Liberalisasi Pendidikan Dalam Kerangka GATS : Kajian Hukum Terhadap Pendirian Perguruan Tinggi Asing Di Indonesia

(1)

LIBERALISASI PENDIDIKAN DALAM KERANGKA

GATS : KAJIAN HUKUM TERHADAP PENDIRIAN

PERGURUAN TINGGI ASING DI INDONESIA

TESIS

OLEH

ANGGIAT PARDAMEAN SIMAMORA

107005003/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

LIBERALISASI PENDIDIKAN DALAM KERANGKA

GATS : KAJIAN HUKUM TERHADAP PENDIRIAN

PERGURUAN TINGGI ASING DI INDONESIA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Hukum dalam program Studi Ilmu Hukum pada

Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ANGGIAT PARDAMEAN SIMAMORA

107005003/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : LIBERALISASI PENDIDIKAN DALAM KERANGKA GATS : KAJIAN HUKUM TERHADAP PENDIRIAN PERGURUAN TINGGI ASING DI INDONESIA

Nama Mahasiswa : Anggiat Pardamean Simamora

NIM : 107005003

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

(Prof. Dr. Bismar Nasution., SH., MH)

(Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH)

Anggota Anggota

(Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH) (Prof. Dr. Runtung., SH., M.Hum)


(4)

Telah Diuji

Pada Tanggal 20 Pebruari 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua Prof.Dr.Bismar Nasution,S.H.,M.H Anggota 1. Prof. Dr. Suhaidi.,SH.,MH

2. Dr. Mahmul Siregar.,SH.,M. Hum

3. Prof. Dr . Tankamello., SH.,MS


(5)

ABSTRAK

Liberalisasi pendidikan tinggi yang difasilitasi oleh WTO/GATS telah mendistorsi hakikat pendidikan tinggi sebagai layanan publik di Indonesia. Penelitian ini membahas tentang : 1). Bagaimana pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia, 2) Bagaimana eksistensi pendidikan tinggi Asing di Indonesia, dan 3). Apa dampak GATS terhadap pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan menggunakan penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, Peneliti menemukan bahwa 1). Pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia menempatkan pendidikan tinggi sebagai layanan public yang dapat diselenggarakan oleh PTN dan PTS, namun negara memperlakukan kedua nya secara diskriminatif, 2) Eksistensi pendidikan tinggi asing dalam aturan perundang-undangan diakui sebagai bagian dari SPN yang dapat dilakukan melalui kerja sama Internasional, bukan dengan mendirikan pendidikan tinggi asing secara mandiri, sehingga pendidikan tinggi asing di Indonesia tidak termasuk dalam ruang lingkup GATS, dan 3))GATS berdampak pada pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia karena Indonesia terikat pada segala ketentuan yang terdapat di dalam WTO/GATS. Berdasarkan temuan tersebut, maka disarankan agar 1). Pemerintah memperlakukan PTN dan PTS sama karena meduanya mengemban mini yang sama dan diselenggarakan dengan sistim yang sama yaitu SPN; 2 ) ketentuan yang mewajibkan pendidikan tinggi asing diselenggarakan dalam bentuk kerja sama tetap dipertahankan untuk meningkatkan kapasitas perguruan tinggi dalam negeri; 3) Indonesia perlu membuat legislasi barn yang mengatur pendidikan tinggi sebagai komoditas.


(6)

ABSTRACT

Higher education liberalization facilitated by the WTO/ GATS has distorted the nature of education as a public service in Indonesia. This study aims at finding out 1). how higher education (HE) in Indonesia is regulated, 2). what the existence of foreign higher education in the Indonesian regulation is, and 3) what the impact of GATS on regulating higher education in Indonesia is. It was found out that 1). both public higher education (PTN) and Private higher education (PTS) conduct governmental authority. Otherwise, the regulations threat them discriminately, 2). Foreign HE is recognized in Indonesian regulation as a part of SPN. Consequently, foreign HE instututions legally cannot be established in Indonesia, 3). GATS impacts on regulating HE in Indonesia since all agreements achieved in RTOIGATS abide Indonesia. From these findings, it is suggested that I ) . Government threat both PTA' and PTS equally since they are held in the same system, 2). Regulation obliging foreign higher education to be held as parts of SPN be maintained to improve the quality of Indonesia higher education, 3). Indonesia makes a new legislation on higher education industry.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat kasih karunia-Nyalah penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini rnerupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar Sarjana Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan segala hormat Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), SpA (K), selaku rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H, selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

4. Bapak Prof. Dr. Wismar Nasution, S.H, M.H, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan saran, bimbing

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing. an, perhatian dan dukungan hingga selesainya penulisan tesis ini.

6. Bapak Prof. Dr. Tan Kamelo, S,H.NI.S selaku anggota Komisi Penguji.

7. Bapak Dr. Mirza Nasution, SH,M.Hum, selaku Anggota Komisi Penguji.


(8)

cakrawala berpikir Penulis.

9. Ibunda tcrcinta, P.Banjanahor yang dada hentinya berdoa dan mebimbing Penulis, Istri tercinta, Dewi Yunidar Napitupulu, yang selalu mendukung segala aktivitas Penulis, Kakanda tercinta, Elista SImamora, yang selalu mendukung Penulis baik secara moril dan materil,

10.Direktur Politeknik MBP, Bapak Drs. Tenang Malem Tarigan,Ak.M.Si, yang selalu memberi kesempatan kepada Penulis untuk berkarya di lingkungan Yayasan Mandiri Bina Prestasi.

11.Deliana Napitupulu dan rekan-rekan seperjuangan pada Program Studi S2 Magister Ilmu Hukum USU Angkatan Tahun 2010 dan seluruh staf dan pegawai di Program Studi Ilmu Hukum USU atas segala bantuan-bantuan, pelayanan yang ramah, kiranya Tuhan yang membalas semua kebaikannya.

Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna, namun, Penulis berharap tulisan ini sebagai sumbangan pemikiran mengenai pendidikan tinggi di Indonesia dalam kaitannya dengan globalisasi, khususnya GATS.

Medan, Pebruari 2013 Penulis,

Anggiat P. Simamora Nim : 107005003


(9)

RIWAYAT HIDUP

I. DATA DIRI

Nama : Anggiat P. Simamora Tpt /Tgi Lahir : Pakkat, 04-07-1970

Alamat : Jl. Mongonsidi Gg Upah Tendi No. 1D Medan Agama : Katolik

II. PENDIDIKAN FORMAL

1. SD RK Pakkat, Kec. Pakkat Kab. Humbahas, tahun 1976-1983

2. SMP RK Pakkat, Kec. Pakkat Kab. Humbahas, tahun 1983-1986

3. SMA RK Pakkat, Kec. Pakkat Kab. Humbahas, tahun 1986-1989

4. IKIP Negeri Medan, Prodi. Pend. Bhs. Inggeris (S1) , tahun 1989-1994

5. Universitas Sisingamangara, Ilmu Hukum (SI), tahun 1999-2004

6. Pasta Sarjana Universitas Sumatera Utara, Ilmu Hukum, 2010-2013 III. PENDIDIKAN INFORMAL dan PELATIHAN

1. Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan oleh AAI dan Universitas Darma Agung tahun 2006

2. Pelatihan Training for Trainer for Hospitality yang diselenggarakan oleh NMCP (PUM) dengan Mondreaan Hotel School di The Haque Belanda -2006

IV. KELUARGA

Ayah : A. Simamora (Alm) Ibu : P. Banjarnahor

Istri : Dewi Yunidar Napitupulu Kakak : Elista Simamora

V. Pekerjaan

Dosen Politeknik MBP Tahun 2002-Sekarang Advokat 2012 -Sekarang,


(10)

DAFTAR ISI

Hrlaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... I B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Konseptual ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Kerangka Konspetual ... 17

G. Metode Penelitian ... 19

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 19

2. Sumber Data ... 20

3. Teknik Pengumpulan Data ... 21

4. Analisis Data ... 21

BAB II PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI SUB SISTIM DART SISTIM PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA 1. Sistirn Pendidikan Nasional ... 22

1. Landasan Philosofis, Konstitusional dan Yuridis ... 24

2. Struktur Sistim Pend iA l B. Pendidikan Tinggi Sebagai Subsistim dari Sistim Pendidikan -ar, Nasional ... 29

Nasional ... 34

1. Perkembangan Regulasi Pendidikan Tinggi ... 34

2. Penyelenggaraan Pendi a. Pendirian Perguruan Tinggi ... 49

dikan Tinggi ... 48

b. Tata Kelola ... 61

c. Pendanaan ... 65

d. Pengawasan dan ... 70

BAB III EKSISTENSI PENDIDIKAN TINGGI ASING DA-LAM SISTIM PENDIDIKAN NASIONAL A. Dasar Hukum ... 74

B. Bentuk Penyclenggaraar. ... 78

1. Kontrak Manajemen ... 80


(11)

3. Gelar Ganda ... 81

4. Program Pen indahan Kredit ... 82

C. Tujaun dan Manfaat ... 83

BAB IV PENGARUH GATS TERHADAP PENGATURAN PENDIDIKAN , TINGGI DI INDONESIA A. Aspek Hukum GATS ... 92

1. Sejarah GATS ... 92

2. Latar Bclakang dan Tujuan GATS ... 98

3. Defenisi dan Ruang Lingkup GATS ... 102

4. Prinsip dan Aturan GATS ... 104

a. MFN Treatment ... 106

b. Transparency ... 107

c. Domestic Regulation ... 107

d. Monopol e. Subsidy ... 111

y dan Exclusive Provider ... 110

f. Payment and Transfer ... 112

g. Economic Integration ... 112

h. Recognition ... 113

i. Specific Commitment ... 113

j. Progressive Li B. Liberalisasi Jasa Pendidikan Tinggi di dalam GATS ... 119

beralization ... 117

1. Latar Belakang ... 119

2. Pelaksanaan dan Hambatan ... 129

a. Cross border supply ... 130

b. Consumption abroad ... 131

c. Commercial presence ... 131

d. Presence of Natural Person ... 132

3. Pro Kontra Liberalisasi ... 134

4. Conditional Initial Offering Indonesia untuk Subsektor pendidikan tinggi (GATS) ... 142

C. Dampak GATS terhadap Pengaturan Pendidikan Tinggi di Indonesia ... 146

1. Konsekuensi Keanggotaan Indonesia di claim GATS ... 146

2. Komersialisasi Pendidikan Tinggi ... BAB V PENUTUP 152 A. Kcsimpulan ... 157

B. Saran ... 158


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pengusul clan Pemberi ijin Pendirian Satuan Pendidikan Tinggi 52 Tabel 2 Persyaratan Jumlah Dosen Perprogram Studi 57 Tabel 3 Komponen Oftoriomi Perguruan Tinggi 63 Tabel 4 Cakupan Otonomi Perguruan Tinggi di Berbagai Negara 65 Tabel 5 Komponen Biaya Pendidikan Tinggi 68 Tabel 6 Distribusi Mahasiswa pada PTN/PTS tahun 2005-2010 70 Tabei 7 Perbedaan Alasan clan Dampak Pendidikan Lintas Negara 88

Tabel 8 Dallar Perundingan GATT 94

Tabel 9 Kontribusi Eksport Jasa Berdasarkan Kelompok Pendapatan 100 Tabel 10 Program Kembaran Perguruan Tinggi Australia dengan

Perguruan Tinggi Malaysia (Feb. 1998) 128 Tabel I I Permohonan Penghapusan Hambatan (barriers) Perdagangan

PendidikanTinggi oleh AS kepada Beberapa Negara 135 Tabel 12 Conditional Initial Offer Indonesia Untuk Subsektor

Pendidikan Tinggi 144

Tabel I3 Beberapa Ketentuan dalam Perundang-Undangan Pendidikan

Tinggi yang Potensial sebagai Barriers menurut GATS 151 Tabel 14 Gambaran Mahasiswa Internasional : 5 Negara Somber 155


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Dampak Pendidikan Terhadap Ekonomi 1 Gambar 2 Hubungan Pancasila, UUD 1945 dengan Pendidikan Nasional 29

Gambar 3 Struktur Pendidikan Indonesia 34

Gambar 4 Proses Akreditasi Program Studi 73


(14)

DAFTAR SINGKATAN

APED Anggaran Pendapatan dan Belanjda Daerah APBN Anggaran Fendapatan dan Belanja Negara

APBN-P Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perbaikan APEC Asia Pacific Edonomic Cooperation

BAN-PT Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi BHMN Badan Hukum Milik Negara

BHP Badan Hukum Pendidikan

BP-PTS Badan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Swasta CTG Council For Tradc in Goods

CTS Council For Trade in Services

DPR RI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia GDP Gross Domestic Bruto

KTM Konferensi Tingkat Menteri LSM Lembaga Swadaya Masyarakat ENTs Economic Need Tets

GATS General Agreement on Trade in Services IMF International Monetary Fund

Kepmendikbud Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan MA Madrasah Aliyah

MAK Madrasah Aliyah Kejuruan MFN Most Favoured Nation


(15)

OECD Organization for Economy Co-operation and Development PP Peraturan Pemcrintah

Permendikbud Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaaan Pur

PTN Perguruan Tinggi Negeri pres Peraturan Presiders

PTS Perguruan Tinggi Swasta SLTA Sekolah Lanjutan Tingkat Atas SMA Sekolah Menengah Atas SMK Sekolah Menengah Kejuruan SNP Standar Nasional Pendidikan SPN Sistim Pendidikan Nasional

UU Undang-Undang

UUBIlP Undang-undang Badan HukumMilik Negara UUD 1945 Undang-Undang Dasar tahun 1945

UUSPN Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional WTO World Trade Organization


(16)

ABSTRAK

Liberalisasi pendidikan tinggi yang difasilitasi oleh WTO/GATS telah mendistorsi hakikat pendidikan tinggi sebagai layanan publik di Indonesia. Penelitian ini membahas tentang : 1). Bagaimana pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia, 2) Bagaimana eksistensi pendidikan tinggi Asing di Indonesia, dan 3). Apa dampak GATS terhadap pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan menggunakan penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, Peneliti menemukan bahwa 1). Pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia menempatkan pendidikan tinggi sebagai layanan public yang dapat diselenggarakan oleh PTN dan PTS, namun negara memperlakukan kedua nya secara diskriminatif, 2) Eksistensi pendidikan tinggi asing dalam aturan perundang-undangan diakui sebagai bagian dari SPN yang dapat dilakukan melalui kerja sama Internasional, bukan dengan mendirikan pendidikan tinggi asing secara mandiri, sehingga pendidikan tinggi asing di Indonesia tidak termasuk dalam ruang lingkup GATS, dan 3))GATS berdampak pada pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia karena Indonesia terikat pada segala ketentuan yang terdapat di dalam WTO/GATS. Berdasarkan temuan tersebut, maka disarankan agar 1). Pemerintah memperlakukan PTN dan PTS sama karena meduanya mengemban mini yang sama dan diselenggarakan dengan sistim yang sama yaitu SPN; 2 ) ketentuan yang mewajibkan pendidikan tinggi asing diselenggarakan dalam bentuk kerja sama tetap dipertahankan untuk meningkatkan kapasitas perguruan tinggi dalam negeri; 3) Indonesia perlu membuat legislasi barn yang mengatur pendidikan tinggi sebagai komoditas.


(17)

ABSTRACT

Higher education liberalization facilitated by the WTO/ GATS has distorted the nature of education as a public service in Indonesia. This study aims at finding out 1). how higher education (HE) in Indonesia is regulated, 2). what the existence of foreign higher education in the Indonesian regulation is, and 3) what the impact of GATS on regulating higher education in Indonesia is. It was found out that 1). both public higher education (PTN) and Private higher education (PTS) conduct governmental authority. Otherwise, the regulations threat them discriminately, 2). Foreign HE is recognized in Indonesian regulation as a part of SPN. Consequently, foreign HE instututions legally cannot be established in Indonesia, 3). GATS impacts on regulating HE in Indonesia since all agreements achieved in RTOIGATS abide Indonesia. From these findings, it is suggested that I ) . Government threat both PTA' and PTS equally since they are held in the same system, 2). Regulation obliging foreign higher education to be held as parts of SPN be maintained to improve the quality of Indonesia higher education, 3). Indonesia makes a new legislation on higher education industry.


(18)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia baik untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakat serta untuk kemajuan bangsa dan negara. Hal ini diakibatkan oleh kontribusi pendidikan tersebut pada berbagai sektor kehidupan baik ekonomi, kemanusiaan, demokrasi dan lain sebagainya. Pada bidang ekonomi misalnya hasil penelitian Katharina Michaelowa menunjukkan bahwa pendidikan memberi dampak kepada individu dan lingkungannnya melalui peningkatan pendapatan dan kesiapan memasuki lapangan kerja (micro) yang pada akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja (macro).1

Gbr 1. Dampak Pendidikan Tehadap Ekonomi

Sumber : Katharina (2000)

1

Katharina Michaelowa. Returns to Education in Low Income Countries: Evidence for Africa Diakses dari Diakses darihttp://www1.aucegypt.edu/src/skillsdevelopment/pdfs/returns%20to%20educati


(19)

Deepa Rawat mengatakan bahwa “education is the engine of economic growth and sosial change. ... Education not only increases the economic returns but also has a significant effect on poverty, income distribution, health, fertility, mortality, population growth and overall quality of human life. Jauh sebelumnya, Immanuel Kant sebagaimana dikutip oleh Moira Murphy mengatakan bahwa “ the purpose of education is to train children, not only with reference to their success in the present state of society, but also to be a better possible state in accordance with an ideal conception of humanity”.2

Bangsa-bangsa di dunia melalui Universal Declaration on Human Rights 1948 3 dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights mengakui bahwa “ … that education shall enable all persons to participate effectively in a free society, promote understanding, tolerance and friendship among all nations and all racial, ethnic or religious groups, and further the activities of the United Nations for the maintenance of peace“4

Dari penjelasan di atas maka sangat tepat apa yang dikatakan Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, dalam pidatonya di Wakefield High School di Arlington menyatakan bahwa “ What you're learning in school today will determine whether we as a nation can meet our greatest challenges in the future.

.

5

2

Moira Murphy. Experience in The Internationalization of Education : Strategies To Promote Equality of Opportunity at Monterrey Tech., diakses dari

3

Article 26 4

Article 1.3 GATS 5

Obama's speech on importance of education. Diakses dari Januari 2013


(20)

Robert Sedgwick mengatakan “in most countries around the world, education has traditionally been viewed as a public good 6 provided and guaranteed by the state”.7 Status public goods/service yang disandang oleh pendidikan sangat penting dalam mengimplementasikan tanggungjawab negara dalam penyediaan dan pendanaan pendidikan tersebut. Sandy Baum mengatakan “The concept of public goods is central to economic analysis of the role of government in the allocation of resources”.8

Dari konteks pendanaan pendidikan, konsep pendidikan sebagai layanan publik lebih terlihat pada pendidikan dasar.Hal ini sejalan sejalan dengan amanat Universal Declaration on Human Rights 1948 bahwa “ everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory. Technical and professional education shall be made generally available and higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit.” Konsep tersebut menunjukkan bahwa negara hanya berkewajiban untuk

6

Publik service adalah jasa yang disediakan oleh negara kepada masyarakat yang tinggal di wilayah hukumnya baik secara langsung melalui sektor publik ataupun melalui sektor swasta yang dibiayainya. Jasa yang demikian harus tersedia kepada setiap orang tanpa tergantung pada jumpah pendapatan mereka

7

Robert Sedgwick. The Trade Debate in International Higher Education Diakses dari

Menurut Markus, pemahaman terhadap publik service dapat dilakukan dengan tiga pendekatan. Pendekatan pertama berbasis pada apa yang disupply (what is supplied). Misalnya pendidikan, kesehatan, transportasi publik, dll. Pendekatan kedua berbasis pada kepada siapa jasa tersebut diberikan dan dengan persyaratan apa (whom and under which conditions the service is supplied). Pendekatan ketiga berbasis pada siapa yang akan memberikan pelayanan tersebut (who is supplying the service). Dengan pendekatan ini bahwa suatu jasa disebut publik service jika pengadaannya ada pada badan publik. Baca : Markus Krajewski. Publik Services And The Scope Of The General Agreement On Trade In Services (GATS), A Research Paper For Center For International Environmental Law (CIEL), Geneva, May 2001. Hal 4

Akses terhadap layanan publik yang baik merupakan satu hak yang paling dasar yang dapat dituntut oleh warga negara dari Pemerintah sebagai kompensasi atas pembayara pajak mereka. ( Open Publik Services White Paper. Diunduh dari http://files.openpublikservices.cabinetoffice. gov.uk/OpenPublik Services-WhitePaper.pdf pada tanggal 10 Des.2012)

8

Sandy Baum. Is Education a Public Good or a Private Good? Dapat diakses pada http://chronicle


(21)

mendanai pendidikan dasar, sementara untuk pendidikan tinggi negara hanya berkewajiban untuk menyediakannya yang terbuka untuk umum tanpa diskriminasi. Dengan demikian, kebijakan (pendanaan) pemerintah terhadap pendidikan tinggi kondisional. Camelia Stejar mengatakan “ countries that have a low inclusion rate of high-school graduates in universities, perhaps the term “public good” is still fully associated with higher education” 9

Sandy Baum da tidak murni sebagai public goods karena masyarakat yang tidak sanggup membayar tidak dapat menikmati pendidikan tersebut. Seseorang yang menikmati pendidikan tinggi memperoleh manfaat langsung dari jasa pendidikan tinggi yang diperolehnya seperti mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Namun masyarakat juga mendapat manfaat dari jasa pedidikan tinggi yang diterima orang lain karena tamatan perguruan tinggi tersebut akan memberi kontribusi melalui inovasi dan kreativitasnya pada masyarakat sekitarnya.10

Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan dibentuknya pemerintahan Indonesia adalah untuk mencerdaskan bangsa. Dengan demikian pendidikan merupakan mission of state. Hal ini kemudian dipertegas di dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (SPN) dimana salah satu tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

9

Camelia Stejar . Higher Education: Public Good Or Public Service? Analysis from the perspective of International. Management & Marketing. Challenges for the Knowledge Society. Vol. 6, No.1. 2011. hlm 150

10


(22)

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis. Dengan perkataan lain bahwa walaupun Pemerintah tidak berkewajiban secara penuh pada pendanaan pendidikan tinggi, statusnya adalah sebagai layanan social negara kepada warga negara atau sebagai layanan publik. UU No.25 tahun 2005 tentang Layanan Publik secara eksplisit menyatakan bahwa pendidikan merupakan layanan publik.

Hakikat pendidikan sebagai layanan publik sebagaimana dijelaskan di atas mulai mengalami pergeseran sejak lahirnya WTO dan disepakatinya perjanjian internasional GATS tahun 1994, karena di dalam perjanjian tersebut, secara eksplisit dinyatakan bahwa pendidikan merupakan komoditas yang dapat diperdagangkan secara internasional. Melalui GATS, negara-negara anggota WTO sepakat untuk meliberalisasi jasa pendidikan tinggi. Bagi Indonesia, pendidikan sebagai layanan publik secara juridis mengalami distorisi sejak Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional tersebut melalui UU No. 7 tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on Estabilishing the World Trade organization)11

Bagi Indonesia, pergesaran paradigma pendidikan tinggi sebagai layanan publik menjadi komoditas perdagangan internasional paling tidak menimbulkan dua

karena secara juridis, Indonesia telah menerima konsep pendidikan sebagai komoditas sebagaimana diatur di dalam GATS.

11

Di dalam Konsideran UU No.7 tahun 1994 disebutkan bahwa pertimbangan Pemerintah meratifikasi WTO adalah untuk meningkatkan, memperluas, memantapkan dan mengamankan pasar bagi segala produk baik barang maupun jasa serta meningkatkan kemampuan daya saing terutama dalam perdagangan internasional guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.


(23)

permasalahan mendasar. Permasalahan pertama adalah kemampauan lembaga pendidikan tinggi Indonesia bersaing dengan pendidikan tinggi asing. Di kawasan Asia, mutu perguruan tinggi Indonesia berada pada peringkat 15 persen terendah dari 77 perguruan tinggi. Di tingkat ASEAN, perguruan tinggi Indonesia hanya berada pada ranking 11. 12

Tim Graewert menyebutkan bahwa konflik hukum terjadi jika dua atau lebih norma hukum yang berbeda secara substansi ditujukan pada objek yang sama, dan oleh karena itu harus dibuat pilihan hukum yang akan digunakan. “ ... a conflict of law results from two or more norms which are different in substance but apply to the same or similar facts, and whose application would lead to contrary decisions, so that a choice must be made between them

Permasalahan mendasar yang kedua adalah permasalahan hukum. Sebagai negara yang berdaulat, Pemerintah Indonesia berkewajiban melaksanakan amanat konsitusi dan aturan perundang-undangan; dalam hal ini memperlakukan pendidikan sebagai layanan publik. Pada sisi lain, sebagai bagian dari komunitas internasional, Indonesia harus menghormati segala kesepakatan yang sudah dicapai di dalam WTO/GATS , termasuk meliberalisasi pendidikan tinggi sebagai komoditas. Dengan demikian, dalam memandang pendidikan tinggi, Pemerintah Indonesia terikat pada dua hukum yang saling kontradiksi, yaitu UUD 1945 dan aturan perundang-undangan lainnya sebagai hukum nasional dan GATS sebagai perjanjian/ hukum internasional.

13

12

Sofyan Effendi. Capital Flight” dan Pendidikan Tinggi. Diakses dari http://sofian.staff.ugm. ac.id/artikel/Capital-Flight-PT.pdf pada tanggal 14 September 2012

13

Tim Graewert. Conflicting Laws And Jurisdictions In The dispute settlement process of Regional

trade agreements and the WTO. Diunduh dari


(24)

Pilihan hukum sebagaimana disampaikan Tim Graewert di atas tidak diterapkan di dalam rejim WTO/ GATS. Konsep yang justru dipakai adalah unifikasi dan harmonisasi hukum dimana secara keseluruhan isi perjanjian tersebut menjadi bagian dari sistem hukum nasional negara-negara anggota WTO, dan implementasinya akan diatur melalui peraturan nasional masing-masing (domestic regulation). Hal ini berarti bahwa konsep pendidikan sebagai komoditas mengikat Indonesia yang implementasinya akan diatur selanjutnya melalui aturan perundang-undangan nasional.

Solly Lubis mengatakan bahwa ketergantungan Indonesia yang tinggi pada negara-negara maju membuat Indonesia harus pragmatis. Dengan perkataan lain bahwa Indonesia tidak bisa mengisolasi diri dari kecenderungan yang terjadi di dunia karena alasan tidak sesuai dengan konstitusi.

Indonesia tidak dapat mengelakkan diri dari lilitan gurita neo liberalisme itu karena bagaimanapun muluk dan idealnya nilai-nilai yang paradigmatik dalam Pancasila dan UUD kita, namun karena faktor ketergantungan (dependancy) kita kepada negara – negara lain amat kuat, maka tidak mungkin strategi politik dapat kita lakukan secara mendasar (grounded) sesuai dengan nilai nilai ideologis kita, sehingga dalam beberapa hal kita terpaksa memilih jalan pragmatis, untuk memenuhi kepentingan kita yang mendesak.14

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan rangkaian pemaparan di atas, maka masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan pendidikan tinggi sebagai subsistem dari Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia ?

14

Solly Lubis. Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi, dalam rangka ultah ke-80 Prof. Solly Lubis, (Jakarta: PT.Soefmedia, 2010), hal 72


(25)

2. Bagaimana eksistensi pendidikan tinggi asing dalam perundang-undangan di bidang pendidikan di Indonesia ?

3. Bagaimana dampak GATS terhadap pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia ? C.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui tentang pengaturan pendidikan tinggi sebagai sub Sistem dari Sistem pendidikan nasional.

2. Untuk mengetahui eksistensi pendidikan tinggi asing dalam aturan perundang-undangan di Indonesia.

3. Untuk mengetahui dampak GATS terhadap pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk kajian selanjutnya dalam menempatkan pendidikan tinggi Indonesia dari pespektif layanan publik dan komoditas menurut aturan perundang-undangan yang berlaku.

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dipergunakan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah dalam membuat kebijakan dan aturan hukum di bidang pendidikan tinggi, dan oleh DPR atau DPRD dalam merumuskan undang-undang atau peraturan daerah dalam bidang pendidikan tinggi . Hasil penelitian ini juga akan dapat dimanfaatkan oleh para penyelengga dan satuan pendidikan tinggi dalam merumuskan kebijakan-kebijakannya


(26)

dalam penyelenggaraan dan pengelolaan perguruan tinggi secara umum, dan dalam menjalin kerjasama dalam bidang pendidikan tinggi dengan pihak asing secara khusus. E. Keaslian Penelitian

Sesuai dengan hasil penelusuran yang dilakukan Penulis di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dan melalui Internet, tidak ditemukan penelitian dengan judul atau kajian yang sama. Namun demikian, ditemukan beberapa penelitian yang membahas tentang pendidikan tinggi dalam hubungannya dengan WTO/ GATS:

1. Que Anh Dang, mahasiswa magister bisnis di Copenhagen Business School, dengan judul tesis Internationalisation of Higher Education in China and Vietnam: From Importers of Education to Partners In Cooperation. Penelitian ini membahas tentang :

a. Alasan China dan Vietnam melaksanakan internasionalisasi pendidikan tinggi,

b. Perbedaan strategi yang dilaksanakan China dan Vietnam dalam internasionalisasi pendidikan tinggi

c. Cakupan dampak WTO/GATS terhadap pelaksanaan dan kebijakan cross border education di China dan Vietnam.

2. Aleš Vlk, mahasiswa doktoral di Universiteit Twente, dengan judul desertasi Higher Education And GATS. Regulatory Consequences and Stakeholders’ Responses.” Penelitian ini membahas tentang :


(27)

b. Posisi dan pengaruh para pemangku kepentingan dalam negosiasi GATS pada bidang pendidikan tinggi

c. Faktor-faktor yang relevan memberi dampak pada kapasitas negara dalam bidang pendidikan tinggi

3. Nasir Karim, mahasiswa doktoral jurusan Manajemen pada Qurtuba University of Science & Information Technology, Korea Selatan dengan judul thesis Managing Higher Education In Pakistan Under GATS Environment. Penelitian ini membahas tentang bagaimana pengelolaan pendidikan tinggi di Pakistan dalam kerangka GATS.

4. Cibele Cessa, mahasiswa Magister Universiteit Van Amsterdam, dengan judul tesis Internationalisation of Higher Education in Brazil: The debate on GATS and Other International Cooperation Initiatives” Tesis ini membahas tentang : a. Pihak-pihak yang terlibat dalam Sistem pendidikan tinggi Brazil dalam

internasionalisasi pendidikan tinggi khususnya dalam komitmen yang diberikan di dalam GATS.

b. Alasan-alasan dan kepentingan yang mendorong Brazil lebih memilih kerja sama Internasional daripada GATS

c. Alasan para pihak Non Government tidak setuju dengan kerjasama internasional pendidikan tinggi.

Ditinjau dari bidang ilmu dan objek kajian yang dibahas pada penelitian-penelitian di atas tidak terdapat kesamaan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Semua pendapat yang dikutip dari berbagai sumber dalam penelitian ini telah


(28)

dicantumkan sumber dan nama penulisnya sebagaimana mestinya. Dengan demikian, keaslian penelitian dapat dipertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual 1. Kerangka teori

Solly Lubis mengatakan bahwa landasan teori merupakan kerangka pemikiran, butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan sebagai pegagangan teoritis dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.15

Teori-teori yang digunakan sebagai kerangka berpikir dalam menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah teori Sistem Hukum dan teori Monisme. Teori Sistem hukum merupakan teori yang membahas tentang bekerjanya komponen-komponen hukum secara sistematis dalam mencapai tujuan hukum, sementara teori monisme membahas tentang hubungan hukum nasional dan hukum internasional.

a. Teori Sistem Hukum

Sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (whole compound of several parts). Sistem merupakan suatu kebulatan yang memiliki unsur-unsur dan peran yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi.16 Masing-masing unsur harus dilihat dalam kaitannya dengan unsur-unsur lain sehingga keseluruhannya seperti mozaik atau legpuzzle17

15

M.Solly Lubis. Filsafat Ilmu dan Penelitian. (Bandung: Mandar Madju, 1994) hal.80

.

16

Soewandi, Diktat Pengantar Ilmu Hukum, (Salatiga: FH UKSW, 2005) hal. 65 17


(29)

Sistem hukum berfungsi untuk menjaga atau mengusahakan keseimbangan tatanan dalam masyarakat (restitutio in integrum)18

Friedman menjelaskan bahwa sistem hukum adalah satu kesatuan hukum yang tersusun dari tiga unsur, yaitu substansi hukum (legal substance) , struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture).

Substansi hukum merupakan materi, norma atau aturan hukum yang menjadi panduan dan tolak ukur dalam berperilaku yang wujudnya dalam bentuk perundang-undangan atau aturan hukum. “ The substance is composed of substantive rules and rules about how instututions should behave.”19

Struktur hukum adalah organisasi atau insitusi yang merupakan rangka dari Sistem hukum tersebut. The structure of the system is it’s skeletal framework; it is the permanent shape, the institutional body of the system.

Beberapa substansi hukum yang berkenaan dengan pendidikan tinggi di Indonesia yang masih berlaku diantaranya adalah UU No. No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, PP No. 66 tahun 2010 Tentang Perubahan atas PP No. 17 tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

20

18

Ibid, hal 31

Struktur hukum berfungsi sebagai pelaksana dari substansi hukum, dalam bidang pendidikan diantaranya adalah Depdikbud, , BP-PTS, BAN PT, Kopertis, termasuk perguruan tinggi itu sendiri.

19

Lawrence M. Friedman. The Legal System: A Sosial Science Perspective, (New York: Russell Sage Foundation, 1975) Hal. 11-16

Mengenai substansi hukum, L.A Hart menjelaskan bahwa Sistem hukum terdiri dari “primary rules” dan “secondary rules”. Primary rules adalah norma prilaku dan secondary rules merupakan norma yang mengatur norma-norma tersebut.( H.L.A Hart. The concept of law, 1961. Hal 91-92)

20


(30)

Budaya hukum adalah nilai-nilai, sikap, prilaku, atau cara pandang masyarakat terhadap hukum. “ Legal culrure is the element of sosial attitude and value. Legal Structure refers to those parts of general culture – custom, opinions, ways of doing and thinking-that bend sosial forces toward or away from the law and in particular ways”21 Budaya hukum sebagai kekuatan sosial berperan penting dalam menentukan efektifitas substansi hukum. “ What gives life and reality to the legal system is the outside, sosial world. The legal system is not insulated or isolated; it depends absolutely on inputs from outside”22

Abduh Manan mengatakan tingkat kesadaran hukum tercermin dari kepatuhan dan ketaatan masyarakat terhadap hukum tersebut.

23

Paul Scholten bahkan mengatakan kesadaran hukum adalah dasar sahnya hukum positif (hukum tertulis) karena tidak ada hukum yang mengikat masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum, karenanya kesadaran hukum adalah sumber dari semua hukum.24

Substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum ini sebagai satu sistem merupakan satu kesatuan yang bekerja secara sistematis dalam mencapai tujuan hukum tersebut. “A legal system in actual operation is a complex organism in which structure, substance, and culture interact.”

25

Sebagai contoh bagaimana ketiga unsur hukum tersebut berinteraksi satu sama lain dapat dilihat dari contoh berikut. Pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu

21 Ibid. 22

Ibid. hal 15 23

Abdul Manan,. Aspek-aspek Pengubah Hukum. (Jakarta: Kencana. 2009 ) . hal.19-20 24

Kesadaran Hukum. diakses dari hukum/ pada tanggal 30 Maret 2012

25


(31)

pendidikan, telah mensyaratkan guru harus minimal berijajah sarjana (S1) 26. Melalui ketentuan ini Pemerintah mengharapkan guru-guru yang belum berpendidikan sarjana untuk dapat melanujutkan kuliah mereka ke jenjang Sarjana. Kenyataanya ada oknum-oknum guru yang justru memperoleh ijajah Sarjana dengan cara-cara yang tidak semestinya, misalnya membeli ijajah. 27 Praktik yang demikian juga terjadi pada profesi lainnya, bahkan ada aknum-oknum yang berani menggunakan ijazah palsu untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI.28 Hal tersebut merupakan prilaku atau budaya hukum yang konradiktif dengan tujuan dibuatnya UU No. 14 Tahun 2005 tersebut. Praktik tersebut semakin langgeng karena tidak berfungsinya Legal structure dalam melakukan pengawasan.29

Dari contoh di atas, UU No. 14 Tahun 2005 tersebut merupakan legal substance,

sementara prilaku guru yang memperoleh ijajah Strata Satu dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan merupakan legal culture. Sementara perguruan tinggi yang mengeluarkan ijajah tersebut atau lembaga yang gagal mengawasi

26

Pasal 8 dan 9 UU Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen 27

Seorang guru berijazah palsu lulus uji kompetensi. Diakses dari http://www.antaranews. com/berita/315404/seorang-guru-berijazah-palsu-lulus-uji-kompetensi pada tanggal 17 Januai 2013.

Fenomena jual beli gelar selain tak bisa dilepaskan dari adanya permintaan pasar tenaga kerja yang berlabel legal formal, juga berkolaborasi dengan konsumerisme yang mengedepankan budaya instan. Gelar akademik pun dianggap sebagai komoditas yang bisa dikonsumsi dalam arti dibeli untuk dipajang dan dikoleksi. Mereka yang gemar mengoleksi berbagai gelar akademik seperti Dr/PhD, MA, MBA, MSc dan Profesor, mulai dari pengusaha, anggota DPR(D), bupati, gubernur, pejabat militer, polisi hingga pendeta. (Baca: “Jual Beli Gelar Akademik” dapat diakses dari read/?id=21328)

28

Anggota DPR Ketahuan Pakai Ijazah Palsu. Diakses dari Juli 2012.

29

20 Persen Wakil Rakyat Diduga Gunakan Ijazah Palsu. Diakses dari http://jambi.tribunnews. com/2012/02/29/20-persen-wakil-rakyat-diduga-gunakan-ijazah-palsu pada tanggal 11 Juli 2012. Baca juga : PTS Liar Tumbuh Subur. Dapat diakses di : http://www.hariansumutpos.com/2011/06/8416/pts-liar-tumbuh-subur#axzz2RNWfZJpd


(32)

peguruan tinggi tersebut merupakan legal structure. Kegagalan salah satu dari unsur sistem hukum ini bekerja akan berakibat pada tidak tercapainya tujuan hukun (pendidikan) itu sendiri.

Hukum selalu berada pada status “law in the making”, tidak bersifat final. Hukum harus selalu peka terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat, baik lokal, nasional, maupun global. Namun tujuan perubahan hukum tersebut harus dipastikan untuk melindungi rakyat.30

GATS merupakan legal substance yang akan mengubah legal culture kita, atau legal culture masyarakat internasional yang telah merubah legal substance kita. Pemerintah sebagai legal structure yang memiliki otoritas yang paling dominan harus mampu memastikan bahwa ketiga unsur tersebut tertata rapi untuk menciptakan sinergitas dalam mencapai tujuannya, dalam hal ini tujuan pendidikan nasional.

Oleh karena itu membuat atau menghilangkan substansi hukum akan selalu terjadi sebagai respon atas perubahan jaman.

b. Teori Monisme

Dalam perkembangan teori-teori hukum, ada dua aliran besar mengenai hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional; Monisme dan Dualisme.31

30

Satjipto Rahardjo; Hukum Progresif. Sebuah Sintesa Hukum Indonesia . (Jogyakarta:Genta Publishing.2009). hal 18

Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua Sistem hukum yang berbeda. Dilihat dari sumber hukum, maka hukum internasional bersumber dari kehendak negara-negara, sedangkan sumber hukum nasional bersumber dari kehendak negara. Agar hukum internasional berdampak pada hukum nasional terlebih dahulu

31

/artikel/opini/ pada tanggal 8 Juli 2012


(33)

harus diadopsi sesuai dengan sistm yang berlaku di negara tersebut sehingga ketika diaplikasikan tetapi menjadi hukum nasional. 32

Menurut teori Monisme bahwa hukum nasional dan internasional merupakan satu kesatuan yang terdiri dari aturan-aturan yang mengikat baik kepada negara, individu, maupun subjek selain negara sehingga akan memunculkan adanya hirarki diantara keduanya. Hukum nasional dan internasional yang diterima oleh negara melalui traktat menentukan apakah satu perbuatan hukum tertentu legal atau tidak. Segera pemerintah menandatangani atau meratifikasi satu perjanjian internasional, maka pada saat itu juga hukum internasional telah menjadi bagian dari Sistem hukum nasional yang tidak memerlukan interpretasi, modifikasi, atau penyesuaian sehingga dapat langsung di aplikasikan atau digunakan oleh masyarakat dan penegak hukum. S. K. Verma mengatakan bahwa menurut teori Monisme hukum internasional dan hukum nasional merupakan hukum yang berasal dari sumber sama, yaitu hukum alam dan sama-sama mengikat negara dan individu

33

Pertanyaan yang muncul dari teori Monisme ini adalah jika terjadi konflik antara hukum nasional dan hukum internasional, kepentingan hukum mana yang dimenangkan. Pertanyaan tersebut kemudian melahirkan dua pendapat yang disebut dengan Primat Hukum Nasional dan Primat Hukum internasional.

34

32

Boleslaw Adam Boczek .International Law: A Dictionary. (Marland.Scarecrow Press.Inc.2007) Hal. 6

33

S. K. Verma . An Introduction To Publik International Law.(PHI.2004). Hal 48 34

Melda Kamil Ardiatmo. Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional. Diakses dari


(34)

Menurut paham Hukum Primat Internasional bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional maka jika terjadi konflik diantara kedua hukum tersebut hukum internasional harus menang dan tidak dapat dibatasi oleh aturan-aturan yang terdapat di dalam hukum nasional. 35

Berangkat dari teori tersebut di atas, maka tindakan Pemerintah Indonesia yang meratifikasi pembentukaan WTO melalui UU No.7 tahun 1994 berakibat pada masuknya segala perjanjian yang terdapat di dalam WTO dalam hal ini GATS tersebut ke dalam sistem hukum Indonesia,.

Sedangkan menurut Hukum Primat Nasional bahwa hukum internasional bersumber dari hukum nasional dengan alasan bahwa tidak ada satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara di dunia ini. Alasan kedua adalah bahwa yang menjadi dasar dari hukum internasional untuk mengatur hubungan internasional merupakan wewenang negara-negara untuk mengadakan perjanjian-perjanjian internasional.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan tinggi di Indonesia merupakan layanan publik, sementara dalam WTO/GATS pendidikan tinggi merupakan komoditas yang diliberalisasi dalam perdagangan internasional. Kedua fakta ini telah menimbulkan permasalahan hukum, dimana terjadi konflik dalam memandang pendidikan tinggi, yaitu sebagai layanan publik (domestic rule) dan komoditas (GATS). 2. Kerangka Konseptual

Di dalam penelitian hukum normatif maupun sosiologis atau empiris, dimungkinkan untuk menyusun kerangka konsepsionil yang didasarkan atau diambil dari peraturan

35


(35)

perundang-undangan tertentu. Biasanya kerangka konsepsionil tersebut sekaligus merumuskan defenisi-defenisi tertentu yang dapat dijadikan pedoman operasionil di dalam proses pengumpulan,analisis, dan konstruksi data. 36

a. Liberalisasi pendidikan adalah proses penghapusan atau pengurangan hambatan-hambatan dalam perdagangan jasa pendidikan secara internasional dalam bentuk aturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan .

Untuk menghindari kesalahan ( misinterpretation), ada beberapa konsep yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini, yaitu :

b. Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

c. Perguruan tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.

d. Pendirian Perguruan Tinggi adalah pembentukan akademi, politeknik, sekolah tinggi,institut, atau universitas oleh nagara atau lembaga pendidikan asing di Indonesia.

e. General Agreement on Trade and Services (GATS) adalah perjanjian internasional dibidang perdagangan jasa yang dihasilkan oleh WTO sebagai aturan perdagangan jasa internasional.

36


(36)

f. Modes of Supply adalah cara atau modus yang dipergunakan dalam melakukan perdagangan internasional dibidang jasa yaitu Cross border supply, Consumption Abroad, Commercial Presence dan Presence of Natural Person. g. Eksistensi artinya “hal berada, keberadaan”37

G. Metode Penelitian

. Eksistensi pendidikantinggi asing yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah adalah keberadaan pendidikan tinggi asing di Indonesia.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode yang dipakai pada penelitian ini adalah penelitian normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Ronald Dworkin bahwa penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik sebagai law as it is written in the book maupun law as it is decided by the judge through judicial process.38 Penelitian yang demikian dikenal sebagai penelitiam hukum normatif yang bersifat kualitatif.39

37

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.Edisi keempat (Jakarta:Gramedia Pustaka Jaya,2008)

Penelitian hukum normatif bersifat kualitatif didasarkan pada alasan bahwa analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau

38

Ronald Dworkin, dalam Bismar Naution., Metode Penelitian Normatif dan Perbandingan Hukum. Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada MajalahAkreditasoi, Fakultas Hukum USU.TANGGAL 18 Pebruari 2003.Hal. 1

39


(37)

modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.40

2. Sumber Data

Penelitian yuridis normatif lebih menekankan pada data sekunder atau data kepustakaan yang sumber datanya terdiri dari bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan SPN, pendidikan tinggi,dan perjanjian internasional pada perdagangan jasa, diantaranya adalah :

a. UUD 1945

b. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional c. UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

d. UU No. 7 tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on Establishing the World Trade Organization) h. PP Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan i. PP No. 66 tahun 2010 Tentang Perubahan atas PP No. 17 tahun 2010 Tentang

Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan

j. Kepmendikbud No. 234/U/2000 Tentang Pedoman pendirian perguruan tinggi k. GATS Agreement

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, terdiri atas buku-buku teks, jurnal-jurnal, pendapat para ahli, makalah-makalah, dan media internet. 41

40

Ibid. Hal. 38

Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang

41

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal 24.


(38)

memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum dan kamus hukum. 42

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dengan mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar, bahan kuliah yang relevan. 43

4. Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian dipilah-pilah untuk mendapatkan pasal-pasal, kaidah-kaidah yang mengatur tentang pendidikan tinggi, penyelenggaraan pendidikan asing, serta ketentuan-ketentuan dan aturan, prinsip perdagangan jasa di dalam GATS.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif yakni dengan memilih teeori-teori, asas-asas norma-norma, serta pasal-pasal yang terdapat di dalam aturan perundang-undangan yang relevan, yaitu yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi baik yang diselenggarakan oleh PTN, PTS maupun Perguruan Tinggi Asing (PTA), serta pengaturan perdagangan jasa yang diatur di dalam GATS Agreement. Data tersebut dianalisis secara kualitatif dan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data sehingga dapat member jawaban terhadap masalah yang telah dirumuskan.

42

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.Jakarta.(PT Raja Grafindo Persada.2001) Hal. 195-196.

43


(39)

BAB II

PENGATURAN PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI SUBSISTEM DARI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA

A. Sistem Pendidikan Nasional

Sistem Pendidikan Nasional (SPN) merupakan keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.44

Winch mengatakan “ The aims of any system of education tells us what it is for. Since they embody the fundamental purposes of education, they determine the character of everything else; institutions, curriculum, pedagogy and assesment “.

Di dalam UU No.20 tahun 2003 tentang SPN tidak ditemukan penjelasan apa saja yang dimaksud dengan komponen-komponen tersebut. Namun dari beberapa pendapat dibawah ini dapat dipahami apa saja yang dimaksud dengan komponen-komponen tersebut.

45

Promila Sarma mengelompokkan komponen-komponen pendidikan ke dalam tiga bagian besar, yaitu 1) orientation yang mencakup philosofi, hukum, pembiayaan, organization yang mencakup struktur umum, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, media massa, 3) Operation yang terdiri dari peserta didik, pendidik, Pendapat tersebut mengindikasikan bahwa komponen yang dimaksud diantaranya adalah tujuan pendidikan, lembaga pendidikan, kurikulum, pengajaran, dan penilaian.

44

Pasal 1 ayat (3) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Tujuan pendidikan nasional yang dimaksud adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional)

45

Chirstopher Winch dan John Gingell. The Key Concept in The Philosophy of Education. (New York. Routledge. 1999) . Hal 10


(40)

kurikulum, metode pengajaran, materi ajar, evaluasi dan ujian, bimbingan, supervisi, dan administrasi. 46

Rochmat Wahab juga mengatakan “ hakekat, tujuan, prinsip-prinsip, subjek , dan penyelenggaraan pendidikan nasional, disamping ketenagaan, kurikulum, kelembagaan, evaluasi, dan partisipasi masyarakat merupakan hal penting diketahui dalam dalam memahami Sistem Pendidikan Nasional.“ 47

Sesuai dengan pemaparan di atas maka komponen-komponen SPN yang dimaksud adalah semua unsur dari SPN tersebut antara lain organisasi, kurikulum, pendidik, peserta didik, landasan hukum, landasan philosofis, pendanaan, dan lain sebagainya dimana keseluruhannya saling terkait dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.

Santosh Kumar Madugula dari Research Scholar, Law Faculty, National University of Singapore mengatakan bahwa:

Every country has a unique higher education scenario and have experienced different historical and contemporary developments that have lead the current governments to lay education policies that would best suit the ‘development’ or other such macro level objectives. However, there are certain similarities among countries that have put them in similar state of affairs. 48

Apa yang disampaikan Santosh di atas menunjukkan bahwa sistim pendidikan nasional suatu negara dibentuk berdasarkan kebijakan (politik) suatu negara khususya dalam bidang pendidikan yang disesuaikan dengan perkembangan negara tersebut untuk

46

Promila Sharma. Education Administration. (Darya Gan.SB.Nangia.2007) Hal. 317 47

Rochmat Wahab. Mengkritisi Sistem Pendidikan Nasional, Aktualisasi Otonomi Pendidikan dan Alokasi Anggaran Pendidikan. Diakses dari Rochmat%20Wahab,%20M.Pd.,MA.%20Dr.%20,%20Prof.%20/SISTEM%20PENDIDIKAN%20NASIO NAL%20-%20IAI%20Al-Ghazali.pdf pada tanggal 13 Agustus 2012

48

Santosh Kumar Madugula. Foreign University under WTO – GATS mechanism: Should WTO members of Pro-‘Education Services Liberalization’ allow Foreign Private Universities or Foreign


(41)

mencapai tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian, SPN suatu negara dapat dikatakan sebagai identitas nasional negara yang bersangkutan yang menjadikannya berbeda dari sistim pendidikan negara lain.

1. Landasan filosofis, konstitusional dan teknis operasional SPN

Landasan filosofis pendidikan adalah asumsi filosofis yang dijadikan titik tolak dalam rangka studi dan praktek pendidikan, sedangkan landasan hukum/yuridis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari peraturan perundangan yang berlaku yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. 49

Asumsi-asumsi yang menjadi titik tolak dalam rangka pendidikan berasal dari berbagai sumber, dapat bersumber dari agama, filsafat, ilmu, dan hukum atau yuridis. Berdasarkan sumbernya, jenis landasan pendidikan dapat diidentifikasi dan dikelompokkan menjadi: 1) landasan religius pendidikan, 2) landasan filosofis pendidikan, 3) landasan ilmiah pendidikan, dan 4) landasan konstitusional pendidikan.50

Pancasila adalah dasar dan ideologi negara sekaligus dasar filosofis negara sehingga Pancasila merupakan rujukan dari setiap materi muatan peraturan perundang-undangan.

51

49

Y. Suyitno. Landasan filosofis pendidikan. Universitas pendidikan indonesia.2009 Diakses dari Dengan demikian, pengaturan pendidikan nasional Indonesia harus merujuk pada Pancasila sebagai dasar filosofi negara dan itu berarti bahwa landasan filosofis pendidikan nasional adalah Pancasila.

FILOSOFIS_PENDIDIKAN_DASAR.pdfY.

50

Suyitno. Ibid 51


(42)

Pancasila sebagai landasan filosofis negara mengandung arti bahwa pendidikan nasional Indonesia mencerminkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila tersebut. Dengan demikian, pendidikan nasional Indonesia adalah:

1. Pendidikan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Pendidikan yang berperikemanusiaan

3. Pendidikan yang mencerinkan persatuan Indonesia

4. Pendidikan yang berdasarkan pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam persmusyawaratan dan perwakilan (demokratis)

5. Pendidikan yang berkadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pendidikan nasional yang pancasilais di atas harus tercermin dalam setiap komponen pendidikan nasional lainnya, seperti kurikulum, pengelolaan, pendanaan, dan lain sebagainya yang merupakan karaktristik atau ciri khas pendidikan nasional Indonesia dan membedakannya dari sistem pendidikan negara lain.

Pasal 3 UU No. 12 tahun 2011 mengamanatkan bahwa “ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar52 dalam Peraturan Perundang-undangan”.53 Sebagai hukum dasar, maka UUD 1945 54

52

Norma dasar digunakan oleh Hans Kelsen untuk konstitusi yang merupakan norma tertinggi dalam sebuah negara. Segala norma khusus (perundang-undangan) yang diciptakan harus sesuai dengan norma dasar tersebut. Lihat : Pengantar Teori Hukum oleh Hans Kelsen terjemah Siwi Purwandari terbitan Penerbit Nusa Mediaan, Hal..97.

menjadi acuan atau

53

Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 54

Bahwa yang dimaksud dengan UUD 1945 tidak semata pada pemahaman pasal-pasal di dalamnya, tetapi menurut Soepomo, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan dan Batang Tubuh. Pembukaan menjelaskan pokok pikiran atau filosofi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Batang tubuh berisikan pasal-pasal yang menjelaskan pelaksanaan pokok-pokok pikiran atau filosofi Pembukaan UUD 1945 ( Putusan MK No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009)


(43)

rujukan dari segala aturan perundang-undangan yang mengatur pendidikan (landasan konstitusional) .

Ketentuan-ketentuan yang merupakan kerangka dasar pendidikan di Indonesia yang tercantum di dalam UUD 1945 adalah BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, dan Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan. BAB XA terdiri dari 2 Pasal, yaitu Pasal 28C Ayat (1) yang menyatakan “ Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia” dan Pasal 28E Ayat (1) yang menyatakan “ Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Sedangkan Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan terdiri dari 1 Pasal, yaitu pasal 31 yang menyatakan bahwa :

Pasal 31 UUD 1945 55

1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. :

2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. 4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh

persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

55


(44)

5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Ketentuan Pasal 31 Ayat (3) diatas mengamanatkan bahwa pendidikan diselenggarakan dalam satu SPN yang diatur dalam undang-undang. Ketentuan tersebut menjadi dasar bagi Pemerintah untuk mendesain Sistem SPN, yang saat ini telah ditentukan di dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN. Undang-undang ini kemudian berfungsi sebagai landasan operasional penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dimana di dalamnya telah ditetapkan dasar, fungsi, tujuan dan prinsip penyelenggaraan nasional sebagai berikut :

Dasar, fungsi dan tujuan

1. Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.56

2. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk

watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.57

Prinsip penyenggaraan :58

1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

2. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.

3. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.

56

Pasal 2 UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN 57

Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN 58


(45)

4. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

5. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.

6. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen

masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Hubungan antara Pancasila sebagai landasan philosofis, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, dan UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN sebagai landasan operasional pendidikan di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:

Gbr 2. Hubungan Pancasila dan UUD 1945 dengan Pendidikan Nasional

Sumber : Diolah dari UU No.20 tahun 2003

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 mengatur pendidikan dalam 2 konteks, yaitu pendidikan sebagai hak asasi manusia yang bersifat universal, dan pendidikan nasional yang berkaitan dengan dengan hak dan kewajiban Pemerintah dan warga negara yang diseleggarakan dalam SPN. Maka yang dimaksud dengan pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang diselenggarakan dalam SPN sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 31 Ayat 3 UUD 1945 dan telah diatur di dalam UU No.20 tahun 2003 tentang SPN.

PANCASILA

UU No.20 thn 2003 Ttg SPN


(46)

2. Struktur Pendidikan Nasional

Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional sebagaimana disebutkan di atas, pendidikan nasional disusun ke dalam beberapa jalur, jenjang, dan jenis.59 Jalur pendidikan dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu jalur pendidikan nonformal, informal, dan formal.60

Pendidikan nonformal berfungsi sebagai sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal bagi warga masyarakat.

61

Sesuai dengan fungsi tersebut, maka hasil proses pendidikan nonformal bak yang diselenggarakan oleh lembaga kursus atau dan pelatihan dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada SNP. Program paket A yang diperoleh dari pendidikan nonformal, diakui setara dengan pendidikan dasar (SD) pada jalur formal, Program paket B pendidikan nonformal, diakui setara dengan SMP pada jalur formal, dan Program paket C pendidikan nonformal, diakui setara dengan pendidikan menengah atas (SMA sederajat) pada jaur formal.62

Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

63

59

Pasal 12 UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan dalam berbentuk kegiatan belajar secara

60

Pasal 15 UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 61

Pasal 26 ayat ( 1) UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Pendidikan Nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang dilaksanakan dalam bentuk lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.

62

Pasal 1 ayat (7) dan 8 Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2008 tentang Wajib Belajar. 63


(47)

mandiri. Sebagaimana pendidikan formal, hasil pendidikan informal juga dapat diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. 64

Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

65

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah dan diselenggarakan dalam bentuk SD dan MI atau bentuk lain yang sederajat, serta SMP dan MTs, atau bentuk lain yang sederajat66

Pendidikan dasar merupakan prioritas di Indonesia karena selain sebagai hak warga negara, juga merupakan kewajiban bagi Pemerintah untuk membiayainya

.

67

, serta kewajiban bagi orangtua untuk memberikannya kepada anaknya. 68

1. Setiap warga negara Indonesia usia wajib belajar wajib mengikuti program wajib belajar.

Kewajiban ini ditegaskan kembali melalui Pasal 12 PP No. 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar :

2. Setiap warga negara Indonesia yang memiliki anak usia wajib belajar bertanggung jawab memberikan pendidikan wajib belajar kepada anaknya.

Ketentuan yang mewajibkan Pemerintah membiayai pendidikan dasar menunjukkan bahwa pendidikan dasar tersebut murni sebagai layanan publik dimana pendanaannya ditanggung oleh Pemerintah. Dengan demikian, pendidikan dasar yang gratis bukan

64

Pasal 27 UU No.20 tahun 2003 tentang SPN 65

Pasal 1 ayat (11) UU No.20 tahun 2003 tentang SPN

Selain berdsarkan jenjang, Pendidikan formal juga dikelompokkan berdasarkan jenisnya, yaitu pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (Pasal 15 UU No.20 tahun 2003)

66

Pasal 17 UU No.20 tahun 2003 tentang SPN 67

Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 68


(48)

merupakan kebaikan atau prestasi pemerintah daerah tetapi hanya sebagai bentuk konsistensi pelaksanaan konstitusi; justru kalau ada lembaga pendidikan dasar yang memungut biaya atau pemerintah daerah yang membiarkan hal tersebut terjadi merupakan pelanggaran terhadap konstitusi dan harus diberi sanksi, termasuk orangtua yang tidak memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.

Pendidikan menengah sebagai lanjutan pendidikan dasar terdiri dari pendidikan menengah umum dan menengah kejuruan yang diselenggarakan dalam bentuk SMA, MA, SMK, dan MAK, atau bentuk lain yang sederajat. UUD 1945 tidak mewajibkan Pemerintah atau pemerintah daerah untuk membiayai pendidikan menengah ini sebagaimana halnya dengan pendidikan dasar. Namun demikian Pemerintah berusaha meningkatkan akses pendidikan menengah ini melalui pemberian dana BOS.69

Tidak adanya kewajiban konstitusional Pemda untuk mendanai atau memberikan pendidikan menengah secara gratis telah mengakibatkan issu ini menjadi bahan kampanye calon kepala daerah. Dirjen Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hamid Muhammad mengatakan bahwa hal tersebut merupakan praktik yang tidak sehat karena membuat masyarakat tidak mandiri.70

Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan yang tertinggi setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, sarjana, magister, doktor, dan profesi, serta spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi

71

69

Menguatkan Pendidikan Menengah. Diakses dari

Berdasarkan jenisnya,

70

Kampanye Sekolah Gratis tidak Mendidik. Diakses dari

71


(49)

pendidikan tinggi dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu pendidikan akademik, vokasi, dan profesi.

Pendidikan akademik diarahkan pada penguasaan dan pengembangan cabang ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara pendidikan vokasi diarahkan untuk menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan, dan pendidikan profesi untuk menyiapkan mahasiswa dalam pekerjaan yang memerlukan persyaratan keahlian khusus. 72

Masing-masing jenjang dan jalur pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas dikelola dan diselenggarakan oleh organ-organ atau struktur tersendiri yang merupakan bagian dari struktur pendidikan yang tanggungjawabnya ada pada Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang pendidikan, dalam hal ini Kemendikbud. Walaupun masing-masing jenjang dan jenis pendidikan tersebut di kelola dan diselenggarakan oleh organ-oragan tersendiri, namun semuanya merupakan bagian atau subsistem dari SPN sehingga penyelenggaraanya bermuara pada satu tujuan yaitu tujuan pendidikan nasional.

Sama halnya dengan pendidikan menengah, UUD 1945 tidak mewajibkan Pemerintah untuk membiayai pendidikan tinggi ini.

Prase “berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia” menegaskan bawah penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia harus berkarakter kebudayaan Indonesia, walaupun tidak ada penjelasan atau pengertian yang lebih luas tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi yang “berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.

72


(50)

Struktur dari keseluruhan pendidikan nasional tersebut diatas dapat digambarkan sebagai berikut :

Gbr.2.

Sumber : Kementerian Pendidikan Nasional.2007

PERGURUAN TINGGI/PTAI PASCA SARJANA Higher Education/Islamic HE Post Graduate

Perguruan Tinggi/ PT AI Sarjana/Diploma Higher Education / Islamic HE Graduate/Diploma

Sekolah Menengeha Senior Secondary School Atas Kejuruan

General Vocational

MA

Islamic General

SMA

General IslamicMAK Vocational SMK Vocational MAGANG Apremticeship PAKET C Packet C MTs Islamic Junior Secondary School SMP Junior Secondary School PAKET C Packet C MI Islamic Primary School SD

Primary School PAKET A

Packet A BA/RA

Islamic Kindergarten

TK

Kindergarten Kelompok BermainPlay Group

Taman Penitipan Anak Day Care Center

Sumber : Ministry of National Education.2007 Usia

Age

Pendidikan Sekolah School Education

Pendidikan Luar Sekolah Out-Off School Education

Nonformal Informal


(51)

B. Pengaturan Pendidikan Tinggi Sebagai Subsistem Pendidikan Nasional 1. Perkembangan regulasi pendidikan tinggi di indonesia

Hukum diperlukan untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat karena hukum merupakan kontrol sosial dari Pemerintah. “Law itself is a sosial control. 73

Permasalahan yang dihadapi suatu negara senantiasa akan berubah seiring dengan perkembangan jaman karena masing-masing zaman memiliki tantangan dan permasalahan sendiri-sendiri, termasuk dalam bidang pendidikan tinggi. Dalam hal demikian, di negara yang berdasarkan hukum seperti Indonesia, hukum hadir sebagai sebagai instrumen untuk beradaptasi terhadap perkembangan tersebut, dan sebagai alat membuat masyarakat berdaptasi terhadap perubahan tersebut (law as a sosial engineering).

Dengan demikian, aturan hukum dalam bidang pendidikan tinggi merupakan kontrol sosial Pemerintah terhadap pelaksanaan pendidikan tinggi guna mencapai tujuan pelaksanaa pendidikan tinggi tersebut.

Di awal kemerdekaan Indonesia, khususnya setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah mengeluarkan UU Darurat (Uudrt) Nomor 7 Tahun 1950 (7/1950) tentang Perguruan Tinggi yang bertujuan untuk menyesuaikan segala aturan yang sudah ada sebelumnya dengan situasi negara pada saat itu dibawah Republik Indonesia Serikat.“ Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia Serikat diwajibkan mengambil segala tindakan dalam waktu sependek-pendeknya dengan, jika perlu, menyimpang dari

73


(52)

segenap peraturan-peraturan” 74

Keterlibatan Masyarakat dalam upaya mencerdaskan bangsa melalui pendirian PTS sudah terjadi sejak dulu. Untuk menciptakan ketertiban dalam pengelolaan PTS tersebut, Pemerintah secara bertahap mulai menata PTS melalui peraturan perundang-undangan, salah satunya melalui PP No. 23 Tahun 1959 Tentang Peraturan Ujian Negara Untuk Memperoleh Gelar Universiter Bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta. Di dalam peraturan tersebut diatur bahwa persyaratan bagi mahasiswa PTS untuk mengikuti ujian negara adalah:

Hal ini berarti bahwa konsep pendidikan yang diberlakukan selama masa penjajahan harus segera diganti dengan konsep pendidikan yang sesuai dengan budaya dan kepentingan Indonesia pada saat itu.

75

a. berasal dari Perguruan Tinggi Swasta yang memenuhi syarat;76 b. berijazah negeri Sekolah Menengah Umum tingkat Atas;

c. telah mengikuti pendidikan dengan teratur pada Perguruan Tinggi Swasta sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun untuk ujian universiter sarjana atau sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, untuk.ujian universiter sarjana muda; d. dan telah lulus dalam ujian sarjana atau sarjana muda pada Perguruan Tinggi

Swasta;

e. menyampaikan keterangan tentang hasil-hasil yang dicapai bagi tiap jenis ujian pada Perguruan Tinggi Swasta kepada Panitia Ujian.

f. membayar uang ujian yang jumlahnya ditetapkan oleh Menteri.

74

Pasal 1 UU Darurat (Uudrt) Nomor 7 Tahun 1950 (7/1950) Tentang Perguruan Tinggi 75

Pasal 7 Ayat (1) PP No. 23 Tahun 1959 Tentang Peraturan Ujian Negara Untuk Memperoleh Gelar Universiter Bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta.

76

Pasal 8 PP No. 23 Tahun 1959 Tentang Peraturan Ujian Negara Untuk Memperoleh Gelar Universiter Bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta .

Perguruan Tinggi Swasta yang memenuhi persyaratan adalah :a). perguruan tinggi tersebut berbentuk suatu badan hukum, yayasan atau perhimpunan yang telah diakui oleh Pemerintah; b). telah didaftarkan pendiriannya pada Kementerian dan telah beIjalan sekurang-kurangnya selama 3 tahun; c). tata pelajaran bagi tiap cabang; ilmu pengetahuan sama dengan tat a pelajaran pada Fakultas Negara; dan d). susunan tenaga pengajar sama dengan susunan tenaga pengajar pada Fakultas Negara dan mutu kecakapannya diakui oleh Fakultas Negara.


(53)

Mahasiswa yang berhak mengikuti ujian negara adalah mereka yang lulus dari universitas yang memenuhi persyaratan, yaitu :

a. Perguruan tinggi tersebut berbentuk suatu badan hukum, yayasan atau perhimpunan yang telah diakui oleh Pemerintah;

b. Telah terdaftar pada Kementerian dan telah berjalan sekurang-kurangnya selama 3 tahun;

c. Mata pelajaran bagi tiap cabang ilmu pengetahuan sama dengan tata pelajaran pada Fakultas Negara;

d. Susunan tenaga pengajar sama dengan susunan tenaga pengajar pada Fakultas Negara dan mutu kecakapannya diakui oleh Fakultas Negara.

Upaya Pemerintah dalam menciptakan ketertiban dalam penyelenggaraan PTS telah melahirkan diskriminasi negara terhadap warga negara. Warga negara yang menempuh pendidikan tinggi pada PTS harus menempuh prosedur yang lebih panjang dimana mereka harus mengikuti ujian negara untuk mendapatkan gelar.

Tahun 1961, Pemerintah kemudian melakukan penyempurnaan terhadap aturan perguruan tinggi ini melalui UU No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. Lahirnya undang-undang ini merupakan satu kemajuan dalam sejarah perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia karena untuk pertama kalinya tujuan pendidikan tinggi dirumuskan berdasarkan undang-undang, yaitu : 77

1. Membentuk manusia susila yang berjiwa Pancasila dan bertanggung jawab akan terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur, materiil dan spiritual:

2. Menyiapkan tenaga yang cakap untuk memangku jabatan yang memerlukan pendidikan tinggi dan yang cakap berdiri sendiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan;

3. Melakukan penelitian dan usaha kemajuan dalam lapangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan kehidupan kemasyarakatan.

77


(1)

Muda , Wan Abdul Manan Wan, The Malaysian National Higher Education Action Plan: Redefining Autonomy and Academic Freedom Under the APEX Experiment disampaikan pada konferensi ASAIHL bertajuk UNIVERSITY Autonomy: Interpretation And Variation di Universiti Sains Malaysia, pada tanggal 12-14 December 2008.

Nurdin. Jurnal Administrasi Pendidikan.USU. Vol. IX No. 1 April 2009

Nyborg , Per, GATS in the light of increasing internationalisation of higher education. Quality assurance and recognition. Diakses dari

OECD. Changing patterns Of governance In higher education. Diakses

dari http://www.oecd .org/

education/highereducationandadultlearning/35747684.pdf

Pelawi, Freddy Josep, Penyelesaian sengketa WTO Dan indonesia. Diunduh dari

2011

Philip, Altbach, Higher Education and the WTO: Globalization Run Amok. Diakses da

... Why Higher Education Is Not a Global Commodity." Chronicle of Higher Education May 11 2001.Jurnal Online. Diakses dari

Pradeepkumar , A.P dan F.J.Behr. Globalisation and internationalisation: European and German perspectives on higher education under GATS. Diunduh

dari

internationalization-of-education pada tanggal 12 April 2012

Prasojo,Eko, Kontroversi UU BHP. Diakses dari http://enewsletterdisdik.wordpress . com/2008/

Rachman , Yustisia, Pendalaman BHP. Diakses dari www.carakita.com, 2009. 12/21/kontroversi-uu-bhp/

Raychaudhuri , Ajitava and Prabir, De Barriers to Trade in Higher Education Services: Empirical Evidence from Asia-Pacific Countries . Asia-Pacific Trade and Investment Review Vol. 3, No. 2, December 2007.

Rawat , Deepa and S.S.S. Chauhan . The Relationship between Publik Expenditure And Status Of Education In India : An Input-Output Approach. disampaikan pada konferensi Internasional bertajuk Modelling Micro-Macro Interdependencies In Input Output Framework di Istanbul Technical University, Istanbul – Turkey, 2-7 July, 2007

R, Middlehurst, And Woodfield. The role of transnational, private, and for-provit Provision in Meeting Global Demand for Tertiary Education: Mapping, Regulation, and Impact . Case Study Malaysia. Summary Report. Report Commisioned by The Commonwealth of Learning and Unesco. 2010

Robert Sedgwick. The Trade Debate in International Higher Education Diakses


(2)

Robertson , Susan L., Globalisation, GATS and Trading in Education Services. Centre for Globalisation, Education and Societies University of Bristol, UK.2006. On-Line Paper.Diakses

dari

Saner , Raymond and Sylvie Fasel. Negotiating Trade in Educational Services within the WTO/GATS context. Diunduh dari

Setiawan , Dani, Liberalisasi Pendidikan dan WTO. Diakses dari http://cpgmdepok. wordpress.com

Shahabudin , Sharifah Hapsah Syed Hasan, Autonomy And Challenges For Unis. Diakses dari

/2009/05/22/liberalisasi-pendidikan-dan-wto/

Sirat , Morshidi, Working Paper. Transnational Higher Education in Malaysia: Balancing Benefit and Concerns Through Regulations. October 2005. Pena

Sitompul , Zulkarnaen, Liberalisasi Pendidikan : Kita Perlu Ikut ? Diakses

dari

Stejar , Camelia, Higher Education: Publik Good Or Publik Service? Analysis from the perspective of International. Management & Marketing. Challenges for the Knowledge Society. Vol. 6, No.1. 2011.

Suyitno , Y., Landasan filosofis pendidikan. Universitas pendidikan indonesia. 2009 Diakses dari pdfY

Tao , Liqing, Margaret Berci and Wayne He. Diakses dari UNESCO. Higher Education in a Globalized Society. Unesco Education Position Paper.

Unesco. 2004. Diunduh da

Xu , Jian, WTO Members’ Commitments in Education Services. Diakses dari www.ccsenet.org/journal. html. pada tangal 20 Juni 2012

Wahab , Rochmat, Mengkritisi Sistem Pendidikan Nasional, Aktualisasi Otonomi Pendidikan dan Alokasi Anggaran Pendidikan. Diakses da M.Pd.,MA.%20Dr.%20,%20Prof.%20/SISTEM%20PENDIDIKAN%20NASI ONAL%20-%20 IAI% 20Al-Ghazali.pdf pada tanggal 13 Agustus 2012


(3)

Wall , Brita Butler, Risks of Commercializing Education: Why We Need Commercial-Free Schools. Diakses dari September 2012

E.B. Williams Library. From GATT to WTO. Diunduh dari http://www.ll. georgetown.edu/intl/guides/gattwto/print.html pada tanggal 20 Oktober 2012 World Education Service, International Academic Mobility Continues to Grow Despite

Economic Downturn . Volume 25, Issue 8. September 2012 diakses dari

WTO. Annual Report 2012. Diunduh dari http://www.wto. org/english /res_e/booksp_e/anrep_e/anrep12_e.pdf.

C.PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi Undang-Undang No. 9 tahun 2009 Badan Hukum Pendidikan

Undang-Undang No. 42 tahun 2005 Tentang Tunjangan Guru dan Dosen Undang-Undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Undang-Undang No. 7 tahun 1994 tentang Ratifikaasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on Estabilishing the World Trade organization).

Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2010 tentang perubahan PP No17 tahun 2010 Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1999 tentang Badan Hukum Milik Negara Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 tahun 2010

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 26 Tahun 2007 Tentang Kerja Sama Perguruan Tinggi dl Indonesia Dengan Perguruan Tinggi Atau Lembaga Lain di Luar Negeri

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 232.U.2000 Tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa

Keputusan Menteri Pendidikan dan kebudayaan Nomor 234/U/2000 Tentang pedoman pendirian perguruan tinggi


(4)

GATS Agreement D.WEBSITE

Diakses dari pada tanggal 11 Juli 2012.

tanggal 11 Juli 2012

Bahas Soal Bangsa, Pelajar Indonesia dari 40 Negara Berkumpul di Malaysia

WTO. Basic

purpose and Concepts diakses pada tanggal 1 Juni 2012

HP%20Tidak%20Untuk%20Melegalkanj%20Komersialisasi%20Pendidikan.B erita SPMB/PMB/UMPTN/SMPTN/UN.

http://www.deepdyve. com/lp/

springer-journals/experiences-in-the-internationalization-of-education-strategies-to-TuAvA0Wqdn. Experience in The Internationalization of Education : Strategies To Promote Equality of Opportunity at Monterrey Tech. diakses pada tanggal 10 April 2012

GATS overview document.

http:/ /wonkdermayu .Word press.com /artikel/opini/ Diakses dari pada tanggal 8 Juli 2012

http:// aceh. tribunnews.com/2012/08/11/kemenkeusediakanrp106tuntukbeasiswa -s2-dan-s3. Kemenkeu Sediakan Rp 10,6 T untuk Beasiswa S2 dan S3.

What’s wrong

with commercialization of public education?

http://jdih.bpk. go.id/wp-content/uploads/2012/08/ Masyarakat-Diminta-Laporkan-Pungli-Pendidi kan.pdf. Masyarakat Diminta Laporkan Pungli Pendidikan . http://gurupintar.ut.ac .id/ component

/content/article/177-masalah-pendidikan-di-indonesia.html. Masalah Pendidikan di Indonesia. Diakses Pada tgl 10 Sept. 2012.

Members and Observers.Diakses pada tanggal 12 Oktober 2012

tanggal 20 September 2012


(5)

Naskah Kerja. PENDIDIKAN TINGGI DI EROPA:Pengalaman dan Masukan dari PPI Prancis, PPI Belgia, PPI Jerman dan PPI Swiss untuk Pendidikan Tinggi Di Indonesia.

http://edukasi. kompas. com/read/2012/07/24/12590113/Perguruan.Tinggi.Asing.

Bukan. Ancaman. Perguruan Tinggi Asing Bukan Ancaman

http://forum. kompas.com/nasional/143404-banyak-akademisi-indonesiadimanfaat kan-malaysia.html. Prati http://ban-pt.kemdiknas.go. id/index. php? option =com_ content &

view=article&id=50&Itemid=55&lang=in . Proses Akreditasi.

http://www.republika. co.id/ berita/nasional/umum/12/07/11/m7086w-pungutan-liar-di-instansi-sekolah, “Pungutan Liar di Instansi Sekolah”

Rapat Dengar

Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislasi dalam rangka penyusunan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

http://www. kopertis 12.or.id /2011/ 04/28/seandainya-kopertis-tak-ada-lagi.html

Services: Rules For Growth And Investment.

http:// www.unescap.org/tid/projects/gats10_sop.pdf. Services Negotiations Under The Gats: Background And Current State Of Play

The General Agreement on Trade in Services (GATS): objectives, coverage and disciplines. Diakses pada tanggal 10 Agustus 2012

Trade in Services. An introduction. Dapat diakses pada

Ten Things the WTO can do. Diakses dari _e/10thi_e/ 10thi00_e.htm

http://forum. kompas. com/ sekolah-pendidikan/11589-uu-bhp-liberalisasi-dan-komer sialisasi-pendidikan.html. UU BHP: Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan? Diakses pada tanggal 10 Oktober 2012

http://www.wto. org/english/tratop _e/serv_e/market_ access_negs_e.htm. WTO negotiations on market access


(6)

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Departemen Pendidikan Nasional. Gramedia. Jakarta.2008

F. TESIS/ DISERTASI

Vlk , Aleš. Higher Education and GATS. Regulatory Consequences And Stakeholders’ Responses. Desertasi. University of Twente.2006. Diunduh da

Cesca , Cibele. Internationalisation of Higher Education in Brazil: The debate on GATS and Other International Cooperation Initiatives. Thesis. . Universiteit Van Amsterdam. 2008