, maksud dari SAP (Struktural Adjusment Program) adalah mengurangi peran pemerintah dalam sektor ekonomi sekaligus membatasi belanja pemerintah dalam rangka mencapai stabilitas neraca pembayaran melalui pemotongan pengeluaran, salah satu di antaranya subsidi, termasuk subsidi bagi badan-badan usaha milik negara. Karena itu, program privatisasi sektor publik menjadi salah satu komponen penting dalam penerapan SAP (Struktural Adjusment Program), baik di negara berkembang maupun di negara dalam masa transisi ekonomi.34

Liberalisasi sektor pendidikan di dunia international difasilitasi oleh WTO (World Trade Organization) dalam General Agreement on trade in Services

Hal ini dikarenakan subsidi yang diberikan kepada sektor publik dianggap sebagai penyebab dari meningkatnya pengeluaran pemerintah yang mengakibatkan defisit anggaran.

Karakter ketertundukan terhadap ideologi Neoliberalisme sudah sangat jelas tercermin dalam tindakan pemerintah Indonesia, karena Indonesia sendiri salah satu negara yang antusias menyambut liberalisasi perdagangan jasa pendidikan. Pendidikan dimasukkan dalam kerangka perdagangan jasa karena pendidikan telah terbukti sebagai sebuah industri yang sangat menguntungkan, dan siap dinegosiasikan (ripe to negotiate) sebagai sebuah komoditas dalam arus perdagangan internasional.

34

SAPRIN, The Policy Roots of Economic Crisis and Poverty, the Report of Structural Adjusment Participatory Review International Network, London: Zed Books, 2004.


(1)

sehingga melahirkan sumber daya manusia yang berkepribadian dan berkualitas unggul yang memiliki daya saing internasional yang tinggi yang akan mampu mengangkat negeri ini dari berbagai keterpurukan yang ada.

4. Menaikkan anggaran pendidikan menjadi proporsional, artinya mencukupi untuk kesejahteraan guru dan fasilitas standar belajar mengajar di sekolah serta memberikan kesempatan belajar bagi seluruh siswa usia sekolah. Dan ini harus merata di seluruh tanah air. Kesejahteraan guru dalam hal ekonomi dan pengetahuan, terutama untuk guru di sekolah negeri (mestinya juga dalam skala tertentu untuk sekolah swasta), memang adalah tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab orang tua murid. Orang tua murid bisa diminta partisipasi, tetapi porsinya harus tetap kecil. Hal ini dikarenakan untuk menunjang terlaksananya pendidikan yang berkualitas, diperlukan guru dalam jumlah dan mutu yang memadai serta terwujudnya hak guru untuk mengajar dan hak murid untuk belajar.

5. Meningkatkan kualitas guru dengan memberikan pelatihan atau penataran yang sesuai dan praktis bagi seluruh guru/dosen. Mungkin diawal mengajar guru tidak berlatar belakang pendidikan keguruan, tetapi kalau terus dilatih dan dikembangkan, kualitas mengajarnya juga bisa meningkat. Peningkatan kualitas guru bisa juga dibuat dengan pertukaran guru dari sekolah di kota dengan di daerah (mungkin selama satu semestar atau lebih). Dengan demikian guru-guru mendapat pengalaman dan wawasan serta dapat saling belajar dan bertukar informasi.


(2)

6. Untuk pendidikan tinggi juga harus diterapkan prinsip pendidikan untuk semua. Artinya bahwa biaya untuk pendidikan tinggi harus terjangkau oleh sebagian besar warga negara. Dan ini tanggung jawab Negara. pendidikan tinggi memang tidak bisa gratis karena pendidikan tinggi adalah investasi bagi mahasiswa. jadi, untuk sebagian kecil yang tidak mampu menjangkau bisa disubsidi oleh mahasiswa-mahasiswa yang mampu. Kasarnya, kalau 20 mahasiswa yang mampu dapat menutupi kekurangan satu mahasiswa kurang mampu saja sudah sangat bagus.

7. Mempertegas dan memperjelas arah regulasi pendidikan, termasuk mengembangkan jaminan sosial pendidikan untuk keluarga miskin secara melembaga dan berkelanjutan, seperti melalui tunjangan pendidikan, beasiswa, dan subsidi silang.50

8. Menempatkan pendidikan sebagai bagian dari pelayanan kepada masyarakat (public services) semata yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya. Membiarkan pendidikan berkembang sebagai sebuah industri yang selalu menghitung cost and profit sehingga cenderung makin mahal sebagaimana tampak dewasa ini jelas bertentangan dengan prinsip

Pemerintah harus berkomitmen untuk tetap ambil bagian dalam dunia pendidikan. Keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan lepas tangan pemerintah. Dengan komitmen dan manajemen profesional, dana pendidikan dapat dimobilisasi dari berbagai sumber.

50


(3)

pendidikan untuk seluruh rakyat sebagai public services tadi karena dipastikan tidak semua rakyat mampu menikmatinya secara semestinya. 9. Meninjau ulang kebijakan penetapan sebagai BHMN (Badan Hukum

Milik Negara) kepada sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang telah terbukti makin membuat mahal biaya pendidikan di tempat itu sehingga sangat memberatkan rakyat. Juga mengawasi agar otonomi penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah tidak membuat biaya makin melambung yang tidak terjangkau oleh rakyat banyak.

10. Untuk mewujudkan pendidikan sebagai hak asasi manusia dari seluruh warga negara, pendidikan harus berupa pelayanan publik sebagai wujud akuntabilitas pemerintah terhadap seluruh rakyat yang telah memilihnya secara demokratis. Harus dihindarkan kecenderungan untuk menjadikan pendidikan sebagai komoditas dengan privatisasi lembaga publik yang menggunakan pendekatan pasar dalam pelayanannya. Pendidikan harus dapat dinikmati oleh seluruh warga Negara.

11. Pemerintah juga harus berusaha menerapkan kebijakan pendidikan gratis untuk semua rakyat Indonesia. Pemerintah dapat belajar dari keberhasilan pendidikan di Kuba yang dengan pendapatan per-kapita 2.800 dollar Amerika Serikat dapat menyaingi standar pendidikan negara-negara maju seperti Amerika Serikat (37.800 dollar Amerika Serikat), Kanada (29.700 dollar Amerika Serikat) atau Inggris Raya (27.700 dollar Amerika Serikat), terutama dalam hal akses pendidikan yang menyeluruh dan setara.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan

2. SUMBER BUKU

Bahagijo, Sugeng (ed.), Globalisasi Menghempas Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006.

Bastian, Indra, Model Pengelolaan Privatisasi, Yogyakarta: BPFE, 2000.

Ha-Joon Chang, Globalisation Economic Development and the Role of the State,

London: Zed Books

Hamalik, Kurikulum Dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2001

J. A, Scholte, Globalization: A critical Introduction, London: Palgrave, 2000 Kantor Menteri Perekonomian, Laporan Matriks Implementasi White Paper,

Jakarta, Juni 2004

Kartono, Kartini, Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional: Beberapa Kritik dan Sugesti, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1997

KS, Jomo dan Fine, Ben (ed.), The New Development Economics: Afters the Washington Consensus, London: Zed Books, 2006.

Keohane, O.Robert, dan Helen V. Milner (ed), Internationalization and Domestic Politics, Cambridge: cambridge University Press


(5)

Mallarangeng, Rizal, Mendobrak Sentralisme: Ekonomi Indonesia 1986-1992, Jakarta: KPG, 2002

Motoyama, Hisako dan Widagdo, Nurina, Power Sector Restructuring in Indonesia: A Premininary Study for Advocacy Purposes, Washingtong, DC: Friends of the Earth and Bank Information Center, 1999

Porter, Michel, The Competitive Advantage of Nation, London: Macmilan, 1990 SAPRIN, The Policy Roots of Economic Crisis and Poverty, the Report of

Structural Adjusment Participatory Review International Network, London: Zed Book, 2004.

Stiglits, Joseph E. Dekade Keserakahan: Era ’90-an dan Awal Petaka Ekonomi Dunia, Serpong: Marjin Kiri, 2006.

Wahono, Francis dan Wibowo (ed), Neoliberalisme, Yogyakarta: Cinderalas Pustaka Cerdas, 2003

3. SUMBER MAJALAH Harian Kompas, 9 April 2005 Harian Kompas, 18 April 2005 Harian Kompas, 10 Mei 2005 Harian Kompas, 22 Oktober 2005

Harian Media Indonesia, 18 Februari 2000 Harian Media Indonesia, 18 Februari 2004 Harian Republika, 10 Mei 2005

Harian Republika, 13 Juli 2005

Koran Pembebasan No.2/Tahun I/Juni-Juli, 2002 World Development Report 2000/2001 tahun 1998.


(6)

4. INTERNET

www.servicesforall.org www.kau.or.id

www.tempointeraktif.com, 8 Januari 2007

Susan George, A Short History of Neoliberalism: Twenty Years of Elites Economic and Emerging Opportunities For Struktural Change.